Anda di halaman 1dari 34

COPD: Manifestasi Klinis, Diagnosis, dan Pengobatan

Dalam perkembangan pengetahuan terhadap Chronic obstructive pulmonary disease (COPD), komite Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) berkolaborasi dengan National Heart Lung and Blood Institue Amerika Serikat (NHLBI) dan World Health Organization (WHO) membuat defenisi COPD. Dulu, COPD didefinisikan sebagai obstruksi jalan nafas yang tidak mengalami reversibel sepenuhnya dan penyakit ini disebabkan oleh bronkitis kronik atau emfisema (1). Bronkitis kronik secara klinis didefiniskan sebagai terjadinya batuk produktif selama 3 bulan dalam jangka waktu 2 tahun dan tidak disebabkan oleh penyakit yang lain, sedangkan emfisema secara patologis didefiniskan sebagai perluasan abnormal permanen ruang udara bronchial distal hingga bronchial terminal, disertai dengan kerusakan dinding paru tanpa adanya fibrosis yang nyata (2,3). Karakterisasi sebelumnya ini secara konsepsual adalah kurang tepat karena COPD adalah kombinasi dari parameter fisiologi, obstruksi jalan nafas, dengan kedua keadaan klinis emfisema dan bronchitis dan kriteria patologis emfisema. Selain itu, kebanyakan individu dengan COPD menderita bronkiolitis obstruksi jalan nafas yang mengurangi elastisitas paru dan hilangnya jalan nafas karena obstruksi parenkim dari emfisema yang keduanya dapat menyebabkan keterbatasan jalan nafas. Tahun 2001 GOLD merevisi dan menekankan bahwa COPD merupakan suatu penyakit inflammatory aktif jalan nafas yang dibedakan dengan asma dan bukan hanya karena manifestasi kerusakan tulang progresif akibat akumulasi efek toksis merokok. GOLD mendefiniskan COPD sebagai suatu keadaan penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak reversible sepenuhnya. Keterbatasan aliran nafas biasanya berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru karena partikel atau gas beracun (4). Obstruksi aliran udara dari asma dipercaya karena pathogenesis berbeda, khususnya diekslusikan dari defenisi COPD, kecuali pada kasus asma berulang dengan remodeling jalan nafas atau ketika kedua penyakit diatas berada sekaligus pada seseorang.

Epidemiologi Di Amerika Serikat, The Third National Health and Nutrition Examination Survey (NHASNES III), dari tahun 1988-1994 menemukan bahwa prevalensi obstruksi aliran udara (didefinisikan sebagai Forced Expiratory Volume dalam 1 detik (FEV1). Forced capacity (FVC) < 0,70) pada laki-laki berkulit putih menjadi 14,2& diantara semua perokok, 6,9% diantara bekas perokok, dan 3,3% diantara orang yang tidak pernah merokok. Diantara perempuan berkulit putih, prevalensi data adalah 13,6%, 6,8% dan 3,1%. Tingkat prevalensi obstruksi aliran udara adalah sama, tetapi lebih rendah pada laki-laki dan perempuan berkulit hitam (5). Temuan penting dari

NHANES III adalah perluasan signifikan terhadap obstruksi aliran udara kronik yang banyak disalahdiagnosakan (underdiagnosis) di Amerika Serikat. Lebih dari 70% pengamatan individu yang mendemonstrasikan keterbatasan aliran udara tidak mempunyai diagnosis penyakit paru obstruktif. Bahkan diantara orang dengan FEV1 dibawah 50% , lebih dari 45% tidak membawa diagnosis penyakit obstruksi paru dalam NHANES III (6). Lebih banyak fakta yang menyatakan bahwa perawatan dasar dokter melanjutkan untuk penyalahgunaan spirometry dan bahwa keberadaan bias gender yang menghasilkan peningkatan underdiagnosis diantara wanita (7). Prevalensi COPD diseluruh dunia tahun 1999 diperkirakan oleh WHO/World Bank Global Burden of Disease sebanyak 9,34 per 1000 pada laki-laki dan 7,33 per 1000 pada laki-laki, dan banyak ahli percaya bahwa data-data ini bersifat underestimated (dibawah perkiraan) dari prevalensi sebenarnya (8). Kematian yang disebabkan oleh COPD diantara laki-laki Amerika tahun 2000 adalah 82,6 per 100.000 diantara wanita adalah 5,67 per 100.000. Walaupun jumlah kematian pada wanita adalah relative lebih stabil, tetapi untuk pertama kalinya pada tahun 2000 kematian karena COPD lebih banyak daripada laki-laki (9). Berdasarkan data pengeluaran karena COPD di Amerika Serikat pada tahun 2000 mencapai 0,4 triltun (11). Walaupun COPD meningkat di Amerika Serikat, COPD mendapatkan bantuan dari Institusi Nasional Kesehatan dibandingkan penyakit lainnya dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah (12).

Faktor Resiko COPD Rokok telah dikenal sebagai penyebab COPD yang paling penting. Faktor lingkungan lainnya termasuk: pipa rokok, debu dan paparan kimia seperti polusi udara karena penggunaan biomas dari memasak atau pemanasan karena ventilasi yang tidak adekuat. Host yang beresiko tinggi mengalami COPD termasuk hyper responsif terhadap methacholine berat badan lahir rendah. Saat ini, faktor resiko genetik adalah defisiensi 1-antitrypsin herediter (AAT) yaitu sekitar 1% dari seluruh jumlah penderita COPD. Faktor genetik lainnya disebabkan karena onset cepat COPD dan perbedaan ras dalam prevalensi onstruksi aliran udara. Faktor genetik yang berhubungan dengan perkembangan COPD adalah menurunnya fungsi paru yang berkembang cepat yang jumlahnya semakin banyak beberapa tahun belakangan ini. Ini memerlukan penelitian molekular (14). Harapannya adalah bahwa inflamasi spesifik dan jalur proteolitik emfisema dengan tujuan utamanya adalah menemukan target terapi untuk COPD (15).

Tabel 12.1 Faktor Resiko COPD Lingkungan Merokok Keterkaitan host Hiperresponsif jalan nafas

Polusi udara dalam ruangan dari bahan Factor genetic bakar biomass yang digunakan dengan ventilasi yang tidak adekuat Debu dan bahan kimia Pipa rokok Infeksi HIV (118) Polusi diluar ruangan Penggunaan (methylphenidate, obat methadone, intravena bedak Defisisensi -1 antitrypsin herediter berat Berat badan lahir rendah Ibu yang merokok selama hamil

granulomatosis (119, 120)

Patofisiologi COPD COPD adalah kondisi progresif yang dikarakterisasikan dengan inflamasi jalan nafas mukosa yang berhubungan dengan hipertrofi kelenjar mukus, hyperplasia sel goblet, destruksi septa alveolar dengan reduksi permukaan area difusi (1). Reaksi inflamasi neutrofil dapat ditemukan pada jalan nafas mukosa dan submukosa sebagai kebalikan terhadap reaksi limfositik yang ditemukan pada asma (4). Terjadi mukus intraluminal dan hipertrofi jalan nafas pada sel otot polos. Reaksi inflamasi yang terjadi adalah tidak spesifik dan keadaan ini dapat dilihat pada kondisi lainnya seperti bronkiektasis dan cystic fibrosis. Diameter bronkiol respirasi (<2mm) adalah yang secara nyata mengalami fibrosis. Hilangnya septa alveolar menyebabkan berkurangnya recoil elastic dan mengurangi masuknya aliran udara. Semua mekanisme diatas menyebabkan peningkatan kompresi dinamik jalan nafas dan meningkatkan resistensi jalan nafas selama fase ekspirasi dan fase inspirasi, yang merupakan karakterisasi temuan pada kondisi ini. Perubahan patofisiologis ini menyebabkan sensasi sesak nafas (dyspneu). Hilanya recoil elastic dan meningkatnya resistensi aliran udara meningkatkan kesulitan bernafas terhadap individu. Lagipula, hanya sedikit data yang menjelaskan hubungan patologi eksaserbasi akut COPD, dan yang lainnya menemukan bronkiolitis sebanyak 26% pada individu yang meninggal selama fase eksaserbasi (16). Secara patologi terdapat tiga subtype emfisema yaitu: centrilobular,

centriacinar, dan penyakit paraseptal. Emfisema centrilobular dimulai pada pertengahan lobus anatomi dan meluas hingga keseluruhan struktur. Hal ini berkaitan dengan merokok dan secara dominan mempengaruhi zona paru bagian atas, mengurangi permukaan difusi. Emfisema centriacinar mulai pada respirasi bronkiol, mempengaruhi zona paru bagian bawah, dan ini berkaitan dengan derajat tinggi inflamasi dibandingkan penyakit centrilobular. Subtipe ini adalah bentuk khusus yang ditemukan pada individu dengan defisiensi AAT-yang berkaitan dengan emfisema. Emfisema paraseptal mempengaruhi sital. Zona paru perifer, duktus alveolar dan alveolus dan ini berhubungan dengan fibrosa parenkim dan formasi bula (gambar 12.1A,B). Sebagai tambahan terhadap perubahan struktur jalan nafas dan parenkim paru, abnormalitas otot skeletal mempengaruhi patofisiologi dan gejala COPD (17,18).

Reduksi massa otot bebas lemak dan atrofi lambat tipe 1 dan subtipe IIa myosin cepat dengan selanjutnya meningkatkan tipe cepat IIb myosin telah diidentifikasi pada otot skeletal perifer individu dengan COPD (19). Penelitian menunjukkan bahwa densitas kapiler pada otot perifer juga berkurang. Perubahan ini terjadi karena otot beradaptasi terhadap berkurangnya hantaran oksigen proksimal selama berolahraga atau bahkan terhadap defisiensi nutrisi (20, 21). Seperti yang diharapkan, terdapat hubungan reduksi kekuatan otot, dimana ditemukan lebih banyak pada otot bawah. Otot diafragma juga berubah dengan meningkatnya adenosine triphosphate (ATP). Otot yang rusak selama berolahraga lebih tinggi pada COPD dibandingkan individu normal (23,24). Penelitian saat ini difokuskan pada kegunaan steroid anabolik yang berhubungan dengan olahraga dan suplemen nutrisi untuk meningkatkan massa otot ekstremitas bawah, kekuatan otot, dan ketahanan untuk mengurangi latihan selama sesak (25-27).

Diagnosis COPD COPD biasanya muncul pada decade usia ke lima dengan onset batuk produktif kronik dan sejumlah sputum mukoid pada pagi hari, dan ini berhubungan dengan riwayat merokok selama lebih dari 20 tahun. Beberapa individu mendapatkan pengobatan untuk mengobati nyeri dada, yang dimanifestasikan dengan dyspneu, meningkatnya produksi sputum, dan wheezing. Gejala ini mungkin juga tidak tampak sampai orang tersebut berusia 50 atau 60 tahun. COPD harus dicurigai pada individu dengan faktor resiko dan yang mempunyai keluhan respirasi seperti batuk, produksi sputum, dyspneu. Pada pasien dengan riwayat merokok bertahun-tahun, riwayat paparan dengan lingkungan, riwayat asma, sinusitis atopic, nasal polyposis, riwayat gangguan nafas, merupakan faktor pencetus COPD. Pasien-pasien ini juga harus ditanyakan riwayat infeksi berat pada masa kanak-kanak, tuberculosis dan factor resiko penggunaan obat dan HIV. Tinjauan sistem harus berfokus pada pembedaan kemungkinan penyebab gejala respirasi. Sebagai contohnya, produksi sputum purulen yang diindikasikan sebagai bronchiectasis. Riwayat hemoptisis, karena erosi mukosa jalan nafas. Asma episodic

juga berhubungan dengan kelelahan pada dewasa muda yang dapat mengindikasikan serangan panik atau sindrom disfungsi korda vokalis. Penyebab umum yang menyebabkan obstruksi jalan nafas dapat dilihat pada tabel 12.2. Latihan fisik paru juga menyebabkan fase pemanjangan ekspirasi, wheezing atau hilangnya suara nafas pada semua lapangan paru. Diameter anteroposterior thoraks juga meningkat dari hiperinflasi paru (dada tong). Dalam perkembangan COPD, otot nafas tambahan, mulut mencucu, atau retraksi otot intercostae saat inspirasi (Hoover sign) sering tampak. Pasien dengan penyakit berat sering duduk dengan posisi tripod. Edema perifer adalah contoh klinis gagal jantung kanan, sementara pada pasien COPD edema ekstremitas bawah juga muncul walaupun tanpa adanya hipertensi pulmonal (28). Dalam suatu penelitain COPD ditemukan bahwa pasien dengan obstruksi jalan nafas didefiniskan dengan FEV1 atau FEV1/FVC kurang dari 60%, temuan hilangnya suara nafas adalah hanya 65% sensitive bahkan jika dikombinasi dengan riwayat COPD atau merokok >70 bungkus pertahun (29).

Tabel 12.2 Diagnosis Obstruksi Jalan Nafas Diferensial diagnosis obstruksi jalan nafas Tanda penting diagnosis (FEV1/FVC < 70%) Asma Reversible dengan bronkodilator, DLCO normal atau tinggi COPD >20 bungkus rokok per tahun, usia >40 tahun, DLCO rendah Bronkiektasis Gagal jantung kongestif Cystic fibrosis Volume luas sputum purulen Orthopneu, edema, refluks hepatojugular Kulit putih, usia muda, tanda-tanda ekstrapulmonal Sarcoidosis BOOP/COP Ras afrika-Amerika-LAD thoraks Non segmental, infiltrasi perifer

Obstruktif bronchiolar

Hiperinflasi sinar-X dada, pola mosaic

Gangguan (seperti OB, bronchiolitis ekspiratory udara pada HRCT dada respirasi, panbronchiolitis) Obstruksi jalan nafas bagian atas b (seperti Wheezing lokalis saat auskultasi,

stenosis tracheal subglottic, paresis korda pendataran volume aliran udara vokalis) Sindrom disfungsi korda vokalis Perempuan muda>laki-laki muda, gejala episodic Tuberculosis postpulmonar (121) Sinar x dada dengan tuberculosis

pneumonia Post thoracoplasty Pada usia tua; riwayat terapeutik tanpa

thoracoplasty plombage Kyphoscoliosis

dengan

atau

Diamati pada latihan fisik atau sinar-X dada

Fungsi normal/suprafisiologis paru

Atlet muda: FEV1 normal atau meningkat

FEV1=forced expiratory volume in 1s; FVC=forced vital capacity, COPD=chronic obstructive pulmonary disease, DLCO=lung diffusing capacity for carbon monoxide, LAD=lymphadenopathy, pneumonia/cryptogenic BOOP/COP=bronchiolitis organizing pneumonia, obliterans organizing bronchiolitis,

OB=obliterative

HRCT=high resolution computed tomography.

Penelitian Radiografi Semua pasien yang dicurigai menderita COPD harus dilakukan pemeriksaan sinar-X dada. Kegunaan dari sinar-X ini adalah untuk mengesampingkan diagnosis lain seperti gagal jantung kongestif. Pada individu dengan emfisema pada sinar-X tampak hiperinflasi paru bilateral dengan pendataran diafragma dan adanya bulla, ditandai dengan garis arkuata yang memendek dan adanya area radioluscen. Akan tetapi, pada emfisema dapat juga tampak gambaran radiologi yang normal. Dalam suatu penelitian spirometry dan sinar-X melibatkan individu yang merokok 30 bungkus menemukan

bahwa 58% individu ini mengalami emfisema dan adanya hubungan positif antara bungkus rokok dengan derajat keparahan CT skor (31). Pada Sinar X juga tampak perubahan radiografik hipertensi pulmonal pada pasien COPD dengan hypoxemia kronik, tampak pelebaran arteri pulmonal, pada sisi lateral tampak ruang udara retrosternal. Pada ras Eropa dengan atau tanpa riwayat merokok temuan sinar-X tampak emfisme predominan basiler meningkatkan kecurigaan terhadap COPD yang berkaitan dengan defisiensi berat AAT herediter. Jika sinar-X tampak hiperinflasi dengan bula lobus atas dipertimbangkan lung volume reduction surgery (LVRS) yang dijelaskan pada bab selanjutnya. Walaupun sangat jarang, pada sinar-X dengan bula raksasa

Uji Fungsi Pulmonal Diagnosis COPD dilakukan dengan demonstrasi aliran udara melalui spirometry, biasanya didefinisikan dengan FEV1/FVC rasio kurang dari 0,7 dan FEV1 kurang dari 80%. Nilai ini merupakan indikasi awal COPD walaupun nilai ini juga dapat terjadi pada atlet dengan fungsi paru fisiologis. American Thoracic Society (ATS) mendefinisikan reversibilitas sebagai peningkatana FEV1 akut setelah menghirup satu dosis -2 agonis yang lebih besar daripada 12% dan lebih daripada 200 mL diatas dosis awal nilai FEV1. Walaupun terapi bronkodilator dapat diberikan pada individu dengan gejala dengan keberadaan atau ketiadaan reversibilitas, uji ini bermanfaat untuk membantu pasien asma dimana spirometry dapat bernilai normal dan arena postbronchodilator FEV1 adalah prediktor utama dalam menjaga kelangsungan hidup COPD. Volume paru tidak diukur secara rutin pada individu dengn COPD tetapi merupakan bagian penting dalam mengevaluasi pasien dengan LVRS atau reseksi bula raksasa. Kapasitas difusi paru untuk karbon monoksida (DLCO) tidak mendapatkan pengukuran rutin, tetapi sulit untuk mengidentifikasi pasien COPD pada resiko mortalitas tinggi dari pembedahan termasuk reseksi pulmonal, seperti LVRS atau lobectomy.

DLSO juga berguna dalam mengevaluasi pasien COPD dengan desaturasi oksigen atau dyspneu yang lebih berat daripada yang diharapkan berdasarkan derajat keterbatasan aliran udara. Reduksi signifikan DLCO dapat dengan adanya hipertensi pulmonal atau sekunder, hipoksemia nocturnal kronik, atau kemungkinan penyakit tromboemboli pulmonal kronik. Dalam kasus dimana klinisi tidak dapat membedakan asma atau COPD sebagai penyebab obstruksi udara, peningkatan DLCO dapat membentuk diagnosis. Fenomena kapasitas difusi tinggi yang dapat diamati setelah perdarahan pulmonal nsaat ini yang tidak terjadi pada emfisema. Uji fisiologis tambahan yang mungkin bermanfaat untuk COPD adalah orang perbaikan ventilasi berkelanjutan seperti orang yang menderita dyspneu. Pada COPD juga terjadi reduksi kapasitas vital sebanyak 20% jika diukur dalam posisi supine (terlentang). Uji lanjutan yang dapat dilakukan adalah simulataneus gastric dan esophageal balloon monometry. Tekanan maksimal inspirasi dan ekspirasi atau venilasi volunteer optimal dapat diperoleh sebagai evaluasi untuk syndrome myasthenia sistemik atau myopathy termasuk otot pernafasan. Akhirnya, uji latihan kardiopulmonal (CPET) dapat dilakukan pada individu dengan gejala klinis seperti disfungsi jantung, latihan mengurangi asma, atau gangguan ventilasi berkelanjutan. CPET dapat membantu klinisi untuk intervensi klinis langsung.

Pasien COPD dengan keterbatasan aliran udara menengah (FEV1 < 60%), tidak ada uji rutin selanjutnya yang diperlukan. Resting pulse oximetry sebaiknya diuji dan jika kurang dari 92%, pengukuran gas arteri darah diindikasikan untuk menilai hypoxemia. Kegunaan nilai oximetry 92% mendemonstrasikan sensitivitas dan spesifitas 100% dan 86% untuk mengidentifikasi individu yang mendapatkan terapi oksigen dalam jangka panjang (LTOT) (33). Latihan oximetry dapat dinilai jika oksigen supplemental dibutuhkan atau untuk mengtitrasikan aliran udara per liter pada pasien yang telah mendapatkan oxygen yang diperlukan saat beristirahat. Elekrokardiogram (ECG) harus diperoleh jika ritme jantung irregular atau jika penyakit jantung pada sisi kiri dicurigai, karena ini dapat mengungkapkan atrial fibrilasi, hipetrrofi ventrikel kiri atau tanda-tanda infark miokard dimana ekokardiografi atau konsultasi kardiology

diindikasikan. Pada pasien COPD dengan hipertensi pulmonal ECG dapat menyatakan hipertrofi atrium kiri (P pulmonal atau gelombang P tinggi [>2,5 mm] pada lead II, III, aVF) atau hipertrofi ventrikel kanan (deviasi axis kanan, dominan gelombang R pada V1 [7 mm], ST depresi dan inverse gelombang T pada prekordial kanan lead V1-V4. Amplitudo rendah kompleks QRS dapat diamati pada COPD dengan hiperinflasi paru. Rotasi kardiak dapat dimanifestasikan pada ECG sebagai pola pseudoinfarct dengan progresi gelombang R yang jelek, dan gelombang S dalam pada prekordial kanan yang menyerupai gelombang QS yang dilihat setelah infark miokard anterior. Walaupun pasien COPD dapat memperlihatkan abnormal ECG tetapi ini tidak sensitif dan tidak spesifik pada penyakit jantung pada sisi kanan dan oleh karena itu tidak dipercaya dalam mendiagnosa cor pulmonal. Jika obstruksi aliran udara berat, dengan FEV1 kurang dari I L atau jika pasien mempunyai gejala atau tanda-tanda potensial hypercapnia (seperti sakit kepala pagi hari, perbaikan kognitif, atau asterixis), suatu arterial blood gas (ABG) harus dikumpulkan unuk mengukur tekanan arteri parsial karbondioksida (PaCO2). Sebagai tambahan untuk sebagai penanda prognosis yang jelek, keberadaan hypercapnia kronik harus meningkatkan kewaspadaan klinisi tentang meminimalkan pengobatan pada pasien dengan distress respirasi karena mereka dapat mengalami asidosis respirasi akut dengan dekompensasi klinis. Tabel 12.3 menyediakan ringkasan dalam rekomendasi diagnosa individu dengan COPD.

Tabel 12.3 Rekomendasi awal kerja COPD Derajat keterbatasan aliran udara Semua pasien Riwayat dan pemeriksaan fisik Spirometry prebronchodilator dan post bronchodilator Sinar-X Obstruksi menengah hingga berat Rasional

Saat

olahraga

atau

latihan

fisik

pulseoximetry Jika FEV1<1 L, resting oximetry < 92% atau hypercapnia dicurigai (asterixis, h/o sakit kepala pagi hari), mengumpulkan arteri gas darah Pasien yang dipilih Hematokrit Elektrokardiogram Cardiac ultrasound DLCO LTOT jika polychytemic Cor pulmonal, aritmia, atau MI Cardiomyopathy atau penyakit valvular, hipertensi pulmonal, cor pulmonal. Dibedakan dari asma penyakit disarankan vascular

berkelanjutan, pulmonal.

Amenability untuk terapi bedah untuk Pengukuran volume paru Scan HRCT dada Tingkat serum -1 antitrypsin emfisema Karakteristik distribusi emfisema jika potensial kandidat untuk LVRS atau bullectomy, bronkiektasis Onset awal, faktor resiko lingkungan rendah, ras Eropa utara, basilar

predomina emfisema, riwayat keluarga

FEV1=forced expiratory volume dalam 1 detik, LTOT = Long term oxygen therapy, DLCO=diffusing capacity of lungs for carbon monoxide, LVRS=lung volume reduction surgery

Penyakit pulmonal kronik dan tidur Gangguan bernafas pada saat tidur pada pasien COPD dapat bermanifestasikan dengan hipoventilasi dengan desaturasi oksigen pada pasien dengan obstruksi jalan

nafas berat atau keberadaan apneu saat tidur. Hipoventilasi fisiologis yang secara normal dihasilkan pada hypercapnia ringan selama tidur lebih signifikan pada pasien COPD, khususnya selama rapid eye movement (REM) stadium tidur, ketika kemampuan otot interkostae untuk berventilasi dikurangi. Walaupun mekanisme hipoventilasi ini telah ditandai dengan baik, hanya sedikit data efisiensi pengobatan. Dalam sebuah percobaan acak COPD yang mengalami desaturasi kurang dari 85% selama tidur, terapi oksigen nokturnal selama 3 tahun menunjukkan tidak ada

keuntungan placebo walaupun bahwa pasien dengan desaturasi selama REM tidur mempunyai mortalitas yang tinggi (34). Penelitian stimulant respirasi dan teofilin tidak menunjukkan manfaat. Berdasarkan keterbatasan data, ATS merekomendasikan pasien COPD yang telah siap menerima LTOT setiap hari dengan oksigen nocturnal empiris dipasang pada tingkat aliran 1 L/menit lebih besar daripada tingkat sehari-hari. Secara alternative, berdasarkan pilihan atau untuk individu dengan erythrocytosis atau cor pulmonal, oximetry pada malam hari dapat dilakukan dengan titrasi oksigen untuk menentukan aliran udara lebih penting untuk memelihara saturasi lebih besar dari 89% selama tidur. Insidensi sleep apneu pada pasien COPD diperkirakan menjadi 10% hingga 15% dan koeksistensi disebut sindrom overlap (35). Sleep apneu harus dipertimbangkan pada pasien COPD dengan riwayat mendengkur, hipersomnolen, obesitas, atau berat badan signifikan, atau manifestasi hipoksemia, seperti cor pulmonal atau erytrhrocytosis sekunder diluar proporsi untuk kesadaran tekanan arteri oksigen. Jika dicurigai sleep apneu dicurigai, polysomnography harus ditampilkan dan terapi tepat jika diagnosis dikonfirmasikan.

Stadium Penyakit Akibat penyakit tertentu pada individu menyatakan menjadi baik dan prognosis bergantung pada kombinasi factor seperti derajat perbaikan fisiologis,

symptofarmakologi, tingkat progresi penyakit, dan interaksi penyakit dengan kondisi komorbid. Cara ideal untuk menstadiumkan penyakit derajat keberatan penyakit dan memperkirakan prognosis dapat mengintegrasikan variabel relevan ini kedalam system

stadium validasi yang dapat diaplikasikan hingga terhadap semua individu dengan penyakit. Akan tetapi, karena kurangnya stadium yang diperoleh untuk COPD, derajat perbaikan aliran udara diperoleh dengan spirometry sebagai marker derajat beratnya penyakit. Walaupun suboptimal, karena itu tidak memgambil dalam variabel penting seperti status merokok dan tingkat penurunan fungsi paru, postbronchodilator FEV1 adlah prediktor terbaik. Sebagai contohnya dalam COPD pasien berumur 65 tahun atau lebih muda tingkat kumulatif umurnya adalah 5 tahun dengan postbronchodilator FEV1 50% hingga 59% diprediksikan adalah 95% dimana 2 tahun jangka hidupnya dengan FEV1 30% hingga 39% diprediksikan 83%. Komite GOLD membuat klasifikasi berat penyakit COPD dalam empat stadium berdasarkan empiris postbronkodilator FEV1 yang dieksresikan sebagai persentase nilai perkiraan (Tabel 12.4). Stadium 0 adalah individu dengan gejala respirasi tanpa adanya obstruksi aliran udara, ditunjukkan tidak menjadi penting dalam memprediksikan perkembangan COPD berikutnya (37). Hingga sebuah kemampuan prediktif dikembangkan dan diterima secara umum, bahwa postbronchodilator FEV1 akan berlanjut untuk digunakan dalam stadium penyakit.

Tabel 12.4 Klasifikasi keparahan penyakit berdasarkan GOLD Stadium Keparahan penyakit 0 beresiko Batuk produktif fungsi kronik Merokok paru kriteria Hubungan

dengan

normal (prediksi FEV1 > 80%) I Ringan FEV1/FVC < 70% tetapi Batuk prediksi FEV1 80% kronik dan

produksi sputum, bukan dyspneic, membutuhkan pengobatan tidak

IIa

Sedang

Prediksi FEV1 = 50%-80% Dyspneu, membutuhkan dan FEV1/FVC < 70% perhatian tampil eksaserbasi dokter atau

dengan

IIb

Sedang

Prediksi FEV1 = 30%-50% Sama dan FEV1/FVC < 70% IIa,

seperti tetapi

stadium frekuensi

eksaserbasi lebih tinggi III Berat Prediksi FEV1< 30% atau Kapasitas prediksi FEV1 < 50% fungsional keparahan dibatasi dyspneu hiperkapneu

selama gagal nafas (PaO2 < dengan 60 mmHg permukaan air) biasanya tanda klinis cor pulmonal pada LTOT dan FEV1/FVC < 70%

FEV1= forced expiratory volume dalam 1 detik, FVC= forced vital capacity, PaO2= arterial blood pressure oxygen, LTOT= long term oxygen therapy

Manajemen kestabilan COPD Pemantauan penyakit Pada awal penyakit belum ada parameter yang digunakan dalam memantau COPD. Individu dengan derajat keterbatasan aliran udara yang terbatas pada saat diagnosis dapat mempunyai outcome panyakit yang berubah. Banyak penelitian yang dilakukan untuk memprediksikan progresi penyakit COPD. Tabel 12.5 menjelaskan parameter pemantauan COPD secara klinis, seperti gejala, kuesioner kualitas respirasi, spirometry berdasarkan progresi keterbatasan aliran udara atau fungsional berdasarkan jarak berjalan atau indikasi kapasitas latihan lainnya.

Tabel 12.5 Prediktor progresi COPD Variable Outcome

Aliran puncak, postbronchodilator FEV1, BMI rendah (122), Mortalitas tingkat dyspneu (123) Baseline hypercapneu, hypoxemia yang tidak dirawat Merokok, frekuensi infeksi respirasi bagian bawah pada perokok Penurunan cepat pada (124), infeksi HIV (118) Reaktivitas methacoline FEV1= forced expiratory volume dalam 1 detik, BMI=body mass index fungsi paru

Postbronchodilator FEV1, walaupun berhubungan dengan mortalitas, tidak berkaitan dengan penilaian kualitas hidup, yang lebih erat berkaitan dengan variabel seperti dyspneu, kelelahan, kemampuan fungsi independen, dan frekuensi eksaserbasi. Faktanya, FEV1 rendah berhubungan dengan status kesehatan yang buruk, dan status kesehatan berhubungan erat dengan perbaikan penampilan latihan dibandingkan perubahan dalam FEV1 (38). Instrumen sensitif yang menilai kualitas hidup yang berkaitan dengan respirasi termasuk kuesioner respirasi kronik dan kuesioner St. George (SGRQ) (39,40). SGRQ telah mempunyai validasi dalam membedakan status kesehatan diantara individu dengan derajat obstruksi aliran udara yang sama, dan dalam menilai efek status kesehatan seseorang. Peranan utama kuesioner ini adalah untuk menilai manfaat pengobatan dan penilaian klinisi terhadap efisiensi pengobatan. Contoh semikuantitatif spesifik terhadap manfaat, seperti pengurangan kemampuan bernafas, peningkatan kapasitas fungsional, atau perbaikan tidur, juga dapat membantu dalam menilai manfaat terapeutik (38).

Promosi Kesehatan dan Komplikasi pencegahan penyakit Setiap ahli kesehatan harus melakukan preventif dan pengukuran pasien COPD bahkan pada pasien yang terus merokok. Walaupun efek bertentangan merokok telah

dikarakterisasikan dengan baik dan secara luas telah diketahui, merokok adalah penyebab kematian yang dapat dicegah di Amerika Serikat. Sebagai tambahan COPD, resiko kesehatan merokok termasuk peningkatan dosis tergantung dosis resiko kanker paru dan keganasan lainnya, penyakit jantung koroner dan stroke. Data observasional dari penelitain Cohort seorang dokter laki-laki berumur 35 tahun di Inggris terhadap individu yang telah merokok selama lebih dari 35 tahun, menyatakan setengah dari jumlah kematian di Amerika Serikat disebabkan oleh rokok (41). Dari tahun 1995-1999, pusat kesehatan Amerika Serikat untuk kontrol penyakit memperkirakan kesehatan tahunan berhubungan dengan kehilangan ekonomi mencapai 157$ trilyun. Pekerjaan yang berkaitan dengan perokok yang berhubungan dengan resiko kanker paru termasuk, aresnik, silica, diesel, aromatic amina. Paparan kerja terhadap asbes, uranium, radon, biasanya faktor yang penting karena berinteraksi secara sinergis dengan merokok yang menyebabkan peningkatan resiko kanker paru. Pada kasus kanker paru meningkat pada perokok yang mempunyai fibrosis interstisial karena paparan asbes. Diperkirakan resiko kanker terhadap merokok adalah variabel, tetapi resiko kanker paru terhadap keberadaan COPD sebagai faktor independen riwayat merokok juga harus diamati (43). Sayangnya, manfaat kesehatan dari berhenti merokok dapat diperoleh dari berhenti merokok, baik dalam masa dewasa. Satu penelitian memperkirakan bahwa perokok yang berhenti pada usia 35 tahun mempunyai harapan hidup yang lebih dibandingkan perokok yaitu 6,9 hingga 8,5 tahun untuk laki-laki dan sebanyak 6,1 hingga 7,7 tahun untuk wanita. Jika berhenti merokok pada usia 65 tahun, nilai ini menjadi 1,4 hingga 2,0 dan 2,7 hingga 3,7 pada laki-laki dan wanita (44). Analisis data survey epidemiologi yang lain dari dua kelompok penelitian yang luas di Amerika Serikat, satu dari tahun 1950 dan lainnya dari tahun 1990, untuk menerangkan akibat kesehatan merokok pada perokok jangka panjang dan orang yang berhenti merokok. Investigator menemukan bahwa resiko kumulatif kanker paru pada usia 75 tahun untuk laki-laki yang melanjutkan merokok adalah 15,9% dibandingkan dengan 9,9%, 6,0%, 3,0% dan 1,7% pada laki-laki yang berhenti diantara umur 60, 50, 40, 30 tahun. Untuk wanita, resiko kumulatif kanker paru usia 75 tahun pada perokok adalah 9,5%,

dibandingkan dengan 5,3% dan 2,2% pada wanita yang berhenti diantara 60 dan 50 tahun (45). Walaupun banyak terapi yang dapat memperbaiki kualitas hidup untuk individu simptomatis pada banyak stadium COPD, berhenti merokok adalah intervensi satusatunya yang dapat menurunkan fungsi paru dalam penyakit ini. Pusat Kesehatan Masyarakat AS merekomendasikan 5 program intervensi merokok, lima rekomendasi (5A) tersebut adalah: asking (bertanya) kepada semua pasien setiap tembakau yang dihisap saat setiap kali kunjungan ke RS, advising ( menyarankan) perokok untuk berhenti merokok, assessing (menilai) kesiapan individu untuk berhenti merokok, assisting (membantu) kesiapan individu untuk berhenti merokok, arranging (menyusun) umpan balik progresi penyakit, dengan pemahaman bahwa relaps (kambuh) adalah bagian penting dalam proses berhenti merokok. Walaupun ada hubungan antara intensitas konseling berhenti merokok dan keefektifan program, pemberian semangat harus disediakan pada pasien karena konseling 3 menit menunjukkan akibat positif yang dapat meningkatkan orang berhenti merokok yaitu 5% hingga 10% (bab 15). Sebagai farmakoterapi lini pertama farmakoterapi, semua individu yang ingin berhenti merokok yang tidak dapat berhenti merokok dengan caranya sendiri dapat diresepkan bupropion. Kontraindikasi bupropion adalah riwayat kejang, bulimia, anoreksia, pasien harus diresepkan terapi pergantian nikotin, begitu juga dengan kelompok yang mendapatakan konseling untuk berhenti merokok. Nicotin aman pada pasien dengan penyakit kardiovaskular bahkan pada pasien yang perokok yang bersamaan dengan pergantian terapi nikotin (50,51). Rekomendasi vaksinasi pada semua pasien dengan COPD termasuk

mendapatkan vaksinasi influenza tahunan dan vaksinasi pneumococcal setiap 10 tahun. Penelitian observasional pada pasien yang berumur lebih tua dengan penyakit paru kronik telah menunjukkan reduksi signifikan derajat penyakit respirasi, lama berobat ke RS, dan mortalitas dengan kegunaan vaksinasi influenza (52). Akan tetapi rekomendasi vaksinasi pneumococcal hanya berdasarkan opini consensus karena belum ada penelitian yang mampu mendemonstrasikan manfaat vaksin ini terhadap COPD.

Pasien COPD selektif dengan progresi penyakit yang cepat dan siapapun yang telah mendapatkan LTOT sebaiknya dilakukan konseling sebelum penerbangan untuk memperkirakan derajat hipoksemia dan tingkat aliran oxymetry yang tepat yang dapat digunakan selama perjalanan menggunakan pesawat. Tingkat hypoksemia dapat dikalkulasikan dari standar equal atau pengukuran langsung dengan uji stimulasi ketinggian. Pasien COPD dengan bula besar harus dievaluasi oleh spesialis sebelum terbang untuk menilai resiko potensial pneumothoraks dari ekspansi bulla menurunkan tekanan lingkunagn dalam kabin pesawat. Diskusi perawatan penyakit harus dipertimbangkan pada semua pasien COPD tetapi khususnya relevan terhadap siapapun yang mempunyai perkembangan progresi penyakit, yang mempunyai kualitas hidup yang rendah dan beresiko tinggi mengalami kegagalan nafas. Pada individu dengan COPD harus dilakukan edukasi dalam diagnosis dan proses penyakit, pengobatan dan prognosis serta perencanaan terhadap populasi ini (54). untuk

Terapi pemeliharaan Terapi -2 agonist dan antikolinergik adalah pengobatan yang tetap bertahan dalam bentuk inhaler, karena inhaler dalam bentuk bubuk kering atau nebulizer harganya lebih mahal tetapi tidak mendemonstrasikan obat yang lebih baik (55). Pada individu yang asimptomatik yang tidak mampu menggunakan terapi inhaler, oral -2 agonist dapat diresepkan tetapi ini jarang digunakan karena meningkatnya efek samping sistemik dan onset aksi yang lebih lambat (lihat Bab 7). Pengobatan antikolinergik harus diresepkan seperti yang dibutuhkan sebagai lini pertama pada pasien dengan COPD stabil yang mengalami dyspneu. Agen pilihan di AS adalah ipratropium bromide hingga 4 kali sehari, karena tiotropium bromide telah mendemonstrasikan bronkodilatasi lebih besar tanpa ada perbedaan dalam efek bertentangan ketika diinhalasi sekali sehari (56). Jika dyspneu tidak dapat dikontrol secara penuh, -2 agonist telah menunjukkan mempunyai efek bronkodilator ketika digunakan dengan ipratropium pada COPD stabil. Agen aksi pendek ini sebaiknya diresepkan untuk diguanakan pada basis kebutuhan, karena penggunaan -2 agonist

secara teratur dan terjadwal telah mendemonstrasikan tidak ada manfaat dan mempunyai efek samping yang lebih banyak, dua kali penggunaan pengobatan, dan meningkatkan biaya (57). Pada pasien yang memerlukan bronkodilator atau dosis nocturnal selama gejala, klinisi menambahkan -2 agonist jangka panjang seperti salmoterol inhaler digunakan dua kali sehari. Walaupun efek kardioselektif -2 agonist pada pasien dengan COPD stabil belum banyak diteliti, tetapi obat ini dapat dipertimbangkan pada pasien dengan penyakit arteri koroner. Cochrane sistematik meninjau penggunaan blocker pada pasien dengan ringan hingga sedang, penyakit jalan nafas reversible menemukan reduksi statistic reduksi dalam FEV1 tanpa adanya peningkatan gejala atau penggunaan inhaler, sama dengan penurunan response terhadap agonist. Walaupun beberapa percobaan analisa termasuk pasien dengan COPD, aplikasi hasil ini terhadap penggunaan kronik pada populasi ini adalah tidak tepat, khususnya pada pasien dengan keterbatasan aliran udara berat.

Methylxanthines Pada pasien COPD yang symptomatik walaupun mendapatkan pengobatan bronkodilator inhaler, tambahan teofilin juga sebaiknya dipertimbangkan.

Methylxanthines menunjukkan manfaat dalam mengurangi dyspneu, meningkatkan toleransi latihan, bronkodilatasi, khususnya jika dikombinasi dengan bronkodilator inhaler pada COPD stabil. Akan tetapi, teofilin tidak efektif terhadap semua pasien, dan efek theurapetik plasma pada setiap pasien harus dikumpulkan, dan kebutuhan dosis harus dipantau beserta interaksi obat. COPD selektif pada pasien dapat memperoleh manfaat klinis signifikan fari penggunaan regular teofilin. Kunci untuk menghindari penggunaan kronik pengobatan dan efek toksik pengobatan COPD adalah dengan menilai respon klinis individu. Pasien COPD yang tidak mempunyai riwayat kejang, klinisi dapat memulai pemberian teofilin oral dosis rendah dan dilakukan pemeriksaan plasma selama beberapa minggu. Pasien harus dinilai perbaikan semikuantitatif terhadap dyspneu, latihan, dan obstruksi jalan nafas dengan peningkatan progresi tingkat plasma. Jika teofilin tidak bermanfaat dan

memberikan efek samping, pemberian teofilin harus dihentikan dan individu ini dinyatakan sebagai nonresponder terhadap teofilin. Akan tetapi, jika ada perbaikan pemberian terapi teofilin harus dilanjutkan pada dosis pemeliharaan target plasma ini. Strategi berbeda dapat diguankan dalam menilai efisiensi pasien COPD yang telah mendapatkan teofilin. Dalam sebuah penelitian acak melibatkan pasien COPD dengan penggunaan jangka panjang teofilin yang tidak yakin apakah ini bermanfaat atau tidak, percobaan n dari 1 dibandingkan dengan praktik standar peresepan teofilin, Percobaan ini menunjukkan bahwa klinisi harus berhati-hati dalam mengidentifikasi pasien yang memperoleh manfaat dengan teofilin atau pasien yang tidak memperoleh manfaat dari teofilin.

Glukokortikosteroid inhaler Walaupun tidak digunakan sebagai standar terapi COPD, kortikosteroid inhaler diresepkan secara luas pada populasi pasien COPD. Efek glukokortikoid inhaler pada COPD stabil diringkas dalam table 12.6. percobaan ini telah mendemonstrasikan tidak adanya manfaat pada penurunan jangka panjang pada fungsi paru dengan penggunaan rutin kortikosteroid inhaler pada pasien COPD stabil. Beberapa percobaan menyatakan manfaat potensial steroid inhaler pada pasien dengan COPD berat dalam mengurangi insiden atau keparahan eksaserbasi , tetapi manfaatnya kecil, dan memerlukan terapi dosis tinggi dalam jangka panjang. Sayangnya, tidak ada penelitian yang dapat mengidentifikasi pasien dengan atau tanpa COPD parah dan frekuensi eksaserbasi dari manfaat penggunaan glukokortikoid. Oleh karena itu, bahkan diantara individu yang dipercaya oleh klinisi mempunyai manfaat dari penggunaan kortikosteroid oral, kemampuan penambahan steroid inhaler untuk mengurangi penggunaan glukokortikoid sistemik masih belum dapat ditentukan, dan tidak ada fakta yang mendukung pendekatan ini dalam COPD.

Table 12.6. Percobaan Kontrol Acak Kortikosterid inhaler pada pasien dengan COPD stabil Percobaan Kota Copenhagen Populasi penelitain FEV1/FVC < 0,7 Rata-rata FEV1 Pengoabatan Outcome

Budesonide versus Tidak ada perbedaan tingkat = placebo selama 3 penurunan FEV1, gejala atau tahun eksaserbasi

prediksi 86% EUROSCOP (126)

COPD ringan, rata- Budesonide versus Tidak ada perbedaan tingkat rata FEV1=77% placebo selama 3 penurunan FEV1 tahun

ISOLDE (126)

COPD berat

Fluticasone versus Tidak ada perbedaan tingkat placebo selama 3 penurunan FEV1, reduksi kecil tahun dalam frekuensi eksaserbasi dan tingkat penurunan status

kesehatan dengan fluticasone Penelitian kesehatan (128) COPD Menengah paru Rata-rata FEV1 Triamcinolone = versus Tidak ada perbedaan tingkat FEV1, beberapa

placebo penurunan

diprediksikan 64%

selama 40 bulan

gejala respiratory dan pasien dengan gejala respiratory

dengan triamcinolone Paggiaro et al (129) Percobaan multisenter Fluticasone versus Tidak ada perbedaan tingkat pada dengan 281 pasien placebo COPD, bulan selama6 eksaserbasi, dan tingkat

perbaikan gejala FEV1 dan 6 menit fluticasone berjalan dengan

asmatik diekslusikan

FEV1=forced expiratory volume dalam 1 detik, FVC= forced vital capacity, COPD=chronic obstructive pulmonary disease.

Penggunaan Oksigen Jangka Panjang (LTOT) Penggunaan LTOT pada COPD telah dilakukan dengan penelitian acak yang ditampilkan pada table 12.7. Manfaat kelangsungan hidup telah didemonstrasikan

dengan pemberian oksigen lebih dari 15 jam/hari pada pasien COPD dengan hypoxemia berat, secara umum didefiniskan sebagai aterial oxygen pressure of oxygen (PaO2) kurang dari 60 mmHg. Oleh karena itu, pemberian LTOT pada pasien COPD harus dibatasi. Tidak ada manfaat kelangsungan hidup LTOT pada pasien COPD dengan hypoxemia adalah derajat ringan hingga menengah. Pasien COPD tanpa hypoxemia siang hari, yang tidak mempunyai sleep apneu, tidak mempunyai manfaat dari penggunaan LTOT. Tabel 12.8 menjelaskan tentang pendekatan oksigen yang diresepkan.

Tabel 12.7 Percobaan control acak terapi oksigen pada COPD stabil Percobaan Oksigen nocturnal Populasi penelitian Kebanyakan Pengobatan versus oksigen 1-4 Outcome

laki- Nocturnal

laki berusia 65; terapi COPD PaO2 memerlukan mmHg Terapi percobaan,

dengan berkelanjutan, < L/menit 60

Manfaat kelangsungan hidup signifikan kelompok pada oksigen

1980 (87)

berkelanjutan selama 24 bulan

pengobatan Penelitian kesehatan (130) Kebanyakan laki- Terapi dengan per hari, oksigen Manfaat 2 signifikan laki berusia 58; sedikitnya 15 jam kelangsungan hidup COPD pada oksigen 5 tahun PaO2 antara 40 60 L/menit versus tiada kelompok mmHg dan satu oksigen selama

atau lebih episode gagal jantung sisi kanan Tcher et al., (1992) COPD

pengobatan

dan Nocturnal oksigen 3 Tidak L/menit udara versus perbedaan

ada dalam

desaturasi noktrunal

ruangan kelangsungan hidup setelah 3 tahun

nocturnal 3 L/menit

pengobatan Aouat et al., 1999 COPD, hipoksemia Nocturnal oksigen 2 Tidak (131) siang hari ringan L/menit versus tiada perbedaan hingga berat dan oksigen nokturnal ada dalam

kelangsungan hidup selama follow up jangka panjang

desaturasi nocturnal (diesklusikan sleep apneu jika atau

komorbiditas serius) Recka et al., 1997 COPD, hipoksemia Terapi (132) menengah, kebanyakan diberikan oksigen Tidak untuk perbedaan ada dalam selama

laki- memelihara PaO2 > mortalitas

laki, rata-rata usia 65 mmHg versus follow up 3 tahun 60 tiada oksigen

Tabel 12.8 panduan terapi oksigen jangka panjang pada COPD Rasional LTOT > 15 jam perhari pada pasien dengn hypoxemia (PaO2 < 60 mmHg) telah menunjukkan perbaikan kelangsungan hidup COPD Indikasi : untuk pasien COPD dengan hipoksemia istirahat dan latihan Kontraindikasi: merokok aktif atau factor resiko lainnya Kriteria: PaO2 55 mmHg atau SaO2 88% pada saat istirahat atau dengan latihan Atau PaO2 56-59 mmHg atau SaO2 = 88% - 89% pada saat istirahat atau saat latihan dengan adanya cor pulmonal, temuan gagal jantung kanan, atau eritrocytosis

(hematokrit > 56%) Atau PaO2 60 mmHg atau SaO2 90% pada saat istirahat atau saat latihan dengan penyesuain medikasi (seperti CAD signifikan, iskemia korone aktif) Tujuan therapeutic: titrasi hingga PaO2 60 mmHg atau SaO2 90% Informasi tambahan: sumber oksigen spesifik (gas atau cairan) metode penghantaran (seperti kanula hidung): durasi penggunaan (seperti latihan atau selama siang hari); tingkat aliran udara saat istirahat dan selama tidur Uji kapiler: mengumpulkan PSG atau menilai sleep apneu jika secara klinis dicurigai; jika diinginkan; mengumpulkan oximetry sepanjang malam dengan titasi oksigen pada pasien dengan hipertensi pulmonal atau menginstruksikan pasien untuk meningkatkan tingkat oksigen dengan 1 L/menit selama tidur LTOT= long term oxygen therapy, COPD= chronic obstructive pulmonaru disease, PaO2= arterial blood partial pressure of oxygen, SaO2= arterial oxygen saturation, CAD-coronary artery disease, PSG=polysomonography

Mukolitik Fakta terhadap penggunaan agen mukoaktif adalah terbatas. Terdapat variasi global dalam meresepkan pola mukolitik. Di AS dimana hanya ada sedikit dibandingkan penggunaannya di Eropa. Agen yang tersedia termasuk: guaifenesin, larutan saturasi potassium iodida, dan nebulizer acetylcysteine. Guaifenesin adalah ekspektoran oral yang bertindak untuk meningkatkan sekresi jalan nafas melalui stimuasi vagal dan juga mengurangi viskositas mucus. Tidak ada fakta yang menunjukkan kegunaannya dalam memperbaiki kualitas hidup pasien dengan COPD. Larutan saturasi potassium iodide yang bertindak mengurangi viskositas mucus mempunyai efek samping seperti ruam, rasa besi, hipotiroidisme, dan pancreatitis. Percobaan terhadap acetylcysteine mengurangi frekuensi eksaserbasi bronchitis kronik akan tetapi masih belum jelas dan harganya mahal serta bentuk oralnya tidak tersedia di AS (59). Acetylcysteine nebulizer yang bertindak dalam hitungan menit untuk mencairkan mucus, juga bermanfaat, tetapi ketersediaannya di AS terbatas. Acetylcysteine sering digunakan bersamaan dengan bronkodilator.

Glukokortikoid sistemik Tidak ada percobaan berkualitas tinggi untuk menilai penggunaan kortikosterid istemik pada pasien-pasien dengan COPD stabil. Kortikostreoid tidak menunjukkan nmanfaat FEV1 atau kapasitas latihan. Satu metaanalisa menemukan bahwa 10% pasien COPD mempunyai perbaikan statistic FEV1 dari latihan kortikosteroid oral, tetapi kepentingan klinisnya dalam fungsi paru masih belum dapat ditentukan (60). Oleh karena itu, sulit menentukan manfaat kortikosteroid oral. Setidaknya, klinisi harus meyakinkan bahwa pasien COPD berada pada dasar stabil, mengumpulkan spirometry dan melakukan penilaian status fungsional, kemudian meresepkan pemberian kortikosteroid oral dengan batasan 40 mg prednisone per hari. Fungsi paru harus dilakuakn diakhir percobaan ini, dan jika ada perbaikan disebut sebagai responder kortikosteroid. Akan tetapi, tidak ada fakta yang nyata yang menunjukkan manfaat kortikosteroid ini jika dilanjutkan, klinisi banyak yang memilih untuk mentappering off kortikosteroid hingga dosis yang paling rendah atau menggantinya menjadi glukokortikoid inhaler. Karena banyaknya efek samping dari penggunaan

glukokortikoid dan tidak ada fakta yang menunjukkan penggunaan kronik obat ini pada pasien COPD, sehingga beralasan untuk membatasi penggunaan kortikosteroid pada pasien asma.

Efek samping farmakoterapi Banyak kortikosteroid inhaler atau sistemik yang digunakan untuk mengatasi COPD dan salah satu efek kronik penggunaan obat ini adalah perubahand dalam densitas tulang (62). Efek samping penggunaan kortikosteroid inhaler adalah disfonia hamper pada 50% pemakai, batuk dan wheezing dan beberapa mengalami kandidiasis oral. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian pembersih mulut setelah menggunakan inhaler. Efek kutaneus ringan termasuk penipisan dermis kulit, dan satu penelitian menyatakan 50% pengguna kortikostreoid mudah mengalami memar (63). Efek lain steroid sistemik adalah berkurangnya densitas tulang, yaitu pada area yang mengandung trabekular yang banyak seperti vertebrae (64). Penggunaan prednisone 6 mg setiap hari

selama 9 bulan dan dosis alternate juga tidak mengurangi resiko hilangnya densitas tulang (65). Suatu metaanalisa calcitonin menemukan bahwa kortikosteroid menginduksi osteoporosis dan mual serta flushing (66). Penggunaan bifosfonat dan kombinasi kalsium dan vitamin D dapat mengurangi hilangnya tulang akibat kortikosteroid. Pengurangan densitas tulang juga berhubungan dengan usia yang sudah tua yaity resiko fraktur pada osteoporosis post menopause. Efek lain kortikosteroid adalah penipisan kulit, purpura, hirsutisme, akne, obesitas, muka bulan dan buffalo hump. Resiko infeksi dan kelelahan otot juga terjadi pada pasien dengan penggunaan kortikosteroid sistemik. Efek dramatis kortikosterois sistemik adalah reaksi psikiatry akut seperti psikosis, euphoria yang tidak beralasan, dan efek ini akan hilang jika kortikosteroid dihentiukan. Pada satu penelitian porspektif menemukan bahwa insidensi 3,1 % pada pasien yang menggunakan 40 mg prednisone per hari, 4,6% yang menggunakan antara usia 40 dan 80 mg per hari, dan 18,4% menggunakan dosis harian yang lebih besar dari 80 mg prednisone (67).

Kemunculan Terapi Phosfodiesterase 4 (PDE4) inhibitor telah mendemonstrasikan sifat

bronkodilator dan anti inflamasi pada model in vitro. Beberapa perusahaan farmateraupetik berada pada stadium akhir perkembangan COPD.

Rehabilitasi pulmonal Rehabilitasi pulmonal membutuhkan program multidisplin pada pasien dengan perbaikan respirasi kronik (69). Ruang lingkup rehabilitasi meliputi: latihan, edukasi, intervensi tingkah laku, dan dukungan psikososial. Tujuna utama rehabilitasi adalah mengurangi dyspneu, meningkatkan ketahanan, memperbaiki kehidupan pada pasien symptomatic dengan atau tanpa obstruksi jalan nafas. Partispiasi untuk berhenti merokok adalah bagian dari prigram dan program biasanya berlnagsung selama 8 minggu.

Selama rehabilitasi, edukasi tentang proses penyakit dan pemilihan pengobatan yang tepat an koseling dilakukan. Intervensi tingkah laku difokuskan pada kemampuan praktik mengatasii dyspneu dan tehnik relaksasi. Dukungan psikososial seperti fungsi seksual dan mengidentifikasi dan merawat depresi juga dilakukan pada pasien dengan COPD berat dan tampilan latihan yang buruk. Banyak penelitain yang telah mendokumentasikan manfaat rehabilitasi pulmonal seperti latihan ketahanan, persepsi dyspneu, kemampuan hidup dan efisiensi diri (70-72).

Manajemen Eksaserbasi akut COPD Tinjauan dan defenisi COPD Riwayat COPD menengah hingga berat adalah ditandai dengan episode berulang gangguan pernafasana yang dikenal dengan istilah eksaserbasi. Tanda klinis Eksaserbasi akut meliputi: dyspneu yang semakin berat, meningkatnya sputum purulen, dan meningkatnya volume sputum. Dalam sebuah workshop menyebutkan, eksaserbasi akut juga didefinisikan apabila terjadi perubahan dalam pengobatan regular (73).

Evaluasi COPD Dekompensata Komponen pneting dalam respirasi akut fungsi dekompensasi pada individu dengan COP meliputi identifikasi penyebab, terapi yang adekuat, dan memutuskan apakah pasien harus dirawat dirumah sakit. Pedoman penilaian pasien yang dicurigai COPD berkembang luas dalam masyarakat professional. American College of Chest Physycian dan American Society of Internal Medicine (ACCP/ACP ASIM) merekomendasikan agar setiap pasien yang dirawat di RS harus dilakukan foto sinar-X dada (74). Pedoman GOLD yang dipublikasikan tahun 2001 menyatakan bahwa setiap pasien direkomendasikan dilakukan foto sinar-X dada, ECG, ABC, pemeriksaan hematokrit, elektrolit, dan jika tidak ada respon terhadap pengobatan empiris, dilakukan kultur sputum dan kepekaan terhadap mikroorganisme (4). Terlebih dahulu harus telah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Walaupun evaluasi hipoksemia dapat dilakukan dengan melalui pulse oxymetry, asidosis respirasi akut juga dapat diatasi dengan pengukuran ABC.

Tabel 12.9 menjelaskan uji diagnose yang harus dipertimbangkan klinisi terhadap individu yang dievaluasi sebagai pasien COPD dekompensata.

Manajemen Eksaserbasi pasien Table 12.10 menjelaskan mengenai pilihan teurapetik eksaserbasi bagi pasien COPD. Beberapa penelitian telah membuat predictor kambuhnya pasien yang biasanya harus dirawat di RS dalam 14 hari setelah penilaian awal. Prediktor kambuhnya penyakit meliputi: FEV1 yang rendah, meningkatnya penggunaan bronkodilator, hypoxemia, hyoercapnia, riwayat kambuh sebelumnya. Pada terapi COPD, direkomendasikan penggunaan -2 agonist inhalasi, ipratropium bromide, antibiotic spectrum luas, seperti amoksisilin, doksisiklin jika pasien mempunyai sputum yang banyak dan lamanya antibiotic berlangsung 3-14 hari. Kortikosteroid oral juga direkomendasikan yaitu pemberian prednisone 40 mg perhari dan ditappering off 8-14 hari. Jika keadaan klinis pasien memburuk selama pemberian terapi, klinisi harus mempertimbangkan pengiriman sputum dan kultur serta uji sensitivitas untuk membantu menegakkan diagnose dan melakukan uji diagnostic selanjutnya. Tabel 12.9 Pedoman evaluasi eksaserbasi COPD kronik Uji diagnosa Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik Rasional Dapat memperkirakan etiologi gangguan pernafasan seperti fraktur tulang dan aritmia Pulse Oximetry Menilai kebutuhan terhadap supplemental oksigen Sinar-X dada Menilai infiltrasi, pneumonia, atau gagal jantung kongestif Elektrokardiogram Menilai aritmua, iskemia miokard, atau infark, dapat memperkirakan emboli paru, jika ada pola gangguan ventrikuler kanan

Arteri gas darah

Menilai asidosis penyakit membutuhkan ventilasi mekanik

CT-PA, V/Q scan, angiogram pulmonary

Menilai emboli paru akut, membutuhkan terapi heparin

Cardiac telemetry

Monitor denyut jantung apakah ada aritmia, membutuhkan pengobatan control ventricular

Serum serial

troponin,

pengukuran

CK-MB Menilai infark miokard, atau infark

Serum elektrolit, BUN, creatinine

Menilai

insufisiensi

renal,

untuk

menyesuaikan dosis obat Kultur sputum dan analisis sensitivitas Untuk membantu pilihan antibiotic pada nonresponder pada terapi awal Defenisi eksaserbasi akut; keadaan akut pada COPD menengah hingga berat, ditandai dengan dyspneu yang semakin berat, meningkatnya volume sputum, meningkatnya purulen sputum. Diferensial diagnosis: pneumonia, supraventrikular aritmia dengan atau tanpa respon ventrikuler yang cepat, iskemia miokard, ekssaserbasi gagal jantung kongestif, fraktur tulang, angiogram pulmonary topographic, perfusi ventilasi V/Q; CKMB; creatinin kinase muscle brain isotype, BUN= blood urea nitrogen

Tabel 12.10 Pilihan teurapetik eksaserbasi COPD pengobatan Berhenti merokok regimen Disarankan Fakta pendukung berhenti Berhenti merokok dapat frekuensi diperkirakan

selama eksaserbasi; pada mengurangi pasien berhenti yang disarankan eksaserbasi

merokok sepertiga (124)

diresepkan bupropion atau regimen pengganti nikotin

pada kelompok konseling oksigen Aliran udara minimal Tidak diteliti dengan baik, untuk dapat menghasilkan

diperlukan memperoleg SaO2

hypercapnea, manfaat dari oksigen lebih besar

daripada resiko (133) Bronkodilator inhalasi agonist dan atau Ekuivalen -2 bronkodilator agonist atau antikolinergik (ipratropium dari

atau glycopyrolate) melalui antikolinergik; tidak ada nebulizer atau MDI setiap fakta 4 jam tambahan dari

kegunaan kombinasi (74). Metaanalisa tidak ada melaporkan perbedaan melalui MDI

bronkodilatasi nebulizer (134). versus

Glycopirrolate

mempunyai efek tambahan bronkodilator ketika

digunakan albuterol (135) Pemberian spectrum luas antibiotic Spectrum dekat, agen oral Reduksi (seperti trimetoprin, dalam durasi

doksisiklin, gejala, banyak manfaat dari pasien dengan (136). sputum Dua RCT pemberian jika sputum

sulfamethoxazol) selama 3- purulen 10 hari metaanalisa mendukung antibiotic

purulen (74, 137); tidak ada fakta Tidak durasi ada

pengobatan.

fakta

yang

mendukung agen baru

penggunaan

seperti: fluorokuinolon Kortikosteroid sistemik Prednisone (atau 40 mg/hari Pada pasien diberikan

ekuivalen) kortikosteroid sistemik 15 menghasilkan FEV1, 10%

ditappering off tiap 8-12 hari, minggu perbaikan resiko pengobatan

kegagalan dan

mengurangi waktu berobat ke RS (138). Pasien lain menunjukkan perbaikan

selama 10 hari versus 3 hari (139) Ventilasi invasive mekanik non Dua tingkat tekanan jalan RCT nafas melalui multiple

maskaer menunjukkan mengurangi intubasi, lama RS dan

hidung atau wajah, dimulai tingkat dengan tekanan nspirasi memperpendek dan ekspirasi 8-12 dan 3-5 rawatan cm H2O, di

kemudian memperbaiki kelngsungan dengan hidup pada pasien tertentu dengan hypercapneu kegagalan (78,79,140).

disesuaikan toleransi pasien

Bebrerapa percobaan telah melaporkan berkurangnya biaya rawatan RS (141) Ventilasi mekanik invasif Intubasi endotrakeal dan Dipertimbangkan ventilasi konvensional mekanik untuk efektif

menyelamatkan

hidup dari gagal nafas akut

Eksaserbasi akut gagal nafas pada COPD Penyebab mortalitas dan morbiditas eksaserbasi akut gagal nafas pada COPD adalah asidosis respirasi, dengan tanda klinis kelelahan, hypercapneu, sakit kepala, perubahan status mental, dari ringan hingga berat hingga keadaan tidak sadar. Temuan klinis lainnya meliputi: takikardia, nasal faring, retraksi otot intercostae, gangguan abdomen paradoxical, dan dyspneu berat. Diagnosis gagal nafas dapat dibuat apabila nilai pH darah PaCO2 kurang dari 0,75. Prognosis eksaserbasi COPD Hamper 60 persen pasien yang dirawat di RS karena fase eksaserbasi akan dirawat kembali di RS lebih dari sekali dalam waktu 6 bulan. Debuah penelitian terhadap pasien COPD menunjukkan jika nilai PaO2 > 50 mmHg akan mempunyai motralitas di RS sebanyak 11%, dan mortalitas 6 bulan 1 tahun sebanyak 33% dan 43%. Faktor klinis lain yang harus dipertimbangkan pada pasien COPd adalah fungsi paru, status kesehatan dan status nutrisi, keadaan komorbid penyakit dan prognosis jangka panjang setelah episode gagal nafas (75). Pasien COPD yang bertahan dengan penggunaan ventilasi mekanik selama eksaserbasi mempunyai prognosis jangka panjang yang sama dengan pasien yang mempunyai disfungsi paru yang tidak memerlukan bantuan ventilasi (86). Defisiensi 1 antirypsin (AAT) Defisiensi AAT merupakan factor genetic untuk COPD. AAT adalah gangguan herediter resesif autosom dimana serum pada paru bernilai rendah yang merupakan resiko congenital emfisema panacinar. AAT adalah sintesis inhibitor protease yang disintesis oleh hepatosit dan bertindak untuk menghambat elastase neutrofil.

Terapi Bedah untuk COPD Beberapa yang dianjurkan yaitu 1. Bulectomy: dilakukan jika terdapat bula dengan diameter > 1 cm yang berlokalisasi dalam paru contohnya: bullous emfisema. Kontraindikasi

bullectomy meliputi: sindrom paru vanishing, bronchitis purulen kronik, infeksi respirasi. Cara ini banyak dilakukan melalui thoracotomy. 2. Bedah reduksi volume paru: dilakukan dengan menggunakan tehnik pneumoplasty yang dikembangkan oleh Dr. Otto Brantigan tahun 1950, Cooper dan koleganya mereseksi 20%-30 % volume dari masing-masing paru.

Mortalitas sebanyak 4% dan komplikasi mayornya adalah udara bocor yang memanjang. 3. Transplantasi paru: dilakukan pada sekitar setengah dari seluruh transplantasi pari di AS. Individu yang menerima tranplantasi paru pada tahun 2000 adalah 47% antara usia 50 dan 64 tahun, 90% adalah adalah kulit putih dan 51% adalah wanita (116). 55% pasien yang mengalami tranplantasi paru pada tahun 1999 nemerlukan rawatan RS selama tranplantasi pertama dan lama kelangsungan hidup adalah 44%. Lama kelangsungan hidup adalah 14 tahun atau sebanyak 23% (116).

Tabel 12.11 Pedoman terapi reduksi volume paru pada COPD Kecocokan penyakit Baik kurang baik Profil operasi Baik Startifikasi Kurang baik resiko Hioertensi yang pulmonal, hypercapnea resiko

Distribusi heterogen Homogen, emfisema/lobus

distribusi emfisema kardiak diterima

predominan bagian seragam atas Hiperinflasi udara dan

Indeks massa tubuh Bertambahnya usia, yang dapat diterima DLCO < 20%,

FEV1 < 20% Indikasi : emfisema berat; terapi kesehatan maksimal symptomatic

kriteria inklusi: mampu berpartisipasi dalam program rehabilitasi pulmonal, mengerti resiko pembedahan, tidak merokok, menerima kandidat operasi

Kriteria ekslusi

: umur > 75 tahun, riwayat infeksi respirasi yang berulang, terus

merokok, pembedahan thorakal mayor sebelumnya, kelainan thorakal atau pleurodesis DLCO = diffusing capacity of lung caron monoxide; FEV1= forced expiratory volume dalam 1 detik

Tabel 12.12 Pedoman untuk transplantasi COPD Indikasi: stadium kronik COPD Criteria inklusi kriteria ekslusi

Prediksi ekspektasi kesehatan < 2-3 Usia > 65 tahun tahun FEV1 < 25% Hypercapnia (PaCO2 > 55 mmHg) merokok Tidak mampu mematuhi menejemen

kesehatan Cor pulmonal progresif Keganasan yang tidak terkontrol

Stratifikasi resiko kardiak yang dapat Disfungsi organ mayor signifikan diterima Waktu penyerahan: ketika diprediksikan ekspektasni hidup 3 tahun FEV1= forced expiratory volume dalam 1 detik, PaCO2 = arterial pasrtial pressure of carbon dioxide

Anda mungkin juga menyukai