Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS KEJANG DEMAM

Disusun Oleh Rahma Ayu Larasati, S.Ked Pembimbing Klinik dr. Arief S. Ghazali, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK STASE PEDIATRI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIANJUR FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2012

BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar belakang Dalam praktek sehari-hari orang tua sering cemas bila anaknya mengalami kejang, karena setiap kejang kemungkinan dapat menimbulkan epilepsi dan trauma pada otak.kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi para orang tua. Sebagian besar orang tua berfikir bahwa bila anaknya kejang maka ia akan meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan memberikan edukasi bahwa kejang perlu penanganan cepat tanggap agar tidak menimbulkan komplikasi yang lebih parah.

Kejang merupakan gangguan syaraf yang sering dijumpai pada anak.1-3 Insiden kejang demam 2,2-5% pada anak di bawah usia 5 tahun. Anak laki-laki lebih sering dari pada perempuan dengan perbandingan 1,21,6:1.1,2 Saing B (1999), menemukan 62,2%, kemungkinan kejang demam berulang pada 90 anak yang mengalami kejang demam sebelum usia 12 tahun, dan 45% pada 100 anak yang mengalami kejang setelah usia 12 tahun.1 Kejang demam kompleks dan khususnya kejang demam fokal merupakan prediksi ntuk terjadinya epilepsi.6 Sebagian besar peneliti melaporkan angka kejadian epilepsi kemudian hari sekitar 2 5 %

Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara baik. Karena diagnosis yang salah atau penggunaan obat yang kurang tepat dapat menyebabkan kejang tidak terkontrol, depresi nafas dan rawat inap yang tidak perlu

B. Tujuan Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah selain untuk menyelesaikan salah satu tugas kepaniteraan klinik stase pediatri, juga untuk mengetahui serta mempelajari lebih jauh mengenai kasus kejang demam hingga penatalaksanaan yang tepat pada pasien di lapangan.

BAB 2 LAPORAN KASUS


A. Identitas pasien Nama Usia Alamat No Rekam Medis Tanggal Masuk : An. R : 9 bulan : Ciguriang RT 03 RW 04, Sukamanah : 515243 : 5 April 2012

Nama Ayah Umur Pendidikan Pekerjaan Agama

: Tn. D : 27 tahun : tamat SMP : Kuli bangunan : Islam

Nama Ibu Umur Pendidikan Pekerjaan Agama

: Ny T : 19 tahun : tamat SD : Ibu rumah tangga : Islam

B. Anamnesis Anamnesis dilakukan secara alloanamnesa dengan ibu pasien di bangsal Samolo 3 pada tanggal 5 April 2012.

a. Keluhan Utama : Kejang b. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke IGD neonatus dengan keluhan kejang yang berlangsung pada pagi hari kemarin tepatnya beberapa jam sebelum masuk IGD RSUD Cianjur. Menurut ibu pasien kejang terjadi sebanyak 3 kali. Masing masing kejang berlangsung selama lebih dari 15 menit. Saat kejang mata pasien melihat keatas serta kedua tangan dan kaki pasien bergerak tak henti hentinya. Saat kejang pasien mengalami demam. Demam dialami pasien sejak 6 hari lalu sebelum masuk rumah sakit. Demam dirasakan naik turun. Demam naik terutama pada malam hari. Pasien sudah diberi obat oleh bidan kemudian demam turun namun naik lagi. Pasien juga mengeluh batuk berdahak sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk muncul bersamaan dengan demam. Saat batuk terdengar bunyi grok grok namun dahak sulit dikeluarkan. Saat batuk wajah pasien tidak sampai biru. Pasien juga mengeluh sesak napas sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit. Bunyi ngik ngik saat sesak napas disangkal. Saat sesak pasien terlihat gelisah dan tidak mau makan. Pasien juga mengeluh pilek 6 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluar cairan dari hidung pasien berwarna putih kekuningan dan kental. Kejang baru pertama kali dirasakan pasien. Sebelumnya pasien belum pernah kejang baik dengan atau tanpa disertai panas. Gejala mimisan atau gusi berdarah disangkal. Dirumah tidak ada yang menderita demam berdarah dan tidak ada penyemprotan pada hari hari terakhir. Keluhan nyeri telinga disangkal. Nyeri saat buang air kecil disangkal, nyeri saat menelan disangkal, nyeri perut disangkal. Buang air besar 1 kali dalam sehari. Buang air kecil dalam batas normal. c. Riwayat penyakit dahulu : sebelumnya pasien belum pernah kejang baik dengan atau tanpa demam. Sebelumnya pasien belum pernah sesak napas. Pasien pernah

mengalami batuk pilek 2 kali namun berobat ke bidan dan sembuh. Riwayat asma disangkal. Riwayat batuk lama disangkal. Riwayat epilepsi disangkal. Riwayat trauma disangkal.

d. Riwayat penyakit keluarga : Riwayat epilepsi atau kejang dalam bentuk lain disangkal, riwayat alergi disangkal, riwayat asma dan TBC disangkal.

e. Riwayat kehamilan : selama hamil ibu pasien memeriksakan kehamilan ke bidan 1 bulan sekali. Ibu hamil An. R pada usia 18 tahun. Ini adalah kehamilan pertama kalinya. Selama hamil ibu tidak menderita hipertensi, diabetes melitus, eklampsia atau penyakit berat lainnya. Ibu makan dan minum sesuai anjuran bidan. f. Riwayat Kelahiran : By.R lahir cukup bulan ( 9 bulan) dirumah ditolong oleh bidan. Pasien merupakan anak pertama dari ibu G1P1A0. Pasien lahir spontan dan langsung menangis. Berat lahir 3000 gr, panjang badan dan lingkar kepala ibu tidak tahu. Warna air ketuban ibu juga tidak tahu. g. Riwayat pemberian makanan : 0 1 minggu : ASI 1 minggu 7 bulan : susu formula dan bubur biskuit mari. Ibu tidak memberikan ASI dengan alasan nyeri payudara dan ASI keluar hanya sedikit. 7 bulan sekarang 9 bulan : susu formula, bubur biskuit mari dan bubur instan. Kesan : pemberian makanan tidak sesuai dengan usia. h. Riwayat pertumbuhan : Berat bayi lahir : 3000 gr ( 3 Kg) Panjang badan lahir : ibu tidak tahu Lingkar kepala lahir : ibu tidak tahu Berat badan sekarang : 9 Kg Panjang badan sekarang : 68 cm Lingkar kepala sekarang : 46 cm Kesan : pertumbuhan sesuai usia i. Riwayat perkembangan Motorik kasar : Usia 3 bulan sudah bisa mengangkat kepala Usia 7 bulan sudah bisa tengkurap Usia 8 bulan sudah bisa duduk Usia 9 bulan sudah bisa berdiri seraya dipegang orang tua

Motorik halus : Usia 8 bulan sudah bisa menggapai benda Usia 9 bulan sudah bisa memegang bennda kecil

Bahasa : sudah bisa mengoceh Sosial : sudah menyukai ibu, berespon terhadap orang yang baru dikenal, dan sudah bisa tersenyum.

Kesan : perkembangan sesuai usia j. Riwayat imunisasi : Hepatitis B saat lahir DPT hanya 1 kali usia 2 bulan Polio hanya 1 kali usia 2 bulan BCG hanya 1 kali usia 5 bulan Campak usia 9 bulan 9 (baru 2 minggu sebelum anamnesa).

Kesan : imunisasi tidak lengkap. C. Pemeriksaan fisis

Dilakukan pada tanggal 5 April 2012 di bangsal samolo III pada pukul 08.00 WIB. Anak laki-laki usia 9 bulan. Berat badan: 9 kg. Panjang badan: 68 cm. Kesan Umum : compos mentis, gizi baik, tampak sakit sedang, rewel, kejang (-) Tanda Vital Nadi Laju Nafas Suhu Status Antropometri Berat badan : 9 kg Panjang badan : 68 cm BB/U = 9 x 100% = 102 % gizi baik 8,4 :104 x/menit, reguler, isi cukup : 54 x/menit, reguler : 35,8 C

BB/TB = 9 x 100% = 102 % gizi baik 8,8 TB / U = 68 x 100% = 97 % gizi baik Status Internus Kepala : normocephal, lingkar Kepala 46 cm. Menurut Rambut :Hitam,

lebat, tampak terdistribusi merata, ubun ubun datar Mata : edema palpebra (-/-), cekung (-/-), stabismus (-/-), Conjunctiva

anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil isokor 2,5 mm Hidung :Bentuk normal, simetris, sekret (+/+), epistaksis(-/-), pernapasan

cuping hidung (+/+) Telinga Mulut : normotia, discharge (-/-) :Bibir kering (-), bibir sianosis (-), stomatitis (-)

Tenggorok :Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 hiperemis (+), Leher Thorax :Simetris, pembesaran KGB (-), retraksi supra sternal (+) : gerak simetris pada inspirasi dan ekspirasi Tidak terlihat kelainan pada dinding thorax Pulmo: o Inspeksi o Palpasi o Perkusi o Auskultasi : Pergerakan dinding thorax kiri-kanan simetris, tidak ada bekas

luka, tidak ada benjolan, retraksi ICS (+) : vocal fremitus sulit dinilai, tidak teraba massa, tidak teraba

krepitasi dan tidak ada nyeri tekan. : Sonor pada seluruh lapang paru kiri-kanan : Suara nafas vesikuler diseluruh lapang paru kiri-kanan.

Ronkhi (+/+), wheezing (-/-) Cor : o Inspeksi o Palpasi : Ictus cordis tidak tampak : Ictus cordis teraba di ICS 4 linea midklavikula sinistra.

o Auskultasi Abdomen : o Inspeksi epigastrium + o Auskultasi o Palpasi o Perkusi Ekstremitas

: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

: Datar, tidak ada bekas luka, tidak ada benjolan.retraksi

: Bising usus (+) normal 12 x/menit : Supel, hepar & lien tidak teraba membesar : Timpani di ke 4 kuadran abdomen : Superior Inferior -/-/<2

Akral Dingin Akral Sianosis CRT

-/-/<2

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS Pemeriksaan Rangsang Meningeal o Kaku kuduk o Brudzinky I : (-) o Brudzinky II o Kernig Saraf otak N III, IV, VI : pupil bulat isokor, refleks cahaya (+/+), gerakan bola mata simetris. N VII : wajah meringis saat diberi rangsang nyeri Fungsi motorik : 5 5 5 5 Pemeriksaan Reflex Fisiologis o Reflex bisep o Reflex trisep o Reflex Patella o Reflex Achiles : +/+ : +/+ : +/+ : +/+ : (-) : (-) : (-)

Pemeriksaan Reflex Patologis

o Reflex Babinsky o Reflex Chadok o Reflex Oppenheim

: (+) : (-) : (-)

o Reflex Hoffman Trommer : (-)

D. Pemeriksaan Penunjang Berikut hasil pemeriksaan darah rutin yang dilakukan pada tanggal 6 April 2012 - Leukosit - Hemoglobin - Hematokrit - Trombosit : 10,9 103 / l ( N : 6,0 15,0 103/L : 11,2 g/dL (N: 10,5-13,5 g/dl) : 34,4% (N: 30-40 %) : 235.000/mm3 (N: 150.000-450.000)

Kesan : hasil pemeriksaan darah rutin tidak menunjukkan kelainan. E. Resume An R 9 bulan mengalami kejang 3x/hari, masing masing berlangsung > 15 menit, kejang umum seluruh tubuh.Saat kejang pasien mengalami demam yang sudah dirasakan 6 hari sebelum masuk RS. Sebelumnya pasien belum pernah mengalami kejang dengan atau tanpa demam. Pasien juga mengalami batuk, pilek dan sesak napas. Pada pemeriksaan fisis didapatkan laju nafas 54x/menit, PCH (+/+), retraksi supra sternal +, retraksi interkostal +, retraksi epigastrium +. Tidak didapatkan tanda rangsang meningeal, refleks fisiologis normal, saraf otak normal, sensoris dan motoris dalam batas normal. F. Diagnosis Kerja Kejang demam dengan bronkopneumonia. G. Penatalaksanaan a. Medikamentosa 1. O2 1 - 2 liter/menit , Pasien dipuasakan 2. IVFD D 1:4 (9 x 80)/96 = 8 tetes makro/menit 3. Diazepam 4,5 mg IV (bila kejang) 4. Ampicilin 3 x 900 mg IV 5. Gentamisin 1 x 22 mg IV 6. Nebu bisolvon 5 gtt pagi dan sore

7. PCT Syr 3 x 1 cth (prn) 8. Pasien dirawat untuk diobservasi ketat dalam 24 jam b. Edukasi 1. Berikan pengertian ke orang tua bahwa kejang demam dapat berulang tiba tiba, maka anak perlu pengawasan ketat. 2. Berikan pengertian ke orang tua bahwa kejang harus diobati sampai ke penyakit dasarnya untuk mencegah kejang berulang. 3. Menyarankan kepada orang tua untuk selalu menyediakan obat penurun panas di rumah 4. Berikan penyuluhan mengenai tatalaksana apabila sewaktu waktu anak kejang di rumah, yaitu : a. Orang tua harus tetap tenang b. Posisi anak dimiringkan untuk mencegah aspirasi c. Kancing baju anak dilonggarkan d. Harus sedia obat kejang seperti stesolid untuk dirumah e. Ajari cara memakai stesolid yaitu dengan melumuri sedikit cairan ke badan tube, masukan lewat anus, keluarkan isi seraya mengempitkan bokong anak agar obat tidak keluar. f. Ajari cara mengompres yaitu dengan kompres air hangat pada bagian tubuh yang terasa dingin 5. Menyarankan ibu untuk melengkapi imunisasi guna memberikan kekebalan tubuh anak agar tidak muda sakit.

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Sebelum kita memahami definisi mengenai kejang, perlu kita ketahui tentang seizure dan konvulsi .Yang dimaksud dengan seizure adalah cetusan aktivitas listrik abnormal yang terjadi secara mendadak dan bersifat sementara di antara saraf-saraf diotak yang tidak dapat dikendalikan. Akibatnya, kerja otak menjadi terganggu. Manifestasi dari seizure bisa bermacam-macam, dapat berupa penurunan kesadaran,gerakan tonik (menjadi kaku) atau klonik (kelojotan), konvulsi dan fenomena psikologis lainnya. Sedangkan konvulsi adalah gerakan mendadak dan serentak otot-otot yang tidak bias dikendalikan, biasanya bersifat menyeluruh. Hal inilah yang lebih sering dikenal orang sebagai kejang. Jadi kejang hanyalah salah satu manifestasi dari seizure Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal di atas 38 celcius) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Nilai ambang kejang berbeda beda pada masing masing anak, biasanya berkisar antara suhu (38,8 - 41,4)0C. Biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 6 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berusia kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, perlu dipikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam B. Epidemiologi Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika Serikat, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17-23 bulan). Kejang demam sedikit lebih sering terjadi pada laki-laki.

C. Faktor Risiko Faktor risiko kejang demam pertama adalah demam. Selain itu terdapat faktor riwayat kejang demam pada orangtua atau saudara kandung, perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus dan kadar natrium rendah. Setelah kejang demam pertama kira kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi (kekambuhan), dan kira kira 9 % anak mengalami rekurensi 3 kali atau lebih, resiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi. Kejang demam sangat tergantung pada umur, 85% kejang pertama sebelum berumur 4 tahun, terbanyak diantara 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang demam pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah berumur 6 tahun pasien tidak kejang demam lagi, walaupun pada beberapa pasien masih dapat mengalami sampai umur lebih dari 5-6 tahun. Kejang demam diturunkan secara dominan autosomal sederhana. D. Patomekanisme Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan melalui fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Melalui proses oksidasi glukosa dipecah menjadi CO2 dan air (Staf Pengajar IKA FKUI, 1995). Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal, membran sel dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terjadi sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut sebagai potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat di permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi,

atau aliran listrik dari sekitarnya, dan perubahan pathofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan (Staf Pengajar IKA FKUI, 1995). Demam adalah meningkatnya suhu tubuh diatas nilai normal (35,8-37,2)0C dalam rentang waktu tertentu. Demam merupakan salah satu keluhan dan gejala yang paling sering terjadi pada anak dengan penyebab berupa infeksi dan non infeksi. Paling sering penyebabnya adalah infeksi, dalam hal ini adalah infeksi saluran nafas disusul dengan infeksi saluran cerna pada anak-anak. Pada keadaan demam, kenaikan suhu 10 celsius akan mengakibatkan kenaikan metabolism basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan pada orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion K+ maupun ion Na+ melalui membran tersebut, dengan akibat akan terjadi lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke sel-sel tetangganya melalui bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda. Tergantung dari ambang kejang yang dimilikinya, seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak yang memiliki ambang kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 380 C dan pada anak yang memiliki batas ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 400 C atau lebih. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering tejadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada suhu berapa penderita kejang (Staf Pengajar IKA FKUI, 1995). Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38 C sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi , kejang baru terjadi pada suhu 40C atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.2 Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi kadang kejang yang berlangsung lama ( lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apne, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapni, asidosis laktat disebabkan

oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat.2 Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksemia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edem otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.2 Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis diotak sehingga terjadi epilepsi. E. Klasifikasi Kejang demam terjadi pada 2-4% anak dengan umur berkisar antara 6 bulan sampai 5 tahun, insidens tertinggi pada umur 18 bulan. Kejang demam dibagi atas :

1.Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) Berlangsung singkat (< 15 menit) dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum (bangkitan kejang tonik dan atau klonik), tanpa gerakan fokal. Kejang hanya sekali / tidak berulang dalam 24 jam.

2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure) Berlangsung lama (> 15 menit). Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

Kejang lama (prolong seizure) adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8 % bangkitan kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau

kejang umum yang didauhului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% diantara anak yang mengalami kejang demam.

F. Manifestasi klinis Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengn kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis, dan lain-lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan kejang dapat berbentuk tonik-klonik bilateral, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik keatas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan semakin berulang tanpa didahului kekakuan atau hanya sentakan atau kekakuan fokal. Sebagian kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8% berlangsung lebih dari 15 menit. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak kembali terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti hemiparesis sementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Jika kejang tunggal berlangsung kurang dari 5 menit, maka kemungkinan cedera otak atau kejang menahun adalah kecil. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada penderita yang sebelumnya normal. Kelainan neurologis terjadi pada sebagian kecil penderita, ini biasanya terjadi pada penderita dengan kejang lama atau berulang baik umum atau fokal. Gangguan intelek dan gangguan belajar jarang terjadi pada kejang demam sederhana. IQ lebih rendah ditemukan pada penderita kejang demam yang berlangsung lama dan mengalami komplikasi. Risiko retardasi mental menjadi 5 kali lebih besar apabila kejang demam diikuti terulangnya kejang tanpa demam. G. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya kejang pada seorang anak yang mengalami demam dan sebelumnya tidak ada riwayat epilepsi. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan lanjutan yang perlu dilakukan jika didapatkan karakteristik khusus pada anak, yaitu: 1. Pungsi lumbal Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal yang dilakukan untuk menyingkirkan menigitis terutama pada pasien kejang demam pertama. Pada bayi-bayi kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18 bulan. Berdasar penelitian yang telah diterbitkan, cairan cerebrospinal yang abnormal umumnya diperoleh pada anak dengan kejang demam yang: -Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh: kaku kuduk). -mengalami komplek partial seizure. -Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya). -Kejang saat tiba di IGD. -Keadaan post ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal. -kejang pertama setelah usia 3 tahun. Pada anak dengan usia lebih dari 18 bulan, pungsi lumbal dilakukan jika tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem sarap pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotikk sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbal sangat dianjurkan untuk dilakukan. 2. EEG EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun

dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi. EEG dapat memperlihatkan gelombang lambat didaerah belakang yang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang unilateral. Perlambatan ditemukan pada 88% pasien bila EEG dikerjakan pada hari kejang dan ditemukan pada 33% pasien bila EEG dilakukan tiga sampai tujuh hari setelah serangan kejang. Saat ini pemeriksaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana. 3. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit., kalsium, fosfor, magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin. 4. Pemeriksaan Imaging Pemeriksaan imaging (CT Scan atau MRI) dapat dindikasikan pada keadaan: a. Adanya riwayat dan tanda klinis trauma kepala. b. Kemungkinan adanya lesi struktural diotak (mikrosefali, spastik). c. Adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang, fontanel anterior membonjol, paresis saraf otak VI, edema papil).

H. Diagnosis Banding Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus dipikirkan

apakah penyebab dari kejang itu didalam atau diluar susunan saraf pusat (otak). Kelainan didalam otak biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, abses otak dan lainlain. Oleh sebab itu perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organis di otak. Baru sesudah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam sederhana atau epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan cairan cerebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang diikuti hemiparesis sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses intrakranial. Sinkop juga dapat diprovokasi oleh demam, dan sukar

dibedakan dengan kejang demam. Anak dengan demam tinggi dapat mengalami delirium, menggigil, pucat dan sianosis sehingga menyerupai kejang demam. I. Perjalanan Penyakit Beberapa hal yang harus dievaluasi adalah mortalitas, perkembangan mental dan neurologis, berulangnya kejang demam dan risiko terjadinya epilepsi dikemudian hari. Mortalitas pada kejang demam sangat rendah, hanya rendah, hanya sekitar 0,64-0,74%. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Peneliti lain melakukan penelitian retrospektif dan melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus. Kelainan neurologis yang terbanyak ialah hemiparesis, disusul diplegia, koreoatetosis atau rigiditas serebrasi. Kelainan ini biasanya terjadi pada pasien dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum maupun fokal. 11% pasien kejang menunjukkan hiperaktivitas walaupun tidak diberi pengobatan fenobarbital. Gangguan intelek dan gangguan belajar jarang terjadi pada kejang demam sederhana. Ellenberg dan Nelson melaporkan bahwa IQ pada 42 pasien kejang demam tidak berbeda dibandingkan dengan saudara kandungnya yang tidak menderita kejang demam. IQ lebih rendah ditemukan pada pasien kejang demam yang berlangsung lama dan mengalami komplikasi. Risiko retardasi mental menjadi 5 kali lebih besar apabila kejang demam diikuti terulangnya kejang tanpa demam. Angka kejadian kejang tanpa demam atau epilepsi

berbeda-beda tergantung kepada cara penelitian, pemilihan kasus dan definisi. Sebagian peneliti melaporkan angka sekitar 2-5%. Livingston melakukan pengamatan selama 1 tahun lebih. Ia mendapatkan bahwa diantara 201 pasien kejang demam sederhana hanya 6 (3%) yang menderita kejang tanpa demam (epilepsi), sedangkan diantara 297 pasien yang digolongkan epilepsi yang diprovokasi oleh demam 276(93%) menderita epilepsi. Prichard dan Mc Greal mendapatkan angka epilepsi 2 % pada kejang demam sederhana dan 30% pada kejang demam atipikal. Diindonesia, Lumbantobing melaporkan 5 (6,5%) diantara 83 pasien kejang demam menjadi epilepsi. Angka kejadian epilepsi pada pasien kejang demam kira-kira 2-3 kali lebih banyak dibandingkan populasi umum dan pada pasien kejang demam berulang kemungkinan terjadinya epilepsi adalah 2 kali lebih sering dibandingkan dengan pasien yang tidak

mengalami berulangnya kejang demam. Faktor risiko terjadinya epilepsi adalah:

1) Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau perkembangan. 2) Adanya riwayat kejang tanpa demam (epilepsi) pada orangtua atau saudara kandung. 3) Kejang berlangsung lama lebih dari 15 menit atau kejang fokal. Bila hanya satu faktor risiko kemungkinan timbulnya epilepsi adalah 2-3, sedangkan apabila terdapat 2 dari 3 faktor diatas, kemungkinan menjadi epilepsi adalah 13%. Epilepsi yang terjadi setelah kejang demam dapat bermacam-macam, yang paling sering adalah epilepsi motor umum yaitu kira-kira 50%. Kejang demam yang lama biasanya diikuti oleh epilepsi parsial kompleks. Sebanyak 30-35% pasien mengalami berulangnya kejang demam. Sebagian besar hanya berulang 2- 3 kali kecuali pada 9-17% kasus yang berulang lebih dari 3 kali. Setengahnya berulang dalam 6 bulan pertama dan 75% berulang dalam 1 tahun. Nelson dan Ellenberg melaporkan berulangnya kejang demam pada 35% diantara 1706 pasien. Berulangnya kejang demam lebih sering bila serangan pertama terjadi pada bayi berumur kurang dari 1 tahun yaitu sebanyak 50%. Bila kejang demam pertama terjadi pada usia lebih dari 1 tahun risiko berulangnya kejang adalah 28%. Berulangnya kejang multipel juga lebih sering terjadi pada bayi. Anak dengan perkembangan abnormal atau mempunyai riwayat epilepsi dalam keluarga juga lebih sering tmengalami berulangnya kejang demam.

J. Penatalaksanaan Dalam penanggulangan kejang demam ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu: pengobatan fase akut, mencari dan mengobati penyebab, dan pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam. 1. Pengobatan fase akut Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air dingin dan pemberian antipiretik. Obat yang paling cepat untuk menghilangkan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena atau intrarektal. Kadar diazepam tertinggi dalam darah akan tercapai dalam waktu 1-3 menit apabila diazepam diberikan intrvena dan dalam waktu 5 menit apabila

diberikan intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu lebih dari 2 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Apabila kejang tidak berhenti dapat diberikan diazepam lagi dengan dosis dan cara yang sama. Apabila sukar mencari vena dapat diberikan diazepam intrarektal dengan dosis 0,50,75mg/kgBB atau sebanyak 5 mg pada anak dengan berat badan kurang dari 10kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Bila kejang tidak berhenti diberikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan dengan kecpatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/kg/menit. Dosis selanjutnya diberikan 4-8 mg/kg/hari, 12-24 jam setelah dosis awal. Dalam waktu 30-60 menit kadar diazepam dalam otak sudah menurun dan pasien dapat kejang kembali. Oleh karena itu setelah kejang berhenti harus diberikan obat dengan masa kerja yang lama misalnya valproat atau fenobarbital. Fenobarbital diberikan secara intramuskular dengan loading dose. Dosis awal 10-20 mg/kg dan dosis selanjutnya 4-8 mg/kg/hari. Diberikan 24 jam setelah dosis awal. Fenobarbital dosis tinggi intravena dapat menyebabkan depresi pernafasan, hipotensi, letargi dan somnolen, sehingga pemberian harus dipantau dengan ketat. Diazepam juga mempunyai efek samping hipotensi dan depresi pernafasan,sebab itu setelah pemberian fenobarbital dosis tinggi jangan diberikan diazepam. 2. Mencari dan Mengobati Penyebab Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk meyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama,. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai mengalami meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama. Pada bayi kecil sering manifestasi meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbar harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan pada pasien berumur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan untuk mencari penyebab. 3. Pengobatan profilaksis Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena menakutkan dan bila sering berulang menyebabkan kerusakan otak menetap. Ada 2 cara profilaksis, yaitu: 1. Profilaksis intermittent pada waktu demam.

2. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari (rumatan). Profilaksis intermittent Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan orangtua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada pasien. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak. Hal yang demikian sebenarnya sukar dipenuhi. Peneliti-peneliti sekarang tidak mendapat hasil dengan fenobarbital intermittent. Diazepam intermittent memberikan hasil lebih baik karena penyerapannya cepat. Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,50 C atau lebih. Diazepam dapat pula diberikan oral dengan dosis 0,5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotonia. Kepustakaan lain menyebutkan bahwa pemberian diazepam tidak selalu efektif karena

kejang dapat terjadi pada onset demam sebelum diazepam sempat diberikan. Efek sedasi diazepam juga dikhawatirkan dapat menutupi gejala yang lebih berbahaya, seperti infeksi sistem saraf pusat.

Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari ( rumatan) Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi dikemudian hari. Profilaksis setiap hari terus menerus dengan fenobarbital 4-5 mg/kg

BB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.

Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria ( termasuk poin 1 atau 2) yaitu: 1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau perkembangan ( misalnya serebrl palsy atau mikrosefal).

2. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal, atau diikuti oleh kelainan neurologis sementara atau menetap. 3. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orangtua atau saudara kandung. 4. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang multipel dalam satu episode demam. Bila hanya memenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka panjang, maka berikan profilaksis intermittent yaitu pada waktu anak demam dengan diazepam oral atau rektal tiap 8 jam disamping antipiretik. ALGORITMA PENGOBATAN MEDIKAMENTOSA SAAT KEJANG

K. Rujukan Pasien kejang demam dirujuk atau dirawat di rumah sakit pada keadaan berikut:

a. Kejang demam kompleks b. Hiperpireksia c. Usia dibawah 6 bulan d. Kejang demam pertama e. Dijumpai kelainan neurologis L. Prognosis Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak perlu menyebabkan kematian. Dua penyelidikan masing-masing mendapat angka kematian 0,46% dan 0,74%. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25%-50% yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Berdasarkan kepustakaan lainnya, risiko berulangnya kejang apabila terjadi demam lagi kira-kira 40-50%. Angka kejadian berulangnya kejang meningkat apabila onsetnya kurang dari umur 19 bulan, riwayat kejang dalam keluarga positif, terdapat kelainan neurologis ( meskipun minimal), kejang awal gambarannya unilateral, kejang berhenti lebih dari 30 menit atau berulang karena penyakit yang sama. Apabila melihat kepada umur, jenis kelamin dan riwayat keluarga, lennox-Buchtal (1973) mendapatkan: -Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita 50% dan pria 33%. -Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga adanya kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada tanpa riwayat kejang adalah 25%. Berdasarkan penelitian Livingston didapati golongan kejang demam sederhana hanya 2,9 % yang menjadi epilepsi dan dari golongan epilepsi yang diprovokasi oleh demam ternyata 97% yang menjadi epilepsi. Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam tergantung dari faktor: a. Riwayat kejang tanpa demam dalam keluarga. b. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang demam. c. Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal.

Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut diatas, maka dikemudian hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibanding bila hanya terdapat 1 atau tidak sama sekali faktor tersebut diatas, serangan kejang tanpa demam hanya 2-3% saja (Consensus Statement on Febrile Seizure, 1981). N. Pencegahan Kejang bisa terjadi jika suhu tubuh naik atau turun dengan cepat. Pada sebagian besar kasus, kejang terjadi tanpa terduga atau tidak dapat dicegah. Dulu digunakan obat anti kejang sebagai tindakan pencegahan pada anak-anak yang sering mengalami kejang demam. Tetapi hal ini sekarang sudah jarang dilakukan. Kepada anak-anak yang cenderung mengalami kejang demam, pada saat menderita demam, bisa diberikan diazepam ( baik yang melalui mulut maupun melalui rektal).

DAFTAR PUSTAKA

S, Soetomenggolo; Taslim; Ismail,S. Buku Ajar Neurologis Anak. Cetakan Kedua. IDAI. Jakarta: 2000; Hal 244-251.

BP.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Buku Kuliah 2. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian IKA FK UI. Jakarta: 1985; Hal 847-855. Mansjoer, A; Suprohaita; Wardhan, W.I; Setiowulan, W. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi Ketiga. Media Aesculapius. FK UI. Jakarta: 2000; Hal 434-437. Short, Jhon R; Gray, J.P; Dodge, J.A. Ikhtisar Penyakit Anak. Edisi Keenam. Jilid Dua. Binarupa Aksara. Jakarta: 1994; hal 62-63. Behrman, Kliegman, Arvinka. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Vol 3. Edisi 15. EGC. Jakarta: 1999; Pusponegoro, H.D, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2004; Hal 210-211. http://aappolicy.aappublication.org/cgi/content/abstract/pediatrics; http://www.prodigy.nhs.uk/guidance.asp?gt=febrile%20convulsion www.health.nsw.gov.au/fcsd/rmc/cib/circulars/2004/cir2004-66.pdf Committee on Quality Improvement and Subcommitte on Febrile Seizure. Practice Parameter: Long Term Treatment of The Child with Simple Febrile Seizure. Pediatrics. 1999; 103:1307-1309. Sastroasmoro, S, dkk, Panduan Pelayanan Medis Departmen Ilmu Penyakit Anak. Cetakan Pertama. RSUP Nasional Dr Ciptomangunkusumo. Jakarta: 2007; Hal 252

Anda mungkin juga menyukai