Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah menurunkan agama Islam kepada umat-Nya disertai dengan aturan aturan
(hukum). Aturan-aturan (hukum) tersebut dibuat oleh Allah agar manusia selamat hidup di
dunia sampai ke akhirat kelak. Agama (Islam) beserta aturan-aturan (hukum) yang dibuat oleh
Allah tersebut merupakan wahyu, diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya melalui
perantaraan Malaikat Jibril. Sedangkan Nabi dan Rasul terakhir adalah Muhammad SAW.
Wahyu yang diturunkan oleh Allah tersebut, adakalanya untuk menyelesaikan persoalan
hukum yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu, dan dalam ilmu al-Quran dikenal
dengan istilah asbabun-nuzul atau sebab-sebab turunnya wahyu (ayat al-Quran). Namun
apabila Allah tidak menurunkan wahyu kepada Nabi atau Rasul untuk menyelesaikan persoalan
hukum (tertentu) yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu, maka Nabi melakukan ijtihad,
menggali hukumnya (istinbath), kemudian hasil ijtihad Nabi tersebut disebut dengan al-Sunnah
(qauliyah, filiyah dan taqriyah). Dengan demikian terlihat bahwa, sumber hukum Islam semasa
Nabi Muhammad s.a.w., hidup hanya dua yaitu, al-Quran dan al-Sunnah Nabi sebagai
empirisasi dari wahyu Allah.
Pembahasan sumber-sumber syariat Islam, termasuk masalah pokok (ushul) karena dari
sumber-sumber itulah terpancar seluruh hukum atau syariat Islam. Oleh karenanya untuk
menetapkan sumber syariat Islam harus berdasarkan ketetapan yang qathi (pasti) kebenarannya,
bukan sesuatu yang bersifat dugaan (dzanni).
Allah SWT berfirman:
4 -^> 4` "^1 El gO) vUg _ Ep)
E7;OO- 4O=^4l^-4 E1-E^-4
O7 Elj^q 4p~E +Ou44N LO7*O4` ^@g
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya (QS. Al-Isra 36).
2

4`4 7)l+-4C -+O4^ ) CL _ Ep)
O}-- /j_^NC =}g` --O4^- *^OE- _
Ep) -.- l7)U4 E) 4pOUE^4C ^@g
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan
itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang mereka kerjakan (QS. Yunus 36).
Masalah ini termasuk masalah pokok (ushul), sebab menjadi dasar bagi seorang Muslim
untuk menarik keyakinan atas hukum-hukum amaliahnya. Apabila landasan suatu hukum sudah
salah, maka seluruh hukum-hukum cabang yang dihasilkannya menjadi salah pula. Oleh sebab
itu menetapkan sumber syariat Islam tidak dapat dilakukan berdasarkan persangkaan ataupun
dengan dugaan belaka.
Imam syafii membagi hukum yang bersumber dari dalil-dalil syara menjadi dua yaitu
1
:
1. Hukum zhahir dan batin, yaitu: Hukum-hukum syara yang bersumber dari nash
yang mutawatir, baik al-Quran maupun hadits mutawatir. Oleh karena itu, beliau
memberikan komentar terhadap hukum syara yang bersumber dari al-Quran dan
hadist yang mutawatir sebagai berikut: kami telah mentapkan hukumnya dengan
benar, baik bentuk zhahir maupun batinnya.
2. Hukum zhahir, yaitu: hukum-hukum syara yang ditetapkan berdasarkan dalil
hadits ahad, ijma atau qiyas, yang semua itu tidak disepakati oleh para ulama.
Berangkat dari hal tersebut, maka makalah ini bertujuan mendiskripsikan sumber hukum
Islam yang berupa al-Quran dan Hadits.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang di atas adalah :
a. Bagaimana sumber hukum Islam al-Quran?
b. Bagaimana sumber hukum Islam Hadits?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
a. Untuk mengetahui sumber hukum Islam al-Quran.
b. Untuk mengetahui sumber hukum Islam Hadits.

1
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007, Cet II, hal 307-328
3




BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumber Hukum Islam Al-Quran
i. Definisi Al-Quran
Allah SWT memilih beberapa nama bagi wahyu-Nya, yang berbeda sekali dari bahasa
yang biasa digunakan masyarakat arab untuk penamaan sesuatu. Nama-nama itu mengandung
makna yang berbias dan memiliki akar kata
2
. Diantara beberapa nama itu yang paling terkenal
ialah al-Kitab dan al-Quran.
Wahyu dinamakan al-Kitab yang menunjukkan pengertian bahwa wahyu itu dirangkum
dalam bentuk tulisan yang merupakan kumpulan huruf-huruf dan menggambarkan ucapan
(lafadz) adapun penamaan wahyu itu dengan al-Quran memberikan pengertian bahwa wahyu
itu tersimpan didalam dada manusia mengingat nama al-Quran sendiri berasal dari kata qiraah
(bacaan) dan didalam qiraah terkandung makna agar selalu diingat. Wahyu yang diturunkan
dalam bahasa Arab yang jelas itu telah ditulis dengan sangat hati-hati agar terpelihara secara
ketat, serta untuk mencegah kemungkinan terjadinya manipulasi oleh orang-orang yang hendak
menyalah artikan atau usaha mereka yang hendak mengubahnya. Tidak seperti kitab-kitab suci
lain dimana wahyu hanya terhimpun dalam bentuk tulisan saja atau hanya dalam hafalan saja,
tetapi penulisan wahyu yang satu ini didasarkan pada isnad yang mutawatir (sumber-sumber
yang tidak diragukan kebenarannya) dan isnad yang mutawatir itu mencatatnya dengan jujur
dan cermat
3
.
Allah SWT menurunkan al-Quran dengan perantaraan malaikat jibril sebagai pengantar
wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW di Gua Hiro pada tanggal 17
ramadhan ketika Nabi Muhammad berusia 41 tahun.

2
Subhi as shalih, Dr. Mabahis fi Ulumil-Quran, Darul- Ilm Lil-Malayin, Beirut, Libanon
3
Ibid, Subhi as shalih, Mabahis fi Ulumil-Quran, hal. 9
4

Al-Quran turun tidak secara sekaligus, namun sedikit demi sedikit baik beberapa ayat,
langsung satu surat, potongan ayat, dan sebagainya. Turunnya ayat dan surat disesuaikan
dengan kejadian yang ada atau sesuai dengan keperluan. Selain itu dengan turun sedikit demi
sedikit, Nabi Muhammad SAW akan lebih mudah menghafal serta meneguhkan hati orang yang
menerimanya. Lama al-quran diturunkan ke bumi adalah kurang lebih sekitar 22 tahun 2 bulan
dan 22 hari.
Secara bahasa (etimologi) al-Quran merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja
Qoroa yang bermakna Talaa , keduanya memiliki arti yaitu membaca, atau bermakna
Jamaa (mengumpulkan, mengoleksi). Disebutkan akar kata yang lain, Qoro-a Qoran Wa
Quraanan sama seperti lafadz, Ghofaro Ghafran Wa Qhufroonan
. Berdasarkan makna pertama yakni Talaa, maka ia adalah mashdar (kata benda) yang
semakna dengan Ism Maful, artinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan berdasarkan makna
kedua Yakni Jamaa maka ia adalah mashdar dari Isim Fail, artinya Jami (Pengumpul,
Pengoleksi) karena ia mengumpulkan atau mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.
Terdapat beberapa ulama yang mengartikan al-Quran menurut bahasa antara lain adalah
sebagai berikut :
a. Al-Farra, beliau menyatakan bahwa al-Quran artinya adalah membenarkan,
karena al-Quran terambil dari kata qarain, jamak dari qaraniah. Dan firman
Allah disebut al-Quran dengan arti yang demikian ayat-ayat dalam al-Quran satu
sama lain saling benar membenarkan.
b. Al-Asyari, beliau mengatakan bahwa al-Quran artinya ialah menggabungkan
sesuatu dengan yang lain, karena al-Quran terambil dari kata qarana. Dan al-
Quran berarti demikian, karena surat-surat maupun ayat-ayat bahkan juga huruf-
hurufnya saling beriringan dan bergabung satu dengan yang lain.
c. Az-Zajjaj, beliau mengartikan bahwa al-Quran artinya adalah mengumpulkan,
karena al-Quran berasal dari kata Qari dan firman Allah disebut demikian,
karena al-Quran mengumpulkan surat-suratnya menjadi satu kesatuan, atau
karena mengumpulkan saripati kitab-kitab suci Allah yang turun sebelumnya.
5

Sebagian Ulama berpendapat bahwa kata Quran itu pada mulanya tidak berhamzah
sebagai sebuah kata jadian. Ada analisa penyebutan tersebut kemungkinan adalah karena
Quran dijadikan sebagai suatu nama bagi kalam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, dan bukan merupakan kata jadian, sementara yang lain berpendapat berbeda.
Untuk itulah ada baiknya jika kita mereferensi beberapa pendapat ulama tentang asal
kata Quran:
a. Asy-Syafii, berpendapat bahwa kata quran ditulis dan dibaca tanpa hamzah
(Quran) yang tidak diambil dari kata lain (Musytaq). Ia adalah nama Khusus yang
dipakai untuk kitab suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW,
sebagaimana kitab Injil dan Taurat dipakai khusus untuk kitab-kitab Tuhan yang
diberikan kepada Nabi Isa dan Musa
4
. Lafadz tersebut sudah lazim digunakan
dalam pengertian kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Jadi menurut asy Syafii, lafadz tersebut bukan berasal dari akar kata qa-ra-a
(membaca), sebab kalau akar katanya qa-ra-a, maka tentu setiap sesuatu yang
dibaca dapat dinamai al-Quran, sama halnya dengan nama Taurat dan Injil
5
.
b. Al-Farra dalam kitabnya Maanil Quran berpendapat bahwa lafadz quran
tidak memakai hamzah, dan diambil (musytaq) dari kata qarain jamak dari
qarinah, yang berarti indikator (petunjuk). Hal ini disebabkan karena sebagian
ayat-ayat al-Quran itu serupa satu sama yang lain, maka seolah-olah sebagian
ayat-ayatnya merupakan indikator dari apa yang dimaksud oleh ayat lain yang
serupa
6
. Dan huruf nun pada akhir lafadz al-Quran adalah huruf asli, bukan
huruf tambahan
7
.
c. Al-Asyari berpendapat bahwa lafadz al-Quran tidak memakai hamzah dan
diambil dari kata qarana, yang berarti menggabungkan. Hal ini disebabkan karena
surat-surat dan ayat-ayat al-Quran dihimpun dan digabungkan dalam satu mushaf.

4
Muhaimin, Drs, MA, Dimensi-dimensi Studi Islam, Karya Abditama, Surabaya, 1994, hal. 86
5
Subhi as shalih, Dr. Mabahis fi Ulumil-Quran, hal.10
6
Muhaimin, Drs, MA Dimensi-dimensi Studi Islam hal.86
7
Subhi as shalih, Dr. Mabahis fi Ulumil-Quran, hal.11
6

Tiga pendapat diatas menurut Subhi as-Shalih adalah beberapa contoh dari Ulama yang
berpendapat bahwa lafadz al-Quran tanpa huruf hamzah ditengahnya jauh dari kaidah
pemecahan kata (isytiqaq) dalam bahasa Arab. Sedangkan para ulama yang berpendapat bahwa
lafadz al-Quran ditulis dengan tambahan hamzah ditengahnya adalah :
a. Az-Zajjaj, lafadz al-Quran ditulis dengan huruf hamzah ditengahnya berdasarkan
pola kata (wazan) fulan, lafadz tersebut pecahan (musytaq) darai akar kata qarun
yang berarti jamun, Seperti kalimat qurial mau fil-haudi, yang berarti air
dikumpulkan dalam kolam. Jadi dalam kalimat itu kata qarun bermakna jamun,
yang dalam bahasa Indonesia bermakna kumpul, atau menhimpun. Hal ini karena
al-Quran merupakan kitab suci yang menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab
suci sebelumnya.
b. Al-Lihyani, lafadz al-Quran ditulis dengan huruf ditengahnya berdasarkan pola
kata ghufran dan merupakan pecahan dari akar kata qa-ra-a yang bermakna tala
(membaca).
Al-Quran menurut arti istilah (terminologi) yaitu:
1. Al-Quran adalah firman Allah SWT, yang merupakan mukjizat, yang diturunkan
kepada Nabi dan Rasul terakhir dengan perantaraan Malaikat Jibril yang tertulis di
dalam mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir yang diperintahkan
membacanya, yang dimulai dengan surat al-fatihah dan ditutup dengan surat an-
Nas.
2. Al-Quran adalah lafal berbahasa arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, yang diperintahkan
membacanya yang menantang setiap orang (untuk menyusun walaupun) dengan
(membuat) surat yang terpendek dari pada surat-surat yang ada di dalamnya.
3. Al-Quran diperintahkan untuk dibaca (selain dipelajari dan diamalkan) karena
membaca al-Quran merupakan ibadah.
4. Al-Quran ditulis di dalam mushaf, bahwa al-Quran ini ditulis sejak masa turun
(Nabi Muhammad SAW). Karena selalu ditulis inilah al-Quran juga disebut al-
7

Kitab. Dewasa ini mushaf al-Quran disebut Mushaf Usmani karena
penulisannya mengikuti metode Usman bin Affan.
Selama berabad-abad berlangsung, tidak ada kemampuan satu pun musuh-musuh Allah
yang sanggup untuk merubah isinya, menambah, mengurangi atau pun menggantinya. Allah
SWT pasti menghancurkan tabirnya dan membuka kedoknya.
Allah SWT menyebut al-Quran dengan sebutan yang banyak sekali, yang menunjukkan
keagungan, keberkahan, pengaruhnya dan universalitas-nya serta menunjukkan bahwa ia adalah
pemutus bagi kitab-kitab terdahulu sebelumnya. Al-Quran al-Karim merupakan sumber
syariat Islam yang karenanya Muhammad SAW diutus kepada seluruh umat manusia.
Allah SWT berfirman:
E4O4:> Og~-.- 4EO4^ 4p~O^-
_O>4N jg:4N 4pO74Og --gUEUg
-OCO4^ ^
Maha Suci Allah yang Telah menurunkan al-Furqaan (al-Quran) kepada hamba-Nya,
agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (QS. al-Furqaan 1)
Definisi al-Quran secara terminologi menurut beberapa ulama sebagaimana berikut:
a. Ulama Ushul fiqh, kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam bahasa arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir,
membacanya merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf, dimulai dari surat al-
Fatihah dan ditutup dengan surat an-Nas
8
.
b. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan al-Quran sebagai firman Allah yang
diturunkan melalui ruhul amin (jibril) kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan
bahasa Arab, isinya dijamin kebenarannya, dan sebagai hujjah kerasulannya,
undang-undang bagi seluruh manusia dan petunjuk dalam beribadah serta
dipandang ibadah dalam membacanya, yang terhimpun dalam mushaf yang

8
SyafeI, Rachmat , Ilmu Ushul FIqf, CV.Pustaka Setia, Bandung, 1999. hal. 50
8

dimulai dari surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat an Nas yang diriwayatkan
kepada kita dengan jalan mutawatir
c. Syaikh Muhammad Abduh mendefinisikan al-Quran sebagai kalam mulia yang
diturunkan oleh Allah kepada Nabi yang paling sempurna (Muhammad SAW)
ajarannya mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber yang
mulai essensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang yang berjiwa suci dan
berakal cerdas.
Ketiga definisi tersebut sebenarnya saling melengkapi. Definisi pertama lebih fokus
pada subyek pembuat wahyu, Allah dan obyek penerima wahyu yakni Rasulullah Muhammad
SAW, proses penyampaiannya kepada umat secara mutawatir, membacanya dikategorikan
sebagai ibadah. Definisi kedua melengkapi penjelasan cara turunnya melalui malaikat Jibril,
penegasan tentang awal dan akhir surat. Dan definisi ketiga berkaitan dengan isi dan kriteria
bagi orang ingin memahaminya.
Definisi al-Quran secara terminologi dapat diurai sebagi berikut:
1. Kalamullah
Al-Quran adalah kalamullah, firman Allah taala. Ia bukanlah kata-kata manusia.
Bukan pula kata-kata jin, syaithan atau malaikat. Ia sama sekali bukan berasal dari
pikiran makhluk, bukan syair, bukan sihir, bukan pula produk kontemplasi atau hasil
pemikiran filsafat manusia. Hal ini ditegaskan oleh Allah taala dalam al-Quran
surat An-Najm ayat 3-4.
4`4 -gCL4C ^}4N -O4OE- ^@ up)
4O- ) E/4 _/EONC ^j
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (QS. An-
Najm 1-3).
Tentang kesucian dan keunikan al-Quran ini perhatikanlah kesaksian objektif Abul
Walid seorang jawara sastra pada masa Nabi SAW: Aku belum pernah mendengar
kata-kata yang seindah itu. Itu bukanlah syair, bukan sihir dan bukan pula kata-kata
9

ahli tenung. Sesungguhnya al-Quran itu ibarat pohon yang daunnya rindang,
akarnya terhujam ke dalam tanah. Susunan kata-katanya manis dan enak didengar.
Itu bukanlah kata-kata manusia, ia tinggi dan tak ada yang dapat mengatasinya.
Demikian pernyataan Abul Walid.
2. Mujizat
Mujizat artinya suatu perkara yang luar biasa, yang tidak akan mampu manusia
membuatnya karena hal itu di luar kesanggupannya. Mujizat itu dianugerahkan
kepada para nabi dan rasul dengan maksud menguatkan kenabian dan kerasulannya,
serta menjadi bukti bahwa agama yang dibawa oleh mereka benar-benar dari Allah
taala.
Al-Quran adalah mujizat terbesar Nabi Muhammad SAW. Kemujizatannya itu
diantaranya terletak pada fashahah dan balaghah-nya, keindahan susunan dan gaya
bahasanya yang tidak ada tandingannya. Karena gaya bahasa yang demikian itulah
Umar bin Khatthab masuk Islam setelah mendengar al-Quran awal surat Thaha
yang dibaca oleh adiknya Fathimah. Abul Walid, terpaksa cepat-cepat pulang begitu
mendengar beberapa ayat dari surat Fushshilat
9
.
Karena demikian tingginya bahasa al-Quran, mustahil manusia dapat membuat
susunan yang serupa dengannya, apalagi menandinginya. Orang yang ragu terhadap
kebenaran al-Quran sebagai firman Allah ditantang oleh Allah taala.
p)4 +L O) UuC4O Og)` 4L^EO4^
_O>4N 4^gl4N W-O> E4OOOO) }g)`
g)-uVg)` W-ONNu1-4 747.-EE_7-
}g)` p1 *.- ]) +L7 4-g~g=
^g@
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Quran yang kami wahyukan
kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Quran

9
Miftah Faridl, Pokok-pokok Ajaran Islam, Pustaka Bandung hal. 9
10

itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang
benar (QS. Al-Baqarah 23).
Allah sendiri kemudian menegaskan bahwa tidak akan pernah ada seorang pun yang
mampu menjawab tantangan ini.
Allah SWT berfirman:
p) - W-OUE^> }4 W-OUE^>
W-OE> 4OEL- /--
E-1O~4 +EEL- 7E4OE^-4
W
;OgNq 4@OgUg ^gj
Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat
membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan
batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir (QS. Al-Baqarah 24).
Bahkan seandainya bekerjasama jin dan manusia untuk membuatnya, tetap tidak
akan sanggup.
Allah SWT berfirman:
~ '- geEE4-;_- ^e"-
O}^-4 -O>4N p W-O>4C
uVg) -EOE- p-47O^-
4pO>4C g)-u1g) O4 ]~E
gO^u4 *u4lg -LOO)_ ^gg
Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan
Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain" (QS.
Al-Isra 88).
11

Selain itu, kemukjizatan al-Quran juga terletak pada isinya. Perhatikanlah, sampai
saat ini al-Quran masih menjadi sumber rujukan utama bagi para pengkaji ilmu
sosial, sains, bahasa, atau ilmu-ilmu lainnya.
Menurut Miftah Faridl, banyak ayat-ayat al-Quran yang berhubungan dengan ilmu
pengetahuan dapat meyakinkan kita bahwa al-Quran adalah firman Allah, tidak
mungkin ciptaan manusia, apalagi ciptaan Nabi Muhammad SAW yang ummiy
yang hidup pada awal abad ke enam Masehi (571-632 M).
Berbagai kabar ghaib tentang masa lampau (tentang kekuasaan di Mesir, Negeri
Saba, Tsamud, Ad, Yusuf, Sulaiman, Dawud, Adam, Musa, dll) dan masa depan
pun menjadi bukti lain kemujizatan al-Quran. Sementara itu jika kita perhatikan
cakupan materinya, nampaklah bahwa al-Quran itu mencakup seluruh aspek
kehidupan, baik masalah aqidah, ibadah, hukum kemasyarakatan, etika, moral dan
politik, terdapat di dalamnya.
3. Al-Munazzalu ala Muhammad SAW
Al-Quran itu diturunkan khusus kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kalam
Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain Nabi Muhammad SAW, seperti
Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa atau Injil yang diturunkan kepada Nabi
Isa, tidak bisa dinamakan dan disebut sebagai al-Quran. Demikian pula hadits qudsi
tidak bisa disamakan dengan al-Quran.
Al-Quran diturunkan Allah taala kepada Nabi Muhammad SAW dengan berbagai
cara:
1. Berupa impian yang baik waktu beliau tidur. Kadang-kadang wahyu itu
dibawa oleh malaikat Jibril dengan menyerupai bentuk manusia laki-laki, lalu
menyampaikan perkataan (firman Allah) kepada beliau.
2. Kadang-kadang malaikat pembawa wahyu itu menampakkan dirinya dalam
bentuk yang asli (bentuk malaikat), lalu mewahyukan firman Allah kepada
beliau.
12

3. Kadang-kadang wahyu itu merupakan bunyi genta. Inilah cara yang paling
berat dirasakan beliau.
4. Kadang-kadang wahyu itu datang tidak dengan perantaraan malaikat,
melainkan diterima langsung dari Hadirat Allah sendiri.
5. Sekali wahyu itu beliau terima di atas langit yang ketujuh langsung dari
Hadirat Allah sendiri.
4. Al-Manqulu bi-tawatir
Al-Quran ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada kita secara
mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang), sehingga terpelihara keasliannya.
Berikut sekilas sejarah pemeliharaan al-Quran sejak masa Nabi hingga
pembukuannya seperti sekarang:
Pada masa Nabi al-Quran dihafal dan ditulis di atas batu, kulit binatang, pelapah
tamar dan apa saja yang bisa dipakai untuk ditulis. Kemudian setahun sekali Jibril
melakukan repetisi (ulangan), yakni dengan menyuruh Nabi memperdengarkan al-
Quran yang telah diterimanya. Menurut riwayat, di tahun beliau wafat, ulangan
diadakan oleh Jibril dua kali.
Ketika Nabi wafat, al-Quran telah dihafal oleh ribuan manusia dan telah ditulis
semua ayat-ayatnya dengan susunan menurut tertib urut yang ditunjukkan oleh Nabi
sendiri.
Berdasarkan usulan Umar bin Khattab, pada masa pemerintahan Abu Bakar
diadakan proyek pengumpulan al-Quran. Hal ini dilatar belakangi oleh peristiwa
gugurnya 70 orang penghafal al-Quran dalam perang Yamamah. Maka
ditugaskanlah Zaid bin Tsabit untuk melakukan pekerjaan tersebut. Ia kemudian
mengumpulkan tulisan al-Quran dari daun, pelapah kurma, batu, tanah keras,
tulang unta atau kambing dan dari sahabat-sahabat yang hafal al-Quran.
Dalam upaya pengumpulan al-Quran ini, Zaid bin Tsabit bekerja sangat teliti.
Sekalipun beliau hafal al-Quran seluruhnya, tetapi masih memandang perlu
13

mencocokkan hafalannya dengan hafalan atau catatan sahabat-sahabat yang lain
dengan disaksikan dua orang saksi. Selanjutnya, al-Quran ditulis oleh Zaid bin
Tsabit dalam lembaran-lembaran yang diikatnya dengan benang, tersusun menurut
urutan ayat-ayatnya sebagaimana yang telah ditetapkan Rasulullah saw.
Pada masa Utsman terjadi ikhtilaf tentang mushaf al-Quran, yakni berkaitan
dengan ejaan, qiraat dan tertib susunan surat-surat. Oleh karena itu atas usulan
Huzaifah bin Yaman, Utsman segera membentuk panitia khusus yang dipimpin Zaid
bin Tsabit beranggotakan Abdullah bin Zubair, Saad bin Ash dan Abdurrahman bin
Harits bin Hisyam untuk melakukan penyeragaman dengan merujuk kepada
lembaran-lembaran al-Quran yang ditulis pada masa khalifah Abu Bakar yang
disimpan oleh Hafsah, isteri Nabi Muhammad SAW.
Al-Quran yang dibukukan oleh panitia ini kemudian dinamai al-Mushaf dan
dibuat lima rangkap. Satu buah disimpan di Madinah, dinamai Mushaf Al-Imam,
dan sisanya dikirim ke Mekkah, Syiria, Basrah dan Kufah. Sementara itu lembaran-
lembaran al-Quran yang ditulis sebelum proyek ini segera dimusnahkan guna
menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf, satu bacaan, dan satu tertib susunan
surat-surat.
5. Al-Mutaabbadu bitilawatih
Membaca al-Quran itu bernilai ibadah. Banyak sekali hadits yang mengungkapkan
bahwa membaca al-Quran adalah merupakan bentuk ibadah kepada Allah yang
memiliki banyak keutamaan, diantaranya adalah:
Bacalah al-Quran, karena sesungguhnya Allah akan memberi pahala kepadamu
karena bacaan itu untuk setiap hurufnya 10 kebajikan. Saya tidak mengatakan
kepada kalian bahwa Alif-Laam-Mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf,
Laam satu huruf dan Miim satu huruf (HR. Hakim).
Bacalah al-Quran, karena sesungguhnya ia akan menjadi cahaya bagimu di bumi
dan menjadi simpanan (deposito amal) di langit. (HR. Ibnu Hibban).
14

Orang yang mahir dalam membaca al-Quran bersama para malaikat yang mulia
lagi taat. Dan barangsiapa membaca al-Quran sementara ada kesulitan (dalam
membacanya), maka baginya dua pahala. (HR. Bukhari & Muslim)
ii. Pokok Ajaran Al-Quran
Didalam al-Quran terdapat ajaran pokok yang terkandung, makna yang terkandung
meliputi:
1. Tauhid (keimanan terhadap Allah SWT).
2. Ibadah ( pengabdian terhadap Allah SWT).
3. Akhlak (sikap dan perilaku terhadap Allah SWT, juga terhadap sesama manusia dan
makhluk lain).
4. Hukum (mengatur manusia).
5. Hubungan masyarakat (mengatur tata cara kehidupan manusia).
6. Janji dan ancaman (reward dan punishment bagi manusia).
7. Sejarah (teladan dari kejadian di masa lampau).
iii. Keistimewaan dan Keutamaan Al-Quran
Keistimewaan serta keutamaan al-Quran mencakup beberapa aspek, hal ini diperinci
sebagi berikut:
1. Memberi petunjuk lengkap disertai hukumnya untuk kesejahteraan manusia segala
zaman, tempat dan bangsa.
2. Susunan ayat yang mengagumkan dan mempengaruhi jiwa pendengarnya.
3. Dapat digunakan sebagai dasar pedoman kehidupan manusia.
4. Menghilangkan ketidakbebasan berfikir yang melemahkan daya upaya dan
kreatifitas manusia (memutus rantai taqlid).
5. Memberi penjelasan ilmu pengetahuan untuk merangsang perkembangannya.
15

6. Memuliakan akal sebagai dasar memahami urusan manusia dan hukum-hukumnya.
7. Menghilangkan perbedaan antar manusia dari sisi kelas dan fisik serta membedakan
manusia hanya dasi takwanya kepada Allah SWT.
iv. Fungsi dan Kedudukan Al-Quran
Fungsi utama dari al-Quran adalah kitab petunjuk (kitabul hidayah). Di samping itu al-
Quran juga memiliki fungsi-fungsi yang lain, antara lain:
1. Kitab berita (an-naba wal-akhbar).
2. Kitab hukum dan aturan (al-hukmu wa-syariah).
3. Kitab berjuang (kitabul jihad).
4. Kitab pendidikan (kitabut tarbiyyah).
5. Kitab ilmu pengetahuan (kitabul ilm).
v. Nama-nama Al-Quran
Di dalam al-Quran terdapat banyak nama-nama al-Quran. Dibalik nama itu kita akan
memahami fungsi al-Quran:
1. Al-Quran. Nama yang paling populer adalah al-Quran itu sendiri, Allah
menyebutkannya 58 kali. Penyebutan berulang-ulang itu menjadi peringatan bagi
manusia agar dapat memfungsikan al-Quran sebagai bacaan agar mendapatkan
petunjuk dalam hidup.
2. Al-Kitab. Artinya, wahyu yang tertulis. Menurut Syaikh Abdullah ad-Diros,
penamaan dengan al-Kitab menunjukkan bahwa al-Quran tertulis dalam mushaf dan
hendaknya melekat di dalam hati. Rasulullah bersabda: Orang yang di dalam
hatinya tidak ada sedikitpun al-Quran, bagaikan rumah yang rusak.
3. Al-Huda. Artinya, petunjuk, Sebagai petunjuk (al-Huda) merupakan fungsi utama
dari diturunkannya al-Quran. Kita tidak dapat menjadikan al-Quran sebagai
petunjuk jika kita tidak membaca dan memahaminya, mengamalkannya dengan baik.
4. Rahmah. Berarti rahmat, terutama bagi orang-orang yang beriman.
5. Nur. Berarti cahaya penerang. Konsekuensi dari pemahaman ini adalah dengan
menjadikan al-Quran sebagai ruh. Berarti ruh sebagai penggerak. Ruh
16

menggerakkan jasad manusia. Dengan nama ini Allah SWT ingin agar al-Quran
dapat menggerakkan langkah dan kiprah manusia. Terutama perannya untuk
memberikan peringatan kepada seluruh manusia bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah.
6. Syifa. Berarti obat, al-Quran merupakan obat penyakit hati dari ke-jahiliyah-an,
kemusyrikan, kekafiran dan kemunafikan.
7. Al-Haq. Berarti kebenaran.
8. Bayan. Berarti penjelasan atau penerangan.
9. Mauidzhoh. Berarti pelajaran dan nasehat.
10. Dzikr. Berarti yang mengingatkan kepada Allah SWT.
11. Naba. Berarti berita, di dalam al-Quran memuat berita-berita umat terdahulu dan
umat yang akan datang.cahaya yang menerangi jalan hidup kita. Kita melihat
tuntunan al-Quran, kemudian melangkah dengan tuntunan itu.
Al-Quran sebagai petunjuk hidup umat manusia secara umum mengandug tiga ajaran
pokok:
1. Aqidah. Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan aqidah (keimanan) yang
membicarakan tentang hal-hal yang wajib diyakini.
2. Akhlak. Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan akhlak.
3. Amaliyah. Ajaran-ajaran atau hukum-hukum yang bersifat amaliyah, yaitu
ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan amal perbuatan mukallaf. Dari
hukum tersebut terkandung hukum ibadah dan hukum muamalat.
Abdul khalaf salah seorang ulama besar merinci macam-macam hukum bidang
muamalat sebagaimana berikut:
1. Hukum keluarga
2. Hukum muamalat (perdata)
3. Hukum jinayat (pidana)
4. Hukum al-murafaat (acara)
5. Hukum ketatanegaraan
6. Hukum antara bangsa-bangsa (international)
17

7. Hukum ekonomi dan keuangan
Menurut Muhammad Abu Zahrah menjelaskan hukum-hukum yang terkandung dalam
al-Quran adalah sebagai berikut:
1. Ibadah
2. Kaffarat (denda)
3. Muamalat
4. Keluarga
5. Pidana
6. Hukum yang mengatur hubungan penguasa dengan rakyatnya
7. Hukum yang mengatur hubungan orang-orang muslim dengan non-muslim
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketentuan-ketentuan hukum dalam al-
Quran sebagian besarnya disampaikan dalam bentuk prinsip-prinsip dasar, prinsip-prinsip
umum dan bersifat global, kecuali dalam beberapa hal, seperti dalam masalah kaffarat dan
hukum keluarga serta dan beberapa hal dalam hukum pidana
10
.

B. Sumber Hukum Islam Hadits
i. Definisi Hadits
Sumber hukum Islam kedua setelah al-Quran yaitu Hadits atau Sunnah memiliki
beberapa pengertian. Berdasarkan penjelasan yang diperoleh dari pendapat beberapa ahli hadits,
sumber hukum ini dapat diklasifikasikan sebagaimana berikut:
1. Hadis adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW, baik yang
berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat.
2. Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan/persetujuan/diamnya)
Rasulullah SAW terhadap sesuatu hal/perbuatan seorang shahabat yang
diketahuinya.
3. Khabar adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW ataupun yang
lainnya, yaitu shahabat beliau, tabiin, tabi tabiin, atau generasi setelahnya.

10
Effendi, Satria, Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, Cet I, hal 111
18

4. Atsar adalah peninggalan Nabi Muhammad SAW atau segala yang datang selain
darinya, yaitu dari shahabat, tabiin, atau generasi setelah mereka.
Hadits merupakan sumber syariat Islam yang nilai kebenarannya sama dengan al-Quran
karena sebenarnya hadits juga berasal dari wahyu.
Allah SWT berfirman:
4`4 -gCL4C ^}4N -O4OE- ^@ up)
4O- ) E/4 _/EONC ^j
(Dan) Tiadalah yang diucapkannya (oleh Muhammad SAW) itu menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (QS. An-Najm:
3-4).
Makna ayat di atas bahwasannya apa yang disampaikan Rasulullah SAw (al-Quran dan
Sunnah) hanyalah bersumber dari wahyu Allah SWT, bukan dari dirinya maupun kemauan
hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Anam 50.
Al-Quran telah menegaskan bahwa selain dari al-Quran, Rasulullah SAW juga
menerima wahyu yang lain, yaitu al-Hikmah yang pengertiannya sama dengan Hadits atau
Sunnah, baik perkataan, perbuatan atau pun ketetapan (diamnya). Pengertian al-Hikmah yang
bermakna Hadits atau Sunnah dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran 164, QS. Al-Jumuah 3,
dan QS. Al-Ahzab 34.
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami dan diyakini bahwa kehujjahan Hadits atau
Sunnah sebagai sumber hukum atau syariat Islam bersifat pasti (qathi) kebenarannya;
sebagaimana al-Quran itu sendiri.
ii. Fungsi Hadits atau Sunnah Terhadap Al-Quran
Adapun mengenai fungsi Hadits atau Sunnah terhadap al-Quran dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Menguraikan kemujmalan (keumuman) al-Quran.
19

Mujmal adalah suatu lafadz yang belum jelas indikasinya (dalalah atau penunjukannya) yaitu
dalil yang belum jelas maksud dan perinciannya. Misalnya perintah shalat, membayar zakat
dan menunaikan haji. al-Quran hanya menjelaskannya secara global, tidak dijelaskan tata
cara pelaksanaannya. Kemudian Sunnah secara terperinci menerangkan tata cara pelaksanaan
shalat, jumlah rakaat, aturan waktunya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan shalat,
begitu pula dengan ibadah-ibadah yang lain.
Imam Ibnu Hazm, salah seorang ulama besar dari Andalusia pada masa Abbasiyah
menjelaskan:
Sesungguhnya di dalam al-Quran terdapat ungkapan yang seandainya tidak ada penjelasan
lain, maka kita tidak mungkin melaksanakannya. Dalam hal ini rujukan kita hanya kepada
Sunnah Nabi Muhammad SAW. Adapun ijma hanya terdapat dalam kasus-kasus tertentu
saja yang relatif sedikit. Oleh sebab itu secara pasti wajib kembali kepada Sunnah.
2. Pengkhususan keumuman al-Quran.
Umum (aam) ialah lafadz yang mencakup segala sesuatu makna yang pantas dengan satu
ucapan saja. Misalnya al-muslimun (orang-orang Islam), ar-rijaalu (orang-orang laki-laki)
dan lain-lain. Di dalam al-Quran itu terdapat banyak lafadz yang bermakna umum kemudian
Sunnah mengkhususkan keumumannya al-Quran tersebut. Misalnya firman Allah SWT:
O71gONC +.- EO) gu W
@OE-~-g NuVg` ]^EO u-4OV^1- _
Allah mewajibkan kamu tentang anak-anakmu, untuk seorang anak laki-laki adalah dua
bagian dari anak perempuan. (QS. An-Nisa: 11).
Menurut ayat tersebut di atas, setiap anak secara umum berhak mendapatkan warisan dari
ayahnya. Jadi setiap anak adalah pewaris ayahnya. Kemudian datang Sunnah yang
mengkhususkannya. Sabda Rasulullah SAW:
Kami seluruh Nabi tidak meninggalkan warisan, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.
(HR Imam Bukhari). Seorang pembunuh tidak mendapat warisan. (HR Tirmidzi dan Ibnu
Majah).
20

Menurut hadits di atas Nabi tidak meninggalkan warisan bagi anak-anaknya serta melarang
seorang anak yang membunuh ayahnya mendapat warisan dari ayahnya.
3. Taqyid (persyaratan) terhadap ayat al-Quran yang mutlak
Mutlak ialah lafadz yang menunjukkan sesuatu yang masih umum pada suatu jenis, misalnya
lafadz budak, mukmin, kafir, dan lain-lain. Di dalam al-Quran banyak dijumpai ayat-ayat
yang bersifat mutlak (tanpa memberi persyaratan). Misalnya:
7-jOOO-4 O~jOOO-4
W-EONC^~ E_4CguC 7.-4OE_
E) 4l=OE 1E4^ =}g)` *.- +.-4
NOCjG4N _1EO ^@g
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaklah kamu potong tangan
(keduanya) (QS. Al-Maidah: 38).
Ayat ini berlaku mutlak pada setiap pencurian (baik besar maupun kecil). Kemudian Sunnah
memberikan persyaratan nilai barang curian itu sebanyak seperempat dinar emas ke atas.
Sabda Rasulullah SAW:
Potonglah dalam pencurian seharga seperempat dinar dan janganlah dipotong yang kurang
dari itu. (HR Ahmad)
Begitu pula halnya dengan batas pemotongan tangan bagi pencuri (sebagimana ayat 38 Surat
Al-Maidah), yaitu pada pergelangan tangan dan bukan dari tempat lainnya, sebagaimana
yang dicontohkan Rasulullah SAW.
4. Pelengkap keterangan sebagian dari hukum-hukum.
Peranan Sunnah yang lain adalah untuk memperkuat dan menetapkan apa yang telah
tercantum dalam al-Quran disamping melengkapi sebagian cabang-cabang hukum yang
asalnya dari al-Quran. Al-Quran menegaskan tentang pengharaman memperisteri dua orang
sekaligus.
p4 W-ONE;> -u-4 u-4-u=1- )
4` ;~ E-UEc
21

(Dan diharamkan bagimu) menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau (QS. An-Nisa 23).
Di dalam al-Quran tidak disebutkan tentang haramnya seseorang mengumpulkan (memadu)
seorang wanita saudara ibu, atau anak perempuan dari saudara laki-laki istri (kemenakan).
Sunnah menjelaskan mengenai hal ini melalui sabda Nabi:
Tidak boleh seseorang memadu wanita dengan ammah (saudara bapaknya), atau dengan
saudara ibu (khala) atau anak perempuan dari saudara perempuannya (kemenakan) dan tidak
boleh memadu dengan anak perempuan saudara laki-lakinya, sebab kalau itu kalian lakukan,
akan memutuskan tali persaudaraan (HR An-Nasai dan Ibnu Majah).
5. Sunnah menetapkan hukum-hukum baru, yang tidak terdapat dalam al-Quran.
Sunnah juga berfungsi menetapkan hukum-hukum yang baru yang tidak ditemukan dalam al-
Quran dan bukan merupakan penjabaran dari nash yang sudah ada dalam al-Quran, akan
tetapi merupakan aturan-aturan baru yang hanya terdapat dalam Sunnah. Misalnya,
diharamkannya keledai jinak untuk dimakan, setiap binatang yang bertaring, dan setiap
burung yang bercakar. Begitu pula tentang keharaman memungut pajak (bea cukai),
penarikan hak milik atas tanah pertanian yang selama tiga tahun berturut-turut tidak dikelola,
maka diambil oleh negara, tidak bolehnya individu memiliki kepentingan umum seperti air,
rumput, api, minyak bumi, tambang emas, perak, besi, sungai, laut, tempat penggembalaan
ternak dan lain-lain.
Penggunaan nash Sunnah untuk masalah aqidah haruslah nash yang bersifat qathi,
karena tidak boleh adanya keraguan sedikitpun dalam masalah aqidah atau itiqadiyah.
Sedangkan untuk masalah hukum atau yariah masih dapat digunakan nash Sunnah yang
mencapai derajat dzanni (prasangka kuat atas kebenarannya). Hal ini karena dalam masalah
syariah tidak diharuskan suatu keyakinan yang pasti terhadap hasil ijtihad yang akan dijadikan
sumber amaliah tersebut (bukan sumber untuk masalah itiqadiyah).



22








BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara etimologis, al-Quran berasal dari kata qaraa, yaqrau, qiraaatan atau
quraanan yang berarti mengumpulkan (al-jamu) dan menghimpun (al-dlammu) huruf-huruf
serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur. Dikatakan al-Quran karena ia
berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan. Quranan dalam hal
ini berarti juga qiraatahu (bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah masdar menurut
wazan (tasrif, konjugasi) fulan dengan vocal u seperti gufran dan syukran. Kita dapat
mengatakan qaratuhu, quran, qiraatan wa quranan, artinya sama saja yakni maqru (apa yang
dibaca) atau nama Quran (bacaan). Adapun menurut istilah Al-Quran berarti: Kalam Allah
yang merupakan mujizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, yang disampaikan
secara mutawatir dan membacanya adalah ibadah.
Sumber hukum Islam kedua setelah al-Quran yaitu Hadits atau Sunnah juga memiliki
beberapa pengertian. Hadis adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW, baik yang
berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat. Sunnah adalah perkataan, perbuatan
dan taqrir (ketetapan, persetujuan, diamnya) Rasulullah SAW terhadap sesuatu hal atau
perbuatan seorang shahabat yang diketahuinya. Khabar adalah segala sesuatu yang datang dari
Nabi Muhammad SAW ataupun yang lainnya, yaitu shahabat beliau, tabiin, tabi tabiin, atau
generasi setelahnya. Atsar adalah peninggalan Nabi Muhammad SAW atau segala yang datang
selain darinya, yaitu dari shahabat, tabiin, atau generasi setelah mereka. Adapun mengenai
23

fungsi Hadits atau Sunnah terhadap al-Quran dapat yaitu menguraikan kemujmalan
(keumuman) al-Quran, pengkhususan keumuman al-Quran, taqyid (pensyaratan) terhadap ayat
al-Quran yang mutlak, pelengkap keterangan sebagian dari hukum-hukum. sunnah menetapkan
hukum-hukum baru, yang tidak terdapat dalam al-Quran.



DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007, Cet II
Muhaimin, MA, Dimensi-dimensi Studi Islam, Karya Abditama, Surabaya, 1994
Rachmat SyafeI, Ilmu Ushul FIqf, CV.Pustaka Setia, Bandung, 1999
Satria Effendi, Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, Cet I
Subhi as shalih, Mabahis fi Ulumil-Quran, Darul- Ilm Lil-Malayin, Beirut, Libanon

Anda mungkin juga menyukai