Anda di halaman 1dari 138

INDEKS NEGARA HUKUM

INDONESIA
2016
INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016
© Indonesia Legal Roundtable, 2017

Peneliti:
Erwin Natosmal Oemar
Andri Gunawan
Muhammad Indra Lesmana
Nabila
Yasmin Purba
Shahnaz Hani Sofi

Desain Sampul
Satudaun Graphic

Tata Letak
Geger Riyanto

Cetakan Pertama, September 2017


xxii + 100 hlm.: 17,5 x 25 cm
ISBN: 978-602-14057-8-9

Diterbitkan oleh:
Indonesia Legal Roundtable
Jl. Perdatam VI No. 6, Pancoran, Jakarta Selatan Telp. 021-7995069,
Faks. 021-7995069 Email: oce@ilr.or.id
INDEKS NEGARA HUKUM
INDONESIA
2016
DAFTAR ISI

Kata Pengantar Tahir Foundation xvii

Kata Pengantar Direktur Eksekutif


Indonesian Legal Roundtable xix

BAB I 1
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Landasan Konseptual 3
C. Tujuan 4
D. Struktur Laporan 4

BAB II
METODOLOGI 7
A. Tahapan Penyusunan Indeks 7
B. Penentuan Ahli 10
C. Metode Pembobotan 11
D. Skor 13
E. Profil Responden 13
F. Keterbatasan Penelitian 16

BAB III
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 17
A. Deskripsi Hasil Survei dan Dokumen 17
1. Ketaatan Pemerintah Terhadap Hukum 17
1.1. Tindakan/Perbuatan Pemerintahan
Sesuai dengan Hukum 19
1.2. Pengawasan yang Efektif 23
1.2.1. Pengawasan Parlemen 24
1.2.2. Pengawasan Pengadilan 25

v
1.2.3. Pengawasan Internal Pemerintah 26
1.2.4. Pengawasan Komisi Negara Independen 27
2. Legalitas Formal 28
2.1. Penyebarluasan Peraturan 30
2.2. Kejelasan Rumusan 32
2.3. Stabilitas Peraturan 35
3. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka 36
3.1. Independensi Hakim dalam Mengadili
dan Memutus Perkara 37
3.1.1. Independensi Hakim dalam Proses Persidangan 37
3.1.2. Independensi Hakim dalam Memutus Perkara 39
3.2. Independensi Hakim Terkait
Manajemen Sumber Daya Hakim 41
3.2.1. Manajemen Sumber Daya Manusia Hakim 41
3.2.2. Manajemen Pengawasan Hakim 42
3.3. Independensi Hakim Terkait
dengan Kebijakan Kelembagaan 45
3.3.1. Sarana-Prasarana dan Anggaran Pengadilan 46
3.3.2. Fasilitas Pengamanan dan Gaji Hakim 47
3.4. Independensi Hakim dari
Pengaruh Publik dan Media Massa 48
4. Akses Terhadap Keadilan 49
4.1. Keterbukaan Informasi 51
4.2. Peradilan yang Cepat dan Terjangkau 55
4.3. Ketersediaan Bantuan Hukum 58
5. Hak Asasi Manusia 63
5.1. Jaminan Hak atas Hidup 65
5.2. Jaminan atas Hak untuk Bebas dari Penyiksaan 67
5.3. Jaminan atas Hak untuk tidak Diperbudak 69
5.4. Jaminan Perlindungan atas Hak untuk
Tidak Dipenjara Akibat Kewajiban Kontraktual 71
5.5. Jaminan Perlindungan atas Hak untuk
tidak Dipidana atas Tindakan yang bukan Kejahatan 74
5.6. Jaminan Perlindungan atas Hak atas
Kebebasan Berpikir, Berkeyakinan dan Beragama 76
B. NILAI INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016 78

vi
BAB IV
ANALISIS 81
A. Analisis 81
1. Ketaatan Pemerintahan Terhadap Hukum 83
2. Prinsip Legalitas Formal 85
3. Prinsip Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka 87
4. Prinsip Akses Terhadap Keadilan 88
5. Prinsip Hak Asasi Manusia 89
B. Rekomendasi 91
1. Ketaatan Pemerintah Terhadap Hukum 91
2. Legalitas Formal 92
3. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka 93
4. Akses Terhadap Keadilan 93
5. Hak Asasi Manusia 93

Lampiran 95

Profil Peneliti 111

Profil Indonesian Legal Roundtable (ILR) 113

vii
viii
DAFTAR TABEL, DIAGRAM,
GRAFIK DAN BAGAN

Daftar Tabel
Tabel 2.1. Indikator Indeks Negara Hukum Indonesia 8
Tabel 2.2. Panduan Kualifikasi Ahli (Expert) 11
Tabel 2.3 Bobot Kelima Prinsip Negara Hukum 11
Tabel 3.1. Perbandingan Skor Provinsi Prinsip Ketaatan
Pemerintah Terhadap Hukum Tahun 2016 19
Tabel 3.2. Perbandingan Skor Provinsi Berdasarkan
Prinsip Legalitas Formal Tahun 2016 30
Tabel 3.3. Pandangan Ahli Terkait Akses Masyarakat
Perkotaan dan Pedesaan Terhadap UU dan
Perda Berdasarkan Sumber Resmi Tahun 2016
(dalam Persen) 31
Tabel 3.4. Tingkat Pemahaman Masyarakat terhadap
Rumusan Undang-Undang dan Peraturan
Daerah Provinsi Terkait Pilihan Kata atau
Istilah dan Bahasa Hukum yang Diterbitkan
Sepanjang Tahun 2016 (dalam persen) 32
Tabel 3.5. Implikasi/Praktik Hukum Ketidakjelasan
Rumusan Undang-Undang dan Peraturan
Daerah Terkait Pilihan Kata atau Istilah
dan Bahasa Hukum Sepanjang Tahun 2015
(dalam persen) 33
Tabel 3.6. Perbandingan Data Perkara yang Ditangani
oleh Mahkamah Konstitusi Tahun 2015 dan 2016 34
Tabel 3.7. Perbandingan Jenis Peraturan dan Jumlah
Permohonan Uji Materil ke Mahkamah
Agung RI Sepanjang Tahun 2015 dan 2016 34

ix
Tabel 3.8. Perbandingan Skor Provinsi Prinsip Kekuasaan
Kehakiman yang Merdeka Tahun 2016 37
Tabel 3.9. Kondisi Perkara di Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung
Sepanjang Tahun 2016 39
Tabel 3.10. Pandangan Ahli Terhadap Pihak yang
Paling Sering Mempengaruhi
Hakim Tahun 2016 40
Tabel 3.11. Perbandingan Skor Provinsi dalam
Indikator Independensi Hakim dalam
Memutus perkara Tahun 2016 41
Tabel 3.12. Tabel Hukuman Disiplin Terhadap Aparatus
Pengadilan yang Dijatuhkan Mahkamah Agung
Sepanjang Tahun 2016 43
Tabel 3.13. Pandangan Ahli Terkait Efektivitas
Pengawasan Hakim oleh MA
dan KY Tahun 2016 44
Tabel 3.14. Perbandingan Skor Provinsi dalam Indikator
Independensi Hakim Terkait Manajemen
Sumber Daya Hakim 45
Tabel 3.15. Perbandingan Pembangunan
Sarana dan Prasarana di Bawah Mahkamah
Agung Tahun 2015 dan 2016 46
Tabel 3.16. Perbandingan Skor Provinsi Terkait
Indikator Independensi Hakim Terkait
Kebijakan Kelembagaan 48
Tabel 3.17. Perbandingan Skor Indikator Independensi
Hakim dari Pengaruh Publik dan Media Massa 49
Tabel 3.18. Perbandingan Skor Provinsi Prinsip
Akses terhadap KeadilanTahun 2016 50
Tabel 3.19. Skor Indikator Keterbukaan Informasi
per Provinsi Tahun 2016 54
Tabel 3.20. Persentase Pendapat Ahli Terkait Proses
Peradilan yang Cepat tahun 2016 56
Tabel 3.20. Perbandingan Keadaan Perkara yang
Diterima Pengadilan tingkat pertama

x
di Empat (4) Lingkungan Peradilan Seluruh
Indonesia Tahun 2015-2016 56
Tabel 3.21. Rincian keadaan perkara yang Diterima Peradilan
Tingkat Pertama Seluruh Indonesia Tahun 2016 57
Tabel 3.22. Pandangan Ahli Terkait Keterjangkauan
Biaya Pengadilan (dalam persen) 2016 57
Tabel 3.23. Pandangan Ahli Terkait Keterjangkauan
Lokasi Pengadilan (dalam persen) 2016 58
Tabel 3.24. Daftar Peringkat Indikator Peradilan yang
Cepat dan Terjangkau per Provinsi 2016 58
Tabel 3.25. Data Layanan Posbakum di Peradilan
Umum Tahun 2014-2016 59
Tabel 3.26. Data Layanan Posbakum di Peradilan
Agama Tahun 2014-2016 60
Tabel 3.27. Data Layanan Posbakum Pengadilan
Tata Usaha Negara Tahun 2014-2016 60
Tabel 3.28. Layanan Pembebasan Biaya Perkara di Peradilan
Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan
Tata Usaha Negara Tahun 2014-2016 60
Tabel 3.29. Pandangan Ahli Ketersediaan Bantuan
Hukum Bagi Kelompok Rentan Tahun 2016 61
Tabel 3.30. Daftar Provinsi yang Memiliki
Perda Bantuan Hukum 62
Tabel 3.31. Daftar Peringkat Provinsi Berdasarkan
Indikator Ketersediaan Bantuan Hukum 2016 62
Tabel 3.32. Perbandingan Skor Provinsi Prinsip
Hak Asasi Manusia Tahun 2016 64
Tabel 3.33. Skor Prinsip dan Indikator serta Nilai
Indeks Negara Hukum Indonesia 2016 79
Tabel 4.1. Perbandingan Skor Masing-masing
Provinsi Tahun 2016 82

Daftar Diagram
Diagram 2.1 Komposisi Responden Berdasarkan
Jenis Kelamin (dalam persen) 14
Diagram 2.2 Demografi Responden Berdasarkan Rentang Usia 14

xi
Diagram 2.3 Demografi Responden Berdasarkan Profesi 15
Diagram 2.4 Komposisi Responden Berdasarkan
Tingkat Pendidikan 15
Diagram 3.1. Pandangan Ahli Terkait Tindakan/Perbuatan
Pemerintah Pusat di Bidang Penegakan
Hukum Tahun 2016 20
Diagram 3.2. Pandangan Ahli Terkait Tindakan/perbuatan
Pemerintah Provinsi Berdasarkan Peraturan
Perundang-Undangan yang Berlaku di Bidang
Pendidikan Tahun 2016 21
Diagram 3.3. Pandangan Ahli Terkait Tindakan/Perbuatan
Pemerintah Daerah Provinsi Sesuai dengan
Hukum dan Peraturan Perundang- undangan
yang Berlaku di Bidang Pertanahan dan
Lingkungan Hidup Tahun 2016 21
Diagram 3.4. Pandangan Ahli Terkait Tindakan/perbuatan
Pemerintah Daerah Provinsi di Bidang
Kehutanan Tahun 2016 22
Diagram 3.5. Pandangan Ahli Terkait Faktor yang Membuat
Tindakan Pemerintah Sejalan dengan Hukum
dan Peraturan Perundangan-undangan
yang Berlaku Tahun 2016 23
Diagram 3.6. Pandangan Ahli Terkait Kuantitas Penggunaan
Hak Angket DPRD Tahun 2016 24
Diagram 3.7. Pandangan Ahli Terkait Efektifitas
Mahkamah Agung dalam Menguji Peraturan
Perundangan di Bawah Undang-undang
Tahun 2016 25
Diagram 3.8. Pandangan Ahli Terkait Pengawasaan BPK
Terhadap Penggunaan Anggaran
Pemerintah Pusat Tahun 2016 26
Diagram 3.9. Pandangan Ahli Terkait Pengawasan
Presiden Terhadap Kejaksaan Tahun 2016 27
Diagram 3.10. Pandangan Ahli Terkait Efektifitas
Pengawasan Ombudsman RI Tahun 2016 28
Diagram 3.11. Pandangan Ahli Terkait Efektifitas
Pengawasan Komisi Kejaksaan Tahun 2016 28

xii
Diagram 3.12. Pandangan Ahli Terkait Ketersediaan Akses
yang Memadai Bagi Kelompok
Disabilitas Tahun 2016 32
Diagram 3.13. Sikap atau Perilaku Masyarakat yang
Mengalami Kesulitan Memahami Peraturan
Perundang-Undangan Tahun 2016 33
Diagram 3.14. Pandangan Ahli terkait Hakim Tidak
Berbelit-Belit Memeriksa Perkara dan Sesuai
dengan Jadwal Persidangan Tahun 2016 38
Diagram 3.15. Pandangan Ahli terkait Kebebasan Hakim
dari Pengaruh, Tekanan, dan/atau Intervensi
Pihak Manapun dalam Memutus
Perkara Tahun 2016 40
Diagram 3.16. Pandangan Ahli terkait Promosi dan
Mutasi Hakim Tahun 2016 42
Diagram 3.17. Pandangan Ahli Terkait Efektivitas
Pengawasan Hakim oleh MA dan KY 2016 45
Diagram 3.18. Pandangan Ahli Terkait Kapasitas
dan Integritas Panitera dalam Mendukung
Independensi Hakim 2016 46
Diagram 3.19. Pandangan Ahli Terkait Hak Keuangan
Hakim Tahun 2016 47
Diagram 3.20. Pandangan Ahli Terkait Jaminan
Keamanan Hakim Tahun 2016 47
Diagram 3.21. Pandangan Ahli Terkait Independensi
Hakim dalam Pemberitaan Media Massa 48
Diagram 3.22. Pandangan Ahli Apabila Masyarakat
Mengalami Masalah dalam Tahap Penyidikan
dan Melakukan Keberatan Direspon
dengan Baik Tahun 2016 52
Diagram 3.23. Pandangan Ahli Terkait Kemudahan
Masyarakat Mendapatkan Informasi pada
Tahap Penuntutan Tahun 2016 52
Diagram 3.24. Pandangan Ahli Apabila Masyarakat
Mengalami Masalah dalam Tahap Penuntutan
dan Melakukan Keberatan Direspon
dengan Baik Tahun 2016 53

xiii
Diagram 3.25. Pandangan Ahli Terkait Kemudahan
Mendapatkan Salinan Putusan Tahun 2016 54
Diagram 3.26. Pandangan Ahli Terkait Bantuan yang
Diberikan Negara Bagi Warga Negara
yang Berhak Tahun 2016 59
Diagram 3.27. Pandangan Ahli Terkait Penggunaan
Kekerasan yang Berlebihan (excessive use of force)
di Tingkat Nasional Tahun 2016 66
Diagram 3.28. Pandangan Ahli Terkait Penggunan
Kekerasan (excessive use of force) yang Berlebihan
oleh Kepolisian Tahun 2016 66
Diagram 3.29. Pandangan Ahli Peraturan
Perundang-Undangan dan Kebijakan di Provinsi
yang Membatasi Hak Bebas dari Penyiksaan
dan Penghukuman yang Tidak Manusiawi dan
Merendahkan Martabat Manusia Tahun 2016 68
Diagram 3.30. Pandangan Ahli Terkait Praktik
Penyiksaan, Penghukuman dan Perlakuan
yang Kejam di Tempat Penahanan
Kepolisian Tahun 2016 68
Diagram 3.31. Pandangan Ahli Terkait Pemaksaan dan
Ekspoitasi Kerja atas Diri Seseorang untuk
Pelunasan Utang Piutang di Provinsi Tahun 2016 69
Diagram 3.32. Pandangan Ahli Terkait Praktik Perbudakan
pada Sektor Mengamen/Mengemis/Mengasong
di Provinsi Tahun 2016 70
Diagram 3.33. Pandangan Ahli Terkait Praktik-praktik
Pemenjaraan Terhadap Orang Akibat Tidak
Memenuhi Kewajiban Kontraktual Tahun 2016 72
Diagram 3.34. Pandangan Ahli Terkait Upaya
Pemerintah/Penegak Hukum di Dalam
Mencegah Terjadinya Praktik Pemenjaraan
Orang Akibat Kewajiban Kontraktual 73
Diagram 3.35. Pandangan Ahli Terkait Ketersediaan
Peraturan Perundang-undangan dan
Kebijakan di Tingkat Nasional yang Menjamin

xiv
Hak untuk Tidak Dihukum atas Tindakan yang
Tidak Diatur Sebagai Kejahatan oleh
Hukum Nasional dan Internasional Tahun 2016 75
Diagram 3.36. Pandangan Ahli Terkait Efektifitas
Mekanisme Pemulihan bagi Korban Pelanggaran
terhadap Hak untuk Tidak Dipidana atas
Suatu Tindakan yang Bukan
Kejahatan Tahun 2016 76
Diagram 3.37. Pandangan Ahli Terkait Pelanggaran
terhadap Kebebasan Berpikir, Beragama dan
Berkeyakinan di tingkat Propinsi Tahun 2016 77
Diagram 3.38. Pandangan Ahli Terkait Aparat Penegak
Hukum Telah Secara Maksimal Mengusut,
Mengadili, dan Menghukum Pelaku
Pelanggaran Tahun 2016 78

Daftar Grafik
Grafik 4.1. Tren Nilai Indeks Negara Hukum 2012-2016 82

Daftar Bagan
Bagan 3.1. Pemeriksaan Laporan Masyarakat
di Komisi Yudisial Tahun 2016 44

xv
KATA PENGANTAR
TAHIR FOUNDATION

Negara Indonesia adalah negara hukum, telah menjadi postulat penting


yang tertuang dalam teks kontitusi UUD 1945. Itu artinya, Indonesia
berkomitmen bahwa negara hukum sebagai sebuah preposisi yang dii-
dealisasikan hendak dicapai itu harus selalu diupayakan dan ditegakkan
secara konsisten. Hal ini menegaskan, Indonesia menghendaki hukum
sebagai penglima atau garda terdepan dalam menyelesaikan segala per-
solaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Indonesia
tidak menginginkan munculnya ketidaktertiban, khaos atau anarki yang
bisa menjauhkan dirinya dari negara yang bermartabat dan beradab.
Bahkan terjerembab ke dalam negara gagal (failed states).
Berbagai upaya tentu harus dilakukan dan dikreasikan, untuk terus
menjaga dan merawat negara hukum Indonesia. Selain komitmen
penegakkan negara hukum yang harus ditunjukkan oleh elemen dan
aktor negara, inisiatif-inisiatif yang bernas dari berbagai kalangan ma-
syarakat harus tetap ada dan didukung. Karena selain sebagai bentuk
partisipasi, juga merupakan wujud kontrol dari masyarakat agar negara
senantiasa patuh dan konsisten menjalankan dan menegakkan hukum.
Keduanya, negara dan masyarakat harus bisa berjalan seiring, saling
menguatkan dan mengembangkan negara hukum Indonesia ke arah
yang lebih baik.
Indeks Negara Hukum Indonesia (INHI) yang dilakukan oleh
Indonesian Legal Rountabel (ILR) ini adalah satu satu bentuk nyata
inisiatif dari masyarakat untuk mengukur pelaksanaan negara hukum
Indonesia. Melalui proses penelitian, survei ahli dan dokumen ser-
ta analisanya, INHI menjelaskan bagaimana prinsip-prinsip negara
hukum di Indonesia itu diterapkan. Hasilnya adalah penilaian dan
rekomendasi yang diharapkan bermanfaat bagi pengambil kebijakan

xvii
negara, dan berdampak siginifikan bagi perbaikan-perbaikan negara
hukum Indonesia.
INHI 2016 ini merupakan tahun kelima, sejak dilakukan tahun
2012. Selama ini kami, Tahir Foundation terus mendukung dan be-
kerjasama dengan ILR dalam melakukan INHI ini. Hal ini sebagai
wujud komitmen kami, untuk membantu dan mendukung berbagai
pihak dalam upaya perbaikan dan kemajuan di berbagai bidang Kami
juga apresiasi dan turut berbangga hati atas hasil yang telah dicapai
dalam laporan penelitian INHI 2016. Kami ucapkan selamat kepada
ILR, semoga hasil INHI 2016 dapat membuka inspirasi, memperbaiki
sistem dan penegakan hukum, serta menjadikan bangsa dan negara
Indonesia menjadi lebih adil, sejahtera, beradab, maju dan hebat di
masa-masa yang akan datang.

Dato Sri Prof. Dr Tahir MBA


Ketua Yayasan Tahir Foundation.

xviii
KATA PENGANTAR
Direktur Eksekutif Indonesian Legal Roundtable

Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam membaca indeks negara
hukum tahun 2016. Pertama, informasi dalam indeks ini sudah dapat
dijadikan alat ukur yang agak utuh dalam membaca dan mengevalu-
asi sejauh mana prinsip-prinsip negara hukum telah dijalankan oleh
Pemerintah Jokowi-Kalla. Kedua, adanya predikat “negara hukum
yang masih stagnan namun secara substantif menunjukan perbaikan”
sebagaimana yang dinyatakan dalam kesimpulan indeks ini.
Untuk poin pertama, akhirnya kita punya peta yang cukup kohe-
ren mengukur sejauh mana agenda dan janji reformasi hukum yang
dikampanyekan oleh Jokowi-Kalla dalam pemilu lalu. Masa bakti dua
tahun sebenarnya waktu yang sangat cukup untuk menjustifikasi arah
kebijakan pembangunan hukum, yang sedang dan akan, dilakukan
pemerintah sekarang.
Nilai indeks negara hukum 2016 sebesar 5,31, atau turun 0,01 poin
dari tahun sebelumnya. Hal ini menunjukan bahwa pemerintah seka-
rang tidak memiliki perhatian yang cukup besar terhadap pembangun-
an hukum. Padahal, janji manis reformasi hukum merupakan salah
satu tawaran yang paling mengiurkan dan pembeda dengan kandidat
lain dalam pemilu yang lalu.
Membaca tren dalam dua tahun terakhir, 2014-2016, terlihat bahwa
pergerakan rerata nilai indeks hanya bergeser 0,13 poin setiap tahun.
Pertanyaannnya, berapa tahun lagi yang dibutuhkan oleh pemerintah
untuk membangun hukum Indonesia sesuai dengan standar negara-
-negara yang sudah “mapan” jika kemapanan itu diasumsikan mem-
punyai nilai 6?
Hitungan saya, dengan melihat rerata tren dua tahun terakhir, maka
setidaknya diperlukan sekitar 5-6 tahun lagi untuk mencapai standar
minimal tersebut. Itu pun dengan catatan menunjukan tren yang selalu

xix
positif. Pertanyaan lebih lanjut: bagaimana jika hasil temuan indeks
menunjukan grafik yang tidak linier sebagaimana yang terjadi pada
tahun sekarang?
Tentu saja tidak ada kata instan dalam membangun hukum Indo-
nesia. Namun, setidaknya ada kebijakan yang jelas dan terukur apa
yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk menjawab permasalahan
hukum dan keadilan yang tidak terselesaikan sejak Reformasi, seperti
penyelesaian sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu
dan revitalisasi sejumlah institusi penegak hukum agar berjalan dengan
optimal.
Pada titik inilah, indeks negara hukum ini menjadi relevan sebagai
stetoskop kita bersama dalam mendeteksi apa yang sedang terjadi dan
memprediksi celah-celah sistem hukum apa yang harus ditambal dan
diperbaiki ke depan, entah berupa disfungsi kelembagaan atau terpi-
sahnya antara hukum dengan rasa keadilan yang berkembang di dalam
masyarakat.

***

Terkait poin kedua, kesimpulan indeks memberikan predikat bahwa


pengejawantahan negara hukum Indonesia sepanjang tahun 2016 ma-
sih stagnan namun secara substantif menunjukan grafik yang membaik.
Disebut stagnan, karena sulit untuk memberikan label apa yang pas
dengan margin nilai yang hanya 0,01 poin. Pada sisi lain, terdapat ka-
bar yang cukup baik, bahwa beberapa prinsip substantif yang memiliki
derajat bobot yang besar menunjukan perbaikan.
Ada dua prinsip yang menunjukan perbaikan, yaitu: prinsip ketaatan
pemerintah terhadap hukum dan prinsip hak asasi manusia. Kedua
prinsip itu memiliki bobot yang signifikan (50 persen) dalam indeks
negara hukum, karena berdasarkan teori negara hukum, dua prinsip
itu merupakan prinsip minimal yang harus ada.
Sulit kita bicara tentang negara hukum tanpa berlandaskan pada
hak asasi manusia dan tidak patuhnya penyelenggara negara terhadap
aturan (rule) yang telah disepakati. Oleh karena itu, kita menjadi mah-
fum bahwa peneliti kemudian memberikan kesimpulan nilai indeks
negara hukum tahun 2016 stagnan namun menunjukan arah yang

xx
lebih substantif dalam pendalaman prinsip-prinsip negara hukum yang
dilakukan oleh negara.
Pertanyaan selanjutnya, apa yang harus dilakukan oleh negara? Saya
rasa itu pertanyaan kunci yang harus dinisbatkan kepada pemerintah
sekarang. Saya melihat bahwa rekomendasi pada tahun lalu dan tahun
sekarang tidak banyak jauh berbeda. Misalnya dalam salah satu reko-
mendasi prinsip ketaatan negara hukum soal perlunya suatu lembaga
yang mengharmonisasi pelbagai peraturan perundang-undangan yang
saling tumpang tindih.
Rekomendasi yang disampaikan itu merupakan ide lama, namun
masih sangat relevan untuk terus disuarakan. Masalahnya, kenapa
rekomendasi semacam itu tetap ada. Banyak jawaban yang bisa diberi-
kan. Namun, yang pasti, bisa disimpulkan bahwa hal itu tidak menjadi
perhatian yang utama dari pemerintah.
Pada tahun 2016 lalu, pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan
kebijakan deregulasi sejumlah aturan yang terkait penanaman modal.
Namun, tentu saja, kebijakan itu hanya kebijakan sektoral. Poinnya,
kenapa hanya di bidang ekonomi? Kenapa tidak di sektor yang lain,
misalnya mendorong reformasi KUHAP dan RUU Jabatan Hakim.
Padahal, dua isu tersebut mempunyai multiplyer effect dalam mem-
perbaiki wajah hukum dan peradilan di Indonesia. Pembaharuan KU-
HAP sebagai aturan main dalam proses peradilan dapat meminimalisir
penyalahgunaan kekuasaan aparatus hukum dan mempertajam pengu-
atan hak asasi manusia. Demikian juga dengan RUU Jabatan Hakim
yang diharapkan dapat menjadi jawaban permasalahan peradilan yang
tidak kunjung selesai.
Dua tahun adalah masa yang cukup bagi pemerintah untuk tidak
bermain-main dengan waktu. Pemerintah perlu diingatkan bahwa
kepentingan publik tidak hanya soal ekonomi, namun juga soal keadil-
an. Itu dua hal yang berkorelasi namun jelas tidak sama. Pemerintah
jangan salah berasumsi bahwa dengan membangun ekonomi otomatis
akan memberikan keadilan bagi masyarakat. Pertanyaannya, untuk
masyarakat yang mana?

Jakarta, 24 Agustus 2017


Prof. Dr. Todung Mulya Lubis SH, LLM

xxi
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sulit dibantah bahwa negara hukum (rule of law/rechtstaat) merupakan
salah satu isu utama dalam perbincangan global saat ini –sebagaimana
yang terlihat dalam pertemuan sejumlah pemimpin dan kepala negara
dalam Declaration of High-Level Meeting of The General Assembly On
The Rule of Law at The National and International Level pada 24 Sep-
tember 2012 di New York yang berkomitmen mempromosikan negara
hukum. Pasca berakhirnya Perang Dingin, dukungan dan komitmen
terhadap ide negara hukum disampaikan oleh berbagai pemimpin
negara dari sistem politik yang berbeda -termasuk negara-negara yang
dulunya dikenal menolak ide demokrasi dan hak asasi.
Seperti yang berlangsung pada tingkat global, secara normatif Indo-
nesia juga memiliki komitmen yang kuat untuk membangun negara
hukum. Istilah negara hukum kemudian dicantolkan dalam konstitusi
Indonesia: sebagaimana yang terlihat dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945
yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Setelah
hampir tidak dipraktekan selama tiga puluh dua tahun di masa peme-
rintahan otoriter Orde Baru, konsep atau ide negara hukum kembali
didengungkan pada masa Reformasi. Dimulai sejak pemerintahan sing-
kat B.J. Habibie, berbagai legislasi nasional yang menjamin kebebasan
berpendapat dan berorganisasi, diundangkan. Bersamaan dengan itu,
lembaga-lembaga yang berkarakter opresif dibubarkan yang diikuti de-
ngan pembentukan lembaga-lembaga negara penunjang yang sebagian
berfungsi sebagai pengawas (watch dog) jalannya pemerintahan.
Namun, pemberlakuan legislasi dan pembentukan lembaga-lem-
baga negara penunjang tidak menunjukan bahwa ide negara hukum
sedang dijalankan di Indonesia. Dengan kata lain, sistem hukum tidak
berfungsi dengan baik. Lembaga-lembaga negara penunjang yang

1
2 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

dibentuk saling tumpang tindih dan bahkan berkonflik satu sama


lain. Koordinasi antarlembaga tersebut lemah sehingga menyebabkan
implementasi hukum menjadi tidak efektif. Akibatnya, iregularitas
berlangsung dengan frekuensi yang terbilang sering. Kondisi tersebut 1

mendatangkan ketidakpastian bagi pencari keadilan, masyarakat dan


pelaku ekonomi. Pada saat yang sama, sebagian masyarakat menjadi
korban tindakan penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara ne-
gara baik karena menyuarakan pendapat atau mempertahankan harta
benda (property).
Masih terus berlangsungnya keluhan dan protes oleh masyarakat si-
pil dan pelaku ekonomi akibat tidak berfungsinya sistem hukum secara
baik mendorong sejumlah kalangan, termasuk para kandidat dalam
pemilihan umum legislatif dan presiden pada tahun 2014, menyerukan
perlunya kembali menyematkan identitas sebagai negara hukum pada
Indonesia. Usulan penyematan kembali identitas negara hukum me-
nandakan bahwa amanat konstitusi agar kehidupan bernegara diseleng-
garakan berdasarkan ide negara hukum belum sepenuhnya dijalankan.
Keperluan mewujudkan amanat konstitusional tersebut sesegera
mungkin tidak lepas dari absennya upaya tersebut selama pemerin-
tahan Orde Baru. Kebutuhan untuk itu semakin besar setelah era
reformasi berjalan hampir dua dekade. Jadi sebagai negara yang pernah
mempraktekan kekuasaan absolut selama lebih dari tiga dekade dan
hampir dua dekade terakhir membangun sistem dengan pengawasan
yang kuat terhadap penyelenggaraan kekuasaan, ide negara hukum
sangat penting. Bukan hanya soal bagaimana mewujudkannya, namun
juga menyangkut berkembangnya pemahaman yang baik mengenai
ide tersebut.
Distribusi kewenangan dari pemerintah pusat ke unit pemerintahan
yang lebih rendah dan bahkan kepada komunitas-komunitas otohton,
dalam bentuk desentralisasi, lebih memungkinkan bagi perwujudan
ide negara hukum. Kekuasaan yang tersebar mencegah terjadinya
absolutisme di satu sisi dan memungkinkan rakyat untuk mengontrol
penggunaan kekuasaan (power exercise) di sisi yang lain. Namun, penye-
lenggaraan desentralisasi dalam sistem sosial yang masih ditopang oleh

1 Todung Mulya Lubis (2014), ’Recrowning Negara Hukum: A New Challange, A New Era.’
Policy paper, Center for Indonesian Law, Islam and Society, Melbourne Law School, University
of Melbourne.
PENDAHULUAN 3

jaringan patronase, bisa mengancam keberlangsungan negara hukum. 2

Kekuasaan bisa jadi tidak lagi absolut namun praktek penyalahgunaan


kekuasaan oleh kekuasaan-kekuasaan yang sudah terdistribusi, masih
bisa berlangsung terus. Setiap ancaman pada negara hukum dalam
penyelenggaraan negara merupakan alasan untuk memikirkan ide ini
karena menyangkut amanat konstitusi dan harkat dan martabat (dig-
nity) semua orang yang tinggal di Indonesia.

B. LANDASAN KONSEPTUAL
Meski negara hukum adalah tujuan universal, namun seperti yang
dikatakan Andrei Marmor, secara konseptual gagasan “negara hukum”
sangat rumit dan membingungkan. Sampai saat ini para sarjana (aca-
3

demic scholars) belum menemukan kata sepakat terkait prinsip-prinsip


umum yang terkandung di dalamnya –karena berbicara tentang nega-
ra hukum mempunyai korelasi yang erat dengan karakteristik setiap
negara.
Tentu saja terdapat tantangan dalam merumuskan prinsip-prinsip
yang relevan untuk mengukur ketaatan suatu negara dalam meng-
implementasikan ide negara hukum di suatu negara –dalam hal ini
termasuk Indonesia, namun juga tidak menutup kemungkinan terdapat
sebuah jalan untuk merumuskannya. Berangkat dari hal tersebut, ILR
menawarkan sebuah tawaran alat analisis – dalam hal ini prinsip-prin-
sip negara hukum- yang relevan untuk dipertimbangkan sebagai acuan.
Menurut ILR, dalam perbincangan tentang negara hukum, hampir
dipastikan terdapat lima prinsip utama, yaitu: ketaatan pemerintah
terhadap hukum; legalitas formal; kekuasaan kehakiman yang mer-
deka; akses terhadap keadilan; dan penghormatan, perlindungan dan
pemenuhan hak asasi manusia. Kelima prinsip itu didapatkan dengam
menarik benang merah dari perdebatan konseptual beberapa sarjana
hukum terkemuka yang mengemukakan pandangannya tentang negara
hukum. 4

2 Gary Goodpaster (1999), ‘The Rule of Law, Economic Development and Indonesia’, dalam
Timothy Lindsey, Indonesia: Law and Society. Sidney: The Federation Press.
3 Andrei Marmor, The Ideal of The Rule of Law, USC Legal Studies Research Paper Series,
2008.
4 Lihat Indeks Persepsi Negara Hukum 2012, Indonesian Legal Roundtable, Jakarta, 2013.
Beberapa sarjana dan lembaga terkemuka yang diambil sebagai perbandingan adalah M Sc-
4 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Ikhtiar dalam menyusun indeks negara hukum ini adalah upaya


yang kelima kalinya yang dilakukan oleh ILR, yang dimulai sejak tahun
2012. Sejak tahun 2014, ILR sudah mulai memantapkan substansi
dan metodologi pengukuran ide negara hukum. Ada pun perubahan
INHI 2015 dengan tahun sebelumnya, terletak dari jumlah provinsi
yang diassesmen: dari jumlah lokasi penyelenggaraan survei 18 provinsi
(tahun 2014) menjadi 20 provinsi. Tidak berbeda dengan indeks tahun
lalu, indeks 2016 ini menggunakan survei ahli (expert survei) dan pe-
ngumpulan dokumen sebagai metode pengumpulan data.

C. TUJUAN
ILR mengharapkan bahwa laporan indeks ini dapat menyajikan
gambaran dan analisis yang bermutu terkait pemenuhan prinsip-prinsip
negara hukum di Indonesia. Meski demikian, secara praktis, indeks
negara hukum ini bertujuan untuk:
1. Mengukur sejauh mana ketaatan negara Indonesia dalam mene-
rapkan prinsip-prinsip negara hukum.
2. Mengamati secara gradual perkembangan pemenuhan prinsip-
-prinsip negara hukum di Indonesia.
3. Menjadi salah satu dokumen yang relevan untuk dijadikan per-
timbangan bagi para pengambil kebijakan dan pihak-pihak yang
berkepentingan dalam menerapkan dan mengadvokasi prinsip-
-prinsip negara hukum.

D. STRUKTUR LAPORAN
Agar lebih memudahkan pembaca dalam memahami, laporan ini
diorganisasikan dalam empat bab, yaitu:
Bab 1, Pengantar. Bab ini mendeskripsikan latar belakang dan
signifikansi negara hukum di Indonesia serta tujuan dan struktur
penyajian laporan.
Bab 2, Metodologi. Bab ini mendeskripsikan cara dan tahapan
penyusunan indeks. Bab ini juga memaparkan kualifikasi ahli

heltema, Joseph Raz, Rachel Kleinfeld Belton, Brian Z Tamanaha, Jimly Asshidiqqie, dan The
International Commission of Jurist (ICJ).
PENDAHULUAN 5

(expert), sebaran ahli berdasarkan geografis, metode pembobotan,


dan keterbatasan penelitian.
Bab 3, Temuan dan Nilai. Bab ini mendeskripsikan hasil temu-
an survei ahli dan pengumpulan dokumen yang digambarkan
dalam bentuk narasi, angka, nilai indeks, dan kasus-kasus yang
mendapat perhatian publik sepanjang tahun 2016. Di akhir bab
ini, juga dapat ditemukan hasil akhir keseluruhan nilai indikator
dan prinsip negara hukum yang telah dikonversi dengan nilai
bobot masing-masing prinsip.
Bab 4, Analisis. Bab ini mendeskripsikan analisa terkait temuan
tiap-tiap prinsip negara hukum sebagaimana yang dinarasikan
dalam Bab 3 dan sejumlah rekomendasi terhadap analisa yang
telah dilakukan.
BAB II

METODOLOGI

Bab ini mendeskripsikan tahap-tahap penyusunan indeks, metode


penentuan ahli, metode pembobotan prinsip negara hukum, profil
responden, dan keterbatasan penelitian.

A. TAHAPAN PENYUSUNAN INDEKS


Tahapan penyusunan indeks meliputi: (1) pendalaman relevansi
prinsip- prinsip negara hukum; (2) pengorganisasian ulang indikator
prinsip; (3) penyesuaian metodologi dengan ketersediaan sumber daya;
(4) penyusunan daftar dokumen; (5) menurunkan indikator ke dalam
pertanyaan-pertanyaan; (6) melakukan survei ahli dan mengumpulkan
dokumen; (7) pengkuantifikasian dan penilaian kuesioner dan doku-
men; (8) penggabungan hasil temuan kuesioner dengan dokumen; (9)
menjumlahkan nilai semua prinsip dan mengonversikannya dengan
proporsi bobot setiap prinsip; dan (10) menjumlahkan nilai setiap
prinsip.
Tahap pertama, pendalaman relevansi prinsip-prinsip negara hu-
kum, dilakukan dengan mendiskusikan perkembangan discourse me-
ngenai negara hukum. Diskusi tersebut diperlukan untuk memastikan
bahwa prinsip-prinsip negara hukum yang digunakan dalam indeks ini
masih merupakan prinsip yang diakui secara universal. Hasil diskusi
menghasilkan kesepakatan bahwa kelima prinsip yang dipakai sejak
indeks 2012 masih relevan, dan karena itu dipertahankan. Kelima
prinsip tersebut adalah:
• Ketaatan Pemerintah Terhadap Hukum (Prinsip 1)
• Legalitas Formal (Prinsip 2)
• Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka (Prinsip 3)
• Akses terhadap Keadilan (Prinsip 4), dan
• Hak Asasi Manusia (Prinsip 5)

7
8 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Tahap kedua, dilakukan dengan mengorganisir ulang indikator


kelima prinsip. Kelima prinsip sebagai yang dijelaskan dalam tahap
pertama diturunkan menjadi indikator. Setiap prinsip belum tentu me-
miliki jumlah indikator yang sama. Misalnya, prinsip legalitas formal,
yang memiliki tiga indikator. Sedangkan prinsip Hak Asasi Manusia
memiliki enam indikator.
Dalam Indeks 2015 ini, tidak ada perubahan indikator yang digu-
nakan dari tahun sebelumnya (2014). Keseluruhan indikator masing-
-masing prinsip dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 2.1. Indikator Indeks Negara Hukum Indonesia


No. Prinsip Indikator
1 Ketaatan Pemerintah1 Perbuatan/Tindakan Pemerintah Berdasarkan
Terhadap Hukum Hukum
Pengawasan yang Efektif
2 Legalitas Formal Penyebarluasan Peraturan
Kejelasan Rumusan Peraturan
Stabilitas Peraturan
3 Independensi Kekuasan Independensi Hakim dalam Mengadili dan
Kehakiman Memutus Perkara
Independensi dalam Manajemen Sumber Daya
Hakim
Independensi dalam Kebijakan Kelembagaan
Independensi Terhadap Pengaruh Publik dan
Media Massa
4 Akses Terhadap Keadilan Keterbukaan Informasi
Peradilan yang Cepat dan Terjangkau
Ketersedian Bantuan Hukum
5 Hak Asasi Manusia Jaminan Hak atas Hidup
Jaminan atas Hak untuk Bebas dari Penyiksaan
Jaminan atas Hak untuk Tidak Diperbudak
Jaminan atas Hak untuk Tidak Dipenjara
berdasarkan Kewajiban Kontraktual
Jaminan atas Hak untuk Tidak Dihukum atas
Tindakan yang Bukan Kejahatan
Jaminan Hak atas Kebebasan untuk Berpikir,
Beragama dan Berkeyakinan

1 Dalam tahun ini, ILR kemudian merumuskan ulang pengunaan terminologi “pemerintahan
berdasarkan hukum”. Sejak Indeks 2012 sampai dengan Indeks 2015, untuk prinsip pertama,
ILR selalu menggunakan istilah “pemerintahan berdasarkan hukum” sebagai terjemahan dari
“Government Limited by Law”. Untuk menghindari kebingunan sebagian kalangan terhadap
hal tersebut, ILR kemudian lebih prefer untuk menggunakan istilah “Ketaatan Terhadap
Hukum”. Pengantian istilah itu tidak berimplikasi terhadap konsep dan indikator yang telah
dibangun sebelumnya.
METODOLOGI 9

Tahap ketiga, penyesuaian metodologi dengan ketersediaan sumber


daya. Penelitian dilakukan dengan metode survei ahli dan pengumpul-
an dokumen dilakukan di dua puluh (20) provinsi. Selain melakukan
pengumpulan dokumen di 20 provinsi, pengumpulan dokumen juga
dilakukan di tingkat nasional berupa dokumen-dokumen yang dikelu-
arkan lembaga negara dan pemerintah yang berkedudukan di ibu kota.
Dua puluh provinsi dipilih berdasarkan kriteria: keterwakilan regio-
nal dan ketersediaan ahli (expert) & dokumen. Dengan menggunakan
kriteria tersebut maka 20 provinsi yang dipilih adalah: Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, DKI, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sula-
wesi Utara, Bali, NTT, NTB, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Maluku dan Papua.
Tahapan keempat, penyusunan daftar dokumen berdasarkan indika-
tor. Penentuan dokumen yang digunakan berdasarkan pada indikator
atau subindikator, bukan pada pertanyaan. Misalnya, indikator inde-
pendensi hakim dalam prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka,
dokumen yang diperlukan adalah dokumen yang menyediakan infor-
masi terkait independensi hakim. Dokumen yang menyediakan infor-
masi tersebut seperti laporan tahunan pengadilan tinggi di lingkungan
peradilan umum, agama dan tata usaha negara. Dokumen lainnya
adalah laporan pemantauan kinerja hakim oleh masyarakat sipil.
Tahapan kelima, adalah menurunkan indikator ke dalam perta-
nyaan-pertanyaan. Jumlah pertanyaan untuk masing-masing indikator
bervariasi. Sekedar menyebut contoh, pertanyaan untuk indikator
perlindungan hak atas hidup dalam prinsip HAM berjumlah 15 perta-
nyaan. Sementara pertanyaan untuk indikator jaminan perlindungan
atas hak untuk tidak dihukum atas tindakan bukan kejahatan dalam
prinsip yang sama (prinsip HAM), hanya 3 pertanyaan. Sebagian besar
pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang dapat diindekskan,
namun sebagian kecil tidak dapat (diendekskan).
Tahap keenam, melakukan survei ahli dan mengumpulkan doku-
men. Satu provinsi memiliki satu orang enumerator. Sebelum me-
ngumpulkan data, enumerator di 20 provinsi tersebut telah dibekali
pengetahuan mengenai teknik survei dan pengumpulan dokumen
dalam pertemuan yang berlangsung selama dua hari. Enumerator
melakukan survei dengan mengadakan wawancara tatap muka dengan
10 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

para ahli terpilih. Adapun pengumpulan dokumen dilakukan dengan


cara mendapatkan dokumen-dokumen yang terdapat dalam daftar yang
sudah disediakan oleh ILR. Dokumen didapatkan dari internet, kantor
LSM dan kantor pemerintah.
Tahap ketujuh, adalah menguantifikasi dan menilai kuesioner
dan dokumen. Penilaian terhadap kuesioner didasarkan pada derajat
jawaban masing-masing ahli terhadap pertanyaan yang diajukan. Se-
mua pertanyaan menggunakan derajat jawaban berdasarkan koefisien
2 (dengan ukuran 0-10), dengan 5 tingkatan. Sedangkan penilaian
terhadap dokumen berdasarkan pada penilaian (judgment) peneliti
terhadap kualitas dokumen. Interval koefisien penilaian setiap doku-
men adalah 2,5. Artinya, penilian terhadap dokumen dinilai dengan
kualitas: 0-2,5=tidak memadai; 2,6-5=kurang memadai; 5,1-7,5= cukup
memadai; 7,6-10=memadai.
Tahap kedelapan adalah penggabungan hasil temuan kuesioner
dengan dokumen. Setelah peneliti menguantifisir nilai kuisioner, se-
mua nilai yang telah dihasilkan di setiap pertanyaan dijumlahkan pada
tingkat indikator. Demikian juga dengan penilaian terhadap dokumen:
setelah dinilai, hasilnya dijumlahkan pada tingkat indikator. Nilai kese-
luruhan kuesioner dan dokumen setiap indikator digabung. Hasil dari
pengabungan itulah yang kemudian disebut dengan nilai indikator.
Tahap kesembilan adalah menjumlahkan nilai semua prinsip dan
mengonversinya dengan proporsi bobot setiap prinsip. Nilai setiap
prinsip diperoleh dari gabungan nilai indikator (setiap prinsip) dibagi
dengan jumlah indikator yang digabung. Nilai setiap prinsip kemudian
dikonversi berdasarkan jumlah bobot yang sudah ditentukan.
Tahapan kesepuluh sebagai tahapan penutup, dengan menjum-
lahkan nilai semua prinsip yang dikonversi berdasarkan nilai bobot.
Jumlah nilai semua prinsip inilah yang disebut sebagai nilai indeks
negara hukum.

B. PENENTUAN AHLI
Kredibilitas ahli (expert) yang menjadi responden merupakan salah
satu indikator utama dari kehandalan indeks ini. Oleh karena itu,
penentuan ahli didasarkan pada kualifikasi tertentu. Selain dari segi
proses, penentuan ahli dilakukan dengan berkonsultasi dengan para
METODOLOGI 11

enumerator yang dianggap memiliki pengetahuan yang baik terkait


nama-nama yang layak direkomendasikan dan dipilih menjadi ahli.
Para ahli berlatar belakang akademisi, praktisi hukum atau aktivis ke-
masyarakatan. Tabel berikut berisi kualifikasi untuk memilih ahli yang
dibedakan menurut latar belakang.

Tabel 2.2. Panduan Kualifikasi Ahli (Expert)


No Profesi Kualifikasi
1 Akademisi • Pendidikan formal adalah sarjana hukum atau sarjana sosial/
politik, diutamakan yang sudah memiliki gelar strata dua.
• Mengampu mata kuliah yang sesuai dengan salah satu
prinsip negara hukum dengan pengalaman minimal 10
tahun.
• Tidak sedang menjabat sebagai tenaga ahli di pemerintahan.
• Tidak sedang menjalankan program pemerintah terkait
dengan salah satu prinsip negara hukum.
2 Praktisi Hukum • Berpengalaman menjalankan profesinya minimal 10 tahun.
• Tidak sedang menjabat sebagai tenaga ahli di pemerintahan.
• Tidak sedang menjalankan program pemerintah terkait
dengan prinsip negara hukum yang ditanyakan.
• Tidak sedang menangai kasus yang terkait dengan prinsip
negara hukum yang ditanyakan.
3 Aktivis • Berpengalaman sebagai aktivis kemasyarakatan minimal
kemasyarakatan 7 tahun yang relevan dengan prinsip negara hukum yang
ditanyakan.
• Tidak sedang menjabat sebagai tenaga ahli di pemerintahan.
• Tidak sedang menjalankan program pemerintah yang terkait
dengan prinsip negara hukum yang ditanyakan.

C. METODE PEMBOBOTAN
Bagian ini memaparkan nilai bobot yang diberikan pada masing-masing
prinsip negara hukum disertai penjelasan logis dibalik pemberian nilai
bobot tersebut. Nilai bobot masing-masing kelima prinsip tersebut
dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2.3 Bobot Kelima Prinsip Negara Hukum


Prinsip Nilai Bobot
Pemerintahan Berdasarkan Hukum 25
Legalitas Formal 10
Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka 25
Akses terhadap Keadilan 15
Pengakuan, Perlindungan dan Pemenuhan HAM 25
12 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Prinsip ketaatan pemerintah terhadap hukum, prinsip kekuasaan ke-


hakiman yang merdeka dan prinsip HAM berkedudukan sentral bagi
tiga elemen negara hukum. Prinsip ketaatan pemerintah terhadap
hukum sangat sentral bagi elemen prosedural. Prinsip yang dikenal
juga dengan nama legalitas ini merupakan prinsip yang paling awal
dalam perbincangan konsep negara hukum. Prinsip tersebut mengawali
kontrol terhadap kekuasaan dengan mensyaratkan bahwa kekuasaan
harus dijalankan berdasarkan hukum; bukan berdasarkan perintah atau
perkataan penguasa. Sedemikian pentingnya prinsip pemerintahan
berdasarkan hukum, sehingga ia ditempatkan sebagai prinsip minimal
negara hukum. Dengan kata lain, sebuah negara dapat dikategorikan
atau mengklaim dirinya sebagai negara hukum, apabila negara tersebut
hanya memenuhi prinsip tersebut.
Sementara itu prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka sentral
bagi elemen mekanisme kontrol. Prinsip kekuasaan kehakiman yang
merdeka merupakan prinsip yang memungkinkan mekanisme check
and balance bisa berjalan. Prinsip tersebut akan mengontrol sekaligus
memastikan sejauh mana kekuasaan legislatif dan eksekutif sudah me-
matuhi prinsip-prinsip negara hukum. Dengan kata lain, prinsip keku-
asaan kehakiman yang merdeka hadir untuk memastikan dipenuhinya
indikator-indikator lain dari negara hukum.
Adapun prinsip HAM sentral bagi elemen substantif. Prinsip ini
merupakan satu-satunya representasi dari elemen substantif negara
hukum. Prinsip tersebut memberi sentuhan kualitas pada negara
hukum karena berkaitan dengan dampak yang dirasakan oleh warga
negara selaku objek sekaligus penerima manfaat dari penyelenggaraan
kekuasaan. Dikatakan menyangkut substansi, karena prinsip tersebut
berkedudukan sebagai ukuran sekaligus tujuan negara hukum. Se-
bagai ukuran dan tujuan, prinsip tersebut berperan menjaga negara
hukum tidak jatuh ke dalam otoritarianisme dengan penyalahgunaan
kewenangan sebagai aksentuasinya. Atas dasar penjelasan-penjelasan
di atas, maka ketiga prinsip tersebut masing-masing mempunyai bobot
sebesar 25 poin.
Dari segi waktu, prinsip akses terhadap keadilan berkembang lebih
belakangan dari prinsip legalitas formal. Sekalipun demikian, laporan
ini memberikan bobot yang lebih tinggi pada prinsip akses terhadap ke-
adilan, yaitu 15 poin. Argumen pokoknya adalah karena prinsip tersebut
METODOLOGI 13

mengandung orientasi mengontrol penyelenggaraan kekuasaan yang


relatif lebih tinggi. Sama dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang
merdeka, prinsip akses terhadap keadilan memungkinkan koreksi dan
kontrol terhadap penyelenggaraan kekuasaan. Alasan lainnya adalah
prinsip akses terhadap keadilan juga mengandung elemen substantif
karena bertujuan memungkinan para pencari keadilan untuk menda-
patkan keadilan lewat forum-forum penyelesaian sengketa yang dapat
mereka akses dan jangkau.
Prinsip legalitas formal mendapatkan skor paling kecil dari kelima
prinsip negara hukum, yaitu 10. Sebagai salah satu prinsip negara hu-
kum, prinsip tersebut juga berujung pada kontrol atas penyelenggaraan
kekuasaan. Namun, kontrol atas penyelenggaraan kekuasaan dicapai
tidak dengan cara langsung. Sasaran pertama prinsip ini adalah kepas-
tian dan kejelasan yang dihasilkan dari peraturan perundangan yang
bercorak jelas, diketahui oleh publik dan tidak berlaku surut. Peraturan
perundangan yang bercorak demikian diharapkan dapat mencegah
diskresi oleh pemegang kekuasaan.

D. SKOR PROVINSI
Pada indeks tahun 2016 ini, ada beberapa perkembangan informasi
dibandingkan indeks tahun-tahun sebelumnya, yaitu adanya penam-
bahan hasil skor yang didapat masing-masing provinsi yang diteliti. Skor
ini dihasilkan dari nilai pertanyaan survei ahli dan evaluasi dokumen
yang berkaitan dengan kinerja masing-masing provinsi.
Dalam setiap prinsip, akan dibandingkan skor yang didapatkan
masing-masing provinsi. Skor ini diharapkan dapat menjadi informasi
tambahan gambaran kinerja masing-masing provinsi di mana evaluasi
kinerja negara hukum sepanjang tahun 2016 dilakukan.

E. PROFIL RESPONDEN
Enumerator setiap provisi harus menyurvei ahli sebanyak enam (6)
orang. Keenam ahli tersebut terdiri dari:
• Dua orang ahli untuk prinsip pemerintahan berdasarkan hukum
dan prinsip legalitas formal;
• Dua orang ahli untuk prinsip kekuasaan kehakiman yang mer-
deka dan prinsip akses terhadap keadilan ; dan
14 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

• Dua orang ahli untuk prinsip penghormatan, perlindungan dan


pemenuhan HAM
Dengan demikian, total jumlah responden ahli yang disurvei di 20
provinsi sebanyak 120 ahli. Adapun komposisi demografi responden
dapat dilihat dalam sejumlah diagram di bawah ini.

Diagram 2.1
Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin (dalam persen)

Diagram 2.2
Demografi Responden Berdasarkan Rentang Usia
METODOLOGI 15

Dilihat dari komposisi jenis kelamin (Diagram 2.1) dapat diketahui


bahwa responden paling banyak adalah jenis kelamin laki-laki dengan
jumlah 89,17 persen. Sedangkan responden perempuan berjumlah
10,83 persen dari seluruh populasi responden.
Dilihat berdasarkan rentang usia, maka responden terbesar berada
pada rentang usia 35-45 tahun dengan 45 persen. Pada tempat kedua,
di rentang usia 45-60 tahun, dengan 37,5 persen. Di tempat ketiga,
dengan rentang usia di bawah 35 tahun dengan jumlah 17,5 persen.
Sisanya, 2,5 persen berada di rentang usia di atas 60 tahun.
Diagram 2.3
Demografi Responden Berdasarkan Profesi

Diagram 2.4
Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
16 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Apabila membandingkan demografi responden berdasarkan profesi,


maka setiap profesi memiliki proporsi yang sama. Baik akademisi, akti-
vis, dan advokat memiliki persentase yang sama: 33,33 persen.
Pada sisi lain, jika dilihat dari sisi tingkat pendidikan, proporsi
pendidikan tertinggi adalah magister (S2) dengan jumlah 40 persen.
Responden dengan tingkat pendidikan doktoral (S3) sebesar 25,83 per-
sen. Responden dengan pendidikan sarjana (S1) dengan 31,67 persen.
Sisanya, dengan pendidikan setingkat SMA dengan 2,5 persen.

F. KETERBATASAN PENELITIAN
Tantangan utama para peneliti dalam penyusunan indeks ini terletak
pada upaya mengumpulkan dokumen. Dalam prakteknya, tidak se-
mua institusi publik di daerah yang diminta oleh enumerator bersedia
menyediakan atau memberikan data yang diminta oleh peneliti. Ada
beberapa alasan yang disampaikan oleh institusi tersebut: (1) tidak ada
data sama sekali; (2) datanya ada namun sedang proses penyusunan;
(3) lembaga penelitian tidak mempunyai legalitas hukum; dan (4)
dokumen merupakan rahasia negara.
Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Gubernur adalah dokumen
yang paling sulit didapatkan. Alasan umum yang dikemukakan ada-
lah karena LPJ belum dibacakan dan dilaporkan dalam sidang pleno
DPRD yang biasanya dilakukan pada bulan April. Meski sudah lewat
bulan April, sejumlah persyaratan administrasi selalu menjadi alasan
informasi publik yang terbuka untuk publik tersebut tidak tersedia.
Kurangnya informasi yang memadai terhadap suatu indikator atau
prinsip kemudian dilengkapi dengan cara mengumpulkan sejumlah
pemberitaan melalui media massa dan kasus-kasus yang menjadi per-
hatian publik sepanjang tahun 2016.

***
BAB III

TEMUAN DAN NILAI INDEKS

Bab ini memaparkan deskripsi skor survei dan dokumen serta nilai
indeks negara hukum masing-masing prinsip negara hukum. Deskripsi
hasil skor survei dan dokumen memaparkan semua temuan yang rele-
van di masing-masing indikator dari setiap prinsip negara hukum yang
diteliti. Sedangkan nilai indeks adalah seluruh nilai yang dihasilkan
masing-masing prinsip yang dikonversi berdasarkan bobot masing-
-masing prinsip.
Bab ini juga menyajikan skor dan nilai indeks masing-masing prinsip
negara hukum di dua puluh (20) provinsi yang diteliti.

A. DESKRIPSI HASIL SURVEI DAN DOKUMEN


1. Ketaatan Pemerintah Terhadap Hukum
Secara esensial prinsip ketaatan pemerintah terhadap hukum berarti
semua tindakan pemerintahan harus didasarkan pada aturan hukum
(legalitas). Prinsip ini merupakan prinsip yang paling umum yang di-
miliki oleh setiap negara. Oleh karena itu, prinsip ketaatan pemerintah
terhadap hukum disebut sebagai syarat minimal suatu negara disebut
negara hukum. Dengan kata lain, negara yang hanya menjalankan
prinsip ini disebut memiliki rule of law versi yang paling tipis (thin).
Hukum menjadi satu-satunya instrumen bagi suatu pemerintahan
untuk menjalankan kegiatannya. Cara paling mudah untuk memahami
esensi prinsip ketaatan pemerintah terhadap hukum adalah dengan
membuat pernyataan pendukung: aturan hukum tidak didasarkan pada
keputusan atau perkataan seseorang. Dengan mensyaratkan semua tin-
dakan pemerintah berdasarkan aturan hukum, maka prinsip ini hendak
mencegah pemerintah bertindak atas dasar kekuasaan atau melakukan
tindakan yang sewenang-wenang.

17
18 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Ketaatan pemerintah terhadap hukum memerlukan sistem peng-


awasan yang efektif untuk menjaga konsistensi tindakan/perbuatan
pemerintah agar senantiasa sesuai dengan hukum sehingga dapat di-
lakukan upaya pencegahan (preventif) maupun penindakan (korektif
atau represif) jika terjadi suatu penyimpangan dan penyalahgunaan
kewenangan yang dilakukan pemerintah. Dengan kata lain, adanya
pengawasan yang efektif akan membuat tindakan/perbuatan pemerin-
tah semakin sesuai dengan hukum.
Prinsip ketaatan pemerintah terhadap hukum1 ini terdiri dari 2 (dua)
indikator: tindakan/perbuatan pemerintah sesuai dengan hukum dan
pengawasan yang efektif. Indikator tindakan/perbuatan pemerintah
berdasarkan hukum hendak mengukur apakah perbuatan/tindakan
pemerintah (pusat dan daerah provinsi) dalam bidang-bidang yang
telah ditentukan sudah berkesesuaian dengan hukum. Demikian hal-
nya ketika dalam menjalankan fungsi legislasi dan budgeting bersama
parlemen.
Sedangkan indikator pengawasan yang efektif hendak mengukur pe-
laksanaan mekanisme pengawasan yang dilakukan secara internal dan
eksternal oleh kelembagaan negara/pemerintah. Pengawasan internal
memfokuskan pada tindakan yang dilakukan pemerintah terhadap
aparat di bawahnya. Pengawasan eksternal yang dilakukan lembaga
lain di luar pemerintah memfokuskan pada pelaksanaan fungsi dan
kewenangan serta respon terhadap rekomendasi dan/atau putusan yang
dibuatnya.

1 Indikator ini mengukur sejauh mana pemerintah telah menjalankan kewajibannya menurut
hukum (baca: peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik)
yang berlaku. Pemerintah yang dimaksud di sini adalah Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, urusan pemerintah dibagi
dalam tiga hal: urusan pemerintah absolut; urusan pemerintah konkuren dan urusan peme-
rintah umum.
Urusan pemerintah absolut adalah bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, aga-
ma, penegakan hukum, moneter dan fiskal. Sedangkanurusan pemerintah konkuren terdiri
dari urusan pemerintah wajib dan urusan pemerintah pilihan. Urusan pemerintah konkuren
yang wajib berkaitan dengan pelayanan dasar dan bukan pelayanan dasar. Sedangkan urusan
pemerintah konkuren pilihan, adalah urusan pemerintah yang tidak berkaitan dengan pela-
yanan dasar namun juga dikerjakan berdasarkan potensi yang dimiki oleh daerah tersebut.
Meski demikian, indikator ini membatasi ruang lingkupnya pada urusan pemerintah absolut
dan urusan pemerintah konkuren yang berkaitan dengan pelayanan dasar.Selain itu, indikator
ini juga memotret sejauh mana pemerintah (pusat dan daerah) telah menjalankan fungsi
budgeting dan fungsi legislasinya bersama legislatif (DPR dan DPRD).
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 19

***

Skor yang diperoleh prinsip Ketaatan Pemerintah Terhadap Hukum


sepanjang tahun 2016 adalah 5,62. Skor yang didapat prinsip tahun ini
meningkat dibandingkan dengan skor di tahun 2015 yang hanya 5,41
poin. Dengan sendirinya, nilai indeks prinsip Ketaatan Pemerintah
Terhadap Hukum tahun 2016 juga meningkat. Nilai indeks prinsip
tahun 2016 sebesar 1,41: meningkat 0,06 poin dibandingkan dengan
tahun 2015 (1,35).
Di tingkat propinsi, wilayah provinsi yang mendapatkan skor terting-
gi adalah Provinsi Maluku dengan skor 7,31. Sedangkan provinsi yang
memiliki skor terendah adalah Jawa Barat (lihat Tabel 3.1).

Tabel 3.1. Perbandingan Skor Provinsi Prinsip Ketaatan Pemerintah Terhadap


Hukum Tahun 2016
Peringkat Provinsi Skor
1 Maluku 7,31
2 Kalsel 6,74
3 Riau 6,52
4 Sumbar 6,11
5 Jateng 6,04
6 Jatim 5,93
7 Bali 5,89
8 Sumsel 5,88
9 Kalbar 5,84
10 NTB 5,82
11 Sulteng 5,69
12 Kaltim 5,68
13 Sumut 5,5
14 Papua 5,42
15 NTT 5,21
16 DKI 5,2
17 Sulsel 5,11
18 Sulut 5,11
19 Lampung 4,91
20 Jabar 4,87

1.1. Tindakan/Perbuatan Pemerintahan Sesuai dengan Hukum


Skor indikator tindakan/perbuatan pemerintah sesuai dengan hukum
mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun
2015, prinsip ini memiliki skor 5,03; sedangkan pada tahun 2016
meningkat menjadi 6,03. Di antara dua sumber data yang digunakan
(survei ahli dan dokumen), skor tertinggi berada pada penilaian doku-
20 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

men dengan skor 6,34; sedangkan skor indikator berdasarkan persepsi


ahli sebesar 5,72.
Berdasarkan survei ahli, ternyata sebagian besar responden cukup
puas dengan kinerja pemerintah dalam menjalankan urusan pemerin-
tah absolut. Bidang yang dianggap cukup puas adalah bidang politik
luar negeri, pertahanan, dan moneter & fiskal (lebih dari 40 persen
responden menjawab setuju dan sangat setuju). Meski demikian, untuk
urusan pemerintahan absolut di bidang penegakan hukum, agama, dan
keamanan sebagian besar ahli berpendapat negatif.
Dari tiga (3) bidang yang dipersepsikan negatif oleh ahli, bidang
yang paling mendapat sorotan adalah bidang penegakan hukum. Da-
lam bidang ini, hanya 12 persen ahli yang menjawab positif.

Diagram 3.1. Pandangan Ahli Terkait Tindakan/Perbuatan Pemerintah Pusat di


Bidang Penegakan Hukum Tahun 2016

Pada sisi lain, terkait dengan urusan pemerintah daerah dalam membe-
rikan pelayanan dasar (pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum & tata
ruang; perumahan dan pemukiman; ketentraman, ketertiban umum
& perlindungan masyarakat; dan sosial) sebagian besar responden
menjawab negatif (skor di bawah 6). Hanya di bidang pendidikan dan
kesehatan yang dianggap relatif baik (nilai skor di atas 6).
Terkait urusan pemerintah daerah provinsi yang tidak berkaitan
dengan pelayanan dasar, ahli berpendapat bahwa pemerintah daerah
tidak menjalankan tugasnya dengan cukup baik. Bidang yang mendapat
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 21

persepsi paling buruk berada pada bidang pertanahan dan lingkungan


hidup. Dari sepuluh bidang yang tidak berkaitan dengan pelayanan
dasar yang disurvei, hanya bidang koperasi & UMKM dan bidang pe-
muda dan olah raga yang dinilai positif.

Diagram 3.2. Pandangan Ahli Terkait Tindakan/perbuatan Pemerintah


Provinsi Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang Berlaku di Bidang
Pendidikan Tahun 2016

Diagram 3.3. Pandangan Ahli Terkait Tindakan/Perbuatan Pemerintah Daerah


Provinsi Sesuai dengan Hukum dan Peraturan Perundang- undangan yang
Berlaku di Bidang Pertanahan dan Lingkungan Hidup Tahun 2016
22 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Sedangkan kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan hukum di


daerah yang mempunyai potensi, paling baik berada di bidang kelautan
dan perikanan. Pada sisi lain, bidang yang paling buruk berada pada
bidang kehutanan.

Diagram 3.4. Pandangan Ahli Terkait Tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah


Provinsi di Bidang Kehutanan Tahun 2016

***

Ketaatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah terhadap peraturan


dan perundang-undangan juga mengkhawatirkan. Sebagian besar ahli
berpandangan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak
berkomitmen untuk menjalankan putusan pengadilan yang berkekuat-
an hukum tetap. Nilai yang didapat pemerintah pusat dan pemerintah
daerah tidak jauh berbeda (nilai indeks pemerintah pusat sebesar 5,65;
sedangkan nilai pemerintah daerah 5,60).
Dalam hal proses legislasi dan budgeting, kinerja pemerintah daerah
dinilai lebih baik dari pemerintah pusat. Meskipun nilai pemerintah
daerah lebih baik dari pemerintah pusat, namun memiliki nilai yang
tidak jauh berbeda. Apabila dilihat lebih dalam, alasan utama peme-
rintah pusat dan pemerintah daerah tidak menjalankan peraturan
perundang-undangan adalah tidak adanya pengawasan yang efektif.
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 23

Diagram 3.5. Pandangan Ahli Terkait Faktor yang Membuat Tindakan


Pemerintah Sejalan dengan Hukum dan Peraturan Perundangan-undangan
yang Berlaku Tahun 2016

Dari penelusuran dokumen yang dilakukan, berdasarkan Laporan


Tahunan KPK, sepanjang tahun 2016 terdapat 7271 laporan masya-
rakat dan 5670 laporan file yang masuk ke KPK. Sedangkan menurut
Laporan Tahunan Ombudsman 2016, sebanyak 9030 Laporan dan
1446 tembusan surat pengaduan yang diterima terkait pelayanan publik
oleh lembaga tersebut. Artinya, rerata laporan masyarakat per provinsi
yang diterima oleh Ombudsman sebesar 266 laporan masyarakat per
provinsi.

1.2. Pengawasan yang Efektif


Secara umum skor indikator pengawasan yang efektif mengalami
penurunan dibandingkan tahun sebelumnya (tahun 2016, sebesar 5,23;
sedangkan tahun 2015 sebesar 5,49). Ada empat subindikator yang di-
ukur oleh indikator ini, yaitu: pengawasan oleh parlemen, pengawasan
lembaga peradilan, pengawasan internal, dan pengawasan dari komisi
negara independen.2

2 Pengawasan oleh parlemen mengukur sejauh mana kinerja lembaga legislatif dalam meng-
gunakan haknya, yaitu: hak interpelasi, hak menyatakan pendapat, dan hak angket. Selain itu,
subindikator ini juga mengukur sejauh mana efektifitas rapat dengar pendapat umum (RDPU)
yang dilakukan oleh legislatif (pusat dan daerah).
Sedangkan pengawasan oleh lembaga peradilan meninjau sejauh mana kinerja Mahkamah
Konstitusi dalam menjalankan fungsinya menguji undang-undang dan kinerja pengadilan tata
24 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Dari keempat subindikator ini, ada dua subindikator yang menga-


lami kenaikan, yaitu pengawasan lembaga peradilan dan pengawasan
komisi negara independen. Sedangkan dua indikator lainnya: penga-
wasan parlemen dan pengawasan komisi negara independen menga-
lami penurunan.

1.2.1. Pengawasan Parlemen


Berdasarkan survei ahli yang dilakukan, kinerja legislatif di tingkat
nasional (DPR) dan daerah (DPRD) terkait semua pengunaan hak
yang dimiliki oleh lembaga legislatif tersebut, baik hak interpelasi, hak
menyatakan pendapat, dan hak angket, sepanjang tahun 2016 sangat
mengecewakan (nilai indeks penggunaan hak tersebut di bawah angka
5). Dari tiga fungsi tersebut, nilai paling rendah berada hak interpelasi
yang dimiliki DPRD (3,55).

Diagram 3.6. Pandangan Ahli Terkait Kuantitas Penggunaan Hak Angket


DPRD Tahun 2016

usaha negara sebagai alat koreksi terhadap tindakan pemerintah yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Subindikator pengawasan yang ketiga adalah pengawasan internal pemerintah. Subindikator
ini ingin mengetahui sejauh mana efektifitas kinerja dari lembaga pengawasan internal yang
dimiliki oleh pemerintah.
Subindikator terakhir, pengawasan komisi negara independen. Keberadaan komisi negara
independen yang banyak dibentuk oleh negara ini bertujuan untuk memastikan tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 25

Meski demikian, apabila kinerja kedua level parlemen itu dibanding-


kan, maka kinerja parlemen pusat (DPR) dianggap lebih baik diban-
dingkan dengan parlemen provinsi (DPRD). Pada sisi lain, ahli juga
menyatakan bahwa Rapat Dengar Pendapat yang dilakukan oleh DPR
dan DPRD juga kurang efektif. Kedua level parlemen tersebut mem-
punyai nilai indeks yang sama (5,70).

1.2.2. Pengawasan Pengadilan


Sebagai check and balance pemerintah dalam menjalankan hukum,
terdapat pengawasan yang dilakukan oleh yudikatif, dalam hal ini oleh
Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Pengadilan Tata Usaha
Negara. Berdasarkan ketiga bentuk check and balance lembaga yudisial
tersebut, pengawasan oleh Mahkamah Konstitusi dianggap paling baik
(7,15). Setelah itu secara berturut-turut pengawasan oleh PTUN (6,35)
dan Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan perundang-undang-
an di bawah Mahkamah Agung (6,25).

Diagram 3.7. Pandangan Ahli Terkait Efektifitas Mahkamah Agung dalam


Menguji Peraturan Perundangan di Bawah Undang-undang Tahun 2016

Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi 2016, sepanjang


tahun 2016, terdapat 72 undang-undang yang dimohonkan untuk
diuji di Mahkamah Konstitusi. Undang-undang yang paling banyak
diuji adalah Undang-undang Pilkada sebanyak 17 kali. Setelah itu
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No
26 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur sebanyak tujuh kali, Un-


dang-Undang tentang Ketenagakerjaan dan Undang-undang tentang
KUHAP masing-masing empat kali.
Pada sisi lain, Laporan Mahkamah Agung tahun 2016 menjelaskan
bahwa sepanjang tahun 2016, Pengadilan Tata Usaha Negara di selu-
ruh Indonesia menerima 2.022 perkara. Jumlah perkara yang diterima
Pengadilan Tata Usaha Negara tahun 2016 meningkat 11,77 persen
dibanding tahun sebelumnya (1089 perkara). Sedangkan untuk pera-
turan perundang-undangan yang diujimaterilkan ke Mahkamah Agung,
sepanjang tahun 2016 terdapat 49 perkara.

1.2.3. Pengawasan Internal Pemerintah


Secara umum, menurut ahli, pengawasan internal yang dilakukan
oleh pemerintah sepanjang tahun 2016 kurang efektif (5,70). Bah-
kan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (6,56), mengalami
penurunan. Pengawasan internal yang dievaluasi adalah pengawasan
yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap aparatus sipil negara
(ASN), pengawasan pemerintah daerah terhadap aparatus sipil negara
di daerah, pengawasan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terha-
dap penggunaan anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
pengawasan Presiden terhadap Kepolisian dan Kejaksaan, Pengawasan
Kejaksaan Tinggi terhadap aparat Kejaksaan di daerahnya, serta peng-
awasan Polda terhadap aparatus Kepolisian.

Diagram 3.8. Pandangan Ahli Terkait Pengawasaan BPK Terhadap Penggunaan


Anggaran Pemerintah Pusat Tahun 2016
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 27

Berdasarkan survei ahli, pengawasan internal yang paling baik adalah


pengawasan yang dilakukan oleh BPK terhadap Pemerintah Pusat. Se-
telah itu, secara berturut-turut: pengawasan yang dilakukan oleh BPK
Provinsi terhadap pemerintah daerah, pengawasan pemerintah pusat
terhadap ASN, pengawasan Presiden terhadap Kepolisian, pengawasan
Kepolisian Daerah (Polda), pengawasan Kejaksaan terhadap aparatus
Kejaksaan, pengawasan oleh Presiden terhadap Kejaksaan.

Diagram 3.9. Pandangan Ahli Terkait Pengawasan Presiden Terhadap Kejaksaan


Tahun 2016

1.2.4. Pengawasan Komisi Negara Independen


Pasca Reformasi, untuk memperkuat pelaksaan negara hukum, diben-
tuklah beberapa lembaga pengawasan -yang kerap disebut sebagai Ko-
misi Negara Independen. Komisi Negara Independen yang dievaluasi
dalam penelitian ini adalah Ombudsman, Komisi Informasi, Komisi
Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komisi Kejaksaan (KKRI).
Menurut pandangan ahli, dari empat komisi negara independen
tersebut, secara umum tidak efektif (nilai rerata subindikator ini 5,57
poin). Kinerja Komisi Negara Independen yang dianggap ahli paling
efektif secara berturut-turut adalah: Ombudsman, Komisi Informasi,
Kompolnas, dan Komisi Kejaksaan.
28 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Diagram 3.10. Pandangan Ahli Terkait Efektifitas Pengawasan Ombudsman RI


Tahun 2016

Diagram 3.11. Pandangan Ahli Terkait Efektifitas Pengawasan Komisi


Kejaksaan Tahun 2016

2. Legalitas Formal
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, negara Republik Indonesia
merupakan negara yang berdasar atas hukum, berarti semua tata aturan
harus didasarkan pada hukum. Demikian juga setiap peraturan harus
dirancang dan diundangkan secara benar serta berdasarkan prosedur
yang sah. Dalam konsep negara hukum yang dikenal luas sebagai rule
of law ataupun rechhtstaat terdapat suatu prinsip yang terkait dengan
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 29

bentuk formal dari hukum itu sendiri, yang dikenal dengan legalitas
formal (formal legality).
Esensi prinsip Legalitas Formal dapat ditemukan pada dua tujuan
pokoknya, yaitu pertama, membuat aturan hukum mampu menuntun
perilaku, dan kedua, aturan hukum mampu membuat warga negara
menjadi bebas dan otonom. Agar kedua tujuan pokok di atas bisa
dicapai, hukum diharuskan memiliki sejumlah karakter penting yaitu
berlaku umum (general), bisa diperkirakan (predictable), jelas (clear),
tidak mudah berubah-ubah (stable), konsistensi antara teks hukum
dengan perilaku pelaksana dan penegak hukum, tidak kontradiktif serta
tidak berlaku surut (retroactive) dan diumumkan (public promulgation).
Apabila memiliki karakter-karakater penting di atas, hukum diyakini
akan mampu memberikan kepastian dan kesamaan karena setiap orang
sudah dapat memperkirakan terlebih dahulu apa respon negara atau
pemerintah atas tindakan yang mereka lakukan. Dengan memberi-
kan kepastian mengenai respon hukum atas setiap tindakan, hukum
selanjutnya menyediakan jaminan kebebasan dan otonomi. Setiap
orang bebas atau otonom untuk melakukan sesuatu yang diperkirakan
tidak memiliki implikasi hukum. Dengan kata lain, hukum menjamin
kebebasan kepada setiap orang yang berperilaku sesuai dengan aturan
hukum (freedom what they law permit).

***

Skor indikator prinsip legalitas formal tahun 2016 adalah 5,92. Sedang-
kan nilai Indeks Negara Hukum Prinsip Legalitas Formal sebesar 0,70
(nol koma tujuh puluh). Dari ketiga indikator prinsip legalitas formal,
skor tertinggi adalah indikator Stabilitas Peraturan dengan skor 6,08.
Setelah itu berturut-turut: Indikator Penyebarluasan Peraturan dengan
skor 5,87 dan Indikator Kejelasan Rumusan Peraturan dengan skor
5,37.
Semua indikator prinsip ini mengalami penurunan dibandingkan
tahun sebelumnya. Skor yang mengalami penurunan tertinggi adalah
Indikator Penyebarluasan Peraturan dengan penurunan sebesar 1,44
poin. Setelah itu indikator perundang-undangan yang stabil dengan
penurunan 0,79 poin; dan indikator penyebaran peraturan perundang-
-undangan dengan penurunan 0,05 poin.
30 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Berdasarkan skor yang didapatkan masing-masing provinsi dalam


prinsip ini, provinsi yang memiliki skor tertinggi adalah provinsi Suma-
tera Barat. Sedangkan provinsi dengan memiliki skor terburuk adalah
provinsi Nusa Tenggara Timur. Lebih lengkap dapat dilihat dalam
tabel 3.2.

Tabel 3.2. Perbandingan Skor Provinsi Berdasarkan Prinsip Legalitas Formal


Tahun 2016
Peringkat Provinsi Nilai
1 Sumbar 7,05
2 Bali 6,67
3 Riau 6,62
4 Maluku 6,45
5 DKI 6,43
6 Jatim 6,34
7 Kalsel 6,30
Kaltim 5,65
8
Sumut 5,65
9 Jabar 5,62
10 Lampung 5,56
11 Jateng 5,45
12 Kalbar 5,43
13 NTB 5,24
14 Sumsel 5,22
15 Papua 5,20
16 Sulut 5,08
17 Sulteng 4,78
18 Sulsel 4,62
19 NTT 4,41

2.1. Penyebarluasan Peraturan


Sepanjang tahun 2016, ahli menyatakan bahwa masyarakat perkotaan
sudah tidak mengalami kesulitan lagi dalam mengakses segala bentuk
peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Meski demikian, untuk
masyarakat di pedesaan, hal itu tidak berlaku. Masyarakat pedesaan
masih mengalami kesulitan dalam mengakses segala bentuk peratur-
an yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2015) terdapat pe-
ningkatan akses peraturan masyarakat perkotaan.
Pada sisi lain, masih menurut ahli, pemerintah pusat dan pemerin-
tah daerah telah mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi da-
lam penyebarluasan peraturan, meskipun proporsi nilai keduanya tidak
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 31

jauh berbeda. Pandangan ahli tersebut terkonfirmasi melalui dokumen


dan pemantauan peneliti, di mana hampir semua instansi pemerintah
(baik tingkat pusat maupun daerah) telah memiliki situs dan media
sosial untuk berkomunikasi dengan publik, meskipun informasi/konten
dari media-media yang dimiliki tersebut tidak selalu diperbarui.
Dalam konteks sarana publikasi peraturan berikut dengan keleng-
kapan dari peraturan yang dipublikasikan setiap tahunnya, Pemerintah
Pusat dinilai sudah cukup memberikan jenis produk peraturan. Sebagai
produk hukum yang berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia, Peme-
rintah Pusat mempublikasikan undang-undang dalam beberapa situs
resmi pemerintah, yakni dalam situs Kementerian Sekretaris Negara,
Dewan Perwakilan Rakyat, Kementerian Hukum dan HAM (dalam
hal ini oleh Dirjen Perundang-undangan dan Badan Pengembangan
Hukum Nasional (BPHN)).

Tabel 3.3. Pandangan Ahli Terkait Akses Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan
Terhadap UU dan Perda Berdasarkan Sumber Resmi Tahun 2016 (dalam
Persen)
Undang- Peraturan Undang- Peraturan
No Jawaban Ahli Undang Daerah Undang Daerah
Masyarakat Perkotaan Masyarakat Perdesaan
1 Sangat Sulit 0 15 27,5 37,5
2 Sulit 20 25 37,5 30
3 Cukup Mudah 37,5 32,5 22,5 50
4 Mudah 22,5 17,5 10 12,5
5 Sangat Mudah 20 10 2,5 0

Terkait komitmen negara dalam memberikan akses peraturan perun-


dang-undangan bagi penyandang disabilitas, menurut ahli, komitmen
Pemerintah Pusat dan Pemerintah masih rendah. Dari dua institusi
tersebut, komitmen Pemerintah Pusat sedikit lebih rendah dibanding
dengan Pemerintah Daerah (nilai indeks pemerintah daerah 5,25;
sedangkan pemerintah pusat sebesar 5,20).
Berdasarkan penilaian skor masing-masing provinsi, untuk indikator
ini provinsi terbaik adalah Jawa Timur dengan nilai 7,19. Sedangkan
provinsi yang memiliki nilai paling rendah adalah Nusa Tenggara Ti-
mur dengan nilai 2,60.
32 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Diagram 3.12. Pandangan Ahli Terkait Ketersediaan Akses yang Memadai Bagi
Kelompok Disabilitas Tahun 2016

2.2. Kejelasan Rumusan


Terkait rumusan Undang-Undang yang diterbit sepanjang tahun 2016,
dari sisi pilihan kata atau istilah dan bahasa hukum, menurut ahli,
masyarakat masih sulit untuk memahaminya. Demikian juga dengan
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi yang diterbitkan tahun 2016, pilihan
kata/istilah dan bahasa hukum yang digunakan pembentuk peraturan
masih sulit untuk dipahami oleh masyarakat (lihat tabel 2.1). Walaupun
belum terlihat perbaikan dari tahun 2015, namun tahun ini setidaknya
presentase tingkat “kesulitan” dalam memahami peraturan (baik dari
segi pilihan kata/ istilah dan Bahasa hukum) mengalami penurunan di-
bandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 50 persen lebih.

Tabel 3.4. Tingkat Pemahaman Masyarakat Terhadap Rumusan Undang-


Undang dan Peraturan Daerah Provinsi Terkait Pilihan Kata atau Istilah dan
Bahasa Hukum yang Diterbitkan Sepanjang Tahun 2016 (dalam persen)
Undang-Undang Perda Provinsi
No Jawaban Ahli Pilihan kata Bahasa Pilihan kata Bahasa
atau istilah hukum atau istilah hukum
1 Sangat sulit 15.00 12.50 17.50 17.50
2 Sulit 47.50 47.50 30.00 32.50
3 Cukup Mudah 30.00 32.50 37.50 32.50
4 Mudah 7.50 7.50 12.50 15.00
5 Sangat Mudah 0.00 0.00 2.50 2.50
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 33

Jika di tahun sebelumnya, dalam tataran implementasi/praktek hukum,


jarang terdapat pilihan kata/istilah dan bahasa hukum yang bermasa-
lah/konflik/buntu akibat ketidakjelasan rumusan Undang-Undang dan
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi sepanjang tahun 2015, pada tahun
2016, ahli menyatakan bahwa dalam implementasi/praktek hukum, se-
ring terdapat pilihan kata/ istilah dan bahasa hukum yang bermasalah/
konflik/buntu akibat ketidakjelasan rumusan Undang-Undang dan Per-
aturan Daerah (Perda) Provinsi sepanjang tahun 2016 (lihat tabel 3.5).

Tabel 3.5 Implikasi/Praktik Hukum Ketidakjelasan Rumusan Undang-Undang


dan Peraturan Daerah Terkait Pilihan Kata atau Istilah dan Bahasa Hukum
Sepanjang Tahun 2015 (dalam persen)
Undang-Undang Perda Provinsi
Derajat Jawaban
No Pilihan kata Bahasa Pilihan kata Bahasa
Ahli
atau istilah hukum atau istilah hukum
1 Sangat sering 22.50 25.00 17.50 17.50
2 Sering 35.00 35.00 27.50 32.50
3 Cukup Sering 32.50 30.00 42.50 37.50
4 Jarang 7.50 7.50 10.00 10.00
5 Tidak pernah 2.50 2.50 2.50 2.50

Meskipun masyarakat cenderung sulit untuk memahami peraturan


perundang-undangan yang dibuat oleh negara, namun masyarakat lebih
memilih untuk melaksanakan aktivitasnya karena tidak terpengaruh
dengan kesulitan tersebut (lihat diagram 2.3).

Diagram 3.13. Sikap atau Perilaku Masyarakat yang Mengalami Kesulitan


Memahami Peraturan Perundang-Undangan Tahun 2016
34 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya, meski masyarakat


cenderung kesulitan memahami peraturan perundang-undangan yang
dibuat oleh negara, namun masyarakat lebih memilih untuk melaksa-
nakan aktivitasnya karena tidak terpengaruh dengan kesulitan tersebut.
Dari data tersebut, yang menarik adalah turunnya minat masyarakat
untuk meminta penafsiran/kejelasan dari lembaga yang berwenang,
seperti Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung secara drastis.
Hal ini juga diperkuat dengan data dokumen yang ditemukan terkait
jumlah perkara yang diajukan di lembaga penafsir peraturan perun-
dang-undangan yang mengalami penurunan sepanjang tahun 2016
(lihat tabel 3.6 dan tabel 3.7).
Berdasarkan skor masing-masing provinsi, maka provinsi yang me-
miliki skor tertinggi pada prinsip ini adalah Sumatera Barat (7,50);
sedangkan provinsi yang memiliki skor paling rendah diperoleh oleh
provinsi Sulawesi Tengah (2,00).

Tabel 3.6. Perbandingan Data Perkara yang ditangani oleh Mahkamah


Konstitusi Tahun 2015 dan 2016
Dalam Dalam
Jumlah Jumlah UU
Tahun Proses Terima Jumlah Amar Putusan Proses
Putusan yang Diuji
Yang lalu Tahun ini
Kabul: 25
Tolak: 50
2015 80 140 220 157 63 77
Tidak Diterima: 65
Tarik Kembali: 17
Kabul: 19
Tolak: 34
2016 63 111 174 96 78 72
Tidak Diterima: 33
Tarik Kembali: 10

Tabel 3.7. Perbandingan Jenis Peraturan dan Jumlah Permohonan Uji Materil
ke Mahkamah Agung RI Sepanjang Tahun 2015 dan 2016
Tahun 2015 Tahun 2016
No Klasifikasi
Jumlah Persen Jumlah Persen
1 Peraturan Pemerintah 19 26,39% 7 14,29%
2 Peraturan Menteri 13 18,06% 7 14,29%
3 Peraturan KPU 12 16,67% 3 6,12%
4 Peraturan Daerah 10 13,89% 8 16,33%
5 Peraturan Presiden 4 5,56% 1 2,04%
6 Keputusan Menteri 2 2,78% 4 8,16%
7 Peraturan Gubernur 2 2,78% 3 6,12%
8 Keputusan Gubernur 1 1,39% 1 4,08%
9 Qanun Aceh 1 1,39% 2 4,08%
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 35

Tahun 2015 Tahun 2016


No Klasifikasi
Jumlah Persen Jumlah Persen
10 Peraturan Walikota 1 1,39% - -
11 Peraturan Kepala Badan Pertanahan
1 1,39% - -
Nasional
12 Surat Edaran Menteri 1 1,39% 3 6,12%
13 Peraturan Bersama Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia, Menteri
Kehutanan Republik Indonesia,
Menteri Pekerjaan Umum Republik 1 1,39% - -
Indonesia dan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik
Indonesia
14 Keputusan Sengketa Panitia
1 1,39% - -
Pengawas Pemilihan Umum
15 Surat Edaran Mahkamah Agung 1 1,39% - -
16 Instruksi Wakil Kepala Daerah 1 1,39% - -
17 Surat Keputusan Direksi PT. Bank
1 1,39% - -
Rakyat Indonesia
18 Peraturan Bupati - - 3 6,12%
19 Keputusan Kepala Dinas - - 1 2,04%
20 Keputusan Ketua Mahkamah Agung - - 1 2,04%
21 Keputusan KPU - - 1 2,04%
22 Peraturan DPD - - 1 2,04%
23 Peraturan Kepala Badan Tenaga
- - 1 2,04%
Nuklir Nasional
24 Peraturan Mahkamah konstitusi - - 1 2,04%
25 Surat Edaran Bupati - - 1 2,04%
Jumlah 72 100% 49 100%

2.3. Stabilitas Peraturan


Terkait indikator stabilitas peraturan, terdapat perbedaan nilai yang
cukup signifikan antara tahun sekarang dibandingkan dengan tahun
sebelumnya (tahun 2016 memperoleh nilai 6,08; sedangkan tahun
2015 mempunyai nilai 6,87).
Pada tahun 2016, Undang-Undang merupakan peraturan yang pa-
ling sering diubah, sedangkan Peraturan Daerah (Perda) relatif stabil.
Sektor atau bidang undang-undang yang paling sering mengalami peru-
bahan adalah undang-undang yang berkaitan dengan politik, terutama
pelaksanaan pemilihan umum. Selanjutnya, disusul dengan bidang
administrasi pemerintahan, lingkungan hidup, dan bisnis, keuangan
dan perdagangan.
Pada tingkat Peraturan Daerah Provinsi, sektor atau bidang penga-
turan yang paling sering mengalami perubahan adalah peraturan yang
36 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

terkait dengan pungutan memaksa yakni, soal pajak, retribusi dan iuran
(50 persen). Selanjutnya diikuti oleh bidang administrasi pemerintah-
an (12,50 persen), bisnis, keuangan dan perdagangan (12,50 persen),
Ketenagakerjaan (6,25% persen) dan pendidikan (6,25 persen).
Ahli juga menyatakan bahwa faktor dominan yang menyebabkan
perubahan peraturan adalah kepentingan politik transaksional dari
pihak-pihak tertentu. Hanya sedikit ahli yang berpendapat bahwa
terjadinya perubahan peraturan disebabkan oleh perubahan di dalam
masyarakat. Kondisi ini sejalan dengan temuan Undang- Undang yang
paling sering mengalami perubahan adalah bidang politik, yakni ber-
kaitan dengan pemilu dan administrasi pemerintahan.
Pada tataran provinsi, skor yang paling tertinggi dalan indikator
stabilitas peraturan ini diperoleh oleh Provinsi Maluku (8,00); sedang-
kan provinsi yang memiliki nilai terendah adalah Provinsi Kalimantan
Selatan dan Provinsi Sumatera Utara dengan nilai 5,00.

3. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka


Skor prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka sepanjang tahun
2016 adalah 5.74; atau turun 0,2 poin dibandingkan tahun sebelumnya.
Sedangkan nilai indeks prinsip ini sebesar 1,44 poin. Dari empat indi-
kator yang dimiliki oleh prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka,
skor yang mendapat nilai tertinggi berada pada indikator independensi
hakim dan kaitannya dengan kebijakan kelembagaan (6,37). Setelah
itu, secara berturut-turut: independensi hakim yang berkaitan dengan
sumber daya hakim (5,80); independensi hakim dalam memutus dan
mengadili perkara (5,73); dan independensi hakim terhadap pengaruh
publik dan media massa (5,08).
Terdapat dua indikator yang mengalami penurunan pada tahun ini,
yaitu: independensi hakim dalam memutus dan mengadili perkara;
dan independensi hakim terhadap pengaruh publik dan media massa.
Sedangkan dua indikator lainnya: independensi hakim yang berkaitan
dengan sumber daya hakim; dan independensi hakim dan kaitannya
dengan kebijakan kelembagaan, mengalami kenaikan.
Dari 20 provinsi yang disurvei, skor tertinggi dimiliki oleh Provinsi
Kalimantan Timur dengan skor 7,10. Sedangan provinsi yang memiliki
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 37

skor paling buruk adalah Provinsi Papua. Skor masing-masing provinsi


dapat dilihat dalan tabel 3.8.

Tabel 3.8. Perbandingan Skor Provinsi Prinsip Kekuasaan Kehakiman yang


Merdeka Tahun 2016
Peringkat Provinsi Skor
1 Kalimantan Timur 7,10
2 Jawa TImur 6,67
3 Nusa Tenggara Barat 6,30
4 Kalimantan Selatan 6,23
5 Riau 6,03
6 Sulawesi Tengah 5,96
7 Sumatera Utara 5,52
8 Kalimantan Barat 5,30
9 DKI Jakarta 5,25
10 Lampung 5,23
11 Sulawesi Selatan 5,16
12 Jawa Tengah 4,90
13 Bali 4,80
14 Sumatera Selatan 4,64
15 Nusa Tenggara Timur 4,63
16 Sulawesi Utara 4,13
17 Sumatera Barat 4,02
18 Maluku 3,81
19 Jawa Barat 3,34
20 Papua 3,27

3.1. Independensi Hakim dalam Mengadili dan Memutus Perkara


Skor indikator independensi hakim dalam mengadili dan memutus
perkara mengalami penurunan 0,95 poin jika dibandingkan dengan
tahun sebelumnya: dari 6.27 (2015) menjadi 5.32 (2016). Skor indi-
kator independensi tersebut didapatkan dari jumlah skor rata-rata dari
subindikator: independensi hakim dalam proses persidangan dengan
nilai 6,94; dan subindikator independensi hakim dalam memutus per-
kara dengan nilai 4,15.

3.1.1. Independensi Hakim dalam Proses Persidangan


Menurut pandangan ahli, sepanjang tahun 2016, sebagian besar ha-
kim masih berbelit-belit dalam melakukan pemeriksaan perkara dan
tidak sesuai dengan jadwal persidangan yang telah ditentukan. Meski
demikian, ahli juga berpendapat bahwa hakim telah memberikan ke-
38 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

sempatan yang sama kepada para pihak untuk menggunakan haknya


dalam proses persidangan.
Pada sisi lain, 47,5 persen ahli berpendapat bahwa hakim telah
menghindari konflik kepentingan terhadap perkara dalam memeriksa
dan mengadili perkara yang ditanganinya.

Diagram 3.14. Pandangan Ahli terkait Hakim Tidak Berbelit-Belit Memeriksa


Perkara dan Sesuai dengan Jadwal Persidangan Tahun 2016

Laporan Tahunan Mahkamah Agung (MA) tahun 2016 mencatat bah-


wa pengadilan tingkat pertama di seluruh Indonesia sepanjang tahun
2016 menerima sebanyak 3.838.152 perkara. Rasio jumlah perkara
putus dibandingkan dengan beban perkara sebesar 95 persen. Sedang-
kan Pengadilan Tinggi menerima 27.158 perkara (berkurang 1,38% dari
tahun 2015 yang menerima sebanyak 27.539 perkara). Rasio jumlah
perkara putus dibandingkan dengan beban perkara adalah 54,78 persen.
Sedangkan Mahkamah Agung selama tahun 2016 menerima per-
kara sebanyak 14.630 perkara. Komposisi perkara yang diterima pada
tahun 2016 adalah: kasasi 11.045 perkara (75,50%); peninjauan kemba-
li 3.487 perkara (23,83%), grasi 49 perkara (0,33%), dan permohonan
hak uji materiil 49 perkara (0,33%). Rasio jumlah perkara yang diputus
dengan beban perkara (rasio produktivitas memutus) pada tahun 2016
sebesar 87,31%, artinya meningkat 8,78% dibandingkan rasio produkti-
vitas memutus perkara tahun sebelumnya yang hanya 78,53%.
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 39

Tabel 3.9. Kondisi Perkara di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan


Mahkamah Agung Sepanjang Tahun 2016
Perkara Jumlah
Sisa Rasio Sisa
yang Beban Perkara
Institusi Perkara Produktivitas Perkara
Diterima Perkara yang
2015 Memutus 2016
2026 Diputus
Pengadilan 3.838.152 124.621 3.962.833 3.764.629 95% 181.623
Negeri perkara perkara perkara perkara perkara.
Pengadilan 27.158 2.685 29.843 16.349 54,78 % 13.485
Tinggi perkara perkara perkara perkara perkara
Mahkamah 14.630 3.950 18.580 16.223 87,31% 2357
Agung perkara perkara perkara perkara perkara

Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi, sepanjang tahun


2016 terdapat 174 perkara yang ditangani Mahkamah Konstitusi. Dari
jumlah tersebut, telah diputus 96 perkara; dan sisanya, sebanyak 78
perkara masih dalam proses pemeriksaan. Apabila dirinci berdasarkan
amar putusan: 19 perkara dikabulkan, 34 perkara ditolak, 30 perkara
tidak dapat diterima, 3 perkara gugur, 9 perkara ditarik kembali oleh
Pemohon, dan 1 perkara dinyatakan MK tidak berwenang memeriksa.
Terkait perkara Pemilihan Hasil Pilkada (PHP), MK menerima
permohonan dari calon kepala daerah di 7 Provinsi, 118 Kabupaten,
12 Kota, dan meregistrasi perkara PHP Kada sebanyak 152 permohon-
an. Berdasarkan jumlah tersebut, sebanyak 132 perkara diajukan oleh
pasangan calon bupati, sebanyak 13 perkara diajukan oleh pasangan
calon walikota, dan sebanyak 7 perkara diajukan oleh pasangan calon
gubernur. Hingga akhir 2016, MK telah memutus seluruh permohonan
perkara PHP Kada Serentak 2015. Adapun putusan terhadap perkara
tersebut: 6 perkara ditarik kembali oleh pemohon, 5 perkara ditolak,
3 perkara dikabulkan, dan 138 perkara diputus tidak dapat diterima.

3.1.2. Independensi Hakim dalam Memutus Perkara


Menurut pandangan ahli, sepanjang tahun 2016, sangat sedikit hakim
yang telah mempertimbangkan keterangan para pihak dan fakta persi-
dangan dalam memutus perkara. Hakim juga dipandang belum bebas
dari pengaruh, tekanan, dan/atau intervensi dari pihak manapun dalam
memutus perkara.
40 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Diagram 3.15. Pandangan Ahli terkait Kebebasan Hakim dari Pengaruh,


Tekanan, dan/atau Intervensi Pihak Manapun dalam Memutus Perkara Tahun
2016

Ahli juga menyatakan bahwa pengusaha merupakan pihak yang paling


sering mempengaruhi hakim (32.5%). Berturut-turut diikuti oleh pihak
berperkara/advokat sebagai pihak yang sering (32.5%), dan pejabat
pengadilan yang lebih tinggi sebagai pihak yang cukup sering (35%)
melakukan intervensi kepada hakim. Sedangkan tokoh masyarakat
dinilai sebagai pihak yang paling (52.5%) jarang melakukan intervensi
kepada hakim.

Tabel 3.10. Pandangan Ahli Terhadap Pihak yang Paling Sering Mempengaruhi
Hakim Tahun 2016
Sangat Sering Cukup Jarang Tidak
Pihak
sering sering pernah
Pemerintah Daerah 17.50 12.50 30.00 22.50 17.50
Anggota Dewan 5.00 30.00 25.00 27.50 12.50
Parpol 10.00 27.50 25.00 25.00 12.50
Tokoh Masyarakat 7.50 10.00 20.00 52.50 10.00
Pihak berperkara/ Advokat 20.00 32.50 25.00 17.50 5.00
Ormas 17.50 17.50 22.50 32.50 10.00
Pengusaha 32.50 25.00 17.50 17.50 7.50
Pejabat Pengadilan yang 22.50 10.00 35.00 25.00 7.50
lebih tinggi

Adapun peringkat daerah untuk indikator independensi hakim dalam


mengadili dan memutus perkara adalah sebagai berikut:
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 41

Tabel 3.11. Perbandingan Skor Provinsi dalam Indikator Independensi Hakim


dalam Memutus perkara Tahun 2016
Peringkat Provinsi Skor Peringkat Provinsi Skor
1 Kalsel 7.25 Jateng 4.88
10
2 Kaltim 6.75 Maluku 4.88
3 Sulteng 6.38 Sulsel 4.63
11
4 Riau 6.25 Sumsel 4.63
5 Jatim 6.00 Bali 4.13
12
Ntb 5.63 Ntt 4.13
6
Sumut 5.63 13 Jabar 3.88
7 Dki 5.38 14 Sumbar 3.63
8 Lampung 5.25 15 Papua 3.50
9 Kalbar 5.13 16 Sulut 3.25

3.2. Independensi Hakim Terkait Manajemen Sumber Daya Hakim3


Dibandingkan tahun sebelumnya, skor indikator pengelolaan sumber
daya Hakim sepanjang 2016 mengalami sedikit peningkatan (0,02): dari
5,78 menjadi 5.80. Nilai ini merupakan rata-rata dari dua sub-indikator:
manajemen sumber daya hakim dengan skor 6,08; dan manajemen
pengawasan hakim dengan nilai 5,64 .

3.2.1. Manajemen Sumber Daya Manusia Hakim


Sebagai informasi, bahwa rekrutmen hakim selama 5 tahun tidak
dilakukan, dari tahun 2011 sampai dengan 2016. Hal ini kemudian
direspon oleh MA untuk menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung
(Perma) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Penyusunan dan Penetapan
Kebutuhan Serta Pengadaan Tenaga Hakim. Peraturan ini mengatur
tahapan pengadaan tenaga hakim yang dilaksanakan oleh panitia selek-
si yang dibentuk Ketua MA. Namun, selepas terbitnya Perma, seleksi
pengadaan tenaga hakim juga tidak terlaksana.
Berdasarkan hasil analisis beban kerja tahun 2015, kebutuhan hakim
pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding sebanyak 12.847 orang.
Sedangkan jumlah hakim yang ada saat ini berjumlah 7.989 orang.
Artinya, terdapat kekurangan sebanyak 4.858 hakim. Angka kebutuhan
tersebut dihitung berdasarkan beban kerja dan kebutuhan hakim untuk

3 Indikator ini terdiri dari dua subindikator: manajemen SDM hakim dan manajemen
pengawasan hakim. Subindikator pertama mencermati mekanisme seleksi, rekrutmen, mu-
tasi-promosi, dan kesempatan hakim dalam peningkatan kapasitas melalui pendidikan dan
pelatihan. Sedangkan subindikator kedua, menilai efektifitas pengawasan internal dan eksternal
(khususnya Komisi Yudisial) serta sinergitas kedua pengawasan tersebut.
42 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

mengisi 86 satuan kerja baru pada Peradilan Umum, Peradilan Agama


dan Peradilan Tata Usaha Negara. 
Pada tahun 2016, Mahkamah Agung melaksanakan rekrutmen Ca-
lon Hakim Ad Hoc Tipikor untuk Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi. Berdasarkan hasil seleksi calon Hakim Ad Hoc Tipikor bulan
Oktober 2016, dari 176 orang pendaftar jumlah peserta yang dinyata-
kan lulus sebanyak 6 orang, yang terdiri dari Hakim Ad Hoc Pengadilan
Tinggi sebanyak 3 orang dan Pengadilan Negeri sebanyak 3 orang.
Terkait pembinaan karir hakim, mayoritas ahli (65 persen) menilai
bahwa pelaksanaan promosi dan mutasi hakim sepanjang tahun 2016
belum obyektif dan transparan. Hanya 15 persen ahli yang menilai
sebaliknya. Sedangkan ahli yang menyatakan kurang setuju sebesar
20 persen.

Diagram 3.16. Pandangan Ahli terkait Promosi dan Mutasi Hakim Tahun 2016

3.2.2. Manajemen Pengawasan Hakim


Sepanjang tahun 2016 jumlah pengaduan yang masuk ke Badan
Pengawasan Mahkamah Agung sejumlah 2.366 pengaduan, dengan
rincian: 1.810 pengaduan disampaikan langsung ke Bawas MA; 418
pengaduan dari instansi/stakeholder MA; dan 138 pengaduan melalui
aplikasi online. Jumlah tersebut mengalami kenaikan sebanyak 958
pengaduan; atau sebesar 40,49 persen apabila dibandingkan dengan
tahun 2015.
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 43

Pada tahun 2016, Mahkamah Agung telah menjatuhkan hukuman


disiplin kepada 150 aparat pengadilan. Data hukuman disiplin (tabel
3.12) menggambarkan bahwa hukuman disiplin tahun 2016 sejumlah
150 orang, jumlah ini turun dibanding tahun 2015 sejumlah 266 orang.
Jabatan hakim memiliki persentase aparat pengadilan yang paling ting-
gi (47.3%) yang menerima hukuman disiplin.

Tabel 3.12. Tabel Hukuman Disiplin Terhadap Aparatus Pengadilan yang


Dijatuhkan Mahkamah Agung Sepanjang Tahun 2016

Pada sisi lain, sepanjang tahun 2016, Komisi Yudisial menerima 3.581
laporan mengenai dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim
(KEPPH), yang terdiri dari 1.628 laporan dari masyarakat dan 1.899
laporan yang berasal dari surat tembusan. Berikut adalah rekapitulasi
penanganan laporan dugaan pelanggaran KEPPH oleh KY sepanjang
tahun 2016.
44 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Bagan 3.1. Pemeriksaan Laporan Masyarakat di Komisi Yudisial Tahun 2016

Penanganan terhadap laporan tersebut bermuara pada usulan penja-


tuhan sanksi terhadap 54 laporan yang mencakup 87 hakim, dengan
rincian usulan: sanksi ringan untuk 57 hakim; sanksi sedang untuk 19
hakim; dan sanksi berat untuk 11 hakim. Terhadap 54 usulan penja-
tuhan sanksi tersebut, MA hanya merespon 15 usulan, dengan rincian:
7 usulan disetujui; 1 usulan untuk membentuk Majelis Kehormatan
Hakim; 1 usulan belum dapat ditindaklanjuti; dan 6 usulan dianggap
teknis yudisial oleh MA.
Dalam hal efektifitas pengawasan hakim, penilaian lebih baik dibe-
rikan responden kepada Komisi Yudisial daripada Mahkamah Agung.
Meski demikian, mayoritas responden menilai kinerja kedua lembaga
tersebut dalam mengawasi hakim tidak dan kurang efektif.

Tabel 3.13. Pandangan Ahli Terkait Efektivitas Pengawasan Hakim oleh MA


dan KY Tahun 2016
Mahkamah Komisi
Jawaban
Agung Yudisial
Sangat tidak efektif 32.5% 17.5%
Tidak efektif 40.0% 32.5%
Kurang efektif 12.5% 30.0%
Efektif 7.5% 15.0%
Sangat efektif 7.5% 5.0%

Sebagian besar ahli juga memandang bahwa kedua lembaga ini tidak
sinergis dalam menangani laporan masyarakat terhadap perilaku ha-
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 45

kim. Hanya 10 persen responden yang berpendapat bahwa KY dan


MA bersinergi.

Diagram 3.17. Pandangan Ahli Terkait Efektivitas Pengawasan Hakim oleh MA


dan KY 2016

Sedangkan peringkat daerah untuk capaian indikator Independensi Ha-


kim Terkait Manajemen Sumber Daya Hakim adalah sebagai berikut.

Tabel 3. 14. Perbandingan Skor Provinsi dalam Indikator Independensi Hakim


Terkait Manajemen Sumber Daya Hakim
Peringkat Prov Skor Peringkat Prov Skor
Kaltim 7.00 Sumbar 4.00
1
Ntb 7.00 4 Sumsel 4.00
Jatim 6.00 Sumut 4.00
2 Riau 6.00 Jateng 3.00
5
Sulteng 6.00 Ntt 3.00
3 Kalsel 5.00 Jabar 2.00
Bali 4.00 Maluku 2.00
Dki 4.00 6 Papua 2.00
4
Kalbar 4.00 Sulsel 2.00
Lampung 4.00 Sulut 2.00

3.3. Independensi Hakim Terkait dengan Kebijakan Kelembagaan


Skor indikator independensi hakim terkait dengan kebijakan kelemba-
gaan mengalami peningkatan yang tidak signifikan (0.27) dari tahun
sebelumnya: 6,10 di tahun 2015; 6.37 di tahun 2016. Skor tahun 2016
itu didapatkan dari dua skor subindikator: sarana prasarana anggaran
46 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

pengadilan dengan nilai 5,83; dan fasilitas pengamanan dan gaji hakim
dengan nilai 6,90.

3.3.1. Sarana-Prasarana dan Anggaran Pengadilan


Sepanjang tahun 2016 peningkatan sarana-prasarana pengadilan,
khususnya yang berada di bawah Mahkamah Agung, didominasi oleh
pembangunan lanjutan dan renovasi gedung kantor. Tidak ada pem-
bangunan gedung baru maupun pengadaan kendaraan baik roda dua
maupun roda empat.

Tabel 3.15. Perbandingan Pembangunan Sarana dan Prasarana di Bawah


Mahkamah Agung Tahun 2015 dan 2016

No. Sarana-Prasarana 2015 2016


1. Pembangunan gedung baru 80 n.a.
2. Pembangunan lanjutan 59 41
3. Perluasan gedung kantor n.a. n.a.
4. Renovasi gedung kantor 27 139
5. Pembangunan rumah jabatan 0 0
6. Renovasi rumah jabatan 6 0
Pengadaan kendaraan dinas dan kendaraan
7. 59 0
operasional roda 4
Pengadaan kendaraan dinas dan kendaraan
8. 44 0
operasional roda 2

Diagram 3.18. Pandangan Ahli Terkait Kapasitas dan Integritas Panitera dalam
Mendukung Independensi Hakim 2016
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 47

Salah satu temuan yang perlu digarisbawahi adalah minimnya du-


kungan kepaniteraan kepada independensi hakim, hanya 12,5 persen
ahli yang menilai bahwa kapasitas dan integritas kepaniteraan telah
mendukung independensi hakim dalam memeriksa, mengadili dan
memutus perkara.

3.3.2. Fasilitas Pengamanan & Gaji Hakim


Pada subindikator ini, mayoritas responden (60%) menilai bahwa hak
keuangan yang diperoleh hakim sudah layak. Sedangkan untuk ja-
minan keamanan bagi hakim, separuh dari responden menilai sudah
memadai, 17.5 persen menilai cukup memadai dan sisanya (32.5%)
menyatakan tidak memadai.

Diagram 3.19. Pandangan Ahli Terkait Hak Keuangan Hakim Tahun 2016

Diagram 3.20. Pandangan Ahli Terkait Jaminan Keamanan Hakim Tahun 2016
48 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Capaian daerah untuk indikator independensi hakim terkait dengan


kebijakan kelembagaan dapat diperingkatkan sebagai berikut.

Tabel 3.16 Perbandingan Skor Provinsi Terkait Indikator Independensi Hakim


Terkait Kebijakan Kelembagaan
Peringkat Prov Skor Peringkat Prov Skor
Kaltim 7.00 Sumbar 4.00
1
NTB 7.00 4 Sumsel 4.00
Jatim 6.00 Sumut 4.00
2 Riau 6.00 Jateng 3.00
5
Sulteng 6.00 NTT 3.00
3 Kalsel 5.00 Jabar 2.00
Bali 4.00 Maluku 2.00
DKI 4.00 6 Papua 2.00
4
Kalbar 4.00 Sulsel 2.00
Lampung 4.00 Sulut 2.00

3.4. Independensi Hakim dari Pengaruh Publik dan Media Massa


Indikator terakhir dari prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka ini
memberikan kontribusi terbesar kedua terhadap penurunan kinerja
lembaga peradilan pada tahun 2016, yakni sebesar 0.52: tahun sebe-
lumnya 5.59; menjadi 5.08. Penilaian tersebut diperoleh berdasarkan
pembobotan terhadap dua pertanyaan survei terkait pemaksaan kelom-
pok masyarakat yang berkepentingan dan pemberitaan media massa.

Diagram 3.21. Pandangan Ahli Terkait Independensi Hakim dalam


Pemberitaan Media Massa
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 49

Berdasarkan survei ahli, diketahui bahwa hanya 20 persen ahli yang


setuju dengan pendapat bahwa hakim dalam mengadili dan memutus
perkara tidak terpengaruh oleh pemaksaan dari kelompok masyarakat
yang berkepentingan. Sedangkan terkait pengaruh yang ditimbulkan
pemberitaan media massa, hanya 27,5 persen ahli yang menyatakan
hakim telah independen.
Berdasarkan hasil survei ahli, peringkat daerah untuk capaian indi-
kator independensi hakim dari pengaruh publik dan media massa dapat
dilihat dalam tabel 3.17.

Tabel 3.17. Perbandingan Skor Indikator Independensi Hakim dari Pengaruh


Publik dan Media Massa
Peringkat Provinsi Skor Peringkat Provinsi Skor
1 Jatim 8.00 Kalbar 5.00
6
2 Sulsel 7.50 Sulteng 5.00
3 Kaltim 7.00 7 Sumut 4.50
Kalsel 6.50 NTT 4.00
4 8
Sulut 6.50 Sumbar 4.00
DKI 6.00 9 Papua 3.50
5 NTB 6.00 Bali 3.00
Riau 6.00 10 Jabar 3.00
Lampung 5.50 Sumsel 3.00
6
Jateng 5.00 11 Maluku 2.00

4. Akses Terhadap Keadilan


Penegakan prinsip keadilan adalah salah satu ciri dari negara hukum.
Keadilan adalah hak dasar manusia yang sejalan dengan prinsip persa-
maan di muka hukum. Setiap orang memiliki hak untuk memperoleh
effective remedy atas pelanggaran hak yang mereka derita, yang diba-
rengi oleh kewajiban negara untuk memastikan pemenuhan hak-hak
tersebut. Akumulasi dari hak-hak tersebut mengafirmasi bahwa keadilan
telah menjadi suatu hak asasi manusia yang patut dihormati dan dija-
min pemenuhannya.
Salah satu prinsip yang ada di dalam indeks negara hukum indo-
nesia adalah akses terhadap keadilan. Prinsip akses terhadap keadilan
berangkat dari kenyataan-kenyataan objektif keberadaan kelompok
miskin dan terpinggirkan akibat proses pembangunan yang kurang atau
tidak memberikan pilihan, kesempatan, dan akses terhadap sumber
daya. Pada kerangka indeks negara hukum Indonesia, pemahaman
terhadap prinsip akses terhadap keadilan hanya dibatasi dalam artian
50 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

formal saja. Sebagaimana dipahami oleh banyak ahli, akses terhadap


keadilan dalam artian substantif memiliki dimensi yang luas. Maka dari
itu, pembatasan dilakukan agar secara konseptual prinsip akses terha-
dap keadilan tidak berbenturan dengan prinsip negara hukum lainnya
seperti kekuasaan kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Akses terhadap keadilan dalam artian formal tersebut mencakup
apakah sistem peradilan bisa diakses oleh publik, apakah sistem pera-
dilan yang ada sudah mencerminkan proses yang cepat dan terjangkau,
dan apabila warga negara terutama warga negara yang rentan seperti
kelompok difabel, anak, perempuan, masyarakat adat, dan kelompok
minoritas menghadapi masalah hukum dalam sistem hukum yang
formal, apakah negara menyediakan bantuan hukum.

***

Skor prinsip akses terhadap keadilan tahun 2016 sebesar 5,50. Skor
yang didapat prinsip ini mengalami penurunan 0,87 dari skor tahun
sebelumnya yang mencapai 5,96 p0in. Dilihat dari sudut nilai indeks,
prinsip ini memiliki nilai indeks sebesar 0,82. Inilah daftar peringkat
20 provinsi untuk prinsip akses terhadap keadilan.

Tabel 3.18. Perbandingan Skor Provinsi Prinsip Akses terhadap KeadilanTahun 2016
Peringkat Provinsi Nilai
Jawa Timur 6,83
1
Kalimantan Selatan 6,83
2 Sulawesi Tengah 6,49
3 Sumatera Selatan 6,27
4 Kalimantan Timur 6,17
5 Riau 6,06
6 Kalimantan Barat 5,72
7 Jawa Tengah 5,47
8 Nusa Tenggara Barat 5,20
9 Sumatera Barat 5,18
10 DKI Jakarta 5,16
11 Sumatera Utara 5,13
12 Lampung 4,84
13 NTT 4,81
14 Sulawesi Selatan 4,79
15 Jawa Barat 4,65
16 Maluku 4,40
17 Bali 4,29
18 Papua 4,02
19 Sulawesi Utara 3,75
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 51

Tabel di atas menunjukan skor tertinggi untuk prinsip akses terhadap


keadilan ditempati oleh 2 provinsi, yaitu Provinsi Jawa Timur dan Pro-
vinsi Kalimantan Selatan dengan skor 6,83. Sedangkan provinsi dengan
peringkat terendah adalah Provinsi Sulawesi Utara dengan skor 3,75.
Prinsip akses terhadap keadilan dalam indeks negara hukum Indo-
nesia dibagi atas tiga indikator, 1) keterbukaan informasi 2) Peradilan
yang cepat dan terjangkau 3) Ketersediaan bantuan hukum.

4.1. Keterbukaan Informasi


Indikator pertama dalam prinsip akses terhadap keadilan adalah ke-
terbukaan informasi. Keterbukaan informasi yang dimaksud adalah
kemudahan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan
dalam sistem peradilan: tahap penyidikan, tahap penuntutan, dan ta-
hap beracara di pengadilan. Selain mengukur kemudahan masyarakat
untuk mengakses informasi di setiap tahapan, indikator ini juga akan
melihat sejauh mana respon dari setiap institusi yang berwenang jika
ada keluhan yang disampaikan oleh publik dalam setiap tahapan.
Skor indikator keterbukaan informasi tahun 2016 mengalami penu-
runan sebesar 1,28 poin dari tahun sebelumnya: dari 5,71 pada tahun
2015; menjadi 4,43 pada tahun 2016. Penurunan ini menjadikan
indikator keterbukaan informasi yang mengalami penurunan terbesar
dibandingkan dua indikator lainnya dalam prinsip akses terhadap kea-
dilan. Penurunan skor yang cukup signifikan ini disebabkan keterbatas-
an ketersediaandokumen dan kualitas dokumen yang ada.

***

Hasil survei ahli menunjukan bahwa dalam tahap penyidikan, akses


masyarakat terhadap informasi masih buruk (67,50 %); dan apabila
masyarakat mendapat masalah informasi dan mengajukan keberatan,
Kepolisian sebagai institusi yang punya kewenangan ditahap penyidikan
masih dinilai tidak responsif terhadap keluhan (75 %).
52 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Diagram. 3.22. Pandangan Ahli Apabila Masyarakat Mengalami Masalah dalam


Tahap Penyidikan dan Melakukan Keberatan Direspon dengan Baik Tahun
2016

***

Pada tahap penuntutan, survei ahli menunjukan bahwa masyarakat ma-


sih sulit untuk mendapatkan informasi (67,5%); dan bila mengajukan
keberatan terhadap informasi yang dibutuhkan pada tahap ini, respon
Kejaksaan pun sangat rendah (77,5%).

Diagram 3.23. Pandangan Ahli Terkait Kemudahan Masyarakat Mendapatkan


Informasi pada Tahap Penuntutan Tahun 2016
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 53

Diagram 3.24. Pandangan Ahli Apabila Masyarakat Mengalami Masalah dalam


Tahap Penuntutan dan Melakukan Keberatan Direspon dengan Baik Tahun
2016

Berdasarkan laporan kinerja Komisi Kejaksaan RI (KKRI) tahun 2016,


KKRI menerima sebanyak 1.048 laporan pengaduan masyarakat. Jum-
lah pengaduan tahun 2016 mengalami peningkatan dibandingkan pe-
nerimaan laporan pengaduan pada tahun 2015 sebanyak 812 laporan.
Dari pengaduan itu, KKRI mengeluarkan rekomendasi kepada Jaksa
Agung sebanyak 371 rekomendasi dengan kualifikasi untuk dilakukan
pemeriksaan sebanyak 17 pengaduan, untuk dilakukan klarifikasi se-
banyak 56 pengaduan, dan sebanyak 298 pengaduan diteruskan untuk
segera ditindaklanjuti.

***

Pada tahap proses beracara di persidangan, ada tiga informasi yang


ditanyakan kepada ahli, yaitu: informasi perkara, jadwal sidang, dan
salinan putusan pengadilan. Hasil survei ahli menunjukan bahwa in-
formasi jadwal sidang lebih mudah didapatkan dibandingkan informasi
lainnya. Masih menurut ahli, kesulitan terbesar dalam mendapatkan
informasi yaitu mendapatkan salinan putusan pengadilan. Begitu pun
ketika masyarakat mencoba melakukan pengajuan keberatan atas kesu-
litannya mendapatkan informasi itu, pengadilan tidak responsif dalam
menjawab permasalahan tersebut.
54 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Diagram. 3.25. Pandangan Ahli Terkait Kemudahan Mendapatkan Salinan


Putusan Tahun 2016

Meskipun ahli menyatakan akses masyarakat untuk mendapatkan


salinan putusan pengadilan masih sulit, hasil penelusuran dokumen
mengatakan hal yang berbeda. Sebagaimana yang tercantum dalam
Laporan Tahunan Mahkamah Agung tahun 2016, jumlah putusan
yang tersedia di Direktori Putusan sampai dengan tanggal 31 Desember
2016 sebanyak 2.061.320 putusan, yang terdiri dari 1.975.804 putusan
pengadilan tingkat pertama/banding dan 86.462 putusan Mahkamah
Agung.
Masih menurut Laporan tahunan MA tahun 2016, jumlah putusan
yang dipublikasikan sepanjang tahun 2016 sebanyak 438.989 putusan
atau rata-rata 36.582 putusan per bulan. Dari jumlah tersebut, seba-
nyak 14.712 merupakan putusan MA. Jumlah putusan MA yang diup-
load di tahun 2016 meningkat 36,58 persen jika dibandingkan tahun
2015 yang mengupload 10.772 putusan. Jumlah putusan MA yang
dipublikasikan tahun 2016 merupakan yang tertinggi sejak MA mulai
mempublikasikan putusan pada tahun 2007.

Tabel 3.19. Skor Indikator Keterbukaan Informasi Per Provinsi Tahun 2016
Peringkat Provinsi Skor
1 Jatim 6.67
2 Kaltim 6.50
3 Sulteng 6.17
4 Riau 6.00
5 Kalsel 5.83
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 55

Peringkat Provinsi Skor


6 DKI 5.33
7 Kalbar 5.17
NTB 4.67
8
Sulsel 4.67
9 Lampung 4.50
10 NTT 4.50
11 Sumsel 4.00
12 Jateng 3.83
13 Maluku 3.50
Jabar 3.33
14
Sumut 3.33
15 Sulut 2.83
Papua 2.67
16
Sumbar 2.67
17 Bali 2.50

4.2. Peradilan yang Cepat dan Terjangkau


Indikator yang kedua dalam prinsip akses terhadap keadilan adalah
peradilan yang cepat dan terjangkau. Peradilan yang cepat dan ter-
jangkau dimaksudkan untuk mengukur sejauh mana peradilan umum,
peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer
sudah cepat dalam melayani para pencari keadilan. Selain mengukur
sejauh mana proses peradilan yang cepat, indikator ini juga ingin me-
lihat sejauh mana biaya berproses di pengadilan dapat terjangkau oleh
masyarakat dan keterjangkauan geografis/lokasi pengadilan bagi para
pencari keadilan.
Skor indikator peradilan yang cepat dan terjangkau tahun 2016
mengalami penurunan 0,28 dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2015,
indikator ini memiliki skor sebesar 6,61; dan pada tahun 2016 menurun
menjadi 6,33.
Terkait kecepatan proses beracara di pengadilan, 42,5 persen ahli
menyatakan proses peradilan cepat, dan 31 persen menyatakan seba-
liknya. Dari lima pengadilan yang disurvei, Pengadilan Agama dinilai
paling cepat dalam menyelesaikan perkara. Sedangkan Pengadilan
Umum (pidana dan perdata) dinilai sebagai yang paling lambat.
Berdasarkan hasil penelusuran dokumen, pengadilan tingkat per-
tama di seluruh Indonesia selama tahun 2016 menerima sebanyak
3.838.152 perkara, sisa perkara tahun 2015 sebanyak 124.621 perkara,
sehingga beban perkara yang diadili berjumlah 3.962.833 perkara.
Perkara yang telah diputus sebanyak 3.764.629 perkara dan dicabut
56 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

sebanyak 16.581 perkara. Sisa perkara pada akhir tahun 2016 sebanyak
181.623 perkara.

Tabel 3.20. Persentase Pendapat Ahli Terkait Proses Peradilan yang Cepat
tahun 2016
Persentase Pendapat
Sangat
Tidak Kurang Sangat
No Pengadilan tidak Setuju
setuju setuju Setuju
setuju
1 Pengadilan Pidana 25,00 22,50 25,00 15,00 12,50
2 Pengadilan Perdata 15,00 32,50 30,00 15,00 7,50
3 Pengadilan Agama 2,50 12,50 20,00 40,00 25,00
4 Pengadilan TUN 5,00 17,50 25,00 40,00 12,50
5 Pengadilan Militer 7,50 15,00 32,50 37,50 7,50
Rata-rata 11,00 20,00 26,50 29,50 13

Berdasarkan hasil penelusuran dokumen, pengadilan tingkat pertama


di seluruh Indonesia selama tahun 2016 menerima sebanyak 3.838.152
perkara, sisa perkara tahun 2015 sebanyak 124.621 perkara, sehingga
beban perkara yang diadili berjumlah 3.962.833 perkara. Perkara yang
telah diputus sebanyak 3.764.629 perkara dan dicabut sebanyak 16.581
perkara. Sisa perkara pada akhir tahun 2016 sebanyak 181.623 perkara.
Jumlah perkara yang diterima tahun 2016 menurun 15,91 persen
dibandingkan penerimaan tahun 2015 sebanyak 4.556.580 perkara.
Jumlah perkara putus menurun 17,11 persen dari tahun 2015 yang ber-
jumlah 4.541.648 perkara. Rasio jumlah perkara putus dibandingkan
dengan beban perkara sebesar 95 persen. Rasio sisa perkara dibanding-
kan dengan beban perkara sebesar 4,58 persen.

Tabel 3.20. Perbandingan Keadaan Perkara yang diterima Pengadilan tingkat


pertama di empat (4) Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia Tahun 2015-2016
No Tahun Sisa Masuk Jumlah Putus Cabut Sisa
1 2015 128.554 4.584.119 4.712.673 4.541.648 30.050 140.975
2 2016 124.681 3.838.152 3.962.833 3.764.629 16.581 181.623
Rasio
-3,01% -16,27% -15,91% -17,11% -44,82% 28,83%
Perbandingan
Sumber: Diolah dari Laporan Akhir Tahun MA 2016
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 57

Tabel 3.21. Rincian keadaan perkara yang diterima Peradilan Tingkat Pertama
Seluruh Indonesia tahun 2016
Lingkungan Sisa
No Masuk Jumlah Putus Cabut Sisa
Peradilan 2015
1 Umum 35.028 3.331.646 3.366.674 3.312.131 7.168 47.375
2 Agama 88.749 501.490 590.239 447.704 9.369 133.166
3 Militer 324 2.994 3.318 2.827 44 447
4 Tun 580 2.022 2.602 1.967 - 635
Jumlah 124.681 3.838.152 3.962.833 3.764.629 16.581 181.623
Sumber: Diolah dari Laporan Akhir Tahun MA 2016

***

Terkait dengan biaya di pengadilan, para ahli berpandangan bahwa


biaya proses di pengadilan masih tidak terjangkau oleh semua kalangan.
Ini terlihat dari 65,16 persen ahli berpandangan sangat tidak setuju,
tidak setuju, dan kurang setuju atas biaya di pengadilan.

Tabel 3.22. Pandangan Ahli Terkait Keterjangkauan Biaya Pengadilan (dalam


persen) 2016
Persentase Pendapat
Sangat
No Pengadilan Tidak Kurang Sangat
tidak Setuju
setuju setuju Setuju
setuju
1 Perdata 32,50 30,00 17,50 12,50 7,50
2 Agama 12,50 17,50 25,00 25,00 20,00
3 TUN 20,00 27,50 20,00 22,50 10,00
4 Militer 2,50 12,50 42,50 25,00 17,50
Rata-rata 16,875 21,875 26,375 21,25 13,75

***

Pada sisi lain, terkait keterjangkauan lokasi pengadilan dapat dijangkau


dengan mudah oleh publik, menurut ahli hampir semua lokasi penga-
dilan dapat dijangkau oleh publik. Lokasi yang paling mudah dijangkau
oleh publik adalah Pengadilan Agama; dan yang paling sulit dijangkau
adalah Pengadilan TUN.
Sedangkan untuk hasil peringkat indikator peradilan yang cepat dan
terjangkau diperoleh Provinsi Sumatera Utara pada peringkat pertama,
dan Provinsi Jawa Barat berada di tingkat terakhir.
58 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Tabel 3.23. Pandangan Ahli Terkait Keterjangkauan Lokasi Pengadilan (dalam


persen) 2016
Persentase Pendapat
No Pengadilan Sangat Cukup Sangat
Sulit Mudah
sulit sulit Mudah
1 Umum 7,50 17,50 20,00 30,00 25,00
2 Agama 7,50 10,00 20,00 32,50 30,00
3 TUN 15,00 22,50 17,50 32,50 12,50
4 Militer 10,00 15,00 22,50 32,50 20,00
Rata-rata 10,00 16,25 20,00 31,875 21,875

Tabel 3.24. Daftar Peringkat Indikator Peradilan yang Cepat dan Terjangkau
per Provinsi 2016
Peringkat Provinsi Skor
1 Sumut 7.31
2 Kaltim 7.27
3 Jatim 7.15
4 Kalbar 7.00
5 NTB 6.92
Sulteng 6.81
6
Sumsel 6.81
7 NTT 6.69
8 Kalsel 6.65
9 Jateng 6.42
Maluku 6.19
10
Sulsel 6.19
11 DKI 6.15
12 Bali 6.12
13 Sumbar 6.04
14 Sulut 5.92
15 Riau 5.85
16 Papua 5.38
17 Lampung 5.35
18 Jabar 5.27

4.3. Ketersediaan Bantuan Hukum


Indikator yang ketiga ialah ketersediaan bantuan hukum. Indikator
ingin melihat sejauh mana ketersedian bantuan hukum yang diberi-
kan oleh negara terhadap masyarakat yang berhak dan juga kelompok
rentan. Kelompok rentan di sini adalah kelompok difabel, anak, pe-
rempuan, masyarakat adat, dan kelompok minoritas.
Indikator ketersediaan bantuan hukum menjadi satu-satunya
indikator dalam prinsip akses terhadap keadilan yang mengalami
kenaikan. Pada tahun 2015 indikator ketersediaan bantuan hukum
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 59

mendapatkan skor 5,55; dan pada tahun 2016 naik sebesar 0,19,
menjadi 5,74.
Terkait dengan bantuan hukum yang diberikan negara pada tahun
2016, 50 persen ahli menyatakan bahwa negara sudah memberikan
bantuan hukum bagi warga negara yang berhak. Respon ahli ini me-
nurun sebesar 5 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya
dengan 55 persen.

Diagram 3.26. Pandangan Ahli Terkait Bantuan yang DIberikan Negara Bagi
Warga Negara yang Berhak Tahun 2016

Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2016, ling-


kungan peradilan umum berhasil memberikan jumlah layanan kepada
9.897 orang, lingkungan peradilan agama berhasil memberikan layanan
kepada 195.023 orang, dan peradilan tata usaha negara berhasil mem-
berikan layanan untuk 13 orang. Meski demikian, jika dibandingkan
dengan data dari tahun 2014-2016, bantuan hukum yang diberikan
negara melalui Posbakum mengalami pasang surut. Perbandingan
pasang surut masing-masing lingkungan peradilan dapat dilihat dari
tabel 3.25 sampai tabel 3.27.

Tabel 3.25.Data Layanan Posbakum di Peradilan Umum Tahun 2014-2016


Jumlah Jumlah
No Tahun
Posbakum Layanan
1 2014 56 788 perkara
2 2015 350 11.551 orang
3 2016 352 9.897 orang
60 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Tabel 3.26. Data Layanan Posbakum di Peradilan Agama Tahun 2014-2016


Jumlah
Jumlah
No Tahun Layanan
Posbakum
(orang)
1 2014 74 82.145
2 2015 120 77.344
3 2016 120 195.023

Tabel 3.27. Data Layanan Posbakum Pengadilan Tata Usaha Negara Tahun
2014-2016
Jumlah
Jumlah
No Tahun Layanan
Posbakum
(orang)
1 2014 15 2
2 2015 28 9
3 2016 28 13

Pemberian bantuan hukum juga dilakukan Mahkamah Agung melalui


pembebasan biaya perkara. Sepanjang tahun 2016 Pengadilan Negeri
berhasil menyelesaikan 316 perkara melalui Program Pembebasan Bi-
aya Perkara. Sedangkan Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah
berhasil menyelesaikan 26.451 perkara; dan Pengadilan Tata Usaha
Negara berhasil menyelesaikan 12 perkara.

Tabel 3.28.Layanan Pembebasan Biaya Perkara di Peradilan Umum, Peradilan


Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara Tahun 2014-2016
Jumlah
Pengadilan Jumlah Layanan
No Lingkungan Peradilan Tahun
Pemberi (Perkara)
Layanan
2014 39 96
1 Peradilan Umum 2015 256 912
2016 227 316
2014 359 11.513
2 Peradilan Agama 2015 359 10.748
2016 359 26.451
2014 15 0
3 Peradilan TUN 2015 28 9
2016 28 12

Apabila ketersediaan bantuan hukum yang diberikan oleh negara ter-


sebut dihubungkan dengan kelompok rentan seperti kelompok difabel,
anak, perempuan, masyarakat adat, dan kelompok minoritas maka
ketersediaan bantuan hukum yang diberikan negara naik tipis sebesar
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 61

0,25 persen: tahun 2015 yang mengatakan sangat setuju dan setuju
sebanyak 41,25 persen; dan pada tahun 2016 sebanyak 41,5 persen.

Tabel 3.29. Pandangan Ahli Ketersediaan Bantuan Hukum Bagi Kelompok


Rentan Tahun 2016
Persentase Pendapat
Sangat
No Kelompok rentan Tidak Kurang Sangat
tidak Setuju
setuju setuju setuju
setuju
1 Difabel 20,00 32,50 15,00 25,00 7,50
2 Anak 5,00 27,50 12,50 45,00 10,00
3 Perempuan 10,00 25,00 17,50 35,00 12,50
4 Masy. Adat 25,00 30,00 10,00 27,50 7,50
5 Minoritas 25,00 22,50 15,00 30,00 7,50
Rata-rata 17 27,50 14 32,50 9

Berdasarkan survei ahli, kelompok rentan yang paling tersedia akses


bantuan hukum adalah kelompok anak. Sedangkan kelompok yang
paling sulit mendapatkan akses bantuan hukum adalah masyarakat
adat. Hasil itu sesuai dengan apa yang disampaikan pada Laptah MA
tahun 2016, di mana Mahkamah Agung memberikan perhatian serius
untuk membantu mereka dalam memperoleh akses terhadap keadilan.
Kesungguhan MA itu dapat dilihat dari diterbitkannya SK KMA No-
mor 88/SK/ KMA/V/2016 tanggal 16 Mei 2016 tentang Pembentukan
Kelompok Kerja Perempuan dan Anak.
Untuk meningkatkan akses terhadap keadilan, Mahkamah Agung
juga membentuk pengadilan percontohan untuk meningkatan akses
keadilan bagi perempuan dan anak. Ada lima pengadilan yang ditetap-
kan sebagai pengadilan percontohan yaitu PN Stabat, PN Kupang, PN
Cibinong, PN Manado dan PN Sleman.
Ada tambahan pertanyaan di dalam indikator ketersediaan bantuan
hukum pada tahun 2016. Pertanyaan itu terkait ketersediaan Peraturan
Daerah Provinsi tentang Bantuan Hukum. Selain untuk mengukur
dan mengetahui keberpihakan pemerintah daerah akan akses bantuan
hukum bagi warga negara yang berhak, alasan lainnya adalah untuk
memetakan seberapa banyak Pemerintah Provinsi yang memiliki Perda
Bankum dan menilai keefektifitasannya.
62 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Tabel 3.30. Daftar Provinsi yang Memiliki Perda Bantuan Hukum


No Provinsi Sudah Belum
1 Sumut √
2 Sumbar √
3 Sumsel √
4 Lampung √
5 Riau √
6 DKI √
7 Jabar √
8 Jateng √
9 Jatim √
10 Sulsel √
11 Sulteng √
12 Sulut √
13 Bali √
14 NTT √
15 NTB √
16 Kaltim √
17 Kalbar √
18 Kalsel √
19 Maluku √
20 Papua √

Keberadaan Peraturan Daerah tentang bantuan hukum pada provinsi


menjadi salah satu aspek pendukung dalam penilaian indikator keterse-
diaan bantuan hukum di masing-masing provinsi. Peringkat 20 provinsi
untuk indikator bantuan hukum dapat dilihat dalam tabel 3.31.

Tabel 3.31 Daftar Peringkat Provinsi Berdasarkan Indikator Ketersediaan


Bantuan Hukum 2016
Peringkat Provinsi Skor
1 Kalsel 8.00
1 Sumsel 8.00
2 Sumbar 6.83
3 Jatim 6.67
4 Sulteng 6.50
5 Riau 6.33
6 Jateng 6.17
7 Jabar 5.33
8 Kalbar 5.00
9 Kaltim 4.75
9 Sumut 4.75
10 Lampung 4.67
11 Bali 4.25
12 DKI 4.00
12 NTB 4.00
12 Papua 4.00
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 63

13 Maluku 3.50
13 Sulsel 3.50
14 NTT 3.25
15 Sulut 2.50

5. Hak Asasi Manusia


Prinsip-prinsip negara hukum dan hak asasi manusia memiliki keterka-
itan yang saling mempengaruhi dan tidak bisa dipisahkan satu dengan
lainnya. Negara hukum yang baik menuntut lebih dari sekedar prose-
dur yang baik, namun juga mensyaratkan adanya hukum yang baik juga
(good laws), yaitu hukum yang mengakui jaminan hak asasi manusia
(HAM).4 Di sisi lain, negara hukum adalah kendaraan yang utama
bagi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dari kesewenang-
-wenangan penguasa. Oleh karena itu, penghormatan, perlindungan
dan pemenuhan hak asasi manusia dijadikan salah satu prinsip yang
mengindikasikan sejauh mana penegakkan negara hukum dijalankan
di Indonesia.
Di dalam prinsip ini, ada beberapa indikator yang dijadikan tolok
ukur penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia
yaitu: 1) Jaminan hak atas hidup; 2) Jaminan atas hak untuk bebas dari
penyiksaan; 3) Jaminan atas hak untuk tidak diperbudak; 4) Jaminan
atas hak untuk tidak dipenjara berdasarkan kewajiban kontraktual; 5)
Jaminan atas hak untuk tidak dihukum atas suatu perbuatan yang bu-
kan tindak pidana; dan 6) Jaminan kebebasan berpikir, berkeyakinan
dan beragama.
Keenam indikator tersebut dipilih karena merupakan bagian dari
komponen hak-hak asasi manusia yang diakui, baik di dalam instru-
men hukum internasional, maupun hukum nasional, sebagai hak
asasi manusia yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun juga
(non-derogable rights)5, atau yang juga dikenal dengan jus cogens, yaitu

4 Randall Peerenboom membedakan negara hukum kedalam dua kategori yaitu thick rule of
law dan thin rule of law. Secara singkat dapat dikatakan bahwa thin rule of law adalah negara
hukum yang memenuhi penerapan aspek-aspek prosedural di dalam sistem hukumnya, semen-
tara thick rule of law adalah negara hukum yang bukan saja menjunjung prosedur hukum yang
baik, namun juga mengadopsi hukum-hukum yang baik pula. Lihat, Randall Peerenboom,
Human Rights and Rule of Law: What’s the Relationship?, UCLA School of Law, California,
hlm: 19-20. Dapat diakses di: http://ssrn.com/abstract=816024
5 Sifat absolut dari keenam hak asasi manusia tersebut diakui di dalam Pasal 4 paragraf (2) Ko-
venan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, serta Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang
64 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

seperangkat norma yang utama di dalam hukum internasional, yang


tidak dapat ditentang ataupun dikurangi kapanpun dan oleh siapapun
juga.
Tiap-tiap indikator tersebut dipertajam ke dalam beberapa subin-
dikator yang meliputi ketersediaan jaminan hukum bagi tiap-tiap hak
tersebut, kemudian bagaimana praktik penegakkan dan perlindungan
atas hak-hak tersebut dilakukan oleh negara, yang terakhir adalah
bagaimana mekanisme dan praktik pemulihan bagi para korban yang
hak-haknya terlanggar.

***

Secara umum, skor Prinsip Penghormatan, Perlindungan dan Pemenu-


han Hak Asasi Manusia tahun 2016 adalah 4,25. Skor prinsip HAM
ini meningkat dibandingkan dengan skor di tahun 2015 yang hanya
mencapai 3,82 poin. Dengan sendirinya, nilai indeks prinsip HAM di
tahun 2016 juga meningkat, yaitu 0,64, naik sebesar 0,09 poin diban-
dingkan dengan tahun 2015 (0,55).
Di tingkat provinsi, wilayah provinsi yang mendapatkan skor ter-
tinggi bagi prinsip HAM adalah Maluku dengan skor 7,76. Sedangkan
propinsi yang memiliki skor prinsip HAM terendah di tahun 2016
adalah DKI Jakarta (3,26), Jawa Barat (3,28), Papua (3,35), serta Suma-
tera Selatan (3,90). Perbandingan skor masing-masing provinsi dalam
prinsip HAM dapat dilihat dalam tabel 3.32.

Tabel 3.32. Perbandingan Skor Provinsi Prinsip Hak Asasi Manusia Tahun
2016
Peringkat Provinsi Nilai Indeks
1 Maluku 7,76
2 Bali 6,76
3 Kalimantan Selatan 6,49
4 Nusa Tenggara Barat 6,10
5 Jawa Timur 6,06
6 Nusa Tenggara Timur 5,93
7 Kalimantan Barat 5,84
8 Sulawesi Utara 5,80
9 Sulawesi Tengah 5,68
10 Lampung 5,47
11 Kalimantan Timur 5,39
12 Jawa Tengah 5,23

Dasar Republik Indonesia tahun 1945.


TEMUAN DAN NILAI INDEKS 65

13 Sumatera Barat 5,11


14 Sumatera Utara 5,07
15 Sulawesi Selatan 4,81
16 Riau 4,48
17 Sumatera Selatan 3,90
18 Papua 3,35
19 Jawa Barat 3,28
20 DKI Jakarta 3,26

5.1. Jaminan Hak atas Hidup


Secara keseluruhan, skor untuk indikator jaminan hak atas hidup
meningkat bila dibandingkan tahun sebelumnya. Di tahun 2015, skor
untuk indikator jaminan hak atas hidup adalah 3,51; sementara di ta-
hun 2016 meningkat 0,19 poin, menjadi 3,70. Persepsi para ahli pun
mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2015. Skor
yang diberikan para ahli terhadap indikator jaminan hak atas hidup di
tahun 2016 adalah 5,40; sementara di tahun 2015 hanya 5,13.
Meskipun skor indikator yang diberikan oleh para ahli cukup me-
nunjukkan tren yang membaik dibandingkan tahun 2015, namun di
dalam beberapa subindikator terdapat penurunan. Penurunan skor
yang cukup signifikan terkait dengan penerapan hukuman mati di
dalam konteks perlindungan hak atas hidup di dalam peraturan un-
dang-undang dan kebijakan pemerintah, di mana para ahli hanya
memberikan skor 4,80 di tahun 2016; sementara di tahun 2015, para
ahli memberikan skor 5,56 untuk jaminan hukum tersebut.
Sementara itu, di dalam subindikator yang terkait dengan praktek
penggunaan kekerasan berlebihan yang mengakibatkan kematian oleh
aparat penegak hukum dan/atau militer, para ahli juga memberikan
skor yang lebih rendah di tahun 2016, yaitu 4,40. Sedangkan skor pada
tahun 2015, mempunyai skor 4,88 (lihat diagram 3.28).
Dari segi pelaku praktek penggunaan kekerasan yang berlebihan di
tahun 2016, para pakar masih melihat bahwa aparat penegak hukum/
polisi adalah aktor yang paling banyak melakukan kekerasan berlebihan
yang mengakibatkan kematian (lihat diagram 3.28).
Dari segi penelusuran dokumen, khususnya dari data-data yang
dikumpulkan oleh Komnas HAM, pengaduan yang terkait dengan pe-
langgaran terhadap hak atas hidup juga mengalami sedikit peningkatan
di tahun 2016. Menurut Komnas HAM, ada 230 pengaduan terkait
66 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

pelanggaran hak atas hidup di tahun 2016, sementara di tahun 2015


ada 226 jumlah pengaduan. Meski demikian, dalam hal penerapan
hukuman mati, terjadi penurunan jumlah eksekusi terpidana mati
yang cukup siginifikan jika dibandingkan dengan tahun 2015, di mana
di tahun 2016, jumlah eksekusi dilakukan terhadap 4 orang terpidana
mati, sementara di tahun 2016 berjumlah 14 orang terpidana mati.

Diagram 3.27 Pandangan Ahli Terkait Penggunaan Kekerasan yang Berlebihan


(excessive use of force) di Tingkat Nasional Tahun 2016

Diagram 3.28. Pandangan Ahli Terkait Penggunan Kekerasan (excessive use of


force) yang Berlebihan oleh Kepolisian Tahun 2016
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 67

Dari penelusuran dokumen, praktek penggunaan kekerasan yang


mengakibatkan kematian memang masih terjadi di Papua pada tahun
2016. Salah satu kasus yang mendapatkan perhatian yang cukup besar
adalah peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh polisi di Manokwari
yang mengakibatkan satu orang meninggal dan enam orang menderita
luka-luka.

5.2. Jaminan atas Hak untuk Bebas dari Penyiksaan.


Indikator jaminan hak untuk bebas dari penyiksaan di tahun 2016
mengalami peningkatan skor yang sangat besar dibandingkan dengan
tahun 2015. Di tahun 2016, total skor indikator jaminan hak untuk
bebas dari penyiksaan adalah 3,77, yang artinya terjadi peningkatan
poin sebesar 0,78 jika dibandingkan dengan skor tahun 2015 yang
hanya 2,99. Peningkatan tajam terjadi di dalam pandangan para ahli
terhadap situasi penyiksaan di Indonesia, di mana toal jumlah skor yang
diberikan oleh para ahli di tahun 2016 adalah 5,34, jika dibandingkan
dengan skor tahun 2015 yang hanya 4,13.
Salah satu yang membuat skor indikator jaminan hak untuk bebas
dari penyiksaan ini meningkat di tahun 2016 adalah persepsi yang
cukup positif dari para ahli terkait dengan situasi di propinsi mereka
dalam kaitannya dengan indikator ini. Sebagai contoh, untuk subindi-
kator ketersediaan instrumen hukum yang menjamin hak untuk bebas
dari penyiksaan di tingkat provinsi, para ahli memberikan skor 6,05;
sementara pada tahun 2015, para ahli hanya memberikan skor 4,88
(lihat diagram 3.29).
Peningkatan yang cukup signifikan juga terjadi di dalam subindika-
tor upaya pengawasan dari pemerintah untuk pencegahan penyiksaan,
di mana skor yang diberikan adalah 5,80. Sementara, untuk subin-
dikator yang sama di tahun 2015, skor yang diberikan oleh para ahli
hanya 4,5. Pada sisi lain, dalam hal pelaku praktik penyiksaan, institusi
kepolisian masih menduduki urutan teratas, yang dipandang sebagai
pelaku utama penyiksaan (lihat diagram 3.30).
Berdasarkan hasil dari penulusuran dokumen, maka dapat diketahui
adanya sedikit perbaikan terkait situasi penyiksaan di tahun 2016 bila
dibandingkan dengan tahun 2015. Komnas HAM mencatat jumlah
pengaduan atas praktik penyiksaan yang terjadi di tahun 2016 sebanyak
68 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

142 pengaduan. Angka tersebut hampir dua kali lebih sedikit diban-
dingkan dengan jumlah pengaduan di tahun sebelumnya yang sampai
mencapai jumlah 272 pengaduan atas praktik penyiksaan.

Diagram 3.29. Pandangan Ahli Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan


di Provinsi yang Membatasi Hak Bebas dari Penyiksaan dan Penghukuman
yang Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia Tahun 2016

Diagram 3.30. Pandangan Ahli Terkait Praktik Penyiksaan, Penghukuman dan


Perlakuan yang Kejam di Tempat Penahanan Kepolisian Tahun 2016

Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) juga


mencatat bahwa terjadi setidak-tidaknya, 134 kasus penyiksaan yang
terjadi di dalam periode 2015-2016, dengan propinsi Sumatera Utara,
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 69

Jawa Barat, dan Jawa Tengah yang menjadi propinsi-propinsi dengan


kasus penyiksaan tertinggi.

5.3. Jaminan atas Hak untuk tidak Diperbudak.


Indikator jaminan hak untuk tidak diperbudak di tahun 2016 juga
mengalami peningkatan skor, meskipun tidak terlalu signifikan. Skor
indikator jaminan hak untuk tidak diperbudak di tahun 2016 adalah
4,26, meningkat sebesar 0,26 poin dibandingkan dengan skor indikator
tahun 2015.
Sebagian besar ahli masih melihat bahwa praktik-praktik perbudak-
an masih banyak terjadi di propinsi mereka pada tahun 2016. Berbeda
dengan tahun 2015, di mana para ahli memberikan skor terendah bagi
praktik kerja paksa sebagai bentuk perbudakan yang paling banyak ter-
jadi di wilayah mereka (skor 4,38), di tahun 2016 ini, para ahli melihat
bahwa eksploitasi kerja untuk pelunasan utang merupakan bentuk
perbudakan yang paling banyak terjadi di propinsi mereka dengan skor
terendah, yaitu 4,9 (lihat Diagram 3.31.)

Diagram 3.31. Pandangan Ahli Terkait Pemaksaan dan Ekspoitasi Kerja atas
Diri Seseorang Untuk Pelunasan Utang Piutang di Provinsi Tahun 2016

Kemudian, dalam kaitannya dengan sektor industri yang mempraktek-


kan perbudakan terhadap anak, para ahli memberikan skor yang sangat
rendah terhadap sektor pekerjaan jalanan, yaitu 3,6. Hal ini berarti, se-
bagian besar ahli melihat bahwa pekerjaan – pekerjaan jalanan, seperti
70 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

mengamen/mengemis/mengasong, adalah sektor yang paling banyak


mengeksploitasi anak di tahun 2016 (lihat Diagram 3.32.).

Diagram 3.32. Pandangan Ahli Terkait Praktik Perbudakan pada Sektor


Mengamen/Mengemis/Mengasong di Provinsi Tahun 2016

Sementara di tahun 2015, sektor yang dianggap paling banyak meng-


eksploitasi anak adalah sektor industri seks, dengan skor 4,61. Dari
segi upaya pencegahan oleh pemerintah di masing-masing propinsi
terhadap praktik-praktik perbudakan, para ahli tetap melihat bahwa
upaya pencegahan di tahun 2016 masih belum efektif, dengan skor
rata-rata 4,41. Namun demikian, jika dibandingkan dengan skor
rata-rata subindikator upaya pencegahan perbudakan di tahun 2015
yang hanya 3,69, maka skor subindikator upaya pencegahan praktik
perbudakan di tahun 2016 mengalami peningkatan yang cukup besar,
yaitu 0,72 poin.
Sementara itu, dalam hal pemulihan atas hak-hak korban perbu-
dakan, serta penindakkan secara hukum atau penghukuman terhadap
pelaku praktek perbudakan di sepanjang tahun 2016, sebagian besar
ahli melihat bahwa keduanya masih belum efektif. Meskipun masih
dipandang belum efektif, terjadi peningkatan yang diberikan oleh para
ahli untuk upaya pemerintah di dalam pemulihan hak-hak korban per-
budakan adalah 4,35, sementara di tahun 2015 hanya 3,69. Sebaliknya,
terkait dengan proses hukum atau penghukuman bagi pelaku praktik
perbudakan di sepanjang tahun 2016, terjadi sedikit penurunan menu-
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 71

rut pandangan ahli di mana skor yang diberikan adalah 4,4, menurun
0,1 poin dibandingkan tahun 2015 yaitu 4,5.
Berdasarkan hasil penelusuran dokumen, tidak banyak kemajuan
yang berarti di dalam situasi jaminan atas hak untuk tidak diperbu-
dak di Indonesia sepanjang tahun 2016. Departemen Luar Negeri
Amerika Serikat melaporkan bahwa terjadi penurunan jumlah kasus
perdagangan manusia di Kepolisian sepanjang tahun 2016: dari 221
kasus yang ditangani oleh kepolisian di tahun 2015, turun menjadi 110
kasus di tahun 2016. Namun, tidak dijelaskan apakah penurunan jum-
lah kasus tersebut disebabkan oleh menurunnya praktik perdagangan
manusia, atau justru karena menurunnya kemampuan polisi di dalam
menangani kasus-kasus perdagangan manusia. Kemudian, Komisi Per-
lindungan Anak Indonesia (KPAI) mengidentifikasi sekitar 307 kasus
perdagangan anak di Indonesia sepanjang tahun 2016.
Sementara itu, survey Global Slavery Index tahun 2016 melaporkan
bahwa, orang Indonesia yang hidup dalam perbudakan diestimasikan
berjumlah 736.100 orang. Berdasarkan indeks global tersebut, praktik-
-praktik perbudakan dalam bentuk kerja paksa, paling banyak ditemu-
kan di sektor-sektor pertanian/perikanan dan jasa konstruksi.

5.4. Jaminan Perlindungan atas Hak untuk tidak Dipenjara Akibat


Kewajiban Kontraktual
Penilaian para ahli terhadap indikator jaminan hak untuk tidak dipenja-
ra akibat kewajiban kontraktual di tahun 2016 mengalami peningkatan
signifikan jika dibandingkan dengan tahun 2015. Skor indikator jamin-
an hak ini meningkat sebesar 1,19 poin, menjadi 4,94, dibandingkan
tahun 2015 yang hanya 3,75.
Dari sisi ketersediaan instrumen yang memadai di dalam mem-
berikan jaminan perlindungan bagi setiap orang atas haknya untuk
tidak dipenjara akibat ketidakmampuannya di dalam memenuhi suatu
kewajiban kontraktual, para ahli memberikan penilaian yang sedikit
lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Di tahun 2016,
para ahli memberikan skor 4,55 untuk subindikator ketersediaan in-
strumen ini, yang lebih tinggi sebesar 0,36 poin dibandingkan dengan
tahun 2015 yaitu 4,19.
72 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Pada sisi praktek di tingkat nasional, para ahli melihat adanya per-
baikan di tahun 2016, terkait berkurangnya praktik pemenjaraan orang
atas dasar ketidakmampuannya di dalam memenuhi suatu kewajiban
kontraktual. Skor yang diberikan oleh para ahli terhadap subindikator
ini di tahun 2016 adalah 4,80. Skor subindikator ini mengalami pening-
katan sebesar 0,49, jika dibandingkan dengan tahun 2015, yaitu 4,31.
Di tahun 2016, ada penambahan penilaian di dalam subindikator
praktek pemenjaraan orang akibat kewajiban kontraktual. Sebelumnya
penilaian hanya diberikan untuk tingkat nasional saja, namun di tahun
2016 ditambahkan dengan kategori penilaian tingkat propinsi (lihat
diagram 3.33).

Diagram 3.33. Pandangan Ahli Terkait Praktik-praktik Pemenjaraan Terhadap


Orang Akibat Tidak Memenuhi Kewajiban Kontraktual Tahun 2016

Peningkatan nilai yang sangat tajam terlihat di dalam subindikator upa-


ya pemerintah/penegak hukum di dalam mencegah terjadinya praktek
pemenjaraan orang akibat ketidakmampuannya di dalam melaksanakan
suatu kewajiban kontraktual. Skor untuk subindikator tersebut tahun
2016 adalah 5,15, meningkat sebesar 1,4 poin dibandingkan dengan
tahun 2015 (lihat Diagram 3.34).
Sementara itu, di tingkat provinsi, skor rata-rata yang diberikan oleh
para ahli untuk subindikator upaya pencegahan, cukup konsisten de-
ngan penilaian untuk tingkat nasional, yaitu 5,15. Meskipun peningkat-
an skor bagi subindikator upaya pencegahan di tingkat nasional sangat
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 73

tinggi, namun tidak berarti bahwa upaya pencegahan yang dilakukan


penegak sudah maksimal, karena sebagian besar ahli masih melihat
bahwa upaya pencegahan yang dilakukan oleh penegak hukum terha-
dap masih belum memadai.

Diagram 3.34.
Pandangan Ahli Terkait Upaya Pemerintah/Penegak Hukum di Dalam
Mencegah Terjadinya Praktik Pemenjaraan Orang Akibat Kewajiban
Kontraktual

Sementara itu, di tingkat provinsi, skor rata-rata yang diberikan oleh


para ahli untuk subindikator upaya pencegahan, cukup konsisten de-
ngan penilaian untuk tingkat nasional, yaitu 5,15. Meskipun peningkat-
an skor bagi subindikator upaya pencegahan di tingkat nasional sangat
tinggi, namun tidak berarti bahwa upaya pencegahan yang dilakukan
penegak sudah maksimal, karena sebagian besar ahli masih melihat
bahwa upaya pencegahan yang dilakukan oleh penegak hukum terha-
dap masih belum memadai.
Terakhir, dalam hal efektifitas dari mekanisme pemulihan hak-hak
korban pemenjaraan akibat kewajiban kontraktual di tahun 2016, para
ahli memberikan skor 4,5. Subindikator mekanisme pemulihan di ta-
hun 2016 ini, merupakan subindikator yang mengalami peningkatan
tertinggi dibandingkan dengan subindikator lainnya di dalam indikator
jaminan perlindungan hak untuk tidak dipenjara akibat kewajiban
kontraktual.
74 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Namun, seperti juga halnya dengan subindikator upaya pencegahan,


peningkatan skor subindikator mekanisme pemulihan di tahun 2016
ini tidak dapat diartikan bahwa mekanisme pemulihan terhadap korban
pemenjaraan akibat kewajiban kontraktual di Indonesia sudah baik,
karena sebagian besar ahli justru melihat bahwa mekanisme tersebut
masih belum efektif.
Sayangnya, karena indikator jaminan perlindungan hak untuk tidak
dipenjara akibat kewajiban kontraktual merupakan indikator yang tidak
terlalu mendapatkan sorotan (underreported) di dalam berbagai lapor-
an HAM, baik dari pemerintah, organisasi masyarakat sipil nasional
maupun internasional, sehingga penilaian indikator ini sepenuhnya
bergantung pada penilaian para ahli dan tidak memiliki skor penilaian
dokumen.

5.5. Jaminan Perlindungan atas Hak untuk tidak Dipidana atas


Tindakan yang bukan Kejahatan.
Penilaian para ahli terhadap indikator jaminan perlindungan atas hak
untuk tidak dipidana atas tindakan yang bukan kejahatan sepanjang
tahun 2016 mengalami sedikit peningkatan dibandingkan tahun 2015,
yaitu 4,87. Terjadi peningkatan sejumlah 0,49 poin, dari tahun 2015
(4,38).
Meskipun ada peningkatan skor indikator jaminan perlindungan
atas hak untuk tidak dipidana atas tindakan yang bukan kejahatan
di tahun 2016, namun terjadi penurunan di dalam skor subindikator
tentang ketersediaan instrumen hukum yang menjamin perlindungan
atas hak untuk tidak dipidana atas tindakan yang bukan kejahatan. Di
tahun 2015, skor untuk subindikator ketersediaan instrumen hukum
tersebut adalah 5,06, sementara di tahun 2016 hanya 4,55. Artinya,
terjadi penurunan yang cukup signifikan, sebesar 0,51 poin, di dalam
pandangan para ahli terkait dengan ketersediaan instrumen hukum
tersebut (lihat diagram 3.35).
Dalam hal subindikator tentang praktik pelanggaran terhadap hak
untuk tidak dipidana atas suatu tindakan yang bukan kejahatan di
tingkat propinsi sepanjang tahun 2016, para ahli memberikan skor 5,7.
Skor untuk subindikator praktik pelanggaran ini mengalami penurunan
0,3 poin, jika dibandingkan dengan skor tahun 2015 yaitu 6. Provinsi
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 75

yang memiliki skor pelanggaran tertinggi adalah propinsi DKI Jakarta,


Jawa Barat, dan Sulawesi Tengah, dengan skor masing-masing 3. Se-
mentara, Bali merupakan propinsi di mana para ahlinya menganggap
tidak pernah terjadi satupun pelanggaran terhadap subindikator ini,
sehingga mendapatkan skor tertinggi, yaitu 10.

Diagram 3.35. Pandangan Ahli Terkait Ketersediaan Peraturan Perundang-


undangan dan Kebijakan di Tingkat Nasional yang Menjamin Hak Untuk
Tidak Dihukum atas Tindakan yang Tidak Diatur Sebagai Kejahatan oleh
Hukum Nasional dan Internasional Tahun 2016

Dalam hal subindikator tentang praktik pelanggaran terhadap hak un-


tuk tidak dipidana atas suatu tindakan yang bukan kejahatan di tingkat
propinsi sepanjang tahun 2016, para ahli memberikan skor 5,7. Skor
untuk subindikator praktik pelanggaran ini mengalami penurunan 0,3
poin, jika dibandingkan dengan skor tahun 2015 yaitu 6. Provinsi yang
memiliki skor pelanggaran tertinggi adalah propinsi DKI Jakarta, Jawa
Barat, dan Sulawesi Tengah, dengan skor masing-masing 3. Sementa-
ra, Bali merupakan propinsi di mana para ahlinya menganggap tidak
pernah terjadi satupun pelanggaran terhadap subindikator ini, sehingga
mendapatkan skor tertinggi, yaitu 10.
Sementara, dalam hal subindikator tentang mekanisme pemulihan
bagi korban pelanggaran terhadap hak untuk tidak dipidana atas suatu
tindakan yang bukan kejahatan, para ahli memberikan skor 4,35 un-
tuk tahun 2016. Subindikator pemulihan ini adalah satu-satunya yang
mengalami peningkatan di dalam indikator jaminan perlindungan
76 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

terhadap hak untuk tidak dipidana atas suatu tindakan yang bukan keja-
hatan, jika dibandingkan dengan tahun 2015 yang hanya mendapatkan
skor sebesar 2,06 (lihat diagram 3.36).

Diagram 3.36. Pandangan Ahli Terkait Efektifitas Mekanisme Pemulihan bagi


Korban Pelanggaran Terhadap Hak untuk Tidak Dipidana atas Suatu Tindakan
yang Bukan Kejahatan Tahun 2016

5.6. Jaminan Perlindungan atas Hak atas Kebebasan Berpikir, Ber-


keyakinan dan Beragama.
Indikator jaminan kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama di
tahun 2016 mengalami penurunan skor sebesar 0,26 poin jika diban-
dingkan dengan tahun 2015. Di tahun 2016, skor indikator jaminan
kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama turun menjadi 3,96,
sementara di tahun 2015 adalah 4,22. Sementara, di tingkat provinsi,
Papua memiliki skor indikator yang terendah, yaitu 2,75 dan Maluku
menjadi propinsi dengan skor indikator terbaik, yaitu 9,5.
Di dalam subindikator instrumen hukum nasional yang dianggap
membatasi kebebasan untuk berpikir mendapatkan skor yang terburuk
(4,5) dan diikuti dengan kebebasan beragama (4,70). Sementara untuk
kebebasan berkeyakinan mendapatkan skor tertinggi (5).
Urutan yang serupa juga terjadi di dalam subindikator keberadaaan
instrumen hukum yang membatasi kebebasan-kebebasan tersebut
di tingkat provinsi, di mana kebebasan berpikir mendapatkan skor
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 77

terburuk (5,65), diikuti dengan kebebasan beragama (5,85) dan, yang


tertinggi adalah kebebasan berkeyakinan (6,05).
Terkait dengan praktek-praktek pelanggaran, sebagian ahli berpenda-
pat bahwa masih cukup sering terjadi pelanggaran terhadap kebebasan
berpikir, beragama dan berkeyakinandi tingkat provinsi (lihat grafik
6.1). Skor rata-rata yang diberikan oleh para ahli untuk subindikator
praktik pelanggaran di tingkat provinsi sepanjang tahun 2016 adalah
5,6. Kemudian, seperti tahun 2015, organisasi kemasyarakatan (ormas)
tertentu masih menjadi pelaku utama pelanggaran terhadap kebebasan
berpikir, beragama dan berkeyakinan di tahun 2016.

Diagram 3.37. Pandangan Ahli Terkait Pelanggaran terhadap Kebebasan


Berpikir, Beragama dan Berkeyakinan di tingkat Propinsi Tahun 2016

Dalam hal penegakkan hukum atas kasus-kasus pelanggaran kebe-


basan berpikir, beragama dan berkeyakinan di tahun 2016, para ahli
memberikan skor 4,90. Skor subindikator ini mengalami peningkatan
jika dibandingkan dengan tahun 2015 yang hanya mencapai skor 4,13.
Sementara, dalam kaitannya dengan efektifitas dari mekanisme pemu-
lihan bagi korban pelanggaran hak atas kebebasan berpikir, berkeya-
kinan, dan beragama di sepanjang tahun 2016, para ahli memberikan
skor yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2015,
dengan rata-rata skor 4,3, sedangkan di tahun 2015, rata-rata skornya
adalah 3,29.
78 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Diagram 3.38. Pandangan Ahli Terkait Aparat Penegak Hukum Telah Secara
Maksimal Mengusut, Mengadili, dan Menghukum Pelaku Pelanggaran Tahun
2016

Dari hasil penelusuran dokumen terhadap situasi kebebasan berpikir,


beragama dan berkeyakinan di Indonesia, sepanjang tahun 2016, me-
mang ditemukan sedikit kemunduran. Berdasarkan data Komnas HAM,
jumlah pengaduan terkait dengan pelanggaran kebebasan berpikir,
beragama dan berkeyakinan meningkat dari 87 kasus di tahun 2015,
menjadi 97 di tahun 2016. Freedom House juga mencatat berbagai
kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok-kelompok agama
minoritas. Salah satu yang disoroti adalah kasus penyerangan terhadap
kelompok Gafatar di Kalimantan, yang mengakibatkan sekitar 7.900
pengikutnya harus direlokasi kembali ke tempat asal mereka masing-
-masing di luar Kalimantan.

B. NILAI INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016


Berdasarkan temuan survei ahli dan dokumen, keseluruhan nilai
indikator yang dihasilkan dalam Indeks Negara Hukum Indonesia
2016 dapat dilihat di tabel 3.19. Sebagai catatan bahwa setiap prinsip
memiliki bobot yang berbeda (lihat bagain metodologi dalam Bab II).
Untuk prinsip pemerintah berdasarkan hukum, prinsip independensi
kekuasaan kehakiman dan hak asasi manusia memiliki bobot sebesar
25 persen. Sedangkan prinsip akses tehadap keadilan memilki bobot 15
persen; dan prinsip legalitas formal dengan bobot 10 persen.
TEMUAN DAN NILAI INDEKS 79

Berdasarkan nilai yang didapatkan, maka nilai Indeks Negara Hu-


kum Indonesia Tahun 2016 adalah 5,31 poin.

Tabel 3.33. Skor Prinsip dan Indikator serta Nilai Indeks Negara Hukum
Indonesia 2016
Nilai
No. Prinsip Skor
Indeks
1 Pemerintahan Berdasarkan Hukum 5,62
Perbuatan/Tindakan Pemerintah Berdasarkan Hukum 6,03 1,41
Pengawasan yang Efektif 5,23
2 Legalitas Formal 5,77
Penyebarluasan Peraturan 5,87
0,58
Kejelasan Rumusan Peraturan 5,37
Stabilitas Peraturan 6,08
3 Independensi Kekuasan Kehakiman 5,74
Independensi Hakim dalam Mengadili dan Memutus Perkara 5,32
Independensi dalam Manajemen Sumber Daya Hakim 5,80 1,44
Independensi dalam Kebijakan Kelembagaan 6,37
Independensi Terhadap Pengaruh Publik dan Media Massa 5,08
4 Akses Terhadap Keadilan 5,50
Keterbukaan Informasi 4,43
0,82
Peradilan yang Cepat dan Terjangkau 6,33
Ketersedian Bantuan Hukum 5,74
5 Hak Asasi Manusia 4,25
Jaminan Hak atas Hidup 3,70
Jaminan atas Hak untuk Bebas dari Penyiksaan 3,77
Jaminan atas Hak untuk Tidak Diperbudak 4,26
Jaminan atas Hak untuk Tidak Dipenjara berdasarkan
4,94 1,06
Kewajiban Kontraktual
Jaminan atas Hak untuk Tidak Dihukum atas Tindakan yang
4,87
Bukan Kejahatan
Jaminan Hak atas Kebebasan untuk Berpikir, Beragama dan
3,96
Berkeyakinan
Nilai Indeks Negara Hukum 2016 5,31

Rerata
Provinsi Prinsip 1 Prinsip 2 Prinsip 3 Prinsip 4 Prinsip 5
Skor
Sumut 5,5 5,65 5,52 5,13 5,07 5,37
Sumbar 6,11 7,05 4,02 5,18 5,11 5,49
Sumsel 5,88 5,22 4,64 6,27 4,81 5,36
Lampung 4,91 5,56 4,84 4,84 5,47 5,12
Riau 6,52 6,62 6,03 6,06 4,48 5,94
DKI 5,2 6,43 5,25 5,16 3,26 5,06
Jabar 4,87 5,62 3,34 4,65 3,28 4,35
Jateng 6,04 5,45 4,90 5,47 5,23 5,42
Jatim 5,93 6,34 6,67 6,83 6,06 6,37
Sulsel 5,11 4,62 5,16 4,79 4,81 4,90
Sulteng 5,69 4,78 5,96 6,49 5,68 5,72
80 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Rerata
Provinsi Prinsip 1 Prinsip 2 Prinsip 3 Prinsip 4 Prinsip 5
Skor
Sulut 5,11 5,08 4,13 3,75 5,80 4,77
Bali 5,89 6,67 4,80 4,29 6,76 5,68
NTT 5,21 4,41 4,63 4,81 5,93 5,00
NTB 5,82 5,24 6,30 5,20 6,10 5,73
Kaltim 5,68 5,65 7,10 6,17 5,39 6,00
Kalbar 5,84 5,43 5,30 5,72 5,84 5,63
Kalsel 6,74 6,3 6,23 6,83 6,49 6,52
Maluku 7,31 6,45 3,81 4,40 7,76 5,95
Papua 5,42 5,2 3,27 4,02 3,35 4,25
BAB IV

ANALISIS

Bab ini berisi analisis terhadap temuan tiap-tiap prinsip negara hukum
sebagaimana yang telah dinarasikan dalam Bab III dan rekomendasi
terhadap analisis yang telah dilakukan.

A. ANALISIS
Nilai indeks negara hukum Indonesia tahun 2016 mengalami penu-
runan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2015) sebesar 0,01
poin. Jika membandingkan tren nilai indeks dalam kurun waktu lima
tahun terakhir, baru pada tahun 2016 terjadi tren penurunan. Dengan
demikian, secara umum, dapat disimpulkan bahwa sepanjang tahun
2016, negara (baca: pemerintah) tidak melakukan kinerja yang berarti
dalam pemajuan prinsip-prinsip negara hukum.
Pada sisi lain, disigi dari sudut prinsip nilai indeks dua tahun tera-
khir, terdapat prinsip yang menujukan tren positif dan ada pula yang
menunjukan tren yang negatif. Prinsip yang menunjukan tren penu-
runan (negatif) adalah: prinsip legalitas formal, prinsip kekuasaan keha-
kiman yang merdeka, dan prinsip akses terhadap keadilan. Sedangkan
dua prinsip lainnya: prinsip ketaatan pemerintah terhadap hukum dan
prinsip hak asasi manusia, menunjukan tren yang membaik.
Berpijak pada beberapa kecenderungan di atas, sebenarnya kinerja
pemerintah tidak terlalu mengecewakan, dalam arti terdapat tren yang
positif terhadap beberapa prinsip kunci atau elemen substantif negara
hukum, seperti prinsip ketaatan pemerintah terhadap hukum dan
prinsip perlindungan, penghormatan dan pemajuan hak asasi manusia
jika dibanding dengan tahun sebelumnya -meskipun ada juga prinsip
substantif yang menunjukan kemunduran, seperti kekuasaan kehakim-
an yang merdeka.

81
82 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Berdasarkan hal tersebut, untuk indeks negara hukum tahun 2016,


ILR berkesimpulan bahwa kinerja pemerintah dalam memajukan
prinsip negara hukum stagnan (karena angka 0,01 poin adalah angka
yang masih dalam batas toleransi untuk disebut sebagai stagnan) meski
negara (baca pemerintah) sedang berbenah dalam mendorong penca-
paian prinsip-prinsip negara hukum yang lebih substantif.

Grafik 4.1. Tren Nilai Indeks Negara Hukum 2012-2016

NB: Antara tahun 2012 dan 2013 terdapat perubahan metodologi: survei publik dan
survei ahli & dokumen. Sedangkan 2013-2015 memakai metode yang sama: survei
ahli dan dokumen.

Selain melihat tren sejauh ketaatan mana negara memenuhi prin-


sip-prinsip negara hukum, pada tahun ini, penelitian ini juga mem-
bandingkan skor yang didapat masing-masing provinsi. Adapun skor
masing-masing provinsi dapat dilihat dalam tabel di 4.1. di bawah ini.

Tabel 4.1. Perbandingan Skor Masing-Masing Provinsi Tahun 2016


Skor Rerata
Peringkat Provinsi
Prinsip
1 Kalimantan Selatan 6,52
2 Jawa Timur 6,37
3 Kalimantan Timur 6,00
4 Maluku 5,95
5 Riau 5,94
6 NTB 5,73
7 Sulawesi Tengah 5,72
8 Bali 5,68
9 Kalimantan Barat 5,63
ANALISIS 83

10 Sumatera Barat 5,49


11 Jawa Tengah 5,42
12 Sumatera Utara 5,37
13 Sumsel 5,36
14 Lampung 5,12
15 DKI Jakarta 5,06
16 Nusa Tenggara Timur 5
17 Sulawesi Selatan 4,9
18 Sulawesi Utara 4,77
19 Jawa Barat 4,35
20 Papua 4,25

1. Ketaatan Pemerintahan Terhadap Hukum


Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, prinsip
ketaatan pemerintahan terhadap hukum terdiri dari dua indikator:
tindakan pemerintah berdasarkan hukum dan pengawasan yang efektif.
Dalam tiga tahun terakhir, skor yang didapat prinsip ketaatan terhadap
hukum menujukan tren yang positif. Meskipun demikian, jika meli-
hat dari sudut indikator, skor yang dimiliki kedua indikator tersebut
pada tahun 2016 menunjukan tren yang berbeda dibandingkan tahun
sebelumnya. Indikator yang menunjukan tren positif adalah indikator
pemerintahan berdasarkan hukum, dengan kenaikan sebesar 0,22 poin
(dari 5,48 ke 6,03 poin). Sedangkan indikator pengawasan yang efektif
mengalami penurun sebesar 0,26 poin: dari 5,49 (2015) ke 5,23 (2016).
Sepanjang tahun 2016, pemerintah pusat lebih serius untuk mem-
bangun negara hukum daripada pemerintah daerah. Hal itu terkonfir-
masi dari skor rata-rata survei ahli yang meletakan pemerintah pusat
(6,14) yang lebih tinggi dari pemerintah daerah (5,69). Meski demi-
kian, terkait dengan kinerja penegakan hukum, apa yang dilakukan
oleh pemerintah pusat jauh dari kata memuaskan dengan skor 4,5.
Bahkan kinerja pemerintah pusat di bidang penegakan hukum tahun
2016 jauh lebih memburuk daripada tahun 2015 (5,14). Ada banyak
peristiwa yang terjadi sepanjang tahun 2016 yang bisa jadi membuat
kinerja pemerintah di bidang penegakan hukum menurun, contohnya
kasus Ahok di akhir tahun 2016 dan kasus eksekusi mati bandar narko-
ba, Freddy Budiman, yang diakhir hidupnya meninggalkan sejumlah
informasi yang diduga melibatkan sejumlah oknum penegak hukum
dan instansi pemerintah.
84 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Selain masalah hukum, catatan penting dalam indikator pemerintah


berdasarkan hukum ada di bidang pertanahan dan lingkungan hidup.
Tahun ini kinerja pemerintah (daerah) di isu ini masih dipandang
buruk. Fenomenal ini melanjutkan tren pada tahun sebelumnya yang
juga menempatkan bidang pertanahan dan lingkungan hidup sebagai
bidang yang dipersepsikan ahli sebagai bidang dengan ketaatan peme-
rintah yang masih rendah. Ada banyak kasus agraria dan lingkungan
hidup sepanjang tahun 2016 yang dilhat publik mencolok sebagai
pelanggaran pemerintah terhadap hukum, misalnya kasus reklamasi di
pantai utara Jakarta dan kasus pendirian semen di Kendeng, Rembang.
Bahkan terkait kasus yang terakhir, setelah ada putusan Mahkamah
Agung yang membatalkan SK Gubernur Jawa Tengah terkait izin
pendirian pabrik semen, Pemerintah Jawa Tengah masih melakukan
akrobat hukum dengan menerbitkan Surat Keputusan baru yang secara
substantif telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Meskipun secara umum skor indikator pengawasan yang efektif
menunjukan penurunan namun skor subindikator pada indikator ini
menunjukan angka yang fluktuatif: ada yang naik dan ada yang turun.
Skor yang membaik ada pada indikator pengawasan oleh lembaga per-
adilan dan pengawasan oleh Komisi Negara Independen. Sedangkan
yang mengalami penurunan ada pada subindikator pengawasan internal
pemerintah dan pengawasan oleh parlemen. Khusus untuk pengawasan
internal pemerintah, penilaian ahli yang paling rendah berada kepada
pengawasan oleh Presiden terhadap institusi Kejaksaan. Meskipun de-
mikian, data laporan keluhan publik yang disampaikan ke Ombudsman
menyatakan bahwa meletakan Kejaksaan sebagai sepuluh besar institusi
dengan laporan tertinggi. Hanya 1,3 persen laporan yang terkait dengan
institusi Kejaksaaan ke Ombudsman (bandingkan dengan Kepolisian
yang memiiki 13 persen laporan).
Adanya anomali antara data survei ahli dan data dokumen (Ombud-
sman) disebabkan oleh dua hal: (1) Jaksa Agung yang masih dipegang
kader partai politik; (2) tidak jelasnya proses penuntutan yang dilakukan
oleh Kejaksaan. Dari dua variabel itu, buruknya penilaian ahli nampak-
nya lebih menikberatkan pada poin yang kedua, di mana institusi yang
paling banyak dilaporkan masyarakat adalah Kepolisian. Korelasinya
ada pada isu keluhan publik tertinggi terhadap Kepolisian berada pada
isu penundaan yang berlarut (68 persen). Tidak jelasnya status hukum
ANALISIS 85

masyarakat dalam proses peradilan yang diawali oleh Kepolisian juga


berimplikasi kepada kinerja Kejaksaan. Sebagaimana yang diketahui
bahwa Kejaksaan juga mempunyai kewenangan dalam mengontrol
proses peradilan melalui proses pra penuntutan (yang kemudian dikuat
dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait SPDP pada awal 2017).
Sayangnya, kewenangan yang dimiliki Kejaksaan ini tidak dilakukan
secara maksimal. Akibatnya, banyak masyarakat yang sedang menjalani
proses peradilan mempertanyakan kinerja pemerintah dalam menga-
wasi salah satu institusi penegak hukum ini. Tidak maksimalnya peng-
awasan terhadap Kejaksaan itu juga linier dengan data survei ahli yang
memosisikan pengawasan oleh Komisi Kejaksaaan (Komjan) sebagai
komisi negara dengan kinerja pengawasan terburuk (4,40) karena di-
anggap gagal mengawasi institusi Kejaksaan.

2. Prinsip Legalitas Formal


Prinsip legalitas formal, hendak menilai sejauh mana negara sudah
mempublikasikan peraturan, memformulasikan rumusan peraturan,
dan memastikan peraturan yang dibuat tidak berubah dalam waktu
yang singkat. Oleh karena itu, pengukuran prinsip legalitas formal
dilakukan melalui tiga indikator, yakni: (1) penyebarluasan peraturan
(2) kejelasan rumusan peraturan, dan (3) stabilitas peraturan.
Sepanjang tahun 2016, indikator penyebarluasan peraturan sudah
mengalami berbagai macam perbaikan. Hal ini tidak bisa dilepaskan
dari memaksimalkan teknologi informasi. Hampir semua institusi pe-
merintahan baik pusat dan daerah memiliki situs dan media sosial seba-
gai sarana berkomunikasi dengan publik. Situs/media sosial digunakan
terkait dengan layanan publik sebagian besar sudah berbasis elektronik,
baik untuk menyebarkan kinerja/pencapaian terhadap program peme-
rintah, atau sebagai sarana penyebarluasan regulasi yang telah dibuat.
Membaiknya nilai indikator ini juga bisa didukung dengan adanya
pemberian penghargaaan terhadap institusi yang dinilai berkinerja baik
dalam penyebarluasaan peraturan. Adanya inisiatif untuk memberikan
penghargaan semacam ini menimbulkan kompetisi yang sehat di antara
daerah-daerah atau instansi pemerintahan guna meningkatkan kiner-
ja dalam keterbukaan informasi publik. Seperti yang dilakukan oleh
Komisi Informasi Pusat (KIP) pada tahun 2016, yang mengumumkan
86 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

hasil pemeringkatan Badan Publik (BP) terkait keterbukaan informasi


publik.

***

Pendapat ahli yang menyatakan sepanjang tahun 2016 terdapat pilihan


kata/istilah dan bahasa hukum yang bermasalah/konflik/buntu akibat
ketidakjelasan rumusan Undang-Undang dan Peraturan Daerah (Perda)
Provinsi menemukan korelasinya dengan pelbagai peristiwa hukum
sepanjang tahun 2016 yang menjadi perhatian publik. Salah satu
contohnya, polemik dwikewarganegaraan Archandra Tahar, Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dipilih Presiden Joko
Widodo menggantikan Sudirman Said pada Reshuffle Kabinet Kerja
Jilid II. Setelah 20 hari masa kerjanya, isu status kewarganegaraan Ar-
candra Tahar muncul di media sosial. Ia diduga telah menjadi warga
negara Amerika Serikat karena memiliki paspor Amerika Serikat. Akibat
polemik tersebut, Archandra diberhentikan Presiden dari jabatannya.
Selang dua bulan kemudian, Pemerintah memberikan status kewarga-
negaraan Indonesia kembali kepada Archandra.
Perlakuan terhadap Arcandra dianggap masyarakat sangat berbeda
dibandingkan warga negara asing lainnya yang ingin menjadi WNI.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa permasalahan kejelasan ru-
musan peraturan dapat memunculkan tindakan kesewenang-wenangan
dari negara. Apalagi data dari survei ahli menunjukan bahwa masyara-
kat kita yang cenderung apatis ketika mendapati adanya permasalahan
regulasi, seperti tidak aktif dalam meminta tafsiran dari lembaga negara
yang berwenang seperti mahkamah konstitusi atau Mahkamah Agung.

***

Indikator stabilitas peraturan dimaksudkan untuk mengukur tingkat


perubahan peraturan yang cukup cepat dari waktu penerbitannya,
yakni lima (5) tahun terakhir. Persepsi ahli di sini langsung ditujukan
terkait pengetahuan ahli terhadap intensitas peraturan yang berubah
dalam kurun waktu tersebut. Sedangkan dokumen yang dinilai adalah
peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga eksekutif, baik di pusat mau-
pun di daerah, yakni berupa Peraturan Presiden (Pusat) dan Peraturan
Gubernur (daerah).
ANALISIS 87

Persoalan di isu stabilitas sepanjang tahun 2016 adalah terkait


kewenangan Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perppu). Jika dilihat dari hierarki peraturan perun-
dang-undangan, kita dapat mengetahui bahwa undang-undang dan
perppu itu memiliki kedudukan yang sejajar/sederajat meski perpu ini
jangka waktunya terbatas (sementara): sebab secepat mungkin harus
dimintakan persetujuan kepada DPR dalam persidangan berikutnya.
Apabila Perpu itu disetujui oleh DPR, akan menjadi undang-undang.
Sedangkan, jika tidak disetujui oleh DPR, maka otomatis dicabut.
Proses pembuatan regulasi ini mengganggu stabilitas peraturan
karena suatu peraturan dapat saja diganti sewaktu-waktu (kapan pun)
apabila Presiden merasa ada ikhwal “kegentingan yang memaksa”
dengan tafsir yang sangat subjektif. Apabila secara politik, kursi parle-
men sebagian besar dikuasai oleh partai-partai pendukung Presiden,
sehingga peluang untuk disahkannya perppu lebih besar.
Sulit dinafikan bahwa isu stabilitas peraturan sangat bergantung
pada konfigurasi politik. Sebagai contoh, pembahasan UU paket poli-
tik yang tiap kali muncul menjelang pemilu menyebabkan inefesiensi
regulasi. Seharusnya substansi RUU Penyelenggaraan Pemilu yang
sedang dibahas menetapkan suatu sistem apakah terbuka atau tertutup
sehingga bisa digunakan minimal lima kali masa pemilu. Seringnya
perubahan regulasi yang terkait politik menunjukan bahwa ketidaks-
tablian tatanan politik. Asumsi itu selaras dengan hasil indeks negara
hukum yang tahun ini menyatakan bahwa sektor politik (dalam hal ini
kepemiluan) merupakan sektor peraturan yang sering diubah, yang jika
dilihat lebih dalam, menurut pendapat ahli lebih condong disebabkan
oleh dimensi politik transaksional.

3. Prinsip Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka


Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja negara dalam
menjamin independensi kekuasaan kehakiman sepanjang tahun 2016,
di antaranya faktor integritas dan profesionalitas hakim, faktor regulasi,
dan faktor dukungan anggaran.
Faktor integritas dan profesionalitas hakim memiliki kontribusi ter-
besar pada penurunan capaian pada dua indikator: independensi hakim
dalam mengadili dan memutus perkara (turun 0.95); dan independensi
88 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

hakim terhadap pengaruh dari publik dan media massa (turun 0.52).
Bila mencermati hasil survei ahli, maka dapat diketahui bahwa hakim
masih sangat rentan terhadap intervensi pihak lain.
Terkait dengan faktor regulasi, belum dimulainya pembahasan RUU
tentang Jabatan Hakim menimbulkan kegamangan di Mahkamah
Agung untuk merespon kebutuhan lembaganya untuk merekrut hakim.
Padahal keberadaan undang-undang tersebut (Undang-Undang tentang
Jabatan Hakim) akan menjadi landasan hukum bagi status jabatan dan
pengelolaan sumber daya manusia di Mahkamah Agung.
Belum diterimanya lampu hijau dari Pemerintah untuk melaksa-
nakan pengadaan hakim pada tahun 2016 juga menjadi persoalan
tersendiri. Setidaknya terdapat dua persoalan yang harus diselesaikan
terlebih dahulu sebelum dilakukan seleksi hakim: pertama, terkait
dengan status jabatan hakim; dan kedua, terkait dengan mekanisme
seleksi. Dua persoalan tersebut saling terkait dan tidak dapat dipisah-
kan. Sementara keterlibatan lembaga lain yang menjamin akuntabilitas
seleksi hakim, dalam konteks kekinian di Indonesia, menjadi hal yang
sangat mendesak.
Faktor terakhir yang mempengaruhi performa negara dalam prin-
sip ini adalah ketersediaan anggaran yang memadai. Perlu diketahui
bahwa pemerintahan saat ini sangat fokus pada pembangunan fisik
dan infrastruktur yang menunjang perekonomian nasional, sedangkan
pendapatan negara dari pajak tidak mencapai target yang diharapkan.
Implikasinya, terjadi pemotongan anggaran pada kementerian/lembaga
termasuk lembaga peradilan. Hal ini tercermin dari minimnya pem-
bangunan sarana-prasarana pengadilan, terutama rumah dinas hakim.

4. Prinsip Akses Terhadap Keadilan


Skor prinsip akses terhadap keadilan tahun 2016 sebesar 5,50. Skor
prinsip ini mengalami penurunan 0,87 dari skor tahun sebelumnya
yang mencapai 5,96 p0in. Sedangkan nilai indeks prinsip ini sebesar
0,82. Nilai indeks prinsip akses keadilan pada tahun 2016 mengalami
penurunan dari tahun 2015 (0,89).
Dengan penurunan nilai indeks sebesar (0,07), menunjukan bahwa
dari tahun ke tahun, prinsip akses terhadap keadilan mengalami pasang
surut. Padahal, tahun 2015, prinsip akses terhadap keadilan mengalami
ANALISIS 89

kenaikan sebesar (0,05) dari tahun 2014 (0,84). Dengan demikian,


maka nilai prinsip akses terhadap keadilan terendah dalam tiga tahun
terakhir terjadi pada tahun 2016.
Memburuknya nilai akses terhadap keadilan sulit dilepaskan dengan
tidak efektifnya paket-paket kebijakan reformasi hukum yang dikeluar-
kan Presiden Joko Widodo. Paket kebijakan Reformasi Hukum jilid 1
yang diluncurkan pada bulan Oktober 2016 membuktikan bahwasanya
kebijakan itu belum secara utuh menyentuh aspek akses terhadap
keadilan.
Pada sisi lain, membandingkan skor indikator akses terhadap kea-
dilan, hanya indikator ketersediaan bantuan hukum yang mengalami
peningkatan sebesar (0,19). Bahkan melihat tren dalam 3 tahun tera-
khir, hanya indikator ketersediaan bantuan hukum yang menunjukan
tren yang positif. Hal yang bisa menjelaskan fenoma itu karena masalah
ketersediaan bantuan hukum dari tahun ke tahun tidak hanya menjadi
perhatian pusat, namun beberapa daerah juga mengeluarkan peraturan
daerah tentang bantuan hukum. Komitmen daerah dalam hal ketersedi-
aan bantuan hukum ini patut diapresiasi walaupun masih banyak juga
daerah yang belum memiliki perda bantuan hukum (lihat tabel 3. 30).
Patut diingat bahwa akses terhadap keadilan tidaklah hanya membi-
carakan ada atau tidaknya bantuan hukum. Prinsip ini juga membicara-
kan indikator keterbukaan informasi dan indikator peradilan yang cepat
dan terjangkau. Sayangnya, dua indikator ini masih menjadi pekerjaan
rumah bagi negara yang belum diselesaikan dan wajib dituntaskan.

5. Prinsip Hak Asasi Manusia


Skor prinsip HAM di tahun 2016 mengalami peningkatan yang cukup
baik dibandingkan tahun 2015. Di tahun 2016, skor total prinsip HAM
adalah 0,64; sementara skor di tahun 2015 adalah 0,55. Hampir seluruh
skor indikator di dalam prinsip HAM mengalami peningkatan, kecuali
untuk indikator ‘Hak atas Kebebasan Berpikir, Berkeyakinan dan Ber-
agama’, yang justru mengalami penurunan.
Meskipun indikator ‘Jaminan terhadap Hak atas Hidup’ menga-
lami sedikit peningkatan, namun terlihat penurunan skor di dalam
subindikator yang terkait dengan instrumen hukum yang menjamin
perlindungan hak atas hidup. Hal ini dapat dikaitkan dengan tidak
90 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

adanya kehendak politik dari pemerintah untuk menghapus hukuman


mati sebagai hukuman pokok, ataupun menetapkan moratorium atas
eksekusi hukuman mati bagi para terpidana mati.
Selain itu, masih terjadinya praktik-praktik penggunaan kekerasan
yang berlebihan yang mengakibatkan kematian, yang dilakukan oleh
aparat, khususnya aparat kepolisian, juga merupakan faktor yang signifi-
kan yang memperburuk upaya perlindungan Negara terhadap jaminan
hak atas hidup. Tindakan pejabat-pejabat kepolisian yang mendukung
dan memerintahkan aksi tembak di tempat bagi pelaku kejahatan, da-
pat berpengaruh besar di dalam mendorong peningkatan praktik-praktik
penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat kepolisian.
Peningkatan skor yang cukup signifikan terjadi pada indikator ‘Hak
untuk Bebas dari Peyiksaan’, di mana terjadi peningkatan sebesar 0,78
poin, menjadi 3,77, jika dibandingkan dengan skor tahun 2015 yang
hanya 2,99. Tampaknya, memang terjadi penurunan praktik penyik-
saan yang dilaporkan di tahun 2016. Bahkan berdasarkan catatan dari
Komnas HAM, terjadi penurunan yang siginifikan di dalam jumlah
pengaduan masyarakat terkait dengan penyiksaan, di mana jumlah
pengaduan kasus penyiksaan di tahun 2016 menurun hampir 50 per-
sen jika dibandingkan dengan jumlah pengaduan kasus penyiksaan di
tahun 2015.
Berbagai upaya kelompok masyarakat sipil, beserta korban dan ke-
luarga korban penyiksaan, di dalam mengawasi dan menuntut pertang-
gungjawaban terhadap praktik-praktik penyiksaan yang dilakukan oleh
aparat Negara, tampaknya cukup berpengaruh di dalam penurunan
praktik-praktik penyiksaan oleh aparat Negara. Salah satu kasus yang
sangat mendapatkan sorotan di tahun 2016 adalah kasus penyiksaan
terhadap Siyono. Siyono adalah tersangka tindak pidana terorisme yang
diduga meninggal akibat penyiksaan yang dialaminya di dalam proses
pemeriksaan oleh Kepolisian (Densus 88). Kasus Siyono mendapatkan
sorotan besar dari publik, sehingga membuat Kapolri saat itu, Badrodin
Haiti mengakui adanya kealpaan dari pihak kepolisian, yang mengaki-
batkan kematian Siyono.
Sementara, indikator ‘Hak atas Kebebasan Berpikir, Berkeyakinan
dan Beragama’, menjadi satu-satunya indikator yang mengalami penu-
runan skor di tahun 2016, jika dibandingkan dengan tahun sebelum-
nya. Berdasarkan laporan Komnas HAM terkait kebebasan beragama,
ANALISIS 91

jumlah rata-rata pengaduan terhadap pelanggaran hak atas kebebasan


beragama di tahun 2016 meningkat, menjadi rata-rata 8 laporan per
bulan, jika dibandingkan dengan tahun 2015 yang rata-rata 7 laporan
per bulannya. Selain itu, berdasarkan laporan ‘Kondisi Kebebasan
Beragama di Indonesia 2016’ yang dipublikasikan oleh Setara, ada 208
peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang terjadi
di sepanjang tahun 2016.
Kasus kekerasan dan pengusiran terhadap kelompok Gafatar di Ka-
limantan, mengawali rentetan pelanggaran berbasiskan keyakinan dan
keagamaan di tahun 2016. Berdasarkan laporan Setara di atas, tingkat
pelanggaran hak atas kebebasan beragama yang dialami oleh kelompok
Gafatar merupakan yang tertinggi di tahun 2016, dengan jumlah 36
peristiwa pelanggaran.
Upaya perlindungan oleh Negara terhadap kelompok-kelompok
agama atau keyakinan minoritas masih sangat lemah, bahkan Setara
mencatat tingginya partisipasi aktif aparatur Negara di dalam praktik-
-praktik pelanggaran kebebasan beragama. Selain itu, aparatur kea-
manan juga cenderung pasif dan membiarkan organisasi-organisasi
kemasyarakatan (Ormas) melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap
kelompok-kelompok minoritas.
Tahun 2016 juga diwarnai dengan tingginya intensitas mobilisasi
politik kelompok Islam untuk menolak pemimpin yang tidak beragama
Islam. Hal ini berdampak juga pada tingginya ujaran-ujaran kebencian
serta berbagai bentuk intoleransi terhadap kelompok agama lain, khu-
susnya terhadap kelompok agama Kristiani.

B. REKOMENDASI
Berdasarkan bagian analisa sebagaimana yang disampaikan di atas,
rekomendasi yang diusulkan agar dilakukan oleh pengambil kebijakan
untuk menguatkan penerapan prinsip-prinsip negara hukum ke depan
adalah:

1. Ketaatan Pemerintah Terhadap Hukum


• Presiden perlu membentuk sebuah tim khusus yang bertang-
gungjawab mengevaluasi kinerja lembaga atau kementerian yang
92 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

mempunyai tugas memastikan kinerja pemerintah di bidang


hukum dapat bekerja secara optimal
• Presiden perlu meningkatkan kinerja dan menciptakan sistem
pengawasan internal yang lebih baik dalam mengawasi kinerja
pemerintah daerah dalam melakukan pembangunan yang lebih
berpijak kepada perlindungan lingkungan dan keadilan kepemi-
likan tanah.
• Pemerintah perlu merevisi landasan hukum eksistensi Komisi
Kejaksaan dan Komisi Kepolisian yang sudah tidak efektif guna
memastikan adanya pengawasan yang lebih terukur dan berke-
lanjutan yang dilakukan oleh kedua institusi yang akan diawasi.

2. Legalitas Formal
• Pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak boleh terpaku
pada teknologi informasi sebagai satu-satunya instrumen dalam
penyebarluasan peraturan, karena tingkat pendidikan masyarakat
belum merata sampai pada tingkat daerah dan persebaran konek-
si untuk mengakses internet.
• Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu bekerja lebih
keras dalam menyosialisasikan secara langsung kepada masyarakat
sejumlah regulasi yang dikeluarkan oleh negara.
• Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus dapat memas-
tikan dan mempertimbangkan penyebarluasan peraturan yang
dapat menjangkau masyarakat berkebutuhan khusus/kelompok
difabel (different ability).
• Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu membuat sebuah
lembaga yang bertugas lebih spesifik untuk mengevaluasi dan
mengharmonisasi peraturan agar tidak ada lagi peraturan yang
bertentangan satu sama lain.
• DPR harus membuat regulasi yang mempertajam makna “Ke-
gentingan Memaksa” yang ada dalam perppu atau sejumlah
regulasi yang mengatur substansi yang sama untuk menghindari
subjektifitas pengambik kebijakan.
ANALISIS 93

3. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka


• Pemerintah dan DPR perlu mempercepat pembahasan RUU
tentang Jabatan Hakim.
• Pemerintah perlu memperkuat kapasitas dan integritas pegawai
pengadilan yang melaksanakan fungsi kepaniteraan.
• Pemerintah dan Maakamah Agung perlu memikirkan instrumen
perlindungan keamanan bagi para hakim dalam menjalankan
tugas yudisialnya.

4. Akses Terhadap Keadilan


• Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung wajib membuat
standar bersama terkait keterbukaan informasi publik dalam pro-
ses peradilan (penyidikan, penuntutuan, beracara di pengadilan)
agar mudah diakses oleh publik.
• Mahkamah Agung perlu membuat kebijakan yang berdampak
terhadap badan peradilan di bawahnya terkait kemudahan akses
masyarakat mendapatkan salinan putusan pengadilan.
• Pemerintah harus berinisiatif mendorong pemerintah daerah
untuk membuat peraturan daerah tentang bantuan hukum.
• Pemerintah perlu meningkatkan ketersediaan dan kualitas ban-
tuan hukum yang disediakan pemerintah pusat maupun peme-
rintah daerah.

5. Hak Asasi Manusia


• P emerintah harus berupaya secara maksimal untuk memperbaiki
perlindungan hukum terhadap hak atas hidup dengan, salah satu-
nya, mendorong penghapusan hukuman mati atau menetapkan
moratorium atas eksekusi hukuman mati. Selain itu, pemerintah
juga dapat mendorong Kejaksaan untuk tidak menetapkan tun-
tutan hukuman mati di dalam dakwaannya.
• Pemerintah harus mendorong upaya kriminalisasi terhadap
kejahatan berbasiskan kebencian (hate crime), atau menjadikan
hate crime sebagai dasar pemberat hukuman. Sehingga dapat
memperkuat perlindungan hukum bagi warga negara dari ke-
jahatan-kejahatan yang berbasiskan pada kebencian terhadap
keyakinan, agama, kelompok ras ataupun golongan tertentu.
94 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

• P emerintah harus mendorong perbaikan kinerja aparat penegak


hukum untuk menghapus praktik impunitas di dalam penegak-
kan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM. Dalam
hal ini, pemerintah harus melakukan pengawasan yang ketat
terhadap aparat penegak hukumnya untuk dapat melakukan
penegakkan hukum yang maksimal terhadap para pelaku pelang-
garan HAM. Hal ini sangat penting untuk dilaksanakan untuk
memberikan efek jera bagi para pelaku pelanggaran HAM.
• Selain penegakkan hukum yang efektif, pemerintah juga perlu
memperbaiki mekanisme pemulihan bagi korban dan keluarga
korban pelanggaran HAM, sehingga, selain merupakan bagian
dari pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM, pemerintah
dapat memulihkan kepercayaan publik untuk mengakses keadilan
atas hak-haknya yang terlanggar.

***
LAMPIRAN

95
96 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Skor
Skor Skor Skor Skor Indeks
Skor Sub
Pertanyaan Rata2 Doku- Indi- Prin- Prin-
Survei Indi-
Survei men kator sip sip
kator
PRINSIP PEMERINTAHAN BERDASARKAN HUKUM
I Perbuatan/Tindakan Pemerintah Sesuai Hukum
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Pusat
sepanjang tahun 2016 telah dilakukan sesuai
1.a dengan hukum dan peraturan perundang- 7.35
undangan yang berlaku pada politik luar
negeri?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Pusat
sepanjang tahun 2016 telah dilakukan sesuai
1.b dengan hukum dan peraturan perundang- 6.85
undangan yang berlaku pada bidang
pertahanan?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Pusat
sepanjang tahun 2016 telah dilakukan sesuai
1.c dengan hukum dan peraturan perundang- 6.25
undangan yang berlaku pada bidang
Keamanan?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Pusat
sepanjang tahun 2016 telah dilakukan sesuai
1.d dengan hukum dan peraturan perundang- 4.5
undangan yang berlaku pada bidang Penegakan
Hukum?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Pusat
sepanjang tahun 2016 telah dilakukan sesuai
1.e dengan hukum dan peraturan perundang- 6.55
undangan yang berlaku pada bidang moneter
fiskal?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Pusat
sepanjang
tahun 2015 telah dilakukan sesuai
1.f 5.35
dengan hukum dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku pada bidang agama?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah 5.62 1.41
6.03
di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah 5.72 6.34
2.1a dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan 6.25
perundang-undangan yang berlaku pada bidang
pendidikan?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah
di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah
2.1b dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan 6.25
perundang- undangan yang berlaku pada
bidang kesehatan?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah
di Provinsi Anda sepanjang tahun 2015 telah
2.1c dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan 5.05
perundang-undangan yang berlaku pada bidang
pekerjaan umum dan penataan ruang?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah
di Provinsi Anda sepanjang tahun 2016 telah
2.1d dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan 5.45
perundang-undangan yang berlaku pada bidang
perumahan dan pemukiman?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah
Daerah di Provinsi Anda sepanjang tahun
2016 telah dilakukan sesuai dengan hukum
2.1e dan peraturan perundang-undangan yang 5.35
berlaku pada bidang ketentraman, ketertiban
umum dan perlindungan masyarakat?

Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah
di Provinsi Anda sepanjang tahun 2016 telah
2.1f dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada bidang
sosial?
LAMPIRAN 97

Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah


di Provinsi Anda sepanjang tahun 2016 telah
2.2a dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan 5.15
perundang-undangan yang berlaku pada tenaga
kerja?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah
di Provinsi Anda sepanjang tahun 2016 telah
2.2b dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan 5.25
perundang-undangan yang berlaku pada bidang
perlindungan perempuan dan anak?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah
di Provinsi Anda sepanjang tahun 2016 telah
2.2c dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan 5.85
perundang-undangan yang berlaku pada bidang
pangan?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah
di Provinsi Anda sepanjang tahun 2016 telah
2.2d dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan 4.8
perundang-undangan yang berlaku pada bidang
pertanahan dan lingkungan hidup?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah
di Provinsi Anda sepanjang tahun 2016 telah
2.2e dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan 5.65
perundang-undangan yang berlaku pada bidang
administrasi penduduk dan catatan sipil?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah
di Provinsi Anda sepanjang tahun 2016 telah
2.2f dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan 5.95
perundang-undangan yang berlaku pada bidang
perhubungan dan komunikasi?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah
di Provinsi Anda sepanjang tahun 2016 telah
2.2g dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan 6.1
perundang-undangan yang berlaku pada bidang
koperasi dan UMKM?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah
di Provinsi Anda sepanjang tahun 2016 telah
2.2h dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan 6.00
perundang-undangan yang berlaku pada bidang
kepemudaan dan olahraga?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah
di Provinsi Anda sepanjang tahun 2016 telah
2.2i dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan 5.9
perundang-undangan yang berlaku pada bidang
budaya?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah
di Provinsi Anda sepanjang tahun 2016 telah
2.2j dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan 5.85
perundang-undangan yang berlaku pada bidang
perpusatakaan?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah
di Provinsi Anda sepanjang tahun 2016 telah
2.3a dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan 6.05
perundang-undangan yang berlaku pada bidang
kelautan perikanan?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah
di Provinsi Anda sepanjang tahun 2016 telah
2.3b dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan 5.95
perundang-undangan yang berlaku pada bidang
perpustakaan?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah
di Provinsi Anda sepanjang tahun 2016 telah
2.3c dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan 5.45
perundang-undangan yang berlaku pada bidang
pariwisata?
98 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah


di Provinsi Anda sepanjang tahun 2016 telah
2.3d dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan 5.06
perundang-undangan yang berlaku pada bidang
pertanian dan perkebunan?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah
di Provinsi Anda sepanjang tahun 2016 telah
2.3e dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan 5.1
perundang-undangan yang berlaku pada bidang
kehutanan?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah
di Provinsi Anda sepanjang tahun 2016 telah
2.3f dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan 6
perundang-undangan yang berlaku pada bidang
energi dan sumber daya mineral?
Apakah tindakan/perbuatan Pemerintah Daerah
di Provinsi Anda sepanjang tahun 2016 telah
2.3g dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan 5.65
perundang-undangan yang berlaku pada bidang
perdagangan dan industri?
Menurut Anda, apakah tindakan/perbuatan
Pemerintah Pusat pada tahun 2016 telah
3 5.65
sejalan dengan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap?
Menurut Anda, apakah tindakan/perbuatan
Pemerintah Daerah pada tahun 2016 telah
4 5.6
sejalan dengan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap?
Apakah Pemerintah Pusat dalam menjalankan
fungsi legislasi bersama DPR sepanjang
5 5.35
tahun 2016 telah bertindak sesuai hukum dan
peraturan yang berlaku?
Apakah Pemerintah Daerah dalam
menjalankan fungsi legislasi bersama DPRD
6 5.45
Provinsi sepanjang tahun 2016 telah bertindak
sesuai hukum dan peraturan yang berlaku?
II Pengawasan yang efektif
A Pengawasan parlemen
Dalam hal pengawasan, DPR memiliki hak
interpelasi. Seberapa seringkah hak tersebut
9.a 4.35
digunakan untuk mengawasi tindakan/
perbuatan Pemerintah Pusat?
Dalam hal pengawasan, DPR memiliki hak
angket. Seberapa seringkah hak tersebut
9.b 4.3
digunakan untuk mengawasi tindakan/
perbuatan Pemerintah Pusat?
Dalam hal pengawasan, DPR memiliki hak
menyatakan pendapat. Seberapa seringkah hak
9.c 4.65
tersebut digunakan untuk mengawasi tindakan/
perbuatan Pemerintah Pusat?
Dalam hal pengawasan, DPRD Provinsi 4.47 2.5 3.48
memiliki hak interpelasi, seberapa seringkah
10.a hak tersebut digunakan untuk mengawasi 3.55
perbuatan/tindakan Pemerintah Daerah
Provinsi?
Dalam hal pengawasan, DPRD Provinsi
memiliki hak angket, seberapa seringkah
10.b hak tersebut digunakan untuk mengawasi 3.45
perbuatan/tindakan Pemerintah Daerah
Provinsi?
Dalam hal pengawasan, DPR memiliki hak
menyatakan pendapat. Seberapa seringkah hak
10.c 4.05
tersebut digunakan untuk mengawasi tindakan/
perbuatan Pemerintah Pusat?
LAMPIRAN 99

Apakah Rapat Dengar Pendapat Umum di


11 DPR, merupakan sarana yang efektif untuk 5.7
mengawasi kinerja Pemerintah ?
Apakah Rapat Dengar Pendapat Umum di
DPRD Provinsi merupakan sarana yang efektif
12 5.7
untuk mengawasi kinerja Pemerintah Daerah
Provinsi?
B Pengawasan oleh pengadilan
Apakah Mahkamah Konstitusi sepanjang tahun
2016 dalam melaksanakan kewenangannya
dalam menguji konstitusionalitas undang-
13 7.31
undang, sudah dirasakan efektif sebagai wujud
kontrol terhadap hasil tindakan/perbuatan
pemerintah bersama DPR?
Apakah Mahkamah Agung sepanjang tahun
2016 dalam melaksanakan kewenangannya
dalam menguji peraturan di bawah undang-
14 5.5 6.58 6.25 6.42
undang sudah dirasakan efektif sebagai
wujud kontrol terhadap perbuatan/tindakan
Pemerintah Pusat?
Apakah putusan yang dibuat sepanjang tahun
2016 oleh Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN) di Provinsi Anda sudah dirasakan
15 5.44
sangat efektif, efektif atau kurang efektif sebagai
kontrol terhadap perbuatan/tindakan pejabat
Pemerintah Daerah Provinsi?
C Pengawasan internal pemerintah
Seberapa efektif pengawasan yang dilakukan
16 oleh pejabat Pemerintah Pusat sepanjang tahun 5.95
2016 terhadap aparatur di bawahnya?
Seberapa efektif pengawasan yang dilakukan
oleh pejabat Pemerintah Daerah Provinsi
17 5.7
sepanjang tahun 2016 terhadap aparatur di
bawahnya?
Seberapa efektif pengawasan yang dilakukan
oleh Badan Pengawas Keuangan (BPK)
18 6.55
terhadap anggaran dan kinerja Pemerintah
Pusat sepanjang tahun 2016 ?
Seberapa efektif pengawasan yang dilakukan
oleh Badan Pengawas Keuangan (BPK) Provinsi
19 6.15
terhadap anggaran dan kinerja Pemerintah
Daerah sepanjang tahun 2016 ?
5.72 6.1 5.91
Seberapa efektif pengawasan yang dilakukan
oleh Presiden sebagai kepala pemerintahan
20 5.05
terhadap institusi Kejaksaan sepanjang tahun
2016?
Seberapa efektif pengawasan yang dilakukan
oleh Kejaksaan Tinggi sebagai kepala
21 5.2
pemerintahan terhadap aparatus Kejaksaan
sepanjang tahun 2016?
Seberapa efektif pengawasan yang dilakukan
oleh Presiden sebagai kepala pemerintahan
22 5.65
terhadap institusi Kepolisian sepanjang tahun
2016?
Seberapa efektif pengawasan yang dilakukan
23 oleh Polda terhadap aparatus Kepolisian di 5.5
tempat Anda?
D Pengawasan oleh komisi independen
Menurut Anda, seberapa efektif kinerja
24 Ombudsman RI dalam mengontrol kinerja 6.5
pelayanan publik ?
Menurut Anda, seberapa efektif kinerja
25 perwakilan Ombudsman RI dalam mengontrol 6.1
kinerja pelayanan publik di daerah Anda?
100 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Seberapa efektif pengawasan Komisi Informasi


dalam mengawasi keterbukaan informasi publik
26 6.1
yang dilakukan Pemerintah Pusat sepanjang
tahun 2016 berjalan efektif?
Seberapa efektif pengawasan Komisi Informasi
Daerah dalam mengawasi keterbukaan
27 5.6
informasi publik yang dilakukan Pemerintah
Provinsi di daerah Anda sepanjang tahun 2016?
Seberapa efektif pengawasan yang dilakukan
oleh Komisi Kepolisian Nasional terhadap
28 4.7
penyimpangan yang dilakukan polisi sepanjang
tahun 2016 ?
Sebarapa efektif pengawasan yang dilakukan
oleh Komisi Kejaksaan dalam mengawasi
29 4.4
penyimpangan yang dilakukan jaksa sepanjang
tahun 2016?
LAMPIRAN 101

Skor
Skor Skor Skor Skor Indeks
Skor Sub
Pertanyaan Rata2 Doku- Indi- Prin- Prin-
Survei Indi-
Survei men kator sip sip
kator
LEGALITAS FORMAL
I Penyebarluasan Peraturan Perundang-Undangan
Seberapa mudah/sulit, masyarakat di perkotaan
sepanjang tahun 2016 mendapatkan Undang-
Q01.a 6.85
Undang dari sumber-sumber resmi yang
disediakan oleh Pemerintah Pusat?
Seberapa mudah/sulit, masyarakat di perkotaan
sepanjang tahun 2016 mendapatkan Peraturan
Q01.b 5.65
Daerah dari sumber-sumber resmi yang
disediakan oleh Pemerintah Provinsi?
Seberapa mudah/sulit, masyarakat di pedesaan
sepanjang tahun 2016 mendapatkan Undang-
Q.2.a 4.45
Undang dari sumber-sumber resmi yang
disediakan oleh Pemerintah Pusat?
Seberapa mudah/sulit, masyarakat di pedesaan
sepanjang tahun 2016 mendapatkan Undang-
Q.2.b 4.15
Undang dari sumber-sumber resmi yang
disediakan oleh Pemerintah Provinsi?
Seberapa sering Pemerintah Pusat
menyosialisasikan Undang-Undang secara
Q.3.a 6.19
langsung kepada masyarakat sepanjang tahun
2016? 5.87
5.54 6.2
Seberapa sering Pemerintah Provinsi
menyosialisasikan Peraturan Daerah secara
Q.3.b 5.81
langsung kepada masyarakat sepanjang tahun
2016?
Apakah Pemerintah Pusat sudah menyediakan
akses yang memadai bagi kelompok difabel
Q.4.a 5.2
(different ability) untuk mendapatkan Peraturan
Perundang-undangan?
Apakah Pemerintah Daerah Provinsi sudah 5.77 0.58
menyediakan akses yang memadai bagi
Q.4.b 5.25
kelompok difabel (different ability) untuk
mendapatkan Peraturan Perundang-undangan?
Apakah Pemerintah Pusat sepanjang
tahun 2016 telah mengoptimalkan/tidak
5.a 6.65
mengoptimalkan teknologi informasi untuk
menyebarkan Undang-Undang?
Apakah Pemerintah Daerah sepanjang
tahun 2016 telah mengoptimalkan/tidak
5.b 5.15
mengoptimalkan teknologi informasi untuk
menyebarkan Peraturan Daerah?
II Kejelasan Rumusan Peraturan
Seberapa mudah atau sulit masyarakat
memahami rumusan Undang-Undang yang
Q.7.a 4.6
terbit sepanjang tahun 2016, pada pilihan kata
atau istilah?
Seberapa mudah atau sulit masyarakat
memahami rumusan Undang-Undang yang
Q.7.b 4.7
terbit sepanjang tahun 2016, pada pilihan
bahasa hukum?
Menurut Anda, apakah implementasi/praktik 4.91 5.83 5.37
hukum, sering atau jarang terjadi masalah/
Q.8.a konflik/kebuntuan yang disebabkan oleh 4.65
ketidakjelasan rumusan pilihan kata atau istilah
sepanjang tahun 2016?
Menurut Anda, Apakah dalam implementasi/
praktik hukum, sering/jarang menimbulkan
Q.8.b masalah/konflik/kebuntuan yang disebabkan 4.55
oleh ketidakjelasan bahasa hukum sepanjang
tahun 2016?
102 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Seberapa mudah/sulit masyarakat dalam


memahami rumusan Peraturan Daerah Provinsi
Q.9.a 5.05
yang terbit sepanjang tahun 2016, pada pilihan
kata atau istilah?
Seberapa mudah/sulit masyarakat dalam
memahami rumusan Peraturan Daerah Provinsi
Q.9.b 5.05
yang terbit sepanjang tahun 2016, pada bahasa
hukum?
Menurut Anda, Apakah dalam implementasi/
praktik hukum, sering/jarang menimbulkan
masalah/konflik/kebuntuan yang disebabkan
Q.10.a 5.05
oleh ketidakjelasan pilihan kata atau istilah
pada rumusan Perda Provinsi di bawah ini
sepanjang tahun 2016?
Menurut Anda, Apakah dalam implementasi/
praktik hukum, sering/jarang menimbulkan
masalah/konflik/kebuntuan yang disebabkan
Q.10.b 4.95
oleh ketidakjelasan pilihan kata atau istilah
pada rumusan Perda Provinsi di bawah ini
sepanjang tahun 2016?
Seberapa banyak/tidak ada, Undang-Undang
yang bertentangan (kontradiktif) dengan
18.a 5.15
peraturan perundang-undangan di atasnya
sepanjang tahun 2016?
Seberapa banyak/tidak ada, Perda Provinsi yang
bertentangan (kontradiktif) dengan peraturan
18.b 5.3
perundang-undangan di atasnya sepanjang
tahun 2016?
II Pengawasan yang Efektif
Menurut Anda, apakah Undang-Undang,
semenjak 5 (tahun) terakhir hingga tahun 2016,
13.a 5.31
sangat sering, sering, jarang atau tidak pernah
mengalami perubahan?
6.41 5.75 6.08
Menurut Anda, apakah Perda Propinsi,
semenjak 5 (tahun) terakhir hingga tahun 2016,
13.b 7.5
sangat sering, sering, jarang atau tidak pernah
mengalami perubahan?
LAMPIRAN 103

Skor
Skor Skor Skor Skor Indeks
Skor Sub
Pertanyaan Rata2 Doku- Indi- Prin- Prin-
Survei Indi-
Survei men kator sip sip
kator
LEGALITAS FORMAL
A Penyebarluasan Peraturan Perundang-Undangan
A.1 Independensi Hakim dalam Proses Persidangan 6.48
Seberapa setuju/tidak setuju Anda dengan
pernyataan ini: “Sepanjang tahun 2016, Ketua
Q.01 Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk telah 5.55
mendistribusikan perkara kepada Majelis
Hakim secara adil dan merata.”
Seberapa setuju/tidak setuju Anda dengan
pernyataan ini: “Sepanjang tahun 2016, Hakim
Q.02 telah memberikan kesempatan yang sama 6.85
kepada para pihak untuk menggunakan haknya
dalam proses persidangan.”
5.96 7
Seberapa setuju/tidak setuju Anda dengan
pernyataan ini: “Sepanjang tahun 2016, hakim
Q.03 dalam memeriksa perkara tidak berbelit-belit 5.15
dan sesuai dengan jadwal persidangan yang 5.74 1.44
5.73
telah ditentukan.”
Seberapa setuju/tidak setuju Anda dengan
pernyataan ini: “Sepanjang tahun 2016,
Q.04 hakim telah menghindari konflik kepentingan 6.30
terhadap perkara dalam memeriksa dan
mengadili perkara yang ditanganinya.”
Kejelasan Rumusan Peraturan
II

Apakah hakim telah mempertimbangkan
keterangan para pihak dan fakta persidangan
Q.05 6
dalam memutus perkara di sepanjang tahun
4.98
2016?
4.98 n/a
Apakah hakim telah terbebas dari pengaruh,
tekanan, dan/atau intervensi dari pihak
Q.06 3.95
manapun dalam memutus perkaradi sepanjang
tahun 2016?
B Independensi Hakim dalam Kaitannya dengan Manajemen Sumber Daya Hakim
B.1 Manajemen Sumber Daya Hakim
Apakah Anda setuju bahwa seleksi hakim
8 agung sepanjang tahun 2015 sudah bebas dari 4.75
KKN?
Apakah Anda setuju bahwa seleksi hakim ad
hoc (hakim yang bukan dari karier dan ditunjuk
9 untuk menangani kasus tertentu dalam waktu 5.25
tertentu karena keahliannya) sudah bebas dari
KKN?
Apakah Anda setuju bahwa seleksi hakim ad
10 hoc sepanjang tahun 2015 telah menggunakan 5.9
kriteria yang terukur? 5.8
6.08
Apakah Anda setuju bahwa mekanisme 5.17 7
rekrutmen calon Hakim Konstitusi oleh DPR
11 5.5
untuk tahun 2015 telah dilakukan secara
transparan, partisipatif dan obyektif?
Apakah Anda setuju bahwa mekanisme
rekrutmen calon Hakim Konstitusi oleh
12 4.5
Presiden untuk tahun 2015 telah dilakukan
secara transparan, partisipatif dan obyektif?
Apakah Anda setuju bahwa mekanisme
rekrutmen calon Hakim Konstitusi oleh MA
13 5.1
untuk tahun 2015, telah dilakukan secara
transparan, partisipatif dan obyektif?
104 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

A.1 Manajemen Pengawasan Hakim 5.52


Seberapa efektif/tidak efektif pengawasan oleh
14 MA terhadap dugaan pelanggaran etika dan 4.35
perilaku hakim sepanjang tahun 2016?
Seberapa efektif/tidak efektif pengawasan oleh
Pengadilan Tinggi (di lingkungan Peradilan
15 Umum, Peradilan Agama dan Tata Usaha 4.05
Negara) terhadap dugaan pelanggaran etika dan
perilaku hakim sepanjang tahun 2016?
Seberapa efektif/tidak efektif pengawasan oleh
Komisi Yudisial terhadap dugaan pelanggaran 4.54 6.5
16 5.15
etika dan perilaku hakim sepanjang tahun
2016?
Seberapa sinergis/tidak sinergis Mahkamah
17 Agung dan Komisi Yudisial dalam menangani 4.5
pengaduan masyarakat sepanjang tahun 2016?
Seberapa efektif/tidak efektif pengawasan
terhadap Hakim Konstitusi oleh Majelis
18 4.65
Kehormatan Mahkamah Konstitusi sepanjang
tahun 2016?
C Independensi hakim dalam kaitannya dengan kebijakan kelembagaan
C.1 Sarana Prasarana dan Anggaran Pengadilan
Apakah Anda setuju bahwa gedung pengadilan
19.a 6.15
di Provinsi Anda sudah memadai?
Apakah Anda setuju bahwa ruang hakim di
19.b 6.85
pengadilan di Provinsi Anda sudah memadai?
Apakah Anda setuju bahwa ruang tunggu para
19.c pihak di pengadilan di Provinsi Anda sudah 5.1
memadai?
Apakah Anda setuju bahwa ruang sidang di
19.d 5.9
pengadilan di Provinsi Anda sudah memadai?
Apakah Anda setuju bahwa perangkat Teknologi
19.e Informasi di pengadilan di Provinsi Anda sudah 5.1
memadai?
Apakah Anda setuju bahwa kendaraan 6.37
5.83
19.f operasional di pengadilan di Provinsi Anda 6 5.66 6
sudah memadai?
Apakah Anda setuju bahwa rumah dinas di
19.g 5.55
pengadilan di Provinsi Anda sudah memadai?
Seberapa setuju/tidak setuju Anda dengan
pernyataan ini: “Sepanjang tahun 2016,
kapasitas dan integritas pegawai pengadilan
20 4.35
(kepaniteraan) telah mendukung independensi
hakim dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara.”
Seberapa setuju/tidak setuju Anda dengan
pernyataan ini: “Anggaran di pengadilan
21 5.95
di Provinsi Anda pada tahun 2016 sudah
mendukung kinerja hakim.”
C.2 Fasilitas Pengamanan dan Gaji Hakim
Seberapa memadai/tidak memadai jaminan
22 keamanan bagi hakim di Provinsi Anda 6.35
6.9
sepanjang tahun 2016? 6.9 n/a
Seberapa layak/tidak layak Hak keuangan bagi
23 7.45
hakim?
D Independensi hakim terhadap pengaruh dari publik dan media massa
Seberapa setuju/tidak setuju Anda dengan
pernyataan ini: “Sepanjang tahun 2016 Hakim
24 dalam mengadili dan memutus perkara tidak 4.8
terpengaruh oleh pemaksaan dari kelompok
5.08
masyarakat yang berkepentingan.” 5.08 n/a
Seberapa setuju/tidak setuju Anda dengan
pernyataan ini: “Sepanjang tahun 2016 Hakim
25 5.35
dalam mengadili dan memutus perkara telah
independen dari pemberitaan media massa.”
LAMPIRAN 105

Skor Skor Skor Skor Indeks


Skor
Pertanyaan Rata2 Doku- Indi- Prin- Prin-
Survei
Survei men kator sip sip
HAK ASASI MANUSIA
I Perlindungan Hak Atas Hidup
Apakah menurut Anda peraturan perundang-
undangan dan kebijakan yang menjamin
1 terpenuhinya hak atas hidup di Indonesia, 4.8
yang berlaku pada tahun 2016 sudah/belum
memadai?
Bagaimana menurut Anda perubahan tingkat
2 penerapan hukuman mati oleh pengadilan di 4.55
Indonesia untuk sepanjang tahun 2016?
Dari segi selektifitasnya, menurut Anda,
3 bagaimana pemberian grasi oleh Presiden 5.5
terhadap terpidana mati sepanjang tahun 2016?
Menurut Anda, seberapa sering/jarang
aparat penegak hukum di tingkat nasional
4 menggunakan kekuatan berlebihan (excessive 4.4
use of force) yang menyebabkan kematian
sepanjang tahun 2016?
Menurut Anda, seberapa sering/jarang
aparat penegak hukum di propinsi Anda
5 menggunakan kekuatan berlebihan (excessive 6
use of force) yang menyebabkan kematian
sepanjang tahun 2016?
5.4 2 3.70
Apakah anda setuju bahwa penggunaan
kekuatan berlebihan yang menyebabkan
6.a 5.55
kematian di Propinsi Anda seringkali dilakukan
oleh pihak Kepolisian?
Apakah anda setuju bahwa penggunaan
kekuatan berlebihan yang menyebabkan
6.b 6.35
kematian di Propinsi Anda seringkali dilakukan
oleh pihak militer?
Apakah anda setuju bahwa penggunaan
kekuatan berlebihan yang menyebabkan
6.c 6.45
kematian di Propinsi Anda seringkali dilakukan
oleh pihak polisi pamong praja?
Apakah anda setuju bahwa penggunaan
kekuatan berlebihan yang menyebabkan
6.d 6.7
kematian di Propinsi Anda seringkali dilakukan
oleh pihak keamanan swasta?
Menurut Anda, apakah pemulihan hak
bagi keluarga korban penggunaan kekuatan
7 berlebihan oleh aparat penegak hukum yang 3.65
menyebabkan kematian terhadap seseorang,
sudah berjalan efektif?
II Jaminan Atas Hak Untuk Bebas Dari Penyiksaan
Apakah menurut Anda, di sepanjang tahun
2016, peraturan perundang-undangan dan
kebijakan di tingkat nasional yang menjamin
8 hak untuk bebas dari penyiksaan dan 4.9
penghukuman yang tidak manusiawi dan
merendahkan martabat manusia sudah /belum
memadai?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa saat ini
peraturan perundang-undangan dan kebijakan
di Propinsi Anda, membatasi hak untuk 5.34 2.2 3.77
9 6.05
bebas penyiksaan dan penghukuman yang
tidak manusiawi dan merendahkan martabat
manusia?
Apakah Anda sangat setuju/tidak setuju bahwa
di Propinsi Anda, sering terjadi praktik-praktik
penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang
10.a 4.55
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
martabat manusia di Tempat Penahanan
kepolisian, di sepanjang tahun 2016?
106 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Apakah Anda sangat setuju/tidak setuju bahwa


di Propinsi Anda, sering terjadi praktik-praktik
penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang
10.b 5.47
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
martabat manusia di Tempat Penahanan
Militer, di sepanjang tahun 2016?
Apakah Anda sangat setuju/tidak setuju bahwa
di Propinsi Anda, sering terjadi praktik-praktik
penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang
10.c 5.4
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
martabat manusia di Rumah Tahanan Negara,
di sepanjang tahun 2016?
Apakah Anda sangat setuju/tidak setuju bahwa
di Propinsi Anda, sering terjadi praktik-praktik
penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang
10.d 5.2
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
martabat manusia di Lembaga Pemasyarakatan,
di sepanjang tahun 2016?
Apakah Anda sangat setuju/tidak setuju bahwa
di Propinsi Anda, sering terjadi praktik-praktik
penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang
10.e 6.42
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
martabat manusia di Rumah Tahanan Imigrasi,
di sepanjang tahun 2016?
Apakah Anda sangat setuju/tidak setuju bahwa
di Propinsi Anda, sering terjadi praktik-praktik
penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang
10.f kejam, tidak manusiawi dan merendahkan 6
martabat manusia di Asrama-asrama
Pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia
swasta(PTKIS), di sepanjang tahun 2016?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa
Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah Propinsi
Anda telah melakukan upaya yang memadai
11 untuk mencegah terjadinya praktik-praktik 5.8
penyiksaan dan penghukuman yang tidak
manusiawi dan merendahkan martabat manusia
di sepanjang tahun 2016?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa
ketika terjadi praktik-praktik penyiksaan,
penghukuman dan perlakuan yang kejam, tidak
manusiawi dan merendahkan martabat manusia
12 terhadap seseorang di sepanjang tahun 2016, 4.85
Pemerintah, melalui aparat-aparat penegak
hukumnya, baik di wilayah sipil dan militer,
telah melakukan proses hukum yang efektif
terhadap para pelakunya?
Menurut Anda, bagaimana efektifitas dari
mekanisme pemulihan bagi korban praktik-
praktik penyiksaan, penghukuman dan
13 4.15
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan
merendahkan martabat manusia yang terjadi
sepanjang tahun 2016?
III Jaminan Perlindungan atas Hak untuk Tidak Diperbudak
Apakah menurut Anda, untuk sepanjang tahun
2016, peraturan perundang-undangan dan
kebijakan di tingkat nasional yang menjamin
14 5.25
hak setiap warga negaranya untuk tidak
dipekerjakan secara paksa di luar kehendaknya
sendiri, sudah/belum memadai? 4.53 4 4.26
Apakah Anda sangat setuju/tidak setuju bahwa
sepanjang tahun 2016, Kerja paksa di luar
15.a 5.05
kehendak pekerja yang bersangkutan masih
sering terjadi di Propinsi Anda?
LAMPIRAN 107

Apakah Anda sangat setuju/tidak setuju


bahwa sepanjang tahun 2016, Pemaksaan
15.b dan eksploitasi kerja atas diri seseorang untuk 4.9
pelunasan hutang-piutang masih sering terjadi
di Propinsi Anda?
Apakah Anda sangat setuju/tidak setuju bahwa
sepanjang tahun 2016, Pemaksaan atas diri
15.c 5
seseorang untuk bekerja sebagai pekerja seks
masih sering terjadi di Propinsi Anda?
Apakah Anda sangat setuju/tidak setuju
bahwa sepanjang tahun 2016, Pemaksaan dan
15.d eksploitasi kerja terhadap anak-anak di bawah 4.95
usia 18 tahun masih sering terjadi di Propinsi
Anda?
Sepengetahuan Anda, sepanjang tahun 2016,
apakah sektor Pertanian/Perkebunan/Perikanan/
Pertambakan memiliki tingkat praktik
16.a 4.5
perbudakan yang tinggi/rendah, khususnya
terhadap anak di bawah umur, di Propinsi
Anda?
Sepengetahuan Anda, sepanjang tahun 2016,
apakah sektor Industri jasa seks memiliki
16.b tingkat praktik perbudakan yang tinggi/rendah, 3.85
khususnya terhadap anak di bawah umur, di
Propinsi Anda?
Sepengetahuan Anda, sepanjang tahun
2016, apakah sektor Mengamen/mengemis/
mengasong barang dagangan, serta pekerjaan-
16.c pekerjaan jalanan lainnya memiliki tingkat 3.6
praktik perbudakan yang tinggi/rendah,
khususnya terhadap anak di bawah umur, di
Propinsi Anda?
Sepengetahuan Anda, sepanjang tahun
2016, apakah sektor Pemberian jasa domestik
(pekerjaan rumah tangga) memiliki tingkat
16.d 4.4
praktik perbudakan yang tinggi/rendah,
khususnya terhadap anak di bawah umur, di
Propinsi Anda?
Menurut Anda, bagaimakah efektifitas dari
mekanisme pemulihan terhadap para korban
17 4.35
praktik perbudakan di Indonesia sepanjang
tahun 2016?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa
sepanjang tahun 2016, Pemerintahan Propinsi
Anda telah melakukan upaya-upaya yang efektif
18.a untuk mencegah terjadinya praktik-praktik 4.85
perbudakan, khususnya bagi anak, di dalam
bidang Pertanian/Perkebunan/ Perikanan/
Pertambakan?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa
sepanjang tahun 2016, Pemerintahan Propinsi
Anda telah melakukan upaya-upaya yang efektif
18.b 4.05
untuk mencegah terjadinya praktik-praktik
perbudakan, khususnya bagi anak, di dalam
bidang Industri jasa seks?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa
sepanjang tahun 2016, Pemerintahan Propinsi
Anda telah melakukan upaya-upaya yang efektif
untuk mencegah terjadinya praktik-praktik
18.c 4.2
perbudakan, khususnya bagi anak, di dalam
bidang Mengamen/mengemis/ mengasong
barang dagangan, serta pekerjaan-pekerjaan
jalanan lainnya?
108 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa


sepanjang tahun 2016, Pemerintahan Propinsi
Anda telah melakukan upaya-upaya yang efektif
18.d untuk mencegah terjadinya praktik-praktik 4.55
perbudakan, khususnya bagi anak, di dalam
bidang Pemberian jasa domestik (pekerjaan
rumah tangga)?
Apakah Anda sangat setuju/tidak setuju
bahwa di sepanjang tahun 2016, Pemerintah,
19 dalam hal ini aparat penegak hukum, telah 4.4
menyelenggarakan proses hukum yang efektif
terhadap praktik-praktik perbudakan?
III Jaminan Perlindungan atas Hak untuk Tidak Diperbudak
Apakah menurut Anda di sepanjang tahun 2016
peraturan perundang-undangan dan kebijakan
di tingkat nasional yang menjamin hak setiap
20 warga negaranya untuk tidak dipenjara atas 4.55
ketidakmampuannya dalam memenuhi
kewajiban yang ditentukan oleh suatu
perjanjian/kontrak, sudah/belum memadai?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa di
Indonesia masih banyak terjadi praktik-
praktik pemenjaraan terhadap orang akibat
21 ketidakmampuannya di dalam memenuhi 4.8
kewajiban yang ditentukan oleh suatu
perjanjian/kontrak tertentu, di sepanjang tahun
2016?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa
di wilayah Propinsi Anda masih banyak
terjadi praktik-praktik pemenjaraan terhadap
22 orang akibat ketidakmampuannya di dalam 5.5
memenuhi kewajiban yang ditentukan oleh
suatu perjanjian/kontrak tertentu, di sepanjang
tahun 2016?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa,
sepanjang tahun 2016, Pemerintah Indonesia,
khususnya aparat penegak hukum, telah secara
maksimal mengupayakan pencegahan terhadap
23 5.15
praktik pemenjaraan atas ketidakmampuan
seseorang untuk memenuhi kewajiban yang
ditentukan berdasarkan suatu perjanjian/
kontrak?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa,
sepanjang tahun 2016, Pemerintah Propinsi
Anda, khususnya aparat penegak hukum,
telah secara maksimal mengupayakan
24 5.15
pencegahan terhadap praktik pemenjaraan atas
ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi
kewajiban yang ditentukan berdasarkan suatu
perjanjian/kontrak?
Menurut Anda, bagaimana efektifitas dari
mekanisme pemulihan korban praktik-praktik
pemenjaraan atas ketidakmampuan seseorang
25 4.5
di dalam memenuhi kewajiban yang ditetapkan
oleh suatu perjanjian/kontrak yang terjadi
sepanjang tahun 2016?
Jaminan Perlindungan atas Hak Untuk Tidak Dihukum Berdasarkan
Tindakan Bukan Kejahatan
Apakah menurut Anda, sepanjang tahun 2016,
peraturan perundang-undangan dan kebijakan 4.87
di tingkat nasional yang menjamin hak untuk
26 4.55 4.87 n/a
tidak dihukum atas tindakan yang tidak diatur
sebagai kejahatan oleh hukum nasional/
internasional, sudah/belum memadai?
LAMPIRAN 109

Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa


sepanjang tahun 2016, Pemerintahan Propinsi
Anda telah melakukan upaya-upaya yang efektif
27 untuk mencegah terjadinya praktik-praktik 5.7
perbudakan, khususnya bagi anak, di dalam
bidang Pemberian jasa domestik (pekerjaan
rumah tangga)? 4.87 n/a 4.87
Apakah Anda sangat setuju/tidak setuju
bahwa di sepanjang tahun 2016, Pemerintah,
28 dalam hal ini aparat penegak hukum, telah 4.35
menyelenggarakan proses hukum yang efektif
terhadap praktik-praktik perbudakan?
III Jaminan Kebebasan Berpikir, Beragama dan Berkeyakinan
Apakah menurut Anda, sepanjang tahun 2016,
peraturan perundang-undangan dan kebijakan
29.a 4.5
di tingkat nasional yang menjamin kebebasan
berpikir sudah/belum memadai?
Apakah menurut Anda, sepanjang tahun 2016,
peraturan perundang-undangan dan kebijakan
29.b 4.7
di tingkat nasional yang menjamin kebebasan
beragama sudah/belum memadai?
Apakah menurut Anda, sepanjang tahun 2016,
peraturan perundang-undangan dan kebijakan
29.c 5
di tingkat nasional yang menjamin kebebasan
berkeyakinan sudah/belum memadai?
Apakah menurut Anda, sepanjang tahun 2016,
peraturan perundang-undangan dan kebijakan
30.a 5.65
di Propinsi Anda masih membatasi/tidak
membatasi kebebasan berpikir?
Apakah menurut Anda, sepanjang tahun 2016,
peraturan perundang-undangan dan kebijakan
30.b 5.85
di Propinsi Anda masih membatasi/tidak
membatasi kebebasan beragama?
Apakah menurut Anda, sepanjang tahun 2016,
peraturan perundang-undangan dan kebijakan
30.c 6.05
di Propinsi Anda masih membatasi/tidak
membatasi kebebasan berkeyakinan?
Apakah di Propinsi Anda masih sering/jarang
terjadi praktik pelanggaran dan kekerasan untuk
31 5.6
membatasi kebebasan berpikir, beragama dan 4.92 3 3.96
berkeyakinan sepanjang tahun 2016?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa,
sepanjang tahun 2016, Aparat penegak
32.a hukum adalah pelaku utama pelanggaran dan 4.5
kekerasan terhadap kelompok yang memiliki
aliran berpikir yang berbeda/minoritas?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa,
sepanjang tahun 2016, Polisi Pamong Praja
32.b adalah pelaku utama pelanggaran dan 5.5
kekerasan terhadap kelompok yang memiliki
aliran berpikir yang berbeda/minoritas?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa,
sepanjang tahun 2016, Kelompok masyarakat
tertentu (ormas) adalah pelaku utama
32.c 3.75
pelanggaran dan kekerasan terhadap kelompok
yang memiliki aliran berpikir yang berbeda/
minoritas?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa,
sepanjang tahun 2016, Aparat pemerintah
32.d lainnya adalah pelaku utama pelanggaran dan 5.25
kekerasan terhadap kelompok yang memiliki
aliran berpikir yang berbeda/minoritas?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa,
sepanjang tahun 2016, Aparat penegak
33.a hukum adalah pelaku utama pelanggaran dan 4.95
kekerasan terhadap kelompok yang memiliki
aliran agama yang berbeda/minoritas?
110 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa,


sepanjang tahun 2016, Polisi Pamong Praja
33.b adalah pelaku utama pelanggaran dan 4.81
kekerasan terhadap kelompok yang memiliki
aliran agama yang berbeda/minoritas?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa,
sepanjang tahun 2016, Kelompok masyarakat
tertentu (ormas) adalah pelaku utama
33.c 5.55
pelanggaran dan kekerasan terhadap kelompok
yang memiliki aliran agama yang berbeda/
minoritas?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa,
sepanjang tahun 2016, Aparat pemerintah
33.d lainnya adalah pelaku utama pelanggaran dan 5.25
kekerasan terhadap kelompok yang memiliki
aliran agama yang berbeda/minoritas?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa,
sepanjang tahun 2016, Aparat penegak
34.a hukum adalah pelaku utama pelanggaran dan 4.8
kekerasan terhadap kelompok yang memiliki
aliran keyakinan yang berbeda/minoritas?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa,
sepanjang tahun 2016, Polisi Pamong Praja
34.b adalah pelaku utama pelanggaran dan 5.65
kekerasan terhadap kelompok yang memiliki
aliran keyakinan yang berbeda/minoritas?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa,
sepanjang tahun 2016, Kelompok masyarakat
tertentu (ormas) adalah pelaku utama
34.c 3.9
pelanggaran dan kekerasan terhadap kelompok
yang memiliki aliran keyakinan yang berbeda/
minoritas?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa,
sepanjang tahun 2016, Aparat pemerintah
34.d lainnya adalah pelaku utama pelanggaran dan 5.2
kekerasan terhadap kelompok yang memiliki
aliran keyakinan yang berbeda/minoritas?
Apakah Anda setuju/tidak setuju bahwa,
sepanjang tahun 2016, pemerintah, dalam
hal ini aparat penegak hukum, telah
secara maksimal mengusut, mengadili dan
35 4.9
menghukum para pelaku pelanggaran dan/atau
kekerasan terhadap kelompok yang memiliki
aliran berpikir, bergama atau berkeyakinan
yang berbeda/minoritas?
Menurut Anda, bagaimanakah efektifitas
dari mekanisme pemulihan terhadap korban
36.a 4.45
kekerasan kebebasan berpikir di sepanjang
tahun 2016?
Menurut Anda, bagaimanakah efektifitas
dari mekanisme pemulihan terhadap korban
36.b 4.5
kekerasan kebebasan beragama di sepanjang
tahun 2016?
Menurut Anda, bagaimanakah efektifitas
dari mekanisme pemulihan terhadap korban
36.c 4.35
kekerasan kebebasan berkeyakinan di sepanjang
tahun 2016?
PROFIL PENELITI

Manajer Program
ERWIN NATOSMAL OEMAR
Menyelesaikan sarjana hukum dari Universitas Gadjah Mada (2011).
Mantan Ketua Senat Mahasiswa UGM (2007) ini memulai karir seba-
gai asisten pembela umum di LBH Yogyakarta (2008-2009), peneliti
lepas di beberapa lembaga riset, dan editor di Genta Publishing, Yog-
yakarta (2010-2012). Pada tahun 2012, ia bergabung sebagai peneliti
di Indonesian Legal Roundtable.
Selain dikenal sebagai peneliti, ia juga seorang advokat. Saat ini
dipercaya sebagai salah seorang koordinator nasional perkumpulan
advokat publik di Public Interest Lawyer Network (PilNet) Indonesia
(2014-2017). Pada tahun 2016, ia diangkat sebagai Ketua Bidang Hu-
bungan Masyarakat DPP Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN).
Pada semester pertama 2017, ia diundang sebagai dosen tamu dalam
mata kuliah filsafat hukum di Fakultas Hukum Universitas Katolik
Atma Jaya Jakarta. Tahun 2016, ia memperoleh fellowship dalam
program Media Law & Policy The Hongkong University (HKU). Pada
tahun 2017, ia mendapatkan penghargaan Young Policy Leaders Fel-
lowship dari European University Institute (EUI), Florence; dan akan
bekerja sebagai research fellow di School of Transnational Governance
dalam masa studi 2017/2018.

Peneliti
ANDRI GUNAWAN
Andri menjadi peneliti di ILR sejak September 2012. Menyelesaikan
program sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia
(2003) dan pasca-sarjana Administrasi Kebijakan Publik di universitas

111
112 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

yang sama (2017). Pernah menjadi peneliti di Masyarakat Pemantau


Peradilan Indonesia (2002-2010) dan masih tergabung dalam Tim Pem-
baruan Kejaksaan sejak Oktober 2006. Saat ini juga menjadi Tenaga
Ahli untuk anggota DPR RI di Komisi III.

MUHAMMAD INDRA LESMANA


Bergabung di ILR sejak awal 2016. Menyelesaikan sarjana hukum
dari Universitas Sebelas Maret (UNS) tahun 2015. Selama menjadi
mahasiswa aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Kelom-
pok Studi Penelitian (KSP) “Principium” dan Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI).

NABILA
Bergabung sebagai peneliti di Indonesian Legal Roundtable sejak 2015.
Menyelesaikan sarjana hukum dari Universitas Indonesia (2015). Sela-
ma menjalani dunia perkuliahan, Ia aktif di dalam kegiatan akademik
maupun non-akademik. Ia sering diminta untuk menjadi moderator dan
pembawa acara di setiap kegiatan fakultas/Universitas serta menjadi asis-
ten peneliti di FHUI. Pemudi yang satu ini sangat konsen terhadap isu-isu
hukum tata negara, politik, hukum Islam dan korupsi. Sejak tahun 2014
- saat ini, dia diamanahi sebagai Ketua Bidang Pelatihan, Penyuluhan dan
Konsultasi Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam FHUI.

YASMIN PURBA
Menyelesaikan sarjana hukum dari Universitas Atmajaya, Jakarta.
Memperoleh gelar LLM dari University of Notre Dame, USA. Man-
tan Direktur Program YLBHI ini memulai karir di bidang hak asasi
manusia sejak tahun 2003.

SHAHNAZ HANI SOFI


Menyelesaikan Sarjana Hukum dari Univ. Sebelas Maret, Solo pada
2014. Sebelum bergabung dengan ILR pernah menjadi Asisten Peng-
acara Publik di LBH Jakarta dan saat ini juga aktif di Bakornas LKB-
HMI. Selama kuliah selain aktif di HMI juga aktif di Kelompok Studi
Penelitian (KSP) Principium FH UNS.
PROFIL INDONESIAN LEGAL
ROUNDTABLE (ILR)

A. LATAR BELAKANG
Dunia hukum dan peradilan Indonesia saat ini dipenuhi kontroversi
demi kontroversi. Apabila dirangkum dalam suatu kesimpulan umum,
berbagai kontroversi tersebut dapat dilihat mulai dari materi peraturan
perundang-undangan yang tidak jelas nilai dan ideologi yang dia-
nutnya serta multi makna dalam penafsirannya, sampai dengan kinerja
lembaga peradilan yang sering kali melukai rasa keadilan masyarakat.
Sehingga tidak mengherankan apabila banyak pihak yang mengatakan
bahwa tujuan hukum untuk memberikan kepastian, keadilan dan ke-
manfaatan akhirnya hanya berlaku di atas kertas saja.
Beberapa contoh dari kebobrokan dunia hukum dan peradilan juga
dapat dilihat dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh berbagai
lembaga swadaya masyarakat, di mana diperoleh data bahwa aktor-aktor
yang terlibat pun sudah demikian luas, yaitu dimulai dari seluruh apa-
rat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, sipir penjara dan advokat),
pegawai administrasi dengan pangkat tertinggi sampai dengan pangkat
terendah di lembaga penegakan hukum, politisi pembuat peraturan
perundang-undangan sampai dengan kalangan intelektual yang men-
jadi saksi ahli.
Fakta yang secara selintas disebutkan di atas menyebabkan berbagai
laporan lembaga di dalam maupun luar negeri yang menyebutkan In-
donesia sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di du-
nia menjadi cukup valid dan tidak dapat disanggah sama sekali. Bahkan

113
114 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

Daniel Kauffmann, dalam laporannya yang secara khusus menyoroti


praktek korupsi di lembaga peradilan, menunjukkan bahwa Indonesia
termasuk negara yang berada pada posisi yang cukup memprihatinkan
berkaitan dengan kinerja aparat pada lembaga penegakan hukumnya.
Bentuk-bentuk korupsi di lembaga peradilan sendiri menurut dekla-
rasi International Bar Association (IBA), secara umum adalah tindakan-
-tindakan yang menyebabkan ketidakmandirian lembaga peradilan dan
institusi hukum (polisi, jaksa, hakim dan advokat). Sedangkan secara
khusus dapat dilakukan dalam bentuk mencari atau menerima berbagai
macam keuntungan atau janji berdasarkan penyalahgunaan kekuasaan
kehakiman atau perbuatan lainnya, seperti: suap, pemalsuan, penghi-
langan data atau berkas pengadilan, perubahan dengan sengaja berkas
pengadilan, memperlambat proses pengadilan, pemanfaatan kepenting-
an umum untuk kepentingan pribadi, pertimbangan yang keliru, sikap
tunduk kepada campur tangan luar/dalam pada saat memutus perkara
karena adanya tekanan, ancaman, nepotisme, conflict of interest, fa-
voritisme, kompromi dengan advokat serta tunduk kepada kemauan
pemerintah dan partai politik. Praktek-praktek judicial coruption ini
secara kolektif dikenal dengan sebutan mafia peradilan.
Sebagai suatu sistem, kinerja aparat penegak hukum sekarang ini
memang berada pada titik nadir yang cukup mengkhawatirkan. Berba-
gai keluhan baik dari masyarakat dan para pencari keadilan seolah-olah
sudah tidak dapat lagi menjadi media kontrol bagi para penegak
hukum tersebut untuk kemudian melakukan berbagai perbaikan yang
signifikan bagi terciptanya suatu kinerja yang ideal dan sesuai dengan
harapan masyarakat. Sayangnya lagi pemerintahan yang telah dipilih
secara langsung oleh rakyat tidak memiliki sense of crisis terhadap
persoalan hukum. Yang terjadi malah political interest lebih menonjol
ketimbang komitmen dan political will yang sungguh-sungguh untuk
memperkuat law enforcement dan rule of law. Tak jarang dari banyak
fakta atau kasus, justru political interest ini yang menjadi penghambat
jalannya penegakan hukum.
Berdasarkan berbagai permasalahan yang telah dipaparkan di atas,
yang sebenarnya masih sangat singkat dan sederhana apabila diban-
dingkan dengan fakta yang terjadi secara terus-menerus dan sistemik
di lapangan, kami berpikir perlu ada suatu lembaga yang secara meny-
eluruh dan sistemik melakukan berbagai kajian atas berbagai masalah
PROFIL INDONESIAN LEGAL ROUNDTABLE 115

hukum tersebut dan menawarkan solusi pemecahannya. Sehingga


diharapkan pada akhirnya secara bertahap semua permasalahan yang
seperti benang kusut tersebut sedikit demi sedikit dapat terurai dan
hukum yang bertujuan untuk memberikan kepastian, keadilan, dan
kemanfaatan akhirnya berlaku juga di lapangan.
Kondisi demikian bukanlah sesuatu yang datang dalam sekejap, te-
tapi telah berlangsung sekian lama, sistematis, dan seperti tak berkesu-
dahan. Hampir satu dasawarsa seiring dengan euforia reformasi, namun
perubahan hukum belum membuahkan hasil yang memuaskan dan
berpengaruh secara signifikan. Melengkapi upaya yang telah dilakukan
sejumlah kalangan, kami hadir untuk mendorong dan memperkuat
proses perubahan hukum yang telah berjalan. Selain mencoba mem-
berikan sesuatu yang lebih bermakna bagi sebuah pencapaian rule of
law dan keadilan yang lebih luas.

B. NAMA LEMBAGA
INDONESIAN LEGAL ROUNDTABLE (ILR), dengan badan hukum
berbentuk Yayasan.

C. SIFAT
Indonesia Legal Roundtable (ILR) adalah lembaga yang bersifat in-
dependen.

D. VISI
Tercapainya hukum yang demokratis, responsif dan berkeadilan serta
menghargai hak asasi manusia.

E. MISI
1. Merumuskan ide dan gagasan baru tentang hukum serta peru-
bahan hukum yang diperlukan bagi penguatan demokrasi, hak
asasi dan rule of law yang berkeadilan.
2. Mendorong dan memfasilitasi peran civil society untuk terlibat
secara aktif dalam proses perubahan dan penegakan hukum.
3. Melakukan upaya-upaya yang diperlukan untuk membangun
kesadaran dan awarness publik terhadap perubahan hukum.
116 INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2016

F. PROGRAM KERJA
1. Annual Report tentang Rule of Law Index
2. Interim report (Policy Papers) tentang berbagai permasalahan
hukum dan peradilan.

G. METODE KERJA
1. Survei
2. Riset
3. Roundtable Discussions

H. STRUKTUR ORGANISASI
Direktur Eksekutif : Todung Mulya Lubis
Sekretaris Eksekutif : Firmansyah Arifin
Peneliti : A. Irmanputra Sidin
: Alexander Lay
: Andi Komara
: Andri Gunawan
: Erwin Natosmal Oemar
: Maria Louisa Krisnanti
: Nabila Thalib
Asisten Peneliti : M. Indra Lesmana
: Shahnaz Hani Sofi
Staf Keuangan : Kiki Pranasari
: Siti Nurhayati
Staf Administrasi : Jafar Tasdik

Anda mungkin juga menyukai