Anda di halaman 1dari 7

WTO sebagai Rezim Perdagangan Internasional Dalam usaha mencapai kepentingannya, manusia dan kumpulan manusia dalam entitas

negara akan melakukan segala cara yang diperlukan dengan menggunakan power yang dimiliki untuk kepentingan yang dituju (struggle of power). Ketika tiap negara saling mengerahkan power dalam satu area isu, maka akan terjadi perbenturan kepentingan yang akan menimbulkan kompetisi tidak sehat yang berusaha mereduksi kepentingan pihak lain untuk memaksimalkan kepentingannya sendiri. Untuk menghindarkan hal itu, diperlukan adanya suatu pengaturan yang mengatur mekanisme tiap anggota dalam meraih kepentingannya. Pengaturan inilah yang disebut sebagai rezim. Rezim internasional adalah seperangkat prinsip, norma, aturan dan prosedur pengambilan keputusan dimana keinginan para aktor berbenturan dalam suatu isu . Sebagai suatu mekanisme pengaturan, rezim mempunyai empat unsur dasar yang diperlukan untuk menciptakan keteraturan itu yaitu prinsip, norma, aturan dan proses pengambilan keputusan. Dari 4 unsur di atas, prinsip dan norma adalah karakteristik utama adanya suatu rezim, karena perubahan pada prinsip dan norma berarti perubahan rezim secara keseluruhan. Sedangkan perubahan aturan dan prosedur pengambilan keputusan hanya akan mengubah akspek internal rezim tanpa mengubah satu rezim dengan rezim yang baru. Salah satu area isu yang banyak melibatkan pertemuan kepentingan tiap aktor hubungan internasional adalah area perdagangan, oleh karena itu maka perdagangan juga perlu mempunyai rezim yang mengatur mekanisme perdagangan antar aktor hubungan internasional, baik negara maupun aktor selain negara. Rezim perdagangan internasional ini diwujudkan dengan keberadaan World Trade Organization (WTO) yang didirikan dengan tujuan untuk mewujudkan perdagangan dunia yang bebas, adil dan terbuka . WTO terbentuk sebagai hasil dari Putaran Urugay dan aktif beroperasi sejak 1 Januari 1995 sebagai transformasi dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang tidak mempunyai mekanisme yang ketat. WTO bermarkas besar di Geneva, Swiss. Sebagai rezim perdagangan internasional, WTO mempunyai prinsip-prinsip dasar yang harus dipatuhi oleh paar anggotanya yaitu most-favoured nation, non-tariff measures, national treatment, transparency, dan quantitative restriction (quota) dengan norma utamanya adalah pengurangan hambatan perdagangan hingga seminim mungkin untuk mewujudkan pasar perdagangan yang bebas, adil dan terbuka. Sejak terbentuk hingga kini, WTO menerapkan

sistem kebarat-baratan, terutama mengadopsi sistem Amerika Serikat yang merupakan kekuatan dominan dalam WTO. Banyak kebijakan WTO yang dibuat berdasarkan kepentingan AS dan negara-negara industri lainnya. Posisi Amerika Serikat dan negara-negara Eropa kemudian terancam ketika pada 10 November 2001, Cina resmi menjadi anggota WTO. Sebelum bergabung, Cina telah menjadi kekuatan industri sekaligus pasar yang sangat diperhitungkan oleh anggota-anggota WTO, terutama dalam bidang elektronik dan komputerisasi. Pangsa Cina di pasar elektronik Amerika Serikat meningkat dari 9,5 % pada tahun 1992 menjadi 21,8 % pada 1999. Kontribusi Cina terhadap produksi komputer dunia naik dari 4 % pada 1996 menjadi 21 % pada 2000. Pangsa Cina terhadap total produksi hard disk dunia juga naik dari 1 % pada 1996 menjadi 6 % 2000 . Dari data-data di atas, dapat dilihat bahwa sebelum bergabung dengan rezim perdagangan WTO, Cina telah menjadi kekuatan industri yang besar dan berprospek tinggi. Dapat dipahami bila kemudian ketika Cina bergabung dengan WTO, negara-negara yang telah mapan sekaligus memegang kemudi atas WTO itu merasa terancam atas keberadaan dan perkembangan Cina yang semakin pesat. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah masuknya Cina ke dalam WTO akan membawa perubahan pada prinsip-prinsip yang telah mapan di WTO sekaligus mempengaruhi posisi dan dominasi Barat di WTO. Dalam menganalis permasalahan ini, penulis menggunakan analisis induksi yang akan menjelaskan bentuk perubahan pada rezim. Analisis induksi ini juga akan diperkuat oleh pendekatan transformasi rezim menurut Oran Young yang akan menjelaskan bagaimana kekuatan hegemon dapat dipatahkan oleh kekuatan yang baru muncul. Menurut analisis induksi, tiap rezim dibentuk berdasarkan kepentingan dan tujuan dari masingmasing anggotanya. Ketika tujuan dan kepentingan ini berubah maka prinsip dan norma akan berubah. Jika prinsip dan norma berubah, maka rezim ini juga berubah. Perubahan dapat terjadi secara evolusioner dan revolusioner. Perubahan secara evolusioner akan terjadi bila perubahan terjadi dalam norma yang merupakan dasar terbentuknya suatu rezim, namun distribution of power antar negara anggota tidak mengalami perubahan yang signifikan. Sebaliknya, perubahan revolusioner terjadi karena transisi power. Dalam rezim, pasti ada pihak mendapat keuntungan lebih besar dan ada yang mendapat keuntungan lebih kecil atau bahkan merugi karena norma dan aktivitas dalam rezim itu. Pihak yang dirugikan tetap memilih untuk mengambil bagian dalam

rezim karena jika tetap bersikukuh untuk keluar dari rezim maka harga yang harus dibayar akan jauh lebih mahal. Walaupun seolah-seolah menurut, namun pihak yang dirugikan ini menyusun counter-regimes yang akan mengambil alih kekuasaan saat kekuatan dominan telah jatuh. Hal inilah yang disebut dengan transisi power . Analisis induksi ini diperkuat oleh pendekatan transformasi rezim. Oran Young dalam artikelnya, Regimes Dynamics : The Rise and Fall of International Regimes, menjelaskan bahwa perubahan suatu rezim dapat terjadi karena kontradiksi internal maupun faktor eksternal . Kontradiksi internal ini dapat berupa konflik yang tak dapat diselesaikan atau berupa pengembangan karakter suatu rezim. Karakter ini berubah karena perubahan dalam distribution of power, misalnya penurunan power aktor dominan. Berdasarkan pendekatan yang telah disebutkan, maka penulis berargumen bahwa masuknya Cina sebagai anggota resmi WTO akan membawa perubahan yang signifikan pada WTO sebagai rezim perdagangan, dan sekaligus juga membawa dampak perubahan pada Amerika Serikat dan Uni Eropa sebagai anggota dominan dalam WTO.

Cina, Sang Naga Tidur yang Telah Bangun Kehebatan dan ketangguhan Cina sudah tidak lagi diragukan. Bahkan Napoleon Bonaparte mengatakan biarkan Cina terlelap, sebab jika Cina terbangun, dia akan mengguncang dunia. Dengan status Cina sebagai anggota WTO, maka Cina harus menyesuaikan kebijakan domestik dan luar negerinya dengan prinsip dan norma yang telah disepakati dalam dalam WTO, utamanya norma penghilangan hambatan tarif dalam perdagangan. Oleh karena itu, dalam jangka waktu 2004-2010, Cina telah menurunkan tarif komoditas pertanian hingga 15%, dan untuk komoditas industri hingga 8,9 % . Selain itu, Cina juga menjalankan prinsip national treatment dengan mempermudah regulasi investor asing dalam penanaman modalnya sekaligus ikut serta dalam aktivitas perdagangan dan perekonomian Cina. Jika sebelumnya kepemilikan properti dan korporasi menjadi monopoli pemerintah, maka pasca 2001, kepemilikan korporasi di Cina terbuka untuk pihak swasta. Keterbukaan dan strategi massalisasi produk yang dilakukan Cina membuat produkproduk Cina semakin kompetitif dan membanjiri pasar internasional sehingga mengungguli produk negara industri lainnya seperti Amerika Serikat, Jepang dan India, apalagi dengan berbagai kemudahan yang ia dapatkan setelah resmi menjadi anggota WTO. Cina mengancam

eksistensi negara industri yang telah mapan sebelumnya karena Cina telah menggeser fokus perekonomiannya dari sektor pertanian (primary industry) menjadi sektor industri manufaktur (secondary industry) dan jasa (tertiary industry). Jika dilihat dari daya beli masyarakatnya, pada tahun 2006 Cina dapat dikatakan sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua setelah Amerika Serikat, apalagi pada tahun yang sama surplus neraca pembayaran yang diperoleh Cina mencapai 180 milyar dolar yang merupakan nilai tertinggi di dunia . Selain itu, Cina telah menjadi exportir terbesar ketujuh dan importir terbesar kedelapan untuk perdagangan barang, serta termasuk dalam 12 eksportir dan importir terbesar untuk bidang jasa . Seperti yang ditunjukkan oleh tabel di bawah ini bahwa pendapatan Cina setelah resmi menjadi anggota WTO meningkat sebanyak 2,2%. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju, apalagi negara berkembang lainnya. Hal inilah yang dipandang sebagai ancaman terbesar bagi Amerika Serikat dan negara maju lainnya karena sebelumnya, negara-negara Utara istilah yang digunakan untuk menyebut negara maju inilah yang menguasai perdagangan dunia sehingga dapat menyetir tiap kebijakan dan perundingan yang berjalan di WTO, seperti misalnya perundingan di Doha tentang pencabutan subsidi pertanian di Doha yang berjalan cukup alot karena pihak Utara yang tidak mau mengabulkan keinginan negara berkembang yang saat itu diwakili oleh India- untuk mencabut subsidi pertanian negara maju. Dengan munculnya Cina sebagai negara Selatan yang mampu menguasai perekonomian dunia, maka negara maju khawatir bila kepentingannya yang selama ini telah mapan kemudian tereduksi dengan kedatangan Cina. Apalagi dengan kenyataan bahwa produk industri yang selama ini menjadi ladang emas negara Barat ternyata menjadi kurang kompetitif ketika Cina muncul di pasaran. Survei yang dilakukan Kamar Dagang Eropa pada 2007 menunjukkan, sebanyak 34% responden merasakan dampak negatif dari bergabungnya Cina dalam keanggotaan WTO, naik drastis dari tahun 2006 yang hanya mencapai 4% . Berbagai data yang menunjukkan kemajuan Cina mengalahkan pendapatan Jepang dan negara maju lainnya seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, sekaligus gambaran yang telah disinggung sebelumnya tentang ketidakpuasan Eropa membuktikan bahwa telah terjadi penurunan power kekuatan dominan yang diikuti dengan naiknya kekuatan baru yang mengancam eksistensi kekuatan dominan itu. Perubahan distribution of power ini, menurut

analisis induksi, secara bertahap akan mengakibatkan perubahan dalam rezim itu, perubahan yang disebut sebagai perubahan revolusioner. Cina yang mewakili negara berkembang, menurut analisis penulis, dengan power yang dimiliki akan membentuk counter regimes dengan merangkul negara berkembang lainnya untuk memperjuangkan perubahan-perubahan terhadap kebijakan yang kurang menguntungkan, yang akan dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya, serta memperkuat posisi tawar negara Selatan dalam perundingan sehingga mampu memberikan pertahanan terhadap tekanan yang diberikan oleh negara Utara.

Aturan WTO yang Rentan Terhadap Pengaruh Cina Secara umum, ada beberapa aturan WTO yang dipertanyakan oleh negara berkembang namun tetap dipertahankan oleh negara maju, seperti prosedur pengambilan keputusan dengan menggunakan metode konsensus dimana keputusan tidak akan terlaksana tanpa kesepakatan dari keseluruhan 140 anggota sehingga prosedur ini lebih merupakan alat negara maju untuk menahan kebijakan yang diajukan negara berkembang. Kemudian permasalahan subsidi yang telah menjadi bahan perundingan yang sukar mencapai kata sepakat dimana negara maju memberikan subsidi tidak langsung bagi petani mereka namun memaksa negara berkembang untuk menghilangkan subsidi bagi pertaniannya. Negara maju juga memberikan subsidi bagi infant industries negara mereka dan lolos dari kerangka WTO karena mereka melepas subsidi itu ketika perusahaan yang bersangkutan sudah go international. Dengan kondisi internal Cina yang belum benar-benar menghilangkan intervensi pemerintah, maka Cina akan berusaha mengubah dan melakukan redefinisi terhadap subsidi yang dimaksudkan dalam piagam WTO. Aturan lainnya yang menjadi perhatian Cina adalah mengenai safeguards mengingat nasionalisme Cina menganggap compliance terhadap institusi supranasional adalah kegagalan pemerintah. Berikutnya, Cina juga merasa perlu mendekonstruksi mekanisme penyelesaian perselisihan mengingat entitas Cina sebagai negara dengan power yang besar dalam perdagangan akan banyak mendapat kendala dan tantangan seperti yang juga dialami oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa yang telah terlibat dalam lebih dari separuh kasus yang diselesaikan oleh WTO. Mekanisme penyelesaian perselisihan yang melibatkan banyak pengacara akan menyulitkan Cina , karena negara tirai bambu itu hanya mempunyai 100.000 pengacara atau 11000 orang

penduduk tiap 1 pengacara. Jumlah yang tidak seimbang bila dibandingkan dengan 300 penduduk Amerika Serikat yang diwakili oleh 1 pengacara.

Wajah Baru WTO Dengan proses transformasi seperti itu, ada beberapa skenario yang oleh penulis digunakan untuk menggambarkan wajah WTO ke depannya. Skenario pertama, aturan dan prosedur dalam WTO akan bergeser ke arah posisi yang semakin menguntungkan negara berkembang. Perubahan ini tidak akan mengubah rezim WTO secara fundamental, tetapi lebih ke arah penguatan atau kemunduran rezim itu sendiri. Dalam kaitannya dengan perubahan rezim ini, maka yang terjadi adalah semakin melemahnya rezim akibat penurunan kekuatan dominan, dalam hal ini Amerika Serikat dan Eropa. Kekuatan Cina yang muncul tidak akan mampu mengakomodasi rezim secara keseluruhan karena Cina dan negara Timur lainnya tidak memiliki sifat untuk menjadi leader dalam rezim itu. Selama ini Amerika Serikat bersedia menjadi leader karena sifat ideosinkretis Amerika Serikat dan negara-negara Eropa lainnya yang mempunyai mental kolonial dan white mans burden yang masih terbawa dimana negara-negara kolonial merasa mengetahui yang terbaik untuk bekas jajahannya sekaligus mempunyai sifat dasar untuk mengayomi dan menguasai dunia secara global. Apalagi Amerika Serikat dengan manifest destinynya. Sifat-sifat inilah yang membuat Amerika Serikat bersedia mengeluarkan banyak biaya untuk mengakomodasi rezim yang dipertahankannya, satu hal yang tidak dimiliki Cina. Tentu saja faktor ideosinkretis ini juga didukung oleh kepentingan Amerika Serikat dalam kebijakan luar negerinya. Menurunnya leader akan membuat anggota-anggota lainnya saling bersaing dan menjatuhkan satu sama lain sehingga melemahkan rezim itu sendiri. Skenario kedua adalah perubahan fundamental, atau yang disebut sebagai perubahan evolusioner menurut analisis induksi, yaitu perubahan prinsip dan norma rezim secara mendasar yang akan mengubah rezim itu secara keseluruhan. Dengan meningkatnya posisi tawar negara berkembang, maka bisa jadi prinsip dasar WTO yang sebelumnya adalah free trade berubah menjadi fair trade. Dengan fair trade, maka prosentase penurunan tarif bagi negara maju dan negara berkembang akan lebih adil . Skenario ketiga adalah munculnya Cina sebagai diplomatic leader. Cina dinilai memiliki track record lebih baik dibanding dengan sesama raksasa perdagangan seperti Amerika Serikat

dan Uni Eropa. Nantinya bentuk diplomasinya akan lebih mengarah pada koalisi, regionalisme dan perselisihan klaim kedaulatan (terutama menyangkut masalah Taiwan). Apalagi dengan sifat China yang gemar dan mudah mencari koalisi.

Kesimpulan : Perubahan besar-besaran Cina di bidang perekonomian yang telah dimulai sejak era Deng Xiao Ping memunculkan Cina sebagai kekuatan industri yang disegani. Bahkan sebelum menjadi anggota resmi WTO, Cina telah mengambil peran yang besar dalam perdagangan dunia. Walaupun secara ekonomi Cina menganut sistem ekonomi pasar, terutama setelah bergabungnya Cina sebagai anggota WTO, namun secara politik dan prosedur kenegaraan Cina masih memegang nilai-nilai sosialis. Dengan sifat ekonomi yang tidak terlepas dari politik, masuknya Cina akan membawa perubahan pada prinsip-prinsip WTO sebagai rezim perdagangan. Terbukti pada tahun kedelapan keanggotaan Cina, Cina telah mampu memberi pengaruh yang besar pada anggota WTO yang lain, khususnya menjadi counter regime bagi kemunduran Amerika Serikat dan Uni Eropa sebagai kekuatan dominan. Dengan berbagai fakta dan data yang disampaikan sebelumnya, ditambah dengan beberapa skenario yang menggambarkan prediksi penulis tentang keberadaan rezim WTO di masa depan, maka dengan demikian tesis yang diajukan penulis dalam hal ini terbukti.

http://kopiitudashat.wordpress.com/2009/10/15/masuknya-china-sebagai-anggota-wto-jalanbagi-transformasi-rezim-wto-2/

Anda mungkin juga menyukai