Anda di halaman 1dari 1

RadarBangkaOnline | http://www.radarbangka.co.

id

_________________________________________________________________________________________________________

Penghapusan UN SD Mendesak
JAKARTA (radarbangka.co.id) - Desakan terhadap penghapusan Ujian Nasional (UN), terutama untuk jenjang SD, makin santer didengungkan. Sebab, pelaksanaan UN SD dinilai bertentangan dengan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdas) sembilan tahun. Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) berpendapat, jika UN SD terus dilaksanakan, akan memotong kesempatan anak Indonesia untuk mengenyam pendidikan dasar. “UN SD bisa saja menjegal siswa,” kata Sekjen FGII, Iwan Hermawan. Tahun ini merupakan kali pertama penerapan UN SD. Sebelumnya, ujian terakhir untuk tingkat SD bernama Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN). Perbedaan yang mencolok, terdapat pada penentuan kelulusannya. Pada UASBN, sekolah memiliki wewenang penuh menentukan kelulusan siswa. Sedangkan pada UN SD, 60 persen penentu kelulusan dari nilai UN, 40 persen dari hasil Ujian Akhir Sekolah (UAS). Komposisi seperti itu, persis seperti UN SMP dan SMA atau SMK. Hingga kini, Kemendiknas belum melansir pengumuman hasil UN SD. Menurut Iwan, pemerintah bakal sulit mengumumkan karena bisa bertentangan dengan semangat Wajardikdas sembilan tahun. “Kalaupun nanti dinyatakan seluruh siswa SD lulus seratus persen, lalu buat apa ada UN SD,” tegasnya. Iwan juga mengatakan, selama ini pemerintah pusat selalu menggunakan alasan pemetaan kualitas pendidikan sebagai tameng. Menurutnya, jika memang ingin memetakan kualitas pendidikan, ujian tersebut mestinya diberlakukan kepada satuan pendidikan atau sekolah saja, bukan ikut-ikutan digunakan untuk menentukan kelulusan. Dia lantas menyebut pernyataannya itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Dalam Pasal 58 UU Sisdiknas. Di sana dijelaskan, pihak yang berwenang mengevaluasi hasil belajar peserta didik atau siswa adalah pendidik atau guru. Sedangkan pemerintah dan pemerintah daerah, berwenang mengevaluasi satuan pendidikan di seluruh jenjang pendidikan. Iwan juga menyebut, dalam perkembangannya, pelaksanaan UN di seluruh tingkatan kental ditunggangi kepentingan politis. Sebagai guru, dia menyebut kesuksesan menekan angka ketidaklulusan dalam UN selama ini menjadi poin utama seseorang langgeng duduk sebagai kepala sekolah atau kepala dinas pendidikan. “Poin selanjutnya supaya langgeng memberikan upeti kepada atasannya (kepala dinas pendidikan dan kepala daerah, red),” ungkap Iwan. Lebih ditingkatkan lagi, Iwan juga menyebutkan banyak kepala dinas pendidikan ketar-ketir takut dimutasi jika angka kelulusannya rendah. Untuk mengamankannya, kepala dinas menekan kepala sekolah. Dia menyebut salah satu kasus terjadi di Pare-pare, Sulawesi Selatan. “Kepala dinas mengancam mencopot kepala sekolah jika angka kelulusannya tidak 100 persen,” tandasnya. Yang lebih penting dari persoalan tadi, Iwan mengatakan pelaksanaan UN SD berujung pada melemahnya kejujuran. Baik oleh pendidik maupaun siswa. Seperti pada kasus yang terjadi di SDN Gadel II Surabaya dan SDN 06 Petang Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Di mana, para guru menginstruksikan supaya siswa pandai berbagi jawaban dengan teman-temannya. FGII bukan satusatunya pihak yang menentang system UN. Sebelumnya, berbagai eleman juga telah menyuarakan hal yang sama. Badan Penilitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendiknas selaku salah satu unsur pelaksana UN masih belum bisa berkomentar tegas terhadap desakan penghapusan UN SD. Kepala Balitbang Mansyur Ramly menuturkan, dasar pelaksanaan Unas SD adalah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (PP SNP). “Jika ingin menghapus atau mengembalikan UN SD menjadi UASBN, harus merubah PP itu,” tutur Mansyur yang saat dihubungi berada di Makassar. Jika belum ada perubahan, menurut Mansyur, merubah atau menghapus UN SD merupakan sebuah pelanggaran. Dalam Pasal 67 PP SNP dijelaskan, pemerintah menugaskan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk menyelenggarakan UN. Ujian tersebut, diikuti peserta didik pada setiap pendidikan jalur formal pendidikan dasar dan menengah (SD, SMP, dan SMA) dan jalur non formal kesetaraan. Meski begitu, Mansyur menjelaskan, jika setiap selesainya pelaksanaan UN bakal digelar evaluasi menyeluruh. Dia menuturkan, Kemendiknas bisa saja mengusulkan perubahan pelaksanaan UN, yang kemudian diatur dalam PP. “Tapi pada intinya, kami bekerja mengikuti aturan yang berlaku,” pungkasnya. Wakil Ketua MPR RI Lukman Hakim Saefudin juga berharap ada evaluasi terhadap UN SD. Menurutnya, UN di tingkat SD bisa mendorong budaya instan. Selama ini, budaya instan sudah mulai terbentuk dengan kemajuan arus globalisasi. Budaya instan dalam pendidikan, terutama sekolah dasar, menurut Lukman tercermin dari perilaku guru yang mengkoordinir siswa menyontek masal. “Kasus di SDN Gadel II Surabaya dan SDN 06 Petang Pesanggrahan Jakarta itu contohnya,” ucap Lukman. Menurutnya, perilaku guru tersebut sudah bisa disebut kecurangan. Nah, kecurangan oleh guru itu, bakal dicontoh oleh siswa. Para siswa, menurut Lukman, menganggap perilaku curang itu halal. Buktinya, dilakukan oleh guru yang selama ini menjadi panutan mereka. Lukman juga menjelaskan, perilaku curang juga sudah menjangkiti masyarakat. Dia menyebutkan, masyarakat sudah menghalalkan segala cara supaya anaknya bisa masuk sekolah-sekolah dengan kualitas bagus. “Misalnya orang tua tidak mempersoalkan contek massal, asalkan dapat nilai tinggi. Itu kan juga sudah kecurangan,” ungkap Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP itu. Saat ini, menurut Lukman, menjadi momentum tepat bagi Mendiknas Mohammad Nuh untuk melakukan revolusi sistem evaluasi pendidikan. “Sekarang perlu ketegasan menteri untuk menjatuhkan sanksi kepada pihak yang salah dan tidak malu memperbaiki sistem yang salah,” tandasnya. Bukan sebaliknya, menutup-nutupi kesalahan. Lukman juga mengkritisi sikap Nuh terhadap kasus contek massal di SDN Gadel II Surabaya. Dia menyebut, sikap Nuh terlalu defensif. Nuh seakan menutupi sebuah kesalahan fatal yang terjadi saat unas. “Pernyataan Nuh terhadap kesaksian keluarga Siami dan anaknya terlalu dini,” tandasnya. Nuh diminta untuk mengkaji ulang pernyataannya yang hanya berdasarkan pola jawaban itu. Jika terus bersikap defensif terhadap segala kekurangan, Lukman mempertanyakan komitmen Nuh sebagai orang yang berada di garda terdepan dalam memajukan pendidikan tanah air.(lum/kum/wan/jpnn/mar) _________________________________________________________________________________________________________
Dibuat pada :30 May 2012 03:28:20

Anda mungkin juga menyukai