Anda di halaman 1dari 39

BAB I PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure) yang bersifat spontan dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekolompok besar sel-sel otak, bersifat singkron dan berirama. Bangkitnya epilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam otak lebih dominan dari pada proses inhibisi. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion didalam ruang ekstraselular dan intraselular, dan oleh gerakan keluar masuk ionion menerobos membrane neuron. Otak merupakan alat untuk memproses data tentang lingkungan internal dan eksternal tubuh yang diterima reseptor pada alat indera (seperti mata, telinga, kulit, dan lain-lain). Data tersebut dikirimkan oleh urat saraf yang dikenal dengan system saraf keseluruhan. System saraf ini memungkinkan seluruh urat saraf mengubah rangsangan dalam bentuk implus listrik. Kemudian implus listrik dikirim ke pusat system saraf, yang berada di otak dan urat saraf tulang belakang. Disinilah data diproses dan direspon dengan rangsangan yang cocok. Biasanya dalam tahap ini timbul saraf efektor, yang berfungsi untuk mengirim implus saraf ke otot sehingga otot berkontraksi atau rileks. Di dalam jaringan system saraf pusat terdapat hirarki control. Banyak rangsangan sederhana berhubungan dengan tindakan refleks/aksi spontan (misalnya, dengan cepat kita mengibaskan tangan saat menyentuh piring panas).

Otak tidak terlibat langsung dalam proses identifikasi mengenai tindakan refleks. Tapi, tindakan refleks tersebut diproses di saraf tulang belakang. Meskipun otak tidak terlibat langsung dalam proses yang berhubungan dengan aksi spontan, tetap saja kita akan mencerna data/rangsangan yang dipersepsi alat indera. Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi. Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya resiko lebih tinggi. Pengguna narkotik mungkin mendapat seizure pertama karena menggunakan narkotik, tapi selanjutnya mungkin akan terus mendapat seizure walaupun sudah lepas dari narkotik.Di Inggris, satu orang diantara 131 orang menyindap epilepsi. Jadi setidaknya 456000 penyindap epilepsi di Inggris. Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di antara 100 populasi (1%) penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut World Health Organization (WHO) sekitar 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsi (2004 Epilepsy.com). Prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5%-2%. Di Indonesia penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun bila dipakai angka prevalensi yang dikemukakan seperti dalam rujukan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi. Sedangkan dari semua wanita

hamil didapatkan antara 0,3%-0,5% penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi. Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi sampai saat ini masih dianggap sebagai kehamilan resiko tinggi, dikarenakan adanya pengaruh yang kurang baik dari epilepsi terhadap kehamilan dan sebaliknya serta pengaruh obat anti epilepsi terhadap janin.7 Sekitar 25%-33,3% serangan epilepsi akan meningkat selama hamil, dengan beberapa kemungkinan komplikasi-komplikasi pada saat kehamilan, persalinan dan pada janin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermitten yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik abnormal dan berlebihan dineuro-neuron secara paroksismal, didasari oleh berbagai factor etiologi. Bangkitan epilepsy adalah manifestasi klinik dari bangkitan serupa (stereotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut. Sindrom epilepsy adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsy yang terjadi secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, onset, jenis bangkitan, factor pencetus, dan kronisitas. Setelah masa neonatus, penyebab epilepsi mencakup berbagai keadaan yang didapat, kongenital atau bawaan, diantaranya ada yang khas pada anak-anak dan beberapa dapat timbul pertama kali pada berbagai usia. Sindroma epileptik yang spesifik pada anak-anak sangatlah ditentukan oleh umur. Epilepsi yang disebabkan kelainan metabolik herediter atau kelainan genetik biasanya dimulai pada masa kanak-kanak, epilepsi yang disebabkan trauma lahir kadang-kadang timbul pertama kali pada masa dewasa walaupun hal ini tidak biasa dan sebagian kecil kasus epilepsi umum primer dimulai pada usia dewasa. Tumor otak tertentu biasanya terdapat pada anak-anak (misalnya meduloblastoma), lainnya pada orang dewasa (meningioma)

dan beberapa penyakit hanya terdapat pada usia lanjut (misalnya demensia presenilis dan penyakit serebrovaskuler). Berbagai keadaan lain terjadi pada anakanak maupun orang dewasa misalnya trauma infeksi otak.

2.2 Etiologi Penyebab epileptik pada umum nya di bagi 3 yaitu : 1) Epilepsi idiopatik yang penyebabnya tidak diketahui meliputi 50% dari penderita epilepsi anak umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat alat diagnostik yang canggih kelompok ini makin kecil 2) Epilepsi simptomatik disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), kelainan neurodegeneratif. 3) Epilepsi kriptogenik dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difusi.

Pada epilepsi primer tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal. Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder, atau akibat dari adanya kelainan pada jaringan otak.Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak. Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut : 1. kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera. 2. kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan. 3. cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak 4. tumor otak merupakan penyebab epilepsy yang tidak umum terutama pada anak-anak. 5. penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak 6. radang atau infeksi pada otak dan selaput otak 7. penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.

8. kecerendungan timbulnya epilepsy yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak.

2.3 Patofisiologi Banyak penyelidikan yang telah dilakukan untuk menerangkan tentang masalah kelistrikan epilepsi antara lain oleh Herbert Jasper (Kanada), Lennox dan Gibbs (Amerika) antara tahun 1935 1945.Dari penyelidikan tersebut terungkap bahwa bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik saran di otak yang dinamakan fokus epileptogen, yang biasanya diketahui lokasinya tetapi tak selalu diketahui sifatnya Otak terdiri dari milyaran sel neuron yang satu dengan lainnya saling berhubungan. Pada umumnya hubungan antar neuron terjalin dengan pulsa listrik dan dengan bantuan zat kimia yang secara umum disebut neurotransmitter. Hasil akhir dari komunikasi antar neuron ini tergantung pada fungsi dasar dari neuron tersebut. Dalam keadaan normal lalu lintas pulsa antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Namun demikian bisa juga terjadi bahwa sebagian dari neuron bereaksi secara abnormal. Hal ini misalnya terjadi apabila mekanisme yang mengatur lalu lintas pulsa antar neuron kacau bila braking system dari otak mengalami gangguan. Antara lain yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah neurotransmitter kelompok glutamat (yang mendorong ke arah aktivitas

berlebihan atau excitatory) dan kelompok GABA (gamma-aminobutyric acid), yang bersifat menghambat : inhibitornya. Kejang epileptik apapun jenisnya selalu di sebabkan oleh transmisi impuls yang berlebihan didalam otak yang mengikuti pola yang normal. Terjadi apa yang di sebut sinkronisasi dari pada impuls , sinkronisasi bisa terjadi hanya pada sekelompok kecil neuron saja atau kelompok yang lebih besar, atau malahan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut dalam proses sinkronisasi ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptiknya. serangan epileptik yang ditimbulkan juga jadi sangat beragam. Bagaimana cara terjadinya sinkronisasi tidak diketahui secara tepat. Secara teoritis ada dua faktor yang dapat menyebabkan hal ini : a. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron penghambat kurang

optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA tidak normal. Otak pasien yang menderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik (IPSIs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA. Gamma amino butyric acid (GABA). Suatu hipotesa mengatakan bahwa aktivitas epileptik disebabkan oleh hilang atau berkurangnya inhibisi oleh GABA. Zat ini merupakan neurotransmitter inhibitorik utama di otak. Ternyata bahwa sistem GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti

yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan. Ada kesan bahwa peran GABA pada absence dan pada epilepsi konvulsif tidak sama. Kini belum ada kesepekatan tentang peran GABA pada epilepsi kronis. b. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik berlebihan

hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga. Kemungkinan lain adalah bahwa fungsi jaringan neuron penghambat normal tapi sistim pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini bisa ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak . sampau berapa jauh peran peningkatan glutamat ini pada orang yang menderita epilepsi belum diketahui secara pasti. Glutamat sejak lama diakui sebagai zat yang berperan pada sinaps perangsang di korteks dan hipocampus. Hayashi pada tahun 1954 menemukan bahwa aplikasi glutamat topikal akan menimbulkan bangkitan paroksimal seperti pada epilepsi. Kini diketahui bahwa sistem glutamat ini juga terdiri dari beberapa subtip reseptor lagi. Glycine diperlukan untuk fungsi glutamat sedangkan zinc memblokir pengaruhnya bila diberikan sebelum serangan dimulai. 2.4 Klasifikasi Epilepsi Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), epilepsy dibagi atas 2 penyebab yaitu :

Bangkitan Epilepsi a. Bangkitan parsial 1. Bangkitan parasial sederhana a. Disertai gejala motor b. Disertai gejala sensori khusus c. Disertai gejala kejiwaaan

2. Bangkitan parsial kompleks a. Bangkitan Parsial Sederhana Diikuti Gangguan Kesadaran b. Bangkitan Parsial Disertai Gangguan Kesadaran Awal Bangkitan c. Bangkitan Parsial Yang Menjadi Umum Sekunder d. Parsial Sederhana Menjadi Umum Tonik Klonik e. Parsial Kompleks Menjadi Umum Tonik Klonik f. Parsial Sederhana Menjadi Parsial Kompleks Kemudian Menjadi Umum Tonik Klonik b. Bangkitan umum a. Lena (Absence) b. Mioklonik c. Tonik d. Tonik- klonik c. Bangkitan tak tergolongkan d. Status Epileptikus e.

10

Sindrome Epilepsi (ILAE 1989) A. Berkaitan Lokasi (Localized Related) 1. Idiopatik (primer) a. Epilepsy benigna gelombang paku daerah sentropental b. Epilepsi Benigna Gelombang Paroksismal Daerah Oksipital

2. Simtomatik (sekunder) a. Epilepsi Parsial Kontinua Kronik Pada Anak Anak (Sindrom Kojenikow) b. Sindrom Bangkitan Dipresipitasi Rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat, hiperventilasi, c. Epilepsi Refleks, stimulasi fungsi kortikal tinggi d. Epilepsi Lobus Frontal e. Epilepsi Lobus Parietal f. Epilepsi Lobus Oksipital 3. Kriptogenik

B. Epilepsi Umum & Sindrom Epilepsi Berurutan Umur 1. Idiopatik (Primer) kejang neonatus familial benigna Kejang Neonatus Familial Benigna Kejang Neonatus Benigna Kejang Epilepsi Mioklonik Pada Bayi

11

Epilepsi Lena Anak Epilepsi Lena Remaja Epilepsi Mioklonik Remaja Epilepsi Bangkitan Tonik Klonik Saat Terjaga Epilepsi Umum Idiopatik Lain Epilepsi Tonik Klonik Dipresiitasi Aktivasi Tertentu

2. Kriptogenik atau simtomatik berurutan sesuai peningkatan usia Syndrome west (spasme infantile & spasme salam) Sindrom Lennox-Gastaut Epilepsi lena mioklonik

3. Simtomatik a. Etiologi non spesifik Ensefalopati mioklonik dini Ensefalopati infantil dini dengan burst supression Epilepsi simtomatik umum lain

b. Etiologi spesifik Bangkitan epilepsy komplikasi penyakit

C. Sindrom khusus 1. Kejang Demam 2. Bangkitan Kejang/ Status Epileptikus Hanya Sekali ( Isolated)

12

3. Bangkitan Hanya Pada Kejadian Metabolik Akut, Atau Toksis, Alkohol, Obat- Obatan, Eklamsia, Hiperglikemi Non Ketotik. 4. Bangkitan Dengan Pencetus Spesifik (Epilepsi Reflektorik)

2.5. Diagnosis Evaluasi penderita dengan gejala yang bersifat paroksismal, terutama dengan faktor penyebab yang tidak diketahui, memerlukan pengetahuan dan

keterampilan khusus untuk dapat menggali dan menemukan data yang relevan. Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinik dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Penderita atau orang tuanya perlu diminta keterangannya tentang riwayat adanya epilepsi dikeluarganya. Kemudian dilanjutkan dengan beberapa pemeriksaan antara lain: Pemeriksaan fisik Pemeriksaan ini menapis sebab-sebab terjadinya bangkitan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada usia lanjut auskultasi didaerah leher penting untuk menditeksi penyakit vaskular. Pada anakanak, dilihat dari pertumbuhan yang lambat, adenoma sebasea (tuberous sclerosis), dan organomegali (srorage disease). Elektro-ensefalograf Pada epilepsi pola EEG dapat membantu untuk menentukan jenis dan lokasi bangkitan. Gelombang epileptiform berasal dari cetusan paroksismal yang bersumber pada sekelompok neuron yang mengalami depolarisasi secara sinkron.

13

Gambaran epileptiform anatarcetusan yang terekam EEG muncul dan berhenti secara mendadak, sering kali dengan morfologi yang khas. Pemeriksaan pencitraan otak MRI bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Yang bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri. Disamping itu juga dapat mengidentifikasi kelainan pertumbuhan otak, tumor yang berukuran kecil, malformasi vaskular tertentu, dan penyakit demielinisasi.

Diagnosis banding Kejang parsial simplek, dimulai dengan muatan listrik di bagian otak tertentu dan muatan ini tetap terbatas di daerah tersebut. Penderita mengalami sensasi, gerakan atau kelainan psikis yang abnormal,tergantung kepada daerah otak yang terkena. Jika terjadi di bagian otak yang mengendalikan gerakan otot lengan kanan, maka lengan kanan akan bergoyang dan mengalami sentakan; jika terjadi pada lobus temporalis anterior sebelah dalam, maka penderita akan mencium bau yang sangat menyenangkan atau sangat tidak menyenangkan. Pada penderita yang mengalami kelainan psikis bisa mengalami dejavu (merasa pernah megalami perasaan seperti sekarang di masa yang lalu. Kejang Jacksonian gejalanya dimulai pada satu bagian tubuh tertentu (misalnya tangan atau kaki) dan kemudian menjalar ke anggota gerak, sejalan dengan penyebaran aktivitas listrik di otak. Kejang parsial (psikomotor) kompleks, dimulai dengan hilangnya kontak penderita dengan lingkungan sekitarnya selama 1-2 menit. Penderita menjadi

14

goyah, menggerakkan lengan dan tungkainya dengan cara yang aneh dan tanpa tujuan, mengeluarkan suara-suara yang tak berarti, tidak mampu memahami apa yang orang lain katakan dan menolak bantuan. Kejang konvulsif (kejang tonik-klonik, grand mal) biasanya dimulai dengan kelainan muatan listrik pada daerah otak yang terbatas. Muatan listrik ini segera menyebar ke daerah otak lainnya dan menyebabkan seluruh daerah mengalami kelainan fungsi. Epilepsi primer generalisata ditandai dengan muatan listrik abnormal di daerah otak yang luas, yang sejak awal menyebabkan penyebaran kelainan fungsi. Pada kedua jenis epilepsi ini terjadi kejang sebagai reaksi tubuh terhadap muatan yang abnormal. Pada kejang konvulsif, terjadi penurunan kesadaran sementara, kejang otot yang hebat dan sentakan-sentakan di seluruh tubuh, kepala berpaling ke satu sisi, gigi dikatupkan kuat-kuat dan hilangnya pengendalian kandung kemih. Sesudahnya penderita bisa mengalami sakit kepala, linglung sementara dan merasa sangat lelah. Biasanya penderita tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama kejang. Kejang petit mal, dimulai pada masa kanak-kanak, biasanya sebelum usia 5 tahun. Tidak terjadi kejang dan gejala dramatis lainnya dari grandmal. Penderita hanya menatap, kelopak matanya bergetar atau otot wajahnya berkedut-kedut selama 10-30 detik. Penderita tidak memberikan respon terhadap sekitarnya tetapi tidak terjatuh, pingsan maupun menyentak-nyentak. Status epileptikus, merupakan kejang yang paling serius, dimana kejang terjadi terus menerus, tidak berhenti. Kontraksi otot sangat kuat, tidak mampu

15

bernafas sebagaimana mestinya dan muatan listrik didalam otaknya menyebar luas. Jika tidak segera ditangani, bisa terjadi kerusakan jantung dan otak yang menetap dan penderita biasa meninggal. Spame Infatil adalah serangan berupa fleksi atau ekstensi satu kelompok, akut atau lebih secara mendadak, biasanya terjadi berturutan dan sering disertai dengan teriakan. Satu dari 3.000 anak terkena serangan ini dan 90% diantaranya terjadi antara usia 3-12 bulan. West Syndrom bisa dibedakan menjadi dua jenis yaitu simptomatik dan cryptogenik. Jenis simptomatik disebabkan karena ada kelainan neurologis sebelumnya. Sedangkan jenis cryptogenic tidak diketahui penyebabnya.

Gejala Kejang Berdasarkan Sisi Otak Yang Terkena Lobus frontalis Kedutan pada otot tertentu Lobus oksipitalis Halusinasi kilauan cahaya Lobus parietalis Mati rasa atau kesemutan di bagian tubuh tertentu Lobus temporalis Halusinasi gambaran dan perilaku repetitif yang kompleks misalnya berjalan berputar-putar Lobus temporalis anterior Gerakan mengunyah, gerakan bibir mencium Lobus temporalis anterior sebelah dalam Halusinasi bau, baik yg menyenangkan maupun yg tidak menyenangkan 2.6. Pengobatan dan Perawatan A. Perawatan

16

Langkah selanjutnya yang diambil setelah diagnosis epilepsi ditegakkan adalah membuat rancangan tatalaksana farmakoterapeutik dengan

mempertimbangkan setiap konsekuensi dari masing-masing pilihan terapi. Pada prinsipnya, obat-obat anti epilepsi harus segera diberikan dengan senantiasa memperhatikan apakah pasien juga menderita penyakit yang masih aktif, misalnya tumor cerebri, hematoma subdural kronik, mengidentifikasi hal-hal lain yang harus dilakukan secara bersamaan misalnya operasi tumor otak, pemasangan ventriculo-peritoneal shunt dan sebagainya. Bila ditemukan, kelainan-kelaian ini harus segera diobati. Kadang-kadang dtemukan lesi aktif/progresif yang belum ada obatnya, misalnya penyakit degeneratif. Pada sebagian besar penderita epilepsi, sulit ditentukan adanya lesi (idopatik, kriptogenik) atau lesinya sudah inaktif (sekuele), misalnya sekuele karena trauma lahir dan meningioensefalitis. Dalam hal seperti ini, pengobatan ditujukan terhadap gejala epilepsinya Penatalaksanaan primer pada penderita epilepsi bertujuan agar kualitas hidup optimal untuk pasien sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya dapat tercapai. Tujuan tersebut hanya akan dicapai melalui beberapa upaya yang diolah serta diterapkan secara holistik antara lain adalah menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek samping, menurunkan angka kesakitan dan kematian serta mencegah timbulnya efek samping obat anti epilepsi.

B. Pengobatan

17

Penderita epilepsi cenderung untuk mengalami serangan kejang secara spontan, tanpa faktor provokasi yang kuat atau yang nyata. Timbulnya bangkitan kejang yang tidak dapat diprediksi pada penderita epilepsi selain menyebabkan kerusakan pada otak, dapat pula menimbulkan cedera atau kecelakaan. Kenyataan inilah yang membuat pentingnya pemberian antikonvulsan pada pasien epilepsi. Antikonvulsi digunakan terutama untuk mencegah dan mengobati bangkitan epilepsi (epileptic seizure). Golongan obat ini lebih tepat dinamakan anti epilepsi sebab jarang digunakan untuk gejala konvulsi penyakit lain. Terdapat dua mekanisme anti epilepsi yang penting yaitu: 1. Mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dalam fokus epileptic 2. Mencegah letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi. Bagian terbesar antiepilepsi yang dikenal termasuk dalam golongan terakhir ini. Mekanisme kerja antiepilepsi hanya sedikit yang dipahami dengan baik. Berbagai obat antiepilepsi diketahui mempengaruhi berbagai fungsi

neurofisiologik otak, terutama yang mempengaruhi sistem inhibisi yang melibatkan GABA dalam mekanisme kerja berbagai antiepilepsi. Obat antiepilepsi terbagi dalam delapan golongan. Empat golongan antiepilepsi mempunyai rumus dengan inti berbentuk cincin yang mirip satu sama lain yaitu golongan hidantoin, barbiturate, oksazolidindion dan suksinimid. Akhirakhir ini karbamazepin dan asam valproat memegang peran penting dalam pengobatan epilepsi, karbamazepin untuk bangkitan parsial sederhana maupun

18

kompleks, sedangkan asam valproat terutama untuk bangkitan lena maupun bangkitan kombinasi lena dengan bangkitan tonik klonik.

Golongan obat anti epilepsi 1. Hidantoin obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-klonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf. Fenitoin memiliki range terapetik sempit sehingga pada beberapa pasien dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam darah. Mekanisme aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na+) yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6 jam. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan penglihatan (penglihatan berganda), disfungsi korteks dan mengantuk. Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh dan nystagmus.Salah satu efek samping kronis yang mungkin terjadi adalahgingival

hyperplasia (pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut dapat mengurangi resiko gingival hyperplasia. 2. Barbiturat

19

Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonik-klonik. Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat yang penting utnuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya serta kecenderungannya menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah mengurangi penggunaannya sebagai obat utama. Aksi utama fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan Na dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap reseptor GABA (16) (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi pembukaan reseptor GABAA dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida). Selain itu, fenobarbital juga menekan glutamate excitability dan meningkatkan postsynaptic GABAergic inhibition. Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 10-20 mg/kg 1kali sehari. Efek samping SSP merupakan hal yang umum terjadi pada penggunaan fenobarbital. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah kelelahan, mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada anak-anak dapat menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat menyebabkan kemerahan kulit, danStevens-Johnson syndrome.

3. Deoksibarbiturat Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-klonik. Primidon mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori. Efek anti kejang

20

primidon hampir sama dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh primidon dirubah menjadi metabolit aktif yaitu fenobarbital dan feniletilmalonamid (PEMA). PEMA dapat meningkatkan aktifitas

fenobarbotal. Dosis primidon 100-125 mg 3 kali sehari. Efek samping yang sering terjadi antara lain adalah pusing, mengantuk, kehilangan keseimbangan, perubahan perilaku, kemerahan dikulit, dan impotensi 4. Iminostilben Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik. Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonik-klonik. Karbamazepin menghambat kanal Na+, yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400800 mg. Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali sehari. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual, goyah (tidak dapat berdiri tegak) dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan usia. 5. Suksimid

21

Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens. Kanal kalsium merupakan target dari beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada kanal Ca2+ tipe T. Talamus berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang diperantarai oleh ion Ca2+ tipe T pada kejang absens, sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens. Dosis etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20 mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih dari 6 tahun dan dewasa 500 mg/hari. Efek samping penggunaan etosuksimid adalah mual dan muntah, efek samping penggunaan etosuksimid yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh, mengantuk, gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan.

6. Asam valpoat Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Asam valproat dapat meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi nya atau mengaktivasi sintesis GABA. Asam valproat juga berpotensi terhadap respon GABA post sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi kanal kalium. Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari. Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual, muntah,anorexia, dan peningkatan berat badan. Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan adalah pusing, gangguan keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat mempunyai efek gangguan kognitif yang

22

ringan. Efek samping yang berat dari penggunaan asam valproat adalah hepatotoksik.Hyperammonemia (gangguan metabolisme yang ditandai dengan peningkatan kadar amonia dalam darah) umumnya terjadi 50%, tetapi tidak sampai menyebabkan kerusakan hati. Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu masalah terkait penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin dan

valproat secara bersamaan dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah efek sedasi yang dihasilkan. Valproat sendiri juga dapat menghambat metabolisme lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin. Obat yang dapat menginduksi enzim dapat meningkatkan metabolisme valproat. Hampir 1/3 pasien mengalami efek samping obat walaupun hanya kurang dari 5% saja yang menghentikan penggunaan obat terkait efek samping tersebut.

7. Benzodiazepine Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang. Benzodiazepin merupakan agonis GABAA, sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan meningkatkan frekuensi pembukaan reseptor GABAA. Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3 mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg, dan dewasa 4-40 mg/hari. Efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah cemas, kehilangan kesadaran, pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi, dan mual.

8. Obat epilepsi lain

23

a. Gabapeptin Gabapentin merupakan obat pilihan kedua untuk penanganan parsial epilepsi walaupun kegunaan utamanya adalah untuk pengobatan nyeri neuropati. Uji double-blind dengan kontrol plasebo pada penderita seizure parsial yang sulit diobati menunjukkan bahwa penambahan gabapentin pada obat antiseizure lain leibh unggul dari pada plasebo. Penurunan nilai median seizure yang diinduksi oleh gabapentin sekitar 27% dibandingkan dengan 12% pada plasebo. Penelitian double-blind monoterapi gabapentin (900 atau 1800 mg/hari) mengungkapkan bahwa efikasi gabapentin mirip dengan efikasi karbamazepin (600 mg/hari). Gabapentin dapat meningkatkan pelepasan GABA nonvesikel melalui mekanisme yang belum diketahui. Gabapentin mengikat protein pada membran korteks saluran Ca2+ tipe L. Namun gabapentin tidak mempengaruhi arus Ca2+ pada saluran Ca2+ tipe T, N, atau L. Gabapentin tidak selalu mengurangi perangsangan potensial aksi berulang terus-menerus. Dosis gabapentin untuk anak usia 3-4 tahun 40 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 5-12 tahun 25-35 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 12 tahun atau lebih dan dewasa 300 mg 3 kali sehari. Efek samping yang sering dilaporkan adalah pusing, kelelahan, mengantuk, dan ketidakseimbangan tubuh. Perilaku yang agresif umumnya terjadi pada anak-anak. Beberapa pasien yang menggunakan gabapentin mengalami peningkatan berat badan.

b. Lamotrigin

24

Lamotrigin merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan spektrum luas yang memiliki efikasi pada parsial dan epilepsi umum. Lamotrigin tidak menginduksi atau menghambat metabolisme obat anti epilepsi lain. Mekanisme aksi utama lamotrigin adalah blokade kanal Na, menghambat aktivasi arus Ca2+ serta memblok pelepasan eksitasi neurotransmiter asam amino seperti glutamat dan aspartat. Dosis lamotrigin 25-50 mg/hari. Penggunaan lamotrigin umumnya dapat ditoleransi pada pasien anak, dewasa, maupun pada pasien geriatri. Efek samping yang sering dilaporkan adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda), sakit kepala, pusing, dan goyah (tidak dapat berdiri tegak). Lamotrigin dapat menyebabkan kemerahan kulit terutama pada penggunaan awal terapi 3-4 minggu. Stevens-Johnson syndrome juga dilaporkan setelah menggunakan lamotrigin.

c. Levitirasetam Levetiracetam mudah larut dalam air dan merupakan derifatpyrrolidone ((S)ethyl-2-oxo-pyrrolidine acetamide). Levetirasetam digunakan dalam terapi kejang parsial, kejang absens, kejang mioklonik, kejang tonik-klonik. Mekanisme levetirasetam dalam mengobati epilepsi belum diketahui. Namun pada suatu studi penelitian disimpulkan levetirasetam dapat menghambat kanal Ca2+ tipe N dan mengikat protein sinaptik yang menyebabkan penurunan eksitatori atau meningkatkan inhibitori. Proses pengikatan levetiracetam dengan protein sinaptik belum diketahui. Dosis levetirasetam 500-1000 mg 2

25

kali sehari. Efek samping yang umum terjadi adalah sedasi, gangguan perilaku, dan efek pada SSP. Gangguan perilaku seperti agitasi, dan depresi juga dilaporkan akibat penggunaan levetirasetam.

Beberapa contoh obat yang sering digunakan dalam pengobatan kejang spesifik Tipe seizure Seizure parsial Terapi pilihan pertama Obat alternatif Karbamazepin Gabapentin Fenitoin Lamotrigin Asam valproat okskarbanzepin Topiramat Levetiracetam Zonisamid Tiagabin Primidon Fenobarbital Felbamat kejang umum absens Asam valproat Etosuksimid Mioklonik Asam valproat Klonazepam Lamotrigin Levetiracetam Lamotrigin, topiramat, felbamat, zonisamid,

26

levetiracetam Tonikklonik Karbamazepin Asam valproat topiramat, primidon, fenobarbital, okskarbanzepin, Levetiracetam Fenitoin Lamotrigin,

Studi kasus Tanggal : 11/08/2010 Nama Pasien : Adhe Candra Diagnosa : Epilepsi Umur : 28 thn Asal rujukan : 06080101 Gejala :

Obat yang diberikan R/ depakote ER 500 mg no XIV S1dd1 R/ movileps 100 mg S3ddI no XLII

27

R/ lepigo S3ddI R/ Haloperidol 0,5 S3ddI R/ THP 2 mg S3ddI

no XLII

no XLII

no XLII

Monografi Obat yang diberikan 1. Depakote Komposisi : Asam Valproat Nama generik: Divalproex sodium Indikasi : semua jenis serangan epilepsi Farmakologi : Mekanisme kerja asam valproat tidak diketahui. Efek obat untuk meningkatkan konsentrasi GABA (gama asam aminobutirat), suatu

neurotransmiter inhibitor. Pemberian secara oral, natrium valproat akan berubah menjadi asam valproat didalam lambung, dan kemudian akan diabsobsi dalam saluran pencernaan. Konsentrasi puncak dalam darah akan tercapai dalam 1-4 jam setelah pemberian dosis tunggal baik dalam bentuk asam maupun garamnya. Asam valproat akan terdistribusi kedalam CSF ( sekitar 10 % dari konsentrasi serum), saliva (sekitar 1% dari konsentrasi dalam plasma), dan ASI (sekitar 1-

28

10% dari konsentrasi plasma); Terdistribusi melalui plasenta. Asam valproat dieliminasi melalui ginjal, dan dilaporkan waktu paruh 5-20 jam (rata-rata 10,6 jam). Asam valproat dimetabolisme terutama di hati. Interaksi obat : Penggunaan fenitoin dan valproat secara bersamaan dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah efek sedasi yang dihasilkan. Asam Valproat juga dapat menghambat metabolisme lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin. Obat yang dapat menginduksi enzim dapat

meningkatkan metabolisme valproat, sehinggah dapat menurunkan efek Asam valproat. Efek samping : Iritasi lambung, anoreksia, mual, muntah; sedasi, ataksia, tremor; nafsu makan meningkat; dapat terjadi hepatitis, edema, trombositopeni, hambatan agregrasi platelet, ruam. Jarang: pankreatitis, leukopeni, hipoplasia sel darah merah. Dosis : Dosis awal : 300-600 mg/hari terbagi dalam 2 dosis, setelah makan, dinaikkan 200 mg/hari tiap 3 hari, maksimum: 2,5 g/hari, dalam dosis terbagi.

2. Movileps Komposisi : Fenitoin Natrium Indikasi : Fenitoin diindikasikan untuk mengontrol keadaan kejang tonik-klonik (grand mal) dan serangan psikomotor Farmakologi : Fenitoin merupakan obat golongan antiepilepsi. Mekanisme kerja utamanya pada korteks motoris yaitu menghambat penyebaran aktivitas kejang. Kemungkinan hal

29

ini disebabkan peningkatan pengeluaran natrium dari neuron dan fenitoin cenderung menstabilkan ambang rangsang terhadap hipereksitabilitas yang disebabkan perangsangan berlebihan atau kemampuan perubahan lingkungan di mana terjadi penurunan bertahap ion natrium melalui membran. Ini termasuk penurunan potensiasi paska tetanik pada sinaps. Fenitoin menurunkan aktivitas maksimal pusat batang otak yang berhubungan dengan fase tonik dari kejang tonik-klonik (grand mal). Waktu paruh plasma setelah pemberian oral rata-rata adalah 22 jam (antara 7-42 jam). Efek samping : Susunan Saraf pusat: manifestasi paling sering yang berhubungan dengan terapi fenitoin dengan SSP biasanya tergantung dosis. Efek samping ini berupa nistagmus, ataksia, banyak bicara, koordinasi menurun dan konfusi mental, pusing, susah tidur, gelisah, kejang motorik dan sakit kepala. Saluran cerna: mual, muntah dan konstipasi. Kulit: kelainan dermatologik berupa ruam kulit skarlatimiform atau morbiliform kadang-kadang disertai dengan demam. Bentuk lebih serius dapat berupa dermatitis eksfoliativ, lupus eritematosus, sindroma StevensJohnson dan nekrolisis epidermal toksik. Sistem hemopoetik: efek samping yang dapat bersifat fatal ini kadangkadang dilaporkan terjadi. Hal ini dapat berupa trombositopenia leukopenia, granulositopenia, agranulositosis, pansitopenia dengan atau tanpa supresi sumsum tulang.

30

Jaringan penunjang: muka menjadi kasar, bibir melebar, hiperplasia gusi, hipertrikosis dan penyakit peyroni.

Kardiovaskular: periarterisis nodosa. Imunologik: sindroma sensitifitas, lupus eritromatosus sistemik dan kelainan immunoglobulin.

Dosis : Dewasa:dosis awal:15-25 mg/kg dosis pemeliharaan : 300 mg/hari atau 5-6 mg/kg/hari pada 3 dosis terbagi atau 1-2 dosis terbagi untuk pelepasan bertahap. Dosis awal: 15-20 mg/kg tergantung pada konsentrasi serum fenitoin dan riwaya dosis sebelumnya. Pemberian dosis awal oral pada 3 dosis terbagi diberikan setiap 2-4 jam untuk mengurangi efek yang tidak dinginkan pada saluran pencernaan dan meyakinkan bahwa dosis oral terabsorpsi sepenuhnya.; dosis pemeliharaan sama seperti i.v.

3. Lepigo Komposisi : Karbamazepin

31

Indikasi : Epilepsi semua jenis,kecuali petit mal, neuralgia trigeminus; propilaksis pada manik depresif. Farmakologi : Aksi farmakologi dari karbamazepin secara kualitatif mirip dengan antikonvulsan derivat hidantoin. Aktifitas antikonvulsan dari karbamazepin, seperti fenitoin, pada dasarnya dengan membatasi hantaran seizure dengan mengurangi potensiasi posttetanic (PTP) transmisi sinaps. Karbamazepin menghilangkan nyeri pada neuralgia trigeminal dengan mengurangi transmisi sinap di dalam nukleus trigeminal. Karbamazepin juga mempunyai efek sedatif, antikolinergik, antidepresan, relaksasi otot, antiaritmia, antidiuretik, dan aksi penghambatan transmisi neuromuskular. Karbamazepin hanya mempunyai efek analgesik ringan. (AHFS Drugs Information p. 2139).

Efek samping : Biasanya dihubungkan dengan hipermagnesemia, mual, muntah, haus, flushing kulit, hipotensi, aritmia, koma, depresi nafas, ngantuk, bingung, hilang refleks tendon, lemah otot, kolik dan diare pada pemberian oral. Interaksi : Alkohol : Efek samping SSP dari Karbamazepin mungkin ditingkatkan. Analgetik : dekstropropoksifen menaikkan efek karbamazepin; khasiat tramadol diturunkan oleh karbamazepin

32

Antibakteri : metabolisme doksisiklin dipercepat (mengurangi efek); kadar plasma karbamazepin ditingkatkan oleh klaritromisin, eritromisin dan isoniazid (hepatoksisitas isoniazid mungkin juga meningkat)

Antikoagulan

: metabolisme

nikumalon

dan warfarin

dipercepat

(mengurangi efek antikoagulan) Antidepresan : antagonisme efek antikonvulsan (ambang kejang diturunkan); kadar plasma karbamazepin ditingkatkan oleh fluoksetin, fluvoksamin, dan viloksazin; metabolisme mianserin dan trisiklik dipercepat (menurunkan kadar plasma); disarankan untuk menghindari pemakaian bersama MAOI atau dalam waktu 2 minggu setelah MAOI Antiepileptika lain : pemberian bersama dua atau lebih obat antiepileptika dapat meningkatkan toksisitas tanpa diiringi peningkatan dalam efek antiepilepsi; selain itu interaksi antara masing-masing obat antiepilepsi mempersulit pemantauan pengobatan;interaksi termasuk peningkatan efek, peningkatan sedasi, dan penurunan kadar plasma Antimalaria : klorokuin dan meflokuin melawan efek antikonvulsan Antipsikotik : antagonisme efek antikonvulsan (ambang kejang menurun); metabolisme haloperidol, olansapin dan sertindol dipercepat (menurunkan kadar plasma) Antagonis-Kalsium : diltiazem dan dan verapamil menaikkan efek karbamazepin; efek felodopin, isradipin dan mungkin nikardipin dan nifedipin dikurangi.

33

Glikosida jantung : hanya metabolisme digitoksin yang dipercepat (mengurangi efek)

Kortikosteroid : metabolisme dipercepat (menurunkan efek) Siklosporin : metabolisme dipercepat (menurunkan kadar plasma siklosporin)

Diuretik : meningkatkan risiko hipoatremia Antgonisme Hormon : danazol menghambat metabolisme karbamazepin (meningkatkan efek); metabolisme toremifen mungkin dipercepat

Litium : dapat terjadi neurotoksisitas tanpa meningkatkan kadar plasma litium

Relaksan otot : efek relaksan otot non-depolarizing dilawan (kepulihan dari blok neuromuskular dipercepat)

Estrogen dan Progesteron : karbamazepin mempercepat metabolisme kontrasepsi oral (menurunkan efek konrasepsi) Retinoid : Kadar plasma mungkin diturunkan oleh isotretinoin Teofilin : metabolisme teofilin dipercepat (mengurangi efek)

Tiroksin : metabolisme teofilin dipercepat (dapat meningkatkan kebutuhan akan tiroksin pada hipotiroidisme)

Obat-obat Antiulkus : metabolisme dihambat oleh simetidin (menaikkan kadar plasma karbamazepin)

34

Vitamin : karbamazepin mungkin menaikkan kebutuhan vitamin D (IONI, hal 487).

4. Haloperidol Komposisi : Butyrophenone Indikasi : Penanganan shcizofrenia, sindroma Tourette pada anak dan dewasa, masalah perilaku yang berat pada anak. Farmakologi : Memblok reseptor dopaminergik D1 dan D2 di postsinaptik mesolimbik otak. Menekan penglepasan hormon hipotalamus dan hipofisa, menekan Reticular Activating System (RAS) sehingga mempengaruhi metabolisme basal, temperatur tubuh, kesiagaan, tonus vasomotor dan emesis. Onset kerja : sedasi :iv sekitar 1 jam, Durasi dekanoat : sekitar 3 minggu; distribusi; melewati plasenta dan masuk ke ASI. Ikatan protein : 90%, metabolisme: di hati menjadi senyawa tidak aktif, bioavailabilitas oral : 60%, T eliminasi 20 jam, T maks serum : 20 menit. Ekskresi : urin, dalam 5 hari, 33-40% sebagai metabolit, feses 15%. Interaksi : Efek haloperidol meningkat oleh klorokuin, propranolol, sulfadoksinpiridoksin, anti jamur azol, chlorpromazin, siprofloksacin, klaritromisin, delavirdin, diklofenak, doksisiklin, aritromisin, fluoksetin, imatinib, isoniasid, mikonazol, nefazodon, paroksetin, pergolid, propofol, protease

35

inhibitor, kuinidin, kuinin, ritonavir, ropinirole, telitromisin, verapamil, dan inhibitor CYP2D6 atau 3A4. Haloperidol dapat meningkakan efek amfetamin, betabloker tertentu, benzodiazepin tertentu, kalsium antagonis, cisaprid, siklosporin,

dekstrometorfan, alkaloid ergot, fluoksetin, inhibitor HMG0CoA reductase tertentu, lidokain, paroksetin, risperidon, ritonavir, sildenafil , takrolimus, antidepresan trisiklik, venlafaksin, dan sunstrat CYP2D6 atau 3A4. Haloperidol dapat meningkatkan efek antihipertensi, SSP depresan, litium, trazodon dan antidepresan trisiklik. Kombinasi haloperidol dengan indometasin dapat menyebabkan

mengantuk, lelah dan bingung sedangkan dengan metoklopramid dapat meningkatkan resiko ekstrapiramidal. Haloperidol dapat menghambat kemampuan bromokriptin menurunkan konsentrasi prolaktin. Benztropin dan antikholinergik lainnya dapat menghambat respons terapi haloperidol dan menimbulkan efek antikholinergik. Barbiturat, karbamazepin, merokok, dapat meningkatkan metabolisme haloperidol. Haloperidol dapat menurunkan efek levodopa, hindari kombinasi. Efek haloperidol dapat menurun oleh aminoglutetimid, karbamazepin, nafsilin, nevirapin, fenobarbital, fenitoin, rifamisin dan induser CYP3A4 lainnya.

36

Efek haloperidol dapat menurun oleh aminoglutetimid, karbamazepin, nafsilin, nevirapin, fenobarbital, fenitoin, rifamisin dan induser CYP3A4 lainnya.

Dosis : Awal : 0,05 mg/kg/hari atau 0,25-0,5 mg/hari dibagi dalam 2-3 dosis; peningkatan 0,25-0,5 mg setiap 5-7 hari maksimum 0,15 mg/kg/hari. Dosis pemeliharaan : 10-15 kali dosis awal oral, digunakan untuk menstabilkan gejala psikiatri. Delirium di unit perawatan intensif: iv.: 2-10 mg; dapat diulang secara bolus setiap 20-30 menit sampai dicapai kondisi tenang, kemudian berikan 25% dosis maksimum setiap 6 jam, monitor EKG dan interval QT.

5. THP (Triheksifenidil) Komposisi : Triheksifenidil

37

Farmakologi : Triheksifenidil adalah senyawa piperidin. Daya antikolinergi dan efek sentralnya mirip atropin namun lebih lemah. Menunjukkan inhibisi pada sistem saraf parasimpatetik, Triheksifinidil juga mempunya efek merelaksasi otot polos; secara langsung memberikan efek kepada otot dan secara tidak langsung melalui sistem saraf parasimpatetik.

Indikasi : Meringankan gejala gangguan pada gastrointestinal yang ditandai dengan spasme otot polos (antispasmodic); mydriasis dan cyclopedia pada mata; premedikasi untuk mengeringkan sekret bronchus dan saliva yang bertambah pada intubasi dan anestesia inhalasi; mengembalikan bradikardi yang berlebihan; bersama dengan neostigmin untuk mengembalikan penghambatan non-depolarising neuromuscular, antidote untuk keracunan organophosphor ; cardiopulmonary resucitation. Terapi tambahan dalam Parkinson Dosis : Sehari 1 15 mg dibagi dalam 2 4 dosis

38

Dewasa : awal 2 mg, atau 3 kali sehari dosis dinaikkan sampai diperoleh hasil yang diharapkan. Dewasa : awal 1 mg, jika gejala tidak terkontrol dalam beberapa jam dosis ditingkatkan sehingga hilang gejala. Dosis sehari 5 15 mg, dosis 15 20 mg jarang dibutuhkan

DRP ( Drug Related Problem) 1. Unteated indications (indikasi yang tidak memperoleh terapi ) = Tidak ada 2. Drug therapy used when not indicated (penggunaan obat tanpa indikasi) = Tidak ada 3. Improper Drug Selections (pemilihan obat yang tidak tepat) = tidak ada 4. Failure to receive drug (gagal memperoleh obat) = Tidak ada 5. Overdose or toxic dose (overdosis atau dosis toksik)= tidak ada 6. Adverse drug reactions ( reaksi efek samping obat) = ada tapi sudahditanggani dengan omz 7. Drug interaction (interaksi obat) = Tidak ada

39

Anda mungkin juga menyukai