Anda di halaman 1dari 13

BAB 1 PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Masalah Saat ini masalah kesehatan dunia mengalami transisi epidemiologis dari penyakit menular ke penyakit tidak menular, seperti; degeneratif dan berbagai jenis gangguan akibat perilaku. Direktur Kesehatan Jiwa se Dunia (WHO) Prof. T.A. Lambo dalam World Congress of Social Psychiatric di Paris (1982) yang dikutip oleh Hawari menyatakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, modernisasi, dan industrialisasi merupakan faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi pola hidup masyarakat. Termasuk di Indonesia sedang mengalami masa transisi dari masyarakat tradisional agraris menuju masyarakat indusri, sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan pola hidup, pola perilaku dan tata nilai kehidupan. Masalah kesehatan tidak lagi hanya menyangkut berapa besar angka kematian (mortality rate) dan angka kesakitan (morbidity rate), melainkan mencakup ruang lingkup kehidupan yang lebih luas berupa faktor stressor psikososial yang dapat menyebabkan tekanan/stress

(psychological distress). Jenis stressor psikososial, seperti; tidak adanya jaminan sosial dalam dunia kerja, tidak adanya perlindungan bagi tenaga kerja/buruh, tidak adanya kepastian hukum, peredaran narkoba menghantui orangtua yang memiliki anak remaja, dan tuntutan gaya hidup. WHO (2001) melaporkan kira-kira 25% dari seluruh penduduk pada suatu masa mengalami gangguan jiwa dan perilaku, dan lebih dari 40% diantaranya didiagnosis secara tidak tepat sehingga menghabiskan biaya untuk pemeriksaan laboratorium dan pengobatan yang tidak tepat. Dalam laporan itu juga ditemukan 24% dari pasien yang mengunjungi dokter pada

pelayanan kesehatan dasar ternyata mengalami gangguan jiwa dan 69% dari pasien tersebut dengan keluhan-keluhan fisik yang tidak ditemukan penyebab gangguan fisik. Hasil Survey

2 Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) oleh Bahar dkk, pada tahun 1995 yang dilakukan pada penduduk di 11 kota di Indonesia, menunjukkan bahwa 185/1000 penduduk rumah tangga dewasa menunjukkan adanya gajala gangguan kesehatan jiwa. Prevalensi diatas 100 per 1000 anggota rumah tangga dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian (priority public health problem) . Memang, masalah kesehatan jiwa tidak menyebabkan kematian secara langsung, namun dibalik itu masalah kesehatan jiwa dapat menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan baik bagi individu, keluarga, masyarakat dan Negara. Akibat penderitaannya tersebut menjadi tidak produktif dan bergantung pada orang lain. Dari hasil penelitian WHO bekerjasama dengan World Bank tahun 1996 beban akibat gangguan kesehatan jiwa dan gangguan penyalahgunaan zat yang di ukur dengan DALYS (disability adjusted life years) adalah 12,3%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan angka gangguan kardiovaskuler, kanker dan tuberculosis paru. Masalah kesehatan jiwa telah menjadi perhatian dunia, berdasarkan hasil Study Bank Dunia ternyata masalah kesehatan jiwa merupakan penyebab terbesar hilangnya sejumlah tahun kualitas kehidupan manusia ratusan juta wanita, pria dan anak-anak menderita gangguan jiwa; sementara sejumlah besar lainnya mengalami distres karena korban tindak kekerasan, kemiskinan dan eksploitasi, wanita dan anak anak menjadi korban penganiayaan terutama yang terjadi di dalam rumah tangga dan penyalahgunaan zat serta masalah perilaku lain yang mempengaruhi kehidupan remaja, dewasa muda dan lansia. Perubahan pola keluarga yang ditandai dengan makin banyaknya wanita berperan ganda dengan bekerja di luar rumah, selain memberi pengaruh positif berupa tambahan penghasilan keluarga dan meningkatkan kemampuan wanita untuk memberdayakan keluarga, juga mempunyai dampak negative bagi wanita pekerja karena peran ganda, potensial menimbulkan

3 masalah kesehatan jiwa bagi anggota keluarga yang berisiko terutama bagi bayi, balita, remaja dan lansia. Terakhir dilaporkan bahwa 460 juta lansia (67%) dari 690 juta penduduk berusia 65 tahun keatas berasal dari negara berkembang termasuk Indonesia yang tidak diatasi secara benar, maka akan menimbulkan gangguan kesehatan jiwa bagi lansia, gangguan fungsi keluarga dan ahirnya menjadi beban masyarakat. Dalam istilah kesehatan mental gangguan kejiwaan berarti kumpulan dari keadaan yang tidak normal (mal-adaptive), baik yang berhubungan dengan kejiwaan, maupun jasmani. Dua kelompok besar tentang keabnormalan, neurosa (gangguan kejiwaan pada perasaan) dan psikosa (gangguan pikiran). Kegiatan pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat di difokuskan pada kegiatankegiatan pelayanan yang lebih spesialistik. Beberapa model dan pendekatan dipadukan dalam satu model yang sesuai dengan kondisi masyarakat sebagai pengguna pelayanan. Konsep pengembangan menggabungkan model pelayanan berbasis masyarakat dan pelayanan berbasis rumah sakit disebut sebagai Modern Mental Health Services (Thornicroft, 2005). Menurut hasil penelitian di negara-negara Eropa model pelayanan kesehatan jiwa berbasis rumah sakit ternyata tidak lebih baik mengatasi gangguan jiwa dibanding pelayanan berbasis masyarakat. Penggabungan dua model tersebut merupakan suatu terobosan sehingga tercapai pelayanan yang optimal. Lebih lanjut dijelaskan Thornicroft bahwa sifat pelayanan kesehatan jiwa harus dekat dengan masyarakat dan bersifat tidak statis. 1.2 Rumusan Masalah Dalam makalah ini akan dirumuskan beberapa masalah, diantaranya : 1.Apa yang melatarbelakangi perubahan dari keperawatan jiwa berbasis rumah sakit menjadi keperawatan jiwa berbasis komunitas (masyarakat)?

4 2.Apa definisi dari keperawatan jiwa berbasis komunitas (masyarakat)? 3. Apa saja prinsip-prinsip keperawatan jiwa berbasis komunitas (masyarakat)? 4.Apa saja ruang lingkup keperawatan jiwa berbasis komunitas (masyarakat)? 1.3 Tujuan Penulisan 1.3.1 Tujuan Umum Mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari keperawatan jiwa berbasis komunitas. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mahasiswa dapat mengetahui latarbelakang perubahan dari perawatan jiwa berbasis rumah sakit menjadi keperawatan jiwa berbasis komunitas (masyarakat). 2. Mahasiswa dapat mengetahui definisi dari keperawatan jiwa berbasis komunitas (masyarakat). 3. Mahasiswa dapat mengetahui prinsip-prinsip keperawatan jiwa berbasis komunitas (masyarakat). 4. Mahasiswa dapat mengetahui ruang lingkup keperawatan jiwa berbasis komunitas (masyarakat). 1.4 Manfaat Penulisan Semoga makalah yang kami buat ini bisa menjadi salah satu referensi dalam pengembangan keperawatan jiwa khususnya keperawatan jiwa yang berbasis pada komunitas (masyarakat).

5 BAB 2 POKOK BAHASAN 2.1 Latar Belakang Keperawatan Jiwa Berbasis Komunitas Saat ini, hampir di seluruh bagian dunia mengembangkan program kesehatan mental. Survei WHO mengungkapkan bahwa beban sosial ekonomi yang disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa menempati urutan ke 4 DALYS (disability adjusted life years). Survei lain mengungkapkan bahwa 20-30% pasien yang berkunjung ke Pelayanan Kesehatan Primer memperlihatkan gejala-gejala gangguan mental. Berdasarkan hasil penelitian, prevalensi gangguan mental yang lazim ditemui di masyarakat, yaitu Depresi dan Anxietas cukup tinggi (10-20%), sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat seperti Psikosis, Bipolar, dan Demensia berkisar antara 35%. Sebagian besar dari penderita gangguan jiwa tersebut hidup di masyarakat. Sebagian besar dari mereka datang berobat ke dokter umum atau ke pelayanan kesehatan primer, baik untuk alasan keluhan somatis ataupun karena gejala-gejala gangguan jiwa. Secara garis besar kasus psikiatri yang datang ke pelayanan primer dapat dibedakan atas dua golongan besar, yaitu: 1. Gangguan jiwa yang lazim (Common Mental Disorders) Disebut gangguan jiwa yang lazim karena merupakan gangguan yang paling sering dijumpai dalam praktek umum. Lebih dari 75% kasus berobat ke Pelayanan Primer dan hanya kurang dari 10% yang berobat ke Psikiater. 2. Gangguan jiwa yang berat (Severe Mental Disorders) Meliputi kelompok gangguan jiwa dengan gejala klinis serius dan disabilitas psikososial yang berat. Sebagian besar dari mereka membutuhkan layanan kesehatan jiwa yang bersifat komprehensif dan berkesinambungan

6 Dalam bidang kesehatan mental, terjadi beberapa perubahan paradigma, di antaranya: 1. perubahan dari rumah sakit yang berdiri sendiri dan pelayanan kesehatan jiwa komunitas yang bersifat terpisah menjadi pelayanan kesehatan jiwa yang terintegrasi secara administratif maupun klinis. Kombinasi pelayanan akut maupun rehabilitasi dengan pelayanan 24 jam yang berbasis rumah sakit dan di komunitas. 2. perubahan titik berat pelayanan kesehatan jiwa untuk orang-orang dengan gangguan jiwa berat dan kronis dari rumah sakit ke komunitas 3. perubahan fokus penatalaksanaan gejala biologi dan implikasi patologinya ke intervensi spesifik untuk mengatasi spektrum dari sekuele biologi, psikologi, sosial, dan kultural akibat gangguan jiwa berat 4. pergeseran fokus pada kebutuhan dan prioritas individual, dengan rencana rehabilitasi yang dirancang khusus, dan bukan program yang bersifat mengeneralisasi 5. lebih menitik beratkan pada deteksi, membentuk, mengukur dan melakukan sesuatu terhadap potensi individu, serta tidak memfokuskan lagi pada ketidakmampuan (disabilitas) 6. pergeseran dari program komunitas yang terpisah, yang rentan untuk menjadi terisolasi, yang memisahkan individu dari komunitas dan integrasi sosial, dengan memanfaatkan fasilitas komunitas lokal bersama dengan anggota komunitas yang lain, dengan tujuan mengembalikan fungsi sosial individu di komunitas tersebut 7. pergeseran dari fasilitas yang sepenuhnya dijalankan oleh profesional ke fasilitas kelompok bantu diri dengan program yang terkontrol 2.2 Definisi Upaya pelayanan kesehatan jiwa komunitas merupakan jejaring pelayanan kesehatan jiwa yang menyediakan pengobatan berkelanjutan, akomodasi, okupasi, dan dukungan sosial bagi

7 mereka yang mengalami problem kesehatan jiwa untuk dapat kembali pulih pada fungsi psikosososial yang optimal. Tujuannya adalah untuk mengurangi masa perawatan penderita di rumah sakit dan memulihkan kemampuan psikososial penderita dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Upaya pelayanan kesehatan ini bersifat inklusif, mengintegrasikan pelayanannya dalam kegiatan yang sudah ada di masyarakat. Dokter di pelayanan primer merupakan bagian penting dari jejaring pelayanan kesehatan ini. 2.3 Prinsip-prinsip Beberapa prinsip dan penekanan dalam psikiatri komunitas di antaranya: a. penekanan pada praktik di dalam masyarakat b. penekanannya lebih pada masyarakat atau populasi secara keseluruhan dibandingkan individu c. penekanan terutama pada pelayanan yang bersifat preventif d. penekanan pada proses pelayanan yang berkesinambungan dan komprehensif e. penekanan pada sistem pelayanan yang tidak langsung (bersifat konsultasi, edukasi, capacity building) f. penekanan pada psikoterapi singkat dan krisis intervensi Dasar pelaksanaan untuk menyediakan suatu pelayanan kesehatan mental yang dibutuhkan oleh suatu populasi ditentukan dengan cara menetapkan population based needs dalam hal pengobatan dan perawatan. Dengan demikian diharapkan sistem pelayanan tersebut dapat mencakup sumber yang luas dengan kapasitas yang adekuat, dijalankan di lokasi yang mudah dijangkau, serta mengedepankan evidence based dalam melakukan penatalaksanaan. Sehingga pada akhirnya tujuan psikiatri komunitas untuk meningkatkan kualitas hidup orang dengan gangguan jiwa dapat tercapai melalui penyediaan klinik perawatan yang berkualitas,

8 pendidikan bagi semua pihak yang terlibat, dan ikut berpartisipasi dalam penelitian untuk peningkatan keuntungan bagi orang dengan gangguan jiwa. 2.4 Ruang Lingkup Ruang lingkup kegiatan upaya pelayanan kesehatan jiwa komunitas, meliputi: Upaya prevensi dan promosi Kesehatan Jiwa Upaya deteksi dini & pengobatan segera Upaya rujukan dan perawatan lanjutan Upaya rehabilitasi dan resosialisasi Upaya pelayanan kesehatan jiwa ini dilakukan oleh sebuah Tim Terpadu Multidisiplin, antara lain: psikiater, psikolog, pekerja sosial, dokter umum ( dengan minat khusus Psikiatri), perawat jiwa (Psychiatric Nurse), dan ahli terapi okupasi (Occupational therapist) Komponen kegiatan pelayanan kesehatan jiwa komunitas, yaitu: Crisis assesssment & treatment Consultation & continuing care Fasilitas layanan ini dapat diberikan di rumah sakit, atau di komunitas, baik oleh terapis maupun perawat. Layanan diberikan dalam bentuk layanan untuk program rehabilitasi, kebutuhan khusus, dukungan klinis, nasihat, atau transportasi khusus. Tidak semua kasus perlu menjalani perawatan dalam waktu lama. Dokter bertugas untuk memutuskan perlu tidaknya perawatan tersebut melalui kerjasama dengan tenaga kesehatan laian atau petugas perawatan. Contoh kasus yang memerlukan perawatan dalam waktu lama adalah pasien demensia dengan hiperaktivitas motorik namun kondisi rumah tidak menunjang untuk perawatan, malahan berisiko tinggi untuk terjadinya kecelakaan. Layanan kesehatan ini diharapkan dapat melibatkan

9 berbagai layanan sosial dan organisasi lain untuk menghindari adanya kesenjangan dalam memberikan pelayanan. Case management Dalam sektor kesehatan mental masyarakat, case management mempromosikan akses atau melanjutkan perawatan yang berbasis komunitas bagi para penderita gangguan mental. Model case management terdiri dari sedikitnya 5 fungsi utama (penilaian, perencanaan, advokasi, membentuk jaringan, dan monitoring). Seorang case manager (pengelola kasus) memiliki peran dan tugas: 1. menjamin kasus mendapat pelayanan yang benar dan memadai 2. membantu kasus mengakses berbagai pelayanan secara terintegrasi 3. melakukan penilaian kebutuhan dan masalah kasus 4. merencanakan pengelolaan kasus sesuai masalah dan kebutuhannya 5. mengkoordinasikan berbagai bentuk layanan yang dibutuhkan kasus dan memantau pelaksanaannya Day and evening care Fasilitas terdiri dari perawatan medis dengan penambahan beberapa aktivitas yang bersifat rekreasional, vokasional, keterampilan hidup, dan sosial untuk mereka yang memerlukan dukungan intensif dalam jangka waktu yang singkat. Dapat berfungsi sebagai alternatif atau mekanisme followup untuk pasien rawat jalan. Home care Merupakan pelayanan kesehatan yang dilakukan di rumah untuk pasien setelah dirawat di rumah sakit atau untuk masyarakat umum. Berupa layanan pemeriksaan, pengobatan maupun keperawatan terutama bagi pasien yang sulit untuk datang ke rumah sakit, atau pasien yang

10 memerlukan latihan keterampilan hidup di rumah. Manfaat layanan berhubungan dengan semakin tingginya partisipasi keluarga, hemat waktu dan biaya untuk datang dan menjalani perawatan di rumah sakit. Residential care Setelah menjalani perawatan di rumah sakit, pasien gangguan jiwa berat seringkali memerlukan supportive housing. Meraka kadang-kadang dapat tinggal kembali bersama keluarga, tetapi tidak jarang mereka memerlukan sebuah rumah permanen tersendiri. Kebutuhan ini semakin meningkat dengan adanya penolakan dari keluarga atau lingkungan sekitar. Berlanjut dari perawatan di rumah sakit, pasien ditempatkan dalam sebuah program housing dimulai dari program dengan pengawasan, tersupervisi, menggunakan seting rawat inap hingga bergerak maju ke program yang lebih sesuai dengan seting rumah, lebih longgar dalam pengawasan. Bentuk residential care disesuaikan dengan level kebutuhan supervisi, lama tinggal, jumlah penghuni, dan jenis layanan lain yang diperlukan (rehabilitasi vokasional atau aktivitas rekreasi). Peran dokter umum di pelayanan kesehatan primer Mengingat sebagian besar kasus gangguan jiwa di masyarakat datang ke Pelayanan Primer, maka dokter umum justru menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan jiwa masyarakat. Pelayanan Primer seyogyanya mampu memberikan pelayanan kesehatan jiwa dasar, meliputi: deteksi dini masalah kesehatan jiwa, pengobatan gangguan jiwa yang lazim, konseling dan psikoedukasi, serta melakukan rujukan kasus spesialistik. Pelayanan Primer (+Keswa) dapat menjadi pusat edukasi dan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan jiwa. Mengembangkan Posyandu (+Keswa), dan kegiatan

promotif/preventif lainnya. Di daerah yang jauh dari fasilitas pelayanan kesehatan jiwa, maka

11 Pelayanan Primer diharapkan mampu memberikan pelayanan kesehatan jiwa dasar dan pemeliharaan kesehatan jiwa berkelanjutan (continuing care). Pelayanan Primer (+Keswa), mampu memberikan pelayanan kesehatan jiwa secara relatif komprehensif, dengan supervisi yang memadai dari tenaga ahli (Psikiater) dari Pusat Kesehatan Jiwa yang ditunjuk sebagai induknya. Pelayanan Primer (+Keswa), dapat membentuk Tim Kesehatan Jiwa yang terdiri dari dokter umum terlatih, perawat kesehatan jiwa, dan tenaga lapangan (outreach). Tim ini diharapkan mampu memberikan pelayanan: Crisis assesssment & treatment Consultation & continuing care Case management Di daerah-daerah yang rawan, seperti: daerah bencana, daerah konflik, kamp pengungsian, dan sebagainya, Pelayanan Primer (+Keswa) perlu dikembangkan agar mampu melayani kebutuhan kesehatan jiwa masyarakat secara memadai.

12 BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan Perkembangan keperawatan jiwa saat ini tidak hanya pelayanan di dalam rumah sakit tetapi lebih jauh lagi sudah harus dikembangkan keperawatan jiwa dalam komunitas, kareana yang lebih penting bagi pasien dengan gangguan jiwa adalah bagaimana mereka dapat kembali diterima di masyarakat. Keperawatan jiwa komunitas sangat penting perannya terutama untuk mencegah dan deteksi dini adanya gangguan jiwa yang dialami oleh seorang individu sehingga dampaknya dapat diminimalkan. Untuk itulah keperawatan jiwa komunitas harus dikembangkan dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat. 3.2 Saran Setelah mengetahui betapa pentingnya peranan keperawatan jiwa komunitas, diharapkan agar keperawatan jiwa komunitas mendapat perhatian dari pihak-pihak yang menjadi bagian dari komunitas itu sendiri terutama dari pemerintah. Lembaga-lembaga sosial perlu dibentuk sebagai bentuk dari keperawatan jiwa komunitas.

13 Daftar Pustaka 1. Stuart, G.W., & Laraia, M.T. (1998). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. St.Louis : Mosby Year Book. 2. Stuart, G.W., & Sundeen, S.J. (1995). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Jakarta : EGC 3. Townsend, M.C. (1995). Buku Saku : Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri : Pedoman untuk pembuatan rencana perawatan. (ed. Indonesia). Jakarta : EGC. 4. McArthurMiller D, Jacques Daniel Revised: March 7, 2006 5. The American Heritage Stedman's Medical Dictionary, 2nd Edition Copyright 2004 by Houghton Mifflin Company. Published by Houghton Mifflin Company. 6. Calderon Narvaez G. Community psychiatry. In Neurol Neurocir Psiquiatr. 1975;16(1):4958. 7. Tornicof, et al; Textbook of Community Psychiatry

Anda mungkin juga menyukai