Anda di halaman 1dari 11

1 | P a g e

MAKALAH
USHUL FIQH II

Disusun oleh :
Dede Salamah
Hadijah
Handayani
Halimatushadiyah
Munawaroh
Putri Indriani
Rifah hasanah
Sunani


Tahun Ajaran 2011/2012
Semester III

2 | P a g e

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya
kepada kita semua, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan
salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, Keluarga, sahabat dan
seluruh umatnya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok UAS semester III
mata kuliah Al Ijtihad Wa Taqlid oleh dosen pembimbing H. Umar Hadi, S.Pd.I
Dalam makalah ini kami telah berusaha mengumpulkan berbagai referensi
dari kitab, buku serta sedikit beberapa dari internet yang mendukung judul
makalah ini.
Penyusun mohon maaf jika dalam penyusunan makalah ini terdapat
kekurangan. Kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan kami agar
dalam penyusunan makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi. Kami
mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
penyelesaian makalah ini.

Bekasi, Januari 2012


Penyusun




3 | P a g e

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........... i
Daftar Isi ........ ii
Bab Pendahuluan ................... 1
Bab Pembahasan ........................ 2
A. Pengertian Ijtihad ............................... 2
B. Ruang Lingkup Ijtihad ............... 4
C. Syarat Mujtahid ..................... 5
D. Pembagian Mujtahid dan perbedaannya ........ 6
Bab Penutup ............... 7
Daftar Pustaka

4 | P a g e

BAB I
PENDAHULUAN
Syariat islam yang disampaikan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah secara
komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sunguh-
sungguh serta berkesinambungan. Didalam keduanya terdapat lafad yang am-
khash, muthlaq-muqayyad, nasikh-mansukh dan muhkam-mutasyabih, yang masih
memerlukan penjelasan. Sementara itu, nas Al-Quran dan Sunnah telah berhenti,
padahal waktu terus berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan yang
dating silih berganti. Oleh karena itu, diperlukan usaha penyelesaian secara
sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak ditunjukan secara tegas
oleh nas itu. Ijtihad menjadi sangat penting.
Apakah ijtihaj itu? Apakah semua orang boleh melakukan ijtihad? Apa
sajakah objek kajian ijtihad itu? Bagaimana keabsahan hokum hasil ijtihad ? hal-
hal yang menyangkut tersebut akan dibahas pada bagian berikut.






5 | P a g e

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN IJTIHAD
Secara bahasa, arti ijitihad dalam artinya jahada terdapat didalam Al-Qur,an
surat al-Nahl [16] ayat 38,
W-O=O^~4 *.) E;_E_
)_gLEuC +El4C +.- }4`
O4C _ _O>4 -;N4 gO^OU4N EEO
O}4 4O4- +EEL-
]OU;4C ^@g
38. mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh:
"Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati". (tidak demikian), bahkan (pasti Allah
akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan
manusia tiada mengetahui,

surat al-Nur [24] ayat 53,
W-O=O^~4 *.) E;_E_
jg+EuC u' gO4`
O}N_NOuC4O W ~ W-OO^> W
O4NC NONOuE` _ Ep) -.- lOO)lE=
E) 4pOUEu> ^)@
53. dan mereka bersumpah dengan nama Allah sekuat-kuat sumpah, jika kamu suruh
mereka berperang, pastilah mereka akan pergi. Katakanlah: "Janganlah kamu bersumpah,
(karena ketaatan yang diminta ialah) ketaatan yang sudah dikenal. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

surat Fathir [35] ayat 42.
W-O=O^~4 *.) E;_E_
jg+EuC -' -47.~E} EOCO4^
E7=O74O- OEu- ;}g` OEu)
+4`1- W OU -47.~E} EOCO4^
E` -E1-Ee ) -OO+^ ^jg
6 | P a g e

42. dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sekuat-kuat sumpah; Sesungguhnya
jika datang kepada mereka seorang pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih
mendapat petunjuk dari salah satu umat-umat (yang lain). tatkala datang kepada mereka
pemberi peringatan, Maka kedatangannya itu tidak menambah kepada mereka, kecuali
jauhnya mereka dari (kebenaran),

Dan ada pula sabda Rasullullah Saw yang Artinya dari mu'adz bin jabal
ketika nabi muhammad saw mengutusnya ke yaman untuk bertindak sebagai
hakim beliau bertanya kepda mu'adz apa yang kamu lakukan jika kepadamu
diajukan suatu perkara yang harus di putuskan? Mua'dz menjawab, "aku
akan memutuskan berdasarkan ketentuan yang termaktuk dalam kitabullah"
nabi bertanya lagi "bagaimana jika dalam kitab allah tidak terdapat
ketentuan tersebut?" mu'adz menjawab, " dengan berdasarkan sunnah
rosulullah". Nabi bertanya lagi, "bagaimana jika ketenyuan tersebut tidak
terdapat pula dalam sunnah rosullullah?" mu'adz menjawab, "aku akan
menjawab dengan fikiranku, aku tidak akan membiarkan suatu perkara tanpa
putusan" , lalu mu'adz mengatakan, " rosullulah kemudian menepuk dadaku
seraya mengatakan, segala puji bagi Allah yang telah memberikan
pertolongan kepada utusanku untuk hal yang melegakan". Ijtihad seorang
sahabat Rosulullah SAW, Sa'adz bin Mu'adz ketika membuat keputusan
hukum kepada bani khuroidhoh dan rasulullah membenarkan hasilnya, beliau
bersabda "Sesungguhnya engkau telah memutuskan suatu terhadap mereka
menurut hukum Allah dari atas tujuh langit".
Semua kata ini berarti pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl
al-wusi wa al-thaqah), atau juga berarti berlebihan dalam bersumpah (al-
mubalaghat fi al-yamin). Berarti sungguh-sungguh, rajin, giat, atau
mencurahkan kemampuannya daya upaya atau usaha keras, berusaha keras
untuk mencapai atau memperoleh sesuatu.
Para ulama bersepakat tentang pengertian ijitihad secara bahasa, tetapi
berbeda pandangan mengenai pengertiannya secara istilah (termonologi).
Pengertian ijtihad secara istilah muncul belakanngan, yaitu pada masa tasyri
dan masa sahabat. Perbedaan ini meliputi hubungan ijitihad dengan fikih,
7 | P a g e

ijitihad dengan Al-Quran, ijtihad dengan al-sunnah, dan ijtihad dengan
dalalah nash (Jalaluddin Rakhmat, 1989: 33).
Definisi ijtihad diatas secara tersirat menunjukan bahwa ijtihad hanya
berlaku pada bidang fikih, bidang hukum yang berkenaan dengan amal;
bukan bidang pemikiran. Oleh karena itu, menurut ulama fikih, ijtihad tidak
terdapat pada ilmu kalam dan tasawuf. Di sampin itu, ijtihad berkenaan
dengan dalil zhanni, sedangkan ilmu kalam menggunakan dalil qathi. Hal ini
senada dengan pendapat ibrahim Hosen, yang selanjutnya dikutip oleh
Jalaluddin Rakhmat (1989: 33), yang mengatakan bahwa cakupan ijtihad
hanyalah bidang fikih. Selanjutnya, Hosen mengatakan, pendapat yang
menyatakan bahwa ijtihad secara istilah juga berlaku dibidang akidah atau
akhlak, jelas tidak bisa dibenarkan.
Berbeda dengan Hosen, Harun Nasution menjelaskan bahwa pengertian
ijtihad hanya dalam lapangan fikih adalah ijtihad dalam pengertian sempit.
Dalam arti luas, menurutnya, ijtihad juga berlaku dalam bidang politik,
akkidah, tasawuf, dan filsafat.
Senada dengan Harun Nasution, Ibrahim Abbas al-Dzarwi (1983: 9)
mendefinisikan ijtihad sebagai
Tidak hanya Harun Nasution dan al-Dzarwri, Fakhruddin al-Razy, ibnu
Taimiyah dan Muhammad al-Ruwaih pun tidak membatasi ijtihad pada
bidang fikih saja. Menurut fakhruddin, ijtihad ialah pengerahan kemampuan
untuk memikirkan apa saja yang tidak mendatangkan celaan (Jaluddin
Rakhmat; 1989; 33).
Sebagian ulama ada yang mempersamakan ijtihad dengan qiyas; ada pula
yang mempersamakannya dengan ray. Akan tetapi, pendapat ini ditolak oleh
Iman al-Ghazali yang mengatakan bahwa ijtihad itu lebih umum dari pada
qiyas (Wahbah al-Zuhalili,1978 :481).

B. RUANG LINGKUP IJTIHAD
Ruang lingkup ijtihad ialah furu' dan dhoniah yaitu masalah-masalah yang
tidak ditentukan secara pasti oleh nash Al-Qur'an dan Hadist. Istilah teknis
8 | P a g e

yang terdapat dalam ilmu ushul fiqh adalah al-mujtahid fih. Menurut Abu
Hamid Muhammad al-Ghazali (t.th: 354), lapangan ijtihad adalah setiap
hukum syara yang tidak memiliki dalil qathi.
Adapun hukum yang diketahui dari agama secara dlarurah dan bidahah
(pasti benar berdasarkan pertimbangan akal), tidak termasuk lapangan ijtihad.
Secara tegas, Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa sesuatu yang ditetapkan
berdasarkan dalil qathi al-tsubut wa dalalah tidaklah termasuk lapangan
ijtihad. Persoalan-persoalan yang tergolong ma ulima min al-din bi al-
dlalurah, diantaranya kewajiban shalat lima waktu, puasa pada bulan
Ramadhan, zakat, haji, keharaman zina, pencurian, dan meminum khamar.
Secara lebih jelas, Wahbah al-Zuhaili (1978: 497) menjelaskan bahwa
lapangan ijtihad ada dua. Pertama, sesuatu yang tidak dijelaskan sama sekali
oleh Allah dan Nabi Muhammad saw dalam Al-Quran dan al-Sunnah (ma la
nashahafi ashlain. Kedua, sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil zhannial-
tsubut wa al-dalalah atau salah satunya (zhanni al-tsubut atau zhanni al-
dalalah).

C. SYARAT MUJTAHID
Syarat-syarat umum yang disepakati oleh para ulama' menurut Dr. Yusuf
Qordhowi sebagai berikut:
a. Harus mengetahui Al-Qur'an dan ulumul Qur'an:
b. Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat
c. Mengetahui sepenuhnya sejarah pengumpulan atau penyusunan al-
qur'an.
d. Mengetahui sepenuhnya ayat-ayat makiyah dan madaniyah, nasikh dan
mansukh, muhkam dan mutasyabih, dan sebagainya
e. Menguasai ilmu tafsir, pengetahuan tentang pemahaman al-qur'an.
f. Mengetahui Assunah dan ilmu Hadits
g. Mengetahui bahasa arab
h. Mengethui tema-tema yang sudah merupakan ijma'
i. Mengetahui usul fiqih
9 | P a g e

j. Mengetahui maksud-maksud sejarah
k. Mengenal manusia dan alam sekitarnya
l. Mempunyai sifat adil dan taqwa

syarat tambahan :
a) Mengetahui ilmu ushuluddin
b) Mengetahui ilmu mantiq
c) Mengetahui cabang-cabang fiqih

D. PEMBAGIAN MUJTAHID DAN PERBEDAANNYA
Para mujtahid mempunyai tingkatan-tingkatan:
1) Mujtahid mutlaq atau mujtahid mustakhil yaitu mujtahid yang
mempunyai pengetahuan lengkap untuk berisbad dengan Al-qur'an
dan Al-haditsdengan menggunakan kaidah mereka sendiri dan diakui
kekuatannya oleh tokoh agama yang lain. Para mujtahid ini yang
paling terkenal adalah imam madzhab empat
2) Mujtahid muntasib yaitu mujtahid yang terkait oleh imamnya seperti
keterkaitan murid dan guru mereka adalah imam Abu Yusuf, Zarf bin
Huzail yang merupakan murid imam Abu Hanifah
3) Mujtahid fil madzhab yaitu para ahli yang mengikuti para imamnya
baik dalam usul maupun dalam furu' misalnya imam Al-Muzani
adalah mujtahid fil madzhab Syafi'i
4) Mujtahid tarjih yaitu mujtahid yang mampu menilai memilih pendapat
sebagai imam untuk menentukan mana yang lebih kuat dalilnya atau
mana yang sesuai dengan situasi kondisi yang ada tanpa menyimpang
dari nash-nash khot'i dan tujuan syariat, misalnya Abu Ishaq al
syirazi, imam Ghazali.


10 | P a g e

BAB III
PENUTUP
Jika seorang Muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya
tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara, maka hukum
ijtihad bagi orang itu bisa wajib ain, wajib kifayah,sunat, atau haram,
bergantung pada kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang
dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir
pertiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri
mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam nas, maka hukum
ijtihad menjadi wajib ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang
diminta fatwa hukumatas suatu peristiwa yang terjadi, tetapi ia
mengkhawatirkan peristwa itu lenyap dan selain diamasih ada mujtahid
lainnya, maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayah. artinya, jika semua
mujtahid tidak ada yang melakukan ijtihad atas kasustersebut, maka
semuanya berdosa. Sebaliknya, jika salah seorang dari mereka melakukan
ijtihad, maka gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka. Ketiga, hukum
berijtihad menjadi sunat jikadilakukan atas persoalan-persoalan yang tidak
atau belim trejadi. Keempat, hukum ijtihad menjadi haram dilakukan atas
peristiwa-peristiwa yang sudah jelas hukumnya secara qathi baik dalam Al-
Quran maupun al-Sunnah; atau ijtihad atas pertiwa yang hukumnya telah
ditetapkan secara ijmak. (Wahbah al-Zuhaili, 1978: 498-9 dan muhaimin, dkk
1994: 189).

11 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Prof. Muhammad, 2010. Ushul Fiqih. Jakarta : PT Pustaka Firdaus.
Drs. Atang Abd. Hakim, MA. Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai