Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PSIKIATRI

GANGGUAN SOMATISASI
Disusun Oleh: ANDIKA PRADANA 070100071

Supervisor:

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN JIWA (PSIKIATRI) FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI SUMATERA UTARA MEDAN 2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah dan petunjuk-Nya sehingga makalah ilmiah kepaniteraan klinik program pendidikan profesi dokter ini dapat diselesaikan dengan semaksimal mungkin. Makalah ilmiah ini disusun sebagai upaya integrasi pengetahuan biomedik yang didapat di bangku perkuliahan dengan kenyataan kasus yang terjadi pada pasien di rumah sakit. Diharapkan dengan penulisan makalah ilmiah ini, dapat dihasilkan suatu pemahaman yang utuh, integratif dan aplikatif mengenai seluk beluk penyakit yang dibahas dalam makalah ilmiah ini. Makalah ilmiah kali ini mengangkat topik Gangguan Somatisasi, suatu kelainan yang merupakan cakupan Ilmu Kesehatan Jiwa (Psikiatri). Diharapkan dengan membahas kasus ini, diperoleh pula pemahaman yang lebih kompleks mengenai bentuk kelainan somatoform ini dalam kaitannya dengan cakupan psikosomatis ilmu penyakit dalam. Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ilmiah kali ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi isi maupun sistematika penulisan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ilmiah ini kedepannya nanti.

Medan, September 2011

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Kata Pengantar Daftar Isi ............................................................................................. 1 2

.........................................................................................................

BAB I: Pendahuluan 1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1.2.Tujuan Penulisan .................................................................................. BAB II: Tinjauan Pustaka 2.1. Definisi .............................................................................................. 5 6 6 7 9 11 12 14 3 4

2.2. Epidemiologi ........................................................................................ 2.3. Etiologi ................................................................................................. 2.4. Manifestasi Klinis dan Patofisiologi ..............................................

2.5. Diagnosis .............................................................................................. 2.6. Differensial Diagnosis ......................................................................

2.7. Penatalaksanaan .................................................................................. 2.8. Prognosis .............................................................................................. BAB III: Penutup 3.1. Kesimpulan 3.2. Saran Daftar Pustaka Lampiran .................................................................................

15 15 16

............................................................................................. .............................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Gangguan somatisasi adalah suatu keadaan dijumpainya keluhan somatis yang

multipel dan berulang yang membuat penderita berusaha mencari pengobatan tanpa adanya kelainan fisik yang dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Gangguan ini bersifat kronis (dengan gejala ditemukan selama beberapa tahun dan dimulai sebelum usia 30 tahun) dan disertai dengan penderitaan psikologis yang bermakna, gangguan fungsi sosial dan pekerjaan, dan perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan. Gangguan somatisasi merupakan salah satu spectrum klinis gangguan somatoform. Ada dua jenis gangguan yang termasuk dalam kelompok gangguan somatoform: pertama, yang gambaran utamanya adalah kekhawatiran bahwa gejala yang ada merupakan bukti adanya penyakit (hipokondriasis) atau deformitas (dismorfofobia), dan kedua, yang gambaran utamanya adalah kekhawatiran tentang gejala somatik itu sendiri (antara lain gangguan somatisasi, disfungsi autonomikk persisten, dan gangguan nyeri somatoform persisten). Gangguan somatisasi telah dikenal sejak zaman mesir kuno. Nama awal untuk gangguan somatisasi adalah histeria, suatu terminologi yang tidak tepat karena dulunya diperkirakan hanya mengenai kaum wanita. Kata histeria itu sendiri berasal dari bahasa yunani yang berarti rahim, yaitu hystera. Pada abad ke-17 Thomas Syndenham menemukan bahwa faktor psikologis yang dinamakannya penderitaan yang mendahului (antecendent sorrow), terlibat dalam patogenesis gejala gangguan somatisasi. Pada tahun 1859 Paul Briquet, seorang dokter Prancis, mengamati banyaknya gejala dan sistem organ yang terlibat dan perjalanan penyakit yang biasanya kronis. Karena pengamatan klinis tersebut maka gangguan ini dinamakan Sindroma Briquet. Akan tetapi sejak tahun 1980 sejak diperkenalkan DSM edisi ketiga (DSM III) istilah Gangguan Somatisasi menjadi standar di Amerika Serikat untuk gangguan yang ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak sistem organ Pasien biasanya telah sering pergi ke berbagai macam dokter (doctor shopping). Beberapa pasien bahkan ada yang sampai menjalani tindakan operasi namun hasilnya negatif.

Keluhan yang paling sering biasanya berhubungan dengan sistem organ gastrointestinal seperti rasa mual, muntah, kembung ataupun nyeri ulu hati. Pasien juga sering mengeluhkan rasa sakit di berbagai organ atau sistem tubuh, misalnya nyeri kepala, punggung, persendian, tulang belakang, dada atau nyeri saat berhubungan badan. Kadang juga terdapat keluhan disfungsi seksual dan gangguan haid. Pasien biasanya tidak mau menerima pendapat dokter bahwa mungkin ada dasar psikologis yang mendasari gejalanya sehingga akan terus mencoba mencari pengobatan yang terkadang berlebihan. Mengingat luasnya cakupan permasalah gangguan somatisasi ini, makalah ini disusun untuk lebih mengeksplorasi dan menelaah lebih lanjut berbagai tinjauan teoritis dan klinis dari gangguan somatisasi sehingga diharapkan dapat menghasilkan suatu pemahaman yang komprehensif dan utuh mengenai topic Gangguan Somatisasi ini.

1.2.

Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya:

Menelaah lebih dalam tentang tinjauan teoritis gangguan somatisasi Memaparkan pembahasan klinis gangguan somatisasi dari segi terminologis, etiologi, patofisiologi, kriteria diagnostik, penatalaksanaan serta prognosis kejadian gangguan somatisasi.

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Definisi Gangguan somatisasi didefinisikan sebagai suatu keadaan dijumpainya keluhan somatis yang multipel dan berulang yang membuat penderita berusaha mencari pengobatan tanpa adanya kelainan fisik yang dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Somatisasi secara terminologis berarti suatu proses seseorang mengalami dan mengungkapkan rasa ketidaknyamanan emosional atau stres psikososial yang dialaminya dengan menggunakan gejala-gejala fisik.1 Gangguan somatisasi merupakan salah satu jenis gangguan somatoform. Kata somatoform diambil dari kata soma yang berarti tubuh. Pada gangguan somatoform pasien menunjukkan keluhan gejala fisik yang berulang disertai dengan permintaan pemeriksaan medis meskipun sudah terbukti hasilnya negatif dan sudah mendapatkan penjelasan bahwa tidak ada kelainan yang mendasari keluhannya. Pasien dengan gangguan somatoform menyangkal kaitan antara keluhan fisiknya dengan konflik dalam kehidupan yang dialaminya. 1,2 Gangguan somatisasi dibedakan dari gangguan somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan melibatkaan sistem organ yang multipel (sebagai contoh, gastrointestinal dan neurologis). Gangguan ini bersifat kronis dengan gejala ditemukan selama beberapa tahun dan dimulai sebelum usia 30 tahun dan disertai dengan penderitaan psikologis yang bermakna, gangguan fungsi sosial dan pekerjaan, dan perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan. 1 Gangguan somatisasi sebenarnya telah lama dikenal sejak zaman Mesir kuno dengan istilah hysteria. Kata hysteria diambil dari kata hystera yang berarti rahim. Hal ini dikarenakan dahulu penderita gangguan ini adalah kaum wanita yang diduga terjadi akibat terjadinya dislokasi rahim dan organ-organ intraabdomen lainnya. Hingga kemudian Thomas Sidenham dan Briquet menemukan kasus gangguan somatisasi pada pria dan kemudian mengajukan konsep hubungan keluhan fisik tersebut dengan keadaan emosional seseorang. 1,2

2.2. Epidemiologi Prevalensi gangguan somatisasi pada populasi umum diperkirakan 0,1 0,2 %, walaupun beberapa kelompok penelitian percaya bahwa angka sesungguhnya mungkin mendekati 0,5 %. Prevalensi gangguan somatisasi pada wanita di populasi umum adalah 1 2 %. Rasio penderita wanita dibanding laki-laki adalah 5 berbanding 1 dan biasanya gangguan mulai pada usia dewasa muda (sebelum usia 30 tahun). 1 Beberapa peneliti menemukan bahwa gangguan somatisasi seringkali terjadi bersamasama dengan gangguan mental lainnya. Sifat kepribadian atau gangguan kepribadian yang seringkali menyertai adalah yang ditandai oleh ciri kepribadian penghindaran (avoidance), paranoid, mengalahkan diri sendiri dan obsesif kompulsif. 3

2.3. Etiologi Hingga saat ini etiologi pasti dari gangguan somatisasi masih belum diketahui. Namun demikian, terdapat beberapa teori yang mencoba menjelaskan munculnya gangguan somatisasi ini, diantaranya: a. Teori Psikososial Terdapat faktor-faktor psikososial berupa konflik psikis di bawah sadar yang mempunyai tujuan tertentu, sehingga apabila dicermati, maka bentuk keluhan fisisk yang timbul sebenarnya dapat diinterpretasi sebagai suatu bentuk komunikasi emosional untuk meredam dan untuk mensimbolisasikan konflik tersebut. Dalam hal ini, pasien mungkin tidak dapat mengkomunikasikan emosi mereka secara verbal, sehingga mereka menggunakan keluhan somatik sebagai media perantara. Sebagai contoh, seringkali dijumpai pasien remaja perempuan yang mengeluhkan nyeri perut yang tidak dapat dijelaskan yang sebenarnya bermaksud untuk mencegah agar orangtuanya tidak pergi meninggalkannya. 1,3

b. Teori Psikodinamik Postulat Freud mengemukakan adanya fiksasi pada fase phallic dalam hal Oedipus kompleks pada fase phallic kemungkinan memiliki kaitan dengan kecenderungan seseorang untuk menyatakan perasaan emosionalnya melalui keluhan fisik. Namun

analisis literatur terbaru menyatakan kemungkinan fiksasi fase genital juga berpengaruh terhadap kejadian gangguan somatisasi. 1,3

c. Teori Neurobiologis Penelitian neurofisiologis telah mengemukakan adanya gangguan bifrontal pada kedua hemisfer cerebri. Selain itu, dijumpai juga adanya disfungsi aspesifik pada hemisfer non dominan pasien dengan gangguan somatisasi. Hal ini didasarkan juga pada fakta bahwa keluhan fisik yang mendominasi bagian kiri tubuh seseorang ternyata berkorelasi dengan gangguan pada hemisfer kanan pasien tersebut. 1,2,3 Ditemukan adanya faktor genetik dalam transmisi gangguan somatisasi dan adanya penurunan metabolisme (hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer nondominan. Selain itu diduga terdapat regulasi abnormal sistem sitokin yang mungkin menyebabkan beberapa gejala yang ditemukan pada gangguan somatisasi. 1,2,3

d. Faktor Herediter Beberapa penelitian terakhir menyebutkan adanya peningkatan resiko terjadinya gangguan somatisasi pada pasien dengan riwayat keluarga yang memiliki kepribadian antisocial. 1,3

2.4. Manifestasi Klinis dan Patofisiologi Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa gangguan somatisasi melingkupi cakupan keluhan yang sangat luas dan multipel serta variatif. Meskipun demikian, keluhan yang timbul pada pasien dengan gangguan somatisasi umumnya meliputi setidak-tidaknya 4 keluhan nyeri di lokasi yang berbeda-beda, dua keluhan gastrointestinal, satu keluhan organ reproduksi dan satu keluhan neurologis. Adapun penjelasan untuk masing masing keluhan tersebut adalah sebagai berikut: a. Keluhan nyeri psikogenik Nyeri psikogenik adalah nyeri yang tidak berhubungan dengan nyeri nosiseptik maupun nyeri neuropatik dan disertai dengan gejala-gejala psikis yang nyata. Seringkali disebut juga sebagai nyeri somatoform, nyeri idiopatik atau nyeri atipikal. 3,4

Anamnesis tepadu sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi apakah nyeri yang dialami pasien merupakan nyeri organik ( nosiseptif maupun nueropatik) ataukah memang nyeri psikogenik. Nyeri psikogenik ini biasanya bersifat difus, tidak jelas hubungannya dengan struktur jaringan, intensitasnya berubah-ubah dan terdapat disparitas antara mekanisme yang mencetuskan dengan jenis dan beratnya nyeri. Servikalgia, dorsalgia, lumbalgia, brakialgia dan nyeri pada ekstremitas bawah merupakan beberapa keluhan nyeri psikogenik yang sering dijumpai pada sistem muskuloskeletal. Keluhan nyeri lain dapat berupa nyeri dada dan nyeri ulu hati yang tidak spesifik dengan suatu kriteria diagnosis penyakit tertentu misalnya gastritis atau infark miokard. 4

b. Keluhan gastrointestinal Keluhan gastrointestinal yang dimaksudkan di sini adalah keluhan lain selain nyeri yang berkaitan dengan organ pencernaan. Beberapa contoh keluhan gastrointestinal yang mungkin timbul diantaranya keluhan konstipasi psikogenik, dispepsia fungsional maupun diare psikogenik. 5 Konstipasi psikogenik dapat muncul jika seseorang merasa putus asa, depresif dan

pesimis yang akan menurunkan rangsang di hipotalamus secara signifikan yang mengakibatkan rangsangan di kolon juga menjadi sangat berkurang dan menyebabkan timbulnya keluhan konstipasi psikogenik. 5 Dispepsia fungsional merupakan salah satu keluhan yang paling sering dikeluhkan pasien dengan gangguan somatisasi. Keluhan ini seringkali berupa rasa tidak enak terutama pada ulu hati (epigastrium), rasa penuh yang terutama dialami sesudah makan, cepat kenyang, sering bersendawa tanpa adanya kelainan organik yang biasanya bersifat kronis dan sering kambuh. Konflik emosional mempengaruhi kerja hipotalamus anterior yang diteruskan ke nervus vagus dan ke lambung. Selain itu, rangsangan pada hipotalamus anterior akan mempengaruhi hipofisis anterior untuk melepaskan kortikotropin yang akan memperlambat waktu pengosongan lambung. 5 Walaupun lebih jarang dijumpai dibandingkan dengan dua keluhan sebelumnya, diare psikogenik dapat terjadi terutama pada orang yang mengalami anxietas, emosi atau sedang dalam keadaan stress yang mengakibatkan kacaunya impuls hipotalamus dan susunan saraf autonom. Hal ini akan mengakibatkan hiperperistaltik kolon sehingga air

dari sisa bolus makanan tidak dapat direabsorpsi dan mengakibatkan terjadinya diare psikogenik. 5

c. Keluhan seksual dan organ reproduksi Keluhan seksual yang terjadi pada pasien dengan gangguan somatisasi dapat sangat beraneka ragam. Pada wanita, keluhan seksual dapat berupa gangguan arousal dan gangguan orgasme. Dalam hal ini wanita tidak memiliki kemampuan mempertahankan aktivitas seksual hingga selesai pada keadaan respons lubrikasi yang baik. Gangguan orgasme ditandai dengan terhambatnya orgasme setelah fase perangsangan secara menetap atau berulang. Keluhan seksual lain yang dapat timbul pada wanita dapat berupa keluhan nyeri saat berhubungan seksual (dispareunia) hingga ketidakteraturan siklus haid bulanan. Keluhan seksual yang terjadi pada pria dapat berupa gangguan dorongan seksual, disfungsi ereksi, gangguan ejakulasi hingga gangguan orgasme. 1 Keluhan seksual ini lebih potensial terjadi jika adanya gangguan ataupun fiksasi pada masa oedipus complex dan masa timbulnya ego dan superego menurut Freud. 1

d. Keluhan neurologis Keluhan neurologis yang dimaksudkan disini dapat sama dengan keluhan yang ditunjukkan pada keadaan gangguan konversi. Pasien dapat mengeluhkan tiba-tiba menjadi buta dan sama sekali tidak dapat melihat sesaat setelah terjadi peristiwa yang sangat emosional. Pada contoh lain, pasien tidak dapat menggerakkan anggota badannya yang seolah-olah pasien mengalami serangan stroke padahal tidak terdapat lesi organik di otak. Dengan demikian, keluhan-keluhan tersebut lebih tepat dinamakan keluhan pseudoneurologis. 4

2.5. Diagnosis Dalam hal menegakkan suatu diagnosis gangguan somatisasi, terdapat dua referensi kriteria diagnostik yang berbeda, yaitu panduan diagnostik menurut DSM-IV (The Diagnosis and Statistic Manual of Mental Disorder, Fourth Edition) dan kriteria diagnosis yang ditegakkan berdasarkan kriteria PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, edisi ke III).

Adapun kriteria diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV, yaitu: 6 A. Riwayat mengalami banyak keluhan fisik dengan onset sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama periode beberapa tahun dan menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya. B. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual yang terjadi pada sembarang waktu selama perjalanan gangguan. 1. Empat gejala nyeri, yang meliputi: Riwayat nyeri yang berhubungan dengan sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlebihan (misalnya: kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, atau selama miksi). 2. Dua gejala gastrointestinal, yang meliputi: Riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal selain dari nyeri (misalnya: mual, kembung, muntah selain dari kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap berbagai jenis makanan). 3. Satu gejala seksual, yang meliputi: Riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau reproduksi selain dari nyeri (misalnya: indiferensi seksual, disfungsi erektil, atau ejakulasi, menstruasi yang tidak teratur, perdaraahan menstruasi yang berlebih, muntah sepanjang kehamilan). 4. Satu gejala pseudoneurologis, yang meliputi: Riwayat sekurangnya satu gejala atau defisit yang mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguaan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan setempat, sulit menelan atau benjolan ditenggorokan, retensi urin, hilangnya sensasi sentuh atau nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang, gejala disosiatif seperti amnesia atau hilangnya kesadaran selain pingsan). C. Salah satu dari poin (1) atau (2) berikut: 1. Setelah penjajakan yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis umum yang dikenal atau efek langsung dari suatu zat (misalnya: efek cedera, medikasi, obat atau alkohol). 2. Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya melebihi apa yang diperkirakan dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium.

D. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau pura-pura). Sedangkan kriteria diagnosis gangguan somatisasi menurut kriteria PPDGJ-III adalah sebagai berikut: 7 a. Adanya banyak keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya 2 tahun b. Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahkan tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya. c. Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya.

2.6. Differensial Diagnosis Dalam hal menegakkan diagnosis pasti suatu gangguan somatisasi, seorang klinisi harus mampu memastikan bahwa keluhan fisik yang dialami pasien tidak berkaitan dengan kelainan organik yang dapat dibuktikan melalui pemeriksaan fisik dan laboratorium. Hal ini dikarenakan keluhan fisik multipel yang ditemukan sedemikian pada pasien gangguan somatisasi dapat pula ditemukan pada kondisi medis non-psikiatrik yang meliputi multiple sclerosis, miastenia gravis, lupus eritematosus sistemik serta berbagai penyakit autoimun lainnya. 1,2,7 Selain itu, keluhan fisik yang muncul pada gangguan somatisasi dapat menyerupai keadaan medis yang muncul pada gangguan depresi berat, gangguan kecemasan (anxietas), dan gangguan somatoform lainnya. Diagnosis banding tersebut dapat mencakup: - Gangguan hipokondriasis - Gangguan nyeri somatoform menetap - Gangguan konversi - Gangguan somatoform tak terinci - Gangguan dismorfik tubuh - Gangguan buatan dan berpura-pura1,7

2.7. Penatalaksanaan 2.7.1. Penatalaksanaan Non Farmakologis Sampai saat ini, penatalaksanaan pasien dengan diagnosis gangguan somatisasi masih merupakan tantangan tersendiri dalam ilmu kedokteran jiwa (psikiatri). Hal ini dikarenakan tidak adanya penyebab pasti dari gangguan ini mengakibatkan sulit untuk melakukan intervensi spesifik terhadap pasien. Klinisi yang memberikan penatalaksanaan kepada pasein sebaiknya tidak terlalu terfokus kepada farmakoterapi, karena sampai saat ini belum ada terapi farmakologis maupun terapi psikososial yang benar-benar terbukti efektif pada pasien gangguan somatisasi. Dalam hal ini perhatian dan kepedulian serta kerjasama yang baik dengan pasien sering kali lebih bermanfaat (caring rather than curing). 1,2 Beberapa jenis penatalaksanaan yang telah direkomendasikan diantaranya tersmasuk terapi behavioural, terapi kognisi dan terapi interpersonal. Terapi behavioural yang dilakukan meliputi menghindari tirah baring berkepanjangan yang hanya akan meningkatkan rasa lemah pada diri pasien dan membuat pasien hanya akan terfokus memikirkan keliuhan fisiknya saja sepanjang hari). Terapi interpersonal yang dapat diberikan meliputi kontak dan komunikasi yanhg lebih intens dengan keluarga dan mencoba mencari solusi terhaap konflik harian yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari pasien. Perbaikan keadaan pasien didasarkan pada perbaikan kapasitas fungsionalnya, dan perbaikan pasien biasanya sangat bertahap. 8 Saat ini metode terapi yang juga direkomedasikan untuk penatalaksanaan pasien gangguan somatisasi termasuk terapi PCI (Psychiatrist Consultations Interventions) yang diperkenalkan oleh Smith, dkk. Dalam model terapi ini, klinisi yang merwat pasien secara teratur menjumpai pasien dan mengamati perkembangan klinis pasien dalam jadwal yang sudah teratur dan rutin sedemikian rupa dengan tidak terlalu terfokus pada penjajakan laboratorium lagi. Beberapa aspek penting dalam konsep terapi PCI ini meliputi: 8 Menjadwalkan pertemuan rutin dengan pasien secara teratur, dan bukan sekedar pertemuan berupa konsultasi hanya pada saat pasien sedang membutuhkan saja. Melakukan pemeriksaan fisik yang terpadu dan komprehensif yang terutama difokuskan pada daerah tubuh dimana pasien mengeluhkan gejalanya. Menghindari sarana penjajakan diagnosis serta terapi yang berlebihan, berulang-ulang, invasif serta hal-hal lain yang membutuhkan pasien untuk dirawat inap.

Menghindari memberikan penjelasan berulang-ulang kepada pasien bahwa sebenarnya keluhan pasien tersebut tidak ada semuanya hanya ada dalam pikiran pasien saja. Allen, dkk juga telah melakukan penelitian dengan menggunakan CBT (Cognitive Behavioral Therapy) sebagai salah satu pendekatan terapi pada pasien dengan gangguan somatisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 15 bulan setelah memulai terapi CBT, pasien melaporkan keadaan tubuh yang menurut mereka jauh lebih baik dibandingkan sebelum memulai terapi CBT. Penilaian ini didasarkan pada kuesioner yang dilaporkan oleh penilaian pasien sendiri terhadap keadaan dirinya. Peneliti juga mengemukakan penurunan keluhan fisik yang dijumpai setelah terapi CBT. Menurut Allen, dkk, tujuan dari terapi model CBT ini antara lain: 8 Mengurangi kerentanan fisiologis pasien untuk mengeluhkan berbagai gejala melalui teknik relaksasi Menstimulasi pengaturan aktivitas melalui peningkatan intensitas berbagai hal yang menyenangkan pasien termasuk olahraga serta kegiatan yang memberikan tantangan Memodifikasi keyainan pasien akan keadaan disfungsi dirinya Menstimulasi komunikasi melalui eksplorasi pikiran dan emosi pasien Jika gangguan somatisasi telah didiagnosis, dokter yang mengobati pasien harus mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi emosional, bukannya sebagai keluhan medis. Tetapi, pasien dengan gangguan somatisasi dapat juga memiliki penyakit fisik, karena itu dokter harus mempertimbangkan gejala mana yang perlu diperiksa dan sampai sejauh mana. 1,9 Strategi luas yang baik bagi dokter perawatan primer adalah meningkatkan kesadaran pasien tentang kemungkinan bahwa faktor psikologis terlibat dalam gejala penyakit. Psikoterapi dilakukan baik individual dan kelompok. Dalam lingkungan psikoterapetik, pasien dibantu untuk mengatasi gejalanya, untuk mengekspresikan emosi yang mendasari dan untuk mengembangkan strategi alternatif untuk mengekspresikan perasaan mereka. 1,9

2.7.2. Penatalaksanaan Farmakologis Sampai saat ini, tidak ada percobaan klinis terapi farmakologis yang terbukti adekuat dalam hal penatalaksanaan gangguan somatisasi. Pengobatan psikofarmakologis sebenarnya hanya diindikasikan bila gangguan somatisasi disertai dengan gangguan psikiatrik penyerta lainnya (misalnya: gangguan mood, gangguan depresi yang nyata, gangguan anxietas). 1,9 Obat-obatan yang dianggap cukup efektif dalam situasi-siatusi tersebut, antara lain: a. Gejala-gejala spesifik tertentu yang sulit disembuhkan seperti nyeri kepala, mialgia, dan bentuk-bentuk penyakit kronik lainnya dapat sedikit berkurang dengan golongan obat antidepresan trisiklik seperti Amitriptylline. Demikian pula pasien-pasien gangguan somatisasi yang disertai dengan gangguan cemas akan sedikit menunjukkan perbaikan dengan penggunaan obat golongan Benzodiazepine seperti Diazepan maupun Alprazolam, termasuk juga dapat memikirkan penggunaan obat golongan penyekat reseptor beta (beta blocker), walaupun mungkin pasienpasien tersebut tidak memenuhi kriteria untuk didiagnosis sebagai suatu gangguan panik atau kecemasan. 9

b. Obat-obat simtomatik murni (misal: analgetik dan antasida). Obat-obatan ini hnaya diberikan secara pro renata, atau dengan kata lain hanya dikonsumsi saat memang sedang dibutuhkan saja. Medikasi harus dimonitor karena pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat secara berlebihan dan tidak terkontrol. 9

2.8. Prognosis Gangguan somatisasi merupakan gangguan yang berlangsung kronik, berfluktuasi, menyebabkan ketidakmampuan dan sering kali disertai dengan ketidakserasian dari perilaku sosial, interpersonal dan keluarga yang berkepanjangan. Episode peningkatan keparahan gejala dan perkembangan gejala yang baru diperkirakan berlangsung 6 9 bulan dan dapat dipisahkan dari periode yang kurang simtomatik yang berlangsung 9 12 bulan. Tetapi jarang seorang pasien dengan gangguan somatisasi berjalan lebih dari satu tahun tanpa mencari suatu perhatian medis. 1,9 Prognosis gangguan somatisasi umumnya sedang sampai buruk. Seringkali terdapat hubungan antara periode peningkatan stress atau stress baru dan eksaserbasi gejala somatik.

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan Gangguan somatisasi didefinisikan sebagai suatu keadaan dijumpainya keluhan somatis yang multipel dan berulang yang membuat penderita berusaha mencari pengobatan tanpa adanya kelainan fisik yang dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Etiologi pasti gangguan somatisasi belum dapat diidentifikasi hingga saat ini. Manifestasi klinis yang ditunjukkan memperlihatkan banyaknya keluhan fisik yang meliputi keluhan nyeri di berbagai lokasi, keluhan gastrointestinal, keluhan seksual dan alat reproduksi serta keluhan neurologis yang seringkali besifat kronik dan berulang sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Diagnosis pasti dari gangguan somatisasi ditegakkan dengan menggunakan kriteria diagnosis yang dikemukakan oleh DSM-IV atau dengan mengacu pada kriteria diagnostik PPDGJ-III. . Penatalaksanaan ditujukan kepada perbaikan fungsi sosial pasien melalui berbagai pendekatan farmakologis dan non-farmakologis seperti terapi PCI dan terapi kognisibehaviour.

3.2. Saran Dibutuhkan penatalaksanaan yang komprehensif yang meliputi berbagai aspek dengan melibatkan beberapa praktisi dalam hal penatalaksanaan pasien dengan gangguan somatisasi. Dukungan sosial juga perlu dibangun guna kepentingan perbaikan klinis pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gugenheim, Frederick G. Somatoform Disorders. In: Kaplan HI, Sadock BJ, Greb JA, editors. Comprehensive Textbook of Psychiatry Volume II 7th edition. Philadelphia: Lippincot William & Wilkins; 2000. p . - 2. Fausiah, Fitri. Widury, Julianti. Gangguan Somatoform dan Gangguan Buatan. Dalam: Basri, Augustine Sukarian, penyunting. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia ; 2008. h. 25-38 3. Rief W, Hessel A, Braehler E. Somatization Symptomps and Hypochondriacal Features in General Population. Psychosomatik Medicine. 2001; 63: 595 602 4. Shatri, Hamzah. Setiyohadi, Bambang. Nyeri Psikogenik. Dalam: Sudoyo Aru W, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi ke IV. Jakarta: Penerbit Bagian IPD FK UI; 2006. h. 929 931 5. Hadi, Sujono. Psikosomatik pada Saluran Cerna Bagian Bawah. Dalam: Sudoyo Aru W, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi ke IV. Jakarta: Penerbit Bagian IPD FK UI; 2006. h. 917 919 6. American Psychiatrist Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fourth Edition (DSM-IV). Washington; 1994. p . - . 7. Maslim, Rusdi. Gangguan Neurotik, Gangguan Somatoform dan Gangguan Terkait Stress. Dalam: Maslim, Rusdi, penyunting. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: FK Unika Atma Jaya; 2003. h. 84 86 8. Allen LA, Woolfolk RL, Escobar JI, Gara MA, Hamer RM. Cognitive-Behavioural Therapy for Somatization Disorder: A Randomized Controlled Trial. Arch Intern Med. 2006; 166: 1512 18. 9. Noyyes RJ, Holt CS, Kathol RG. Somatization: Diagnosis and Management A Clinical Review. Arch Fam Med. 1995; 4: 790 795

Anda mungkin juga menyukai