Anda di halaman 1dari 15

Distosia pada Wanita Nulipara

(Dystocia in Nulliparous Women)


Sara G. Shields, MD, MS, University of Massachusetts, Worcester, Massachusetts Stephen D. Ratcliffe, Md, MSPH, Lancaster General Hospital Family Medicine Residency Program, Lancaster, Pennsylvania Patricia Fontaine, MD, MS, University of Minnesota, Minneapolis, Minnesota Lary Leman, MD, MPH, University of New Mexico, Albuqurque, New Mexico Am Fam Physician 2007;75:1671-8 Presentan : Irene Ranny K. Rani Manalu Rudy Chandra Nevin Chandra J. Ritsia Anindita W. Abram Pratama Hendrik Sutopo L. Mirna Primasari Fanny Ardianti Prisilla Alvini S. Oponen: David Ong

Moderator : dr. Rimonta F. Gunanegara, SpOG

KSM/BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG 2007

Pendahuluan Menangani wanita dengan distosia merupakan tantangan besar. Istilah distosia merujuk kepada persalinan yang lama atau maju dengan perlahan-lahan. Distosia sering terjadi pada wanita nulipara, yang ditunjukkan dengan jumlah wanita yang memerlukan augmentasi, persalinan operatif pervaginam, atau seksio sesar. Pada tahun 2003, 17% wanita di Amerika menerima augmentasi dengan oksitosin, dan pada tahun 2004, jumlah persalinan dengan seksio sesar primer (belum pernah dilakukan seksio sesar sebelumnya) meningkat menjadi 20,6%. Distosia bertanggung jawab terhadap lebih dari 50% persalinan secara seksio sesar primer. Dengan jumlah seksio sesar secara keseluruhan yang tinggi, yakni 30,2%, penanganan distosia secara optimal dapat secara signifikan mempengaruhi hasil persalinan. Diagnosis Kemajuan persalinan normal pertama kali dikemukakan oleh Friedman tahun 1950 berdasarkan data persalinan dari beberapa ratus wanita. Abnormalitas kemajuan persalinan digambarkan dengan istilah lama (protracted) atau tidak maju (arrested). Untuk membantu dalam diagnosis, kemajuan persalinan dapat dipantau dengan menggunakan partogram, yang menggambarkan dilatasi serviks dan station (turunnya kepala) seiring berjalannya waktu.

Tabel 1. SORT: Rekomendasi Kunci untuk Praktek Klinik


Rekomendasi Evidenc e Amniotomi mempercepat tetapi deselerasi jantung juga variable berhubungan janin, pada kala Rating I A Refere nsi 13 Penilaian sistematis Komentar

persalinan, mungkin dengan frekuensi tetap namun

harus dipertimbangkan untuk persalinan yang lama. Dosis tinggi oksitosin A mempercepat persalinan daripada dosis yang kecil tanpa efek samping pada janin. Wanita yang menerima A dukungan persalinan memiliki dan lain seperti angka yang sesar, selama analgesik, lebih dan 35 Penilaian sistematis; dengan penelitian sedikitnya melibatkan 1000 orang 46-49 Penilaian sistematis analisis 57, dan penilaian meta17, 58 18, 19 -

rendah untuk operasi vagina seksio mengurangi trauma persalinan juga. Analgesi epidural berhubungan A dengan pemanjangan kala II dan meningkatkan penggunaan oksitosin dan operasi vagina. Penting untuk mengikuti C sistematik diagnosis protokol persalinan, untuk menilai dan balik terkait mengenai dengan dengan

kemajuannya, dan umpan hal

menggunakan oksitosin. Audit segala

persalinan berhubungan pada institusi.

per-abdominam

rendahnya angka seksio sesar

A = bukti yang berorientasi-pasien, konsisten, dan berkualitas baik; B = bukti yang berorientasi-pasien tetapi inkonsisten atau berkualitas terbatas; C = konsensus, bukti berorientasi-penyakit, praktek seharihari, pendapat ahli, atau laporan kasus-kasus.

Batasan persalinan normal sekarang ini ternyata lebih luas dari batasan menurut Friedman. Sebuah penelitian terakhir tentang kemajuan persalinan pada 1.329 wanita nulipara yang melakukan persalinan pervaginam menemukan bahwa dibutuhkan rata-rata 5,5 jam untuk serviks berdilatasi dari 4 ke 10 cm (rata-rata 1,1 cm per jam). Hal ini kontras dengan data yang dimiliki Friedman, dimana angka 1,2 cm per jam adalah persentil ke-95 (dengan kata lain, batas terlama dari kemajuan persalinan normal). Sebuah analisis yang lebih terkini menemukan bahwa wanita yang belum mencapai pembukaan 7 cm seringkali serviksnya tidak mengalami perubahan selama 2 jam lebih. Turunnya kepala janin pada kala 2 pun nampak membutuhkan waktu lama. Oleh karena itu, kebutuhan intervensi rutin untuk persalinan yang maju tetapi lama perlu dipertanyakan.

Grafik 1. Tren persalinan di AS, 1989-2005 Penatalaksanaan Seorang dokter perlu untuk mempertimbangkan 4 hal ketika menghadapi wanita dengan distosia, yaitu: 1. Adekuat tidaknya kontraksi uterus 2. Ada tidaknya malposisi janin

3. Ada tidaknya disproporsi sefalopelvik yang disebabkan oleh suspek makrosomia atau panggul sempit 4. Ada tidaknya keadaan klinis lainnya (korioamnionitis, keadaan janin yang kurang baik) Kesemuanya akan mempengaruhi pilihan terapi. Kala I persalinan Pilihan terapi untuk fase laten termasuk observasi, sedasi dengan antihistamin atau narkotik ringan, dan augmentasi. Wanita yang persalinannya diinduksi mungkin tetap berada pada fase laten untuk waktu yang lama; sehingga, seksio sesar atas indikasi distosia tidak boleh dilakukan pada wanita yang masih berada pada fase laten. Begitu persalinan memasuki fase aktif, amniotomi sebelum pemberian oksitosin mungkin cukup untuk mempercepat persalinan yang berlangsung lama. Amniotomi dengan pemberian augmentasi oksitosin lebih awal mempercepat persalinan hingga dua jam dibandingkan dengan tindakan ekspektatif (expectant care), namun tidak mengubah insidensi seksio sesar. Amniotomi merupakan tindakan yang cukup sederhana, namun masih tetap memiliki risiko yakni peningkatan terjadinya deselerasi variabel karena kompresi tali pusat. Amniotomi rutin pada awal persalinan tidak dianjurkan dan peranan amniotomi sebagai penatalaksanaan persalinan lama sedang dalam penyelidikan. Palpasi abdominal atau kateter pengukur tekanan intrauterin (intrauterin pressure catheter), yang mengukur dalam satuan Unit Montevideo (Montevideo Unit MVU), dapat digunakan untuk mengevaluasi kekuatan dan frekuensi kontraksi uterus pada wanita dengan persalinan lama atau tidak maju. 200 MVU atau lebih dalam 10 menit dianggap sebagai bukti adanya kontraksi yang adekuat. Penggunaan

kateter pengukur tekanan intrauterin mungkin penting jika frekuensi dan lamanya kontraksi cukup tapi tidak menyebabkan perubahan pada servik. Sebuah uji acak (randomized trial) berskala kecil menemukan bahwa tidak ada perbedaan dalam lamanya persalinan maupun insidensi seksio sesar ketika kateter pengukur tekanan intrauterin digunakan. Tabel 1. Definisi tradisional dari persalinan abnormal
Tahapan persalinan Fase Laten Nulipara Multipara Kala satu Nulipara Multipara Kala dua Nulipara Tanpa atau multipara regional: durasi > 2 jam atau < 1 cm tiap jam Dengan regional: Durasi > 3 jam N/A = not applicable, tidak dapat diterapkan anestesi anestesi Tidak ada penurunan setelah 1 jam dipimpin mengedan Abnormalitas Persalinan Lama Tidak Maju > 20 jam > 14 jam Dilatasi < 1cm tiap jam N/A N/A 2 jam fase aktif tanpa perubahan servik Dilatasi < 1,2-1,5 cm 2 jam fase aktif tanpa tiap jam perubahan servik

Jika kontraksi tidak adekuat, dapat diberikan oksitosin intravena untuk meningkatkan frekuensi, durasi dan kekuatan kontraksi. Ada berbagai pendekatan untuk dosis, interval, dan lamanya pemberian oksitosin. Regimen dosis rendah dimulai dari 0,5-2,0 mU per menit dan ditingkatkan menjadi 1-2 mU tiap menit setiap 15-40 menit sampai mencapai dosis maksimal yaitu 20-40 mU tiap menit. Pada regimen dosis tinggi, dosis dimulai dari 6 mU tiap menit dan ditingkatkan menjadi 1-6 mU tiap menit sampai mencapai dosis maksimal 40-42 mU tiap menit.

Pada wanita nulipara yang membutuhkan augmentasi, regimen oksitosin dosis tinggi mempercepat waktu persalinan rata-rata 2 jam dibandingkan dengan regimen dosis rendah tanpa menyebabkan efek yang tidak diharapkan pada fetus.

Grafik 2. Kontraksi uterus yang tidak adekuat, diukur oleh kateter pengukur
tekanan intrauterin, dengan pemantauan yang berkesinambungan dari DJJ (atas) dan kontraksi, yang ditunjukkan oleh tekanan uterus (bawah). Hasil pemeriksaan selama 10 menit ini menunjukkan tiga kontraksi dengan jumlah total 145 MVU. Jika MVU kurang dari 200 dalam 10 menit, augmentasi dengan oksitosin harus dipertimbangkan.
(FHR = fetal heart rate; bpm = beats per minute; kPa = kilopascal; MVU = Montevideo units)

Secara tradisional, persalinan tidak maju didefinisikan sebagai kontraksi yang adekuat selama sedikitnya dua jam tanpa perubahan serviks; sehingga, seorang wanita harus diobservasi setidaknya dua jam pilihan intervensi operasi diambil. Telah dibuktikan bahwa memperpanjang waktu tersebut sampai 4 jam menurunkan insidensi seksio sesar atas indikasi persalinan tidak maju dari 26 persen menjadi 8 persen. Kala II persalinan

Distosia dalam kala II persalinan memiliki karakteristik dengan waktu yang memanjang atau kepala janin tidak turun. Hal ini dapat disebabkan oleh malposisi janin, kontraksi yang tidak adekuat, kekuatan mengejan ibu yang kurang baik, atau adanya disproporsi sefalopelvik. Penyebab tersering dari malposisi janin adalah posisi oksipito posterior (janin berada dalam posisi oksiput menghadap tulang punggung ibu dan muka janin menghadap simfisis pubis ibu. Umumnya, rotasi spontan ke posisi oksipito anterior akan terjadi sebelum persalinan, namun pada 2-7 persen wanita nulipara, janin lahir dalam posisi oksipitoposteror persisten (POPP). Posisi ini dikaitkan dengan kala II yang memanjang dan peningkatan insidensi augmentasi dengan oksitosin. Kurang dari 30 persen janin dengan posisi oksipito posterior persisten pada wanita nulipara lahir spontan pervaginam. Posisi oksipito posterior dapat didiagnosis dengan pemeriksaan dalam, dengan menentukan orientasi sutura-sutura dan fontanel-fontanel janin. Jika dokter tidak dapat menentukan hal tersebut, dapat dilakukan ultrasonografi transvaginal untuk mengkonfirmasi posisi dari kepala janin. Jika janin dalam keadaan POPP dalam persalinan kala II, rotasi manual dapat dicoba. Meskipun bukti tingkat tinggi mengenai efektifitas dari intervensi-intervensi yang dilakukan pada POPP adalah kurang, sebuah studi kohort retrospektif dari 742 wanita dengan posisi fetus oksipito posterior atau oksipito anterior dengan tatalaksana berupa rotasi manual untuk mengubahnya menjadi posisi oksipito anterior, melaporkan bahwa insidensi seksio sesar lebih rendah seiring dengan rotasi yang sukses (2%) dibandingkan dengan rotasi yang gagal (34,3%); P < 0,001. Rotasi manual merupakan suatu keahlian yang membutuhkan latihan dan praktek. Tangan dokter diletakkan dalam vagina dengan telapak menghadap ke anterior. Pada saat kontraksi, tangan berfungsi sebagai sebuah ganjal yang memfleksikan kepala, sementara jari-jari memberikan gaya rotasi untuk membawa oksiput ke anterior (Gambar 1).

Gambar 1. Rotasi manual dari posisi oksipito posterior menjadi oksipito anterior.
(A) Tangan dokter diletakkan dalam vagina dengan telapak menghadap ke anterior. (B) Tangan berfungsi sebagai ganjal yang memfleksikan kepala, sementara jari-jari memberikan gaya rotasi untuk membawa oksiput ke anterior
(AF = anterior fontanel)

Berbagai variasi dari posisi dan pergerakan ibu telah diajukan digunakan untuk mengatasi POPP atau asinklitismus, termasuk posisi knee-chest, hands-and-knees, pelvic rocking, lunging, side-lying, duduk asimetris, bahkan berlutut. Sebuah tinjauan sistematik (systematic review)

menyimpulkan bahwa seorang wanita yang melakukan posisi hands-andknees selama periode tertentu menjelang akhir kehamilan tidak mempengaruhi posisi janin pada saat kelahiran; tetapi, belum ada penelitian yang melibatkan wanita inpartu. Jika kekuatan atau frekuensi kontraksi telah berkurang pada kala II persalinan, oksitosin IV dapat diberikan atau ditambahkan. Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa wanita yang tidak diberikan analgesi epidural dan mengedan pada posisi tegak atau lateral dapat memperpendek kala II dan mengurangi resiko persalinan pervaginam (dengan tindakan) operatif, namun posisi ini meningkatkan resiko ruptura perinei derajat 2 dan perdarahan yang lebih dari 500 ml. Untuk wanita dengan analgesi epidural, mengijinkan janin turun dulu ke station yang lebih rendah sebelum mengedan adalah suatu alternatif terhadap mengedan secara aktif begitu dilatasi serviks lengkap. Dalam suatu penelitian, penundaan mengedan meningkatkan insidensi persalinan spontan (relative risk [RR], 1,09; confidence interval [CI] 95%, 1,00 hingga 1,18; number needed to treat [NNT] = 21). Kala II lama melebihi batas waktu yang diperbolehkan (klasik) kini bukanlah suatu indikasi untuk persalinan pervaginam operatif ataupun seksio sesar. Beberapa penelitian telah mendemonstrasikan keselamatan neonatus pada kala II yang memanjang berdasarkan analisis gas darah tali pusat dan skor Apgar 5 menit. Denyut jantung janin yang kurang baik (nonreassuring) mengindikasikan perlunya pertimbangan persalinan pervaginam operatif, atau seksio sesar. Pencegahan Insidensi dari persalinan disfungsional pada nulipara dapat dikurangi dengan 4 metode yakni: (1) pengawasan terhadap pertolongan persalinan; (2)

pencegahan tindakan rawat di rumah sakit sejak fase laten persalinan; (3) menghindari induksi elektif pada serviks yang belum matang; dan (4) penggunaan analgesi epidural dengan hati-hati. Sebuah meta analisis terhadap penggunaan teman pendukung persalinan terlatih (trained labor support companion) termasuk paraji (doula) menunjukkan bahwa keberadaan teman pendukung persalinan menurunkan insidensi distosia, persalinan pervaginam operatif, dan seksio sesar, khususnya pada wanita nulipara. Pengaruh terbesar pada hasil akhir persalinan terjadi apabila teman pendukung persalinan adalah paraji alih-alih perawat rumah sakit, saat dukungan diberikan sejak dini pada persalinan, dan analgesi epidural tidak rutin dipergunakan. Penggunaan perawat ataupun bidan terlatih untuk memberikan dukungan yang berkesinambungan tidak memberikan keuntungan yang sebanding, malah lebih rendah. Wanita nulipara yang datang ke rumah sakit saat persalinan masih dalam fase laten lebih sering mengalami intervensi obstetrik. Masih belum jelas apakah hal ini disebabkan persalinan yang memang abnormal atau karena intervensi yang berlebihan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa menghindari rawat inap sebelum persalinan memasuki fase aktif akan mengurangi risiko pasien menerima augmentasi atau analgesi epidural sebesar lebih dari 1,5 kali lipat. Dokter dapat memberi penjelasan pada wanita nulipara mengenai kapan waktu yang tepat untuk pergi ke rumah sakit. Sebagai alternatif, alih-alih masuk rumah sakit di fase laten, dokter dapat menyemangati (encourage) pasien untuk asupan cairan yang adekuat, istirahat, dan dukungan fisik-emosional (selama fase laten di rumah). Jumlah kelahiran dengan induksi telah berlipat ganda selama dekade terakhir, dari 9% pada tahun 1989 sampai mendekati 21% pada tahun 2003. Induksi elektif mungkin sebagian bertanggung jawab terhadap meningkatnya insidensi seksio sesar pada wanita dengan distosia. Data penelitian kohort dan retrospektif menunjukkan bahwa induksi elektif menyebabkan peningkatan risiko

seksio sesar sebesar 2-3 kali lipat pada wanita nulipara dengan serviks yang belum matang, diluar penggunaan obat-obatan pematang serviks. Tinjauan Cochrane dari penggunaan misoprostol (Cytotec) dan cara-cara mekanik untuk mematangkan serviks menemukan bahwa hal-hal tersebut mempersingkat lama persalinan namun tidak merubah insidensi keseluruhan dari seksio sesar. Sebaliknya, sebuah studi retrospektif mendemonstrasikan penurunan insidensi seksio sesar, dengan penggunaan induksi selektif pada wanita hamil aterm yang memiliki faktor risiko spesifik untuk terjadinya disproporsi sefalopelvik atau insufisiensi uteroplasental. Kurva persalinan normal mungkin tidak akan ditemukan pada wanita yang menerima induksi yang memiliki kemungkinan akan terjadinya pemanjangan fase aktif, dengan demikian mensugesti kita akan adanya kebutuhan untuk memberi waktu (tambahan) yang adekuat sebelum melakukan intervensi. Meskipun berbagai meta-analisis dengan konsisten menemukan tidak adanya perbedaan insidensi seksio sesar diantara wanita-wanita yang menerima analgesi epidural dosis rendah dibandingkan dengan opioid parenteral, pemakaian analgesi epidural yang terinformasi dan penuh pertimbangan adalah penting karena dampaknya pada kemajuan persalinan dan hasilnya. Wanita yang menerima analgesi epidural lebih mungkin membutuhkan augmentasi dengan oksitosin pada kala I persalinan, mengalami kala II yang lama, janin berada dalam POPP, dan akhirnya menjalani persalinan pervaginam operatif. Apakah pemakaian analgesi epidural pada awal persalinan (sebelum pembukaan 4-5 cm) akan meningkatkan resiko persalinan dengan seksio sesar, adalah masih kontroversial. Analgesi epidural tidaklah berdiri sendiri, dan berbagai uji acak terkendali (RCT) yang secara spesifik meneliti tentang pemakaian dini dibandingkan klasik (pembukaan 4-5 cm), adalah berskala kecil atau tidak memakai teknik dosis kecil. Sebuah penelitian yang paling sering dirujuk dalam mendukung analgesi epidural dini, sebenarnya membandingkan antara teknik analgesi spinal epidural kombinasi (yakni, opioid intratekal yang diberikan saat pembukaan serviks mencapai 2 cm), dengan analgesi epidural yang

diberikan pada pembukaan 4 cm atau lebih. Penelitian ini tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam hal lamanya persalinan maupun insidensi seksio sesar. Permintaan ibu adalah indikasi yang cukup untuk memberikan pengurangan rasa nyeri (pain relief) selama persalinan, dan analgesi epidural dihubungkan dengan skor nyeri yang lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan pemakaian opiod sistemik. Jika, dan kapan, analgesi epidural diberikan adalah pertanyaan yang bersifat individual. Wanita dengan nyeri yang signifikan pada awal persalinan tidak perlu menunggu hingga pembukaan 4-5 cm sebelum diberi analgesi epidural. Sebaliknya, wanita yang telah diberitahukan sebelumnya dan telah mempersiapkan diri untuk menghadapi nyeri dalam persalinan tanpa banyak intervensi, seharusnya tidak dihadapkan pada perlakuan analgesi epidural secara rutin. Wanita yang melakukan mobilisasi atau tetap dalam posisi tegek selama kala I persalinan melaporkan merasa lebih nyaman dan memiliki kemampuan untuk mentolerir persalinan lebih dibandingkan dengan mereka yang tetap dalam posisi berbaring. Suatu uji acak yang membandingkan antara wanita yang diminta berjalan-jalan selama kala I dengan wanita yang menerima perlakuan perawatan biasa, tidak menunjukan perbedaan dalam lamanya kala I, perlunya augmentasi dengan oksitosin, pemakaian analgesia, atau peningkatan insidensi persalinan pervaginam operatif ataupun seksio sesar. Ambulasi tidak mengurangi angka kejadian distosia pada penelitian ini, namun dapat disarankan secara aman untuk ibu dan anak karena tidak ada pengaruh yang berbahaya untuk keduanya. Pada akhirnya, aspek-aspek tertentu, termasuk gaya seorang dokter dan sistem pelayanan kesehatan, dapat mencegah distosia dan persalinan dengan seksio sesar sebagai resultantenya. Hal ini termasuk kontinuitas dari penilaian persalinan pada tahap awal, mendorong budaya pronatalis terhadap persalinan alamiah, mengharuskan konsultasi pada dokter kedua sebelum seksio sesar atas

indikasi distosia, dan memberikan umpan balik bagi para dokter mengenai insidensi seksio sesar yang mereka lakukan. Kesimpulan Distosia sering terjadi pada wanita nulipara dan merupakan penyebab lebih dari 50% persalinan secara seksio sesar primer. Karena jumlah persalinan secara seksio sesar semakin meningkat, dokter yang menyediakan layanan kesehatan maternal semestinya memiliki kompetensi dalam diagnosis, tatalaksana, dan pencegahan distosia. Jika persalinan tidak maju, penyebab yang mungkin adalah kontraksi uterus yang tidak adekuat, malposisi janin, atau disproporsi sefalopelvik. Sebelum memutuskan untuk memilih persalinan secara perabdominam, pada persalinan yang tidak maju dokter harus memastikan bahwa pasien memiliki kontraksi uterus yang adekuat untuk 4 jam, dengan memberikan augmentasi berupa infus oksitosin seperlunya. Untuk wanita nulipara, protokol penggunaan infus oksitosin dosis tinggi mempercepat lamanya persalinan dibandingkan dengan protokol dengan dosis rendah, tanpa menyebabkan efek samping. Kala dua persalinan dapat diperbolehkan berlangsung lebih lama dari batasan-batasan tradisional, apabila pemantauan janin menunjukkan hasil yang meyakinkan dan terdapat kemajuan dalam turunnya kepala. Pencegahan distosia termasuk pemberdayaan tenaga kesehatan terlatih, sedapat mungkin tidak masuk rumah sakit sampai persalinan kala I mencapai fase aktif, menghindari induksi persalinan elektif sebelum usia kehamilan 41 minggu dan menggunakan analgesia epidural secara bijaksana.

Anda mungkin juga menyukai