Anda di halaman 1dari 2

Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional

Marilah kita awali dengan bahasan mengenai tempat hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di dalam rezim hukum hak asasi manusia internasional, sebelum kita memasuki bahasan pokok tulisan ini. Tidak berbeda dengan hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan bagian yang esensial dalam hukum hak asasi manusia internasional; bersama-sama dengan hak-hak sipil dan politik ia menjadi bagian dari the international bill of human rights. Sebagai bagian dari international bill of human rights, kedudukan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dengan demikian sangat penting dalam hukum hak asasi manusia internasional; ia menjadi acuan pencapaian bersama dalam pemajuan ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak dapat ditempatkan di bawah hak-hak sipil dan politik - sebagaimana telah dikesankan selama ini. Pengikatan terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu diwujudkan dengan mepositifikasikan hak-hak tersebut ke dalam bentuk perjanjian multilateral (treaty). Rumusannya tertuang dalam Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang dalam bahasa aslinya dikenal dengan Covenan on Economic, Social and Cultural Rights (selanjutnya disingkat CESCR), yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1966 bersama-sama dengan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Kedua kovenan ini memang dilahirkan secara bersamaan, sebagai bentuk kompromi dari pertentangan pada saat perumusannya ketika itu.4 Negara-negara yang telah menjadi pihak pada Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya itu, dengan meratifikasinya, hingga kini telah berjumlah 142 Negara.5 Tingginya tingkat ratifikasi terhadap kovenan ini menunjukkan, bahwa kovenan ini memiliki karakter universalitas yang sangat kuat. Karena ia telah diterima oleh lebih dari seratus negara. Sebagian ahli hukum hak asasi manusia internasional menganggap, perjanjian dengan karakter yang demikian ini, telah memiliki kedudukan sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional (international customary law);6 ia mengikat setiap negara dengan atau tanpa ratifikasi. Indonesia sampai sekarang belum menjadi pihak dari perjanjian multilateral itu. Padahal seperti diketahui, pada masa di bawah pemerintahan Orde Baru, Indonesia lah yang paling vokal berbicara mengenai pentingnya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di forumforum internasional untuk mematahkan tuduhan organisasi-organisasi hak asasi manusia internasional atas keadaan hak asasi manusia di Indonesia. Sering kita dengar argumen pejabat tinggi Indonesia ketika itu, yang mengatakan bahwa Indonesia lebih mendahulukan hak-hak ekonomi ketimbang hak-hak politik. Slogannya ketika itu adalah: pembangunan ekonomi yes!, kebebasan politik no!. Atas dasar pandangan ini, rejim Orde Baru lalu memasung kebebasan politik warga negaranya; buruh, petani, mahasiswa dan seterusnya tidak boleh berorganisasi secara bebas dan independen. Kenyataannya, apa yang kita saksikan sekarang, pemasungan kebebasan politik tersebut tidak berhubungan dengan retorika rejim Orde Baru untuk memajukan dan menegakkan hakhak ekonomi, sosial dan budaya. Justru sebaliknya, pemasungan kebebasan politik itu, telah berakibat pada semakin memburuknya perlindungan terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

Pembahasan dari sudut legal ini menunjukkan betapa kuatnya kedudukan hakhak ekonomi, sosial dan budaya. Ia berkedudukan sama dengan hak-hak sipil dan politik. Tetapi persepsi atau pandangan yang berkembang mengenainya menunjukkan realitas yang lain, yakni memposisikannya dalam kedudukan yang tidak berimbang dengan hakhak sipil dan politik. Marilah kita periksa bagaimana persepsi umum tersebut. Narasumber
4

Pada saat perumusannya, para perancangnya berupaya merumuskan sebuah international bill of human rights, yang mencakup kedua kategori hak tersebut. Bukan memisahkannya ke dalam dua kovenan. Tetapi karena pertentang politik pada saat itu, yang berada dalam tmosfir Perang Dingin, akhirnya dipisahkan menjadi dua kovenan. Uraian ringkas mengenai ini dapat dibaca dalam Thomas Buergental, International Human Rights in A Nutshell (Wset Publising Co, 1995). Menurut data ratifikasi yang dikeluarkan PBB, hingga tanggal 15 Juni 2000 CESCR telah diratifikasi oleh 142 Negara dan ditandatangani oleh 61 Negara. Cina merupakan negara yang terakhir (tgl 27 Oktober 1997) membuat ratifikasi terhadap kovenan ini. Lihat, Millenium ummit Multilateral Treaty Framework (New York: United Nations, 2000). Argumen seperti ini diajukan dan dipertahankan oleh, di antaranya, yang paling vokal adalah Prof. Lois B. Sohn dan Browlie. Lihat Lois B. Sohn & T. Buergental, International Protection of Human Rights, 1973; dan Ian Browlie, Principles of Public International Law (New York: Oxford University Press, 1990).

Anda mungkin juga menyukai