Anda di halaman 1dari 5

Respon imun,baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh,berfungsi protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan

kanker,tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas dan sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. (Baratawidjaya,edisi 9) Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara : 1. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi a. Reaksi cepat Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik dan menghilang dalam 2 jam. Ikatan silang antara allergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksi sistemik dan anafilaksis local. b. Reaksi intermediet Reaksi ini terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen dan atau sel NK/ADCC. Manifestasi reaksi intermediet dapat berupa: i. Reaksi transfuse darah, eristoblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun ii. Reaksi Arthus local dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis nekrotis,glomerulonefritis, arthritis rheumatoid dan LES Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan penjamu dan disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK. c. Reaksi lambat Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak,reaksi M,tuberculosis dan reaksi penolakan tandur.(Baratawidjaya,edisi 9) 2. Pembagian reaksi hipersensitivitas berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb. a. Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi timbul segera setelah tubuh terpajan dengan allergen. Manifestasi reaksi tipe I 1. Reaksi lokal : rinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. 2. Reaksi sistemik : anafilaksis. 3. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid.

Gambar 1. Mekanisme Reaksi Hipersensitivitas Tipe I Antigen mengaktifkan TH2 Sel TH2 merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul Ig E diikat oleh FceR1 pada sel mast dan basofil. Pajanan kedua dengan alergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast melepas mediator farmakologis aktif kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi, kerusakan jaringan dan anafilaksis. b. Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik atau sitotoksik terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu. Kepekaan berbagai jenis sel sasaran terhadap aksi pengrusakan oleh sel efektor maupun oleh aktivasi komplemen berbeda-beda, tergantung jumlah antigen pada permukaan sel sasaran dan saya tahan sel sasaran terhadap pengrusakan. Contoh reaksi hipersensitivitas tipe II adalah kerusakan pada eritrosit : 1. Reaksi transfusi. 2. Hemolytic disease of the newborn (HDN). 3. Anemia hemolitik.

Gambar 2. Mekanisme Reaksi Hipersensitivitas Tipe 2 Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam sirkulasi/pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Hal ini dapt terjadi karena ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vascular yang meningkat, antara lain karena histamine yang dilepas sel mast. Reaksi hiper sensitivitas tipe IV dibagi dalam DTH (Delayed Type Hypersensitivity) yang terjadi melalui sel CD4+ dan T cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+ (Baratawidjaja, 2006). Mekanisme Imun Patologik IgE Mekanisme Kerusakan Jaringan dan Penyakit Sel mast dan mediatornya (amin vasoaktif, mediator lipid, dan sitokin) Opsonisasi & fagositosis sel Pengerahan leukosit (neutrofil, makrofag) atas pengaruh komplemen dan FcR Kelainan fungsi seluler (misal dalam sinyal reseptor hormone) Pengerahan dan aktivasi leukosit atas pengaruh komplemen dan Fc-R

Jenis Hipersensitivitas Tipe I Hipersensitivitas cepat Tipe II Reaksi melalui antibodi

IgM, IgG terhadap permukaan sel atau matriks antigen ekstraseluler Kompleks imun (antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG)

Tipe III Kompleks imun

Tipe IV (melalui sel T) Tipe IVa Tipe Ivb

1. CD4+ : DTH 2. CD8+ : CTL

1. Aktivasi makrofag, inflamasi atas pengaruh sitokin 2. Membunuh sel sasaran direk, inflamasi atas pengaruh sitokin

3. (Baratawidjaja, 2006).

Mekanisme Alergi Hipersensitivitas Tipe I Hipersensitivitas tipe I terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya setelah pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti demam hay) (Brooks et.al, 2005). Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut: 1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan basofil. 2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. 3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediatormediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik (Baratawidjaja, 2006). Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Secara imunologis, antigen protein utuh masuk ke sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk mencegah respon imun terhadap semua makanan yang dicerna, diperlukan respon yang ditekan secara selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukann toleransi oral ini memicu produksi antibodi IgE berlebihan yang spesifik terhadap epitop yang terdapat pada alergen. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada makrofag, monosit, limfosit, eosinofil, dan trombosit. Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang dengan antibodi tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast. Selanjutnya sel mast melepaskan berbagai mediator (histamine, prostaglandin, dan leukotrien) yang menyebabkan vasodilatasi, sekresi mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian dari hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi juga mengeluarkan berbagai sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat (Rengganis dan Yunihastuti, 2007). Gejala yang timbul pada hipersensitivitas tipe I disebabkan adanya substansi aktif (mediator) yang dihasilkan oleh sel mediator, yaitu sel basofil dan mastosit. 1. Mediator jenis pertama Meliputi histamin dan faktor kemotaktik. - histamin menyebabkan bentol dan warna kemerahan pada kulit, perangsangan saraf sensorik, peningkatan permeabilitaskapiler, dan kontraksi otot polos. - Faktor kemotaktik. Dibedakan menjadi ECF-A (eosinophil chemotactic factor of anophylaxis) untuk sel-sel eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic factor of anophylaxis) untuk sel-sel neutrofil. 2. Mediator jenis kedua Dihasilkan melalui pelepasan asam arakidonik dari molekul-molekul fosfolipid membrannya. Asam arakidonik ialah substrat 2 macam enzim, yaitu sikloksigenase dan lipoksigenase.

- Aktivasi enzim sikloksigenase akan menghasilkan bahan-bahan prostaglandin dan tromboxan yang sebagian dapat menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus pembuluh darah. - Aktivasi lipoksigenase diantaranya akan menghasilkan kelompok lekotrien. Lekotrien C, D, E sebelum dikenal ciri-cirinya dinamakan SRS-A (Slow reactive substance of anaphylaxis) karena lambatnya pengaruh terhadap kontraksi otot polos dibandingkan dengan histamin. 3. Mediator jenis ketiga Dilepaskan melalui degranulasi seperti jenis pertama, yang mencakup (1) heparin, (2) kemotripsin/tripsin (3) IF-A (Kresno, 2001; Wahab, et.al, 2002)

Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Brooks, Geo F. Butel, Janet S. Morse, Stephen A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 21. Jakarta: Salemba Medika. Kresno, Siti Boedina. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: FKUI Rengganis, Iris. Yunihastuti, Evy. 2007. Alergi Makanan dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Wahab, A Samik. Julia, Madarina. 2002. Sistem Imun, Imunisasi, & Penyakit Imun. Jakarta: Widya Medika.

Anda mungkin juga menyukai