Anda di halaman 1dari 6

Mengenal Post Partum Blues

rohedi/nakita B ukannya tak mungkin Anda bisa mengalaminya. Meski post-partum blues atau kesedihan pasca persalinan ini bisa diatasi, tetapi mencegah tentunya lebih baik dibanding mengobati. Ketika siuman setelah menjalani operasi caesar pasca persalinan anaknya yang kedua, entah kenapa Anita tiba-tiba disergap rasa takut, sedih, dan benci pada diri sendiri. "Kata dokter, itu normal dialami para ibu, terutama yang melahirkan lewat operasi," tutur wanita berusia 38 tahun ini. Pulang ke rumah, Anita merasa gembira. Tapi itu cuma berlangsung tiga hari. "Saya mengunci diri di kamar, menangis sesenggukan. Rasanya sedih sekali dan itu berlangsung tiap hari," ceritanya. "Rasanya hati ini kesal melulu dan maunya marah-marah atau ngambek . Persis kayak anak kecil. Padahal, semua itu bukan sifat saya." Tentu saja suaminya merasa sedih, bingung dan prihatin. Sampai lima bulan pasca persalinan, rasa sedih tetap menggayuti Anita. "Saya juga jadi pencemburu dan pemarah. Suami pulang terlambat sedikit saja, saya marah-marah dan berpikir ia main dengan wanita lain. Si sulung pun jadi korban, juga karena saya jarang mengajaknya bermain atau mengobrol." Apa yang dialami Anita, menurut Ny. Siti Dhyanti Wisnuwardhani , dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi dari Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, memang kerap dialami kaum wanita. "Mereka mengalami masalah dengan kondisi psikologisnya, kendati secara fisik berjalan normal, baik proses persalinannya maupun semua proses yang terjadi pada kandungan seperti pengecilan rahim." Berdasar penelitian, ada tiga golongan gangguan psikis pasca persalinan. Pertama, postpartum blues atau kesedihan pasca persalinan. Kedua,post-partum depression atau depresi pasca persalinan dan terakhir -puerperal psychosis atau psikosis pasca persalinan. "Kalau sudah psikosis, berarti sudah berat karena bisa bersifat menetap sampai setahun. Bahkan ada yang selalu kambuh gangguan kejiwaannya setiap pasca persalinan," jelas Dhyanti.

Dari penelitian Wratsangka pada tahun 1996 di RS Hasan Sadikin Bandung, ditemukan 33 persen wanita pasca persalinan mengalami post-partum blues . Hasil penelitian di berbagai tempat yang ditelaah Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI-RSCM menunjukkan, paling sedikit terdapat 26 persen. "Tapi ada juga satu makalah yang menyebut sekitar 80 persen," ujar Dhyanti. FAKTOR PENYEBAB Sedikitnya ada 5 faktor yang bisa memicu terjadinya gangguan psikis pasca persalinan. Pertama, masalah hubungan suami-istri dan keluarga. Jika suami kurang mengerti dan kurang mendukung istri mulai dari masa kehamilan, bersalin, sampai masa nifas di mana ibu harus mengurus bayinya, maka akan mudah terjadi gangguan. Kedua, faktor kesiapan wanita menghadapi kehamilan dan persalinan. Wanita yang belum siap untuk punya anak, apalagi kemudian ditambah lingkungannya juga belum siap, akan berisiko mengalami gangguan psikis. Begitu pun jika ia mengalami komplikasi pada kehamilan dan persalinan, seperti terjadi perdarahan yang banyak sampai harus diinfus atau bahkan dioperasi. Atau komplikasi dari bayi yang dilahirkan seperti cacat dan meninggal. Berikutnya, faktor hormonal. Setiap wanita pasca persalinan akan mengalami perubahan hormon di dalam tubuhnya. Perubahan ini diterima sebagai sesuatu yang tak mengenakkan sehingga menimbulkan gangguan. Keempat, faktor budaya. Ini bisa terjadi, misalnya, pada pernikahan yang berlainan suku atau budaya di mana ibu hamil mungkin mengalami kesulitan atau tak mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Kelima, ibu hamil memiliki riwayat gangguan kejiwaan. Dari kelima faktor di atas, yang paling sering menimbulkan gangguan ialah masalah dukungan suami-istri dan keluarga. Apa pun faktor penyebabnya, psikolog Ieda Poernomo Sigit melihat, post-partum blues berkaitan erat dengan peran dan tanggungjawab yang harus dijalankan pria dan wanita. "Sebelum menikah, mereka, kan, hanya bertanggung jawab pada diri sendiri. Nah, setelah menikah tentu harus ada perbedaan, sebab sudah ada perkembangan peran, yakni sebagai suami-istri." Jadi, lanjut Ieda, pria dan wanita harus memahami dulu, apa saja fungsi dan tanggung jawabnya sesuai peran jenis kelamin. Satu hal harus diketahui, lanjut Ieda Sigit, ibu hamil berada dalam proses adaptasi. Terutama pada kehamilan pertama. Kalau dulu ia hanya memikirkan diri sendiri, kini di dalam tubuhnya ada makhluk lain yang sangat tergantung padanya. "Jika ibu hamil tak siap betul menghadapi kehamilannya, akan timbul kegelisahan secara psikologis." kata lulusan Fakultas Psikologi UI ini.

Begitu pula setelah bayi lahir, jika ibu tak paham perannya, ia menjadi bingung sementara bayinya tetap harus diurus. "Belum lagi dia masih harus menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi pada fisiknya. Dia masih mengalami perdarahan, sesuatu yang sama sekali tak nyaman bagi dirinya. Atau cemas menghadapi perutnya yang berubah setelah melahirkan, apakah kelak bisa kembali seperti dulu lagi. Begitu juga soal berat badan yang bertambah selama kehamilan, apakah bisa turun lagi dan kembali langsing seperti dulu." papar Ieda Nah, menurut Ieda, jika wanita tak siap mental, tak cukup matang menghadapi itu semua, timbullah post-partum depression . "Apalagi jika selama kehamilan sampai melahirkan, suami tak mendukung sehingga dia sendiri yang harus menanggung semuanya. Suami tak mau tahu dan menganggap mengurus bayi semata-mata pekerjaan wanita sementara istri membutuhkan bantuannya. Akibatnya, istri bisa saja mengembangkan perasaan-perasaan negatif, merasa anaknya menjadi beban, menjadi penghalang hubungan dia dengan suaminya. Kebencian ini bukan hanya terhadap anak tapi bisa juga pada suami," papar Ieda Sigit. Oleh sebab itu, anjur konsultan perkawinan ini, "Pria dan wanita harus menyiapkan diri sejak jauh-jauh hari bahwa dalam siklus kehidupan, suatu waktu nanti akan sampai pada titik menjadi seorang istri atau suami, menjadi ayah dan ibu." GEJALA DAN TINDAK MENGATASI Post-partum blues bisa terjadi pada hari-hari pertama pasca persalinan dan umumnya akan membaik dengan sendirinya dalam beberapa jam atau beberapa hari. Tapi umumnya terjadi setelah pasien pulang dari rumah sakit, sekitar dua minggu atau lebih setelah melahirkan. Gejalanya antara lain, sering sedih, mudah menangis, merasa tak berdaya dan tak mampu mengatasi masalah terutama dalam merawat bayi, sulit tidur (padahal istirahat penting sekali bagi wanita pasca persalinan), tak selera makan, berat badan turun, dan tak ada kemampuan yang cukup atau kurang mampu untuk menilai diri sendiri. "Mereka yang mengalami post-partum blues , terutama pada kelahiran pertama, umumnya tak menyadari apa sesungguhnya yang sedang terjadi pada dirinya. Tiba-tiba saja merasa sedih, menjadi murung atau menangis," tutur Dhyanti. Dengan demikian, harus ada orang lain yang mengerti dia, membantunya untuk memahami mengapa ia berperilaku seperti itu, sekaligus mengatasinya. Kalau tidak, kesedihan yang dialaminya akan membuatnya depresi, yang akhirnya menjadikannya psikosis. "Jika wanita bersangkutan sudah memiliki pengetahuan tentang post-partum blues , akan lebih mudah untuk mengatasinya. Minimal, ia sudah mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Mungkin ia akan membicarakannya dengan suaminya dan kemudian bersama-sama berusaha untuk mengatasinya," lanjut Dhyanti. Kecepatan mendeteksi gejala yang diikuti

segera dengan upaya mengatasi, akan membuat yang bersangkutan bisa cepat pulih kembali. Anita yang di atas sangat bersyukur karena suaminya sangat mengerti dan memahami kondisinya. Begitu pun ibu mertuanya. "Suami saya akhirnya banyak tinggal di rumah dan mengendalikan bisnisnya dari rumah karena mengkhawatirkan saya. Ibu mertua, yang sering datang meski saya cuekin, malah semakin sering datang. Dengan lembut ia mengajak saya bercakap-cakap walaupun saya lebih sering berdiam diri dan tak menjawab pertanyaannya." Berkat kesabaran dan pengertian suami dan ibu mertuanya, serta bantuan dokter keluarga dan konselor, akhirnya Anita terbebas dari perasaan-perasaan yang mengganggunya hampir setahun lamanya. "Sekarang saya merasa benar-benar telah sembuh dari depresi saya. Saya bahagia melihat kedua anak saya yang lucu. Tak ada lagi kecemasan yang bisa membuat saya sedih tak karuan". Tentu saja, sebagai seorang ibu, kekhawatiran terhadap perkembangan anaknya sesekali muncul. "Benar kata konselor saya, semakin kita menekan depresi kita, semakin lama dia bercokol. Yang benar ialah, membiarkan depresi itu, namun dengan dukungan orang-orang tercinta di sekitar kita, depresi itu akan hilang," katanya dengan wajah ceria. Beruntunglah Anita. Sebab, seorang ibu yang mengalami post-partum blues tentunya tak bisa optimal dalam merawat bayinya, sehingga perlu bantuan orang lain. Ini tentunya bukan sesuatu yang terbaik bagi tumbuh-kembang anak. Apalagi kalau kemudian ibu jadi membenci bayinya, merasa terbebani dengan kehadirannya. Padahal, seperti dituturkan Ieda Sigit, para ahli mengatakan, begitu anak lahir diperlukan minimum 18 bulan bagi ibu untuk belajar mencintai anaknya dan anak belajar menerima cinta ibu serta membalasnya sampai terjadi hubungan erat antara keduanya. "Sikap penolakan ibu terhadap bayi merupakan bibit tak sehat untuk hubungan ibu-anak nantinya, maupun tumbuh-kembang anak selanjutnya," tukas Ieda Sigit. "Anak bisa mengalami gangguan dalam perkembangan tingkah laku, intelektual, dan emosi," sambung Dhyanti. PERAN SUAMI Ieda Sigit membenarkan, betapa penting peran lingkungan, terutama suami, sejak kehamilan sampai kelahiran. "Dalam perkawinan, suami-istri merupakan satu kesatuan yang tak bisa lepas satu sama lain. Meski yang hamil adalah istri, tapi suami jangan lupa bahwa yang berada di kandungan istrinya berasal dari dia, miliknya juga. Dia pun harus ikut aktif menjaga kehamilan itu. Dia bisa membantu mengingatkan istrinya tentang apa yang harus dimakan agar bayi yang dikandungnya bertumbuh-kembang sehat, mengingatkan istrinya tentang apa yang boleh

dan tak boleh atau yang sebaiknya tak dikerjakan selama kehamilan, ikut mendengarkan konsultasi dengan dokter tentang apa yang terjadi pada kehamilan istrinya, dan sebagainya," papar peminat masalah perkawinan, wanita, keluarga dan anak ini. Dhyanti pun sependapat. "Suami harus mempelajari kondisi fisik dan psikologis istri hamil sehingga bisa membantu dan mendukung istrinya agar lebih percaya diri," ujarnya. Ini bisa dilakukan dengan banyak membaca dan menyaksikan tayangan TV yang mengupas masalah-masalah seputar kehamilan serta persalinan. "Biasanya pengetahuan istri tentang hal itu lebih banyak, karena ia yang mengalami kehamilan pasti terus berusaha mencari tahu tentang dirinya. Minimal suami memiliki pengetahuan yang sama dengan istri. Kalau tidak, bagaimana ia bisa menolong istrinya?" kata dokter yang berpraktek di RSB Yayasan Pemeliharaan Kesehatan dan Klinik Spesialis Dr. Moegni ini. Menjelang proses persalinan, lanjutnya, suami juga harus berusaha mencari tahu tentang apa yang terjadi pada istri, tindakan-tindakan apa saja yang dilakukan dokter, dan apa akibatnya terhadap istri maupun kehamilannya. "Sampaikan semua itu kepada istri dan beri dukungan sehingga ia tenang dan siap menghadapinya," ujar Dhyanti. Selain itu, lanjut Ieda Sigit, suami adalah calon ayah dari anak yang dikandung istrinya. Seorang calon ayah yang keuangannya terbatas, misalnya, akan memilih berhenti membeli rokok dan membeli makanan bergizi untuk istrinya, karena dia tahu persis janin itu lebih membutuhkan. Bahkan, tak jarang seorang calon ayah menambah pekerjaannya atau menjadi lebih giat dalam mencari uang, agar bayinya terjamin sejak dari kandungan maupun ketika sudah lahir. "Jadi, suami tak bisa melepaskan diri begitu saja pada waktu istrinya hamil, maupun setelah anaknya lahir," tukas pembicara di banyak seminar ini. TINDAK PENCEGAHAN Baik Dhyanti maupun Ieda sam-sama berpendapat, post-partum bluesdapat dicegah. "Bahkan, yang punya riwayat gangguan kejiwaan pun bisa dicegah agar tak mengalaminya. Yakni dengan mendeteksi ada-tidak riwayat gangguan kejiwaan saat melakukan pemeriksaan kehamilan, dan suami jangan menambah dengan hubungan yang kurang baik," kata Dhyanti. Tindak pencegahan lainnya, suami-istri berusaha menjaga agar tak terjadi konflik yang membuat perkawinan menjadi kurang harmonis, menyiapkan diri sebelum memutuskan untuk punya anak, dan melengkapi diri masing-masing dengan pengetahuan tentang kehamilan maupun persalinan (termasuk pengetahuan tentang tumbuh-kembang bayi). Selain itu, Ieda Sigit menegaskan, setiap orang harus menghayati jati dirinya sebagai pria atau wanita. Sebab, dari penghayatan itulah dia dapat mengembangkan dan menerima peran-perannya nanti, dan dapat belajar mencintai bayi. "Wanita berkepribadian matang,

dalam arti dia siap dengan kehamilan dan kelahiran, biasanya tak akan mengalami gangguan psikis pasca persalinan," katanya. Bahkan, jika suami atau lingkungannya tak mendukung, dia juga bisa terhindar dari gangguan psikis pasca persalinan karena dia tahu akan fungsi dan tanggungjawabnya sebagai seorang ibu. "Jadi, terima dulu peran Anda karena itu adalah sesuatu yang terberi. Terima, hayati, siapkan diri, lalu jalani. Jika Anda mengalami kegelisahan, ingatlah, Anda tak sendiri. Begitu banyak perempuan lain yang juga melahirkan, dan tidak apa-apa," nasehat Ieda Sigit. Tindak pencegahan lain yang dapat dilakukan, hindari pekerjaan atau kegiatan tak penting. "Jangan sampai merasa sangat lelah. Istirahat yang cukup dapat mencegah terjadinya gangguan emosional," ujar Dhyanti. Memilih dokter kandungan atau bidan yang tepat, juga perlu dipertimbangkan. Sebab, tak semuanya mampu menyediakan banyak waktu untuk mendengarkan keluhan pasien. Bahkan, ada dokter kandungan yang tak mengizinkan suami mendampingi istri selama pemeriksaan kehamilan.

Anda mungkin juga menyukai