Anda di halaman 1dari 7

3.

3 Sanksi Pelanggaran Etik dan Hukum dalam Praktek Dokter Gigi Dalam Lafal Sumpah Dokter Indonesia (LSDI) dan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) telah tercantum secara garis besar perilaku dan tindakan-tindakan yang layak atau tidak layak dilakukan seorang dokter dalam menjalankan profesinya. Namun ada saja dokter yang tega melakukan pelanggaran etik bahkan pelanggaran etik sekaligus hukum (etikolegal), terlebih dalam lingkungan masyarakat yang sedang mengalami krisis akhirakhir ini. Kenyataan menunjukkan pula bahwa sanksi yang diberikan oleh atasan atau oleh organisasi profesi kedokteran selama ini terhadap pelanggaran etik itu tidak tegas dan konsisten. Hal ini disebabkan antara lain belum dimanfaatkannya organisasi profesi kedokteran oleh masyarakat untuk menyampaikan keluhan-keluhannya dan tidak jelasnya batas-batas antara yang layak dan tidak layak dilakukan seorang dokter terhadap pasien, teman sejawat dan masyarakat umumnya. Inilah bedanya etik dengan hukum. Hukum lebih tegas dan lebih objektif menunjukkan hal-hal yang merupakan pelanggaran hukum, sehingga jika terjadi pelanggaran dapat diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Etika kedokteran merupakan seperangkat perilaku anggota profesi kedokteran dalam hubungannya dengan klien / pasien, teman sejawat dan masyarakat umumnya serta merupakan bagian dari keseluruhan proses pengambilan keputusan dan tindakan medik ditinjau dari segi norma-norma / nilai-nilai moral. Hukum merupakan peraturan perundang-undangan baik pidana, perdata maupun administrasi. Hukum kesehatan merupakan peraturan

perundang-undangan yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan kesehatan, jadi menyangkut penyelenggara pelayanan kesehatan dan penerima pelayanan kesehatan.Perbedaan etik dengan hukum adalah : 1. Etik berlaku untuk lingkungan profesi. Hukum berlaku untuk umum. 2. Etik disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi. Hukum dibuat oleh suatu kekuasaan atau adat. 3. Etik tidak seluruhnya tertulis. Hukum tercantum secara terinci dalam kitab undang-undang / lembaran negara. 4. Sanksi terhadap pelanggaran etik umumnya berupa tuntunan. Sanksi terhadap pelanggaran hukum berupa tuntutan. 5. Pelanggaran etik diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan kalau perlu diteruskan kepada Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etika Kedokteran (P3EK), yang dibentuk oleh Departemen Kesehatan (DepKes). Pelanggaran hukum diselesaikan melalui pengadilan. 6. Penyelesaian pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik. Penyelesaian pelanggaran hukum memerlukan bukti fisik. Pelanggaran etik murni Pelanggaran terhadap butir-butir LSDI dan/atau KODEKI ada yang merupakan pelanggaran etik murni, dan ada pula yang merupakan pelanggaran etikolegal. Pelanggaran etik tidak selalu merupakan pelanggaran hukum, dan sebaliknya, pelanggaran hukum tidak selalu berarti pelanggaran etik. Yang termasuk pelanggaran etik murni antara lain :

a. Menarik imbalan jasa yang tidak wajar dari klien / pasien atau menarik imbalan jasa dari sejawat dokter dan dokter gigi beserta keluarga kandungnya. b. Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya c. Memuji diri sendiri di depan pasien, keluarga atau masyarakat. d. Pelayanan kedokteran yang diskriminatif. e. Kolusi dengan perusahaan farmasi atau apotik. f. Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran

berkesinambungan. g. Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri. Perilaku dokter tersebut di atas tidak dapat dituntut secara hukum tetapi perlu mendapat nasihat / teguran dari organisasi profesi atau atasannya. Pelanggaran di mana tidak hanya bertentangan dengan butir-butir LSDI dan/atau KODEKI, tetapi juga berhadapan dengan undang-undang hukum pidana atau perdata (KUHP/KUHAP). Misalnya: 1. Pelayanan kedokteran di bawah standar (malpraktek) 2. Menerbitkan surat keterangan palsu. 3. Membocorkan rahasia pekerjaan / jabatan dokter. 4. Pelecehan seksual. (dan sebagainya)

3.3.1 Prosedur penanganan pelanggaran etik kedokteran

Pada tahun 1985 Rapat Kerja antara P3EK, MKEK dan MKEKG telah menghasilkan pedoman kerja yang menyangkut para dokter antara lain sebagai berikut : 1. Pada prinsipnya semua masalah yang menyangkut pelanggaran etik diteruskan lebih dahulu kepada MKEK. 2. Masalah etik murni diselesaikan oleh MKEK. 3. Masalah yang tidak murni serta masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh MKEK dirujuk ke P3EK propinsi. 4. Dalam sidang MKEK dan P3EK untuk pengambilan keputusan, Badan Pembela Anggota IDI dapat mengikuti persidangan jika dikehendaki oleh yang bersangkutan (tanpa hak untuk mengambil keputusan).
5. Masalah yang menyangkit profesi dokter atau dokter gigi akan ditangani

bersama oleh MKEK dan MKEKG terlebih dahulu sebelum diteruskan ke P3EK apabila diperlukan 6. Untuk kepentingan pencatatan, tiap kasus pelanggaran etik kedokteran serta penyelesaiannya oleh MKEK dilaporkan ke P3EK Propinsi. 7. Kasus-kasus pelanggaran etikolegal, yang tidak dapat diselesaikan oleh P3EK Propinsi, diteruskan ke P3EK Pusat. 8. Kasus-kasus yang sudah jelas melanggar peraturan perundang-undangan dapat dilaporkan langsung kepada pihak yang berwenang.

3.3.2 Pedoman penilaian kasus-kasus pelanggaran etik kedokteran

Etik lebih mengandalkan itikad baik dan keadaan moral para pelakunya dan untuk mengukur hal ini tidaklah mudah. Karena itu timbul kesulitan dalam menilai pelanggaran etik, selama pelanggaran itu tidak merupakan kasus-kasus pelanggaran hukum. Dalam menilai kasus-kasus pelanggaran 1. Pancasila 2. Prinsip-prinsip dasar moral umumnya 3. Ciri dan hakekat pekerjaan profesi 4. Tradisi luhur kedokteran 5. LSDI 6. KODEKI 7. Hukum kesehatan terkait 8. Hak dan kewajiban dokter 9. Hak dan kewajiban penderita 10. Pendapat rata-rata masyarakat kedokteran 11. Pendapat pakar-pakar dan praktisi kedokteran senior. Selanjutnya, MKEK menggunakan pula beberapa pertimbangan berikut, yaitu : a. Tujuan spesifik yang ingin dicapai b. Manfaat bagi kesembuhan penderita c. Manfaat bagi kesejahteraan umum d. Penerimaan penderita terhadap tindakan itu
e. Preseden tentang tindakan semacam itu

etik

kedokteran,

MKEK

berpedoman

pada

f. Standar pelayanan medik yang berlaku

Jika semua pertimbangan menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran etik, pelanggaran dikategorikan dalam kelas ringan, sedang atau berat, yang berpedoman pada : 1. Akibat terhadap kesehatan penderita 2. Akibat bagi masyarakat umum
3. 4.

Akibat bagi kehormatan profesi Peranan penderita yang mungkin ikut mendorong terjadinya pelanggaran

5.

Alasan-alasan lain yang diajukan tersangka

Bentuk-bentuk sanksi Dalam pasal 6 PP no.30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Sipil terdapat uraian tentang tingkat dan jenis hukuman, sebagai berikut : 1. Tingkat hukuman disiplin terdiri dari : a. Hukuman disiplin ringan b. Hukuman disiplin sedang, dan c. Hukuman disiplin berat 2. Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari : a. Teguran lisan b. Teguran tulisan, dan c. Pernyataan tidak puas secara tertulis 3. Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari:

a. Penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama satu tahun b. Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama satu tahun, dan c. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun 4. Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari : a. Penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama satu tahun b. c. Pembebasan dari jabatan Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil, dan d. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil Pada kasus-kasus pelanggaran etikolegal, di samping pemberian hukuman sesuai peraturan tersebut di atas, maka selanjutnya diproses ke pengadilan.

Anda mungkin juga menyukai