Anda di halaman 1dari 9

PELUANG DAN KENDALA PENGELOLAAN EKOWISATA PESISIR MUARAGEMBONG KABUPATEN BEKASI1) Oleh : Astrid Damayanti dan Tuti Handayani

Departemen Geografi FMIPA UI


e-mail : astridd_maya@yahoo.com, tutyhand@hotmail.com

Abstrak Perkembangan ekowisata Indonesia saat ini tidak sebanding dengan potensi wisata alam yang besar, mengingat keanekaragaman hayati Indonesia yang sangat kaya, tetapi belum banyak yang dimanfaatkan baik secara nasional maupun internasional. Dicanangkannya tahun 2003 sebagai Tahun Bahari, membuka peluang lebih besar untuk mengembangkan ekowisata bahari, yang mengoptimalkan keseimbangan pemanfaatannya wilayah laut bagi pariwisata sekaligus menghasilkan devisa yang besar. Pesisir Kecamatan Muaragembong di Kabupaten Bekasi, memiliki sumberdaya pesisir yang dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata. Dengan sungai yang lebar dan landai mengelilingi hutan bakau dan daerah tambak, serta lokasinya yang dekat dengan Jakarta, maka potensi pengambangan ekowisata bahari dimungkinkan. Tulisan ini bertujuan ingin menyampaikan kendala pengembangan wisata bahari di Muaragembong, yang sebetulnya mempunyai peluang cukup besar. Beberapa kendala tersebut akan dibahas, seperti belum siapnya masyarakat setempat sebagai sumberdaya pengelola, jangkauan transportasi dari luar kecamatan yang sulit, berkurangnya hutan bakau untuk pertambakan, kurangnya perhatian pemerintah daerah terhadap obyek ini, serta belum adanya promosi, menyebabkan pesisir muara gembong masih dianggap sekedar wilayah pertambakan.

Disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) dan Kongres Ikatan Geograf Indonesia (IGI), di Singaraja, 17-18 Oktober 2003.

A. Pendahuluan Perusakan terhadap sumber daya alam atau lingkungan alam oleh manusia di Indonesia salah satunya akibat dari keterbatasan kemampuan dalam mengelola sumber daya alam tersebut secara seimbang. Sumber daya alam Indonesia yang terbesar datang dari laut. Dengan dicanangkannya tahun 2003 sebagai Tahun Bahari diharapkan mampu menumbuhkan motivasi untuk mengenal lebih dalam tentang laut dan mengoptimalkan keseimbangan pemanfaatannya. Perkembangan ekowisata Indonesia saat ini tidak sebanding dengan potensi wisata sumber daya alam yang besar, mengingat keanekaragaman hayati Indonesia yang sangat kaya. Menurut Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Koes Saparjadi, dalam sambutannya pada acara penandatanganan kerjasama antara Departemen Kehutanan (Dephut) dengan ASITA (Association of Indonesian Tour and Travel Agency), upaya menjual taman nasional, taman suaka alam, taman buru dan suaka margasatwa yang semuanya dikelola Dephut, terkendala fasilitas perhubungan. Hal tersebut terjadi akibat belum adanya pemahaman akan fungsi dan potensi sumber daya alam yang dapat dikembangkan sebagai sumber pemasukan negara dari sektor ekowisata, mengingat ekowisata memang bukan wisata massal, melainkan wisata eksklusif. Indonesia sebagai negara megabiodiversity nomor dua di dunia, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Para explorer dari dunia barat maupun timur jauh telah mengunjungi Indonesia pada abad ke lima belas yang lalu. Perjalanan eksplorasi yang ingin mengetahui keadaan di bagian benua lain telah dilakukan oleh Marcopollo, Washington, Wallacea, Weber, Junghuhn dan Van Steines dan masih banyak yang lain merupakan awal perjalanan antar pulau dan antar benua yang penuh dengan tantangan. Para petualang ini melakukan perjalanan ke alam yang merupakan awal dari perjalanan ekowisata. Sebagian perjalanan ini tidak memberikan keuntungan konservasi daerah alami, kebudayaan asli dan atau spesies langka (Lascurain, 1993 dalam Chafid Fandeli, Mukhlison, 2000). Simposium Ekowisata di Bogor pada 16-17 Januari 1996, mengeluarkan rumusan mengenai ekowisata, yakni sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan /atau daerah-daerah yang dibuat dengan kaidah alam, yang mendukung berbagai upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Rumusan tersebut sebenarnya berakar dari pengertian ecotourism dari The Ecotourism Society yang berbunyi : ecotourism is a purposeful travel to natural areas to understand the culture and natural history of environment, taking care not to alter the integrity of the ecoystem, while producing economic opportunities that make the conservation of natural resources benefecial to local people, namun tentunya perumusan itu kemudian disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. B. Pesisir Muaragembong, Kabupaten Bekasi Kecamatan Muaragembong Kabupaten Bekasi berbatasan dengan : sebelah utara Laut Jawa; sebelah selatan Kecamatan Babelan, sebelah timur Kabupaten Karawang, dan sebelah barat berbatasan langsung dengan teluk Jakarta. Dengan kondisi sungai yang cukup lebar antara minimal 30 meter sampai 80 meter, dengan arus yang lemah, kedalaman rata-rata 3 m, menyebabkan saat ini sungai sungai di Muaragembong menjadi prasara transportasi utama bagi penduduknya. , Sampai saat ini perahu yang digunakan baru transportasi umum Muara Tawar Cilincing ke Muara Gembong , memutar melewatu Muara Bungin di perbatasan Kerawang. Kadang-kadang ada juga perahu ikan dari pelabuhan Muara baru, meskipun sebetulnya dari Ancol perahu dimungkinkan untuk masuk ke muara gembong tetapi belum dimanfaatkan. Padahal transportasi darat, kecuali ojek sepeda motor, tidak ada yang dapat masuk ke wilayah pesisir muara gembong. karena memang tidak ada jalan raya. Di sepanjang pantai masih terdapat hutan bakau yang meskipun sudah banyak yang berubah menjadi tambak udang dan bandeng, sebagian besar wilayahnya, terutama di tepi sungai masih terlihat rimbun. Sehingga bila dikelola dengan benar maka hutan bakau tersebut dapat dipertahankan, bahkan kalau secara serius ditangani dapat dikembalikan seperti semula. Banyaknya biota yang menandai hutan bakau juga masih dapat dikemabngkan, seperti adanya kepiting bakau serta burung-burung yang singgah pada musim-musim tertentu. Ada tiga Muara Besar yang memungkinkan masuk ke MuaraGembong dengan perahu, yaitu Muara Bendera, Muara Mati dan Muara Bungin. Nelayan yang membawa ikan akanb memasarkan ikan tangkapannya di sekitar muara tersebut. Ada pedagang yang siap menampungnya. Disamping menerima pasokan ikan dari nelayan, para pedagang (palele) juga menerima penjualan udang dari tambak-tambak yang ada di pesisir Muara Gembong, sehingga di sepanjang sungai yang digunakan bagi pelayaran terdapat berbagi variasi wisata yang dapat dinikmati antara lain : Hutan Bakau, burung-burung migran, kepiting bakau, serta masih terdapat pula biawak dan monyet. Wisatawan juga dapat berbelanja di sepanjang sungai serta bersama-sama dan dimungkinkan memasak ikan segar di rumah penduduk. Kehdupan masyarakat di sepanjang sungai juga menadi ciri yang tersendiri karena, mereka berasal dari wilayahwilayah di Indonesia, meskipun di dominasi penduduk Betawi. Sehingga terjadi asimilasi kebudayaan yang sangat menarik.

Pemerintah memang sudah memiliki rencana pengalokasian ruang untuk kawasan ekowisata guna mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di Kecamatan Tarumajaya dan Muaragembong. Namun sampai sekarang belum dilaksanakan, karena konsentrasi pemerintah masih pada nilai ekonomi tambak yang secara langsung dapat memberikan hasil bagi masyarakat. Sedangkan pemehaman masyarakat terhadap pariwisata saat ini belum nampak di kecamatan muara gembong. C. Peluang dan Tantangan Pengelolaan Ekowisata Pesisir Muaragembong Lima pedoman yang harus dikenali dan dipatuhi oleh para pelaku ekowisata adalah pendidikan (education), pembelaan (advocacy), pengawasan (monitoring), keterlibatan komunitas setempat (community involvement) dan perlindungan (conservation). Aspek pendidikan menjadi bagian utama dalam pengelolaan ekowisata karena membawa misi sosial untuk menyadarkan keberadaan manusia, lingkungan dan akibat yang akan timbul bila terjadi kesalahan dalam manajemen pemberdayaan lingkungan global. Dalam penjabaran misi tersebut seringkali berbenturan dengan perhitungan ekonomis atau terjebak dalam metode pendidikan yang kaku. Pembangunan infrastruktur pariwisata secara berlebihan justru pada akhirnya menyebabkan perlindungan terhadap keunikan kawasan wisata menjadi tersisih dikalahkan oleh industri pariwisata massal. Padahal salah satu tujuan ekowisata harus mampu manjabarkan nilai kearifan lingkungan dan sekaligus mengajak orang untuk menghargai apapun yang walaupun tampaknya teramat sederhana. Pada hakikatnya dengan kesederhanaan itulah yang menjadi pedoman masyarakat sekitar kawasan wisata mempertahankan kelestarian alamnya. Dengan demikian keterlibatan masyarakat sekitar sebagai pengawas menjadi teramat penting. Hal lain yang harus diperhatikan adalah perkembangan budaya dalam masyarakat asli di sekitar kawasan ekowisata yang berbeda dengan budaya para wisatawan. Disadari atau tidak lambat laun akan terjadi pergeseran budaya yang mungkin dapat melenyapkan budaya asli. Idealnya dalam suatu kawasan ekowisata timbul suatu keterikatan dan rasa saling menghormati antar komunitas penduduk asli dengan wisatawan. Untuk meminimalkan dampak yang timbul di kemudian hari diperlukan integritas, kualitas, loyalitas dan kemampuan pengelola dalam melaksanakan pengawasan. Kegiatan ekowisata menjadi suatu jenis wisata yang lebih mahal harganya dibandingkan dengan jenis wisata lain, mengingat pengelolaan kawasan ekowisata harus mengendalikan kuantitas dan kualitas pengunjung. Pengelola ekowisata disamping

menjalankan prinsip ekonomi untuk mencari keuntungan sebanyak mungkin, tetapi juga harus dapat menjalankan misi konservasi. Tidak semua wilayah Pesisir Muaragembong memiliki potensi pariwisata yang dapat dikembangkan. Untuk keberhasilan usaha ekowisata di wilayah tersebut ditentukan pula atas faktor-faktor berikut : 1. Pemilihan lokasi harus memiliki keunikan dan dapat dijangkau alat transportasi yang ramah lingkungan, 2. Perencanaan ekowisata dan persiapan yang melibatkan masyarakat lokal untuk menjalankan ekowisatasebagai usaha bersama, 3. Keterlibatan masyarakat lokal dalam pengembangan usaha dan pengelolaan kegiatan ekowisata, 4. Interpretasi alam dan budaya lokal yang baik dengan membekali diri dengan pengetahuan geografi, adat istiadat, kebiasaan dan budaya yang berlaku. 5. Kemampuan untuk menciptakan rasa aman dan nyaman kepada wisatawan, sekaligus juga memberikan pembelajaran kepada mereka untuk membantu pelestarian sumberdaya alam , menghargai privacy dan kehormatan masyarakat setempat. 6. Menjalin hubungan kerja yang berkelanjutan dengan pemerintah dan organisasi lain yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari ke enam hal yang tersbut di atas, maka Kecamatan Muara Gembong memiliki peluang pada : Ketersediannya sungai Luas, sehingga wisata yang anjurkan adalah wisata dengan menggunakan perahu mengelilingi pesisir muara gembong. Masuk dari Muara Bendera dan Keluar dari Cabang Bungin. Wisata ini dapat dijadikan sebagi wisata masal dengan dijadikan satu paket, dengan wisatawan yang diberangkatkan dari Marina Ancol Kehidupan masyarakat lokal yang dapat diajak berperan serta untuk pengembangan wisata ini, selama ini sebagai buruh tambak sebagian masyarakat hanya mendapat keuntungan kecil dari segi ekonomi, dengan dilibatkan dalam kepariwisaan, mereka dapat menjadi majikan unruk dirinya sendiri. Pengembangan wisata ini sesuai dengan Rencana Tata Ruang Pemerintah Muara Gembong merupakan daerah wisata Bahari, sehingga bila ditangai secara serius, maka pasti akan mendapat dukungan dari pemerintah setempat.

Kendala utama dari pengembangan Wisata bahari ini adalah pada kondisimasyarakat yang masih sederhana dan miskin serta berpendidikanrendah (rata-rata SD) sehingga mementingkan mendapatkan uang sesaat, kurang faham terhadap pelestarian lingkungan maupun pariwisata. Kendala ke dua adlah keamanan, karena selama ini wilayah tersebut susah dijangkau, maka ada beberpa tempat yang diduga rawan keamanan, kendala yang terbesar adalah dari para petambak yang umumnya bukan penduduk Muara Gembong, mereka umumnya tinggal di Jakarta, dan kurang peduli dengan kemajuan masyarakat muara gembong. Sehingga kemungkinan bekerjasama untuk menyiapkan sebaian wilayahnya bagi pariwisata diragukan. Prinsip ekowisata menurut Masyarakat Ekowisata Indonesia (MEI) antara lain : 1. Memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan. 2. Pengembangan harus didasarkan atas musyawarah dan persetujuan masyarakat setempat. 3. Memberikan manfaat kepada masyarakat setempat. 4. Peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan yang dianut masyarakat setempat. 5. Memperhatikan kepariwisataan. D. Penutup Tujuan utama dari pengelolaan ekowisata di Indonesia secara terpadu adalah tercapainya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dengan melibatkan seluruh komponen stakeholder, dan kemudian menetapkan prioritas-prioritas pengelolaan. Menurut Sproule & Suhandi (1993) dalam tulisannya yang bertajuk. Guidelines for Community-based Ecotourism Programs, Lessons from Indonesia in Ecotourism : A Guide for Planners & Managers, ekowisata berbasiskan masyarakat adalah usaha di bidang ekowisata yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat (Warta KEHATI, 1998). Pengertian ini menekankan bahwa hendaknya masyarakat peduli pada sumber daya alamnya agar bisa memperoleh pendapatan dari ekowisata dan kemudian memanfaatkan penghasilan tersebut untuk meningkatkan taraf hidupnya. Pengertian ini juga mencakup konservasi, kegiatan bisnis dan pengembangan masyarakat. peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan dan

Dalam setiap usaha ekowisata berbasiskan masyarakat terdapat peserta (participants) dan mereka yang memperoleh manfaat (benefeciaries) baik secara langsung, maupun tidak langsung. Salah satu model terdiri atas sebuah kelompok yang disebut sebagai panitia pengelola yang mengawasi ventura/usaha ekowisata; dengan peserta langsung adalah para panitia pengelola dan para pekerja yang terlibat dalam pembuatan barang dan jasa yang ditawarkan; dan peserta tidak langsung adalah anggota masyarakat luas yang memilih anggota panitia pengelola proyek ekowisata dan yang secara tidak langsung memanfaatkan sumber daya alam yang digunakan dalam usaha ekowisata tersebut. Kelompok yang mendapat manfaat ekowisata secara langsung antara lain para karyawan, peghasil kerajinan tangan, pemandu wisata dan tukang angkut barang. Sementara yang merupakan kelompok yang tidak langsung memperoleh manfaat ekowisata adalah masyarakat umum yang mendapat keuntungan dari proyek pembangunan serta kegiatan pendidikan dan latihan yang didanai dari laba ekowisata. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan ekowisata berbasiskan masyarakat adalah : 1. Partisipasi; selayaknya ekowisata melibatkan seluruh masyarakat yang tinggal di kawasan wisata. Namun, seringkali partisipasi masyarakat terhambat oleh masalah afiliasi politik, kepemilikan tanah, gender dan terkadang pendidikan; 2. Gender; kesetaraan pria-wanita sebaiknya diutamakan oleh pengelola proyekproyek ekowisata yang berbasiskan masyarakat, meski pada kenyataannya sulit dicapai sepenuhnya; 3. Transparansi; adanya usaha ekowisata di suatu daerah mutlak menerapkan transparansi khususnya di bidang keuangan, mengingat hal itu dapat memicu perpecahan di antara kelompok-kelompok masyarakat dan menciptakan kecemburuan serta kesenjangan sosial; 4. Pengambilan keputusan; walaupun untuk kebaikan seluruh masyarakat, tidak seluruh anggota masyarakat bisa berperan aktif secara terus menerus sebagai panitia pengelola dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan ekowisata; 5. Proses perencanaan; membangun sebuah ekowisata di sebuah kawasan tak bisa lepas dari pentingnya memperhitungkan masalah partisipasi dan distribusi keuntungan. Karena itu, sejak masa perencanaan, para pengelola sudah menentukan

siapa masyarakat yang dimaksud, siapa yang berpartisipasi, siapa yang akan mengambil keputusan, bagaimana keuntungan akan diperoleh, seberapa besar investasi uang yang diperlukan, dan dari mana dana akan diperoleh. 6. Promosi; hal yang tidak kalah pentingnya adalah upaya pengelola dalam mempromosikan ekowisata yang dikelola kepada masyarakat luas. Diselenggarakannya kegiatan-kegiatan yang terkait dengan budaya setempat sekaligus dapat menjadi suatu momentum untuk pemberitaan keunikan alam suatu wilayah ekowisata. Dalam pengelolaan ekowisata kawasan Pesisir Muaragembong, penting menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga lain sebagai mitra kerja seperti : Kantor pariwisata pemerintah daerah maupun nasional, serta badan-badan manajemen sumberdaya alam, khususnya yang membidangi hutan dan taman nasional, Lembaga Swadaya Masyarakat, khususnya yang bergerak di bidang lingkungan, usaha kecil dan pengembangan masyarakat tradisional, Industri pariwisata yang mapan, khususnya operator perjalanan wisata, Universitas dan lembaga penelitian, Kelompok masyarakat lain, termasuk yang memiliki sejarah dengan pariwisata lokal, serta Organisasi inernasional, lembaga penyandang dana baik pemerintah maupun nonpemerintah, organisasi kebudayaan dan lain-lain. Media massa, baik cetak maupun elektronik (radio dan televisi).

E. Ucapan Terima Kasih Penghargaan yang tinggi disampaikan penulis kepada Sugeng Haryoto yang telah bekerjasama dalam proses pengumpulan data dan pembuatan peta-peta dalam tulisan ini. F. Daftar Pustaka Chafid Fandeli, Mukhlison, 2000. Pengusahaan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Univ. Gadjah Mada Yogyakarta.

Ihsan., Amal. Ekowisata Indonesia Terkendala Infrastruktur, Ekbis,25 Aug 2003 15:32:58 WIB, TEMPO Interaktif, Jakarta. Warta KEHATI, Lima Panduan Pengelolaan Ekowisata dan Ekowisata Berbasiskan Masyarakat, Edisi Triwulanan Oktober-Desember 1998, ISSN No. 1410-0304. Hal 4-7. Omarsaid, Cipto, Keterkaitan Lingkungan Bahari dan Ekowisata, Pusat Penelitian Kepariwisataan, Institut Teknologi Bandung, http://www. Pusat Studi Kelautan, 2002. Studi Kelautan Pelestarian Ekosistem Hutan Bakau di Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi, Laporan Penelitian. FMIPA Universitas Indonesia, Depok. Sugeng Haryoto, 2003. Perubahan Garis Pantai Kecamatan Muaragembong Kabupaten Bekasi. Skripsi. Departemen Geografi FMIPA Universitas Indonesia, Depok.

Anda mungkin juga menyukai