Anda di halaman 1dari 20

KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

oleh:
Prof.Drs.Dewa Komang Tantra,Dip.App.Ling,MSc,Ph.D Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja

Disampaikan dalam Kegiatan Penyempurnaan Kurikulum Fakultas Seni Rupa dan Desain , Institut Seni Indonesia Denpasar di Kampus Institut Seni Indonesia Denpasar pada tanggal 10 Nopember 2009.

KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI oleh:


Prof.Drs.Dewa Komang Tantra,Dip.App.Ling,MSc,Ph.D

ABSTRAK Kompetensi merupakan sebuah konsep yang masih sering diperdebatkan secara sengit, tergantung siapa yang menggunakan konsep itu. Pendukung kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yakin bahwa KBK dapat meningkatkan pendidikan atau pelatihan dan persyaratan kerja. KBK bersifat individualis, lebih menekankan outcomes (apa yang diketahui dan dapat dilakukan oleh seorang individu). KBK memperjelas apa yang harus dicapai dan standar apa yang digunakan untuk mengukur pencapaian tersebut. Secara teoritis, KBK menyelesaikan pembedaan antara tangan dan pikiran, teori dan praktek, dan pendidikan umum dan vokasional. Pengritik KBK, menengarai KBK sangat simplistis, berpendekatan kompetensi tunggal, terlalu mahal, birokratis, sarat beban, dan memerlukan banyak waktu. Terlepas dari kelemahan (internal) dan kendala (eksternal) tersebut, KBK merupakan sebuah pendekatan dalam pengambilan kebijakan dalam pendidikan. Maka dari itu, prinsip dasar yang harus digunakan untuk menjadikan KBK sebuah realita dalam pendidikan nasional kita, dan bukan sebuah mitos adalah dengan mengubah kelemahan dan kendalanya menjadi sebuah kekuatan dan peluang. Kata kunci : kurikulum berbasis kompetensi, mitos, realita. ABSTRACT Competence is a contested concept, the meaning of which is shaped by those who use it. Proponents of competency-based curriculum promote it as a way to improve the correspondence between education/training and workplace requirements. It is individualized, emphasizes outcomes (what individuals know and can do). It makes as clear as possible what is to be achieved and the standards for measuring achievement. In theory, it overcomes the divide between hands and mind, theory and practice, general and vocational education. Oponents of competency-based curriculum charges it as being too simplistic, too one competency-based approach, too costly, bureaucratic, cumbersome, and time consuming. However, it should be acknowledged as a policy approach, where one has to turn up weaknesses and threats into strength and opportunities to make competency-based curriculum a reality, not a myth Key words : competency-based curriculum, myth, reality

1. PENDAHULUAN Selama kurun waktu 59 tahun, pendidikan tinggi di Indonesia mengalami perubahan kurikulum beberapa kali. Berdasarkan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional model kurikulum untuk meningkatkan mutu pendidikan yang diterapkan di semua jenjang pendidikan di Indonesia adalah berbasis kompetensi (selanjutnya: KBK). KBK dimaksudkan untuk dapat mencapai keunggulan bangsa, sehingga mampu bersaing di dunia (nation competetiveness) (Depdiknas,2002d:4; Mulyasa,2002:8; cf.Higher Education Long-Term Strategy,2003). Dewasa ini, situasi pendidikan di Indonesia sangat kurang menguntungkan. Secara makro, pendidikan di Indonesia diarahkan untuk menanggulangi dampak krisis multi-dimensi yang berkelanjutan, antara lain :berkaitan dengan akses masyarakat pada pendidikan yang berkualitas, pengarus-utamaan jender (gender mainstraiming), perluasan keterampilan bekal hidup (broad-based education/life skill), demokratisasi pendidikan, dan desentralisasi pendidikan. Secara mikro, tantangan yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia, antara lain: meningkatkan daya saing bangsa (nation competetiveness) , menciptakan suatu organisasi pendidikan yang sehat (education organization health), dan pencapaian baku mutu pendidikan (education quality standards), baik di tingkat nasional maupun internasional. Untuk itu semua, Pemerintah Indonesia menetapkan KBK sebagai sebuah strategi kurikuler untuk menjawab semua tantangan di atas. Beberapa kalangan ahli pendidikan berpandangan, bahwa pendidikan berbasis kompetensi (selanjutnya: PBK) merupakan jawaban jitu terhadap permasalahan mutu pendidikan. Sedangkan kalangan ahli lainnya berpandangan bahwa PBK merupakan jawaban yang keliru (Harris dkk.,1995). Awalnya, PBK menuai popularitas di Amerika Serikat pada tahun tujuh-puluhan sebagai dasar untuk pendidikan vokasional bagi tenaga kependidikan. PBK juga sangat berkembang di Inggris dan Wales pada awal tahun 1986. Popularitas PBK cepat merambah Selandia Baru, Australia, dan Indonesia pada sekitar paruh akhir dari tahun delapan-puluhan. Di satu sisi PBK menuai popularitas, namun di sisi lain PBK tidak terlepas dari sasaran kritik yang amat pedas. Perdebatan sengit tentang dampak PBK terjadi di Australia dan Inggris (Chappel, 1996; Ecclestone, 1997; Hyland, 1994).

Tujuan penulisan tentang KBK dimaksudkan sebagai sebuah tinjauan kritis terhadap aspek-aspek KBK dalam kaitannya dengan manajemen mutu pendidikan berbasis kompetensi (competency-based education quality improvement). Manfaat yang dapat dipetik dari mengritisi KBK adalah untuk meningkatkan kesadaran para pendidik dan tenaga kependidikan lainnya akan pentingnya pengetahuan dan pemahaman yang benar terhadap KBK, sehingga KBK dapat diimplementasikan sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan secara efisien dan efektif. Perihal kompetensi berkembang berbagai konsep, dan masing-masing konsep dibangun sendiri-sendiri oleh pengguna konsep tersebut (Chappell,1996). Proponen PBK berpandangan bahwa pendekatan kompetensi merupakan suatu cara terbaik untuk meningkatkan kompetensi (bandingkan: seperangkat tindakan cerdas) yang sejalan dengan persyaratan di situs kerja tertentu. PBK sifatnya sangat individualis, menekankan pada outcomes (apa yang diketahui dan apa yang dapat dilakukan), dan prosedurnya sangat fleksibel (Harris, dkk.,1995). Pendekatan kompetensi memperjelas bagaimana outcomes dapat dicapai dengan mutu pencapaian menurut standar nasional maupun internasional. Secara teoritis, PBK meniadakan pembedaan antara tangan dan pikiran, teori dan praktek, umum dan spesifik dalam pendidikan (Harris,dkk.,1995). Bagi yang tidak sejalan (opponents) dengan PBK, mereka menyebutnya PBK sebagai sesuatu yang sangat reduksionistik, sempit, kaku, teoretis, empiris, dan pedagogis yang sangat tidak memadai (Chappell, 1996; Hyland, 1994). Tetapi, ke dua belah pihak tampaknya setuju bila kompetensi tersebut dikonsepsikan ke dalam bentuk perilaku (behavioral terms) (cf.Anderson dan Krathwohl,2001). Menurut kerangka pikir behaviorisme, kompetensi lebih mudah diurai menjadi perilaku (performance) dalam bidang tugas yang sangat terpisah dan dianalisis secara fungsional menurut peran tugasnya. Analisis demikian sangat tepat dijadikan dasar untuk merumuskan kompetensi dan alat ukur yang akan digunakan untuk pencapaian sebuah kompetensi. KBK merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, prosedur penilaian, kegiatan belajar-mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan. KBK berorientasi pada pencapaian hasil (output-oriented) yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi. KBK bertitik tolak dari

kompetensi yang harus dimiliki siswa. Penerapan KBK berorientasi pada pemebalajaran tuntas (mastery learning), dan kurikulumnya bersifat holistik dan menyeluruh. KBK sangat menekankan diversifikasi, yakni sekolah dapat mengembangkan, menyusun, mengevaluasi silabus berdasarkan standar kompetensi yang telah ditetapkan secara nasional (Depdiknas,2000f:1; Sidi, 2001:8). Ranah kompetensi yang terdapat dalam KBK, antara lain: kompetensi akademik (academic competency), kompetensi kehidupan (life competency), dan kompetensi karakter nasional (national character competency). Untuk mencapai kompetensi tersebut, maka pembelajaran ditekankan pada bagaimana siswa belajar tentang belajar (learning how to learn), bukan pada apa yang harus dipelajari oleh siswa (learning what to be learnt). II. MITOS ATAU REALITA? Apakah KBK sebuah mitos? Apakah KBK memberi peluang untuk tercapainya pembangunan dan perbaikan mutu pendidikan secara teoretis? Terhadap pertanyaan ini, sebaiknya kritik yang disampaikan oleh para penentang (oponent) KBK perlu dikemukakan secara rinci. Pertama, pendekatan KBK yang sangat behavioral sering dicerca karena tidak memperhatikan hubungan antara tugas, atribut yang melandasi sebuah perilaku, makna, kemauan, atau disposisi sebuah perilaku atau tindakan, konteks dari perilaku, dan dampak aspek interpersonal dan etis (Gonczi, 1997; Hayland, 1994). Mengingat sifat dunia nyata sangat kompleks dan tidak menentu, ditengarai bahwa tujuan-tujuan yang dirumuskan dalam bentuk perilaku-perilaku terukur tidak dapat sepenuhnya diukur dan diamati sepenuhnya. Rumusan-rumusan perilaku cenderung bersifat diskrit, sehingga ditengarai sebagai sebuah upaya mengatomisasi perilaku yang sebenarnya bersifat holistik dan utuh (intact behaviors) (Jackson, 1994:139). Lagipula, perilaku yang diklaim telah diukur dianggap sebagai sebuah perilaku akhir (ultimate behavior), walau sesungguhnya menurut pandangan Konstruktivis bahwa perilaku tersebut bukanlah yang final, tetapi ia akan direvisi, dikonstruksi ulang, atau diubah menjadi sesuatu yang lebih sempurna (Hodkinson dan Issitt, 1995; Hayland, 1994).

Kedua, Collins (1993:89) menyebutkan bahwa KBK mengingkari hasil penelitian yang pernah dilakukan selama 100 tahun di bidang psikologi, pendidikan, organisasi, maupun dalam bidang kebudayaan. Khususnya, ia tidak sependapat dengan batasan yang digunakan oleh penganut aliran behaviorisme tentang skill dan competence sebagai sebuah perilaku yang bersifat sangat individual dan bebas tata nilai. Padahal, skill dan competence kenyataannya merupakan sebuah konstruksi sosial dan praktek kebudayaan yang aktif dan kreatif (Collins, 1993; Harris, dkk.,1995). Lebih-lebih lagi, validitas teknik pengukuran yang didasarkan pada model pembelajaran secara behavioristik sangat problematik sebagai indikator model pembelajaran yang signifikan (Barry dan Pace, 1997:340). Ketiga, model pengecekan terhadap pemerolehan kompetensi berdasarkan pada teknik checklist yang menandai dicapai/tidaknya dicapainya kompetensi dimaksud dipandang sangat menyederhanakan sebuah persoalan yang sesungguhnya sangat kompleks. Penilaian terhadap pencapaian sebuah kompetensi yang didasarkan pada pencapaian kompetensi minimum sangat tidak memotivasi seseorang untuk mencapai kompetensi standar. Kompetensi minimum hanyalah merupakan tingkatan perilaku yang dapat diterima (acceptable level of competency), bukan berarti kompetensi minimum telah berkesesuaian dengan kompetensi standar yang ditetapkan secara nasional maupun secara internasional (a standard of excellence). Keempat, Jackson (1994) menilai bahwa KBK bersikap sangat birokratis, terlalu rumit, mahal, dan membutuhkan waktu yang banyak untuk mengimplementasikan di sekolah. Adi (2003) menyimpulkan bahwa guru-guru SMU bidang IPS di Propinsi Bali belum sepenuhnya memiliki kesiapan dalam mengimplementasikan KBK. di dunia yang tidak bersedia mengimplementasikan KBK. Kelima, kendatipun pendekatan kompetensi bersifat kompatibel dengan model pembelajaran kognitif, tetapi KBK tidak cocok diterapkan pada lembaga pendidikan tinggi (Hayland, 1994:336), karena kompetensi terlalu dibatasi secara sempit (Toobey dkk.,1995) dan justru kompetensi meniadakan keberadaan sebuah kurikulum serta mempersempit materi (Jackson,1994; Hayland,1994). Hayland (1996) dalam penelitian menyimpulkan bahwa banyak sekolah atau lembaga pendidikan

Dapat disimpulkan dari lima kritik terhadap KBK di atas, bahwa KBK hanyalah merupakan sebuah pendekatan dalam kebijakan (policy approach), sebuah mitos dalam pendidikan, yang masih perlu dikaji secara intensif sebelum diimplementasikan. Apakah KBK sebuah realita pendidikan? Apakah KBK memberi peluang untuk tercapainya pembangunan dan perbaikan mutu pendidikan secara empiris? Terhadap pertanyaan ini, sebaiknya dukungan yang disampaikan oleh para pendukung (proponent) KBK perlu dikemukakan di sini. Pertama, Erridge dan Perry (1994:140) yakin bahwa it gives individuals opportunities to achieve qualifications that relate to required performance in the workplace. Bagi keduanya KBK diyakini memberi peluang bagi seseorang untuk mencapai kualifikasi yang dibutuhkan. KBK diyakini merupakan sebuah rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan pemberdayaan sumberdaya secara efesien dan efektif (Depdiknas,2000f:1). KBK diyakini dapat memberikan layanan terhadap peserta didik sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian, KBK bukannya menghasilkan lulusan yang memiliki pengetahuan sebanyak-banyaknya, melainkan lulusan yang memiliki kemampuan dan sikap untuk meningkatkan kehidupannya di masyarakat (Depdiknas,2002b:8-9). Kedua, Jones dan Moore (1995) berpendapat bahwa KBK menerapkan pendekatan kompetensi tunggal (one competency-based approach), yang dapat dengan mudah dispesifikasi menjadi perilaku-perilaku terukur menurut bidang tugas dan garapannya. Ketiga, penetapan kompetensi standar akan memberdayakan individu, sehingga individu tersebut akan mampu melakukan pilihan di antara apa yang harus dipelajari (learning what to be learned) dan bagaimana harus belajar (learning how to learn). Velde dan Hopkins (1994) bahkan menambahkan bahwa dalam KBK there is less control from bureaucratic power-holders and more decision making made by consumers themselves. Jadi KBK memberikan kesempatan cukup luas kepada siswa untuk mencapai kompetensi yang diharapkan sesuai dengan kemampuan dan potensinya masing-masing. Fleksibilitas pembelajaran dijamin bila menggunakan KBK. Perangkat KBK bukan lagi menjadi kewenangan pusat melainkan kewenangan daerah sesuai dengan kondisi dan potensi masing-masing. KBK memberi peluang yang amat besar dan

fleksibel bagi guru/sekolah/daerah untuk mengembangkan potensinya masing-masing sesuai dengan kebutuhan dan daya dukung masing-masing. Keempat, target perilaku yang ingin disasar dirumuskan secara jelas untuk setiap jenjang dan jenis kompetensi. Komponen kompetensi dasar, materi standar, dan indikator pencapaian hasil belajar ditetapkan dan disajikan secara terpadu. Materi-materi yang dibentuk diarahkan pada pencapaian sebuah kompetensi. Materi-materi pelajaran tidak dimaksudkan untuk dihafal melainkan harus diperagakan dan didemonstrasikan agar tercapai kompetensi dimaksud. Kelima,guru diberi kesempatan yang luas untuk berkreasi dan mengembangkan materi-materi pokok secara kreatif agar kompetensi yang ditetapkan sebelumnya terjamin dapat tercapai oleh siswa. Empat pilar UNESCO, yaitu : learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together diakomodasikan secara integratif dan proporsional dalam pembelajaran siswa. Aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik diperlakukan sebagai sebuah perilaku yang utuh yang melandasi sebuah kompetensi. Model pembelajaran berorientasi pada siswa (student-oriented learning). Disamping itu, kecakapan bekal hidup diakomodasi dalam pembelajaran secara terpadu. Keenam, sistem pembelajaran tuntas benar-benar diterapkan. Seorang siswa dapat meneruskan ke jenjang kompetensi yang berikutnya bila ia sudah mencapai kompetensi sebelumnya sesuai dengan batas kompetensi minimum. Sistem manajemen peningkatan mutu dilakukan berdasarkan pada manajemen berbasis sekolah dan mengglang partisipasi aktif dari semua stakeholders yang potensial. Ketujuh, sistem penilaian yang digunakan bersifat berkelanjutan, yaitu mengacu pada keberlangsungan proses dan sistem penilaian berbasis kelas (classroom-based assessment), yang dapat berbentuk tes uraian, porto folio, atau tugas. Kedelapan, KBK menerapkan sebuah kurikulum berdiversifikasi, yaitu dengan mengklasifikasi siswa yang berkemampuan normal, sedang atau tinggi. Siswa yang berkemampuan normal dituntut sebatas memiliki kompetensi minimum, sedangkan siswa yang memiliki kemampuan tinggi dituntut untuk mencapai kompetensi standar. Guru diberikan kebebasan untuk menetapkan materi yang cocok untuk siswanya. Dengan kebebasan tersebut, guru memiliki peluang yang cukup tinggi untuk mengembangkan materi-materi yang memiliki karakteristik lokal.

Dapat disimpulkan dari ke delapan dukungan positif terhadap KBK di atas, bahwa KBK bukan saja sebuah pendekatan dalam kebijakan (policy approach), tetapi KBK dapat direalisasikan dalam pembelajaran di sekolah untuk mengembangkan kompetensi standar. III. PENDIDIKAN BERBASIS KOMPETENSI Dewasa ini, beberapa kalangan berpandangan bahwa pendidikan berbasis kompetensi (selanjutnya: PBK) merupakan jawaban jitu terhadap permasalahan mutu pendidikan. Sedangkan kalangan yang lain berpandangan bahwa PBK merupakan jawaban yang keliru (Harris dkk.,1995). Awalnya, PBK menuai popularitas di Amerika Serikat pada tahun tujuh-puluhan sebagai dasar untuk pendidikan vokasional bagi tenaga kependidikan. PBK juga sangat berkembang di Inggris dan Wales pada awal tahun 1986. Popularitas PBK cepat merambah Selandia Baru, Australia, dan Indonesia pada sekitar paruh akhir dari tahun delapan-puluhan. Di satu sisi PBK menuai popularitas, namun di sisi lain PBK tidak terlepas dari sasaran kritik yang amat pedas. Perdebatan sengit tentang dampak PBK terjadi di Australia dan Inggris (Chappel, 1996; Ecclestone, 1997; Hyland, 1994). Perihal kompetensi berkembang berbagai konsep, dan masing-masing konsep dibangun sendiri-sendiri oleh pengguna konsep tersebut (Chappell,1996). Proponen PBK berpandangan bahwa pendekatan kompetensi merupakan suatu cara terbaik untuk meningkatkan kompetensi yang sejalan dengan persyaratan di situs kerja tertentu. PBK sifatnya sangat individualis, menekankan pada outcomes (apa yang diketahui dan apa yang dapat dilakukan), dan prosedurnya sangat fleksibel (Harris, dkk.,1995). Pendekatan kompetensi memperjelas bagaimana outcomes dapat dicapai dengan mutu pencapaian menurut standar nasional maupun internasional. Secara teoritis, PBK meniadakan pembedaan antara tangan dan pikiran, teori dan praktek, umum dan spesifik dalam pendidikan (Harris,dkk.,1995). Bagi yang tidak sejalan (opponents) dengan PBK, mereka menyebutnya PBK sebagai sesuatu yang sangat reduksionistik, sempit, kaku, teoretis, empiris, dan pedagogis yang sangat tidak memadai (Chappell, 1996; Hyland, 1994). Tetapi, ke dua belah pihak tampaknya setuju bila kompetensi tersebut dikonsepsikan ke dalam bentuk perilaku (cf.Anderson dan Krathwohl,2001). Menurut
9

kerangka pikir behaviorisme, kompetensi lebih mudah diurai menjadi perilaku dalam bidang tugas yang sangat terpisah dan dianalisis secara fungsional menurut peran tugasnya. Analisis demikian sangat tepat dijadikan dasar untuk merumuskan kompetensi dan alat ukur yang akan digunakan untuk pencapaian sebuah kompetensi. KBK merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai pebelajar (learner), prosedur penilaian, kegiatan belajarmengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan. KBK berorientasi pada pencapaian hasil yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi. KBK bertitik tolak dari kompetensi yang harus dimiliki pebelajar. Penerapan KBK berorientasi pada pembelajaran tuntas, dan kurikulumnya bersifat holistik dan menyeluruh. KBK sangat menekankan diversifikasi, yakni lembaga pendidikan dapat mengembangkan, menyusun, mengevaluasi silabus berdasarkan standar kompetensi yang telah ditetapkan secara nasional (Depdiknas,2000f:1; Sidi, 2001:8). Ranah kompetensi yang terdapat dalam KBK, antara lain: kompetensi akademik, kompetensi kehidupan, dan kompetensi karakter nasional. Untuk mencapai kompetensi tersebut, maka pembelajaran ditekankan pada bagaimana pebelajar belajar tentang belajar, bukan pada apa yang harus dipelajari oleh pebelajar. IV. KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI Pengertian Secara umum kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Sedangkan Kurkikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai pebelajar, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah (Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, 2002:3). Kerangka dasar KBK dapat digambarkan sebagai berikut.

10

KURIKULUM DAN HASIL BELAJAR

PENILAIAN BERBASIS KELAS KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

PENGELOLAAN KURIKULUM BERBASIS SEKOLAH

KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR

A. Kompetensi Utama Mengacu pada kompetensi yang dikembangkan Anderson dan Krathwhol (2001:ii), maka Kompetensi Utama dapat dikelompok menjadi 4 (empat) gugus, yaitu: 1) factual knowledge, 2) conceptual knowledge, 3) procedural knowledge, dan 4) metacognitive knowledge. Factual knowledge menyangkut pengetahuan tentang fitur-fitur dasar yang harus diketahui oleh pebelajar dalam sebuah disiplin keilmuan dan dapat digunakan dalam memecahkan masalah. Jenis kompetensi ini terdiri dari dua, yaitu: pengetahuan tentang terminologi, dan 2) pengetahuan tentang detil spesifik (specific details) dan fiturfitur dasar (basic elements). Conceptual knowledge meliputi kompetensi yang menunjukkan pemahaman tata hubungan antar fitur dasar dalam suatu struktur yang lebih luas dan yang memungkinkan berfungsinya fitur-fitur tersebut. Termasuk ke dalam kompetensi ini adalah:1) pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori, 2) pengetahuan tentang prinsi-prinsip kerja dan generalisasinya, 3) pengetahuan tentang teori, model, paradigma dan struktur dasar. Procedural knowledge meliputi pengetahuan dan pemahaman bagaimana melakukan sesuatu (technical know how), metode inkuiri, dan kriteria dalam menggunakan keterampilan, algotima, teknik, dan metode. Termasuk dalam kompetensi ini, yaitu: 1)

11

pengetahuan tentang keterampilan khusus (subject-specific skills) dan perhitunganperhitungan (algorithm), 2) pengetahuan tentang teknik dan metode khusus (subjectspecific techniques and methods), 3) pengetahuan tentang kriteria penggunaan sebuah prosedur yang tepat. Dan, metacognitive knowledge merupakan kompetensi yang menyangkut tentang pengetahuan terhadap kognisi secara umum dan kesadaran serta memahami kognisi diri sendiri. Kompetensi ini meliputi 3 hal, yaitu: 1) pengetahuan strategis, 2) pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif, termasuk pengetahuan tentang kontekstualitas dan kondisi khusus, dan 3) pengetahuan tentang diri sendiri. Ke-empat gugus kompetensi utama tersebut perlu dijembatani dengan lima unsur pokok yang diamanatkan dalam Kepmen 045/U/2002, yaitu: Pengembangan kepribadian (MK), pengembangan keahlian dan keterampilan (MKK), pengemabngan keahlian berkarya (MKB), pengembangan perilaku berkarya (PPB), dan pengembangan berkehidupan bermasyarakat (PBB). Bila unsur-unsur kompetensi utama ini diwujudkan ke dalam sebuah matrik, maka akan tampak sebagai berikut.

Tabel 01. Matrik Kompetensi


Gugus Kompetensi Unsur Kompetensi Pengembangan Kepribadian Pengembangan Keilmuan dan Keterampilan Pengembangan Keahlian Berkarya Pengembangan Perilaku Berkarya Pengembangan Berkehidupan Bermasyarakat X X
Factual knowledge Conceptual knowledge Procedural knowledge Metacogntive knowledge

X X X X

X X X X

Keterangan: X persilangan antar gugus dan unsur yang perlu dikembangkan sebagai kompetensi utama.(Hanya contoh!!)

V. ASESMEN BERBASIS KOMPETENSI Selama dekade terakhir, ada kecendrungan untuk mencari alternatif terhadap jenis asesmen tradisional dalam bidang pendidikan. Setidaknya ada 3 faktor yang berkontribusi terhadap perlunya mengadakan perubahan dalam bidang asesmen, yaitu 1) adanya

12

perubahan hakekat tujuan pendidikan, 2) hubungan antara asesmen dengan proses belajar dan mengajar dan 3) keterbatasan metode asesmen ( Marzano, dkk, 1993 : 9-12) Didengungkannya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) belakangan ini menunjukkan adanya perubahan terhadap fokus tujuan pendidikan untuk lebih memacu kompetensi peserta didik untuk mampu berpikir kreatif, mengambil keputusan, memecahkan masalah dan mampu mengatur diri sendiri (self management) sehingga bisa mencapai life-long learning outcomes yaitu a self-directed learner, a collaborative worker, a complex thinker, a quality producer dan community contributor. Dengan adanya perubahan hakekat tujuan pendidikan tersebut, jenis asesmen standar yang biasanya dipakai dalam bentuk tes objektif dianggap tidak cukup untuk tujuan pendidikan seperti dipaparkan di atas. Kebanyakan tes standar menyuruh pebelajar untuk memilih jawaban yang telah disediakan. Sangat jarang dikembangkan tes yang menuntut pebelajar untuk mengaplikasikan suatu informasi, atau menyuruh pebelajar untuk menunjukkan kemampuan melalui tingkat kognisi yang lebih tinggi. Keterbatasan inilah mendorong perlunya untuk mencari alternatif baru dalam asesmen. Faktor yang kedua yang berkontribusi terhadap perlunya alternatif dalam Asesmen adalah hubungan antara asesmen dengan proses mengajar dan belajar. Teori behavioristik dalam pengajaran mencirikan adanya akumulasi dari keterampilan yang terpisah yang sering diwarnai dengan asesmen-asesmen yang dilakukan pada momen tertentu saja yang sering diukur dengan jenis tes objektif. Pebelajar keputusan penting apakah pebelajar boleh lulus satu mata kuliah atau tidak. Proses belajar dan mengajar memiliki hubungan yang sangat erat, sehingga apabila proses belajar terjadi secara holistik maka asesmen yang diberikan pun semestinya dapat memberi informasi yang holistik kepada pembelajar. Jenis asesmen yang diberikan hendaknya sesuai dengan apa yang telah diajarkan di kelas, tidak hanya berdasarkan hasil paper-pencil test saja. Berdasarkan hal ini maka reformasi di bidang asesmen perlu dilakukan. Faktor ketiga adalah cara bagaimana data diambil dan dilaporkan. Para kritik dibidang pendidikan menyatakan bahwa metode asesmen yang dilakukan selama ini tidak memberikan masukan yang bermanfaat tentang penampilan pebelajar (learner). Jenis tes disuruh untuk menyelesaikan tes pada waktu tertentu saja dan hasilnya sering dipakai untuk mengambil

13

tradisional seperti pilihan ganda tidak dapat memberikan informasi tentang kemajuan pebelajar dalam hal apa yang telah dipelajari dan bagaimana pebelajar telah mempelajarinya, dan tidak dapat mencerminkan aktivitas otentik yang terjadi selama proses belajar mengajar di dalam kelas. Tes tradisional biasanya memberikan data pebelajar dengan nilai tertentu misalnya C atau B yang hanya dilakukan berdasarkan satu jenis tes saja. Apabila pembelajar (teacher) ingin meningkatkan pembelajaran, tidak hanya mengukurnya, maka selayaknya mekanisme pencatatan dan pelaporan perlu dicermati lagi. Berdasarkan ke tiga faktor itulah kemudian, alternatif baru asesmen sangat perlu dan mendesak untuk dilakukan sehingga diperkenalkanlah assessment) A. Definisi Asesmen Otentik Istilah asesmen otentik atau asesmen berbasis kompetensi dipakai untuk menjelaskan tentang bentuk asesmen yang beragam yang mencerminkan proses pembelajaran pebelajar, kemampuan, motivasi dan sikap pebelajar terhadap aktivitas pembelajaran yang relevan di kelas (O`Malley dan Pierce, 1996 : 4-5). Istilah authentic assessment pertama kali dipopulerkan oleh Grant Wiggins (1989) yang mengandung ide tentang asesmen terhadap pebelajar dalam mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan dengan cara yang sama seperti yang mereka alami di dunia nyata di luar kelas. Jenis asesmen otentik meliputi asesmen kinerja (performance assessment), portofolio (portfolios) dan asesmen oleh pebelajar sendiri (student self-assessment). Sesuai dengan permintaan Panitia Penyelenggara Semlok, maka pembahasan terhadap asesmen otentik akan dibatasi hanya pada dua jenis asesmen yaitu: asesmen kinerja dan asesmen oleh pebelajar sendiri.
1.

paradigma baru dalam

asesmen berbasis kompetensi yang dikenal dengan istilah asesmen otentik (authentic

Asesmen Kinerja (Performance Assessment) Asesmen kinerja (Performance assessment) terdiri dari setiap bentuk asesmen

dimana pebelajar memberikan respon secara lisan maupun tertulis. Respon pebelajar mungkin dielisitasi oleh pembelajar dalam konteks asesmen formal maupun informal atau

14

diobservasi selama proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. Asesmen ini memerlukan pebelajar untuk mampu melakukan tugas-tugas yang kompleks dan signifikan untuk mengarahkan mereka mampu memecahkan masalah yang nyata dan otentik di masyarakat. Contohnya adalah laporan lisan, sampel tulisan, projek individu atau kelompok, pameran dan demontrasi. Asesmen kinerja (Performance assessment) sering memerlukan penilaian pembelajar terhadap respon pebelajar. Untuk membantu penilaian pembelajar lebih akurat dan sahih, perlu dibuat skala penilaian (scoring scale) atau rubrik dimana skor tertentu diasosiasikan dengan penampilan pebelajar. Kriteria untuk masing-masing tingkat harus dideskripsikan dengan jelas tentang keterampilan dan aktivitas yang semestinya dilakukan oleh pebelajar. Salah satu kriteria dari performance assessment adalah kriteria penilaian diumumkan dan diperkenalkan lebih awal kepada pebelajar , sehingga pebelajar bisa menyiapkan diri dan menggunakan kriteria tersebut untuk menilai dirinya sendiri. 2. Asesmen Diri (Self-Assessment) Kunci kesuksesan penggunaan portofolio adalah adanya asesmen oleh diri pebelajar sendiri. Asesmen yang efektif melibatkan pebelajar untuk diberikan kesempatan untuk menilai diri mereka sendiri, melihat kemungkinan untuk refleksi diri. Pebelajar perlu dukungan untuk memahami pentingnya asesmen oleh diri sendiri , menjadi evaluator independen terhadap kemajuan mereka sendiri sesuai dengan tujuan instruksional yang telah ditetapkan. Pembelajar harus belajar bagaimana mendukung pebelajar dalam mengevaluasi diri mereka sendiri, tetapi perlu diingat bahwa asesmen diri (self-assessment) adalah proses melalui mana pebelajar harus diarahkan. Asesmen diri bukan tentang format atau checklist. Mengajar pebelajar untuk mengevalusi diri sendiri dimulai dengan adanya kesadaran bahwa pebelajar mempelajari hal yang baru. Oleh sebab itu mereka memerlukan kesempatan yang cukup untuk belajar dan mengaplikasikan berbagai keterampilan dengan masukan yang diberikan oleh pembelajar. Agar pebelajar mampu mengukur diri mereka sendiri, mereka perlu melihat contoh pekerjaan yang bagus dan memahami standar yang dipakai untuk menilai. Ini
15

berarti bahwa pembelajar harus bekerja bersama-sama pebelajar untuk menentukan kriteria pekerjaan yang akan dinilai. Dengan melihat contoh pekerjaan yang dianggap bagus, mereka bisa mengembangkan ide bagaimana suatu pekerjaan dievaluasi. Dalam mengerjakan hal ini, pembelajar harus menyimpan semua pekerjaan pebelajar dari awal sampai akhir. Dari contoh pekerjaan yang bagus, pebelajar disuruh untuk mengidentifikasi karakteristik model pekerjaan yang bisa dipakai contoh. Dengan mengidentifikasi hal ini, pebelajar akan diarahkan untuk mampu membuat carta kriteria (criteria charts) yang berisi tentang kriteria penting yang dijabarkan pebelajar dan sewaktu-waktu bisa ditambahkan lagi. Carta ini bisa digantung di tembok dan bisa dilihat sewaktu-waktu pada saat pekerjaan yang sama dikerjakan. Apabila pebelajar sudah memahami carta yang mereka buat, mereka tidak perlu lagi merujuk pada carta yang tergantung ditembok. Setelah pebelajar mampu membuat kriteria, maka mereka disuruh untuk

mengaplikasikan pada evaluasi terhadap pekerjaan mereka. Hal ini bisa dimulai dalam kelompok kecil atau bekerja dengan seorang teman (a porfolio partner) Setelah itu secara perlahan mereka diarahkan untuk mampu melakukan secara mandiri terhadap diri mereka sendiri. Selama proses evaluasi pebelajar dibimbing untuk mampu menemukan kelemahan dan kebaikan dari masing-masing sampel pekerjaan mereka demikian mereka bisa menentukan tujuan peningkatan pekerjaan mereka sendiri. dengan

VI. PEMBELAJARAN Sebelum membahas secara khusus metode pembelajaran berbasis kompetensi, maka perlu diketahui adanya perbedaan istilah dalam pembelajaran. Ketiga istilah tersebut, yaitu: pendekatan (approach), metode (methods), dan teknik (techniques). Menurut Anthony (1985) bahwa pendekatan (approach) adalah seperangkat asusmsi dasar tentang suatu entitas yang bersifat sebagai sebuah aksioma (a set of related assumptions about a particular entity, and therefore; it is axiomatic in nature). Pendekatan pembelajaran berkembang dari yang bersifat tradisional-konvensional sampai ke pendekatan konstruktivistik.

16

Metode merupakan langkah-langkah pokok yang ditempuh untuk bisa mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (a general procedure to achieve the predetermined goals). Sifat metode adalah prosedural yang harus konsisten dengan pendekatan yang telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan teknik merupakan cara khusus (special tricksto implement the chosen approach and methodsin order to achieve the predetermined goals as efficiently and effectively as possible) untuk mengimplementasikan pendekatan dan metode, sehingga tujuan tercapai dengan optimal. Dengan pemahaman makna pendekatan-metode-dan-teknik tersebut, maka yang penting diperhatikan adalah bagaimana sebaiknya pengalaman belajar (learning experiences) dapat disajikan kepada mahasiswa, sehingga kompetensi standar (standard competency) dan kompetensi dasar (basic competency) dapat dicapai secara maksimal. Untuk mencapai suatu kompetensi tidak ada hanya satu pendekatan, metode, atau teknik yang merupakan obat mujarab (penacea). Umumnya, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran bersifat eklektik (ecclecticism). Ada rumus pembelajaran yang bersifat generik, yaitu: pembelajaran harus mencirikan suatu model:P-A-I-K-E-M. PAIKEM merupakan model pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Pada intinya pembelajaran harus mendorong mahasiswa agar terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Keterlibatannya dalam pembelajaran haruslah bersifat mental. Seluruh komponen mental mahasiswa harus dicurahkan dalam pembelajaran. Inovasi dalam pembelajaran merupakan upaya-upaya yang segar dan baru yang mendorong terciptanya suasana kondusif dan kreatif dalam pembelajaran. Dengan kondusivitas atmosfir pembelajaran, maka pembelajaran yang mendidik dapat terselenggara secara efisien dan efektif. Pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif akan menjadikan pembelajaran itu sendiri sebagai suatu upaya mendidik yang menyenangkan bagi mahasiswa dan dosen. Dengan model PAIKEM tersebut, maka kompetensi-kompetensi utama, penunjang, dan lainnya yang gayut dengan kompetensi utama akan dapat tercapai dengan semaksimal mungkin.

17

VII. PENUTUP Kompetensi merupakan sebuah konsep yang masih diperdebatkan kebenarannya. Secara teoritis, KBK memiliki kelemahan dan kendala seperti yang diajukan oleh para penentang (oponent) KBK di atas. Secara teoretik, KBK mengandung kelemahan konseptual, antara lain: memandang sebuah kompetensi sebagai sebuah entitas yang bersifat tunggal, padahal kompetensi merupakan a complex combination of knowledge, attitudes, skills, and values displayed in the context of task performance. (Gonczi,1997), sistem pengukuran perilaku yang menggunakan paradigma behaviorisme ditengarai tidak mampu mengukur sesuatu perilaku yang dihasilkan dari pembelajaran bermakna (significant learning) (Barrie dan Pace,1997), dan kendala yang dihadapi dalam mengimplementasikan KBK adalah waktu, biaya dan tenaga yang banyak. Terlepas dari kelemahan (internal) dan kendala (eksternal) tersebut, KBK merupakan sebuah pendekatan dalam pengambilan kebijakan dalam pendidikan. Maka dari itu, prinsip dasar yang harus digunakan untuk menjadikan KBK sebuah realita dalam pendidikan nasional kita, bukan sebuah mitos, adalah dengan mengubah kelemahan (weaknesses) dan kendala (threats) menjadi sebuah kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities).

18

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Made Kerta. 2003. Studi evaluatif tentang kesiapan guru IPS dalam mengimplementasikan KBK, SMUN se-kota Denpasar tahun pelajaran 20022003. Singaraja: Disertasi Program Pascasarjana Jurusan PEP IKIP Negeri Singaraja (tidak dipublikasikan). Barrie,J., dan Pace,R.W. 1997. Competence, efficiency, and organizational learning. Human Resource Development Quartely 8, No.4 (Winter 1997) :335-342. Chappell, C. 1996. Quality & competency-based education and training. In The Literacy Equation,71-79. Red Hill, Australia: Queensland Council for Adult Literacy. Collins,C. ed. 1993. Competencies:The competencies debate in Australian education and training. Curtin: Australian College of Education. Depdiknas. 2001. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Buku 1 Konsep dan pelaksanaan. Jakarta : Depdiknas. Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi Kebijaksanaan Umum Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : Depdiknas. Depdiknas. 2002. Kebijaksanaan teknis dan program pengembangan pendidikan Menengah Umum di masa depan. Jakarta : Depdiknas. Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Depdiknas. Ecclestone,K. 1997. Energizing or enervating?. Journal of Vocational education and Training, 19,No.1:65-79. Erride,A., dan Perry,S. 1994. The validity and value of national vocational qualifications. British Journal of Education and Work 7, No.2. Gonczi,A. 1997. Future directions for vocational education in Australian Secondary Schools. Australian and New Zealand Journal of Vocational Education Research 5, No.1 (May ):77-108. Harris,R., dan Guthrie,H.,Hobart,B., dan Lumberg,D. 1995.Competency-based education and training:between a rock and whirlpool. South Melbourne: MacMillan Education Australia. Hodkinson,P., dan Issitt,M. (Eds.) 1995. The challenge of competence. New York: Casell.

19

Hyland,T. 1994. Competence, education and NVQs: Dissenting perspectives. London: Cassell. Hyland,T. 1997. National Vocational Qualifications, skills training and employers needs. Journal of Vocational Education for the Workplace,135-149. Geelong: Australia Deakin University. Jackson,N. 1994. If competence is the answer, what is the question? In A Collection of Original Essays on Curriculum for the Workplace,135-149. Geelong: Australia Deakin University. Jones,L., dan Moore,R. 1995. Appropriating competence. British Jounral of Education and Work 8,No.2:78-92. Sidi, Indra Djati. 2001. Strategi Pendidikan Nasional. Makalah. Malang:IKIP Malang.

20

Anda mungkin juga menyukai