Anda di halaman 1dari 20

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kata penggusuran menjadi suatu momok tersendiri bagi masyarakat kecil di Indonesia. Kata tersebut menimbulkan paradigma buruk yang identik dengan kekerasan yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sehingga banyak anggapan bahwa penggusuran merupakan suatu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) selalu menjadi cita-cita manusia bahkan hingga kini. Hal ini dikarenakan hakekat manusia yang pada dasarnya membutuhkan pengakuan, terutama atas dirinya. Tidak terkecuali bagi bangsa Indonesia. Berbagai instrumen hukum dibentuk agar cita-cita tersebut dapat terwujud. Termasuk yang terjadi di Indonesia, seperti meratifikasi kovenan-kovenan HAM dan adanya UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Namun, pada prakteknya terdapat banyak pelanggaran HAM, salah satunya tentang hak atas pekerjaan yang dilanggar dengan cara penggusuran lahan usaha secara menyimpang yang membuat penggusuran menjadi perbuatan yang melanggar Hak Asasi Manusia. Letak pelanggaran HAM tersebut adalah ketika dilakukan secara paksa dan pemenuhan ataupun ganti rugi sering dirasakan kurang adil. Salah satu contoh yang belum lama terjadi adalah penggusuran pedagang kaki lima (PKL) oleh Pemkab Deliserdang, Medan. Namun, tidak semua praktek penggusuran menyimpang dan menyalahi Hak Asasi Manusia, contohnya relokasi PKL di wilayah Pemkot Surakarta. Hal ini menunjukkan bahwa pelanggaran HAM bukan terletak pada mekanisme peraturan mengenai pelaksanaan relokasi, tetapi pada pelaksanaannya yang seringkali mengindahkan HAM.

Selain itu juga akan dibahas tentang bagaimana cara-cara dari praktek penggusuran atau relokasi itu agar tetap dalam koridor pemenuhan Hak Asasi Manusia, melalui peran kita sebagai mahasiswa. Mahasiswa sebagai bagian dari warga negara perlu untuk ikut serta berperan di dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia terutama dalam penggusuran seperti yang tercantum di atas baik melalui media cetak maupun elektronik, atau dengan cara-cara lain sesuai dengan porsi mahasiswa.

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana analisis kasus penggusuran pedagang di Medan dan proses

relokasi di Surakarta dilihat dari pendekatan HAM ?


2. Bagaimana peran mahasiswa agar penggusuran atau relokasi tetap sesuai

dengan pemenuhan HAM ?

C. Tujuan Penulisan 1. Memahami analisis kasus penggusuran pedagang di Medan dan proses

relokasi di Surakarta dilihat dari pendekatan HAM 2. Mengetahui cara-cara mahasiwa dalam berperan mewujudkan penggusuran atau relokasi yang sesuai dengan HAM.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis Memberikan kontribusi berupa pemikiran mengenai perkembangan ilmu hukum pada umumnya, khususnya dalam kajian mengenai penegakan Hak Asasi Manusia. Lebih khusus lagi adalah mengenai warga negara atas

pekerjaan sebagai implementasi hak ekonomi yang dikaitkan dengan pelaksanaan relokasi usaha. 2. Manfaat Praktis a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menganalisis suatu kajian hukum b. Memberi jawaban atas masalah yang dikaji
c. Hasil kajian diharapkan dapat membantu memberikan masukan kepada

masayarakat dan pemerintah dalam melaksanakan relokasi yang sesuai dengan mekanisme ideal.

BAB II TELAAH PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, definisi Hak Asasi Manusia adalah Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam pengadaan relokasi atau pemindahan lahan, pemerintah juga harus memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh manusia yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintahan. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya), definisi Hak Asasi Manusia adalah Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum (MU)

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar (Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya)

Hak ekosob merupakan bagian yang esensial dalam hukum hak asasi internasional, bersama-sama dalam hak-hak sipil dan poltik, menjadi bagian dari the international bill of human rights sehingga pemenuhannya di lakukan bersama-sama Tidak hanya itu, Dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 juga telah memuat pengakuan hakHak Asasi Manusia. Khususnya mengenai hak-hak ekonomi dan hak-hak asasi lain yang sesuai dengan bahasan pada tulisan ini, hak-hak inti yang harus dipahami adalah hak atas pekerjaan, hak untuk mengembangkan diri, dan hak untuk bebas dari rasa takut. Mengenai hak untuk mengembangkan diri demi meningkatkan kesejahteraan hidupnya, Pertama, diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 C ayat 1 yang pada intinya, setiap orang berhak mengembangkan melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Kedua, di dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005 Pasal 6 ayat (1) disebutkan tentang hak atas pekerjaan adalah sebagai berikut: Negara Pihak dari Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan, termasuk hak setiap orang atas kesempatan untuk mencari nafkah melalui pekerjaan yang di pilih atau diterimanya secara bebas, dan akan mengambil langkahlangkah yang tepat guna melindungi hak ini. Selain itu, hak untuk pekerjaan yang layak dan hak bebas memilih pekerjaannya diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Pasal 38, (1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak. (2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.

Hak atas pekerjaan dan hak dalam bekerja merupakan Hak Asasi Manusia. Perlindungan dan pemenuhan hak tersebut memberikan arti penting bagi pencapaian standar kehidupan yang layak (Jeff King dalam Satya Arinanto: 181). Pekerjaan merupakan aplikasi dari mandat eksistensial manusia. Pekerjaan dapat dipilih secara bebas (Satya Arinanto:183). Selain pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi di atas juga terdapat hak-hak yang diakui sebagai Hak Asasi Manusia yang esensial yaitu antara lain yang tercantum dalam Pasal 28 G ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat Pengaturan ini memberi perlindungan mengenai hak atas rasa aman atau dengan kata lain hak bebas dari rasa takut yang merupakan bagian dari pemenuhan hak pribadi. Pengaturan mengenai jaminan hak atas rasa aman juga tercantun dalam Pasal 30 Undang-Undang. No. 39 Tahun1999, bahwa Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Sementara itu, tanggung jawab pemenuhan hak-hak tersebut ada di tangan negara terutama pemerintah berdasar pada Pasal 71 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999, bahwa Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang Hak Asasi Manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Menghormati berarti tidak melanggar Hak Asasi Manusia. Melindungi berarti pemerintah harus menjaga agar Hak Asasi Manusia tidak dilanggar

orang. Menegakkan berarti melakukan penghukuman atas orang-orang yang melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (Darwan Prinst: 15). Pemunculan, perumusan, dan insitusionalisasi HAM memang tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sosial atau habitatnya, yaitu tidak lain masyarakat itu sendiri dimana HAM itu dikembangkan. Terjadi semacam korespodensi antara HAM dan perkembangan masyarakat. Dapat di katakan bahwa HAM itu memiliki watak sosial dan struktur sosial sendiri. (Satjipto Rahardjo dalam Muladi:217). B. Tinjauan Umum Mengenai Penggusuran Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi penggusuran adalah proses, cara, perbuatan menggusur. Berdasarkan wikipedia bahasa Indonesia, definisi penggusuran adalah pengusiran paksa baik secara langsung maupun secara tak langsung yang dilakukan pemerintah setempat terhadap penduduk yang menggunaan sumber daya lahan untuk keperluan hunian maupun usaha. Sedangkan relokasi dalam KBBI berarti memindahkan tempat. Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa penggusuran adalah cara, atau perbuatan memindahkan tempat, mengalihkan, mengusir, baik dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung oleh pemerintah setempat terhadap penduduk yang mempergunakan lahan untuk hunian maupun usaha. Namun, dalam kenyataannya penggusuran ada yang menimbulkan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dan ada pula yang berlangsung damai, tanpa terjadi perlawanan dari pihak yang dipindahkan. Salah satu kasus yang mencerminkan penggusuran yang melanggar Hak Asasi Manusia, adalah pelaksanaan penggususran di Deliserdang, Medan, Sumatera Utara pada tanggal 30 Oktober 2009 lalu. Pemerintah Kabupaten Deliserdang, melakukan penggusuran paksa ribuan lapak milik pedagang kaki lima (PKL) di Kantor Gubsu dan sepanjang jalan dekat Kampus Unimed di Jalan Williem Iskandar/Pancing

Khusus untuk Perda penggusuran di Sumatra Utara Pemko Medan dalam melakukan penataan pedagang kaki lima (PKL) sesuai Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan Nomor 31 Tahun 1993 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang pemakaian badan jalan, trotoar dan di atas parit tidak boleh dibangun. Jadi, bagi pedagang yang berjualan di atas parit, trotoar atau badan jalan berarti telah melanggar perda dan UU tersebut. untuk menegakkan peraturan itu maka Pemkot Medan melakukan penertiban terhadap para PKL yang berjualan di badan jalan, trotoar maupun di atas parit (Rusdi Siregar, Kabag Humas Pemko Medan dalam www.hariansumut.com). Perda ini menjadi dasar pelaksanaan penggususran di Deliserdang, Medan, Sumatera Utara dimana tidak seluruh daerah di Indonesia telah memiliki perda tentang penataan PKL. Daerah-daerah hanya memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang didalamnya memuat tentang penataan PKL. C. Tinjauan Umum Mengenai Peran Mahasiswa Perguruan Tinggi berfungsi sebagai konseptor terwujud melalui produk ilmiah yang dihasilkannya sehingga mampu memprediksi kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa depan, serta memiliki kemampuan menyusun suatu teori atau konsep yang dibutuhkan pada masa kini. Fungsi dinamisator secara langsung terlihat pada lulusan Perguruan Tinggi yang terdiri dari tenaga ahli yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dapat berperan di dalam masyarakatnya. Selanjutnya fungsi evaluator dilakukan bersama-sama oleh segenap warga sivitas akademika di dalam Perguruan tinggi, melalui penelitian terhadap berbagai dampak pembangunan (densukardi dalam blog wordpress.com). Berdasarkan teori di atas, mahasiswa sebagai bagian dari warga sivitas akademika perguruan tinngi memiliki tanggung jawab dalam penegakan hukum, salah satunya adalah penegakan hukum Hak Asasi Manusia. Mahasiawa memiliki hak untuk berpendapat, dan berekspresi. Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Pasal 28 yang menjamin

kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan dan sebaginya ditetapkan dengan undang-undang Kemudian secara lebih khusus diatur dalam Pasal 44 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM, Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Berdasarkan pasal di atas maka mahasiswa dalam melaksanankan perannya sesuai kompetensinya dilindungi dan terdapat dasar hukumnya. Namun pelaksanaan kebebeban berpendapat dan berekspresi harus sepanjang memenuhi tanggung jawab berdasarkan hukum. Menghormati hak dan kebebasan orang lain atau nama baik mereka, ketertiban umum dan keamanan masyarakat, keamanan nasional, dan kesehatan serta moral masyarakat ( C. de Rover: 216)

BAB III METODE PENULISAN

10

A.Jenis Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan merupakan penelitian hukum normatif, atau yang lebih dikenal sebagai penelitian hukum doktrial atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan bahan pustaka pada lazimnya atau data sekunder. Penelitian hukum dengan bahan pustaka terdiri dari :
1. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari norma, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku.
2. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil penelitian dan lainlain.
3. Bahan hukum tertier

Bahan hukum tertier merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya. Soerjono Soekanto membagi penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup : a. Penelitian terhadap asas-asas hukum b. Penelitian terhadap sistematik hukum c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal d. Perbandingan hukum
e. Sejarah hukum (Soerjono Soekanto,2007:14) .

B. Jenis Data

11

Jenis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku, majalah, koran, jurnal, literatur maupun arsip-arsip yang berkesesuaian dengan penelitian yang dibahas.

C.Sumber Data
Sumber data merupakan tempat di mana dan ke mana data penelitian dapat diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder berupa dokumen publik dan catatan-catatan resmi (public documents and official records), yaitu dokumen peraturan perundangan yang berkaitan dengan relokasi lahan dan Hak Asasi Manusia. Selain penulis mengambil sumber data berupa peraturan perundangan yang berkaitan dengan buku-buku, media massa yang berhubungan dengan relokasi lahan dan Hak Asasi Manusia.

D.Teknik Pengumpulan Data


Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara pengumpulan data sekunder berupa peraturan perundangan, artikel maupun dokumen lain yang dibutuhkan untuk kemudian dikategorisasi menurut pengelompokkan yang tepat. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik studi pustaka untuk mengumpulkan dan menyusun data yang diperlukan.

E. Teknik Analisis Data


Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi laporan. Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Moleong, 1993).

12

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif. Mengenai kegiatan analisis kualitatif dalam penelitian ini adalah mengklasifikasikan pasal-pasal yang ada dalam dokumen ke kategori yang berdasarkan fakta hukum, politik hukum yang menjadi latar belakang, dan teori hukum yang mendasar. Setelah analisis data tersebut selesai, maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif. Yaitu dengan jalan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan data yang diperoleh.

. BAB IV PEMBAHASAN

13

A. Analisis Kasus Penggusuran Pedagang di Medan dan Proses Relokasi

di Surakarta Dilihat Dari Pendekatan HAM Praktek Pemenuhan Hak Asasi Manusia di Indonesia, masih terjadi banyak pelanggaran di banyak lini. HAM yang telah ditentukan jenis-jenisnya dalam UU No. 39 tahun 1999 salah satunya menyebut adanya jaminan terhadap hak atas pekerjaan. Dalam Pasal 38 ayat (1) tentang hak atas pekerjaan yang layak dan bebas memilih pekerjaan yang disukainya pada ayat (2). Serta dalam Pasal 6 kovenan tentang hak ekosob yang telah diratifikasi dan berlaku di Indonesia. Salah satu contoh pengindahan perlindungan hak untuk berusaha melalui pekerjaan ini adalah dengan cara-cara praktek penggusuran atau relokasi, khususnya relokasi lahan usaha, dengan tindakan-tindakan yang melanggar HAM. Contoh kasus yang belum lama terjadi adalah penggusuran pedagang kaki lima (PKL) oleh Pemkab Deliserdang, Medan. Pemerintah Kabupaten Deliserdang, melakukan penggusuran paksa ribuan lapak milik pedagang kaki lima (PKL) yang selama ini berdagang pakaian mengelilingi Kantor Gubsu dan sepanjang jalan dekat Kampus Unimed di Jalan Williem Iskandar/Pancing. Para PKL yang tidak rela kehilangan lapaknya berusaha menghalang-halangi petugas Satpol PP yang merusak lapak dagang mereka. Pada umumnya, para PKL tidak rela terhadap pelaksanaan penggusuran tersebut. Alasannya, penggusuran yang diprogramkan Pemkab Deliserdang itu berlangsung tanpa memberikan solusi. Aksi protes terhadap pembongkaran itu diteriakkan pula oleh pedagang lainnya, seorang PKL bahkan tersebut sempat pingsan. Sementara itu, dua mahasiswa yang membela para PKL mengatasnamakan Front Anti Penggusuran Sumatera Utara terpaksa diamankan Poltabes Medan dengan kondisi babak belur. Dua mahasiswa yang diamankan tersebut masing-masing Kurnia Hidayat dan Moli yang kemudian dirawat di bagian Reskrim Poltabes Medan. Karena mengalami luka dibagian

14

bibir pecah dan wajah memar akibat terkena pukulan beberapa oknum anggota polisi Alasan penggusuran datang dari Wakil Bupati Deli Serdang Zainuddin Mars yang menyatakan akibat penutupan saluran drainase oleh para pedagang ini telah mengakibatkan terjadinya banjir dikawasan Jalan Pancing Medan. Pemkab Deli Serdang tidak hanya menggusur PKL juga akan membongkar halaman kawasan pertokoan yang telah menutupi drainase. Akibat penutupan saluran drainase telah mengakibatkan kerusakan Jalan Pancing Medan. Selain itu juga penggusuran ini sudah dikordinasikan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Kasus di atas terjadi karena penyimpangan konsep penggusuran, yaitu secara paksa tanpa pemberian waktu yang layak untuk masyarakat pindah, pendekatannya, dan ganti rugi yang tidak ada solusinya dari pemerintah mengenai bentuk relokasi ke lahan usaha lain yang layak. Padahal dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999, disebutkan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan dan bebas memilih pekerjaan yang disukainya Hak yang dilanggar tidak hanya mengurangi kesempatan manusia dalam berusaha dengan melakukan pekerjaan demi hidup yang layak yang terjadi karena tidak disediakannya lahan usaha pengganti, tapi jika pelaksanaan yang dilakukan dengan kekerasan, maka melanggar hak-hak asasi lainnya. Seperti yang diatur dalam Pasal 30 UU. No. 39 Tahun1999 bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan Sesungguhnya penggusuran lahan usaha yang dilakukan demi kepentingan masyarakat yang lebih luas bukan merupakan pelanggaran HAM. Karena tanggung jawab negara untuk memberikan Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah (Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999) sehingga jika penggusuran tersebut bertujuan untuk keindahan tata kota dan jika pada kasus di atas

15

pengsusuran dilakukan untuk mencegah terjadinya banjir akibat terturupnya drainase oleh para pedagang maka sesungguhnya penggusuran bukan merupakan tindakan yang melanggar HAM Pelanggaran HAM baru terjadi jika pelaksanaan penggusuran tersebut dilakukan dengan cara-cara paksa, kekerasan, dilakukan tanpa benar-benar menemukan kata sepakat dengan masyarakat mengenai ganti rugi. Jika pemerintah melaksanakan penggusuran dengan paksa dan tidak memberi relokasi yang layak, maka pemnerintah telah melanggar HAM karena telah menimbulkan rasa takut dan menghalangi masyarakatnay dalam berusaha, bekerja untuk kesejahteraan hidupnya. Mekanisme yang diatur dalam perda masing-masing daerah yang dijadikan dasar hukum juga tidak menyalahi konsep HAM yang pada kasus di atas dilakukan berdasar pada Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan Nomor 31 Tahun 1993 dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang pemakaian badan jalan, trotoar dan di atas parit tidak boleh dibangun. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan relokasi PKL di Surakarta yang mampu berjalan tanpa kekerasan. Penggusuran PKL di Surakarta merupakan suatu bentuk relokasi yang tidak ditemukan adanya gesekan fisik antara pedagang dan aparat Pemkot. Mekanisme teknis relokasi lahan usaha terutama PKL di Surakarta tidak berbeda dengan prosedur relokasi yang sesuai dengan aturan perundangundangan, namun yang berbeda adalah mekanisme pendekatan kepada pedagang PKL. Pedagang liar kaki lima dan pasar dipindahkan dengan kirab pasukan pengawal keraton lengkap dengan pusaka-pusakanya.Walikota dan jajarannya dengan berpakaian adat, berkuda di barisan paling depan dan diliput oleh media massa nasional dan internasional. Di tempat baru pun sudah tersedia prasarana baru dengan fasilitas sangat baik, uang sewa sangat ringan, bebas pajak-pajak tertentu, dan trayek kendaraan umum sudah disalurkan ke lokasi baru itu. Salah satu relokasi yang berjalan tanpa paksaan adalah Pada Juli 2006 sebanyak 989 pedagang yang berusaha di Monumen 45 Banjarsari sejak 1998

16

mau pindah ke Pasar Klithikan Notoharjo, Semanggi di samping penataan 5.817 PKL lain di kawasan pemkot. Suka cita menyelimuti saat eksekusi dilakukan. Tak ada buldoser diturunkan, tak ada pentungan dan wajah seram Satpol PP. Sebelum direlokasi pemkot melewati proses dialog panjang, hingga 54 kali pertemuan. Bersama wakilnya, dan para kepala dinas, setiap Jumat pagi (dua minggu sekali) Jokowi, begitu ia disapa, bersepeda berkeliling kampung. Dia ajak pedagang makan siang atau makan malam. Tempat dialog bisa di mana saja, mulai dari warung kecil, pinggir jalan, lokasi PKL Banjarsari, hingga di Loji Gandrung (rumah dinas wali kota). Ketika komunikasi sudah terjalin, konsep penataan PKL disusun Pemerintah Kota (Pemkot) Solo dan disosialisasikan kepada pedagang. Proses berlanjut dengan perencanaan pembangunan, pelaksanaan, baru relokasi. Mekanisme pendekatan ini dilakukan tanpa berlandaskan peraturan daerah. Contoh penggusuran PKL di Surakarta di atas menunjukkan bahwa pembangunan akan dapat berjalan terus dengan tanpa adanya kekerasaan. Prinsip dasarnya adalah mempertimbangkan faktor sosial budaya dulu, baru praktik hukumnya disesuaikan, bukan sebaliknya. Selain itu, Pemerintah setempat membangun sebuah kompleks khusus bagi untuk para PKL. Di kompleks itu para PKL difasilitasi dengan kios semi permanen, tenda, hingaga gerobak seperti yang dapat ditemui di Stadion Manahan dan Jalan Slamet Riyadi. Pedagang makanan di Jalan Slamet Riyadi diberi gerobak seragam untuk mendukung city walk (kawasan khusus pejalan kaki). Kuncinya adalah pendekatan personal. Sikap pemerintah yang menghormati eksistensi para pedagang sebagai manusia membuat pemikiran warga dapat terbuka. Pendekatan kultural tersebut memosisikan warga dengan pemerintah adalah partner, bahkan pemerintah pelayan warga. Cara-cara yang ramah dengan pendekatan langsung dan pemenuhan hak mereka atas lahan berjalan lain yang layak semakin menunjukkan bahwa relokasi usaha dapat dilakukan dengan tanpa kekerasan ataupun perampasan hak-hak asasi manusia, utamanya hak-hak ekonomi warga masyarakat

17

B. Peran Mahasiswa Agar Penggusuran atau Relokasi Tetap Sesuai

Dengan Pemenuhan HAM Sebagaimana analisa di atas, maka dapat dilihat esensi dari penggusuran, khususnya relokasi usaha tidak melanggar Hak Asasi Manusia jika didasarkan pada pendekatan personal yang menghormati sepenuhnya hak masyarakat untuk berusaha dengan bekerja sesuai kemampuan, kecakapan, untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Hak Asasi Manusia untuk mendapat kesejahteraan yang juga bagian dari tanggung jawab pemerintah sesuai Undang-Undang No. 39 tahun 1999 sehaurusnya disadari dengan sesungguh-sungguhnya Mahasiswa sebagai bagian dari warga sivitas akademika perguruan tinngi memiliki tanggung jawab dalam penegakan hukum, salah satunya adalah penegakan hukum Hak Asasi Manusia, terutama dalam membantu menyebarkan konsep penggusuran yang sesuai dengan Hak Asasi Manusia. Jika dilihat dari kapasitas dan kompetensi mahasiswa, maka hal-hal yang dapat dilakukan, pertama dan yang menjadi dasar adalah melakukan Perubahan Paradigma baik dari masyarakat maupun pemerintah sebagai perwakilan negara. Penggusuran yang selama ini identik dengan paksaan dan disertai kekerasan harus dihilangkan. Masyarakat perlu untuk dibuat percaya pada pemerintah bahwa kesepakatan dapat terjadi bila keduanya bermusyawarah untuk mementukan kesepakatan. Begitu pula paradigma pemerintah bahwa masyarakat pasti melawan dan tidak mau menerima bentuk ganti rugi apapun harus dihilangkan. Pemerintah harus mau berusaha lebih keras dalam melakukan pendekatan dengan masyarakat dengan lebih personal Melihat pada apa yang terjadi di Surakarta, hal-hal ini tidak mustahil dapat diwujudkan di daerah-daerah lain di Indonesia. Langkah konkret untuk merubah paradigma yang dapat dilakukan oleh mahasiswa adalah, dengan mengemukakan saran sepeti yang telah disebutkan

18

di atas melalui Melalui media elektronik seperti facebook atau membuat blog. Mahasiswa dapat memanfaatkan sarana tersebut dalam berperan aktif mengkampanyekan ide perubahan paradigma tersebut. Dapat pula melalui responden dan komentar berupa saran pada pemerintah daerah yang sedang dalam proses penggusuran pada website yang dimiliki. Hal ini dapat pula menjadi alternatif cara untuk didengar. Kedua, Melalui media cetak seperti pengiriman kajian mengenai caracara penggusuran yang tidak mengacu pada kekerasan dan penyimpangan dalam rubrik-rubrik yang disediakan media cetak terutama media-media yang strategis dan dibaca kebanyakan masyarakat Indonesia. Tidak dapat dipungkiri pengajuan saran dan pendapat mahasiswa melalui demonstrasi telah banyak yang tidak mendapat perhatian dan bahkan menuai kecaman jika mengarah pada perbuatan anarkis atau mengganggu ketertiban. Namum melalui media elektronik dan media cetak, Jika dilakukan dengan penyampaian yang benar dan memaparkan contoh-contoh pendekatan personal maupun budaya yang terbukti mampu membuat proses penggusuran sejalan dengan pemenuhan Hak Asasi Manusia, akan mampu menarik sorotan yang luas dari masyarakat tidak terkecuali oleh pemerintah. Dapat pula dengan mengadakan kampanye dengan slogan-slogan yang dapat menarik perhatian masyarakat. Turun ke jalan atau mengadakan kampanye langsung ke kantung-kantung PKL yang dalam proes relokasi untuk mendapat pemahaman yang berbeda. Bukan justru memperkeruh suasana dengan tindakan provokasi. Selain pemberian pemahaman kepada masyarkat umum dan masyarakat pedagang, maka pemberian pemahaman juga dapat dilakukan kepada sesama mahasiswa dan pemerintah melalui penyelenggaraan seminarseminar tentang pendekatan personal dalam proses penggusuran. Tidak hanya sebagai pihak ketiga dalam proses pelaksanaan penggusuran, mahasiswa juga dapat turut serta dalam proses penyuluhan sebagai tahap awal. Keikutsertaan mahasiswa sebagai perwakilan akademis dapat membantu pemberian pemahaman kepada masyarakat sekaligus bentuk praktek hukum. Hal ini dapat

19

dicapai dengan berperan dalam kegiatan di Lembaga Badan Hukum (LBH) yang terdapat di universitas. Tidak hanya perubahan paradigma untuk tecapainya relokasi sehat tanpa kekerasan, tapi juga harus terdapat suatu regulasi hukum yang lebih khusus. Selama ini pengaturan mengenai PKL didasarkan pada rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang selalu memilki alokasi bagi keberadaan PKL. Regulasi ini yang mestinya disikapi dan ditindaklanjuti dengan kehadiran peraturan daerah (perda) di masing-masing kota di negeri ini. Dalam kenyataan, belum ada regulasi di semua daerah. Banyak daerah sekadar improvisasi dalam menata PKL. Kesemua usulan itu dapat dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan kapasitas mahasiswa yang dengan rasa optimis harus dilakukan sebagai bentuk peran mahasiswa dalam menciptakan sistem penggusuran menuju relokasi yang sejalan dengan pemenuhan Hak Asasi Manusia yang dicitacitakan bersama.

BAB V PENUTUP

20

A. Kesimpulan Praktek Pemenuhan Hak Asasi Manusia di Indonesia, masih terjadi banyak pelanggaran di banyak lini. Salah satu contoh kasusnya penggusuran pedagang kaki lima (PKL) oleh Pemkab Deliserdang, Medan. Pemkab Deliserdang, melakukan penggusuran paksa ribuan lapak milik PKL tanpa disertai relokasi yang layak dan melalui kekerasan Satpol PP. Tindakan tersebut melanggar hak atas pekerjaan hak utuk mengembangkan diri, dan hak atas rasa aman. Sesungguhnya penggususran dapat dilakukan sesuia dengan pemenuhan HAM seperti yang terjadi di Pemkot Surakarta yaitu dengan relokasi yang layak melalui pendekatan personal dan tanpa kekerasan. Mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademik perguruan tinggi harus mampu berperan dalam mengahadapi masalah ini, diantaranya dengan melakuakn berbagai uapaya untuk perubahan paradigma baik dari masyarakat maupun pemerintah dan pembenahan regulasi tentang penataan PKL. B. Saran
1. Melalui media elektronik seperti facebook atau membuat blog dan

melalui responden dan komentar berupa saran pada pemerintah daerah 2. Melalui media cetak seperti pengiriman kajian mengenai cara-cara penggusuran yang tidak mengacu pada kekerasan
3. Melalui penyelenggaraan seminar-seminar tentang pendekatan personal

dalam proses penggusuran


4. Turut serta dalam proses penyuluhan

Anda mungkin juga menyukai