Anda di halaman 1dari 15

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar belakang Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. Menyerang salah satu jenis sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi, sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker alam penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Berkurangnya CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. (KPA, 2007) Sekitar 95% pasien terinfeksi HIV tinggal di negara berkembang, sekitar 12% pasien terinfeksi HIV adalah wanita dan 85% pada usia reproduktif. Kasus HIV/AIDS pada anak-anak di Indonesia meningkat 700 % dari tahun 2006 sampai 2010. Kasus HIV pada anak paling sering ditemukan akibat transmisi dari ibu yang HIV positif ke anaknya. Lebih dari 90% penularan HIV dari ibu ke anak terjadi selama dalam kandungan, persalinan, dan menyusui. (CDC2009;WHO2009;KEMENKESRI, 2012) Di Amerika Serikat, dilaporkan oleh pusat kontrol penyakit (The Center for Disease Control =CDC), didapatkan selama tahun 2009 hanya didapatkan 7 kasus baru HIV karena transmisi perinatal. Ini merupakan bukti bahwa penularan HIV karena transmisi perinatal dapat dicegah. Dari data-data yang dikemukakan di atas, maka pengendalian / pencegahan penularan HIV dan AIDS pada perempuan, anak dan keluarga menjadi semakin penting dan tidak terpisahkan dari program penanggulangan HIV dan AIDS secara umum. Resiko bayi tertular HIV dapat ditekan hingga 90%, bila ibu mendapatkan terapi antiretroviral selama masa kehamilan. Dengan demikian pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak atau PMTCT menjadi penting, karena sebagian besar ODHA perempuan berada pada usia subur dan lebih dari 90% kasus HIV ditularkan dari ibu. (McFarland, Elizabeth 2003; Yunihastuti E dkk, 2003; PMCT Depkes 2008) Kebanyakan penularan HIV terhadap janin / bayi terjadi saat persalinan, maka pemberian pengobatan pada saat ini dan pemilihan persalinan yang tepat merupakan hal yang sangat penting untuk melindungi infeksi HIV terhadap bayi
Group Perinatal HIV Guidelines Working

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI HIV merupakan suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal dua serotipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) yang sampai sekarang hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika. Spektrum penyakit yang menimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun yang tersering, dahulu dikenal juga sebagai Human T CellLymphotropic Virus Type III (HTLV-III), Lymphadenipathy-Associated Virus (LAV) dan AIDS-Associated Virus. Zein, 2006 Penyebab paling sering kasus AIDS diseluruh dunia adalah HIV-1 karena lebih infeksius daripada HIV-2. HIV secara primer menginfeksi komponen vital dari sistem imunitas tubuh seperti Sel T CD4+ , makrophage, dan sel dendritik. Sel T CD4+ yang berasal dari Tymus merupakan derivate limposit yang berperan sebagai reseptor HIV. Seperti diketahui Sel T CD4+ sangat dibutuhkan untuk pelaksanaan fungsi imunitas tubuh, dan ketika jumlah Sel T CD4+ sangat menurun akan menyebabkan munculnya manifestasi klinis atau AIDS Putu Surya IG. 2004; Cunningham FG, et al. 2010 AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman ataupun virus dan penyakit AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain. Yatim, 2006 B. EPIDEMIOLOGI Tanggal 18 Juni 1981 tercatat dalam sejarah pertama kalinya muncul epidemi AIDS ketika CDC ( Centre for Disease Control and Prevention ) melaporkan sekelompok penderita Pneumocystis Carinii Pneumonia pada 5 orang gay di Los Angeles USA pada awal 1980-an. Tahun 1982 CDC memperkenalkan istilah AIDS untuk mendeskripsikan kumpulan gejala penyakit ini Wikipedia, 2010 Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), sampai Desember 2011 terdapat penambahan 21.031 kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan 4162 kasus Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Sampai 31 Desember
2

2011, kasus

HIV dan AIDS yang dilaporkan sejak 1978 berjumlah masing

masingnya 76.879 dan 29.879 kasus, dengan angka kematian 5.430 kasus. Menurut data yang terkumpul sampai Desember 2011, Sumatera Barat sendiri menempati urutan ke-12 setelah Papua, DKI Jakarta, Kepulauan Riau dan Sumatera Utara, dengan 568 kasus HIV dan 428 kasus AIDS. Kemenkes, 2012 Terdapat perbedaan pola transmisi penularan HIV/AIDS antara negara industri dan berkembang, dimana pada negara indusri didapatkan penularan terbesar ada pada kelompok kaum homoseksual, diikuti kaum pemadat, dan terakhir adalah transmisi perinatal. Sementara untuk Indonesia sendiri, berdasarkan data Kemenkes sampai Desember 2011, didapatkan transmisi penularan terbesar adalah kaum heteroseksual sebanyak 14.775 kasus, homoseksual 807 kasus, penyalahgunaan obat-obatan 9.392 kasus, transfusi darah 51 kasus, transmisi perinatal 730 kasus dan tidak diketahui 940 kasus. CDC, 2009; Kemenkes, 2012 Sekitar 95% pasien terinfeksi HIV tinggal di negara berkembang, sekitar 12% pasien terinfeksi HIV adalah wanita, dimana 85%-nya ada pada usia reproduktif. Kasus HIV/AIDS pada anak-anak Indonesia meningkat 70 persen dalam empat tahun terakhir (2006-2010). Kasus HIV pada anak biasanya paling sering ditemukan akibat transmisi dari ibu yang sudah memiliki HIV ke anaknya. Bila angka kelahiran di Indonesia 2,5% maka setiap tahun akan ada 2.250 3.250 bayi yang lahir dari ibu yang HIV positif. Lebih dari 90% penularan HIV dari ibu ke anak terjadi selama dalam kandungan, persalinan, dan menyusui. Di Amerika Serikat, seperti dilaporkan oleh pusat kontrol penyakit (The Center for Disease Control =CDC), didapatkan selama tahun 2009 hanya didapatkan 7 kasus baru HIV karena transmisi perinatal. Ini merupakan bukti bahwa penularan HIV karena transmisi perinatal dapat dicegah.
CDC 2009;WHO 2009 ;KEMENKES RI, 2012

Penularan HIV ke anak-anak dari ibu HIV positif disebut sebagai Mother to Child Transmission (MTCT). Penularan dari ibu ke anak / bayi terjadi melalui penularan di dalam kandungan / in utero, saat kelahiran / peripartum dan melalui pemberian Air Susu Ibu / ASI. Resiko bayi tertular HIV dapat ditekan hingga 98%, bila ibu mendapatkan terapi Antietroviral (ARV) selama masa kehamilan CDC 2009; WHO 2009 ;
KEMENKES RI, 2012

C. TRANSMISI
3

Transmisi HIV mirip dengan penularan virus hepatitis B, dimana sexual intercourse ( kontak seksual ) merupakan cara penularan yang paling sering. Secara umum penularan HIV pada seseorang bisa melalui Putu Surya IG. 2004; DeCherney AH, et al. 2007 : 1. 2. 3. Kontak Seksual ( Homo atau Heteroseksual ) Transplasental dan ASI ( Penularan Vertikel dan atau Perinatal ) Terpapar dengan darah atau cairan jaringan yang terinfeksi HIV (Penularan Parenteral ) seperti; transfusi darah, tertusuk jarum suntik, dsb. Kemungkinan seorang wanita tertular dari seorang laki-laki pengidap HIV adalah 20 kali lebih besar daripada kemungkinan seorang laki-laki tertular dari seorang wanita pengidap HIV, oleh karena kemungkinan pada cairan sperma terdapat titer HIV yang cukup tinggi. Penularan HIV pada petugas kesehatan di USA sekitar 0,3 %. Sedangakan penularan pada kulit hanya terjadi pada kontak yang intensif dan lama ( Fauci AS & LaneHel, 1994 ) Minnesota, 2005 a. Transmisi Infeksi Maternal dan Fetal-Neonatal Transmisi vertikal pada neonatus terjadi sekitar 30 % ( 20-50 %) pada ibu dengan seropositif HIV. Laporan CDC pada tanggal 27 Februari 2004 berdasarkan hasil penelitian selama 4 tahun menyebutkan rata-rata transmisi vertikal terjadi sekitar 3-10 %. Menurut Dr.Maryglen Fowler rata-rata transmisi berkisar 25 % sebelum dikenalkannya obat antiretroviral. Di beberapa negara maju transmisi vertikal telah menurun bahkan mencapai < 5 %, sebaliknya dinegara berkembang sangat sulit mengendalikannya. Janin dapat dipengaruhi secara in utero melalui transfer virus (Transplasental), pada saat persalinan melalui kontaminasi sekret dan darah ibu pada jalan lahir (Transmisi Perinatal) dan setelah janin lahir melalui pemberian ASI (Post Partum). Penularan secara intra uterine menyebabkan bayi mempunyai antibodi terhadap HIV yang didapat secara pasif dari ibu dan tetap ada sampai bayi berumur 15-18 bulan. Antibodi terhadap HIV yang diperoleh janin in utero melalui jalur transplasental akan habis pada usia bayi sekitar 18 bulan. Sehingga pada tes antibodi pada bayi didapatkan hasil dengan nilai yang rendah. Minnesota, 2005; DeCherney AH, et al. 2007; Nurs J,et
al. 2003

Mekanisme pasti transmisi vertikal masih belum jelas. HIV dapat menginfeksi pada usia kehamilan 8 mg sehingga terjadi abortus spontan. Sedangkan trasnmisi yang terjadi pada kehamilan lanjut lebih responsif terhadap pengobatan dengan antiretroviral yang dapat melewati barier plasenta. DeCherney AH, et al. 2007
4

Adanya penularan transplasental dibuktikan berdasarkan adanya virus HIV yang dapat diidentifikasi pada spesimen dari abortus elektif (Lewis,dkk, 1990). Menurut Blair, dkk (2004) rata-rata angka kehamilan diantara wanita yang terinfeksi HIV meningkat secara signifikan pada era adanya terapi anti retroviral dibandingkan pada era sebelum tahun 1996. Menurut Kourtis,dkk (2001) telah mengusulkan suatu model untuk memperkirakan distribusi temporal dari trasmnisi vertikel. Mereka memperkirakan sekitar 20 % transmisi terjadi sebelum kehamilan 3 bulan, 50 % beberapa hari sebelum persalinan, dan 30 % dalam proses persalinan ( intra partum). Sedangkan angka transmisi HIV melalui ASI cukup tinggi yaitu sekitar 30-40%. Merupakan suatu kesulitan dalam menentukan faktor resiko transmisi apakah melalui trasplasental dan atau didapat dalam proses persalinan (intrapartum). Salah satu pendekatan untuk membedakan ini dengan melakukan pemeriksaan kultur HIV-1 atau DNA Polymerase Chain Reaction Assay (PCR - Assay) dalam 48 jam pertama kehidupan bayi. Tetapi tes virologik dalam 48 jam pertama kehidupan bayi ini tidak selalu tersedia. Nurs J,et al. 2003; Grassman H. 2005; Putu Surya IG. 2004 b. Penularan intra uterin HIV dapat melewati barier plasenta dan masuk kedalam tubuh bayi, walaupun tidak selalu terjadi tapi dapat terjadi Penularan ini diketahui karena didapatkan HIV pada jaringan Tymus, Lien, Paru dan Otak janin usia 20 miggu yang digugurkan dari ibu pengidap HIV DeCherney AH, et al. 2007. c. Penularan intra partum Terjadinya penularan ini karena adanya kontak darah dan sekret ibu dengan bayi pada saat persalinan DeCherney AH, et al. 2007; Cunningham FG, et al. 2010. d. Penularan post partum Penularan ini terjadi melalui pemberian ASI pada bayi baru lahir. Adanya penularan ini dibuktikan dengan terdapatnya HIV yang diisolasi dari ASI. Meskipun masih ada perbedaan pendapat mengenai hal ini karena adanya perbedaan hasil penelitian, tetapi karena belum adanya vaksin untuk HIV dan kemungkinan penularan ini tetap ada maka disepakati pemberian ASI pada bayi tetap masih dilarang. Putu Surya IG.
2004

Secara umum faktor yang mempengaruhi penularan perinatal HIV adalah


5

sebagai berikut:Putu Surya IG. 2004; Duta DC. 1998. 1. Faktor Virus Semakin tinggi titer virus dalam tubuh ibu maka semakin tinggi tingkat penularannya atau makin infeksius. Kadar RNA-HIV merupakan prediktor yang lebih baik daripada jumlah sel T. Kadar RNA-HIV 1000 kopi/ml rerata transmisi vertikal 2 % Kadar RNA-HIV 10000 kopi/ml rerata transmisi vertikal 11 % Kadar RNA-HIV 100000 kopi/ml rerata transmisi vertikal 40 % 2. Faktor Host ( ibu hamil ) Berhubungan dengan daya tahan ibu hamil atau sistem kekebalan tubuh ( jumlah sel T CD4 ), nutrisi dan ada tidaknya anemia dalam kehamilan. 3. Faktor Obstetrik Dipengaruhi oleh cara dan lamanya persalinan berlangsung, prosedur dan peralatan yang digunakan selam kehamilan dan persalianan, internal fetal dan labor monitoring selama persalinan, episiotomi, pemasangan kateter urine, forseps dan vakum ekstraksi hanya dilakukan untuk menyelamatkan ibu dan janin, ruptur membran artificial, resiko meningkat jika ketuban pecah > 4 jam sebelum persalinan. 4. Faktor Bayi Tergantung pada kondisi bayi yaitu aterm atau premature dan ada tidaknya lecet pada bayi akibat proses persalinan. Transmisi vertikel HIV lebih sering pada persalian preterm terutama dihubungkan dengan Prolong Rupture Membrane. Landesman,dkk (1996) melaporkan bahwa transmisi HIV-1 saat lahir meningkat 15-25 % pada ibu hamil yang ketubannya pecah lebih dari 4 jam Putu Surya IG. 2004 Transmisi perinatal HIV dapat dengan sangat akurat dihubungkan dengan pengukuran kadar (titer) HIV-RNA plasma ibu. Dibawah ini ada grafik yang menghubungkan rata-rata persentase infeksi neonatal dengan kadar plasma HIVRNA. Cunningham FG, et al. 2010 Menurut US. Public Health Service Guidelines (2003), morbiditas dan mortalitas maternal tidak meningkat dengan kehamilan pada wanita yang asimptomatik seropositif. Sebaliknya efek pada fetal outcome (luaran) dapat meningkat. Pada review terhadap 634 wanita yang melahirkan sesudah kehamilan 24 minggu, Stratton,dkk (1999) melaporkan efek fetal out come dihubungkan dengan kadar atau proporsi CD4+

yang kecil dari 15 % sedangkan pada wanita yang asimptomatik rata-rata persalinan preterm 20 % dan IUGR sebesar 24 %.Putu Surya IG. 2004 D. GEJALA KLINIS Gejala klinis AIDS secara primer tidak terjadi pada individu dengan imunitas tubuh yang sehat. Masa inkubasi dari terpapar virus sampai munculnya gejala klinis bervariasi dari beberapa hari sampai beberapa minggu. Gejala akut mirip dengan gejala infeksi virus lainnya yang berlangsung kurang dari 10 hari. Gejala klinis paling sering meliputi demam, keringat malam, lemah, letih, lesu, kemerahan pada kulit (rash), sakit kepala, limphadenopati, penurunan berat badan, paringitis, mialgia, artralgia, mual, muntah, dan diare. Setelah gejala akut reda, masuk pada tahap viremia kronik (set poin) yang asimptomatik. Faktor pencetus yang menyebabkan gejala berkembang secara progressif dari asimptomatik viremia menjadi AIDS masih belum jelas, tapi butuh waktu lebih kurang 10 tahun (Fauci, 2003). Putu Surya IG. 2004; Cunningham FG, et al.
2010

Pada keadaan HIV positif dan ditemukan gejala klinis sehingga diagnosa AIDS ditegakkan, general lymphadenopaty, oral hairy leukoplakia, aphtous ulcer, dan trombositopenia sering terjadi. Jika sistem imunitas tubuh jelek, infeksi oppurtunistik sering terjadi yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, parasit dan organisme lainnya. Setiap sistem organ dapat dipengaruhi. Infeksi oppurtunistik yang sering terjadi adalah esophageal atau pulmonary candidiasis, herpes simplek persisten, lesi herpes zoster, condyloma akuminata, TBC, pneumonia cytomegalovirus, retinitis, gangguan gastrointestinal, molluscum contagiosum, pneumocystis pneumonia, toxoplasmosis, dan sebagainya. Gangguan neurologi juga sering, sekitar setengah dari penderita mempunyai gejala gangguan SSP. Kadar CD4+ kurang dari 200/mm 3 dipertimbangakn secara definitif untuk menegakkan diagnosa AIDS
Cunningham FG, et al. 2010 Putu Surya IG. 2004;

Terdapat gejala ginekologik yang unik pada wanita penderita HIV seperti gangguan menstruasi, neoplasma genital, PMS yang lainnya, dan kontrasepsi yang overlap dengan kehamilan (Ceftin, 2003, Stuart dan Castano,2003). Kehamilan yang berulang tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap klinis ataupun status imunologis terhadap infeksi virus (Minkoff,dkk 2003). Penderita HIV-AIDS juga mempunyai resiko yang meningkat untuk berkembanganya keganasan seperti Sarcoma Kaposi, Ca.cervix, dan Lymphoma. Putu Surya IG. 2004; Cunningham FG, et al. 2010
7

Pada

tahun

1991

secara

umum

tapi

sukarela,

screening

prenatal

direkomendasikan oleh Institute of Medicine the CDC, American Academy Pediatrics, dan American College Obstetric and Gynaecologic atau ACOG (1999, 2002, 2004). Sansom,dkk (2003) menganjurkan untuk mengulang tes HIV pada trimester III kehamilan pada daerah dengan prevalensi 1 tiap 1000 orang pertahun atau lebih tinggi terinfeksi HIV. Beberapa negara merekomendasikan tes HIV kedua saat persalinan. Putu Surya IG. 2004
E. MANAJEMEN

PENANGANAN

PERSALINAN

DAN

POST

PARTUM

DENGAN AIDS 1. Penanganan Intra Partum Kewaspadaan menyeluruh atau Universal Precaution harus diperhatikan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya penularan dari ibu ke bayi, penolong maupun petugas kesehatan lainnya. Hindari memecahkan ketuban pada awal persalinan, terjadinya partus lama, dan laserasi pada ibu maupun bayi. Oleh karena itu pada keadaan kemacetan persalinan, maka tindakan SC adalah lebih baik daripada memaksakan persalinan pervaginam Putu Surya IG. 2004; DeCherney AH, et al.
FG, et al. 2010 2007;Cunningham

Petugas kesehatan harus memakai sarung tangan Vynil, bukan saja pada pertolongan persalinan tetapi juga pada waktu membersihkan darah, bekas air ketuban, dan bahan lain dari pasien yang melahirkan dengan HIV. Penolong persalinan harus memakai kaca mata pelindung, masker, baju operasi yang tidak tembus air, dan harus sering kali membersihkan dan mencuci tangan. Membersihkan lender atau air ketuban dari mulut bayi hatus memakai mesin isap, tidak dengan kateter yang diisap dengan mulut (Crombleholme W.R, 1990). Bayi yang baru lahir segera dimandikan dengan air yang mengandung desinfektan yang tidak menganggu bayi (Roongpisuthipong A, 1995) Cunningham FG, et al. 2010. 2. Penanganan Pasca Persalinan Pada pasca persalinan dilakukan pencegahan terjadinya penularan melalui ASI, disamping penularan parenteral melalui suntikan dan luka lecet pada bayi. Pencegahan penularan dengan ASI dilakukan dengan mencegah pemberian ASI, tetapi pada Negara yang sedang berkembang hal ini masih menjadi perdebatan karena dikwatirkan bayi tidak mendapat pengganti ASI. Neonatus diberikan
8

Zidovudin syrup 2 mg/kgBB 4 kali sehari selama 6 minggu pertama kehidupannya. Ibu pengidap HIV harus dinasehatkan untuk mencegah kehamilan berikutnya dengan alat kontrasepsi. Metode kontrasepsi barier efektif mencegah transmisi virus. Penggunaan secara simultan non oxynol-9 spermaticidal agent dapat meningkatkan efektifitas disamping pendidikan kesehatan dengan praktek seksual yang aman. Cunningham FG, et al. 2010, Anderson J.R,1995. F. MANAJEMEN PERAWATAN BAYI BARU LAHIR DENGAN IBU HIV POSITIF Manajemen umum Bayi yang dilahirkan ibu dengan HIV positif maka : - Hormati kerahasiaan ibu dan keluarganya, dan lakukan konseling pada keluarga; - Rawat bayi seperti bayi yang lain, dan perhatian khususnya pada pencegahan infeksi;
-

Bayi tetap diberi imunisasi rutin, kecuali terdapat tanda klinis defisiensi imun yang berat, jangan diberi vaksin hidup (BCG, OPV, Campak, MMR);

- Pada waktu pulang, periksa DL, hitung Lymphosit T, serologi anti HIV, PCR DNA/RNA HIV. infeksi. Beri dukungan mental pada orang tuanya Anjurkan suaminya memakai kondom, untuk pencegahan penularan

Terapi Anti Retroviral Tanpa pemberian Antiretrovirus, 25% bayi dengan ibu HIV positif akan tertular sebelum dilahirkan atau pada waktu lahir, dan 15% tertular melalui ASI : Tentukan apakah ibu sedang mendapat pengobatan Antiretrovirus untuk HIV, atau mendapatkan pengobatan antiretroviral untuk mencegah transmisi dari ibu ke bayinya.Tujuan pemberian Antiretro Viral terapi adalah untuk menekan HIV viral load sampai tidak terdeteksi dan mempertahankan jumlah CD4 + sel sampai mencapai lebih dari 25%( Cloherty).

Kelola bayi dan ibu sesuai dengan protokol dan kebijakan yang ada, tujuannya untuk Profilaksis
-

Bila ibu sudah mendapat Zidovudine (AZT) 4 minggu sebelum melahirkan, maka setelah lahir bayi diberi AZT 2 mg/kg berat badan per oral tiap 6 jam selama 6 minggu, dimulai sejak bayi umur 12 jam.

Bila ibu sudah mendapat Nevirapine dosis tunggal selama proses persalinan dan bayi masih berumur kurang dari 3 hari, segera beri bayi Nevirapine dalam suspensi 2 mg/kg berat badan secara oral pada umur 12 jam.

Untuk mencegah PCP, berikan TMP 2,5 mg/kgBB 2 x sehari, pemberian 3 kali seminggu, diberikan sejak bayi umur 6 minggu sampai diagnosis HIV dapat disangkal (Polin), karena peak onset PCP adalah pada umur 3-9 bulan.

Jadwalkan pemeriksaan tindak lanjut dalam 2 minggu untuk menilai masalah pemberian minum dan pertumbuhan bayi (lihat Pemeriksaan Tindak Lanjut).

Bila bayi sudah terkena HIV


-

AZT untuk bayi cukup bulan sampai bayi berumur 90 hari:

Oral 2mg/kgBB tiap 6 jam atau IV 1,5 mg/kgBB tiap 6 jam

Untuk bayi kurang bulan: 1,5 mg/kg BB tiap 12 jam sampai 2 minggu kemudian 22mg/kgB tiap 8 jam Nevirapin

Neonatus sampai umur 2 bulan 14 hari pertama 5 mg/kg atau 120 mg/m2 2 kali sehari 14 hari kedua 120 mg/m2 2 kali sehari berikutnya 200 mg/m2 2 kali sehari sampai usia 2 bulan

10

Pemberian Minum Lakukan konseling pada ibu tentang pilihan pemberian minum kepada bayinya. Hargai dan dukunglah apapun pilihan ibu. Ijinkan ibu untuk membuat pernyataan sendiri tentang pilihan yang terbaik untuk bayinya. infeksi Terangkan kepada ibu bahwa menyusui dapat berisiko menularkan HIV. Meskipun demikian, pemberian susu formula dapat

meningkatkan risiko kesakitan dan kematian, khususnya bila pemberian susu formula tidak diberikan secara aman karena keterbatasan fasilitas air untuk mempersiapkan atau karena tidak terjamin ketersediaannya oleh keluarga. -

Terangkan pada Ibu tentang untung dan rugi pilihan cara pemberian Susu formula dapat diberikan bila mudah didapat, dapat dijaga kebersihannya dan selalu dapat tersedia; ASI Eksklusif dapat segera dihentikan bila susu formula sudah dapat disediakan. Hentikan ASI pada saat memberikan susu formula; Rekomendasi yang biasa diberikan adalah memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan, kemudian dilanjutkan ASI ditambah makanan padat setelah umur 6 bulan.

minum :

Dalam beberapa situasi, kemungkinan lain adalah : Memeras ASI dan menghangatkannya waktu akan diberikan; Pemberian ASI oleh Ibu susuan (Wet Nursing) yang jelas HIV negatif; Memberi ASI peras dari Ibu dengan HIV negatif.

Bantu ibu menilai kondisinya dan putuskan mana pilihan yang terbaik, dan dukunglah pilihannya. Bila ibu memilih untuk memberikan susu formula atau menyusui, berikan petunjuk khusus (lihat bawah). Apapun pilihan ibu, berilah petunjuk khusus (seperti dibawah ini) : Apabila memberikan susu formula, jelaskan bahwa selama 2 tahun ibu harus menyediakannya termasuk makanan pendamping ASI; Bila tidak dapat menyediakan susu formula, sebagai alternatif diberikan ASI secara eklusif dan segera dihentikan setelah tersedia susu formula;

11

Semua bayi yang mendapatkan susu formula, perlu dilakukan tindak lanjut dan beri dukungan kepada ibu cara menyediakan susu formula dengan benar.

Jangan memberikan minuman kombinasi (misal selang-seling antara susu hewani, bubur buatan, susu formula, disamping pemberian ASI), karena risiko terjadinya infeksi lebih tinggi dari pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif.

Pemberian susu formula : Ajari ibu cara mempersiapkan dan memberikan susu formula dengan Anjurkan ibu untuk memberi susu formula 8 kali sehari, dan beri lagi Beri ibu petunjuk secara tertulis cara mempersiapkan susu formula. Jelaskan mengenai risiko memberi susu formula dan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum. apabila bayi menginginkan.

cara menghindarinya. Bayi akan diare apabila tangan Ibu, air atau alat-alat yang digunakan tidak bersih dan steril, atau bila susu yang disediakan terlalu lama tidak diminumkan. Bayi tidak akan tumbuh baik apabila : jumlah tiap kali minum terlalu sedikit; frekuensi pemberiannya terlalu sedikit; susu formula terlalu encer; bayi mengalami diare.

1. Nasihati Ibu untuk mengamati apakah terdapat tanda bahaya pada bayinya, seperti: sedikit; Diare; Berat badan sulit naik. Minum kurang dari 6 kali dalam sehari atau minum hanya

2. Nasihati Ibu untuk melakukan kunjungan tindak lanjut : Kunjungan rutin untuk memonitor pertumbuhan; Meberi dukungan cara-cara menyiapkan formula yang aman;

12

Nasihati ibu untuk membawa bayinya bila sewaktu-waktu ditemukan tanda bahaya (lihat atas).

3. Pemberian ASI Bila ibu memilih menyusui, dukung dan hargai keputusannya. Pastikan bayi melekat dan mengisap dengan baik untuk mencegah terjadinya Mastitis dan gangguan pada puting susu. Nasihati Ibu segera kembali apabila ada masalah pada payudara atau putingnya, atau bayi mengalami kesulitan minum. Pada minggu pertama, nasihati Ibu melakukan kunjungan ke rumah sakit untuk menilai perlekatan dan posisi bayi waktu menyusu sudah baik, serta keadaan payudara ibu. Atur konseling selanjutnya untuk mempersiapkan kemungkinan ibu menghentikan menyusui lebih awal. 4. Pemeriksaan tindak lanjut setelah pulang Pemeriksaan darah PCR DNA/RNA dilakukan pada umur 1, 2, 4, 6 dan 18 bulan. Diagnosis HIV ditegakkan apabila pemeriksaan PCR DNA/RNA HIV POSITIP dua kali berturut selang satu minggu, bila keadaan demikian ditemukan, mulai diberikan pengobatan Antiretro Virus. G. KEWASPADAAN UNIVERSAL (UNIVERSAL PRECAUTION) 1. Definisi Kewaspadaan Universal Kewaspadaan universal yaitu tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi risiko penyebaran infeksi dan didasarkan pada prinsip bahwa darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal dari pasien maupun petugas kesehatan (Nursalam, 2007). Pada semua sarana kesehatan, termasuk rumah sakit, puskesmas dan praktek dokter dan dokter gigi, tindakan yang dapat mengakibatkan luka atau tumpahan cairan tubuh, atau penggunaan alat medis yang tidak steril, dapat menjadi sumber infeksi penyakit tersebut pada petugas layanan kesehatan dan pasien lain. Jadi seharusnya ada pedoman untuk mencegah kemungkinan penularan terjadi. Pedoman ini disebut sebagai kewaspadaan universal. Harus ditekankan bahwa pedoman tersebut dibutuhkan tidak hanya untuk melindungi terhadap penularan HIV, tetapi yang tidak kalah penting terhadap infeksi lain yang dapat berat dan sebetulnya lebih mudah menular.
13

2. Penerapan Kewaspadaan Universal Pasien terinfeksi atau tidak, setiap petugas layanan kesehatan harus menerapkan kewaspadaan universal secara penuh dalam hubungan dengan semua pasien (Menurut pusat informasi penyakit infeksi nosocomial tahuan 2009). Tindakan yang dilakukan adalah sebagai berikut : a. Cuci tangan selama 10-15 detik (pastikan sela-sela jari, punggung tangan, ujung jari dan ibu jari digosok menyeluruh) dengan sabun di air mengalir setelah berhubungan dengan pasien. b. Pakai sarung tangan sebelum menyentuh sesuatu yang basah atau

terkontaminasi dengan cairan tubuh. c. Pakai masker dan kacamata pelindung bila mungkin ada percikan

cairan tubuh. d. e. Tangani dan buang jarum suntik dan alat kesehatan tajam sekali pakai. Bersihkan dan disinfeksikan tumpahan cairan tubuh pasien dengan

disinfektan. f. Penanganan alat medis harus sesuai dengan standar disinfeksi dan

sterilisasi. g. Tangani semua bahan yang telah tercemar cairan tubuh pasien dengan

cara sterilisasi atau disinfeksi.


h.

Pembuangan limbah sesuai dengan prosedur pembuangan limbah RS.

3. Alasan Kewaspadaan Universal Sering Diabaikan Ada banyak alasan mengapa kewaspadaan universal tidak diterapkan, termasuk: a. b. Petugas layanan kesehatan kurang pengetahuan. Kurang dana untuk menyediakan pasokan yang dibutuhkan, misalnya

sarung tangan dan masker.

14

c. d.
e.

Penyediaan pasokan tersebut kurang. Petugas layanan kesehatan terlalu sibuk. Dianggap Odha harus mengaku bahwa dirinya HIV-positif agar

kewaspadaan dapat dilakukan. Kewaspadaan universal diciptakan untuk melindungi terhadap kecelakaan yang dapat terjadi. Kecelakaan yang paling umum adalah tertusuk jarum suntik, yaitu jarum suntik yang dipakai pada pasien menusuk kulit seorang petugas layanan kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa risiko penularan rata-rata dalam kasus pasien yang bersangkutan terinfeksi HIV adalah kurang lebih 0,3%, dibandingkan dengan 3% untuk hepatitis C dan lebih dari 30% untuk hepatitis B. Jika darah dari pasien yang terinfeksi mengenai selaput mukosa (misalnya masuk mata) petugas pelayanan kesehatan, risiko penularan HIV adalah kurang lebih 0,1%. Walaupun belum ada data tentang kejadian serupa dengan darah yang dicemar hepatitis B, risiko jelas jauh lebih tinggi (Pusat Informasi Penyakit Infeksi Nosocomial, 2009).

15

Anda mungkin juga menyukai