Anda di halaman 1dari 5

NEGERI SEJAHTERA Oleh Bulqia Masud

Jam dinding telah berdetak 12 kali. Asdar tak jua mengatupkan matanya. Pikirannya kalut. Berbaur gelisah dan rasa sedih yang seolah-olah bermain dalam otak dan hatinya. Esok adalah hari terakhir pendaftaran di perguruan tinggi favoritnya. Namun, ia tak tahu harus berbuat apa. Asa terlalu jauh di pelupuk matanya. Bayangan kegagalan begitu dekat. Lebih dekat dari bayangan dirinya sendiri. Indo hanyalah seorang penjual kue biasa. Yang setiap hari menjajakan kuenya di kompleks perumahan. Sementara Ambo hanyalah seorang tukang ojek, yang sering sakit-sakitan. Mereka tak mampu membiayai uang kuliah Asdar. Pun uang pendaftaran masuk ke perguruan tinggi itu. Ya, pendidikan di negerinya terlalu mahal. Orang miskin tak dapat berkuliah di perguruan tinggi yang ternama dan berkualitas. Karena semuanya harus memakai uang yang tak sedikit. Padahal Asdar adalah anak yang cerdas. Ia sering juara kelas. Dan ia meraih nilai tertinggi di ujian nasionalnya. Malam itu, jendela Asdar tiba-tiba terbuka karena hembusan angin yang cukup keras, menghantam jendela itu hingga terbuka tertutup. Berkibas-kibas. Dindingnya hampor roboh. Malam yang dingin, angin malam menusuk kulitnya seperti duri. Angin malam dengan hawa yang berbeda. Assalamu alaikum, kawan! seseorang tiba-tiba muncul di hadapan Asdar. Siapa kau? Tanya Asdar yang seketika kaget. Kenalkan, aku Ahmad. Ucap laki-laki itu dengan senyum ramah. Ia seusia dengan Asdar. Kenapa kau bisa ada di sini? Ya, karena jendelamu terbuka. Jadi aku masuk saja. Maksud saya darimana kau berasal? Aku dari negeri sejahtera. Negeri apa itu? Aku tak pernah mendengarnya? Asdar masih tak percaya. Ia seperti mimpi. Negeri yang kau impikan. Negeriku sangat sejahtera dan damai. Mana ada negeri yang seperti itu? Tak ada satu pun negeri yang sejahtera lahir batin di dunia ini?

Aku tak tinggal di duniamu sekarang. Aku berasal dari masa depan. Aku kemari untuk melihat bagaimana tempat yang kau tinggali. Katanya, tempatmu ini sangatlah kacau. Carut-marut. Itu yang terdengar di negeriku. Ternyata benar. Negerimu memang benar sangat kacau. Ah, kau tak nyata. Mana ada negeri masa depan. Aku tak percaya padamu. Kau tak percaya. Akan kuajak ke negeriku. Kau mau? Apa tak lama? Memang kenapa? Besok, aku harus memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang. Aku harus mendaftar di perguruan tinggi. Aku tak punya banyak waktu lagi. Tidak akan lama. Hanya sebentar. Dan kau pasti terkagum dengan negeriku. Baiklah, aku ikut. Tiba-tiba saja Asdar sudah berada di rumah Ahmad. Ya, rumahnya sederhana. Ini bukan negeri dongeng yang ada di kepala Asdar. Yang didiami kurcaci atau hewanhewan yang bisa berbicara. Kondisinya sama seperti negeri Asdar. Hanya saja negeri Ahmad benar-benar tenang dan damai. Ahmad, ini rumahmu? Ya. Aku pikir kau membawaku ke negeri dongeng. Ternyata negerimu tak jauh beda dengan negeriku. Kau pikir aku ini makhluk kurcaci. Aku ini manusia. Sama sepertimu. Aku ingin jalan-jalan. Aku ingin lihat bagaimana kau melewatkan pendidikan di negerimu. Ya, aku memang ingin mengajakmu ke sekolah dan kampusku. Jadi kau sudah kuliah? Ya, thats right. Jadi penasaran!!!

*** Pagi itu, suasana cerah di negeri sejahtera. Tak kan kau temui perempuan bebas berkeliaran. Hanya beberapa, itu pun mereka berhijab. Semua orang akan tersenyum jika bersua. Tak ada kejahatan. Semuanya aman.

Apa di negerimu ini menggunakan syariah islam? Yup, tepat sekali. Wow, aku baru merasakan tinggal di negara islam. Di negaraku semuanya terasa utopis. Syariah islam sangat jauh dari cita-cita masyarakat. Karena mereka belum tahu kalau syariah islam itu menyejahterakan. Mereka hanya mengaggap syariah islam itu hukum yang kejam,yang tak berprikemanusiaan. Ini sekolahmu Ahmad? Ya, masih SMA dulu. Bagus. Fasilitasnya banyak. Semua ini gratis lho. Benar?? Yup. Tak ada sedikit pun pungutan. Pemerintah kalian dapat uang darimana? Di negeraku saja anggaran pendidikan sangatlah rendah. Hanya SD saja yang gratis. SMP hingga perguruan tinggi biayanya mahal. Anggaran untuk pendidikan di negeriku cukup tinggi. Karena pemerintah kami sangat memerhatikan pendidikan. Ya, untuk modal sumber daya manusia. Negaraku sudah memproduksi mobil sendiri dan ponsel sendiri. Beberapa juga alat elektronik lain. Kalau masalah pemerintah dapat darimana, ya setahu saya sih kebanyakan dari sumber daya alam. Jadi kami mengelolanya sendiri. Tidak diserahkan pada pihak asing. Ini sih mirip pesantren. Perempuan dan laki-laki terpisah. Semua siswa perempuan juga menutup aurat ya? Ya. Sekolah ini seperti pesantren kalau di negaramu. Dan sistem seperti ini sangat efektif. Tak ada interaksi dengan wanita. Negaramu sangat amburadul. Aku kasihan melihat remaja wanita udah hamil, aborsi, sampai punya anak. Narkoba merajalela, free sex apa lagi. Tawuran marak. Mau jadi apa generasi seperti itu? Ya, aku juga kasihan. Bahkan banyak anak yang putus sekolah lantaran tak memiliki biaya. Padahal banyak juga lho dari mereka yang pintar. Sayang kan, mengurangi generasi yang sebenarnya bisa memajukan negaraku. Kalau di negaraku ini, hampir tak ada yang putus sekolah. Karena pemerintah terjun langsung mendata siapa yang gak sekolah. Trus mereka dibiayai sampai selesai.

Atau mereka bisa langsung mendaftar di sekolah yang mereka inginkan tanpa pungut biaya administrasi atau registrasi. Semuanya gratis. Kalau gak lulus gimana? Kan masih banyak sekolah lain. Semua sekolah di sini bagus kok. Siswa-siswi di sini tidak mengikuti budaya barat ya? Semuanya terlihat indah dan rapi. Menyejukkan. Semua siswanya kok nurut ya? Di negaraku sih, ya kita belajar agama juga. Tapi tetap aja tuh. Ya, bedalah. Disini itu pelajaran agama menjadi pelajaran yang paling utama. Kalau di negerimu hanya sekali seminggu. Disini setiap saat harus memerhatikan agama. Dan membawa ajaran agama dalam setiap pelajaran lain. Intinya, semua siswa di negara ini sudah diajari dengan akidah. Mereka dibangun dulu dengan penjernihan akidah. Jadi, semuanya berjalan dengan baik karena dibangun dengan akidah yang mantap. Pokoknya, tak ada free sex, narkoba, tawuran, hura-hura mengikuti gaya barat, dan hedonis seperti di negaramu. *** Wow, universitasmu besar. Kok cowok semua? Ya, karena ini memang area cowok. Sama aja kayak tadi, terpisah. Cuma gak pake seragam kayak di SMA. Tapi mahasiswinya juga menutup aurat. Gimana dengan sistim pendidikannya? Kita sinergikan antara teori dan praktik. Jadi, sudah banyak mahasiswa yang mampu menghasilkan sesuatu. Contohnya? Untuk jurusan teknik. Rata-rata mereka udah menghasilkan teknologi berupa benda. Saya sendiri jurusan arsitektur. Jadi nantinya mencoba mendesain sebuah bangunan. Tapi, sekarangkan masih baru. Jadi, teorinya dipermantap dulu. Masuk perguruan tinggi gratis juga? Yup. Pokoknya semuanya gratis. Wow, aku mau kuliah di sini aja deh. Di negaraku susah masuk perguruan tinggi favorit. Tapi, gimana dengan nasib keluargaku. Kamu kan gak terdaftar sebagai warga negara di sini. Iya, lagian aku gak mungkin ninggalin Indo dan Ambo. Yup. Keputusanmu benar.

Ahmad, sebenarnya kamu ini nyata gak sih? Ngawur kamu. Ya, ialah. Tapi, mana ada orang datang dari masa depan. Lha, buktinya aku. Waduh, Ahmad, besok itu hari terakhir ngedaftar di universitas favoritku. Aku harus cepat pulang. Aku harus pinjam uang buat biaya masuk kuliahku. Gimana caranya pulang? *** Jam dinding berdetak lima kali. Adzan subuh tengah berkumandang. Asdar kini terbaring di kasur lusuhnya. Ahmad, dimana dirimu? Asdar terbangun dari tidurnya. Huf, tadi itu apa ya. Mimpi? Tapi, seperti nyata. Ah, gak masuk akal. Cuma mimpi belaka. Asdar melihat ke jendela tempat Ahmad nongol. Namun, jendela tertutup rapat, terkunci, dan tak ada angin yang kencang. Asdar segera menunaikan sholat subuh. Karena ia harus pergi meminjam uang di pamannya. Usai sholat subuh, ia merapaikan kasurnya. Tiba-tiba ia menemukan sesuatu. Amplop coklat terbungkus dengan rapi. Padahal sebelum ia tidur tak ada sesuatu pun yang ada di kasurnya itu. Asdar meraih amplop itu. Tak ada tanda-tanda apapun. Ia kemudian membalikkan amplop itu. Dari teman masa depanmu, Ahmad. Semoga ini bisa bermanfaat. Dan kuharap kita bisa bertemu lagi. Asdar terkejut dan tersenyum sumringah, Ahmad memang benar nyata. Ia membuka amplop itu, dan ternyata berisi beberapa lembar uang. Asdar berucap syukur. Ia bahagia. Ia tak perlu meminjam uang ke siapapun. Ahmad menjadi penolong yang dikirim Tuhan untuknya. Terima kasih Ahmad. Aku pun berharap kita bisa bertemu lagi. Aku ingin menyampaikan rasa terimakasihku secara langsung di hadapanmu.

Ket: Indo (ibu) dan Ambo (Ayah) dalam bahasa bugis.

Anda mungkin juga menyukai