Anda di halaman 1dari 3

SASTRA LINTAS BATAS

Oleh I Wayan Artika

Bisa dibayangkan bahwa pengajaran sastra di masa mendatang di sekolah-sekolah tidak mengalami peningkatan. Bahkan semakin menurun. Sementara itu tradisi sastra di Indonesia belum terbentuk atau tidak terjadi persambungan dari tradisi sastra Nusantara ke tradisi sastra Indonesia Modern. Bersama perubahan sistem politik dan terbentuknya Negara Indonesia, tradisi sastra Nusantara (sastra daerah, sastra keraton) yang kaya sama sekali telah ditinggalkan. Sementara itu tradisi sastra Indonesia modern hanyalah tradisi elit, akademik, dan kota urban. Karya sastra modern Indonesia tidak dibaca di kalangan pelajar Indonesia. Mahasiswa juga tidak membaca sastra. Pengajaran sastra di sekolah-sekolah tetap didomplengkan dalam pelajaran bahasa Indonesia. Tidak ada tuntutan membaca sejumlah buku sastra bagi pelajar-pelajar di Indonesia. Kompetisi-kompetisi sastra sangat langka. Televisi tidak tertarik menayangkan program-program sastra. Media publikasi sastra juga sangat terbatas. Buku-buku sastra selalu dicetak dalam jumlah yang sangat terbatas (di bawah 5000 eksemplar). Hanya sedikit buku sastra yang mencapai sukses di pasaran dan inipun tidak lepas dari peranan media massa. Kenyataan itu tampak pada Acara Lomba Baca Puisi Pekan Sastra di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Undiksha Singaraja, akhir April 2011 dalam rangka mengenang Chairil Anwar. Dari ribuan mahasiswa yang kuliah di universitas ini, hanya sebelas orang peserta yang mengikuti lomba. Mahasiswa terasing dari karya sastra. Sastra tidak penting bagi hidup mereka. Mereka tidak menyadari betapa sastra sangat penting dalam membangun peradaban manusia. Jika tidak penting, untuk apa Lembaga Nobel Swedia memberi penghargaan Nobel Sastra? Sastra sejajar dengan ekonomi, perdamaian, kimia, fisika, filsafat, kedokteran. Karena itulalah Rabindranath Tagore (India) yang menulis Gintanjali, peraih Nobel Sastra; sama terhormatnya dengan Albert Einstein. Jika di lembaga yang mencetak guru, khususnya di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, para mahasiswanya rabun atau buta sama sekali dengan sastra, bisa dibayangkan bagaimana kelak mereka bekerja di sekolah-sekolah: pasti mereka tidak tertarik mengajarkan Indonesia. Jurusan ini harus mengantisipasi bagaimana kelak, tenaga-tenaga guru yag dicetak tidak Page3 sastra. Jurusan ini seharusnya menyadari bahwa ada masalah mendasar dalam pengajaran sastra di

menomorduakan sastra dan hanya tahu ilmu bahasa. Dalam bidang sastra, jurusan ini harus melakukan terobosan yang signifikan untuk mencetak calon guru bahasa dan sastra Indonesia yang siap menumbuhkan tradisi sastra di tempatnya bekerja. Jurusan ini tampaknya tidak memiliki visi dasar mengenai sastra bagi humanisme dan peradaban bangsa. Jurusan ini melihat sastra sebatas barang titipan dalam kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia. Jurusan ini memandang sastra sebatas materi dalam mata pelajaran. Jadi sastra hanya sebuah perkenalan sepintas lalu. Memperbaiki pengajaran sastra di sekolah untuk membentuk tradisi sastra di sekolah harus dimulai dari hulu: di universitas ketika seorang calon guru dibentuk atau mengalami proses pendidikan guru. Hal ini tidak jelas adanya di universitas. Mahasiswa tidak membaca karya sastra dan tidak berlatih menulis sastra. Untuk mengatasi masalah ini, jurusan yang mencetak guru-guru bahasa dan sastra Indonesia harus berbenah. Jangan memandang sastra dan teori sastra sebatas teks sastra. Sastra tidak berbatas pada teks. Sastra berkaitan dengan kehidupan yang luas dan dinamik. Karena itu teori-teori sastra yang ssering digunakan untuk mengkaji sastra bukanlah identik bagi ilmu sastra saja. Teori-teori sastra meminjam teori-teori dari luar sastra: filsafat, sosial, politik, psikologi, seni, budaya, ilmu bahasa, semiotika. Karena itulah jurusan pendidikan yang mencetak calon guru bahasa dan Sastra Indonesia harus mendobrak pandangan sempit terhadap sastra. Sastra adalah disiplin lintas ilmu. Sastra bukan teks yang ekslusif. Sastra adalah teks yang ikut membentuk sejarah. Sastra adalah salah satu versi sejarah. Jika membaca novel Night karya Ellie Weisel, kita sama sekali tidak membaca novel tetapi kita membaca sejarah kelam Holocoust. Membaca Bekisar Merah (Ahmad Tohari) kita membaca mitos kodok loncat di satu dusun di Jawa Tengah, membaca betapa tidak terhormatnya laki-laki yang tidak perkasa di ranjang, membaca ekonomi gula kelapa di dusun tersebut dan terbentuknya kelas sosial berbasis ekonomi gula kelapa, yang sampai saat ini tetap ada. Membaca Revolt In Paradise (Ktut Tantri), kita membaca obsesi perempuan kulit putih yang ingin menemukan dunianya sendiri dan kita juga membaca sejarah Bali di awal pembentukan Republik, membaca juga sejarah Surabaya dan Bung Tomo dalam Revolusi Indonesia. Lalu, apa alasan menampik sastra? Jurusan sastra di universitas yang mencetak guru bahasa dan sastra Indonesia sebagaimana Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Undiksha, jangan menciptakan belenggu: membatasi sastra sebagai teks dengan hanya mengenalkan mahasiswa sebatas teori-teori sastra bahwa sastra adalah cerminan kehidupan masyarakat. Sastra harus menjadi basis pengajaranPage3 klasik yang sangat membosankan: bahwa sastra terdiri dari dua unsur, ekstrinsik dan intrinsik;

pengajaran di jurusan ini. Jika mempelajari kosa kata, maka teks sastra bisa dijadikan konteks. Dalam pengajaran mata kuliah sematik juga demikian, masuklah ke salah satu teks sastra. Jika mempelejari ilmu kalimat, teks sastra adalah sumber yang sangat kaya. Yang terpenting, sastra bukan teks mandiri dan terasing. Memang tidak cukup hanya membaca teks sastra. Mahasiswa juga harus mengenal berbagai teks dari berbagai genre karena teks-teks itu terjalin satu sama lain oleh kondisi intertekstalitas. Dengan cara pandang ini, jurusan ini mampu melakukan dekonstruksi terhadap kemapanan yang dibangunnya selama ini. Dekonstruksi bukan berarti penghancuran tanpa tanggung jawab. Dekonstruksi adalah penghancuran untuk menemukan jalan baru yang lebih menjanjikan. Perubahan paradigma terhadap teks sastra dan teori sastra, sebagaimana telah dikemukakan di atas, adalah kerja yang harus diambil oleh Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra dalam kerangka memberi sumbangan pembangun kemanusiaan. Dalam bidang sastra, mahasiswa harus memperoleh wawasan baru. Inilah harapan untuk menjadikan mahasiswa kapitalis. mengenal sastra. Tantangan memang lebih hebat di tengah zaman hegemoni teks-teks yang diproduksi oleh mesin

Page3

Anda mungkin juga menyukai