Anda di halaman 1dari 52

BAB I PENDAHULUAN

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia,terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Di Indonesia, TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TBC di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang (Anonim, 2007). Di Indonesia dengan prevalensi TBC positif 0,22% (laporan WHO 1998), penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang setiap tahun mortalitasnya cukup tinggi. Kawasan Indonesia timur banyak ditemukan terutama gizi makanannya tidak memadai dan hidup dalam keadaan sosial ekonomi dan higiene dibawah normal Hampir 10 tahun lamanya Indonesia menempati urutan ke-3 sedunia dalam hal jumlah penderita tuberkulosis. Berdasarkan Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2007 menyatakan jumlah penderita tuberkulosis di Indonesia sekitar 528.000. Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebanyak 429.000 orang. Pada Global Report WHO 2010, didapat data TBC Indonesia, total seluruh kasus TBC tahun 2009 sebanyak 294.731 kasus, dimana 169.213 adalah kasus TBC baru BTA positif, 108.616 adalah kasus TBC BTA negatif, 11.215 adalah kasus TBC ekstra paru, 3.709 adalah kasus TBC kambuh, dan 1.978 adalah kasus pengobatan ulang diluar kasus kambuh. Ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal akan menyebabkan terjadinya gagal napas. Dimana

sistem pulmoner tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme, yaitu eliminasi CO2 dan oksigenasi darah. Gagal napas terjadi bila tekanan parsial oksigen arterial (PaO2) < 60 mmHg atau tekanan parsial karbondioksida arterial (PCO 2) > 45 mmHg. Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia, dan gagal napas hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 normal atau rendah. Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO2 > 45 mmHg. Sedangkan menurut waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut dan gagal napas kronik. Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler. Gagal napas akut merupakan salah satu kegawatdaruratan, sehingga

membutuhkan penangan yang cepat dan tepat. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TB Paru 2.1.1 Definisi Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, dapat merupakan organisme pathogen maupun saprofit. Ada beberapa mikobakteri pathogen, tetapi hanya strain Bovin dan manusia yang patogenik terhadap manusia. Basil tuberkel ini berukuran 0,3 x 2-4 m, ukuran ini lebih kecil daripada sel darah merah. Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 m dan tebal 0,3-0,6 m. Yang tergolong dalam kuman Mycobacterium tuberculose complex adalah M. tuberculose, Varian Asian, Varian African I, Varian African II, M bovis. Pembagian tersebut adalah berdasarkan perbedaan secara

epidemiologi. Kelompok kuman Mycobacterium Other Than TB (MOTT, atypical) adalah M. kansasi, M. avium,M. intra cellular, M. scrofulaceum, M. malmacerse, dan M. xenopi. Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat bertahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dorman. Dari sifat dorman inilah kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis aktif kembali. Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intaseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman

ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.

2.1.2 Epidemiologi a. Global Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas. Insidens TB didunia (WHO, 2004)

Walaupun pengobatn TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai Global health emergency. TB dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang

penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh TB. Pada tahin 1998 ada 3.617. 047 kasus TB yang tercatat di seluruh dunia.

Alasan utama muncul atau meningkatnya beban TB global ini antara lain disebabkan : 1) Kemiskinan pada berbagai penduduk, tidak hanya pada negara yang sedang berkembang tetapi juga pada penduduk perkotaan tertentu di negara maju. 2) Adanya perubahan demografik dengan meningkatnya penduduk dunia dan perubahan dari struktur usia manusia yang hidup. 3) Pelindungan kesehatan yang tidak mencukupi pada penduduk di kelompok yang rentan terutama di negeri-negeri miskin. 4) Tidak memadainya pendidikan mengenai TB di antara para dokter. 5) Terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostic dan pengawasan kasus TB dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat. 6) Adanya epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia.

b. Di Indonesia Berdasarkan Global Tuberculosis Control Tahun 2009 (data tahun 2007) angkaprevalensi semua tipe kasus TB, insidensi semua tipa kasus TB dan Kasus baru TB Paru BTA Positif dan kematiankasus TB dapat dilihat di tabel. Berdasarkan tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2007 prevalensi semua tipe TB sebesar 244 per 100.000 penduduk atau sekitar 565.614 kasus semua tipe TB, insidensisemua tipe

TB sebesar 228 per 100.000 penduduk atau sekitar 528.063 kasus semua tipe TB, Insidensi kasus baru TB BTA Positif sebesar 102 per 100.000 pendudukatau sekitar 236.029 kasus baru TB Paru BTA Positif sedangkan kematian TB 39 per 100.000 penduduk atau 250 orang per hari. Tabel Angka Prevalensi, Insidensi dan Kematian di Indonesia Tahun 1990 dan 2009

Sumber : Global Report TB, WHO, 2009

2.1.3 Cara Penularan Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ lainnya. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh

kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang

memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah. Faktor Risiko Penularan TB

2.1.4 Patogenesis a. Tuberkulosis Primer Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh 7

orang sehat, ia akan menempel pada saluran nafas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel kurang dari 5 m. kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dan sekretnya. Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap jaringan paru. Bila menjalar hingga ke pleura, maka tejadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke vena dan menjalar ke seluruh organ sperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier. Dari sarang priemr akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal + limfadenitis regional = kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya menjadi : 1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi. 2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya lebih dari 5 mm dan 10% di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dorman. 3) Berkomplikasi dan menyebar secara : Per kontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya,

Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya, kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus,

Secara limfogen, ke organ tubuh lainnya, Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.

b. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder) Kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti pada malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung jumlah kuman, virulensinya dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi : 1) Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, 2) Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama

dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblast dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik).

Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin yang dengan TNF-nya. Bentuk perkijuan lain yang jarang adalah cryptic disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut. Di sini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat: a) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB milier. Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan selanjutnya ke usus jadi TB usus. b) Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah kolonisasi oleh fungus seperti Aspergilus dan kemudian menjadi mycetoma. c) Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga menyembuh dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadangkadang berakhir sebagai kabitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk sepeerti bintang disebut stellate shaped. Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni : 1) Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi. 2) Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan sempurna. 3) Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh spontan, tetapi mengingat kemungkinan terjadinya

eksaserbasi kembali, sebaiknya diberi pengobatan yang sempurna juga.

10

2.1.5 Manifestasi Klinis Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah : a. Batuk / batuk darah Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus. b. Sesak Nafas Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru. c. Nyeri dada Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah samapai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik / melepaskan nafasnya. d. Malaise Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

11

Pada pemeriksaan fisis, pemeriksaan terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (afebris), badan kurus, atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan apapun terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimptomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisis, karena hantaran getaran/suara yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi, dan auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronkhial. Akan didapatkan juga suara nafas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik. Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernafasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara nafas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Darah Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi.

12

b. Pemeriksaan Sputum 1) Pemeriksaan Mikroskopis Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) : a) S (Sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. b) P (Pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas. c) S (Sewaktu) : dahak dikumpulkan di tempat pelayanan kesehatan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Teknik pewarnaan yang digunakan adalah pewarnaan Ziehl-Neelsen

2) Pemeriksaan Biakan Peran biakan dan identifikasi M. Tuberculosis pada penanggulangan TB khusunya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi : a) Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis

13

b) Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak c) Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda 3) Pemeriksaan Resistensi Tes resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standar internasional, dan telah mendapatkan pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh laboratorium

supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut memeberikan simpulan yang benar sehingga kemungkinan kesalahan dalam pengobatan MDR dapat dicegah. c. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Dalam beberapa hal, ia memberikan keuntungan seperti pada tuberkulosis anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal di atas, diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif. Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberkulosis endobronkial). Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumosia, gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal dengan sebagai tuberkuloma. Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis. Lama-lama dinding menjadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi.

14

Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan seklaigus (pada tuberkulosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas (non-sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan emfisema. Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya aktifitas penyakit, kecuali suatu infiltrat yang bertul-betul nyata. Lesi penyakit yang sudah non-aktif, sering menetap selama hidup pasien. Lesi yang berupa fibrotik, kalsifikasi, kavitas, sering dijumpai pada orang-orang yang sudah tua. d. Tes Tuberkulin Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi M. tuberculosis, M. Bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen lainnya. Pada penularan yang patogen baik virulen ataupun tidak (Mycobacterium tuberculosae atau BCG) tubuh manusia akan mengadakan reaksi imunologi dengan dibentuknya antibodi seluler pada permulaan dan kemudian diikuti oleh pembentukan antibosi humoral yang dalam perannya akan menekankan antibosi seluler. Bila pembentukan antibodi seluler cukup, misalnya pada penularan kuman yang sangat virulen dan jumlah kuman sangat besar atau pada keadaan dimana pembentukan antibodi humoral amat berkurang (pada hipogama-globulin), maka akan mudah terjadi penyakit sesudah penularan. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan antibodi seluler dan antigen tuberkulin amat dipengaruhi oleh antibodi humoral, makin beasr pengaruh antibodi humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkannya. Hasil tes Mantoux ini dibagi dalam :

15

1) Indurasi 0-5 mm (diameternya) Mantoux negatif (golongan no sensitifity). Di sini peran antibodi humoral paling menonjol. 2) Indurasi 6-9 mm hasil meragukan (golongan low grade sensitifity). Di sisni peran antibodi humoral masih menonjol. 3) Indurasi 10-15 mm Mantoux positif (golongan normal sensitifity). Di sisni peran kedua antibodi seimbang. 4) Indurasi > 15 mm Mantoux positif kuat (golongan

hypersensitifity). Di sini peran antibodi seluler paling menonjol.

2.1.7 Klasifikasi dan Tipe Pasien Penentuan klasifikasi peyakit dan tipe pasien tuberkulosis

memerlukan suatu definisi kasus yang meliputi empat hal : a. Lokasi atau organ tubuh yang sakit : paru atau ekstra paru b. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis) : BTA positif atau BTA negative c. Tingkat keparahan penyakit : ringan atau berat d. Riwayat pengobatan TB sebelumnya : baru atau sudah pernah diobati Adapun beberapa istilah dalam definisi kasus ialah : a. Kasus TB : pasien TB yang telah dibuktikan secara miroskopis atau didiagnosis oleh dokter b. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurangkurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena 1) Tuberkulosis paru, ialah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura dan kelenjar pada hilus. 2) Tuberkulosis ekstra paru, ialah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

16

b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB paru 1) Tuberkulosis paru BTA positif a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberculosis. c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA psoitif dan biakan kuman T positif. d) 1 atau lebih specimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 2) Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi : a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT d) Ditentukan pengobatan c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit 1) TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses far advanced), dan atau keadaan umum pasien buruk. 2) TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu : a) TB ekstra paru ringan, misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi

17

b) TB ekstra paru berat, misalnya : meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin. d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu : 1) Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2) Kasus kambuh (Relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). 3) Kasus setelah putus obat (Default) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 4) Kasus setelah gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 5) Kasus pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari unit pelayanan kesehatan yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6) Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif seteleh selesai pengobatan ulangan.

2.1.8 Diagnosis Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk tuberkulosis. Semua orang tersebut harus melakukan pemeriksaan dahak dalam waktu dua hari

18

yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB pada orang dewasa di tegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti pemeriksaan radiologi dada, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan indikasinya. sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan

Gambar 1. Alur Diagnosis TB Paru Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan denga pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut : a. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif b. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negative setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

19

c. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti pneumothorax, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleura) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).

2.1.9 Pengobatan a. Pengobatan TB Dewasa Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,

mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Terdapat 2 macam aktivitas / sifat obat terhadap tuberculosis, yakni: 1) Aktivitas bakterisid, obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut membunuh atau melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan). 2) Aktivitas bakteriostatik , obat ini hanya menghambat pertumbuhan kuman-kuman tersebut tetapi tidak membunuh kuman tersebut. Jenis, Sifat, dan Dosis OAT

Pengobatan sebagai berikut:

tuberkulosis

dilakukan

dengan

prinsip-prinsip

1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori

20

pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. 2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). 3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. a) Tahap Awal (Intensif) Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. b) Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. b. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia : 1) Kategori 1: 2(HRZE)/4 (HR)3 2) Kategori 2 : 2(HRZE)/(HRZE)/5(HR)3E3 3) Kategori anak : 2 HRZ/4HR Di samping kategori ini, disediakan pasuan obat sisipan (HRZE). Paduan OAT kategori 1 dan 2 disediakan dalam bentuk paket berupa kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 2 (Isoniazid dan Rifampisin) atau 4 (Isoniazid,

21

Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol) jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Sedangkan paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT-KDT. Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan. KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB: 1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping. 2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep. 3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedidt sehingga pemberian obat menjadi lebih sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien. c. Paduan OAT dan Peruntukannya 1) Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) Paduan Oat ini diberikan untuk pasien baru : Pasien baru TB paru BTA positif Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif Pasien TB ekstra paru Dosis untuk Paduan OAT-KDT Kategori-1

22

Dosis Paduan OAT-Kombipak Kategori-1

2) Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yan telah diobati sebelumnya : Pasien kambuh Pasien gagal Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) Tabel 4. Dosis paduan OAT-KDT Kategori-2
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275) + S Selama 56 hari 30 37 kg 38 54 kg 55 70 kg 2 tab 4KDT + 500 mg Streptomisin Inj. 3 tab 4KDT + 750 mg Streptomisin inj. 4 tab 4KDT + 1000 mg Streptomisin inj. 4 tab 4KDT 3 tab 4KDT Selama 28 hari 2 tab 4KDT Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH(150/150) + E (400) Selama 20 minggu 2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol 3 Tab 2KDT + 3 Tab Etambutol 4 tab 2KDT + 4 tab Etambutol 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab Etambutol

D 71 kg o

5 tab 4KDT + 1000 mg Streptomisin inj.

Dosis Paduan OAT-Kombipak Kategori-2

23

Catatan : Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk Streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan. Cara melarutkan Streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml. (1 ml = 250 mg) 3) OAT Sisipan (HRZE) Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selam sebulan (28 hari). Tabel 6. Dosis KDT untuk sisipan

Tabel 7. Dosis OAT-Kombipak untuk sisipan

d. Efek Samping Pengobatan Dalam pemakaian OAT tidak jarang ditemukan efek samping yang mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin OAT yang bersangkutan masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil, tetapi bila efek samping ini sangat mengganggu, OAT yang bersangkutan harus dihentikan pemberiannya, dan

pengobatan OAT dapat diteruskan dengan obat lain. Tabel berikut menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala.

24

Efek Samping Ringan OAT

Efek Samping Berat OAT

*) Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti histamine, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien justru terjadi suatu kemerahan kulit.bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu hingga kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk. e. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif 1) Sembuh

25

Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya. 2) Pengobatan Lengkap Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal. 3) Meninggal Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. 4) Pindah Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui. 5) Default (Putus Berobat) Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatnnya selesai. 6) Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

2.2 Gagal Napas 2.2.1 Definisi Gagal napas merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat ketidakmampuan sistem pulmoner untuk mencukupi kebutuhan metabolisme (eliminasi CO2 dan oksigenasi darah). Sistem pernapasan gagal untuk mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal. Gagal napas terjadi bila: 1). PO2 arterial (PaO2) < 60 mmHg, atau 2). PCO2 arterial (PaCO2) > 45 mmHg (ada yang mengatakan PaCO2 > 50 mmHg), kecuali jika peningkatan PCO2 merupakan kompensasi dari alkalosis metabolic.

26

PaO2 < 60 mmHg, yang berarti ada gagal napas hipoksemia, berlaku bila bernapas pada udara ruangan biasa (fraksi O2 inspirasi [F1O2] = 0,21), maupun saat mendapat bantuan oksigen. PCO2 > 45 mmHg yang berarti gagal napas hiperkapnia, kecuali ada keadaan asidosis metabolic. Tubuh pasien yang asidosis metabolic secara fisiologis akan menurunkan PaCO2 sebagai kompensasi terhadap PH darah yang rendah. Tetapi jika ditemukan PaCO2 meningkat secara tidak normal, meskipun masih dibawah 45 mmHg pada keadaan asidosis metabolic, hal ini dianggap sebagai gagal napas tipe hiperkapnia.

2.2.2 Klasifikasi Gagal Napas Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi gagal napas hiperkapnia dan gagal napas hipoksemia. Berdasarkan waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut dan gagal napas kronik. Gagal napas akut berkembang dalam waktu menit sampai jam, PH darah kurang dari 7,3. Gagal napas kronik berkembang dalam beberapa hari atau lebih lama, terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi dan meningkatkan konsentrasi bikarbonat, oleh karena itu biasanya PH hanya menurun sedikit. a. Gagal Napas Hipoksemia / Gagal Napas Tipe I / Gagal Oksigenasi Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal napas hiperkapnia. Pasien tipe ini mempunyai nilai PaO2 yang rendah tetapi PaCO2 normal atau rendah. PaCO2 tersebut membedakannya dari gagal napas hiperkapnia, yang masalah utamanya adalah hipoventilasi alveolar. Selain pada lingkungan yang tidak biasa, dimana atmosfer memiliki kadar oksigen yang sangat rendah, seperti pada ketinggian, atau saat oksigen digantikan oleh udara lain, gagal napas hipoksemia menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi parenkim paru atau sirkulasi paru. Contoh klinis yang umum menunjukkan hipoksemia tanpa peningkatan PaCO2 ialah pneumonia, aspirasi isi lambung, emboli paru, asma, dan ARDS.

27

1) Patofisiologi gagal napas hipoksemia Hipoksemia dan hipoksia Istilah hipoksemia menunjukkan PO2 yang rendah di dalam darah arteri (PaO2) dan dapat digunakan untuk menunjukkan PO2 pada kapiler, vena dan kapiler paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar O2 darah atau berkurangnya saturasi oksigen di dalam hemoglobin. Hipoksia berarti penurunan penyampaian (delivery) O2 ke jaringan atau efek dari penurunan penyampaian O2 ke jaringan. Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia dapat pula terjadi akibat penurunan penyampaian O2 karena faktor rendahnya curah jantung, anemia, syok septic atau keracunan karbon monoksida, dimana PaO2 dapat meningkat atau normal. Mekanisme hipoksemia Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan utama, yaitu 1) berkurangnya PO2 alveolar dan 2) meningkatnya pengaruh campuran darah vena (venous admixture). Jika darah vena yang bersaturasi rendah kembali ke paru, dan tidak mendapatkan oksigen selama perjalanan di pembuluh darah paru, maka darah yang keluar di arteri akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan parsial oksigen yang sama dengan darah vena sistemik. PO2 darah vena sistemik (PVO2) menentukan batas bawah PaO2. Bila semua darah vena yang bersaturasi rendah melalui sirkulasi paru dan mencapai keseimbangan dengan gas di rongga alveolar, maka PO2 = PAO2. Maka PO2 alveolar (PAO2) menentukan batas atas PO2 arteri. Semua nilai PO2 berada diantara PVO2 dan PAO2. Hipoksemia arteri selalu merupakan akibat penurunan PO2 alveolar, atau peningkatan jumlah darah vena bersaturasi rendah yang bercampur dengan darah kapiler pulmonal (campuran vena). Penurunan PO2Alveolar

28

Tekanan total di ruang alveolar ialah jumlah dari PO2, PCO2, PH2O, dan PN2. Bila PH2O dan PN2 tidak berubah bermakna, setiap peningkatan pada PACO2 akan menyebabkan penurunan PaO2. Hipoventilasi alveolar menyebabkan penurunan PAO2, yang menimbulkan penurunan PaO2 bila darah arteri dalam keseimbangan dengan gas di ruang alveolus. Persamaan gas alveolar, bila disederhanakan menunjukkan hubungan antara PO2 dan PCO2 alveolar: PAO2 = FiO2 x PB - PACO2 R FiO2 adalah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB ialah tekanan barometric, dan R ialah rasio pertukaran udara pernapasan, menunjukkan rasio steady-state CO2 memasuki dan O2 meninggalkan ruang alveolar. Dalam praktek, PCO2 arteri digunakan sebagai nilai perkiraan PCO2 alveolar (PaCO2). PAO2 berkurang bila PACO2 meningkat. Jadi, hipoventilasi alveolar menyebabkan hipoksemia (berkurangnya PaO2). Persamaan gas alveolar juga mengindikasikan bahwa hipoksemia akan terjadi jika tekanan barometric total berkurang, seperti pada ketinggian, atau bila FiO2 rendah (seperti saat seseorang menghisap campuran gas dimana sebagian oksigen digantikan gas lain). Hal ini juga akibat penurunan PO2. Pada hipoksemia, yang terjadi hanya karena penurunan PaO2. Perbedaan PO2 alveolar - arteri adalah normal pada hipoksemia karena hipoventilasi. Pencampuran Vena (Venous Admixture) Meningkatnya jumlah darah vena yang mengalami

deoksigenasi, yang mencapai arteri tanpa teroksigenasi lengkap oleh paparan gas alveolar. Perbedaan PO2 alveolar arterial meningkat dalam keadaan hipoksemia karena peningkatan pencampuran darah vena. Dalam pernapasan udara ruangan, perbedaan PO2 alveolar

29

arterial normalnya sekitar 10 dan 20 mmHg, meningkat dengan usia dan saat subyek berada pada posisi tegak. Hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya pencampuran vena, yang dikenal sebagai pirau kanan ke kiri (rightto-left-shunt). Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus, bercampur dengan darah yang berasal dari paru, akibatnya adalah percampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru dengan PO2 diantara PAO2 dan PVO2. Pirau kanan ke kiri dapat terjadi karena: 1). Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus sedangkan aliran darah dipertahankan. 2). Penyakit jantung congenital dengan defek septum. 3). ARDS, dimana dapat terjadi edema paru yang berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi pirau kanan ke kiri yang berat. Petanda terjadinya pirau kanan ke kiri ialah: 1). Hipoksemia berat dalam pernapasan udara ruangan. 2). Hanya sedikit peningkatan PaO2 jika diberikan tambahan oksigen. 3). Dibutuhkan FiO2 > 0,6 untuk mencapai PaO2 yang diinginkan. 4). PaO2 < 550 mmHg saat mendapat O2 100%. Jika PaO2 < 550 mmHg saat bernapas dengan O2 100% maka dikatakan terjadi pirau kanan ke kiri. Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi (ventilation-perfusion

mismatching = V/Q mismatching) Merupakan ketidaksesuaian penyebab hipoksemia tersering, ini terjadi bukan

ventilasi-perfusi.

Ketidaksesuaian

disebabkan karena darah vena tidak melintasi daerah paru yang mendapat ventilasi seperti yang terjadi pada pirau kanan ke kiri. Sebaliknya beberapa area di paru mendapat ventilasi yang kurang dibandingkan banyaknya aliran darah yang menuju ke area-area tersebut. Disisi lain, beberapa area paru yang lain mendapat ventilasi berlebih dibandingkan aliran darah regional yang relative sedikit.

30

Darah yang melalui kapiler paru di area yang hipoventilasi relatif, akan kurang mendapat oksigen dibandingkan keadaan normal. Hal tersebut menimbulkan hipoksemia darah arteri. Efek ketidaksesuaian V/Q terhadap pertukaran gas antara kapiler-alveolus seringkali kompleks. Contoh dari penyakit paru yang merubah distribusi ventilasi atau aliran darah sehingga terjadi ketidaksesuaian V/Q adalah: Asma dan penyakit paru obstruktif kronik lain, dimana variasi pada resistensi jalan napas cenderung mendistribusikan ventilasi secara tidak rata. Penyakit vascular paru seperti tromboemboli paru, dimana distribusi perfusi berubah. Petunjuk akan adanya ketidaksesuaian V/Q adalah PaO2 dapat dinaikkan ke nilai yang dapat ditoleransi secara mudah dengan pemberian oksigen tambahan. Keterbatasan Difusi (diffusion limitation) Keterbatasan difusi O2 merupakan penyebab hipoksemia yang jarang. Dasar mekanisme ini sering tidak dimengerti. Dalam keadaan normal, terdapat waktu yang lebih dari cukup bagi darah vena yang melintasi kedua paru untuk mendapatkan keseimbangan gas dengan alveolus. Walaupun jarang, dapat terjadi darah kapiler paru mengalir terlalu cepat sehingga tidak cukup waktu bagi PO2 kapiler paru untuk mengalami kesetimbangan dengan PO2 alveolus. Keterbatasan difusi akan menyebabkan hipoksemia bila PAO2 sangat rendah sehingga difusi oksigen melalui membrane alveolar-kapiler melambat atau jika waktu transit darah kapiler paru sangat pendek. Beberapa keadaan dimana keterbatasan difusi untuk transfer oksigen dianggap sebagai penyebab utama hipoksemia ialah: penyakit vaskuler paru; pulmonary alveolar proteinosis, keadaan dimana ruang alveolar diisi cairan mengandung protein dan lipid. 2) Gambaran Klinis Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari gambaran hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan.

31

Hipoksemia arterial meningkatkan ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus karotikus, diikuti dispnea, takipnea, hiperpnea, dan biasanya hiperventilasi. Derajat respon ventilasi tergantung kemampuan mendeteksi hipoksemia dan kemampuan sistem pernapasan untuk merespon. Pada pasien yang fungsi glomus karotikusnya terganggu maka tidak ada respon ventilasi terhadap hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama di ekstremitas distal, tetapi juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar membrane mukosa dan bibir. Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi hemoglobin dan keadaan perfusi pasien. Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke jaringan yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan pergeseran metabolisme ke arah anaerobik disertai pembentukan asam laktat. Peningkatan kadar asam laktat di darah selanjutnya akan merangsang ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat menyebabkan gangguan mental, terutama untuk pekerjaan kompleks dan berpikir abstrak. Hipoksia yang lebih berat dapat menyebabkan perubahan status mental yang lebih lanjut, seperti somnolen, koma, kejang dan kerusakan otak hipoksik permanen. Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat. Sehingga menyebabkan terjadinya takikardi, diaphoresis dan vasokonstriksi sistemik, diikuti hipertensi. Hipoksia yang lebih berat lagi, dapat menyebabkan bradikardia, vasodilatasi, dan hipotensi, serta menimbulkan iskemia miokard, infark, aritmia dan gagal jantung. Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk jika ada gangguan hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien dengan curah jantung yang berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi dapat diramalkan akan mengalami hipoksia jaringan global dan regional pada hipoksemia yang lebih dini. Misalnya pada pasien syok hipovolemik yang menunjukkan tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial ringan.

32

b. Gagal Napas Hiperkapnia / Gagal Napas Tipe Ii / Gagal Ventilasi Berdasarkan definisi, pasien dengan gagal napas hiperkapnia mempunyai kadar PaCO2 yang abnormal tinggi. Karena CO2 meningkat dalam ruang alveolus, O2 tersisih di alveolus dan PaO2 menurun. Maka pada pasien biasanya didapatkan hiperkapnia dan hipoksemia bersamasama, kecuali bila udara inspirasi diberi tambahan oksigen. Paru mungkin normal atau tidak pada pasien dengan gagal napas hiperkapnia, terutama jika penyakit utama mengenai bagian nonparenkim paru seperti dinding dada, otot pernapasan, atau batang otak. Penyakit paru obstruktif kronis yang parah sering mengakibatkan gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan asma berat, fibrosis paru stadium akhir, dan ARDS (Acute Respiratory Distres syndrome) berat dapat menunjukkan gagal napas hiperkapnia. 1) Patofisiologi gagal napas hiperkapnia Hipoventilasi alveolar Dalam keadaan stabil, pasien memproduksi sejumlah CO2 dari proses metabolic setiap menit dan harus mengeliminasi sejumlah CO2 tersebut dari kedua paru setiap menit. Jika keluaran semenit CO2 (VCO2) menukarkan CO2 ke ruang pertukaran gas di kedua paru, sedangkan VA adalah volume udara yang dipertukarkan di alveolus selama semenit (ventilasi alveolar), didapatkan rumus:

VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) x VA (L/men) x 1__ 863 Untuk output CO2 yang konstan, hubungan antara PaCO2 dan VA menggambarkan hiperbola ventilasi, dimana PaCO2 danVA berhubungan terbalik. Jadi hiperkapnia selalu ekuivalen dengan hipoventilasi alveolar, dan hipokapnia sinonim dengan hiperventilasi alveolar. Karena ventilasi alveolar tidak dapat diukur, perkiraan ventilasi alveolar hanya dapat dibuat dengan menggunakan PaCO2 rumus diatas.

33

Ventilasi Semenit Pada pasien dengan hipoventilasi alveolar, VA berkurang (dan PaCO2 meningkat). Meskipun VA tidak dapat diukur secara langung, jumlah total udara yang bergerak masuk dan keluar kedua paru setiap menit dapat diukur dengan mudah. Ini didefinisikan sebagai minute ventilation (ventilasi semenit, VE, L/men). Konsep fisiologis menganggap bahwa VE merupakan penjumlahan dari VA (bagian dari VE yang berpartisipasi dalam pertukaran gas) dan ventilasi ruang rugi (dead spce ventilation, VD) : VE = VA + VD VA = VE - VD VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) x VE (L/men) x (1-VD/VT) 863 VD/VTmenunjukkan derajad insufisiensi ventilasi kedua paru. Pada orang normal yang sedang istirahat sekitar 30% dari ventilasi semenit tidak ikut berpartisipasi dalam pertukaran udara. Pada kebanyakan penyakit paru proporsi VE yang tidak ikut pertukaran udara meningkat, maka VD/VT meningkat juga. Hiperkapnia (hipoventilasi Alveolar) terjadi saat: 1. nilai VE dibawah normal. 2. nilai VE normal atau tinggi, tetapi rasio VD/VT meningkat. 3. nilai VE di bawah normal, dan rasio VD/VT meningkat. Trakea dan saluran pernapasan menjadi penghantar pergerakan udara dari dan ke dalam paru selama siklus pernapasan, tetapi tidak ikut berpartisipasi pada pertukaran udara dengan darah kapiler paru (difusi). Komponen ini merupakan ruang rugi anatomis. Jalan napas buatan dan bagian dari sirkuit ventilator mekanik yang dilalui udara inspirasi dan ekspirasi juga merupakan ruang rugi anatomis. Pada pasien dengan penyakit paru, sebagian besar peningkatan ruang rugi total terdiri dari ruang rugi fisiologis. Ruang rugi fisiologis terjadi karena ventilasi regional melebihi jumlah aliran darah regional (ventilation-perfusion [V/Q] mismatching). Walaupun

34

V/Q

mismatching

umumnya

dianggap

sebagai

mekanisme

hipoksemia dan bukan hiperkapnia, secara teori V/Q mismatching juga akan menyebabkan peningkatan PaCO2. Kenyataannnya dalam hampir semua kasus, kecuali dengan V/Q mismatching yang berat, hiperkapnia merangsang peningkatan ventilasi, mengembalikan PaCO2 ke tingkat normal. Jadi V/Q mismatching umumnya tidak menyebabkan hiperkapnia, tetapi normokapnia dengan peningkatan VE. 2) Gambaran Klinis Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat. Peningkatan PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat, mekanismenya terutama melalui turunnya PH cairan cerebrospinal yang terjadi karena peningkatan akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi secara bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, PH turun secara cepat dan hebat karena hiperkapnia akut. Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama sehingga bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat sebagai kompensasi terhadap asidosis respiratorik kronik. Kadar PH yang rendah lebih berkorelasi dengan perubahan status mental dan perubahan klinis lain daripada nilai PaCO2 mutlak. Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala hipoksemia. Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan hiperkapnia mungkin memiliki ventilasi semenit yang meningkat atau menurun, tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas. Jadi, dispnea, takipnea, hiperpnea, bradipnea, dan hipopnea dapat berhubungan dengan gagal napas hiperkapnea. Pasien dengan gagal napas hiperkapnea akut harus diperiksa untuk menentukan mekanisme. Diagnosis banding utama ialah gagal napas hiperkapnea karena penyakit paru versus penyakit nonparu. Pasien dengan penyakit paru seringkali menunjukkan hipoksemia

35

yang tidak sesuai dengan derajad hiperkapnia. Hal ini dapat dinilai menggunakan perbedaan PO2 alveolar-arterial. Tetapi pasien dengan masalah nonparu dapat pula mempunyai hipoksemia sekunder sebagai efek kelemahan neuromuscular (sebagai contoh) yang mengakibatkan atelektasis atau pneumonia aspirasi. Kelainan pada paru berhubungan dengan peningkatan VD/VT dan karenanya sering menunjukkan peningkatan VE dan frekuensi pernapasan. Tetapi pasien yang mengalami kelumpuhan otot pernapasan sering ditemui takipneu. Efek dari hiperkapnea dan hipoksemia dapat menyamarkan gangguan neurologis, pengobatan berlebih dengan sedative,

mixedema, atau trauma kepala.

2.2.3 Penyebab Gagal Napas Gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta system kardiovaskuler. Otak
Neoplasma Epilepsi Hematoma Subdural Keracunan Morfin CVA

Paru

Asma Infeksi paru Benda asing Pneumothoraks, hemathoraks Edema Paru ARDS Aspiras

Susunan Neuromuskular

Miastenia Gravis Polyneuritis, demyelinisasi Analgesia spinal tinggi

Kardiovaskular Renjatan,
jantung Emboli paru

Gagal

Pelumpuh otot
Dinding Thoraks dan Luka tusuk Thoraks

36

Diafragma

Ruptur diafragma

2.2.4 Pathway
Etiologi Penyebab Perifer : a. Kelainan neuromuskuler b. Kelainan jalan nafas c. Kelainan di paru d. Kelainan tulang iga/thorax e. Kelainan jantung Gagal nafas Kerusakan epitel dan endotel paru Inflamag Penurunan kualitas dan kuantitas surfaktan Gangguan perfusi ventilasi paru Edema paru

Penyebab Sentral : a. Trauma Kepala b. Radang Otak c. Gangguan vaskuler d. Obat-obatan

Gangguan pertukaran gas

Iritasi mukosa paru Reflek batuk turun Penumpukan sekret

Penurunan jumlah O2 dalam darah Kebutuhan O2 jaringan meningkat Metabolisme an aerob Asidosis metabolik Suplai O2 ke jaringan tidak adekuat Penurunan perfusi jaringan

Bersihan jalan nafas tidak efektif

Dispnea Bradipnea

Takipnea

Pola nafas tidak efektif

2.2.5 Diagnosis Gagal Napas Akut Tidak mungkin untuk memperkirakan tingkat hipoksemia dan hiperkapnia dengan mengamati tanda dan gejala pasien. Gambaran klinis gagal napas sangat bervariasi pada setiap pasien. Hipoksemia dan 37

hiperkapnia yang ringan dapat pergi tanpa disadari sepenuhnya. Kandungan oksigen dalam darah harus jatuh tajam untuk dapat terjadi perubahan dalam bernafas dan irama jantung. Untuk itu, cara mendiagnosa gagal napas adalah dengan mengukur gas darah pada arteri (arterial blood gases, ABG), PaO2 dan PaCO2. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui apakah ada anemia, yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan. Pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis underlying disease (penyakit yang mendasarinya).

2.2.6 Tatalaksana Gagal Napas Akut Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu, penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care area) di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut. a. Dasar-dasar fisiologis terapi Gagal napas hiperkapnea Pada hiperkapnea berarti ada hipoventilasi alveolar, tatalaksana suportif bertujuan memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal, hingga diketahui dan diterapi penyakit yang mendasari. Kadang-kadang ventilasi alveolar dapat ditingkatkan dengan mengusahakan tetap terbukanya jalan napas yang efektif, bisa dengan penyedotan sekret, stimulasi batuk, drainase postural. Atau dengan membuat jalan napas artifisial dengan selang endotrakeal atau trakeostomi. Alat bantu napas mungkin diperlukan untuk mencapai dan mempertahankan ventilasi alveolar yang normal sampai masalah primer diperbaiki. Meskipun secara teoritis ventilator mekanik dapat memperbaiki ventilasi sesuai yang diinginkan, namun pada pasien dengan hiperkapnea kronik harus hati-hati dalam menurunkan hiperkapnia,

38

karena koreksi PaCO2 hingga batas normal pada kasus tersebut dapat menyebabkan alkalosis yang berat dan mengancam nyawa karena sudah terjadi kompensasi berupa peningkatan kadar bikarbonat serum. Hipoksemia sering ditemukan pada gagal napas hiperkapnia, terutama yang didasari oleh penyakit paru, dan pemberian oksigen tambahan seringkali dibutuhkan. Tetapi pada beberapa pasien dengan hiperkapnia, oksigen tambahan dapat berbahaya bila tidak dimonitor dan disesuaikan secara hati-hati. Pasien dengan gagal napas hiperkapnik karena overdosis obat sedatif atau botulisme, dan kebanyakan pasien dengan trauma dada akan membaik seiring dengan berjalannya waktu, dan penatalaksanaan bersifat suportif. Penyakit primer yang membutuhkan terapi khusus ialah miastenia gravis, kelainan elektrolit, penyakit paru obstruktif, obstructive sleep apnea, dan miksedema. Gagal Napas Hipoksemia Suplementasi oksigen ialah terapi terpenting untuk gagal napas hipoksemik. Pada penyakit berat seperti ARDS, mungkin diperlukan ventilasi mekanik, positive end-expiratory pressure (PEEP) dan terapi respirasi tipe lain. Walaupun umumnya tidak didapatkan hiperkapnea, tetapi dapat terjadi karena beban kerja pernapasan menyebabkan kelelahan otot pernapasan. Transportasi oksigen penting untuk diperhatikan, jika ada anemia berat harus dikoreksi serta curah jantung yang adekuat harus dipertahankan. Penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas hipoksemik harus diatasi. Pada beberapa pasien dengan penyakit paru yang tidak merata pada semua bagian paru (tidak mengenai kedua paru), memiringkan pasien pada posisi dimana area paru yang tidak terlibat atau yang kurang terlibat berada lebih bawah dapat meningkatkan oksigenasi, hal ini karena adanya gaya gravitasi. Pasien dengan hemoptisis berat atau sekretnya banyak tidak boleh diposisikan seperti ini karena dapat terjadi aspirasi darah atau sekret ke area yang belum terlibat. Pada pasien ARDS dengan edema paru nonkardiogenik

39

difus, dianjurkan dalam posisi pronasi (tengkurap), paru akan jarang mengalami kolaps pada bagian yang tergantung. Selain itu lebih sedikit area paru yang mendapat penekanan oleh jantung atau isi abdomen. Dasar pengobatan gagal napas dibagi menjadi pengobatan

nonspesifik dan yang spesifik. Umumnya diperlukan kombinasi keduanya. Pengobatan nonspesifik adalah tindakan secara langsung ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas paru, sedangkan pengobatan spesifik ditujukan untuk mengatasi penyebabnya. b. Pengobatan Nonspesifik Pengobatan ini dapat dan harus dilakukan segera untuk mengatasi gejala-gejala yang timbul, agar pasien tidak jatuh ke dalam keadaan yang lebih buruk. Sambil menunggu dilakukan pengobatan spesifik sesuai dengan etiologi penyakitnya. Pengobatan nonspesifik pada gagal napas akut: 1) Atasi hipoksemia: terapi oksigen 2) Atasi hiperkapnia: perbaiki ventilasi a) Perbaiki jalan napas b) Ventilasi bantuan: memompa dengan sungkup muka berkantung (bag and mask), IPPB
3) Ventilasi kendali

4) Fisioterapi dada Terapi Oksigen Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal napas dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkapnia sehingga pusat pernapasan tidak terangsang oleh hipercarbic drive melainkan terhadap hypoxemic drive. Akibat kenaikan PaO2 pasien dapat apnea. Terapinya dengan menaikkan konsentrasi oksigen fraksi inspirasi (FiO2), menurunkan konsumsi oksigen dengan hipotermi sampai 34C atau pemberian obat pelumpuh otot. Ventilasi dilakukan secara bantuan atau

40

terkendali. Cara pemberian oksigen dapat dilakukan dengan kateter nasal, atau sungkup muka. Sungkup muka tipe venture dapat mengatur kadar O2 inspirasi secara lebih tepat, bila ventilasi kembali dengan ventilator maka konsentrasi O2 dapat diatur dari 21-100%. Tabel.2 Cara Pemberian O2, hubungan antara besarnya aliran udara dengan konsentrasi O2 Inspirasi. Alat Kateter nasal Sungkup muka Sungkup muka tipe venturi Ventilator Inkubator Aliran O2 (L/men) 2-6 4-12 4-8 Bervariasi 3-8 Konsentrasi O2 (%) 30-50 35-65 24, 28, 35, 40 21-100 30-40

Atasi Hiperkapnia, Perbaiki Ventilasi Hiperkapnia diperbaiki dengan memperbaiki ventilasinya, dari cara sederhana hingga dengan ventilator. Hiperkapnia berat serta akut akan mengakibatkan gangguan PH darah atau asidosis respiratorik, hal ini harus diatasi segera dan biasanya diperlukan ventilasi kendali dengan ventilator. Akan tetapi pada gagal napas dari penyakit paru kronis yang menjadi akut kembali (acute on chronic), keadaan hiperkapnia kronik dengan PH darah tidak banyak berubah karena sudah terkompensasi oleh ginjal atau dikenal sebagai asidosis respiratorik terkompensasi sebagian atau penuh. Dalam hal ini, penurunan PaCO2 secara cepat dapat menyebabkan PH darah meningkat menjadi alkalosis, keadaan ini justru dapat membahayakan, dapat menimbulkan gangguan elektrolit darah terutama kalium menjadi hipokalemia, gangguan pada jantung seperti aritmia jantung hingga henti jantung. Penurunan tekanan CO2 harus secara bertahap dan tidak melebihi 4 mmHg/jam. 1) Perbaiki jalan napas (Air Way)

41

Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan hipereksistensi kepala mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan napas, apabila masih belum menolong maka mulut dibuka dan mandibula didorong ke depan (triple airway maneuver), biasanya berhasil untuk mengatasi obstruksi jalan nafas bagian atas. Sambil menunggu dan mempersiapkan pengobatan spesifik, maka diidentifikasi apakah ada obstruksi oleh benda asing, edema laring atau spasme bronkus, dan lain-lain. Mungkin juga diperlukan alat pembantu seperti pipa orofaring, pipa nasofaring atau pipa trakea. 2) Ventilasi Bantu Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas dapat dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau mulut ke hidung (mouth to nose). Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan ventilasi menggunakan ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi IPPB (Intermittent Positive Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas spontan melalui mouth piece atau sungkup muka yang dihubungkan dengan ventilator. Setiap kali pasien melakukan inspirasi maka tekanan negative yang ditimbulkan akan menggerakkan ventilator dan memberikan bantuan napas sebanyak sesuai yang diatur. 3) Ventilasi Kendali Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan dengan ventilator. Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Biasanya diperlukan obat-obatan seperti sedative, narkotika, atau pelumpuh otot agar pasien tidak berontak dan parnapasan pasien dapat mengikuti irama ventilator. Fisioterapi Dada Ditujukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret dan sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal napas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernapas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan kedua telapak tangan pada

42

saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang baik dan efisien. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada dan punggung, kemudian perkusi, vibrasi dan drainase postural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik, bronchodilator, atau pernapasan bantuan dengan ventilator. c. Pengobatan Spesifik Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Kadang-kadang memerlukan persiapan yang membutuhkan banyak waktu seperti operasi atau bronkhoskopi. Macam-macam pengobatan spesifik dapat dilihat pada tabel. Tabel.3 Macam-macam pengobatan spesifik penyebab gagal napas akut Etiologi 1. Otak Neoplasma Epilepsi Hematoma Subdural Keracunan Morfin CVA Rawat Operasi Antikonvulsi Operasi Nalokson Rawat Intensif Pengobatan Spesifik

2. Susunan Neuro-muskular Miastenia Gravis Polyneuritis, demyelinisasi Analgesia spinal tinggi Prostigmin, Piridostigmin Rawat dan bantuan napas ventilasi terkendali

Pelumpuh otot Thoraks dan Operasi Operasi

3. Dinding Diafragma -

Luka tusuk Thoraks

43

Ruptur diafragma

4. Paru Asma Infeksi paru Benda asing Pneumothoraks, hemathoraks Edema Paru ARDS Aspirasi Diuretika, Ventilasi kendali Steroid, Bronkodilator Antibiotik Bronkhoskopi Drainase paru

5. Kardiovaskuler Renjatan, Gagal jantung Emboli paru Obat-obatan Terapi cairan

6. Pasca bedah Thoraks

Bantuan napas

2.3

Aplikasi Klinis Ventilator Ventilasi mekanik dipergunakan pada berbagai keadaan, misal pada pembedahan, pasca bedah dan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan kegagalan pernafasan, baik yang diakibatkan oleh susunan saraf pusat, paruparu sendiri, atau otot-otot pernafasan.

2.3.1 Manfaat Pemasangan Ventilator a. Mengatasi hipoksemia b. Mengatasi asidosis respiratorik akut c. Mengatasi distress pernafasan d. Mencegah atau mengatasi atelektasis paru e. Mengatasi kelelahan otot bantu pernafasan f. Memudahkan pemberian sedatif atau blokade neuromuscular 44

g. Menurunkan kebutuhan pemakaian oksigen sistemik dan miokard h. Menurunkan tekanan intrakranial i. Menstabilkan dinding dada

2.3.2 Indikasi Pemasangan Ventilator Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal nafas atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal nafas. Kondisi yang mengarah ke gagal mafas adalah termasuk hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut, atau kombinasi keduanya. Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang tetap hipoksemia walaupun sudah diberikan oksigen dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi PPOK di mana PaCO2nya meningkat mendadak dan menimbulkan asidosis. Hipoksemia a. PaO2 <60 mmHg atau SatO2 <90% pada FiO2 >50% b. Adanya shunt (pada atelektasis, edema paru, pneumonia, emboli paru) c. Adanya ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (V/Q) atau percampuran darah vena (pada asma dan PPOK) d. Adanya hipoventilasi dan peninggian tekanan PaCO2 (pada henti napas, gagal napas akut) e. Pada FiO2 rendah, tekanan barometric yang rendah, dan adanya toksin tertentu (kebakaran, ketinggian tertentu, keracunan CO) f. Keseimbangan difusi yang tak adekuat (anemia,, curah jantung yang tinggi, umumnya ini adalah faktor yang memperburuk bukan faktor utama) Hiperkapnia PaCO2 >55 dengan asidosis atau peningkatan PaCO2 dari keadaan awal yang disertai asidosis. Hal ini dapat terjadi pada: a. Peningkatan beban kerja melebihi kapasitas kerja karena: 1) Compliance yang rendah (ARDS, luka bakar daerah dada, efusi pleura, obesitas, pneumonia)

45

2) Resistensi yang tinggi (asma, PPOK, tumor atau sumbatan pada saluran nafas) b. Peningkatan VCO2 bersamaan dengan terbatasnya kapasitas kerja (diet, PPOK) c. Peningkatan dead space (ruang rugi) yang memerlukan peningkatan ventilasi bersamaan dengan keterbatasan kapasitas kerja d. Penurunan kapasitas kerja

2.3.3 Aplikasi Ventilasi Mekanis a. Volume Tidal Dimulai dengan 10-12 ml/kgBB dan dapat dinaikkan 12-15 ml/kgBB sesuai dengan respon penderita. Tujuannya untuk

mengembangkan alveoli secara optimal untuk mencegah atelektasis dan memperbaiki pertukaran gas. Bila menggunakan PEEP, volume tidal dapat dikurangi. b. Tekanan Tekanan antara 35-40 cmH2O sebaiknya dihindarkan karena berbahaya pneumotoraks. Bila terjadi kenaikan tiba-tiba dari tekanan inflasi, ini harus dipikirkan adanya hambatan aliran gas dari ventilator. Bila kenaikan terjadi pelan-pelan, ini kemungkinan paru-paru sudah menurun elastisitasnya. c. FiO2 Diatur untuk menghindari bahaya, baik hipoksemia atau keracunan O2. Hipoksemia merupakan bahaya yang lebih mendadak daripada keracunan O2 karena itu pada permulaann FiO2 dapat diberikan 100% (kecuali menggunakan PEEP; FiO2 serendah mungkin). Kemudian FiO2 diturunkan bertahap untuk mencapai PaO2 60-100 mmHg. Usahakan memakai FiO2 <40% untuk mempertahankan PaO2 60-100 mmHg.

46

d. Frekuensi Nafas Usahakan frekuensi 10-14 x/menit, karena kombinasi frekuensi tinggi dan volume tidal yang tinggi akan membahayakan otak dan kardiovaskular. e. Ruang Rugi (Dead Space) Bila terjadi alkalosis respiratorik dapat ditambahkan ruang rugi 60-300 mL secara bertahap untuk mempertahankan PaCO2 30-40 mmHg atau dapat dengan menurunkan volume tidal. f. PEEP Adalah salah satu cara memanipulasi siklus pernafasan untuk memperbaiki oksigenisasi; dengan tekanan positif baik pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Pertimbangan pemakaian PEEP bila FiO2 > 50% diperlukan untuk mencapai PaO2 > 60 mmHg. PEEP mencegah kolaps alveoli selama fase ekspirasi; memperbesar FRC; menurunkan pintasan intrapulmoner dan menaikkan PaO2. Bila PEEP > 8 cmH2O, hemodinamik harus dimonitor ketat dengan memasang Swan-Ganz kateter. Ada kecenderungan memakai PEEP sejak awal ventilasi mekanis, ini ternyata mengurangi risiko kegagalan pernafasan pada pasca bedah. Penting untuk memonitor gas darah dan tanda-tanda vital lainnya bila memakai PEEP.

2.3.4 Komplikasi Dari Ventilasi Mekanik Keputusan untuk memasang ventilator harus dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75% pasien yang dipasang vemtilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila seseorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas dari ventilator) jadi lebih kecil. a. Pengaruh pada Paru-paru Barotrauma mengakibatkan emfisema, pneumomediastinum, pneumoperitoneum, pneumotoraks, dan tension pneumothorax. Puncak tekanan pengisian paru yang tinggi (lebih besar dari 40 cmH2O)

47

berhubungan dengan peningkatan insiden barotraumas. Disfungsi sel alveolar timbul akibat tekanan jalan nafas yang tinggi. Pengurangan lapisan surfaktan mengakibatkan atelektasis, yang mengakibatkan peningkatan tekanan jalan nafas lebih lanjut. Tekanan jalan nafas yang tinggi juga mengakibatkan distensi berlebihan alveolar (volutrauma), meningkatkan permeabilitas mikrovaskular dan kerusakan parenkim. Konsentrasi oksigen inspirasi yang tinggi (FiO2 lebih besar dari 0,5) mengakibatkan pembentukan radikal bebas dan kerusakan sel sekunder. Konsentrasi oksigen yang tinggi ini dapat mengakibatkan hilangnya nitrogen alveolar dan atelektasis sekunder. b. Pengaruh pada Kardiovaskular Jantung, aorta, dan pembuluh darah pulmonal berada di dalam rongga dada dan potensial dalam meningkatkan tekanan intratorakal. Hasilnya berupa penurunan curah jantung sehingga aliran balik vena ke jantung kanan menurun, disfungsi ventrikel kanan, dan pembesaran jantung kiri. Penurunan curah jantung akibat preload ventrikel kanan kurang, banyak dijumpai pada pasien hipovolemik dan memberikan reaksi pada penambahan volume cairan. c. Pengaruh pada Ginjal, Hati, dan Saluran Cerna Tekanan ventilasi positif bertanggung jawab pada keseluruhan penurunan fungsio ginjal dengan penurunan volume urin dan ekskresi natrium. Fungsi hati mendapat pengaruh buruk dari penurunan curah jantung, meningkatnya resistensi pembuluh darah hati, dan peningkatan tekanan saluran empedu. Iskemia mukosa gaster dan perdarahan sekunder mungkin terjadi akibat penurunan curah jantung dan peningkatan tekanan vena lambung.

48

BAB III PEMBAHASAN


Kegagalan pernafasan adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia, hiperkapnia(peningkatan konsentrasi karbon dioksida arteri), dan asidosis.Gagal nafas yang merupakan kegawatan medis sering merupakan stadium akhir dari penyakit paru kronis. Selain itu dapat juga diakibatkan karena suatu kondisi yang parah, atau penyakit paru-paru mendadak misalnya pada ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrom) walaupun awalnya pasien dalam keadaan masih sehat.Hampir setiap kondisi yang mempengaruhi pernafasan atau paru-paru dapat memicu terjadinya gagal nafas.Overdosis opioid atau alkohol yang menyebabkan efek sedasi sehingga seseorang bias mengalami hentinafas dan menderita gagal

nafas.Obstruksi jalan nafas, cedera jaringan paru, dan kelemahan otot-otot pernafasan juga merupakan penyebab yang umumnya terjadi. Dalam menegakkan diagnosis etiologi penyebab gagal napas pada pasien dengan penyakit tuberkulosis kronis penting untuk mengetahui keadaan pencetus dan pemberat kondisi gagal napas pada pasien tuberkulosis. Akan tetapi sebelumnya, harus dapat disingkirkan terlebih dahulu kemungkinan penyebab lain. Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa gagal napas terdapat dua kejadiaan utama, yaitu dapat terjadi hipoksia, hiperkarbia atau keduanya. Pada gagal napas akibat hiperkarbia (PaCO2>45 mmHg) dapat terjadi penurunan frekuensi pernapasan (menit ventilasi), peningkatan ruang ruang (dead space), ataupun terjadi peningkatan produksi CO2 dalam tubuh seperti pada kasus diet tinggi karbohidrat, serta sepsis. Adapun kemungkinan penyebab penurunan frekuensi pernapasan dapat berupa gangguan CNS (central nervous system) seperti stroke, tumor di otak, gangguan di spinal ataupun overdosis obat, dapat juga berupa gangguan di saraf perifer seperti pada kasus sindrom gullian barre dan miastenia gravis, dapat pula akibat gangguan otot pernapasan, obstruksi saluran pernapasan ataupun abnormalitas anatomi dada seperti skoliosis. Pada kasus 49

tuberkulosis, dapat saja terjadi penurunan frekuensi pernapasan ini sebagai akibat terjadi peningkatan berlebihan jumlah sekret sehingga menyebabkan obstruksi, ataupun dapat pula terjadi pada kasus TB yang diperberat dengan efusi pleura dan pneumotoraks, sehingga miningkatkan dead space area di paru yang kemudian mengurangi compliance paru dan alvelolus untuk mengembang. Selain gagal napas akibat hiperkapnia, gagal napas akibat

hipoksia/hipoksemia juga dapat terjadi. Bebarapa etiologi seperti kemungkinan kurang fraksi oksigen inspirasi dan gangguan difusi oksigen di alveolus seperti pada oedema paru atau gangguan hemobglobin. Berdasarkan pemaparan di atas, penngeggakan diagnosis etiologi gagal napas pada pasien tuberkulosis diperlukan pemeriksaan secara komprehensif meliputi analisis gas darah dan penegakan penyakit pemberat dan penyerta lain pada pasien denngan TB. Peyingkiran sedini mungkin kemungkinan etiologi gagal napas lain pada pasien dengan gagal napas sangat diperlukan, agar pasien dapat ditatalaksana sebaik mungkin sehingga meminimalisir resiko kematian akibat gagal napas.

50

BAB IV KESIMPULAN
Gagal napas merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat

ketidakmampuan sistem pulmoner untuk mencukupi kebutuhan metabolisme (eliminasi CO2 dan oksigenasi darah). Gagal napas terjadi bila tekanan parsial oksigen arterial (PaO2) < 60 mmHg atau tekanan parsial karbondioksida arterial (PCO2) > 45 mmHg. Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler. Gagal napas akut merupakan salah satu kegawatdaruratan, sehingga membutuhkan penangan yang cepat dan tepat. Gagal nafas yang merupakan kegawatan medis sering merupakan stadium akhir dari penyakit paru kronis. Pada kasus tuberkulosis, dapat saja terjadi penurunan frekuensi pernapasan ini sebagai akibat terjadi peningkatan berlebihan jumlah sekret sehingga menyebabkan obstruksi, ataupun dapat pula terjadi pada kasus TB yang diperberat dengan efusi pleura dan pneumotoraks, sehingga miningkatkan dead space area di paru yang kemudian mengurangi compliance paru dan alvelolus untuk mengembang. Berdasarkan pemaparan di atas, penegakkan diagnosis etiologi gagal napas pada pasien tuberkulosis diperlukan pemeriksaan secara

komprehensif meliputi analisis gas darah dan penegakan penyakit pemberat dan penyerta lain pada pasien denngan TB.

51

DAFTAR PUSTAKA
Amin, Zulkifli; Purwoto, Johanes. (2006). Gagal Napas Akut. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simandibrata, M., Setiati, S (Eds). Buku Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid 1. Jakarta: Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Anonim. 2006. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Anonim. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia Danusantoso, H. 2000. Buku saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Hipokrates Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2005, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9, Jakarta: EGC. Kaynar, Ata Murat; Sharma, Sat. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada tanggal 9 Mei 2012 dari http://emedicine.medscape.com/article/167981overview Kemenkes. 2010. Situasi Epidemiologi TB di Indonesia Ajar

Departemen

http://tbindonesia.or.id/pdf/Data_tb_1_2010.pdf Latief, A. Said. (2002), Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intesif, Jakarta: FK UI. Pitoyo, CW dan Zulkifli Amin. Dukungan Ventilator Mekanik. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Muhardi, Sudarsono, dan Amir S. Madjid. 2001. Aplikasi Klinis Ventilator. Dalam: Penatalaksanaan Pasien di Intensive Care Unit. Jakarta: Sagung Seto. Wibisono, M. Jusuf. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair

52

Anda mungkin juga menyukai