Anda di halaman 1dari 9

VAKSINASI RUTIN TERHADAP PERTUSIS DAN RESIKO TERJADINYA ASMA PADA ANAK: SEBUAH PENELITIAN KOHORT BERDASARKAN-POPULASI Ben

D. Spycher, MSc, Michael Silverman, MD, Matthias Egger, MD, MSc, Marcel Zwahlen, PhD, MSc, Claudia E. Kuehni, MD, MSc ABSTRAK LATAR BELAKANG. Pada negara-negara industri, cakupan vaksinasi selalu suboptimal, sebagian disebabkan karena persepsi adanya peningkatan resiko terjadinya asma. Penelitian-penelitian epidemiologis tentang hubungan antara vaksinasi anak dan asma menghasilkan kesimpulan yang bertentangan, yang disebabkan karena beberapa alasan, seperti data vaksinasi yang tidak reliabel, bias pelaporan, dan kausa yang terbalik. Sebuah ulasan terbaru menekankan perlunya suatu penelitian lanjutan, berskala-besar yang cukup terkontrol. TUJUAN. Tujuan kami adalah untuk menentukan apakah vaksinasi rutin terhadap pertusis berhubungan dengan terjadinya gangguan mengi pada anak dan asma menggunakan suatu penelitian kohort dengan populasi-besar. METODE. Pada 6811 anak-anak dari populasi umum yang lahir antara 1993 sampai 1997 di Leicestershire, Inggris, dikumpulkan data-data gejala respiratorik menggunakan survei pertanyaan berulang sampai pada tahun 2003, dan kemudian dihubungkan secara independen dengan data vaksinasi dari database National Health Service. Kami membandingkan kejadian mengi dan asma antar berbagai status vaksinasi anak (lengkap, parsial, dan tanpa vaksinasi terhadap pertusis) dengan menghitung rasio hazard. Analisis ini didasarkan terhadap 6048 anak-anak, 23 201 tahun-perorangan follow-up, dan 2426 kasus mengi onset-baru. HASIL. Tidak ada bukti peningkatan resiko mengi maupun asma pada anak-anak yang tervaksinasi terhadap pertusis bila dibandingkan dengan anak-anak non-vaksinasi. Rasio hazard yang membandingkan anak-anak vaksinasi lengkap dan parsial terhadap anak-anak non-vaksinasi menghasilkan nilai mendekati satu, baik untuk insidensi mengi maupun asma. KESIMPULAN. Penelitian ini menunjukkan bukti tidak adanya hubungan antara vaksinasi pertusis pada masa bayi dengan peningkatan resiko terjadinya mengi atau asma di kemudian hari, serta tidak mendukung pernyataan yang menyebutkan bahwa vaksinasi terhadap pertusis dapat meningkatkan resiko asma pada anak secara signifikan. Pediatrics 2009;123:944-950. Meskipun dokumentasi ilmu kesehatan masyarakat menunjukkan pentingnya vaksinasi pada anak, namun cakupan populasi yang tidak mencukupi kadangkala menyebabkan munculnya wabah penyakit yang-seharusnya dapat dicegah.1-3 Ketakutan terhadap keamanan vaksin merupakan alasan yang

paling sering disebutkan oleh para orang tua yang menolak vaksinasi. 4,5 Salah satu masalah penting adalah adanya kemungkinan hubungan antara vaksinasi rutin dengan resiko asma.6 Beberapa penelitian observasional melaporkan adanya peningkatan resiko asma dan penyakit atopi pada anak-anak tervaksinasi disbandingkan dengan anak-anak non-vaksinasi, terutama pada penerima vaksinasi pertusis.7-11 Penelitian lain, termasuk sebuah percobaan klinis acak,12,13 tidak menemukan atau menyebutkan suatu hubungan yang inkonklusif,14-23 sedangkan beberapa penelitian lain melaporkan bahwa vaksinasi terhadap pertusis justru melindungi tubuh terhadap atopi.24-27 Perbedaanperbedaan ini sebagian disebabkan karena bias yang muncul dalam penelitian ini. Data vaksinasi yang reliabel seringkali sulit untuk didapatkan, dan akibatnya sebagian besar penelitian menggunakan ingatan orang tua atau personal.10,11,18,20-22 Ingatan ini dapat dipengaruhi oleh efek samping yang mungkin telah dialami oleh anak tersebut. Penelitian lain menggunakan database komputerisasi secara luas dari tempattempat praktek ataupun organisasi pelayanan kesehatan.9,14,15,23 Pada penelitian-penelitian tersebut penilaian keluaran penelitian sangat tergantung pada frekuensi penggunaan sarana kesehatan, yang mungkin tidak berhubungan dengan proses vaksinasi. Selain itu, anak-anak dengan gejala alergi dini atau riwayat keluarga dengan penyakit atopi cenderung lebih jarang menerima vaksinasi, hal ini lah yang cenderung menunjukkan bahwa efek vaksinasi ini dapat merupakan suatu proses kausa terbalik. Sebuah ulasan terbaru mencatat potensi bias tersebut di penelitian-penelitian sebelumnya, dan menekankan perlunya penelitian tambahan berskala-besar terkontrol yang adekuat. Kami, secara prospektif, menghubungkan data insidensi mengi dan asma dari sebuah kohort anak berpopulasi-besar dengan data vaksinasi anak rutin, untuk menilai apakah vaksinasi terhadap pertusis berhubungan dengan terjadinya gangguan mengi dan asma. Kami memiliki informasi tentang usia onset mengi dan tanggal vaksinasi, sehingga kami dapat menghindari kemungkinan bias sebab terbalik. Lebih lanjut, sumber data vaksinasi dan hasil keluaran yang independen memungkinan kami meminimalisir kemungkinan misklasifikasi. Kami akan fokus pada vaksinasi pertusis, sebab vaksin ini merupakan vaksin yang paling sering dihubung-hubungkan dengan peningkatan resiko asma. METODE Partisipan Detail mengenai penelitian respiratorik kohort Leicester kedua telah dideskripsikan di tempat lain. 29-32 Secara singkat, kohort ini menggunakan sampel acak 8700 anak-anak berusia 1 sampai 4 tahun pada tahun 1998 (5400 berusia 1, dan masing-masing 1100 subjek berusia 2, 3, dan 4 tahun) yang berasal dari catatan Health Authority Child Health Database tentang semua anak-anak yang lahir dan hidup di Leicestershire, sebuah kota kecil di Pertengahan Inggris. Orangtua selanjutnya akan menerima kiriman kuesioner respiratorik pada tahun 1998, 1999 (hanya 4300 anak-anak dari kelompok umur termuda),

2001, dan 2003. Tingkat respon, setelah mengurangi alamat yang tidak valid, adalah 80% (6811 dari 8500) pada tahun 1998 dan 51% (4234 dari 8276) pada tahun 2003. Data Vaksinasi Data vaksinasi mencakup tipe, tanggal, dan dosis didapatkan dari Specialist Community Child Health Services, Leicester City Primary Care Trust yang mengkoordinir vaksinasi rutin anak-anak yang berdomisili di Leicestershire. Vaksinasi diberikan oleh pelayanan kesehatan primer dan dilaporkan kembali ke Specialist Community Child Health Services dan kemudian didokumentasikan secara sentral. Catatan ini diambil pada bulan Mei 2005, saat anak termuda berusia 8 tahun. Vaksin Bordetella pertussis whole-cell biasanya diberikan sebagai bagian dari trio vaksin difteri tetanus pertusis (DTP) (merk: Wellcome [London, Inggris] sebelum September 1995, dan Evans Medical [Leatherhead, Inggris] setelah September 1995), dan mulai bulan Oktober 1996 sampai seterusnya, vaksin ini merupakan bagian dari vaksin 4-komponen yang juga mencakup Haemophilus influenza tipe b (Hib) (Pasteur Mrieux, [Lyon, Perancis]). Sesuai dengan rekomendasi,33 anak-anak dijadwalkan menerima 3 dosis DTP, polio dan Hib pada usia 2, 3, dan 4 bulan, vaksinasi measles (campak), mumps (gondong), dan rubella (MMR) pada usia 13 bulan, serta booster DTP dan MMR pada usia 48 bulan setelah lahir. Kami memfokuskan diri pada vaksinasi pertusis primer dan mendefinisikan status vaksinasi sebagai lengkap (mendapatkan seluruh (tiga) dosis pertusis), parsial (mendapatkan 1-2 dosis vaksin), dan non-vaksinasi (tidak ada dosis vaksinasi yang diterima). Vaksinasi terhadap hepatitis B, pneumokokus, dan meningokokus serta varisela, pada waktu penelitian ini dilakukan, belum diperkenalkan pada bayi-bayi di Inggris. Kondisi Mengi dan Asma Informasi insidensi mengi dan asma didapatkan dari jawaban kuesioner orang-tua yang dikirim secara berulang (1998, 1999, 2001, dan 2003), dimana masing-masing kuesioner berisi perntanyaan tentang usia saat episode mengi pertama kali (dalam hitungan tahun dan bulan). Berdasarkan data dari ke-4 survei, kami mendefinisikan tanggal onset sebagai tanggal pertengahan bulan dari jawaban usia onset yang berasal dari laporan kuesioner adanya mengi yang pertama kali. Hasil keluaran primer dari analisis kami adalah onset mengi dalam seluruh derajat dan fenotipe, termasuk mengi yang hanya muncul saat infeksi viral.34,35 Kami juga mencari hasil keluaran sekunder: yakni onset mengi yang kami kumpulkan hanya bila dalam salah satu survei, ada laporan dari orang tua bahwa anak mereka terdiagnosis asma. Kondisi ini mewakili kelompok anak-anak yang secara klinis memiliki gejala penyakit yang lebih relevan. Kami menyebut hasil keluaran ini sebagai terdiagnosis asma. Faktor Perancu yang Potensial

Kami menganggap faktor-faktor yang dapat menjadi perancu hubungan antara paparan dan hasil keluaran penelitian ini adalah jenis kelamin, tahun lahir, usia ibu saat melahirkan, etnisitas (kulit putih atau Asia selatan, yang merupakan kelompok minoritas etnis lokal yang cukup dominan), jumlah saudara kandung yang lebih tua, usia kehamilan dan berat badan lahir (data diambil dari Health Authority Database), durasi pemberian ASI, orang tua tunggal, durasi edukasi purna-waktu ayah atau ibu (dengan prioritas pada ayah, bila kedua orang tua masih hidup), kepadatan penduduk sekitar, riwayat asma dan hay fever (alergi serbuk sari), riwayat ibu perokok selama kehamilan, paparan asap rokok di lingkungan, keikutsertaan dalam pusat pengasuhan anak atau pusat perawatan sehari, penggunaan pemanas sentral, penggunaan kompor gas, adanya binatang peliharaan di rumah (data dari kusioner orang tua pada tahun 1998), dan skor Townsend, yakni sebuah skor kemiskinan lokal yang diambil dari data sensus 1991.36 Analisis Statistik Kami menganggap seorang subjek penelitian berada dalam resiko penyakit mulai dari usia 4 bulan (jadwal pemberian dosis ketiga) sampai onset terjadinya mengi (kejadian) atau sampai tanggal saat kuesioner terakhir terjawab (right censoring-data berikutnya tidak diketahui). Kami mendefinisikan sebuah variabel paparan dependen-waktu yang menggambarkan status vaksinasi terkini. Maka seorang anak yang belum divaksinasi saat berusia 4 bulan pada awalnya dimasukkan ke kelompok non-vaksinasi dan kemudian diklasifikasi ulang sebagai vaksinasi parsial saat ia telah menerima dosis pertama sampai melengkapi vaksinasi primernya (3 dosis), dan pada saat ini dianggap telah tervaksinasi lengkap. Perhitungan paparan proporsional-Cox dipakai untuk mengestimasi tingkat paparan relatif yang membandingkan anak-anak kelompok vaksinasi lengkap dan parsial terhadap kelompok non-vaksinasi. Kami melakukan penyesuaian untuk variabel jenis kelamin, usia, etnisitas, serta untuk variabel-variabel perancu lain di atas, yang terbukti mempengaruhi logaritma paparan rasio hazard (HR) sebesar >2%. Sebuah strategis analisis kami yang penting adalah menyingkirkan penyebab terbalik. Pertama, onset mengi yang dini pada masa anak-anak seringkali mendorong orang tua dan dokter untuk menunda vaksinasi. Bentuk penyebab terbalik ini diatasi dengan mengeksklusi anak-anak yang memiliki onset mengi sebelum usia 4 bulan (yakni, sebelum terpenuhinya jadwal vaksinasi primer). Kedua, anak-anak dengan gejala respiratorik selain mengi, sebagai contoh batuk akibat infeksi viral, juga seringkali menyebabkan penundaan vaksinasi diluar jadwal yang direkomendasikan.33 Meskipun vaksinasi mungkin saja terlambat beberapa bulan akibat gejala flu berulang, namun penundaan ini tidak akan menunda sampai beberapa tahun. Oleh karena itu, kami melakukan analisis sekunder dengan hanya menggunakan jendela waktu 36 bulan atau lebih. Titik potong 36 bulan dipilih secara apriori dan mewakili titik potong yang telah diterima secara luas waktu untuk mendefinisi mengi onset-lambat, yakni sebuah fenotipe asma yang berhubungan dengan atopi dan prognosis jangka-panjang yang relatif buruk.34

Untuk menilai kekuatan hasil penelitian kami, kami melakukan analisis sensitivitas sebagai berikut: (1) hanya mengikutsertakan kohort lahir anak yang berusia 1 tahun pada tahun 1998 dan memiliki informasi secara detail pada tahun pertama kehidupannya; (2) hanya mengikutsertakan data dari anak-anak yang orang tuanya terbukti, dari sebuah penelitian tambahan, 32 memahami secara jelas tentang istilah mengi; (3) hanya mengikutsertakan data anak-anak yang telah berpartisipasi dalam survei awal; dan (4) menggunakan vaksin difteri, tetanus, dan MMR sebagai bahan paparan untuk mengganti vaksin pertusis. Kami menghindari paparan dari berbagai vaksin yang diberikan secara simultan karena masalah kolinearitas. Semua analisis dilakukan menggunakan perangkat lunak statistik Stata 8.2 (Stata Corp, College Station, TX). Penelitian ini telah disetujui oleh Leicestershire Research Ethics Committee. HASIL PENELITIAN Subjek Penelitian dan Cakupan Vaksinasi Dari 8700 anak-anak yang terpilih secara acak, 6811 mengikuti survei pendahuluan pada tahun 1998. Catatan vaksinasi didapatkan untuk semua subjek, kecuali pada 18 anak. Selanjutnya 156 anak juga dieksklusi karena catatan vaksinasi pertusis yang inkonsisten (Gambar 1). Dari sisa 6637 anak-anak, 6428 (96,9%) divaksinasi secara lengkap, 117 (1,8%) tervaksinasi secara parsial, dan 92 (1,4%) tidak tervaksinasi pertusis saat catatan tersebut diambil. Cakupan vaksinasi lebih rendah pada anak-anak peserta kohort yang lebih dewasa, dan pada anak-anak dengan saudara kandung lebih dari 2 (Tabel 1). Dari anak-anak yang mendapat vaksinasi pertusis lengkap (6428), 69,5% diantaranya menerima dosis vaksinasi ketiga pada bulan ke-4 sesuai jadwal, 26,6% menerimanya dalam rentang keterlambatan 3 bulan, dan hanya 3,9% yang menerimanya setelah terlambat >3 bulan. Seluruh 6637 anak-anak dengan catatan vaksinasi pertusis yang konsisten akan di-follow-up sampai rerata usia 70 bulan (nilai median: 76 bulan [kisaran: 12-122 bulan]), dan 3015 (45,4%) diantaranya melaporkan pernah mengalami serangan mengi. Dari semua yang melaporkan serangan mengi, 248 tidak mencantumkan usia saat serangan, sementara sisanya melaporkan onset usia saat terjadi mengi rata-rata 17 bulan (median: 11 bulan [kisaran: 0-114 bulan]). Anak-anak dengan onset serangan mengi sebelum usia 4 bulan, yakni saat vaksinasi pertusis primer seharusnya lengkap, akan dieksklusi (n = 341). Jadi tersisa 6048 anak-anak untuk dianalisis (Gambar 1). Hubungan Antara Status Vaksinasi dengan Insidensi Mengi Dari seluruh periode follow-up, dimulai dari usia 4 bulan, gambaran kurva Kaplan-Meier menunjukkan penurunan insidensi mengi pada anak-anak yang mendapatkan vaksinasi pertusis lengkap dibandingkan kelompk anak-anak vaksinasi parsial dan non-vaksinasi (Gambar 2A). Pada analisis periode waktu

terbatas mulai dari 36 bulan, terdapat tendensi penurunan resiko mengi onset-baru yang sama pada anakanak dengan vaksinasi lengkap, bila dibandingkan dengan kelompok anak-anak vaksinasi parsial dan nonvaksinasi (Gambar 2B). HR kasar yang membandingkan anak-anak vaksinasi lengkap dan anak-anak non-vaksinasi adalah 0,84 (tingkat kepercayaan 95% [CI]: 0,62-1,15; P = ,28) untuk seluruh periode observasi (mulai usia 4 bulan), dan 0,50 (CI 95%: 0,25-1,02; P = ,06) untuk mengi onset-lambat (insidensi pada usia 36 bulan). HR yang disesuaikan untuk 10 variabel perancu, yang membandingkan anak-anak vaksinasi lengkap dan non-vaksinasi adalah, masing-masing, 0,84 (CI 95%: 0,62-1,15; P = ,29) dan 0,54 (CI 95%: 0,26-1,10; P = ,09) untuk periode lengkap dan periode onset lambat. Nilai yang sama juga didapatkan untuk anak terdiagnosis asma, meskipun CI-nya secara umum semakin melebar yang menunjukkan jumlah kasus yang lebih sedikit. HR yang membandingkan anak-anak vaksinasi parsial dengan nonvaksinasi secara umum mendekati 1, dengan CI 95% yang lebar (Tabel 2). Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas menghasilkan nilai yang serupa. Perbandingan antara anak-anak penerima vaksinasi pertusis lengkap dengan anak-anak non-vaksinasi pertusis dalam seluruh periode observasi, mendapatkan nilai HR yang disesuaikan, masing-masing untuk insidensi mengi dan asma adalah (1) 1,03 (CI 95%: 0,66-1,63) dan 1,07 (CI 95%: 0,51-2,28) bila kami hanya memasukkan subjek yang berusia 1 tahun pada survei awal, (2) 0,86 (CI 95%: 0,52-1,44) dan 0,68 (CI 95%: 0,37-1,23) bila kami hanya memasukkan anak-anak yang memiliki orang tua yang mampu mendefinisikan mengi secara tepat, dan (3) 0,91 (CI 95%: 0,63-1,31) dan 0,92 (CI 95%: 0,55-1,55) bagi mereka yang ikut serta dalam penelitian follow-up (4906 [81%]). Apabila vaksinasi pertusis diganti dengan paparan vaksin lain, estimasi HR yang dihasilkan, masing-masing adalah (4) 0,89 (CI 95%: 0,57-1,40) dan 1,03 (CI 95%: 0,51-2,07) untuk vaksinasi difteri (hasil untuk tetanus hamper serupa dengan hasil untuk difteri), dan 0,83 (CI 95%: 0,671,03) dan 0,87 (CI 95%: 0,63-1,20) untuk vaksinasi MMR. PEMBAHASAN Penelitian kohort berdasarkan populasi-besar ini tidak menemukan bukti adanya hubungan antara vaksinasi pertusis dan kejadian mengi atau asma setelah vaksinasi. Perbandingan Dengan Penelitian Lain Temuan kami bertentangan dengan penelitian-penelitian lain sebelumnya yang melaporkan adanya peningkatan resiko asma atau penyaki atopi yang signifikan pada anak-anak yang divaksinasi pertusis.711,23

Dari penelitian-penelitian tersebut, 1 penelitian diantaranya menggunakan kelompok kontrol non-

vaksinasi berjumlah kecil, sehingga rentan sekali mengalami misklasifikasi hasil keluaran, 8 dan 2 penelitian lain menggunakan ingatan orang tua untuk menentukan paparan dan hasil keluaran, sehingga beresiko tinggi memiliki bias ingatan.10,11 Sebuah penelitian besar menggunakan data dari database kunjungan praktek umum di Inggris menemukan peningkatan resiko asma yang jauh lebih tinggi pada anak-anak yang menerima vaksinasi difteri, polio, pertusis, dan tetanus, bila dibandingkan dengan anakanak yang tidak divaksinasi.23 Namun demikian, stratifikasi menggunakan frekuensi konsultasi kesehatan tersebut justru menunjukkan bahwa asosiasi yang dihasilkan mungkin saja salah: anak-anak dengan kunjungan kesehatan yang sedikit cenderung tidak memiliki catatan diagnosis dan cenderung jarang pula divaksinasi. Penelitian lain juga mungkin saja terpengaruh oleh bias yang sama.9,14,15 Empat penelitian sebelumnya telah menemukan bukti dugaan adanya efek proteksi vaksinasi terhadap penyakit atopi. Tiga dari penelitian tersebut adalah penelitian potong-lintang dan oleh karena itu tidak dapat menunjukkan hubungan waktu antara paparan dan hasil keluaran.25-27 Serupa dengan penelitian kami, 1 penelitian menggunakan data kohort berdasarkan-populasi disertai pemisahan yang baik antara penilaian vaksinasi dan hasil keluaran. 24 Pada penelitian ini, vaksinasi pertusis dikaitkan dengan prevalensi dermatitis atopi dini dan sensitisasi alergi yang lebih rendah. Satu penelitian sebelumnya menggunakan analisis longitudinal dengan paparan dependen-waktu untuk menilai hubungan waktu antara vaksinasi dan hasil keluaran. 14 Penelitian ini, yang menggunakan set data besar dari 4 organisasi pemberi layanan kesehatan, menunjukkan insidensi diagnosis asma yang sama pada anak-anak, baik yang divaksinasi maupun yang tidak divaksinasi DTP. Tidak ada hubungan signifikan yang ditemui antara vaksinasi terhadap pertusis dan mengi atau asma, sampai usia 7 tahun para percobaan acak, terkontrol.12,13,37 Kekuatan dan Keterbatasan Penelitian kali ini telah mampu mengatasi sejumlah masalah metodologis penting. Pertama, penelitian ini menggunakan sample populasi yang cukup besar dan representative. Hal ini menghindari bias pemberian pelayanan kesehatan, yang seringkali dijumpai pada penelitian-penelitian yang menggunakan data dari pemberi layanan kesehatan. Kedua, paparan dan hasil keluaran diambil secara prospektif dan independent. Data vaksinasi dicatat sebelum dilakukan penilaian gejala dan, baik petugas database vaksin maupun para orang tua, tidak menyadari bahwa data ini akan dihubungkan. Selanjutnya pada penelitian ini tidak ada bias ingatan38 dan setiap misklasifikasi pada hasil akhir cenderung bersifat non-diferensial. Ketiga, sebuah gambaran unik penelitian kami adalah usaha untuk menghilangkan penyebab terbalik. Adanya data tanggal pemberian vaksin secara tepat memungkinkan kami untuk membuat model status vaksinasi sebagai variable dependen-waktu dan memastikan bahwa vaksinasi yang diberikan setelah onset mengi tidak akan dianalisis. Kami juga menginvestigasi hubungan antara paparan dan hasil keluaran pada

periode waktu terbatas (asma onset-lambat, dengan episode pertama pada usia >3 tahun) yang jarang dipengaruhi oleh keterlambatan vaksinasi, karena kondisi ini biasanya terjadi karena adanya prekursor gejala asma seperti batuk pada masa bayi. Yang terakhir, kami mampu meredam berbagai variable perancu yang cukup luas, termasuk beberapa indicator status sosioekonomi (SES). Keterbatasan penelitian kami antara lain adalah bahwa data hasil keluaran merupakan laporanorang tua, sehingga bisa saja terjadi misklasifikasi. Meski demikian, diagnosis asma baik secara epidemiologis maupun saat pemeriksaan klinis rutin pada umumnya didasarkan atas gejala yang dilaporkan,39 tanpa adanya pengukuran objektif sebagai standar baku emas. Hasil penelitian ini tetap tidak berubah melalui analisis sensitivitas yang hanya mengikutsertakan anak-anak dari orang tua yang memahami istilah mengi secara tepat.32 Usia saat onset dilaporkan dalam hitungan tahun dan bulan, sehingga bias ingatan mengenai ketepatan hal ini mungkin saja sangat kecil. Oleh karena itu, status vaksinasi pada saat onset mengi mungkin saja mengalami misklasifikasi pada sebagian subjek, namun misklasifikasi tersebut kecil kemungkinan dapat mempengaruhi hasil. Meskipun kohort penelitian kami berskala besar, namun jumlah anak-anak non-vaksinasi atau tervaksinasi parsial relatif kecil, sehingga menurunkan presisi estimasi efek. Yang terakhir, karena kami tidak memiliki alat ukur SES rumah tangga secara langsung, maka kami menggunakan skor Townsend, yakni sebuah indeks kemiskinan lokal yang seringkali digunakan sebagai skor alternatif. Meski demikian, kami juga memasukkan sejumlah variable SES keluarga, termasuk edukasi ayah dan ibu, orang tua tunggal, penggunaan pemanas sentral, dan penggunaan kompor gas. Meskipun tingkat partisipasi dalam penelitian kohort kami secara keseluruhan baik, namun mungkin saja terjadi kesalahan dalam penelitian kami. Untuk menilai ini, kami melakukan analisis terpisah bagi anak-anak yang ikut serta dalam survei follow-up dan menemukan bahwa hasil HR-nya lebih tinggi dan lebih mendekati satu daripada analisis anak-anak yang hanya berpartisipasi dalam survei pendahuluan. Hal ini menunjukkan bahwa HR dalam analisis utama kami mungkin lebih rendah bila kelompok anak-anak dalam survei pendahuluan tersebut di follow-up, dan ikut mempengaruhi resiko penderita. Oleh karenanya, bias akibat kesalahan ini cenderung menyebabkan underestimasi potensi efek protektif dan justru tidak menyebabkan underestimasi potensi efek yang membahayakan. Interpretasi Hasil Penelitian dan Penelitian Lanjutan Mekanisme biologis tentang bagaimana vaksinasi dini dalam hidup akan mempengaruhi perjalanan alamiah asma dan alergi masih harus diklarifikasi. Baik mekanisme yang membahayakan maupun efek proteksi, keduanya telah dihipotesiskan.40,41 Data kami tidak mendukung adanya peningkatan resiko asma yang signifikan secara klinis akibat vaksinasi pertusis, dengan tingkat kepercayaan yang mendekati satu. Estimasi HR yang membandingkan

anak-anak tervaksinasi lengkap dengan anak-anak non-vaksinasi pertusis secara konsisten di bawah 1 (Tabel 2). Maka dari itu, temuan kami menunjukkan bahwa bila vaksinasi pertusis memang mempengaruhi terjadinya asma, pengaruh yang dimiliki adalah efek protektif. Hasil kami juga menunjukkan bahwa tidak satupun vaksin lain yang diberikan bersamaan dengan pertusis (saat ini di Inggris, vaksin tersebut mencakup difteri, tetanus, polio, dan Hib) menyebabkan peningkatan insidensi asma secara signifikan, karena kami juga melakukan analisis lanjutan menggunakan beberapa vaksin. Bahkan, estimasi paparan difteri, tetanus, dan juga MMR (yang tidak diberikan secara bersamaan) memiliki hasil yang sama dengan hasil menggunakan vaksin pertusis. KESIMPULAN Penelitian kami memberikan bukti bahwa tidak terdapat hubungan antara vaksinasi pertusis pada masa bayi dengan peningkatan resiko mengi atau asma di masa selanjutnya, dan juga tidak mendukung pernyataan bahwa vaksinasi pertusis dapat meningkatkan resiko terjadinya asma anak secara signifikan.

Anda mungkin juga menyukai