Anda di halaman 1dari 37

BAB I PENDAHULUAN Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian maternal terbanyak.

Dari lapo ran-laporan baik di negara maju maupun di negara berkembang angka kejadian berki sar antara 5% sampai 15%. Semua wanita hamil dengan umur kehamilan 20 minggu mem iliki resiko perdarahan post partum. Frekuensi perdarahan port partum yang dilap orkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari selur uh persalinan. Dari angka tersebut, diperoleh sebaran etiologi antara lain: aton ia uteri (50 - 60 %), sisa plasenta (23 - 24 %), retensio plasenta (16 17 %), la serasi jalan lahir (4 - 5 %), kelainan darah (0,5 - 0,8 %). Walaupun angka kemat ian maternal telah turun secara drastis di negara-negara berkembang, perdarahan post partum tetap merupakan penyebab kematian maternal terbanyak dimana-mana.(1, 2,3) Kematian maternal adalah kematian wanita saat hamil, melahirkan atau dalam 6 minggu setelah berakhirnya kehamilan. Tingkat kematian maternal (maternal mort ality rate) atau Angka Kematian Ibu (AKI) didefinisikan sebagai jumlah kematian maternal selama satu tahun dalam 100.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Ibu (AK I) di Indonesia tertinggi di ASEAN, sebesar 307/100.000 kelahiran hidup (Survei Demografi Kesehatan Indonesia SDKI 2002 - 2003); artinya lebih dari 18.000 ibu t iap tahun atau dua ibu tiap jam meninggal oleh sebab yang berkaitan dengan keham ilan, persalinan dan nifas.(4,5) Definisi perdarahan post partum saat ini belum dapat ditentukan secara pasti. Perdarahan post partum didefinisikan sebagai perd arahan lebih dari 500 mL setelah persalinan pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal. Perdarahan dalam jumlah ini dalam waktu kurang dar i 24 jam disebut sebagai perdarahan post partum primer, dan apabila perdarahan i ni terjadi lebih dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post partum sekunder. (1 ,2,3) 1

Penanganan perdarahan post partum harus dilakukan dalam 2 komponen, yaitu: (1) r esusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum. ( 3 , 6 ) 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Definisi Perdarahan post partum atau perdarahan pasca persalinan atau post partum haemorrhage (PPH) adalah perdarahan atau hilangnya darah 500cc atau lebi h yang terjadi setelah anak lahir. Perdarahan dapat terjadi sebelum, selama, ata u sesudah lahirnya plasenta. Definisi lain menyebutkan perdarahan pasca persalin an adalah perdarahan 500cc atau lebih yang terjadi setelah plasenta lahir. Menur ut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian: (1-5) a. Perdarahan post partum prim er (early postpartum hemorrhage) yang terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir. b . Perdarahan post partum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang terjadi anta ra 24 jam sampai 6 minggu post partum (masa nifes). II.2. Epidemiologi Menurut A bou Zahr 1998, angka kejadian perdarahan postpartum di Indonesia yaitu 43 %. Per darahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan yang berlebihan pada k ehamilan, dan hampir semua transfusi pada wanita hamil dilakukan untuk mengganti kan darah yang hilang setelah persalinan. Di negara kurang berkembang, hal ini m erupakan penyebab utama dari kematian maternal disebabkan kurangnya tenaga keseh atan yang memadai, kurangnya layanan transfusi, serta kurangnya layanan operasi. Mochtar melaporkan angka kematian ibu 7,9% dan Wiknjosastro 1,8-4,5% akibat per darahan post partum. Berdasarkan faktor resikonya, perdarahan post partum paling banyak disebabkan oleh tone yaitu atonia uteri sebesar 70%.(1,5,7,8) 3

II.3. Etiologi Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan perdarahan postpar tum, faktor-faktor yang menyebabkan perdarahan postpartum adalah 4T (Tonus. Tiss ue, Trauma, dan Trombin) dimana tonus paling banyak disebabkan oleh atonia uteri , sedangkan tissue disebabkan oleh retensio plasenta, serta sisa plasenta; traum a disebabkan salah satunya oleh perlukaan jalan lahir, serta trombin biasanya ak ibat kelainan pembekuan darah. Berikut tabel dan masing-masing pembahasannya: (1-6) Tabel 1. Etiologi Perdarahan Post Partum Dikutip dari kepustakaan 9 1. Tonus Sal ah satu etiologi perdarahan post partum adalah tonus, dimana yang menjadi penyeb ab terbanyak dari tonus adalah ketidakmampuan dari tonus otot uterus untuk berko ntraksi atau lebih dikenal dengan atonia uteri. Atonia uteri adalah suatu keadaa n dimana uterus gagal untuk berkontraksi dan mengecil sesudah janin keluar dari rahim. Perdarahan postpartum secara fisiologis di kontrol oleh kontraksi serat-s erat miometrium terutama 4

yang berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat perlengket an plasenta. Atonia uteri terjadi ketika miometrium tidak dapat berkontraksi.(10 ) Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus membesar dan lembek pada palpasi. Atonia uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan, deng an memijat uterus dan mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan plasenta, seda ng sebenarnya belum terlepas dari uterus.(1) Atonia uteri merupakan penyebab uta ma perdarahan postpartum. Disamping menyebabkan kematian, perdarahan postpartum memperbesar kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan yang banyak bisa menyebabkan "Sindroma Sheehan yang terjadi tidak lam a sesudah persalinan sebagai akibat syok karena perdarahan. Hipofisis berinvolus i sesudah persalinan dan diduga bahwa pengaruh syok pada hipofisis yang sedang d alam involusi dapat menimbulkan nekrosis pada pars anterior. Gejala-gejala sindr om Sheehan antara lain astenia, hipotensi, dengan anemia, turunnya berat badan s ampai menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat gen ital, kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dengan hipotensi , amenorea dan kehilangan fungsi laktasi.(1) Overdistensi uterus, baik absolut m aupun relatif, merupakan faktor resiko mayor terjadinya atonia uteri. Overdisten si uterus dapat disebabkan oleh kehamilan ganda, janin makrosomia, polihidramnio n atau abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan struktur uterus atau keg agalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat akumulasi darah di uterus baik sebelum maupun sesudah plasenta lahir.(10) Lemahnya kontraksi miometrium me rupakan akibat dari kelelahan karena persalinan lama atau persalinan dengan tena ga besar, terutama bila mendapatkan stimulasi. Hal ini dapal pula terjadi sebaga i akibat dari 5

inhibisi kontraksi yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen anestesi terha logenisasi, nitrat, obat-obat anti inflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, betasimpatomimetik dan nifedipin. Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri (korioamnionitis. endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi atau uterus couvelaire pada abruptio pl asenta dan hipolermia akibat resusitasi masif. Data terbaru menyebutkan bahwa gr ande multiparitas bukan merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya perd arahan post partum.(1,10) 2. Tissue a. Retensio plasenta b. Sisa plasenta c. Pla senta akreta dan variasinya. Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah j anin lahir, hal ini dinamakan retensio plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas akan tetapi b elum dilahirkan.(2) Jika plasenta belum lepas sama sekali maka tidak terjadi per darahan, tapi apabila terlepas sebagian maka akan terjadi perdarahan yang merupa kan indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus kar ena: (2,10,11) Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva). Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vilis korialis m enembus desidua sampai miometrium sampai dibawah peritoneum. Menurut tingkat per lekatannya dibagi menjadi : 1. Plasenta Adhesiva : Plasenta yang menempel pada d esidua endometrium. 2. Plasenta Inkreta : Plasenta yang vili-vilinya menembus sa mpai ke miometrium uterus. 6

3. Plasenta Akreta : Plasenta yang vili-vilinya menembus desidua basalis sampai ke miometrium sedikit dibawah desidua. 4. Plasenta Parkreta : Plasenta yang menc apai lapisan serosa dinding uterus atau peritoneum. 5. Plasenta Inkarserata : Te rtahannya plasenta dalam cavum uteri karena atonia uteri. Gambar 1. Plasenta Perkreta-Akreta-Inkarserata Dikutip dari kepustakaan no 11 Pl asenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III s ehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi k eluarnya plasenta (inkarserasio plasenta). Sisa plasenta yang tertinggal merupak an penyebab 20-25 % dari kasus perdarahan postpartum.(10,13,14) Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan adanya massa uterus yang echogenic yang mendukung diag nosa retensio sisa plasenta. Hal ini bisa digunakan jika perdarahan beberapa jam setelah persalinan ataupun 7

pada late postpartum hemorraghe. Apabila didapatkan cavum uteri kosong tidak per lu dilakukan dilatasi dan kuretase.(3,15) 3. Trauma Sekitar 20% kasus perdarahan postpartum disebabkan oleh trauma jalan lahir: (16,17) Robekan Perineum Ruptur uterus Inversi uterus Perlukaan jalan lahir Vaginal hematom Robekan perineum dib agi atas 4 tingkat, yaitu (18) Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vag ina atau tanpa mengenai kulit perineum. Tingkat II : Robekan mengenai selaput le nder vagina dan otot perinei transversalis tetapi tidak mengenai sfingter ani. T ingkat III : Robekan mengenai seluruh perineum dan otot sfingter ani. Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rectum. Ruptur spontan uterus jarang terjadi, fektor re siko yang bisa menyebabkan antara lain grande multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya, dan persalinan dengan induksi oxytosin. Rupture uteru s sering terjadi akibat jaringan parut sectio secarea sebelumnya.(10) Laserasi d apat mengenai uterus, cervix, vagina, atau vulva, dan biasanya terjadi karena pe rsalinan secara operasi ataupun persalinan pervaginam dengan bayi besar, termina si kehamilan dengan vakum atau ekstraksi forcep, walau begitu laserasi bisa teij adi pada sembarang persalinan.(10,12) 8

Laserasi pembuluh darah dibawah mukosa vagina dan vulva akan menyebabkan hematom , perdarahan akan tidak terdeteksi dan dapat menjadi berbahaya karena tidak akan terdeteksi selama beberapa jam dan bisa menyebabkan terjadinya syok.(10,14) Epi siotomi dapat menyebabkan perdarahan yang berlebihan jika mengenai arteri atau v ena yang besar, jika episitomi luas, jika ada penundaan antara episitomi dan per salinan, atau jika ada penundaan antara persalinan dan perbaikan episiotomi.(13) Perdarahan yang terus terjadi dan kontraksi uterus baik akan mengarah pada perd arahan dari laserasi ataupun episiotomi. Ketika laserasi serviks atau vagina dik etahui sebagai penyebab perdarahan maka repair adalah solusi terbaik.(2,19) Pada inversio uteri bagian alas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri s ebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri. Peristiwa ini terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar. Inversio uteri dapat dibagi:(2,3, 17) Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar dari ruang ter sebut. Korpus uteri yang terbalik sudah masuk kedalam vagina. Uterus dengan vagi na semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak diluar vagina. Tindakan yang dapat menyebabkan inversio uteri ialah perasat crede pada korpus uteri yang tid ak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan plasenta yang belum lepa s dari dinding uterus. Pada penderita dengan syok perdarahan dan fundus uteri ti dak ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III atau setelah persalinan seles ai. Pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lunak diatas servix uteri ata u dalam vagina. Kelainan tersebut dapat menyebabkan keadaan 9

gawat dengan angka kematian tinggi (15-70%). Reposisi secepat mungkin memberi ha rapan yang terbaik untuk keselamatan penderita.(10) 4. Thrombin / Kelainan Pembe kuan Darah Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan ataupun didapat, kelainan pembekuan darah bisa berupa: Hipofibrinogenemia, kela inan pembuluh darah yang disebabkan karena defisiensi fibrinogen dapat dijumpai pada: solusio plasenta, kematian hasil konsepsi yang tertahan lama dalam uterus, embolismus air ketuban, sepsis, dan eklampsia.(2) Trombositopeni, kurangnya jum lah trombosit pada darah atau trombositopenia merupakan salah satu faktor penyeb ab terjadinya PPH, 3% dari kasus PPH karena trombositopenia disebabkan oleh ITP. Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) ITP merupakan suatu keadaan perdaraha n berupa petekie atau ekimosis di kulit/selaput lendir dan berbagai jaringan den gan penurunan jumlah trombosit karena sebab yang tidak diketahui, lebih sering t erjadi pada wanita. ITP merupakan penyulit yang jarang dijumpai dalam kehamilan. Diagnosis dapat dibuat apabila ada purpura pada kulit, uji tourniquet positif, jumlah trombosit kurang dari 100.000 per milimeter kubik, ada perpanjangan masa perdarahan, retraksi beku, dan konsumsi protrombin, dan jumlah megakariosit dala m sumsum tulang lebih banyak.(2) ITP adalah salah satu gangguan perdarahan di da pat yang paling umum terjadi. ITP adalah sindrom yang di dalamnya terdapat penur unan jumlah trombosit yang bersirkulasi dalam keadaan sumsum normal. Penyebab se benarnya tidak diketahui, meskipun diduga disebabkan oleh agen virus yang merusa k trombosit. Pada umumnya gangguan ini didahului oleh penyakit dengan demam ring an 1-6 10

minggu sebelum timbul gejala. Gangguan ini dapat digolongkan menjadi 3 jenis, ya itu akut, kronik dan kambuhan. Pada anak-anak mula-mula terdapat gejala diantara nya demam, perdarahan, petekie, purpura dengan trombositopenia dan anemia.(16) S indrom HELLP Merupakan kumpulan tanda dan gejala : H untuk Hemolysis, EL untuk E levated Liver Enzymes, dan LP untuk Low Platelets. Patogenesis sindrom HELLP bel um jelas. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya, kelihatannya merup akan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan ak tivasi trombosit intravaskuler, akibatnya terjadi agregasi trombosit dari selanj utnya kerusakan endotel. Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder dari obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin pada sinusoid. Trombositopeni d ikaitkan dengan peningkatan pemakaian dan atau destruksi trombosit.(20) Kriteria diagnosis sindrom HELLP terdiri : Hemolisis, kelainan apus darah tepi, total bi lirubin >1,2mg/dl, laktat dehidrogenase (LDH) > 600U/L. Peningkatan fungsi hati, serum aspartat aminotransferase (AST) > 70U/L, laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L. Jumlah trombosit < 100.000/mm3.(21) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) Adalah suatu keadaan dimana bekuan-bekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan berkurangny a faktor pembekuan yang diperlukan untuk mengendalikan perdarahan. Orang-orang y ang memiliki resiko paling tinggi untuk menderita DIC:(22) 11

Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau persalinan disertai kompli kasi, dimana jaringan rahim masuk ke dalam aliran darah.

Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin (suatu zat yang me nyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan). Penderita leukemia tertentu atau pende rita kanker lambung, pankreas maupun prostat. DIC biasanya muncul tiba-tiba dan bisa bersifat sangat berat. Jika keadaan ini terjadi setelah pembedahan atau persalinan, maka permukaan saya tan atau jaringan yang robek bisa mengalami perdarahan hebat dan tidak terkendal i. Perdarahan bisa menetap di daerah tempat penyuntikan atau tusukan. Perdarahan masif bisa terjadi di dalam otak, saluran pencernaan, kulit, otot dan rongga tu buh. Bekuan darah di dalam pembuluh darah yang kecil bisa merusak ginjal (kadang sifatnya menetap) sehingga tidak terbentuk air kemih.(22) Dilutional coagulopat hy bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari 8 unit karena darah donor biasan ya tidak fresh sehingga komponen fibrin dan trombosit sudah rusak.(2) II.4. Fakt or Resiko Riwayat perdarahan postpartum pada persalinan sebelumnya merupakan fak tor resiko paling besar untuk terjadinya perdarahan postpartum sehingga segala u paya harus dilakukan untuk menentukan keparahan dan penyebabnya. Beberapa faktor lain yang perlu kita ketahui karcna dapat menyebabkan terjadinya hemorraghe pos tpartum: (9,10,12,14) 12

1. Faktor Resiko Antenatal Umur Meningkatnya usia ibu merupakan factor independen t erjadinya PPH. Jumlah perdarahan pada usia lebih tua lebih besar pada persalinan sesar disbanding persalinan pervaginam. BMI Perempuan obese akan memiliki kompl ikasi intrapartum dan post partum lebih besar. BMI lebih dari 30 dikaitkan denga n perdarahan yang lebih banyak. Paritas Paritas sering dikaitkan dengan resiko p erdarahan postpartum. Namun hingga sekarang, berbagai laporan studi tidak bisa m embuktikan bahwa multiparitas berhubungan dengan PPH. Studi yang meloprkan hubun gan tersebut juga gagal untuk mengendalikan factor pengganggu lain seperti usia ibu. Penyakit Medis Beberapa penyakit yang diderita ibu selama kehamilan berhubu ngan erat dengan PPH. Diantaranya adalah DM tipe II, penyakit jaringan konektif, penyakit darah seperti Von Willebrand dan Hemofilia. Kehamilan Post-term Peneli tian menunjukkan hubungan antara kehamilan post-term dengan terjadinya PPH. Jani n Besar Ibu yang mengandung janin lebih dari 4kg memiliki kemungkinan besar untu k mengalami PPH. Hal ini diperkuat oleh beberapa penelitian di mancanegara. Keha milan Kembar Secara konsisten penelitian menunjukkan bahwa ibu yang hamil kembar memiliki 3-4x kemungkinan untuk mengalami PPH. 13

Fibroid Fibroid membuat ibu mempunyai resiko mengalami PPH. Namun demikian resik o terjadinya PPH lebih tinggi pada persalinan sesar dibandingkan persalinan perv aginam. 2. Faktor Resiko Intrapartum Induksi Persalinan Metaanalisis menunjukkan bahwa indu ksi persalinan yang berkaitan dengan perdarahan post-partum. Resiko terjadinya p erdarahan adalah 1,5 hingga 1,7 kali dibandingkan tanpa induksi. Induksi yang te lah diteliti meningkatkan perdarahan post-partum adalah induksi yang menggunakan medikamentosa. Sejauh ini data yang akurat tentang resiko berbagai jenis metode induksi belum lengkap sehingga tidak dapat disimpulkan secara definitif. Durasi Persalinan Lama kala I lebih dari 20 jam pada nulipara atau 14 jam pada multipa ra memiliki 1-1,6 kali resiko perdarahan disbanding lama persalinan yang lebih s ingkat. Kala II memiliki resiko 2,5 kali lebih besar bila berlangsung lebih dari 3 jam. Dengan demikian persalinan dengan kala II lama perlu mengantisipasi lebi h awal akan terjadinya PPH. Pada umur kehamilan berapapun, perdarahan semakin me ningkat bila durasi kala III meningkat dengan puncaknya 40 menit. Resiko relatif nya berkisar antara 2,1 hingga 6,2 dan semakin tinggi bila kala III berlangsung semakin lama. Titik potong PPH terjadi pada lama kala tiga lebih daari 18 menit. Analgesia Studi retrospektif menunjukkan bahwa penggunaan anestesi epidural ber kaitan dengan perdarahan intrapartum, sedangkan perdarahan post partum meningkat resikonya menjadi 1,6 kali. Namun demikian bila 14

diperlukan operasi sesar maka analgesia regional menimbulkan perdarahan lebih ke cil dibandingkan anesthesia umum. Metode Persalinan Penelitian menunjukkan ada p erbedaan resiko perdarahan pada persalinan pervaginam operatif dan juga persalin an sesar. Kesimpulan tentang ini belum definitif mengingat berbagai factor perlu diperhitungkan untuk menilai hubungan ini. Episiotomi Episiotomi jelas menimbulk an perdarahan lebih banyak dibanding ruptur spontan. Namun selain itu ternyata e pisiotomi juga meningkatkan resiko PPH 2-4,6 kali. Pada uji klinik terkendali terakhir ditunjuk kan juga bahwa episiotomy yang dilakukan pada saat kepala sudah crowning tidak m emberikan perbedaan signifikan terhadap terjadinya PPH. Korioamnionitis Meningka tkan resiko PPH 1,3 kali bila persalinan pervaginam dan hingga 2,7 kali bila per salinan sesar. II.5. Diagnosis Beberapa gejala yang bisa menunjukkan perdarahan postpartum :(2) 1. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol 2. Penurunan tekanan da rah 3. Peningkatan detak jantung 4. Penurunan hitung sel darah merah ( hematokri t) 5. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar perineum Pe rdarahan hanyalah gejala, penyebabnya haruslah diketahui dan ditatalaksana sesua i penyebabnya. Perdarahan postpartum dapat berupa perdarahan yang hebat dan mena kutkan sehingga dalam waktu singkat ibu 15

dapat jatuh kedalam keadaan syok. Atau dapat berupa perdarahan yang merembes per lahan-lahan tapi teijadi terus menerus sehingga akhirnya menjadi banyak dan meny ebabkan ibu lemas ataupun jatuh kedalam syok.(10) Pada perdarahan melebihi 20% v olume total, timbul gejala penurunan tekanan darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai terjadi syok.(2,10) Volume Kehilangan Tekanan Darah Gejala dan Darah Sistolik Tanda 500-1.000 mL Nor mal Palpitasi, (10-15%) Takikardi, Pusing 1000-1500 mL (15-25%) 1500-2000 mL (25 -35%) 2000-3000 mL (35-50%) Penurunan ringan (80-100 mm Hg) Penurunan scdang (70 -80 mm Hg) Penurunan tajam (50-70 mm Hg) Lemah, Takikardi, Berkeringat Gelisah, Pucat, Oligouria Pingsan, Hipoksia, Anuria Derajat Syok Terkompensasi Ringan Sedang Berat Tabel 2. Penilaian Klinik untuk Menentukan Derajat Syok Dikutip dari kepustakaan 10 Pada perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio plasenta atau laserasi jalan lahir, bila karena retensio plasenta maka perdarahan akan b erhenti setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi setelah plasenta la hir perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atau trauma jal an lahir. Pada pemeriksaan obstretik kontraksi uterus akan letnbek dan membesar jika ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik 16

dilakukan eksplorasi untuk mengetahui adanya sisa plasenta atau laserasi jalan l ahir. Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan postpartum : (10,17) 1. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri 2. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak 3. Lakukan ekplor asi kavum uteri untuk mencari: a. Sisa plasenta dan ketuban b. Robekan Rahim c. Plasenta seksenturiata adalah plasenta yang mempunyai satu kotiledon tambahan ya ng timbul jauh dari struktur plasenta utama. 4. Inspekulo : Untuk melihat robeka n pada serviks, vagina, dan varises yang pecah. 5. Pemeriksaan laboratorium : Pe ningkatan degradasi, kadar produk fibrin/produk split fibrin (FDP/FSP), penuruna n kadar fibrinogen : masa tromboplastin partial diaktivasi, masa tromboplastin p artial (APT/PTT), masa protrombin memanjang. 6. Ultrasonografi : menentukan adan ya jaringan plasenta yang tertahan. Gejala dan Tanda Uterus tidak berkontraksi dan lembek Perdarahan segera setelah anak lahir Penyulit Syok, Bekuan darah pada serviks atau posisi telentang akan m enghambat aliran darah keluar Darah segar mengalir segera setelah Pucat, bayi la hir Lemah, Uterus berkontraksi dan keras Menggigil Plasenta lengkap Plasenta bel um lahir setelah 30 menit Tali pusat putus akibat Perdarahan segera traksi berle bihan Uterus berkontraksi dan keras Inversio uteri akibat tarikan Perdarahan lan jutan Plasenta atau sebagian selaput tidak Uterus berkontraksi tetapi lengkap ti nggi fundus tidak Perdarahan Segera berkurang Uterus tidak teraba Neurogenik syo k Diagnosis Kerja Atonia Uteri Robekan Jalan Lahir Retensio Plasenta Retensi Sisa Plasenta Inversio Uteri 17

Lumen vagina terisi massa Pucat dan limbung Tampak tali pusat (bila plasenta bel um lahir) Sub involusi uterus Anemia Nyeri tekan perut bawah dan pada Demam uter us Perdarahan sekunder Endometritis atau sisa fragmen plasenta (terinfeksi atau tidak) Tabel 3. Gejala klinis perdarahan postpartum Dikutip dari kepustakaan 5 II.6. Pe meriksaan Penunjang a. Pemeriksaan laboratorium(10) Pemeriksaan darah lengkap ha rus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubu ngan dengan hasil kehamilan yang buruk. Pemeriksaan golongan darah harus dilakuk an sejak periode antenatal Perlu dilakukan pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu pembekuan. b. Pemeriksaan radiologi(10,17) Onset perd arahan post paitum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis dan penanganan yang t epat, resolusi biasa teijadi sebelum pemeriksaan Iaboratorium atau radiologis da pat dilakukan. Berdasarkan pengalaman, pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat adanya gumpalan darah d an retensi sisa plasenta. USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mende teksi pasien dengan resiko tinggi yang memiliki fektor predisposisi terjadinya p erdarahan post partum seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula mening katkan sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta akreta dan variann ya. 18

II.7. Penatalaksanaan Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen, yaitu: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemu ngkinan syok hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum.(4,10) Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk memperbaiki perfusi jaringan; memperbaiki oksigenasi tubuh; dan memper-tahankan suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syo k. Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal. (22) Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC. Ja lan nafas (A = air way) harus bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa endotrake al. Pernafasan (B = breathing) harus terjamin, kalau perlu dengan memberikan ven tilasi buatan dan pemberian oksigen 100%. Defisit volume peredaran darah (C = ci rculation) pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemia relatif (syok septik, s yok neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi dengan pemberian cairan intr avena dan bila perlu pemberian obat-obatan inotropik untuk mempertahankan fungsi jantung atau obat vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi perifer.(22) Res usitasi cairan Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehi ngga dapat memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab perda rahan. Perlu dilakukan pemberian oksigen dan intravena line. Selama persalinan p erlu dipasang paling tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan resiko perdaraha n post partum, dan dipertimbangkan jalur kedua pada pasien dengan resiko sangat tinggi.(5,10) Pada resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau Ringer Laktat melalui akses intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat persalinan karena 19

harganya yang murah dan kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat dan transfu si darah. Resiko terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan perdarahan post partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah ya ng banyak (>10L), dapat dipertimbangakan penggunaan cairan ringer laktat.(10) Ca iran yang mengandung dextrose seperti D5% tidak memiliki peran pada penanganan p erdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan 1 L darah perlu penggantia n 4-5 L kristaloid karena sebagian besar cairan infus tidak tertahan di ruang in travaskuler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang interstisial. Pergeseran ini ber samaan dengan penggunaan oksitosin dapat menyebabkan edema perifer pada hari-har i setelah perdarahan post partum. Ginjal normal dengan mudah mengekskresi kelebi han cairan. Perdarahan post partum lebih dari 1500mL pada wanita hamil yang norm al dapat ditangani dengan cukup infus kristaloid jika penyebab perdarahan dapat ditangani. Kehilangan darah yang banyak biasanya membutuhkan penambahan transfus i sel darah merah.(5,10) Cairan koloid dalam jumlah besar (1000-1500mL/hr) dapat menyebabkan efek yang buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang terbu kti lebih baik dibandingkan NS, dan karena harga serta resiko terjadinya efek ya ng tidak diharapkan pada pemberian koloid, maka cairan kristaloid yang tetap dir ekomendasikan.(10) Rekomendasi terbaru adalah resusitasi cairan yang agresif dil akukan dengan Ringer Laktat atau Saline Normal pada semua pasien dengan tanda-ta nda dan gejala-gejala syok tanpa memperhatikan penyebab yang mendasari.(10) Tran sfusi Darah Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanju t dan diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien 20

menunjukkan tanda- tanda syok walaupun tekah dilakukan resusitasi cepat.(10,17) PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi. P ara klinisi harus memperhatikan darah transfusi, berkaitan dengan waktu, tipe da n jumlah produk darah yang tersedia dalam keadaan gawat.(5,14) Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 - 4 unit PRC untuk menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume sirkulas i. PRC bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan infus. Masala h ini dapat diatasi dengan menambahkan 100 mL NS pada masing-masing unit. Jangan menggunakan cairan Ringer Laktat untuk tujuan ini karena kalsium yang dikandung nya dapat menyebabkan penggumpalan.(10) Atonia uteri Kenali dan tegakkan diagnos is kerja atonia uteri Masase uterus, berikan oksitosin dan ergometrin intravena, bila ada perbaikan dan perdarahan berhenti, oksitosin dilanjutkan perinfus. Jen is dan Cara Dosis dan cara pemberian awal Oksitosin Ergometrin Misoprostol IV : 20 IU dalam 1L IM atau IV (lambat) : Oral atau rektal : larutan garam 0,2 mg 400 mg fisiologis dengan tetesan cepat IM : 10 IU Dosis lanjutan IV : 20 IU dalam 1L larutan garam fisiologis dengan 40 tpm Tidak lebih dari 3L larutan fisiologis U langi 0,2 mg IM setelah 15 menit Bila masih diperlukan, beri IM/IV setiap 2-4jam Total 1 mg (5 dosis) 400mg 2-4 jam setelah dosis awal Dosis maksimal perhari Total 1200mg atau 3 dosis 21

Kontraindikasi atau hati-hati Pemberian IV secara cepat atau bolus Preeklampsia, vitium Nyeri kontraksi cordis, hipertensi Asma Tabel 4. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya Dikutip dari kepustakaan 10 - B ila tidak ada perbaikan dilakukan kompresi bimanual, dan kemudian dipasang tampo n uterovaginal padat. Kalau cara ini berhasil, dipertahankan selama 24 jam. - Ko mpresi bimanual internal Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding ab domen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah di dalam miome trium (sebagai pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjad i. Pertahankan kondisi ini bila perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu hingg a uterus berkontraksi kembali. Apabila perdarahan tetap terjadi, coba kompresi b imanual eksternal. Gambar 2. Penekanan bimanual internal Dikutip dari kepustakaan nomor 17 22

- Kompresi bimanual eksternal Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jala n saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau a liran darah yang keluar. Bila perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertaha nkan hingga uterus dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kom presi bimanual internal kembali. Kompresi aorta abdominalis Raba arteri femorali s dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut, genggam tangan kan an kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hing ga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan yang tepat akan menghentikan atau san gat mengurangi denyut arteri femoralis. Lihat hasil kompresi dengan memperhatika n perdarahan yang terjadi. Dalam keadaan uterus tidak respon terhadap oksitosin/ ergometrin, bisa dicoba prostaglandin F2a (250 mg) secara intramuskuler atau lan gsung pada miometrium (transabdominal). Bila perlu pemberiannya dapat diulang da lam 5 menit dan tiap 2 atau 3 jam sesudahnya. Laparotomi dilakukan bila uterus t etap lembek dan perdarahan yang terjadi tetap > 100 mL/jam. Tujuan laparotomi ad alah meligasi arteri uterina atau hipogastrik khusus untuk penderita yang belum punya anak atau muda sekali) Metode B-Lynch merupakan salah salu metode yang dig unakan untuk mengatasi atonia uteri. Prosedur B-Lynch suture antara lain: (23) 23

Gambar 3. Metode B-Lynch Dikutip dari kepustakaan 24 Dilakukan anestesi umum, pa sien dipasang caleter dengan posisi Lloyd Davies atau semi-lithotomy (frog leg) untuk akses ke vagina dan untuk melihat perdarahan dengan mcngusap dacrah vagina

Dilakukan insisi SBR atau pada tempat dilakukannya operasi Seksio Sesaria untuk melihat apakah ada retensi sisa plasenta yang perlu dikeluarkan

Kompresi bimanual pada uterus untuk apakah jahitan B-lynch berhasil dilakukan. A pabila perdarahan berhenti maka teknik ini dikerjakan. Benang monocril no.1/no.2 atau benang kromik nomor 2 (90 cm) dengan jarum bulat 3/8 digunakan untuk menem bus uterus sekitar 3 cm di bawah tepi kanan segmen bawah rahim (SBR), di sebelah sisi tubuh pasien, kemudian masuk dalam kavum uteri 3 cm diatas tepi insisi dan 4 cm pada batas lateral uterus. 24

Dari titik jahitan tadi dilewatkan diatas sisi kanan dari comu uterus kira-kira 3-4 cm dari tepi comu. Hal ini untuk mencengkeram dan mencegah jahitan tadi agar tidak lepas dari fundus. Kemudian ke belakang dan turun ke bawah sampai setingg i jahitan sebelah kiri pada kavum uteri anterior.

Jahitan kemudian diteruskan menembus dinding posterior uterus ke dalam kavum ute ri dengan pandangan langsung dari operator kemudian ditembuskan pada dinding pos terior kurang lebih 4 cm sebelah kiri dari tusukan sebelumnya.

Dengan benang jahitan berada dibelakang dari kavum uteri kemudian dilewatkan kea tas dari sisi kiri kornu, kurang lebih 3 cm dari tepi uterus. Dimaksudkan untuk memfiksasi fundus kemudian dibawa ke anterior dan turun vertikal setinggi tepi k iri dari SBR.

Jarum kemudian dilewatkan, dimasukkan ke tepi kiri setinggi di jahitan di sisi k anan. Bila tak berhasil, histerektomi adalah langkah terakhir. 25

Gambar 4. Alur Tatalaksana Atonia Uteri Dikutip dari kepustakaan no 18 Ruptur Pe rineum dan Robekan Dinding Vagina(2,10,17,18) Lakukan eksplorasi untuk mengident ifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan. Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptic. 26

Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap. Lakukan penjahitau luka mulai dari bagian yang paling distal dari operator. Robe kan perineum tingkat I. Dilakukan penjahitan dengan menggunakan catgut dengan dijahitkan sevara jelujur atau dengan jahitan angka 8. Robekan perineum tingkat II Jepit pinggir robekan kiri dan kanan dengan klem kemudian gunting pinggiran y ang tidak rata kemudian dilakukan penjahitan luka. Mula-mula otot dijahit dengan catgut, kemudian selaput lender vagina dijahit dengan catgut secara terputus-pu tus atau jelujur.Penjahitan mukosa dimulai di puncak robekan sampai kulit perine um dijahit dengan benang secara jelujur atau subkutis. Robekan perineum tingkat III Mula-mula dinding depan rectum yang robek dijahit, kemudian fasia perirectal dan fasia septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik sehingga bertemu kem bali. Ujung-ujung otot sfingter ani yang terkena robekan dijepit dengan klem kem udian dijahit 2-3 jahitan catgut kromik sehingga bertemu kembali. Selanjutnya ro bekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum tingkat II. Rob ekan perineum tingkat IV Pada robekan tingkat IV karena tingkat kesulitan untuk perbaikan cukup tinggi dan resiko terjadinya gangguan berupa gejala sisa dapat m enimbulkan keluhan sepanjang hidupnya maka dianjurkan apabila memungkinkan untuk melakukan rujukan dengan tindakan perbaikan di rumah sakit kabupaten/kota. 27

Khusus pada ruptur perineum komplit (hingga anus dan sebagian rectum) dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rectum, sbb : Setelah prose dur aseptik-antiseptik, pasang busi pada rektum hingga ujung robekan. Mulai penj ahitan dari ujung robekan dengan jahitan simpul submukosa, menggunakan benang po liglikolik no.2/0 (Dexon/Vicryl ) hingga ke sfingter ani. Jepit kedua sfingter ani dengan klcm dan jalnl dengan benang no. 2/0. Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan submukosa dengan benang yang sama (atau kromik 2/0) secara jelujur. Mukosa vagin a dan kulit perineum dijahit secara submukosal dan subkutikuler. Berikan antibio tika prolilaksis (ampicillin 2 g dan metronidazol 1 g per oral). Terapi penuh an tibiotika hanya di berikan apabila luka tampak kotor atau dibubuhi ramuan tradis ional atau terdapat tandatanda infeksi yang jelas. Robekan serviks (2,10) Gambar 4. Robekan pada serviks Dikutip dari kepustakaan 25 28

Robekan serviks sering terjadi pada sisi lateral karcna serviks yang terjulur ak an mengalami robekan pada posisi spina isiadika tertekan oleh kepala bayi. Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan ba nyak maka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan dari portio. Jepitkan klem ovarium pada kedua sisi portio yang robek sehingga perdarahan dapa t segera dihentikan. Jika setelah eksplorasi lanjutan tidak dijumpai robekan lai n, lakukan penjahitan. Jahitan dimulai dari ujung alas robekan kemudian ke arah luar sehingga semua robekan dapat dijahit. Setelah tindakan, periksa tanda vital pasien, kontraksi uterus, tinggi fundus ut eri dan perdarahan pasca tindakan. Beri antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi. Bi la terdapat defisit cairan, lakukan restorasi dan bila kadar Hb<8 g%, berikan tr ansfusi darah. Retensio plasenta dengan separasi parsial (4) Tentukan jenis retensio yang terja di karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil. Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi plasenta tidak terjadi, coba traksi t erkontrol tali pusat. Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit. Bila perlu, kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per rektal ( sebaiknya tidak menggunakan ergometrin karena kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan plasenta terperangkap dalam kavum uteri) Bila traksi terkontrol gaga l untuk melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara hati-hati dan halus untuk menghindari terjadinya perforasi dan perdarahan. Lakukan transfusi darah a pabila diperlukan. Beri antibiotika profilaksis (ampisilin 2g IV/oral + metronid azol 1g supositoria / oral) 29

Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok neurogenik. Plasenta inkarserata (2,10,11) Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejal a klinik dan pemeriksaan Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk mengh ilangkan konstriksi serviks dan melahirkan plasenta. Pilih fluethane atau eter u ntuk konstriksi serviks yang kuat, siapkan infus oksitosin 20 IU dalam 500mL NS/ RL dengan 40 tpm untuk mengantisipasi gangguan kontraksi yang diakibatkan bahan anestesi tersebut. Bila prosedur anestesi tidak tersedia dan serviks dapat dilal ui cunam ovum, lakukan maneuver sekrup untuk melahirkan plasenta. Untuk prosedur ini berikan analgesic (Tramadol 100mg IV atau Pethidine 50mg IV) dan sedative ( Diazepam 5 mg IV) pada tabung suntik yang terpisah. Manuver sekrup: Pasang speku lum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak dengan jelas Jepit porsio dengan klem ovarium pada jam 12, 4 dan 8 kemudian lepaskan speculum Tarik ketiga klem ovarium agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak lebih jelas Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta di sisi berlawanan agar dapat di jepit sebanyak mungkin. Minta asisten untuk memegang klem tersebut Lakukan hal y ang sama untuk plasenta puda sisi yang berlawanan Satukan kedua klem tcrsebut ke mudian sambil diputar searah jarum jam, tarik plasenta keluar perluhan-lahan mel alui pembukaan ostium Pengamatan dan perawatan lunjutun meliputi pemantauan tand a vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdurahan pasca tindakan. 30

Tambahan pemantauan yang diperlukan adalah pemantauan efek samping atau komplika si dari bahan-bahan sedatif, analgetika atau anestesi umum misal: mual, muntah, hipo/atonia uteri, pusing/vertigo, halusinasi, mcngantuk. Plasenta akreta (2,10) Tanda penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar adalah ikutnya fundus atau korpus bila tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam sulit ditentukan tepi pla senta karena implantasi yang dalam. Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas ke sehatan dasar menentukan diagnosis, stabilisasi pasien dan rujuk ke rumnh sakit rujukan karena kasus ini memerlukan tindakan operatif. Inversio uteri Dalam memi mpin persalinan harus dijaga kemungkinan timbulnya inversio uteri. Tarikan pada tali pusat sebelum plasenta benar-benar lepas, jangan dilakukan dan apabila dico ba melakukan perasat Crede harus dilakukan sepenuhnya syarat-syaratnya.(2) Apabi la terdapat inversio uteri dengan gejala-gejala syok, gejala-gejala itu perlu di atasi lebih dahulu dengan infus intravena cairan elektrolit dan transfusi darah, akan tetapi segera susudah itu reposisi harus dilakukan. Makin kecil jarak wakt u antara terjadinya inversio uteri dan reposisinya, makin mudah tindakan ini dap at dilakukan. Untuk melakukan reposisi, yang perlu dilakukan dengan anestesi umu m, tangan seluruhnya dimasukkan ke dalam vagina sedang jari-jari tangan dimasukk an ke dalam kavum uteri melalui serviks uteri yang mungkin sudah mulai menciut, telapak tangan menekan korpus perlahan-lahan tetapi terus menerus ke arah atas a gak ke depan sampai korpus uteri melewati serviks. Suntikan intravena 0,2 mg erg ometrin kemudian diberikan dan jika dianggap masih perlu, dilakukan tamponade ut erovaginal.(2,10) 31

Gambar 5. Cara reposisi pada inversion uteri Dikutip dari kepustakaan 16 Apabila reposisi pervaginam gagal, sebaiknya dilakukan pembedahan menurut Haultain. Dik erjakan laparotomi, dinding belakang lingkaran konstriksi dibuka, sehingga memun gkinkan penyelenggaraan reposisi uterus sedikit demi sedikit , kemudian luka di belakang uterus dijahit dan luka laparotomi ditutup.(2) Kelainan pembekuan darah Jika tes koagulasi darah menunjukkan hasil abnormal dari onset terjadinya perda rahan post partum, perlu dipertimbangkan penyebab yang mendasari terjadinya perd arahan post partum, seperti solutio plasenta, sindroma HELLP, fatty liver pada k ehamilan, IUFD, emboli air ketuban dan septikemia. Ambil langkah spesifik untuk menangani penyebab yang mendasari dan kelainan hemostatik.(20) Penanganan DIC id entik dengan pasien yang mengalami koagulopati dilusional. Restorasi dan penanga nan volume sirkulasi dan penggantian produk darah bersifal sangat esensial. Perl u saran dan ahli hematologi pada kasus transfusi masif dan koagulopati.(20) 32

Konsentrat trombosit yang diturunkan dari darah donor digunakan pada pasien deng an trombositopenia kecuali bila terdapat penghancuran trombosit dengan cepat. Sa tu unit trombosit biasanya menaikkan trombosit sebesar 5.000 10.000/mm3. Dosis b iasa sebesar kemasan 10 unit diberikan bila gejala-gejala perdarahan telah jelas atau bila hitung trombosit di bawah 20.000/mm3, transfusi trombosit diindakasik an bila hitung trombosit 10.000-50.000/mm3, jika direncanakan suatu tindakan operasi, perdarahan aktif atau diperkirakan diperluk an suatu transfusi yang masif. Transfusi ulang mungkin dibutuhkan karena masa pa ruh trombosit hanya 3-4 hari.(2,21) Plasma segar yang dibekukan adalah sumber fe ktor-faktor pembekuan V, VII, IX, X dan fibrinogen yang paling baik. Pemberian p lasma segar tidak diperlukan adanya kesesuaian donor, tetapi antibodi dalam plas ma dapat bereaksi dengan sel-sel penerima. Bila ditemukan koagulopati. dan belum terdapat pemeriksaan laboratorium, plasma segar yang dibekukan harus dipakai se cara empiris.(2) Kriopresipitat, suatu sumber faktor-faktor pembekuan VIII, XII dan fibrinogen, dipakai dalam penanganan hemofilia A, hipofibrinogenemia dan pen yakit von Willebrand. Kuantitas faktor-fektor ini tidak dapat diprediksi untuk t erjadinya suatu pembekuan, serta bervariasi menurut keadaan klinis.(2) Pencegaha n Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif pada persalinan kala I II dapat menurunkan insidensi dan tingkat keparahan perdarahan post partum Penan ganan aktif merupakan kombinasi dari hal-hal berikut: (1,10) Pemberian uterotoni k (dianjurkan oksitosin) segera setelah bayi dilahirkan. Penjepitan dan pemotong an tali pusat dengan cepat dan tepat Penarikan tali pusat yang lembut dengan tra ksi balik uterus ketika uterus berkontraksi dengan baik. 33

BAB III KESIMPULAN Perdarahan adalah salah satu penyebab utama langsung kematian maternal, terutama di negara yang kurang berkembang perdarahan merupakan penyebab terbesar kematia n maternal. Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan 500 cc atau lebih yang terjadi setelah anak lahir. Perdarahan dapat terjadi secar masif dan cepat, ata u secara perlahan - lahan tapi secara terus menerus. Adapun penyebab perdarahan post partum atonia uteri (50 - 60 %), sisa plasenta (23 - 24 %), retensio plasen ta (16 - 17 %), laserasi jalan lahir (4 - 5 %), kelainan darah (0,5 - 0,8 %). Pe rdarahan Post partum diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: Early Postpartum (terjad i 24 jam pertama setelah bayi lahir) dan Late Postpartum (terjadi lebih dari 24 jam pertama setelah bayi lahir). Perdarahan hanyalah gejala, harus dicari tahu p enyebabnya untuk memberikan pertolongan sesuai penyebabnya. Pasien dengan perdar ahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen, yaitu: (1) resusitasi dan pen anganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2) identifik asi dan penanganan penyebab teijadinya perdarahan post partum. Penanganan aktif pada persalinan kala III dapat menurunkan insidensi dan tingkat keparahan perdar ahan post partum. Penanganan aktif merupakan kombinasi dari hal-hal berikut: Pem berian uterotonik (dianjurkan oksitosin) segera setelah bayi dilahirkan. Penjepi tan dan pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat. Penarikan tali pusat yang lembut dengan traksi balik uterus ketika uterus berkontraksi dengan baik. 34

DAFTAR PUSTAKA 1. Shane, B. Mencegah Pcrdarahan Pasca Persalinan: Menangani Persalinan Kala Tig a. Outlook, [online]. 2002. Juni. [cited 2012 Januari 28]. Volume 19, Hal. 1-9. Available from: URL: http://www.path.org. 2. Hanifa Wiknjosastro. Gangguan dalam kala III persalinan. Dalam : Abdul, Trijatmo, eds. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yay asan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 1999. Hal. 653. 3. Joko, ed. Dasar-dasa r obstetri dan ginekologi Jakarta: Hipokrates; 2001. 4. Rukmini. Gambaran penyeb ab kematian maternal di rumah sakit: Cermin dunia kedokteran. [online]. 2007. Se ptember, [cited 2012 Januari 28]. Volume 34. Hal. 225. Available from: URL: http ://www kalbe.co.id/cdk 5. Badriyah. Pengaruh faktor resiko terhadap perdarahan i bu post partum di RS Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan. Jurnal penelitian keseh atan suara forikes. [online]. 2011. Januari. [cited 2012 Januari 30]. Volume 11. Hal. 31. Available from. URL: http://www. google.com 6. Mike, ed. Buku panduan high risks obstetrics: firedrills and workshop. Jakarta: the Royal College of Ob stetricians and Gynaecologists; 2001. 7. Hanafiah, ed. Perawatan masa nifas. Sum atera Utara: USU digital library; 2004. 8. Sulistyono,A. Perdarahan Post Partum. Presentasi Seminar PIT XVIII POGI. Balikpapan. 2008. 9. Emilia, O. Etiologi dan Faktor Resiko PPH. [online] 2011. [cited 2012 Maret 15]. Available from :https: //docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:ri08 yAqykogJ:obginugm.com/index.php 10. Sm ith, J. R., Brerman, B. G., Postpartum Hemorrhage, [online]. 2004. [cited 2012 J anuari 30]. Available from: URL: http://www.emedicine.com 11. NN. Retensio Plase nta [online] 15 Agustus 2010. [cited 2012 Maret 15]. Available from : URL:http:/ /obstetriginekologi.com/artikel/plasenta+inkreta.html 12. Alan, Lauren, eds. Pos tpartum hemorrhage. United States of America: McGraw Hill Company; 2007. 13. Pal mer. Hemorrhage in obstetrics. In: Robert, ed. Handbook of Obstetric Anesthesia. Oxford: Bios; 2002. p. 147. 14. Errol, ed. Obstetrics and gynecology at a glanc e. Oxford: Blackwell; 2001. 35

15. Pitkin, ed. Obstetrics and gynecology an illustrated colour text. London: Ch urchill; 2003. 16. Hanretty, ed. Obstetrics illustrated. London: Churchill; 2003 . 17. Geoffrey, ed. Obstetrics by ten teachers. London: Oxford University Press; 1995. 18. Tim Revisi Kelima Paket Pelatihan PONED. Buku Acuan Pelatihan Klinik Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar. Jakarta. 2008. 19. Clark. Haematological pro blems in pregnancy. In: edmonds, ed. Dewhurst's Textbook of Obstetrics and Gynec ology. London: Blackwell; 2007. 20. ITP.Available from: URL: http://www.forbette rhealth.wordpress.com 21. John R. Sindrom HELLP. Cermin dunia kedokteran. [onlin e]. 2006. [cited 2012 Februari 20]: Volume 151. Hal. 24. Available from: URL: ht tp://www. google com 22. DIC.Available from: URL: http://www.medicastore.com 23. Koh E. B-lynch suture for the treatment of the uterine atony. Singapore med J. [online]. 2009. [cited 2012 Februari 20]. Volume 50. Hal. 693. Available from: U RL: http://www.google.com 24. Holtsema H, Nijland R, Dony J, Van den Berg P. The B-lynch technique for postpartum haemorrhage : an option for every gynaecologis t. EJOG Vol 115, issue 1, pg 39-42, [online] 15 July 2004. [cited 2012 Maret 15] . Available from: URL: http://www.ejog.org/article/S0301-2115%2803%29004962/abst ract 25. Robekan serviks [online] [cited 16 Maret 2012]. Available from ; URL : http://www.scribd.com/doc/6502612/Perdarahan-Postpartum 36

Anda mungkin juga menyukai