Anda di halaman 1dari 2

Sebagai karyawati disalah satu BUMN, saya dituntut untuk bisa datang ke tempat dinas saya tepat pada

waktunya, yakni pukul tujuh tiga puluh tepat. Hanya sedikit cara agar saya tidak terlambat tiba di tempat kerja saya, salah satunya adalah bangun lebih pagi setiap harinya, namun rasanya hal itu sangat tidak mungkin saya lakukan, mengingat saya kuliah malam hari sehingga waktu istirahat saya sangat terbatas. Cara yang lainnya adalah dengan menumpang angkutan massal masyarakat kota, yaitu kereta api. Suatu ketika, saya melihat seorang kakek, dengan sepeda tuanya, yang roda bannya di tempeli lakban hitam dimana-mana, yang mungkin menandakan ketiadaan uang si empunya sepeda untuk dapat membeli roda sepeda yang baru. Pada saat itu menitik air mata saya, si kakek renta dengan segala ketiadaannya tetap menolak untuk sekedar menadahkan tangannya, meminta-minta. Padahal kalau mau kita lihat, ada ratusan orang yang muda, sehat, dengan anggota tubuh yang lengkap, namun karena rasa malas bekerja, tidak malu untuk menadahkan tangan, dan mengikrarkan dirinya sebagai pengemis. Sampai sekarang saya sangat tidak dapat memahami prinsip orang yang hanya mau menerima gampangnya saja dalam hidup, padahal kita tahu bahwa Tuhan juga mengajarkan kepada kita untuk Berdoa dan Berusaha ( Ora Et Labora ), dan apakah mengemis termasuk dalam konteks berusaha? Kalau iya, berarti betapa tidak adilnya Tuhan, bayangkan saja. Untuk orang yang tidak berpendidikan, tidak bersusah payah dan tidak perlu menguras otak ( nb:otak=anugrah Tuhan), mereka bisa meraup keuntungan sampai dengan lima ratus ribu sehari.

Apa kabarnya orang-orang seperti saya? Yang dengan susah payah berusaha untuk menamatkan jenjang S1 saya, hanya mampu menangguk uang paling banyak dua ratus ribu perhari? Belum lagi dengan si cacat yang sengaja memanfaatkan kekurangannya agar orang iba melihatnya, padahal di kampung, tanahnya sudah berhektar-hektar, ada juga si palsu, alias orang yang sebenarnya sehat namun pura-pura cacat agar dikasihani dan berharap mendapatkan uang sebanyak-banyaknya atas iba orang yang melihatnya. Apakah pemerintah tidak melihat bahwa pembangunan Indonesia belum merata, ataukah pemerintah masa bodoh karena tahu bahwa para pengemis tersebut sebenarnya ialah palsu? Sekali lagi saya harus mengacungkan kedua atau mungkin keempat jempol yang saya punya untuk si kakek renta, yang menghidupi dirinya dengan memunguti sampah plastic bekas air mineral, dan coba mari kita bayangkan bahwa dengan adanya orang orang seperti dialah lingkungan kita bisa bersih, dan proses recycle tetap berjalan sampai dengan sekarang. Tanpa mereka, lingkungan kita pastilah menjadi kotor karena sampah-sampah plastic. Orang- orang seperti itulah yang akan selalu saya sebut sebagai People With Dignity. Dimata saya mereka lebih berarti dari apapun, karena merekalah the real hero.. penyelamat lingkungan dari sampah plastic, yang mampu menghidupi dirinya tanpa harus menjadi pengemis.

The End

Anda mungkin juga menyukai