Anda di halaman 1dari 67

1 BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Tujuan bangsa Indonesia melaksanakan pembangunan di bidang pendidikan sebagai tercantum dalam UUD 1945 adalah: ..., mencerdaskan kehidupan bangsa, .... untuk melaksanakan itu, pemerintah secara bertahap dan terus menerus berupaya meningkatkan mutu pendidikan sebagaimana yang disebutkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999 yaitu: Dalam meningkatkan mutu pendidikan, pemerintah berupaya meningkatkan akademik dan profesionalisme tenaga pendidik, melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan sistem kurikulum, pemberdayaan lembaga pendidikan yang didukung oleh sarana prasarana yang memadai dan pengembangan kualitas sumber daya manusia. Untuk pembaharuan sistem kurikulum, pemerintah menetapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai pedoman pengajaran untuk sekarang ini. Menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) proses pembelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) menekankan pada pemberian pengalaman langsung agar peserta didik menjelajahi dan

memahami alam sekitar secara ilmiah. Pelaksanaan pembelajaran IPA yang didalamnya mencakup mata pelajaran fisika, diusahakan setiap guru dalam proses belajar mengajar lebih menekankan pada proses penekanan konsepkonsep fisika dan keterkaitan antara satu dengan yang lainnya sehingga diperoleh hasil belajar yang lebih baik.

2 Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya kurang berhasil

sebagaimana yang diharapkan. Sebab masalah pendidikan merupakan masalah yang sangat komplek dan penting dalam kehidupan. Pendidikan sebagai sarana bagi manusia untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, semakin hari semakin berkembang sejalan dengan peningkatan peradapan manusia. Dalam proses perkembangannya, ilmu pengetahuan dan teknologi sangat ditentukan oleh ilmu pengetahuan alam dan ilmu-ilmu murni lainnya sebagai ilmu-ilmu dasar (basic sciences). Oleh karena itu, dalam upaya mendukung pengembangan ilmu-ilmu dasar tersebut khususnya ilmu pengetahuan alam, perlu penanganan yang lebih serius. Salah satu unsur penting yang turut berperan dalam menentukan keberhasilan upaya pendidikan, termasuk pendidikan ilmu pengetahuan alam adalah proses kegiatan belajar mengajar di sekolah. Berkaitan dengan masalah tersebut, ada beberapa unsur yang saling berhubungan, yaitu siswa sebagai pihak belajar, guru sebagai pihak pengajar dan sekolah sebagai pihak penyelenggara program pendidikan. Keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran merupakan hal yang utama, akan tetapi keadaan di lapangan menunjukan hal yang berbeda. Berdasarkan hasil pengamatan penulis, metode yang paling dominan dalam pembelajaran fisika adalah metode ceramah, dengan guru sebagai pengendali dan aktif dalam menyampaikan informasi. Pada kebanyakan proses pembelajaran, posisi siswa adalah pasif dan hanya menerima informasi sehingga siswa tidak memiliki kebebasan untuk berpikir dan siswa kurang menggali informasi yang

3 diterimanya. Sebagai akibat dari keadaan tersebut, pada akhirnya kemampuan siswa, minat dan motivasi pun sangatlah rendah. Berkaitan dengan hal tersebut, hasil wawancara informal dengan guru fisika di salah satu Sekolah Menengah Pertama di Kota Lubuklinggau. Berdasarkan hasil wawancara tersebut diketahui bahwa minat dan motivasi belajar siswa sangatlah rendah, siswa juga mengalami kesulitan dalam memahami konsep-konsep fisika. Kesulitan tersebut misalnya tampak pada proses pembelajaran, siswa tidak mampu mengaitkan konsep-konsep yang mereka pelajari. Sehingga, hasil ulangan fisika yang diperoleh siswa pun sebagian besar berada di bawah nilai standar ketuntasan belajar minimum (SKBM). Selain itu hasil wawancara beberapa siswa menyatakan bahwa suasana pembelajaran fisika di kelas membosankan, karena guru hanya menggunakan metode ceramah tanpa disertai praktikum atau demonstrasi. Berdasarkan hal-hal di atas maka sangat diperlukan sebuah metode mengajar yang dapat meningkatkan peran aktif siswa, menyenangkan dan menumbuhkan motivasi belajar siswa. Salah satu metode mengajar yang dianggap dapat meningkatkan minat dan motivasi belajar sebagian siswa, adalah metode problem solving dilengkapi demonstrasi. Berdasarkan permasalahan di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai hasil belajar siswa dengan judul Penerapan Metode Problem Solving Dilengkapi Demonstrasi Pada Mata Pelajaran IPA Materi Tekanan di Kelas VIII SMP Negeri 10 Lubuklinggau.

4 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dirumuskan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah hasil belajar siswa dengan menggunakan metode problem solving dilengkapi demonstrasi lebih baik daripada metode konvensional pada mata pelajaran IPA materi tekanan di kelas VIII SMP Negeri 10 Lubuklinggau ?

C.

Ruang Lingkup Penelitian 1. Variabel Penelitian Variabel adalah suatu konsep yang memiliki nilai ganda atau kata lain suatu faktor yang jika diukur akan menghasilkan skor yang bervariasi. Untuk keperluan pengambilan data, dalam penelitian ini terdapat dua jenis variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. a. Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran fisika dengan menggunakan metode problem solving dilengkapi demonstrasi. b. Variabel terikat adalah variabel yang

terpengaruhi. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah hasil belajar. Hasil belajar adalah hasil yang dicapai siswa setelah mengalami proses belajar mengajar. 2. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 10 Lubuklinggau di kelas VIII semester II (dua) tahun pelajaran 2009/2010.

D.

Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah Untuk mengetahui apakah hasil belajar siswa dengan menggunakan metode problem solving dilengkapi demonstrasi lebih baik dari pada metode konvensional pada mata pelajaran IPA materi tekanan di kelas VIII SMP Negeri 10 Lubuklinggau.

E.

Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui jawaban dari

permasalahan yang dirumuskan di atas. Di samping itu penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat. 1. Siswa Sebagai masukan kepada siswa dalam upaya meningkatkan belajarnya sehingga dapat meningkatkan hasil belajar. 2. Guru Sebagai bahan pertimbangan dalam perbaikan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh guru mata pelajaran fisika. 3. Sekolah Sebagai sumbangan pemikiran bagi tenaga pengajar dan lembaga pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu (kualitas) pendidikan. 4. Peneliti

6 Sebagai bahan pengembangan penelitian dibidang pendidikan dan pembanding penelitian sejenis, khususnya penelitian metode mengajar. F. Penjelasan Istilah 1. merangsang Metode problem solving merupakan metode yang siswa untuk mau berpikir, menganalisis suatu

permasalahan sehingga dapat menentukan pemecahannya secara tepat dan menyenangkan. Metode problem solving atau juga disebut pemecahan masalah bertujuan untuk mencari jawaban dengan berpikir sendiri atas dasar konsep-konsep yang relevan dengan masalah yang dihadapi. 2. Metode demonstrasi merupakan cara mengajar

dimana guru memperlihatkan dan mempertunjukan suatu proses sehingga seluruh siswa dalam kelas dapat melihat dan mengamati proses yang ditunjukan oleh guru tersebut. Dengan pengajaran menggunakan metode demonstrasi, siswa ikut aktif mengamati gejala yang terjadi, mencoba melakukan sendiri secara bergantian dan akhirnya dapat menyimpulkan sendiri hal-hal yang dipelajari. 3. Metode pembelajaran konvensional adalah metode

pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan metode ceramah, karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran. Dalam pembelajaran sejarah metode konvensional

7 ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan. 4. Hasil belajar merupakan tolak ukur yang digunakan

untuk menentukan tingkat keberhasilan siswa dalam mengetahui dan memahami suatu mata pelajaran. Hasil belajar fisika adalah bukti atau hasil yang dapat dicapai seseorang setelah melakukan usaha yang merubah dirinya dalam bentuk penambahan ilmu pengetahuan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A.

Deskripsi Teoretik Hakikat Belajar Mengajar a. Pengertian Belajar Menurut Gagne (dalam Dahar, 1989:11), belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman yang merupakan interaksi antara individu dengan lingkungannya, dengan demikian belajar merupakan proses mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Purwanto (1996:84), mengemukakan definisi belajar dari beberapa ahlinya, diantaranya: 1) Hilgard dan Bower mengemukakan, belajar adalah perubahan tingkah laku disebabkan pengalaman yang berulang-ulang atas dasar pembawaan kematangan, atau kondisi sesaat. 2) Morgan mengatakan belajar adalah perubahan permanen dalam hal tingkah laku seseorang akibat latihan atau pengalaman.

9 3) Witherington menyatakan belajar adalah suatu perubahan

kepribadian yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan dan kepandaian. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa belajar mempunyai beberapa elemen penting, yaitu: a) Belajar merupakan perubahan tingkah laku b) Belajar merupakan perubahan akibat latihan atau pengalaman, dalam arti perubahan yang terjadi dihasilkan dari suatu proses yang disengaja. c) Belajar menimbulkan perubahan yang permanen, bukan perubahan sementara yang disebabkan oleh motivasi, adaptasi, kepekaan atau yang lainnya. d) Perubahan tingkah laku dalam belajar menyangkut aspek fisik maupun psikis. Jadi belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada individuindividu yang belajar. Perubahan itu tidak hanya berkaitan dengan penambahan ilmu pengetahuan tetapi juga berbentuk kecakapan, keterampilan, sikap, pengertian, harga diri, minat, dan penyesuaian diri. b. Pengertian Mengajar Belajar dan mengajar pada dasarnya adalah interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan peserta didik dalam pendidikan. Dalam pengertian interaksi sudah barang tentu ada unsur memberi dan

10 menerima, baik bagi guru maupun bagi siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Rusyan (1998:27), yang menyatakan bahwa: Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Belajar menunjukan kepada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai yang menerima pelajaran (peserta didik), sedangkan mengajar menunjukan kepada apa yang harus dilakukan oleh seorang guru yang menjadi pengajar. Jadi belajar mengajar merupakan proses interaksi antara guru dan peserta didik pada saat proses pengajaran. Menurut Karo-karo (dalam puji winarsih, 2009:8), berpendapat bahwa: Mengajar adalah menyajikan atau menyampaikan materi pelajaran oleh seseorang kepada orang lain agar orang lain itu menerima, menguasai dan mengembangkan bahan yang diajarkan. Sedangkan menurut Alvin (dalam Slameto, 2003:32) Mengajar

adalah suatu aktivitas untuk mencoba menolong, membimbing seseorang untuk mendapatkan, mengubah atau mengembangkan skill, attitude, ideals (cita-cita), appreciations (penghargaan) dan

knowledge. Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat

disimpulkan bahwa mengajar adalah menyajikan atau memberikan suatu pelajaran oleh guru kepada siswa agar siswa mengerti, menguasai dan mengembangkan ilmu yang diajarkan. c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses

Belajar Mengajar

11 Menurut Purwanto (1996:107), keberhasilan proses belajar mengajar ditentukan oleh banyak faktor. Faktor-faktor itu dapat dikelompokan menjadi dua macam, yaitu: 1) Faktor yang berasal dari diri individu (internal), meliputi kematangan atau pertumbuhan, kecerdasan atau intelegensi, latihan, motivasi dan sifat-sifat pribadi yang lain. 2) Faktor yang berasal dari luar individu (eksternal), meliputi kondisi keluarga, guru dan metode mengajar, sarana belajar, motivasi sosial, lingkungan dan kesempatan. Dari beberapa faktor di atas, guru dan metode mengajar memegang peranan penting dalam keberhasilan proses belajar mengajar. Oleh karena guru diusahakan dapat kreatif dan enovatif sehingga mampu menyajikan metode yang tepat dan menyenangkan dalam menyampaikan materi pelajaran. Di samping itu, kemampuan dasar sebagai bagian dari kecerdasan seseorang adalah salah satu faktor internal yang cukup berpengaruh dari segi psikologi. Metode Mengajar Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, kebebasan dalam menyampaikan pelajaran merupakan harapan setiap pengajar oleh karenanya seorang guru diharapkan mengetahui dan memahami

komponen-komponen yang mempengaruhinya. Salah satu komponen yang menentukan keberhasilan belajar mengajar adalah metode mengajar. a. Pengertian Metode Problem Solving

12 Metode problem solving merupakan metode yang merangsang siswa untuk mau berpikir, menganalisis suatu permasalahan sehingga dapat menentukan pemecahannya secara tepat dan menyenangkan. Metode problem solving atau juga disebut pemecahan masalah bertujuan untuk mencari jawaban dengan berpikir sendiri atas dasar konsep-konsep yang relevan dengan masalah yang dihadapi. Dalam hal ini Kilpatrik (dalam Slameto, 2003:31) mengatakan bahwa: ..., dalam hidup ini setiap manusia menghadapi banyak persoalan, yang selalu timbul dan tidak ada habis-habisnya. Setiap persoalan perlu dipecahkan, sehingga seluruh kehidupan manusia itu merupakan tuntutan pemecahan persoalan yang terus-menerus. Sehingga metode ini melatih siswa untuk terampil dalam menyelesaikan permasalahan serta tidak mudah menyerah. Djamarah (1995:103), mengatakan bahwa metode problem

solving (metode pemecahan masalah) bukan hanya sekedar metode mengajar, tetapi juga merupakan suatu metode berpikir, sebab dalam problem solving dapat menggunakan metode-metode lainnya yang dimulai dengan mencari data sampai dengan menarik kesimpulan. Metode problem solving menurut Djamarah (1995:104), memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan yaitu sebagai berikut: 1) Kelebihan metode problem solving a) Metode ini dapat membuat pendidikan di sekolah menjadi lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dengan dunia kerja.

13 b) Proses belajar mengajar melalui pemecahan masalah dapat membiasakan para siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil, apabila mengahadapi permasalahan dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat, dan bekerja kelak, suatu kemampuan yang sangat bermakna bagi kehidupan manusia. c) Metode ini merangsang pengembangan kemampuan berpikir siswa secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya, siswa banyak melakukan mental dengan menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahannya. 2) Kekurangan metode problem solving a) Menentukan suatu masalah yang tingkat kesulitannya sesuai dengan tingkat berpikir siswa, tingkat sekolah dan kelasnya

serta pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki siswa, sangat memerlukan kemampuan dan keterampilan guru. b) Proses belajar mengajar dengan menggunakan metode ini sering memerlukan waktu yang cukup banyak dan sering terpaksa mengambil waktu pelajaran lain. c) Mengubah kebiasaan siswa belajar dengan mendengarkan dan menerima informasi dari guru menjadi belajar dengan banyak berpikir memecahkan permasalahan sendiri atau kelompok,

14 yang kadang-kadang memerlukan berbagai sumber belajar, merupakan kesulitan tersendiri bagi siswa. Dari beberapa pendapat dan uraian di atas dapat ditarik pengertian, metode problem solving merupakan cara guru menyajikan bahan pelajaran dengan mengajak siswa berpikir secara ilmiah melalui analisis dan interpretasi masalah berdasar informasi dan konsep yang telah diterima, untuk menentukan jawaban permasalahan. metode Adapun langka-langkah menurut dalam Djamarah

melaksanakan

problem

solving

(1995:103) adalah: (1) Mengemukakan masalah Guru menghadapkan siswa kepada suatu permasalahan fisika yang berkaitan dengan kehidupan. (2) Memperjelas masalah Guru bersama-sama dengan siswa mengidentifikasi masalah dengan merumuskan masalah yang dihadapi dengan jelas. (3) Melihat kemungkinan penyelesaian atau jawaban masalah Mengemukakan kemungkinan-kemungkinan cara penyelesaian yang akan dilakukan (dapat berasal dari siswa maupun dari guru, tapi lebih ditekankan berasal dari siswa). (4) Mencoba kemungkinan penyelesaian atau jawaban masalah Menerapkan cara penyelesaian yang diperkirakan paling tepat, berdasarkan konsep fisika yang dimiliki siswa.

15 (5) Penilaian (evaluasi) Menyelidiki atau mengamati cara yang telah ditempuh dalam usaha mendatangkan hasil belajar yang diharapkan, dalam tahap ini dikemukakan kesimpulan tentang pemecahan masalah yang tepat.

b. Pengertian Metode Demonstrasi Menurut Syah (2000), mengatakan bahwa metode demonstrasi adalah metode mengajar dengan cara memperagakan barang, kejadian, aturan, dan urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan media pengajaran yang relevan dengan pokok bahasan atau materi yang sedang disajikan. Sedangkan menurut Djamarah (2000:102), Metode demonstrasi adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan meragakan atau menunjukkan kepada siswa suatu proses, situasi, atau benda tertentu yang sedang dipelajari, baik sebenarnya ataupun tiruan, yang sering disertai dengan penjelasan lisan. Dari pendapat diatas dapat dikatakan bahwa metode

demonstrasi merupakan cara mengajar dimana guru memperlihatkan dan mempertunjukan suatu proses sehingga seluruh siswa dalam kelas dapat melihat dan mengamati proses yang ditunjukan oleh guru tersebut. Sesuai dengan ciri-ciri IPA yang selalu berkembang melalui

16 pengamatan, percobaan, diskusi, pemecahan masalah, dan sebagainya, maka metode demonstrasi sangat cocok digunakan dalam pengajaran fisika. Dengan pengajaran menggunakan metode demonstrasi, siswa ikut aktif mengamati gejala yang terjadi, mencoba melakukan sendiri secara bergantian dan akhirnya dapat menyimpulkan sendiri hal-hal yang dipelajari. Selama berlangsungnya demonstrasi, siswa diberi lembar kegiatan (LKS) dan diisi oleh siswa saat demonstrasi berlangsung atau setelah mengamati demonstrasi. Menurut Dradjat, (1985) manfaat psikologis pedagogis dari metode demonstrasi adalah: 1) Perhatian siswa dapat lebih dipusatkan 2) Proses belajar siswa lebih terarah pada materi yang

sedang dipelajari. 3) Pengalaman dan kesan sebagai hasil pembelajaran lebih

melekat pada diri siswa. Menurut Djamarah (2000), dalam suatu metode selalu ada kelebihan dan kelemahan. Adapun kelebihan dan kelemahan metode demonstrasi adalah sebagai berikut: a) Kelebihan metode demonstrasi (1) Membantu anak didik memahami lebih jelas

jalannya suatu proses atau kerja suatu benda. (2) Memudahkan berbagai jenis penjelasan

17 (3) Kesalahan-kesalahan yang terjadi dari hasil

ceramah dapat diperbaiki melalui pengamatan dan contoh konkret, dengan menghadirkan objek sebenarnya. b) Kelemahan metode demonstrasi (1) Anak didik terkadang sukar melihat dengan jelas benda yang akan dipertunjukan. (2) Tidak semua benda dapat didemonstrasikan. (3) Sukar mengerti bila didemonstrasikan oleh guru yang kurang menguasai apa yang didemonstrasikan. Metode demonstrasi dapat dilaksanakan di awal atau di akhir pelajaran. Demonstrasi yang dilakukan di awal pelajaran dimulai dengan memotivasi siswa kemudian memperagakannya atau mendemonstrasikan suatu gejala yang berkaitan dengan fisika, dilanjutkan dengan memberikan penjelasan tentang materi dan menyelesaikan masalah dan konsep yang diajarkan sebagai hasil analisis dari demonstrasi. Sedangkan demonstrasi di akhir pelajaran dimulai dengan memotivasi siswa, menyampaikan masalah yang akan diselesaikan, memberikan penjelasan tentang materi pelajaran, kemudian dilanjutkan dengan mengadakan demonstrasi dari materi yang dijelaskan pada akhir proses belajar mengajar. Demonstrasi di akhir pelajaran bertujuan untuk memperjelas konsep yang telah disampaikan sehingga siswa dapat

18 mengerti lebih jelas dan memahami materi fisika yang

dipelajarinya. c. Pengertian Metode Konvensional Salah satu metode pembelajaran yang masih berlaku dan sangat banyak digunakan oleh guru adalah metode konvensional. Metode ini sebenarnya sudah tidak layak lagi kita gunakan sepenuhnya dalam suatu proses pengajaran, dan perlu diubah. Tapi untuk mengubah metode pembelajaran ini sangat susah bagi guru, karena guru harus memiliki kemampuan dan keterampilan menggunakan metode pembelajaran lainnya. Metode kovensional ini tidak serta merta kita tinggal, dan guru mesti melakukan metode konvensional pada setiap pertemuan, setidaktidaknya pada awal proses pembelajaran di lakukan. Atau awal pertama kita memberikan kepada anak didik sebelum kita

menggunakan metode pembelajaran yang akan kita gunakan. Menurut Djamarah (1996) metode pembelajaran konvensional adalah metode pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan metode ceramah, karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran. Dalam pembelajaran sejarah metode konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan.

19 Selanjutnya menurut Roestiyah (1998) cara mengajar yang paling tradisional dan telah lama dijalankan dalam sejarah pendidikan ialah cara mengajar dengan ceramah. Sejak dahulu guru dalam usaha mentransfer pengetahuannya pada siswa, ialah secara lisan atau ceramah. Pembelajaran konvensional yang dimaksud adalah

pembelajaran yang biasa dilakukan oleh para guru. Bahwa, pembelajaran konvensional (tradisional) pada umumnya memiliki kekhasan tertentu, misalnya lebih mengutamakan hapalan dari pada pengertian, menekankan kepada keterampilan berhitung,

mengutamakan hasil dari pada proses, dan pengajaran berpusat pada guru. Jadi kegiatan guru yang utama adalah menerangkan dan siswa mendengarkan atau mencatat apa yang disampaikan guru. Subiyanto (1988) menjelaskan bahwa, kelas dengan pembelajaran secara biasa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : pembelajaran secara klasikal, para siswa tidak mengetahui apa tujuan mereka belajar pada hari itu. Guru biasanya mengajar dengan berpedoman pada buku teks atau LKS, dengan mengutamakan metode ceramah dan kadang-kadang tanya jawab. Tes atau evaluasi yang bersifat sumatif dengan maksud untuk mengetahui perkembangan jarang dilakukan. Siswa harus mengikuti cara belajar yang dipilih oleh guru, dengan patuh mempelajari urutan yang ditetapkan guru, dan kurang sekali mendapat kesempatan untuk menyatakan pendapat.

20 Menurut Nurhadi (dalam Darma, 2007) memberikan beberapa karakteristik pembelajaran konvensional yaitu: (1) Siswa adalah penerima informasi secara pasip; (2) Siswa belajar secara individu; (3) Cenderung abstrak dan teoritis; (4) Rumus yang ada dalam diri siswa harus diterangkan di terima, dihafalkan dan dilatihkan; (5) Siswa secara pasif menerima rumus atau kaida (membaca, mencatat, mendengarkan dan menghapal) tanpa memberikan kontribusi ide dalam proses pembelajaran; (6) Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan-latihan; (7) Guru adalah penentu jalannya proses belajar mengajar; (8) Hasil belajar diukur dengan tes; (9) Pembelajaran tidak memperhatikan pengalaman siswa. Hasil Belajar Pengertian Hasil Belajar Hasil belajar merupakan tolak ukur yang digunakan untuk menentukan tingkat keberhasilan siswa dalam mengetahui dan memahami suatu mata pelajaran. Menurut Poerwadarminta (1987:87) mengatakan bahwa hasil belajar adalah hasil yang dicapai, dilakukan dan dikerjakan . Menurut Rusyan (1998:79) mengatakan hasil belajar adalah kebulatan pola tingkah laku. Pola tingkah laku tersebut terlihat dalam pembuatan reaksi dan sikap peserta didik secara fisik maupun mental. Bersama dengan hasil utama itu terjadi bermacam-macam proses

21 pengiring yang juga menghasilkan tambahan perubahan tingkah laku sehingga akhirnya terdapat satu kesatuan yang menyeluruh. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa hasil belajar merupakan bukti atau hasil yang dapat dicapai sesorang setelah ia melakukan usaha dengan sebaik-baiknya. Hasil Belajar Fisika Fisika merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam. Menurut Sofa (2008:3) mengatakan bahwa fisika adalah bagian dari sains (IPA), pada hakikatnya adalah kumpulan pengetahuan, cara berpikir, dan penyelidikan. IPA sebagai kumpulan pengetahuan dapat berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan model. IPA sebagai cara berpikir merupakan aktivitas yang berlangsung di dalam pikiran orang yang berkecimpung di dalamnya karena adanya rasa ingin tahu dan hasrat untuk memahami fenomena alam. IPA sebagai cara penyelidikan merupakan cara bagaimana informasi ilmiah diperoleh, diuji, dan divalidasikan. Fisika dipandang sebagai suatu proses dan sekaligus produk sehingga dalam pembelajarannya harus mempertimbangkan strategi atau metode pembelajaran yang efektif dan efesien yaitu salah satunya melalui kegiatan praktik. Hal ini dikarenakan melalui kegiatan praktik, siswa melakukan olah pikir dan juga olah tangan.

22 Dengan demikian dapat dikemukakan hasil belajar fisika adalah bukti atau hasil yang dapat dicapai seseorang setelah melakukan usaha yang merubah dirinya dalam bentuk penambahan ilmu pengetahuan tentang zat dan segala sifat dan kelakuannya serta energi dalam segala manifestasinya. Materi a. Pengertian Tekanan Karim (2008:209), mengatakan bahwa apabila kita

memperhatikan kaki unggas, seperti ayam, itik, ataupun burung dan lainnya, ternyata memiliki bentuk yang berbeda-beda. Tuhan telah menciptakan kaki hewan sedemikian rupa sesuai dengan fungsinya. Ada yang berfungsi untuk berjalan, mencengkram, dan berenang. Jika ayam dan itik berjalan di jalan yang berlumpur, ternyata kedua kaki unggas tersebut memiliki kedalaman yang berbeda. Peristiwa tersebut sangat berhubungan dengan salah satu konsep fisika, yaitu tekanan. Jadi tekanan itu adalah gaya yang berkerja pada suatu bidang per satuan luas bidang itu. b. Tekanan pada zat padat Besarnya suatu tekanan pada suatu benda tergantung pada besarnya gaya tekan yang kita berikan terhadap benda tersebut, namun semakin besar luas bidang tekan suatu benda maka semakin kecil tekanan yang terjadi. Dengan demikian, tekanan berbanding lurus dengan gaya tekan dan berbanding terbalik dengan luas bidang tekan.

23 Secara matematis, besaran tekanan dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut. P= dengan: F A (Karim, 2008:210)

P = tekanan (N/m2) F = gaya tekanan ( N) A = luas bidang (m2)

Satuan tekanan dalam Sistem International (SI) adalah N/m2, satuan ini juga disebut pascal (Pa).1 Pa = 1 N/m2 c. Tekanan pada zat cair Tekanan hidrostatis adalah tekanan yang terjadi di bawah air. Tekanan ini terjadi karena adanya berat air yang membuat cairan tersebut mengeluarkan tekanan. Tekanan di dalam zat cair bergantung pada kedalamannya, semakin dalam maka semakin besar tekanannya. Tekanan juga bergantung pada kepekatan zat cairnya, semakin besar massa jenis suatu zat cair, semakin besar pula tekanan pada kedalaman tertentu. Dengan kata lain tekanan suatu zat cair sebanding dengan besarnya massa jenis. Tekanan hidrostatis disebabkan oleh berat zat cair, sehingga: w A

P=

karena w = m . g dan m = . v = . h . A maka,

24 P=

.g.h .A A

P= .g.h

(Karim, 2008:214)

Dengan:

P = tekanan (N/m2)

= massa jenis zat cair (kg / m 3 )


g = perceptan gravitasi (m/s2) h = tinggi zat cair (m) Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tekanan berbanding lurus dengan massa jenis zat cair dan kedalaman di dalam zat cair. Pada umumnya tekanan pada kedalaman yang sama dalam zat cair yang serba sama adalah sama.

1) Hukum Pascal Hukum pascal menyatakan bahwa tekanan yang diberikan pada zat cair di ruang tertutup akan diteruskan ke segala arah dengan sama rata. Sehingga dapat ditulis persamaan sebagai berikut, P1 = P2
F1 F2 A = F2 = F1 2 A1 A2 A1

(Karim, 2008:217)

Hukum pascal pun banyak digunakan pada alat-alat teknologi seperti rem hidrolik pada kendaraan bermotor, alat berat untuk mengeruk tanah dan pompa hidrolik. 2) Bejana berhubungan

25 Bentuk permukaan dasar atau bentuk tabung yang saling berhubungan tidak mempengaruhi permukaan air. Bagaimana pun bentuknya permukaan air akan selalu rata hal ini disebut sebagai prinsip bejana berhubungan. Adapun alat-alat yang menggunakan prinsip bejana berhubungan di antaranya adalah sebagai berikut. a) Cerek Cerek adalah alat untuk memudahkan ketika

menumpahkan air minum pada gelas. Ketika cerek dimiringkan permukaan memudahkan kemiringannya air di air dalam keluar cerek dari selalu corong rata sesuai sehingga dengan

b) Penyimpat Datar Penyimpat datar adalah terbuat dari selang plastik yang diisi air. Alat ini digunakan oleh tukang bangunan untuk mengukur ketinggian suatu tempat pada permukaan tanah yang tidak rata. Penyimpat datar yang dibuat pabrik disebut water pass. c) Sumur Keberadaan air di dalam sumur pompa ataupun sumur tradisional disebabkan oleh berlakunya prinsip bejana

26 berhungan. Oleh karena itu, sumur harus berada di bawah permukaan air tanah supaya airnya tidak pernah kering. 3) Hukum Archimedes Berdasarkan percobaan seorang ahli Fisika yang bernama Archimedes, yakni berat benda ketika di dalam air menjadi lebih ringan. Gaya ini disebut gaya apung atau gaya ke atas (FA). Jadi gaya apung sama dengan berat benda di udara di kurangi dengan berat benda di dalam air.

FA = wu - wa
Dengan : FA wu wa

(Karim, 2008:222)

= gaya apung atau gaya ke atas (N) = gaya berat benda di udara (N) = gaya berat benda di dalam air (N)

Besarnya gaya apung ini bergantung pada banyaknya air yang didesak oleh benda tersebut. Semakin besar air yang didesak maka semakin besar pula gaya apungnya. Hukum archimedes yang menyatakan bahwa apabila suatu benda dicelupkan ke dalam zat cair, baik sebagian atau seluruhnya, benda akan mendapat gaya apung (gaya ke atas) yang besarnya sama dengan berat zat cair yang didesaknya (dipindahkan) oleh benda tersebut. Secara matematis ditulis sebagai berikut: FA = w f Karena wf = m f . g

27 dan maka dengan : FA = gaya apung (N) mf = f . V w f = f . V. g (Karim, 2008:222)

f = massa jenis zat cair (kg/m3)


V = volum zat cair didesak atu volume benda yang tercelup (m3) g = konstanta gravitasi atu percepatan gravitasi (m/s2) Massa jenis suatu benda adalah massa persatuan volume. Massa jenis benda yang terapung di permukaan air lebih kecil dari pada massa jenis air. Keadaan benda di dalam air dapat disimpulkan sebagai berikut: a) Benda terapung jika massa jenis benda lebih kecil dari pada massa jenis zat cair. b < a b) Benda melayang jika massa jenis benda sama besar dengan massa jenis zat cair. b = a c) Benda tenggelam jika massa jenis benda lebih besar dari massa jenis zat cair. b > a Beberapa teknologi yang memanfaatkan prinsip archimedes adalah kapal selam, hidrometer, balon udara, jembatan ponton. d. Tekanan Udara Menurut Karim (2008:209) tekanan udara sangat

mempengaruhi cuaca. Terjadinya angin merupakan salah satu hal yang disebabkan oleh perbedaan tekanan udara. Semakin besar perbedaan

28 tekanan udaranya, semakin kencang angin yang berhembus sehingga terjadi keseimbangan tekanan. Perbedaan tekan ini dipicu oleh perbedaan suhu akibat pemanasan sinar matahari. Ketinggian mempengaruhi tekanan atmosfer. Tekanan udara (tekanan atmosfer) disebabkan oleh berat udara yang menekan lapisan atmosfer bagian bawah sampai ke ketinggian tertentu. Tekanan atmosfer dapat dimisalkan sebagai tekanan zat cair. Semakin dalam suatu zat cair maka semakin besar tekanannya, begitu pula tekanan atmosfer. Mulai dari bagian atas atmosfer bumi hingga ke bawah akan semakin besar sehingga beratnya semakin besar. Dengan kata lain semakin rendah permukaannya semakin besar tekanan udaranya. Sebaliknya semakin tinggi permukaan bumi akan semakin rendah tekanan udaranya. Tekanan udara dipermukaan laut sama dengan satu atmosfer (1 atm = 76 cmHg), setiap kenaikan 100 m, tekanan udara berkurang sebesar 1 cmHg. Alat ukur tekanan Pada abad ke-17 seoang ilmuwan kebangsaan Italia bernama Evangelista Torricelli (1908-1647) berhasil membuktikan tekanan udara dengan memperkenalkan alat pengukur tekanan yang disebut barometer (barometer torricelli). Karena kurang praktisnya alat ini maka para ahli berusaha membuat alat pengukur tekanan udara yang praktis, diantaranya adalah sebagai berikut:

29 a) Barometer fortin Barometer raksa disebut barometer fortin karena yang pertama membuatnya adalah seorang ahli fisika berkebangsaan Prancis Nicolas Fortin. Barometer ini dapat mengukur dengan teliti karena dilengkapi dengan skala nonius atau skala vernier seperti halnya dalam jangka sorong. b) Barometer logam Barometer logam disebut barometer aneroid. Barometer ini banyak digunakan di badan meteorologi dan geofisika untuk memperkirakan cuaca dengan mengukur tekanan udaranya. Barometer logam bisa juga disebut barometer kering, barometer ini lebih praktis untuk dibawa-bawa dan skalanya mudah dibaca karena berbentu lingkaran. B. Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian penerapan metode problem solving telah dilakukan oleh: 1. Noni Djunelda Sari (2009) pada skripsi dengan

judul Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika dengan Metode Tutor Sebaya di Kelas XI IPA SMA Negeri 5 Lubuklinggau. 2. Metode Problem Suharmoko (2007) Studi Tentang Pelaksanaan Solving Dalam Pembelajaran Geometri dan

Pengaruhnya Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri Purwodadi.

30 3. Muhammad Jazari (2004) Eksperimentasi

Pengajaran Fisika Dengan Metode Problem Solving Dilengkapi Demonstrasi Pada Sub Pokok Bahasan Pembiasan Cahaya Ditinjau Dari Kemampuan Matematika Siswa. Berikut laporan hasil penelitian setelah pembelajaran problem solving diterapkan pada pembelajaran matematika dan fisika : Penelitian Noni Djunelda Sari melaporkan: Hasil belajar siswa secara signifikan sudah baik atau mengalami peningkatan 2. Keaktifan siswa meningkat dalam proses pembelajaran Penelitian Suharmoko melaporkan: Hasil belajar dengan menggunakan metode problem solving sama dengan hasil belajar siswa yang menggunakan metode ekspositori. Hipotesis tidak terbukti.

3.

Penelitian Muhammad Jazari melaporkan: Ada perbedaan pengaruh antara kemampuan Matematika tinggi dan kemampuan matematika rendah terhadap prestasi belajar fisika pada sub pokok bahasan pembiasan cahaya.

Tidak ada interaksi antara tingkat kemampuan matematika siswa dengan metode mengajar terhadap prestasi belajar fisika pada pokok bahasan pembiasan cahaya siswa kelas 2 SMU Negeri 1 Karanggede.

31 C. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Hasil belajar siswa dengan menggunakan metode problem solving dilengkapi demonstrasi lebih baik dari pada metode konvensional pada mata pelajaran IPA materi tekanan di kelas VIII SMP Negeri 10 Lubuklinggau.

BAB III METODE PENELITIAN

A. 1.

Rancangan Penelitian Rasional Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah true eksperimental (metoda eksperimen murni). Metode ini digunakan karena penelitian bertujuan untuk mengetahui apakah hasil belajar siswa dengan menggunakan metode problem solving dilengkapi demonstrasi lebih baik

32 dari pada metode konvensional. Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai tersebut, maka metode ini digunakan dengan menggunakan kelas eksperimen dan kelas kontrol atau kelas pembanding. Hal ini karena setiap siswa atau kelas mempunyai karakteristik yang sama dalam tingkat pemahamannya, sehingga kelas eksperimen dapat dibandingkan dengan kelas kontrol. Bedanya di kelas eksperimen diberi perlakuan khusus sedang pada kelompok kontrol diberi perlakuan lain atau perlakuan yang biasa dilakukan, yang hasilnya akan dibandingkan dengan perlakuan eksperimen. 2. Jenis Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian eksperimen murni (true experimental) terhadap suatu model pembelajaran berbentuk pretest dan postes yang melibatkan dua kelompok. Kedua kelompok perlakuan, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, sebelum diberi perlakuan terlebih dahulu dilihat kemampuan awalnya. Setelah itu diberi perlakuan yang berupa pengajaran dengan metode problem solving dilengkapi demonstrasi untuk kelompok eksperimen dan pengajaran dengan metode konvensional untuk kelompok kontrol. Pada akhir eksperimen kedua kelompok diukur hasil belajarnya dengan alat ukur yang sama. Hasil kedua pengukuran digunakan sebagai data eksperimen yang kemudian dianalisis. Berdasarkan uraian tersebut

33 diatas, maka desain penelitian yang digunakan dapat digambarkan sebagai berikut: A A Keterangan: A O X1 X2 : Sampel acak : Tes awal dan tes akhir : Pembelajaran dengan metode problem solving dilengkapi demonstrasi : metode konvensional O O X1 X2 O O

B. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas VIII SMP Negeri 10 Lubuklinggau pada semester II (dua) tahun pelajaran 2009/2010.

Sampel Menurut Arikunto (1997:109 ) Sampel adalah sebagian dari wakil populasi yang diteliti, apabila kita hanya meneliti sebagian dari sampel, maka penelitian tersebut penelitian sampel. Dari definisi tersebut maka yang menjadi sampel dari penelitian ini adalah sebanyak 2 kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian diambil secara acak. Karena itu sebagai kelas eksperimen yaitu kelas VIII2 dan kelas kontrol kelas VIII1.

34 Tabel 3.1 Sampel penelitian Jenis Kelamin Jumlah Laki-laki Perempuan Kelas Kontrol (VIII1) 15 19 34 Kelas Eksperimen (VIII2) 13 19 32 Sumber: TU SMP Negeri 10 Lubuklinggau Tahun 2009/2010. Kelas

C. 1.

Teknik Pengumpulan Data dan Pengembangan Instrumen Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes. Tes ini digunakan untuk mengukur peningkatan hasil belajar fisika yang diperoleh siswa setelah diterapkannya metode problem solving dilengkapi demonstrasi untuk kelas eksperimen dan metode konvensional untuk kelas kontrol. Tes ini disusun berdasarkan pada indikator yang hendak dicapai pada setiap pertemuan pembelajaran. Soal-soal tes yang digunakan berupa soal uraian tentang materi tekanan. Tes pemahaman konsep ini dilaksanakan sebanyak dua kali, yaitu sebelum perlakuan (tes awal) dan sesudah perlakuan (tes akhir) untuk setiap kelompok perlakuan. Soal-soal yang digunakan pada tes awal dan tes akhir merupakan soal yang sama, hal ini dimaksudkan agar tidak ada pengaruh perbedaan kualitas instrumen terhadap perubahan pengetahuan dan pemahaman yang terjadi.

2.

Teknik Pengembangan Instrumen Teknik Penyusunan Instrumen

35 Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam penyusunan instrumen penelitian adalah sebagai berikut : 1) Membuat kisi-kisi soal berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan mata pelajaran IPA SMP kelas VIII semester 2, Materi Pokok Tekanan. 2) Menulis soal tes berdasarkan kisi-kisi dan membuat kunci jawaban. 3) Mengkonsultasikan soal-soal instrumen dan melakukan revisi kepada dosen pembimbing sebagai perbaikan awal. 4) Melakukan uji instrumen di salah satu kelas di sekolah yang menjadi populasi dalam subjek penelitian berlangsung namun pada kelas yang lebih tinggi dibanding dengan kelas penelitian dengan alasan kelas yang lebih tinggi telah mengalami pembelajaran dengan materi pokok yang akan digunakan dalam penelitian. 5) Menganalisis hasil uji instrumen yang meliputi uji validitas butir soal, daya pembeda, tingkat kesukaran, dan reliabilitas instrumen, kemudian melakukan revisi ulang melalui konsultasi dengan dosen pembimbing. b. Pelaksanaan Uji Coba a) Tempat Instrumen dalam penelitian ini diujicobakan di SMP Negeri 10 Kelas IX tahun pelajaran 2009/2010. i. Jumlah Subjek

36 Jumlah seluruh subjek 66 yang terdiri dari 2 kelas dari jumlah tersebut diambil satu kelas untuk pelaksanaan uji coba instrumen.

D.

Uji Coba Instrumen Penelitian Instrumen dalam penelitian ini berupa seperangkat tes untuk mengetahui data hasil belajar fisika siswa. Setelah dibuat instrumen, maka diadakan uji coba instrumen, tujuannya untuk melihat validitas dan reliabilitas instrumen sehingga ketika instrumen itu diberikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, instrumen tersebut telah valid dan reliabel. 1) Validitas Tes Validitas tes merupakan ukuran yang menyatakan kesahihan suatu instrumen sehingga mampu mengukur apa yang hendak diukur (Arikunto, 2000:65). Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat. Dengan demikian, untuk mengetahui validitas item tes dalam penelitian ini digunakan teknik korelasi product moment dari pearson dengan rumus: rxy =

{N X

N XY ( X )( Y )
2

( X )

}{N Y

(Y )

Keterangan : rxy = Koefisien korelasi X = Skor butir soal Y = Skor total N = Banyak subjek Tabel 3.2 Tabel Interpretasi Validitas

37 Koefisien Korelasi 0,80 < rxy 1,00 0,60 < rxy 0,80 0,40 < rxy 0,60 0,20 < rxy 0,40 0,00 < rxy 0,20 rxy 0 ,00 Kriteria validitas Sangat Tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat rendah Tidak valid

Arikunto (2000:69) Untuk menentukan keberartian dari koefisien validitas digunakan uji t seperti yang dikemukakan Sudjana (2002:380) derikut: t hitung = rxy n2 1 (r xy ) 2

Taraf nyata = jika thitung < ttabel , maka hipotesis diterima (tidak signifikan). Dalam hal ini hipotesis ditolak yang berarti bahwa butir soal tersebut dikatakan valid. 2) Reliabilitas Tes Yang dimaksud reliabilitas tes adalah keterpercayaan, artinya suatu tes dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap. Reliabilitas juga dapat di artikan sebagai kestabilan skor yang diperoleh orang yang sama ketika diuji ulang dengan tes yang sama pada situasi yang berbeda atau dari satu pengukuran ke pengukuran lainnya.

38 Untuk menguji reliabilitas item dalam penelitian ini digunakan rumus Alpha karena instrumen yang digunakan berupa soal uraian. Reliabilitas tes dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
2 n i r11 = 1 2 t ( n 1)

(Arikunto, 2000:106)

Keterangan: r11 = Reliabilitas instrumen n = Banyaknya butir soal 2 i = Jumlah varians skor tiap-tiap item

= Varians total Adapun tolak ukur untuk menginterpretasikan derajat reliabilitas

instrumen menurut Arikunto (dalam Ratih Komala, 2008:53) adalah sebagai berikut: Tabel 3.3 Interpretasi Reliabilitas Nilai Rentang 0,80 < r11 1,00 0,60 < r11 0,80 0,40 < r11 0,60 0,20 < r11 0,40 0,00 < r11 0,20 r11 0,00 Interprestasi Sangat Tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat Rendah Tidak Reliabel

3) Tingkat Kesukaran Tingkat kesukaran suatu butir soal adalah proporsi dari keseluruhan siswa yang menjawab benar pada butir soal tersebut. Bilangan yang menunjukakn mudah atau sulitnya suatu soal disebut indeks

TK =

JS A + JSB 2.SI

39 kesukaran. Menurut Arikunto (2000:213) tingkat kesukaran soal dapat

dihitung dengan menggunakan rumus :

Adapun tolak ukur untuk menginterpretasikan tingkat kesukaran butir soal yang diperoleh menurut Suherman (dalam Dewi Astuti, 2009:39) adalah sebagai berikut: Tabel 3.4 Interpretasi Tingkat Kesukaran
Indeks Tingkat kesukaran Kriteria Tingkat Kesukaran Terlalu sukar

Tk = 0,00 0,00 < Tk 0,30 0,30 < Tk 0,70 0,70 < Tk < 1,00 Tk = 1,00

Sukar Sedang Mudah Terlalu mudah

4) Daya Pembeda Daya pembeda adalah kemampuan suatu butir soal untuk membedakan siswa yang mempunyai kemampuan tinggi dengan siswa yang kemampuanya rendah. Menurut Arikunto (2000:213) daya pembeda soal dapat dihitung dengan menggunakan rumus: DP = JS A JS B SI A

40 Keterangan : SA = Jumlah skor kelompok atas SB = Jumlah skor kelompok bawah SIA/SIB = Jumlah skor ideal kelompok atas atau bawah Tabel 3.5 Interpretasi Daya Pembeda
Indeks Daya Pembeda Kriteria Daya Pembeda

DP 0,00 0,00 < DP 0,20 0,20 < Dp 0,40 0,40 < DP 0,70 0,70 < Dp 1,00

Sangat Buruk, harus dibuang Soal Rendah Soal Sedang (satisfactory) Soal Baik (good) Soal Baik sekali (excellent)

Suherman (dalam Dewi Astuti, 2009:40) E. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menyusun data skor pretes dan postes yang diperoleh ke dalam tabel distribusi frekuensi, dengan susunan berdasarkan kelas interval. Untuk menentukan banyak kelas interval dan panjang kelas setiap interval digunakan aturan Sturges yaitu sebagai berikut : Menentukan banyak kelas (k) k = 1 + 3,3 log N Menentukan panjang kelas interval (p)

41 p= r ren tan g = . k banyak kelas

2. Menentukan batas atas dan batas bawah setiap kelas interval. Batas atas diperoleh dari ujung kelas atas ditambah 0,5; sedangkan batas bawah diperoleh dari ujung kelas bawah dikurangi 0,5. 3. Menentukan Skor Rata-rata dan Standar Deviasi untuk masing-masing kelas dengan persamaan sebagai berikut: x=

f x
i

fi

S=

f (x
i

x) 2

(n 1)

(Sudjana, 2002 : 67)

Keterangan: x xi n S fi : Skor rata rata : Titik tengah nilai tes : Jumlah sampel : Standar baku : frekuensi

4. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan pada data post-tes dan pretes. Uji normalitas ini digunakan untuk mengetahui kenormalan data dan untuk menentukan uji statistik yang akan digunakan selanjutnya. Dalam penelitian ini, pengujian normalitas dilakukan dengan menggunakan tes kecocokan chi-kuadrat dengan rumus sebagai berikut:

2 =
Keterangan: 2

( f0 fe ) fe

(Sudjana,1996 : 273)

: Harga chi kuadrat yang dihitung

42 f0 fe : Frekuensi dari hasil observasi : Frekuensi dari hasil estimasi

Selanjutnya

2 hitung dibandingkan dengan

2 tabel, derajat

kebebasan (dk) = k-3, dimana k adalah banyaknya kelas interval. Jika

2 hitung < 2 tabel maka dapat dinyatakan bahwa data berdistribusi


normal, dan dalam hal lainnya data tidak berdistribusi normal. 5. Uji Homogenitas Uji homogenitas varian antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dimaksudkan untuk mengetahui keadaan varians antara kedua kelompok, sama atau berbeda. Uji statistiknya menggunakan uji-F, dengan rumus sebagai berikut: Varian Terbesar Varian Terkecil

F=

(Sudjana, 1996 : 250)

Dimana kriteria pengujian adalah terima H0 jika Fhitung > Ftabel dengan dk1 = (n1-1) dan dk2 = (n2-1) dengan peluang (1- ) dan tolak H0 jika F mempunyai harga-harga lain. 6. Uji Hipotesis Guna membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan dan untuk mandapatkan suatu kesimpulan, maka data hasil tes pada akhir pokok bahasan yang diberikan kepada siswa dianalisis dengan menggunakan uji t, uji 1 pihak dengan taraf signifikan 5% dan taraf kepercayaan 95% maka digunakan persamaan rumus oleh (Sudjana, 2002:239) sebagai berikut:

43 a. Jika kedua data berdistribusi normal dan homogen maka

digunakan uji-t, dengan rumus:

t= s

X 1 X 2 1 1 + n1 n2

s=

2 (n 1) s12 + (n 2) s 2 n1 + n2 2

Keterangan : t S S
2 1

: Perbedaan rata - rata kedua sampel : Varian sampel kategori pertama (siswa yang diberikan pembelajaran metode problem solving dilengkapi demonstrasi)
2 2

X1 X2 n1 n2

: Varian sampel kategori kedua (Siswa yang diberikan pembelajaran konvensional) : Nilai rata - rata sampel pertama

: Nilai rata - rata sampel kedua : Jumlah sampel kategori pertama : Jumlah sampel kategori kedua Kriteria pengujian adalah jika thitung > ttabel maka H0 ditolak

atau Ha diterima, dengan kata lain data tersebut berbeda. b. Jika kedua data berdistribusi normal tetapi tidak homogen, maka uji statistik yang akan digunakan adalah uji-t semu (t) dengan rumus:

t' =

X1 X 2
2 S12 S 2 + n1 n2

(Su djana, 2002:241)

Keterangan: X1 X2 : Skor pretes rata-rata : Skor postes rata-rata

44 s12
2 s2

: Standar deviasi pretes : Standar deviasi postes : Jumlah sampel

Kriteria pengujian adalah, terima hipotesis H 0 jika : w1t1 + w2 t 2 w t + w2 t 2 < t'< 1 1 w1 + w2 w1 + w2 w1 = s1 / n1 ; w2 = s 2 / n2 1 Dengan : t1 = t 1 2 , ( n1 1) dan t 2 = t 1 1 , ( n1 1) 2 Untuk harga t lainnya, H 0 ditolak.
2 2

( (

) )

45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 1. Analisis Hasil Uji Coba Instrumen Untuk mendapatkan instrumen yang benar-benar dapat mengukur hasil belajar fisika siswa, maka instrumen yang telah disusun terlebih dahulu dikonsultasikan dan diujicoba. Konsultasi instrumen dilakukan dengan dua orang dosen pembimbing fisika untuk mengetahui validitas isi instrumen tersebut. Instrumen yang telah dikonsultasikan kemudian diperbaiki untuk selanjutnya dilakukan uji coba. Lembar instrumen untuk pretes dan postes dapat dilihat pada lampiran B. Sebelum digunakan untuk keperluan tes awal, terlebih dahulu instrumen penelitian diuji cobakan kepada siswa dengan karakter yang sama. Ujicoba ini dilakukan di kelas IX di sekolah yang sama, dengan alasan kelas tersebut telah menjalani pembelajaran materi tekanan. Data hasil uji coba kemudian dianalisis yang meliputi tingkat kesukaran, daya pembeda, uji validitas, dan reliabilitas tes. Pengolahan data hasil uji coba instrumen dapat dilihat pada lampiran B. a. Analisis Tingkat Kesukaran Butir Soal Berdasarkan analisis tingkat kesukaran butir soal yang telah dilakukan dapat dikemukakan rekapitulasi hasil analisis tingkat kesukaran soal seperti pada tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1 Hasil analisis tingkat kesukaran soal Nomor soal 1 2 JSA 130 156 JSB 46 41 2.SI 340 340 TK 0,52 0,58 Keterangan Sedang Sedang

46 3 4 5 6 7 8 9 10 153 140 76 137 27 32 82 14 68 91 18 23 2 16 14 10 340 340 170 340 340 680 340 170 0,65 0,65 0,55 0,47 0,09 0,07 0,28 0,14 Sedang Sedang Sedang Sedang Sukar Sukar Sukar Sukar

Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar. Soal yang terlalu mudah tidak merangsang siswa untuk mempertinggi usaha untuk memecahkannya. Sebaliknya soal yang terlalu sukar akan menyebabkan siswa menjadi putus asa dan tidak mempunyai semangat untuk mencoba lagi karena diluar jangkauannya. Dengan demikian soalsoal yang termasuk dalam kategori sangat sukar tidak digunakan. Pengolahan data untuk analisis tingkat kesukaran butir soal dapat dilihat pada lampiran C. b. Analisis Daya Pembeda Butir Soal Berdasarkan analisis daya pembeda butir soal yang telah dilakukan, dapat dikemukakan rekapitulasi hasil analisis daya pembeda soal seperti pada tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2 Hasil analisis daya pembeda soal Nomor soal 1 JSA 130 JSB 46 SIA/SIB 170 DP 0,49 Keterangan Baik

47 2 3 4 5 6 7 8 9 10 156 153 140 76 137 27 32 82 14 41 68 91 18 23 2 16 14 10 170 170 170 85 170 170 340 170 85 0,68 0,5 0,35 0,68 0,67 0,15 0,05 0,40 0,05 Baik Baik Sedang Baik Baik Rendah Rendah Sedang Rendah

Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dan siswa yang berkemampuan rendah. Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa soalsoal yang terdapat pada ratarata berkategori baik dan sedang. Untuk soal yang termasuk dalam kategori rendah menunjukan bahwa soal tersebut tidak dapat membedakan siswa sesuai dengan kemampuannya sehingga soal-soal tersebut tidak digunakan.

Pengolahan data untuk analisis daya pembeda dapat dilihat pada lampiran C. c. Analisis Validitas Butir Soal Berdasarkan analisis validitas butir soal yang telah dilakukan, dapat dikemukakan rekapitulasi validitas tes seperti pada tabel 4.3 berikut: Tabel 4.3 Hasil analisis validitas tes Nomor soal Nilai rxy t hitung t tabel Keterangan

48 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0,69 0,85 0,86 0,70 0,73 0,86 0,54 0,37 0,77 0,23 7,8 10,76 21,69 7,9 8,32 11,09 6,72 6,083 8,84 5,8 2,04 2,04 2,04 2,04 2,04 2,04 2,04 2,04 2,04 2,04 Valid/ tinggi Valid/ sangat tinggi Valid/ sangat tinggi Valid/ tinggi Valid/ tinggi Valid/ sangat tinggi Valid/ cukup Valid/ rendah Valid/ tinggi Valid/ rendah

Soal-soal dengan kategori validitas yang tinggi dan sangat tinggi berarti soal tersebut dapat mengukur apa yang hendak diukur, dalam hal ini adalah hasil belajar fisika siswa. Sebaliknya, soal-soal dengan kategori validitas cukup dan rendah berarti soal-soal tersebut tidak dapat mengukur apa yang hendak diukur. Dengan demikian, soal-soal tersebut tidak digunakan. Jumlah soal yang tidak digunakan adalah sebanyak tiga soal, pengolahan data untuk analisis validitas butir soal dapat dilihat pada lampiran C. d. Analisis Reliabilitas Tes Dalam menghitung reliabilitas tes menggunakan rumus Alpha karena instrumen yang digunakan berupa soal uraian. Berdasarkan penghitungan tersebut didapatkan bahwa nilai reliabilitas sebesar 0,76, termasuk ke dalam kategori tinggi. Dengan demikian soal-soal tersebut memiliki ketetapan hasil tes yang baik. Pengolahan data untuk analisis reliabilitas instrumen dapat dilihat pada lampiran C.

49 Berdasarkan hasil analisis tes yang telah dilakukan, tidak semua soal layak dapat digunakan sebagai instrumen penelitian. Dari seluruh soal didapatkan bahwa soal yang layak untuk digunakan sebagai instrumen penelitian adalah sebanyak 7 soal. Soal-soal yang telah dinyatakan layak dan diputuskan untuk digunakan tersebut merupakan soal yang dapat mengukur hasil belajar siswa. 2. Deskripsi Data Pelaksanaan metode problem solving dilengkapi demonstrasi berlangsung dalam waktu dua minggu, setiap minggunya dilaksanakan dua pertemuan mengingat jadwal fisika untuk kelas VIII (delapan) lima jam pelajaran dalam satu minggu. Pada proses pelaksanaan penelitian, dimulai dengan pengerjaan tes awal (pretes) untuk mengetahui kemampuan awal siswa mengenai konsep fisika yang akan dipelajari. Setelah tes awal selesai dikerjakan, siswa diberi perlakuan berupa pembelajaran dengan metode problem solving dilengkapi demonstrasi untuk kelas eksperimen dan pembelajaran dengan menggunakan metode konvensional untuk kelas kontrol. Penelitian kemudian diakhiri dengan pengerjaan tes akhir (postes), untuk mengetahui perbedaan hasil belajar fisika siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil perhitungan rata-rata tes awal dan tes akhir kedua kelas dapat dilihat pada tabel 4.4. Tabel 4.4 Skor rata-rata tes awal dan tes akhir siswa Kelas Eksperimen Kontrol Rata-rata pretes 16,19 13,63 Rata-rata postes 42,75 35,59

Berdasarkan dari data dalam tabel 4.4 diatas dapat kita buat grafik skor rata-rata tes awal dan tes akhir siswa sebagai berikut:

50

45 40 35 30 S kor 25 rata-rata20 15 10 5 0

E k s perim en K ontrol

P retes

P ostes

Gambar 4.1 : Skor rata-rata pretes dan postes

Berdasarkan data tabel 4.4 dan grafik 4.1 diatas berarti terjadi peningkatan rata-rata pada masing-masing kelas dimana pada kelas eksperimen terjadi peningkatan rata-rata sebesar 42,75 dan kelas kontrol terjadi peningkatan sebesar 35,59 hal ini berarti peningkatan rata-rata kelas eksperimen lebih tinggi dari pada kelas kontrol.

Kemampuan Awal Siswa Kemampuan awal siswa sebelum diberi pembelajaran dengan materi tekanan merupakan data penelitian yang diperoleh dari hasil tes awal (pretes). Tes awal dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal siswa baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol apakah kedua kelas tersebut memiliki kemampuan awal yang sama atau tidak sebelum dilakukan penerapan pembelajaran. Dari hasil perhitungan, data hasil belajar siswa pada kelas eksperimen dan kontrol terdapat pada (lampiran D) dan dinyatakan pada tabel 4.5 dan 4.6 distribusi frekuensi berikut ini. Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Nilai Pretes Kelas Eksperimen Kelas Interval 2-6 7 - 11 12 - 16 fi 3 6 7 xi 4 9 14 fi.xi 12 54 98 xi x -12,2 -7,19 -2,19 ( x i x )2 149 51,7 4,8 fi( xi x )2 445,8 310,2 33,57

51 17 - 21 22 - 26 27 - 31 x x S x= x= 7 8 1 32 16,19 6,91 19 24 29 133 192 29 518 2,81 7,81 12,8 7,9 61 164 55,27 488 164,1 1497

f i .x i fi 518 = 16,19 32

S= S=

f i.( xi x) 2 n 1 1.479 = 6,91 31

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Nilai Pretes Kelas Kontrol Kelas fi Interval 4-7 6 8-11 6 12-15 10 16-19 4 20-23 3 24-27 3 x 32 13,63 x S 6,14 x= x= xi 5,5 9,5 13,5 17,5 21,5 25,5 fi.xi 33 57 135 70 64,5 76,5 436 xi x -8,12 -4,12 -0,12 3,88 7,88 11,9 ( x i x )2 65.93 16,97 0,014 15,05 62,09 141,6 fi( xi x )2 395,6 102 0,14 60,2 186,3 424,8 1169

f i .x i fi 436 = 13,63 32

S= S=

f i .( xi x) 2 n 1 1.169 = 6,14 31

Berdasarkan tabel 4.5 dan 4.6 di atas, nilai rata-rata hasil belajar siswa kelas eksperimen 16,19 dan standar deviasinya 6,91 sedangkan nilai rata-rata kelas kontrol 13,63 dan setandar deviasinya 6,14 dari data diatas menunjukan bahwa kemampuan awal antara kelas eksperimen dan kelas kontrol relatif sama karena kedua kelas samasama belum diberi perlakuan pembelajaran, sehingga pada tahap

52 selanjutnya dapat diberi perlakuan pembelajaran pada masing-masing kelas dimana pada kelas eksperimen dengan penerapan metode problem solving dilengkapi demonstrasi dan kelas kontrol dengan metode konvensional.

Kemampuan Akhir siswa Kemampuan akhir siswa merupakan kemampuan yang dimiliki siswa setelah kegiatan pembelajaran dengan materi tekanan data penelitian diperoleh dari hasil postes (tes akhir). Postes dilakukan untuk melihat hasil belajar siswa baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol apakah kedua kelompok perlakukan tersebut mengalami peningkatan hasil belajar yang sama ataukah berbeda setelah dilakukan pembelajaran dengan menggunakan metode yang berbeda. Dari hasil perhitungan, data hasil belajar siswa pada kelas eksperimen dan kontrol terdapat pada (lampiran D) dan dinyatakan pada tabel 4.7 dan 4.8 distribusi frekuensi berikut ini. Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Nilai Postest Kelas Eksperimen Kelas fi Interval 17-24 3 25-32 3 33-40 7 41-48 8 49-56 7 57-64 4 x 32 42,75 x S 11,802
x= x= f i .x i fi 1368 = 42,75 32

xi 20,5 28,5 36,5 44,5 52,5 60,5

fi.xi 61,5 85,5 255,5 356 367,5 242 1368

xi x -22,25 -14,25 -6,25 1,75 9,75 17,75

( x i x )2 495,063 203,063 39,0625 3,0625 95,0625 315,063

fi( xi x )2 1485,188 609,188 273,438 24,5 665,438 1260,25 4318

S= S=

f i .( xi x) 2 n 1 4.318 = 11,802 31

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Nilai Postest Kelas Kontrol

53 Kelas fi Interval 14-20 2 21-27 5 28-34 7 35-41 9 42-48 6 49-55 3 x 32 35,59 x S 9,67 x= x= f i .x i fi 1139 = 35,594 32 xi 17 24 31 38 45 52 fi.xi 34 120 217 342 270 156 1139 xi x -18,59 -11,59 -4,59 2,41 9,41 16,41 ( x i x )2 345,5881 134,3281 21,0681 5,8081 88,5481 269,2881 fi( xi x )2 691,1762 671,6405 147,4767 52,2729 531,2886 807,8643 2901,719

S= S=

f i.( xi x) 2 n 1 2901,72 = 9,67 31

Berdasarkan tabel 4.7 dan 4.8 di atas jika dibandingkan dengan tabel kemampuan awal siswa (tabel 4.5 dan 4.6) terdapat peningkatan hasil belajar pada kemampuan akhir siswa setelah diberikan pembelajaran dengan menggunakan metode problem solving dilengkapai demonstrasi untuk kelas eksperimen dan metode konvensional untuk kelas kontrol. Dari data tersebut menunjukkan bahwa kemampuan akhir siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol mengalami perbedaan, kelas eksperimen mengalami peningkatan rata-rata lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. 3. Pengujian Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah Hasil belajar siswa dengan menggunakan metode problem solving dilengkapi

demonstrasi lebih baik daripada metode konvensional pada mata pelajaran IPA materi tekanan di kelas VIII SMP Negeri 10 Lubuklinggau. Sebelum pengajuan hipotesis tersebut terlebih dahulu menguji normalitas data selanjutnya diuji homogenitas varians antara kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah itu menguji kesamaan dua rata-rata. a.Uji Normalitas

54 Untuk menguji hipotesis penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas guna menentukan jenis uji hipotesis yang akan digunakan. Penghitungan uji normalitas dilakukan terhadap skor pretes dan postes pada masing-masing kelompok perlakuan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah skor hasil postes dan pretes yang didapat oleh kedua kelompok berdistribusi normal atau tidak. Berdasarkan ketentuan perhitungan statistik mengenai uji normalitas data dengan taraf kepercayaan = 0,05 jika X2hitung < X2tabel maka data berdistribusi normal penghitungan mengenai uji normalitas pretes dan postes untuk kedua kelompok perlakuan dapat dilihat pada lampiran D. Hasil yang didapat tertera pada tabel 4.9 berikut : Tabel 4.9 Hasil uji normalitas skor tes awal dan tes akhir Kelas Kelas eksperimen Tes awal Tes akhir Kelas kontrol Tes awal Tes akhir 6,13 0,613 5 5 11,070 11,070 3,32 10,00 5 5 11,070 11,070 X2hitung Dk X2tabel Kesimpulan Data berdistribusi normal

Data berdistribusi normal

Dari tabel normalitas di atas menunjukan nilai X2hitung data tes awal maupun tes akhir untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol lebih kecil dari pada X2tabel berdasarkan ketentuan pengujian normalitas dengan menggunakan uji kecocokan X2 (chi-kuadrat) dapat disimpulkan bahwa masing-masing kelas untuk data tes awal maupun tes akhir pada kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal pada taraf kepercayaan = 0,05 dan derajat kebebasan (dk = 5) b. Uji Homogenitas Uji homogenitas digunakan untuk mengetahuim apakah sampel berasal dari populasi yang homogen atau tidak. Uji homogenitas yang digunakan adalah uji-F dengan rumus: Fhitung = Keterangan: S12 : Varians terbesar 2 S 2 : Varians terkecil S12 Varians terbesar = S 22 varians terkecil

55

1) Skor tes awal kelas eksperimen dan kelas kontrol a) Data Se = 6,91 Sk = 6,14 Keterangan: Se : Simpangan baku kelas eksperimen Sk : Simpangan baku kelas kontrol b) Hipotesis yang diuji Ho : Hipotesis perbandingan kedua varians sama/ homogen Ha : Hipotesis kerja, kedua varians tidak sama/ tidak homogen c) Nilai Fhitung

Fhitung = Fhitung Fhitung Fhitung

S k2 2 Se

(6,14) 2 = (6,91) 2 37,6996 = 47,7481 = 0,79


Nilai Fhitung dengan derajat kebebasan (dk) = 32-1 =31

dk =32-1 =31 dan = 0,05. Nilai Ftabel ditentukan dengan dk = (31:31) tersebut tidak terdapat dalam tabel, maka ditentukan nilai Ftabel yang lain dengan dk = (30:30). Jadi nilai Ftabel (0,05) (30:30) = (1,84) d) Uji hipotesis Fhitung = 0,79 dan Ftabel = 1,84, karena Fhitung < Ftabel maka terima Ho. Dengan demikian kedua varians skor tes awal kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah homogen.

56 2) Skor tes akhir kelas eksperimen dan kelas kontrol a) Data Se = 11,802 Sk = 9,67 Keterangan: Se : Simpangan baku kelas eksperimen Sk : Simpangan baku kelas kontrol b) Hipotesis yang diajukan Ho : Hipotesis perbandingan kedua varians sama/ homogen Ha : Hipotesis kerja, kedua varians tidak sama/ tidak homogen c) Nilai Fhitung

Fhitung

Se2 = 2 Sk (11,802) 2 (9,67) 2 139,29 = 93,5089 = 1,489

Fhitung = Fhitung Fhitung

Nilai Fhitung dengan derajat kebebasan (dk) = 32 - 1 = 31 dk = 32 - 1 = 31 dan = 0,05. Nilai Ftabel ditentukan dengan dk = (31:31) tersebut tidak terdapat dalam tabel, maka ditentukan nilai Ftabel yang lain dengan dk = (30:30). Jadi nilai Ftabel (0,05) (30:30) = (1,84). d) Uji hipotesis Fhitung = 1,489 dan Ftabel = 1,84, karena Fhitung < Ftabel maka terima Ho. Dengan demikian kedua varians skor tes akhir kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah homogen.

57 Tabel 4.10 Hasil uji homogenitas tes awal dan tes akhir Kelas Tes awal Tes akhir Fhitung 0,79 1,489 dk (30:30) (30:30) Ftabel 1,84 1,84 Kesimpulan Homogen Homogen

Pada tabel homogenitas menunjukan varians kedua kelompok yang dibandingkan pada tes awal dan tes akhir adalah homogen Fhitung < FTabel pada taraf kepercayaan = 0,05 . c. Uji Kesamaan Dua Rata-rata Uji kesamaan dua rata-rata digunakan untuk menguji hipotesis. Berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas, maka kedua kelompok data tes awal adalah normal dan homogen. Begitu juga hasil data tes akhir adalah normal dan homogen. Dengan demikian uji kesamaan dua rata-rata antara kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk data tes awal dan tes akhir dapat menggunakan rumus uji-t. 1) Uji kesamaan dua rata-rata skor tes awal Hipotesis yang diajukan adalah: Ho : Hipotesis perbandingan, skor rata-rata kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah sama. He : Hipotesis yang diajukan, skor rata-rata kelas eksperimen lebih besar daripada skor rata-rata kelas kontrol. a) Data Xe Xk = 16,19 = 13,63 Se Sk = 6,91 = 6,14 ne = 32 nk = 32

Indek e untuk kelas eksperimen dan k untuk kelas kontrol. b) Nilai thitung

Kedua data kelompok kelas eksperimen dan kelas kontrol normal dan homogen, maka menggunakan uji-t dengan rumus:

58 t= s X 1 X 2 1 1 + n1 n2 dengan s=

2 (n 1) se2 + (n 1) s k n1 + n 2 2

Terlebih dahulu dicari simpangan baku gabungan kedua kelompok.


2 (n 1) s12 + ( n 2) s2 s= n1 + n2 2

s= s= s= s=

(32 1)(6,91) 2 + (32 1)(6,14) 2 32 + 32 2 (31)( 47,7481) + (31)(37,6996 ) 62 1.480,19 + 1.168,69 62 2.648,88 62

s = 42,72 s = 6,54

Setelah di dapat nilai simpangan bakunya, maka cari nilai thitung menggunakan uji-t dengan rumus:
t= X 1X 2 1 1 s + n1 n2

t=

t=

16 ,19 13,63 1 1 6 , 54 + 32 32 2,56


6 , 54

t= t=

2 32 2,56 0,0625

6 , 54

2,56 1,635 t = 1,566

59 c) Nilai ttabel Nilai ttabel dengan derajat kebebasan dk = ne + nk - 2 = 32+32-2 = 62 dan = 0,05. Nilai ttabel dengan dk 62 tersebut tidak terdapat di dalam tabel, maka nilai ttabel ditentukan dengan menggunakan harga t yang lain bernilai dk = 60. Jadi nilai ttabel = t(0,95)(60) = 2,00. d) Uji Hipotesis Nilai thitung = 1,566 dan ttabel = 2,00 karena thitung < ttabel, maka terima ho. Dengan demikian kedua data skor rata-rata tes awal (kelas eksperimen dan kelas kontrol) adalah sama. 2) Uji Kesamaan Dua Rata-rata Skor Tes Akhir Hipotesis yang diajukan adalah: Ho : Hipotesis perbandingan rata-rata skor kelas eksperimen kurang dari atau sama dengan kelas kontrol. He : Hipotesis yang diajukan, skor rata-rata kelas eksperimen lebih besar daripada skor rata-rata kelas kontrol. a) Data Xe Xk = 42,75 = 35,59 Se Sk = 11,802 = 9,67 ne = 32 nk = 32

Indek e untuk kelas eksperimen dan k untuk kelas kontrol. b) Nilai thitung Kedua data kelompok kelas eksperimen dan kelas kontrol normal dan homogen, maka menggunakan uji-t dengan rumus:

60 t= s X 1 X 2 1 1 + n1 n2 dengan s=

2 (n 1) se2 + (n 1) s k n1 + n 2 2

Terlebih dahulu dicari simpangan baku gabungan kedua kelompok.


2 (n 1) s12 + ( n 2) s2 s= n1 + n2 2

s= s= s= s=

(32 1)(11,802 ) 2 + (32 1)(9,67 ) 2 32 + 32 2 (31)(139,2872 ) + (31)(93,5089 ) 62 4.317 ,903 + 2.898,78 62 7.216,68 62

s = 116,398 s = 10,789

Setelah didapat nilai simpangan bakunya, maka cari nilai thitung menggunakan uji-t dengan rumus:
t= s X 1X 2 1 1 + n1 n 2

t=

t=

42 ,75 35,59 1 1 10 , 789 + 32 32 7,16


10 , 789

t= t=

2 32 7,16 0,0625

10 .789

7,16 2,697 t = 2,65

61 c) Nilai ttabel Nilai ttabel dengan derajat kebebasan dk = ne + nk -2 = 32+32-2 = 62 dan = 0,05. Nilai ttabel dengan dk 62 tersebut tidak terdapat di dalam tabel, maka nilai ttabel ditentukan dengan menggunakan harga t yang lain bernilai dk = 60. Jadi nilai ttabel = t(0,95)(60) = 2,00. d) Uji hipotesis Nilai thitung = 2,65 dan ttabel = 2,00 karena thitung > ttabel, maka tolak ho. Dengan demikian kedua data skor rata-rata tes akhir (kelas eksperimen dan kelas kontrol) adalah tidak sama. Hasil rekapitulasi uji kesamaan dua rata-rata skor tes awal dan tes akhir dapat dilihat pada tabel 4.11 Tabel 4.11 Uji Kesamaan Dua Rata-Rata Skor Tes Awal dan Tes Akhir Kelas Tes awal Tes akhir Fhitung 1,566 2,65 dk 60 60 Ftabel 2,00 2,00 Kesimpulan Thitung < ttabel terima H0 Thitung > ttabel tolak H0

B.

Pembahasan Penelitian Pada tabel 4.11 menunjukan bahwa hasil uji analisis Uji-t menunjukan bahwa kelas eksperimen kelas kontrol mempunyai kemampuan awal yang sama dengan taraf kepercayaan = 0,05 karena thitung < t tabel yaitu t hitung 1,566. Setelah tes awal kedua kelompok diberikan pembelajaran yang berbeda, untuk

62 kelas eksperimen diberikan pembelajaran dengan menggunakan metode problem solving dilengkapi demonstrasi dan kelas kontrol dengan metode konvensional. Berdasarkan hasil analisis uji-t mengenai kemampuan akhir

menunjukan bahwa skor rata-rata siswa kelas eksperimen lebih baik dari pada kelas kontrol pada taraf kepercayaan = 0,05 karena thitung (2,65) > ttabel (2,00). Hal ini berarti hasil belajar siswa dengan menggunakan metode problem solving dilengkapi demonstrasi lebih baik dari pada hasil belajar siswa yang menggunakan metode konvensional. Dengan kata lain pembelajaran dengan metode problem solving dilengkapi demonstrasi dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 10 Lubuklinggau. Penggunaan metode problem solving dilengkapi demonstrasi lebih baik dikarenakan siswa lebih memahami dan mudah mengingat konsep fisika yang dipelajari. Dengan metode problem solving dilengkapi demonstrasi, siswa terlibat aktif dalam penemuan konsep tentang permasalahan yang dihadapi melalui demonstrasi, selain itu metode ini sesuai dengan metode ilmiah yang dikembangkan dalam mempelajari ilmu pengetahuan alam (IPA) terutama fisika. Berbeda dengan metode konvensional, siswa cenderung pasif karena siswa hanya terpaku pada informasi yang diberikan oleh guru, dan memang metode konvensional lebih menuntut siswa untuk mendengar dan memperhatikan penjelasan guru daripada keaktifan siswa dalam belajar. Kesimpulan dari uraian di atas adalah penggunaan metode problem solving sangat baik untuk penemuan konsep fisika oleh siswa, sedangkan

63 penambahan metode demonstrasi digunakan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi secara ilmiah sebelum diperoleh kesimpulan dari materi yang diajarkan. Penjelasan diatas menunjukan kelebihan-kelebihan dari metode problem solving dilengkapi demonstrasi untuk kita ketahui bahwa metode ini tidak hanya memiliki kelebihan saja tapi juga memiliki kekurangan. Kekurangan ini dikarenakan matode ini merupakan penggabungan dari dua metode yang menjadi satu, setiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan dan kekurangan itu yang membuat metode ini tidak dapat diterapkan untuk setiap pokok bahasan jadi metode ini hanya dapat diterapkan pada pokok bahasan tertentu saja. Dengan kata lain metode ini akan dapat berperan dengan baik jika kedua metode yang mendukung metode ini dapat saling berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran, jika salah satu dari kedua metode tidak dapat berfungsi dengan baik atau tidak ada interaksi antar keduanya maka metode ini tidak dapat diterapkan. Karena itulah tetap dibutuhkan peran aktif dari guru dalam menentukan metode mengajar yang akan digunakan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dan dapat meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri.

64

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang peneliti lakukan didapat Fhitung (2,65) > Ftabel (2,00) pada taraf signifikansi 0,05. Dalam hal ini menunjukan bahwa hasil belajar siswa dengan menggunaan metode problem solving dilengkapi demonstrasi lebih baik daripada hasil belajar ciswa dengan menggunakan metode konvensional pada mata pelajaran IPA materi tekanan

65 di kelas VIII SMP Negeri 10 Lubuklinggau. Dengan kata lain hipotesis diterima.

B. Saran Berdasarkan simpulan hasil penelitian, maka ada beberapa saran yang perlu peneliti sampaikan, yaitu: 1. Dalam proses belajar mengajar fisika, diharapkan guru mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki siswa. Dengan demikian guru dapat menentukan strategi pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan siswa dan dapat meningkatkan prestasi belajar fisika siswa. Selain itu, diharapkan guru memberikan dorongan pentingnya menguasai matematika sebagai bekal dalam mempelajari fisika. 2. Dalam mengajar mata pelajaran fisika, sebaiknya guru menggunakan metode problem solving dilengkapi demonstrasi, sebab dengan

menggunakan

metode

problem

solving

dilengkapi

demonstrasi,

penyampaian materi akan lebih sistematis dan menyenangkan, selain itu siswa dapat berkreasi dan menentukan sendiri konsep materi pelajaran dari hasil demonstrasi. Dengan demikian siswa lebih mantap dan mudah mengingat materi fisika yang dipelajari.

66

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. -----------; Suharsimi. 2000. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Dahar, R.W. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga Djamarah, S.B. Zain, A. 1995. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Jazari, Muhammad. 2004. Eksperimentasi Pengajaran Fisika Dengan Metode Problem Solving Dilengkapi Demonstrasi Pada Sub Pokok Bahasan

67 Pembiasan Cahaya Ditinjau Dari Kemampuan Matematika Siswa. Skripsi Pendidikan Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tidak diterbitkan. Karim, Saeful. 2008. Belajar IPA SMP (Membuka Cakrawala Alam Sekitar). Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidian Nasional. Noni, D.S. 2009. Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika dengan Metode Tutor Sebaya di Kelas XI IPA SMA Negeri 5 Lubuklinggau. Skipsi Pendidikan Matematika STKIP-PGRI Lubuklinggau. Tidak diterbitkan. Purwadaminta. 1987. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Bandung: Bumi Aksara. Purwanto, Ngalim. 1990. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya. Rusyan, Tabrani. 1998. Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Karya. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta. Sofa. 2008. Pembelajaran Fisika. (online). -----; 2009. Pembelajaran Konvensional. (Online). Sudjana. 1996. Metode Statistik. Bandung: Tarsito. ---------; 2002. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Sugiyono. 2004. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Syaodin. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tim Penyusun Pedoman Penulisan Makalah dan Skripsi STKIP PGRI. 2009. Pedoman Penulisan Makalah dan skripsi Mahasiswa STKIP PGRI. Lubuklinggau: STKIP PGRI Winarsih, Puji. 2009. Penerapan Metode Demonstrasi Dalam Pembelajaran Matematika di Kelas VIII SMP Negeri 9 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2008/2009. Skipsi Pendidikan Matematika STKIP-PGRI Lubuklinggau. Tidak diterbitkan.

Anda mungkin juga menyukai