Anda di halaman 1dari 10

TUGAS KEWARGANEGARAAN

GEOPOLITIK DAN KONSEPSI, KETAHANAN NASIONAL, PEMIKIRAN AWAL, PENGEMBANGAN DAN PROSPEK HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA KHUSUSNYA DALAM BIDANG AGAMA DENGAN STUDI KASUS DI KOTA TANGERANG

Oleh : FITRIA INDRIYANI 1102008106 Kelompok 2 : Hak dan Kewajiban Warga Negara

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI TAHUN AJARAN 2010-2011

GEOPOLITIK DAN KONSEPSI, KETAHANAN NASIONAL, PEMIKIRAN AWAL, PENGEMBANGAN DAN PROSPEK HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA KUSUSNYA DALAM BIDANG AGAMA DENGAN STUDI KASUS DI KOTA TANGERANG I. PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama satu sama lain tanpa terkecuali. Persamaaan antara manusia selalu dijunjung tinggi untuk menghindari berbagai kecemburuan sosial yang dapat memicu berbagai permasalahan di kemudian hari. Hak asasi manusia adalah sesuatu yang diberikan oleh Tuhan dari sejak lahir. Hak merupakan sesuatu yang layak di terima oleh setiap manusia. Seperti hak dalam memeluk agama. Dalam bidang keagamaan, Hak dan Kewajiban warga negara tertuang pada pasal 29 ayat (2) yang menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Arti pesannya adalah: Hak untuk mengembangkan dan menyempurnakan hidup moral keagamaannya, sehingga di samping kehidupan materiil juga kehidupan spiritualnya terpelihara dengan baik dan Kewajiban untuk percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Umat beragama kini semakin tidak terbebaskan dari proses perubahan yang demikian cepat dan cair ini. Beragam literatur mencatat, segera setelah Indonesia mengalami masa transisi menuju demokrasi tiba, ekspresi keagamaan muncul demikian beragam, misalnya pada orientasi spiritual (Howell; 2005) atau politik (baca: Islam) (Azra; 2006, Abuza; 2007). Barangkali tidak langsung berkaitan, namun fakta sosial terbaca seolah kelompok agama dengan keyakinan mainstream kemudian secara terbuka berhadap-hadapan dengan kaum beragama yang berkeyakinan non mainstream. Pada preferensi politik dapat terbaca dari bermunculannya kelompok pro syariah yang oleh sebagian sarjana Barat disebut sebagai kalangan Islamis (Mehden, 2008), yang selain mendesakkan negara Islam, juga memiliki sentimen anti Kristen dan anti pemikiran sekuler. Sebagian kalangan menduga, kartel pelaku teror tumbuh dari lapisan umat yang berada dalam bingkai ini. Kelompok ini lantas berhadapan dengan kalangan Islam moderat yang mempertahankan ideologi Pancasila (Ramage, 1995). 2. POKOK PERMASALAHAN a. Realitas Agama dalam Masyarakat b. Kerukunan dan ketentraman antar umat beragama c. Kebebasan umat beragama dalam mendirikan tempat peribadatan 3. TUJUAN ANALISA Tujuan dari makalah ini adalah membahas perbedaan agama yang di anut oleh masyarakat di kota Tangerang dan tentang permasalahan yang timbul akibat harapan penulis adalah makalah ini dapat memberikan pesan dan informasi penting terhadap pembacanya agar menghindari konflik serupa di masa mendatang. 4. METODE ANALISA Makalah ini menggunakan metodologi kualitatif fenomenologi dengan metode pengumpulan data menggunakan dokumen.

II. LANDASAN TEORI PENULISAN KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI KOTA TANGERANG Propinsi Banten, khususnya Kota Tangerang, dapat dipotret sebagai sebuah wilayah yang populasinya bercampur antara homogen di satu wilayah dan heterogen di wilayah lain. Jika ditelusuri, di wilayah ini pun tidak luput dari problem relasi antarumat beragama. Kondisi demikian, yang rata-rata sama dengan wilayah lain dalam provinsi Banten. Hal di atas dikaitkan dengan kebijakan pemerintah dalam hal kerukunan seperti tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No 9 dan No. 8/2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan FKUB Dan Pendirian Rumah Ibadah, masih menyisakan masalah. Barangkali bukan hanya di Banten saja, bunyi PBM ini belum dipahami secara luas. M. Atho Mudzhar (2008: 16) juga menyampaikan masih terdapat kendala mengenai pemahaman isi PBM itu di beberapa daerah di Indonesia. Buntutnya, wadah-wadah kerukunan yang sekarang dinamakan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) ini belum terbentuk di setiap daerah. Khusus untuk wilayah Kota Tangerang, di luar masalah implementasi kebijakan di atas, terjadi juga serentetan peristiwa empiris yang mengganggu kerukunan umat beragama. Beberapa insiden malah belum ditemukan solusinya, seperti peristiwa penutupan Gereja Sang Timur di Karang Tengah, Ciledug, yang mulai meletup akhir Oktober 2004. Selain itu tempat ibadah menjadi bulan-bulanan, seperti pengrusakan Gereja Ellem di ruko Jalan RE Martadinata No 10 C RT 03/09, Cipayung, Ciputat; GPI di ruko Pondok Cabe, Kompleks Mutiara Centre Blok A3-5; Gereja Bukit Sion di Ruko Pondok Cabe, Kompleks Mutiara Centre Blok D12; dan Gereja Ellem di Ruko Pondok Cabe, Kompleks Mutiara Centre, Blok 28 Pamulang, Tangerang, Banten (Suara Pembaruan, 7 Juli 2004). Akibat peristiwa di atas sangatlah mungkin memunculkan krisis kepercayaan di antara umat beragama khususnya di Kota Tangerang. Ketertutupam bahkan penolakan terhadap umat berbeda agama, tentulah menjadi titik balik dari proses demokratisasi serta pembangunan nasional yang sedang digalakkan. Perlu juga dipertanyakan sejauh mana nilai kearifan lokal bertahan dan mampu difungsikan menjadi perekat antarumat beragama di wilayah ini. Oleh sebab itulah diperlukan analisis komprehensif terkait dengan kemunculan fenomena tersebut. Data dan informasi yang menyuguhkan fakta sosial di balik hubungan antaragama yang pasif bahkan cenderung eksklusif di sebagian wilayah di Kota Tangerang Banten di atas, telah mendorong untuk digali lebih dalam. Minimnya informasi mengenai interrelasi umat beragama di wilayah tersebut, tampaknya menyulitkan untuk diambil kebijakan terutama oleh pemerintah dalam mengantisipasi, hingga mencegah kemungkinan munculnya pergesekan antarumat beragama lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan mengumpulkan informasi dari persoalan yang tersebut di atas untuk mendukung terwujudnya sebuah analisis dan pemetaan sosial (social mapping) mengenai kondisi kerukunan dan kerentanan hubungan antarumat beragama di lokasi penelitian, yakni Kota Tangerang.

Kota Tangerang merupakan salah satu penyangga ibukota Jakarta, dan menjadi daerah limpahan berbagai kegiatan di Ibukota Negara DKI Jakarta. Di sisi lain Kota Tangerang dapat menjadi daerah kolektor sumber daya alam Kabupaten Tangerang sebagai daerah dengan sumber daya alam yang produktif. Pesatnya pertumbuhan Kota Tangerang juga dipercepat oleh keberadaan Bandara Internasional Soekarno-Hatta, yang sebagian arealnya termasuk ke dalam wilayah administrasi Kota Tangerang. Gesekan ditengah Kedamaian. Keragaman umat pemeluk agama membawa implikasi adanya perjumpaan serta interaksi di antara mereka. Dalam konteks sosial masyarakat dan etnisitas yang beragam, relatif tercipta suasana yang kondusif dalam kehidupan bersama sebagai warga bangsa. Namun memang tidak dipungkiri, bahwa di sela-sela kebersamaan tumbuh pula kesalingcurigaan di antara umat beragama tersebut. Aktivitas rumah-rumah ibadah, di samping telah menyumbang bagi terwujudnya keharmonisan antaragama, tetapi juga dari sana tumbuh dan berkembang sentiment keagamaan. Di samping untuk pusat peribadatan secara ritual, fungsi rumah ibadah juga sebagai pemusatan pendidikan dan dakwah keagamaan. Pusat pembinaan calon-calon missionaris bagi umat Kristiani, dan pembinaan calon-calon mubaligh, bagi umat Muslim. Sebagai kota yang dihuni oleh penganut agama yang beragam, wilayah Kota Tangerang juga tidak sepi dari problem yang menyertainya. Sejauh ini, merujuk pada catatan pihak kepolisian Resort Kota Tangerang, kasus-kasus yang muncul terkait hubungan antarumat beragama di Kota Tangerang yang paling sering timbul ke permukaan adalah di sekitar pendirian rumah ibadah, atau penggunaan bangunan tertentu untuk beribadah. Untuk gangguan dalam beribadah sendiri, dalam pengertian ketika umat sedang beribadah kemudian datang gangguan, sampai saat ini belum pernah terjadi di Tangerang. Hal ini dinyatakan oleh salah seorang pengurus MUI Kota Tangerang sebagai berikut. Bahwa belum pernah terdengar laporan adanya larangan atau gangguan umat non Muslim beribadah, baik di gereja atau di rumah-rumah yang dijadikan tempat ibadah. Perlu dibedakan persoalannya dengan proses IMB-nya yang sering mendapat penolakan. Bentuk pelarangan fasilitas ibadah itu beragam, termasuk antara lain munculnya sekelompok masyarakat yang mempersoalkan pembangunan rumah ibadah, baik yang sifatnya renovasi maupun pembangunan dari awal. Selain itu, masyarakat juga mempersoalkan penggunaan rumah tinggal sebagai tempat ibadah. Munculnya protes warga itu biasanya bertepatan dengan momentum perayaan Natal, yaitu selama Bulan Desember. Biasanya memasuki Bulan Desember, persoalan sekitar masalah ini mulai muncul yang nanti agak mereda lagi sampai menjelang pergantian tahun. Protes terhadap pembangunan rumah ibadah itu muncul dalam situasi di mana jumlah umat pendukung tempat ibadah itu ternyata sedikit. Konteksnya menurut salah seorang informan, sama saja dengan kesulitan umat Islam di Bali atau NTT yang kesulitan membangun tempat ibadah. Hal ini menurut informan tersebut sangat manusiawi, jika masyarakat setempat keberatan dengan pendirian tempat ibadah agama lain. Kenyataan ini seharusnya membuat pemeluk agama lain (non muslim) memahaminya, bahwa mereka berada di tengah komunitas Muslim.

Pasca keluarnya Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006, di Kota Tangerang juga didirikan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagaimana bunyi aturan dalam PBM tersebut. Setelah berdirinya FKUB, tidak lama berselang bermunculanlah pengajuan permohonan pendirian rumah ibadah. Hal yang paling menonjol adalah maraknya proses pengajuan IMB untuk pendirian rumah ibadah. Hampir semua komunitas keagamaan terutama non muslim getol mengajukan permohonan perijinan tersebut. Namun di sisi lain, rumah ibadah yang ada selama ini juga sebagian besar belum memiliki IMB, termasuk masjid sekalipun. Beberapa eksponen MUI Kota Tangerang yang mengetahui rencana penerbitan PBM tersebut, dua bulan sebelumnya mengusulkan kepada pihak pemkot supaya dilakukan pemutihan IMB terhadap masjid-masjid di wilayah Kodya Tangerang. Proses tersebut sempat berjalan, namun tidak mencakup semua masjid ketika PBM itu disahkan karena terkendala urusan yang cukup pelik menyangkut status tanah masjid yang antara lain berstatus waqaf perorangan. Hal ini juga dipertanyakan oleh informan dari kalangan non muslim yang kesulitan mengurus IMB bagi rumah ibadah mereka. Asyuntapura dari Konghucu mengakui dengan PBM itu sebenarnya menjamin hak beribadah warga Konghucu. Namun masalahnya, ketika memproses pendirian rumah ibadah, umat Konghucu tidak mungkin dalam waktu sekarang ini dengan mengikuti aturan dalam PBM itu akan diperbolehkan mendirikan Litang. Kendalanya karena umat Konghucu terpencar di beberapa wilayah dan sulit menemukan jumlah 90 jemaat dalam satu wilayah setempat. Komunitas Kekristenan juga banyak mengajukan perijinan ke pihak FKUB. Beberapa perencanaan pembangunan Gereja memiliki persoalan dengan perijinan, tanpa memilah gereja yang sudah lama berdiri maupun yang baru akan berdiri. Gereja HKBP di wilayah Tanah Tinggi yang telah berdiri sejak tahun 1970-an mendapatkan hambatan ketika melakukan renovasi. Kasusnya sempat menghangat dan mencuat di publik. Konflik mulai menghangat di tahun 2007 dan perlahan mereda di tahun 2009 dengan sejumlah renovasi bangunan berjalan seperti rencana. Sama halnya dengan kelompok Kristen, kesulitan juga menimpa umat Katolik. Namun dibandingkan kelompok Katolik, gereja Protestan dengan banyaknya jumlah denominasi lebih sering mengemuka sebagai kasus, karena masing-masing denominasi mengajukan ijin untuk mendirikan gereja. Bahkan, di dalam gereja Protestan juga tidak luput dari warna kesukuan yang kental. Kenyataan demikian ini, khusus maraknya gereja bernuansa kesukuan, mengundang keberatan dari pengurus MUI Kota Tangerang. Ada pernyataan dari salah seorang pengurus MUI Kota Tangerang sebagai berikut, Dulu saya datang pertama kali ke Tangerang, khotbah di masjid memakai Bahasa Sunda. Ini wajar sebab kebanyakan memang orang Sunda. Tapi lama kelamaan khutbahnya memakai Bahasa Indonesia. Maksudnya supaya jemaah paham semua karena belakangan banyak pendatangnya. Nah, ini mengapa gereja malah mundur?. Oleh sebab itu, muncullah anggapan dari sebagian kalangan Islam di Kota Tangerang, bahwa komunitas HKBP ini tidak realistis dalam konteks masyarakat Kodya Tangerang.

Dalam pemahaman salah seorang pengurus MUI Kota Tangerang, peraturan dalam PBM No. 8 dan 9 tahun 2006 tentang jemaat suatu tempat ibadah terjemahannya adalah minimal 90 jemaat warga setempat, misalnya 1 RW., 1 Kelurahan, 1 kecamatan, atau 1 kabupaten/kodya. Namun hal ini tidak berlaku bagi jemaat yang berasal dari lintas kabupaten, bahkan propinsi. Hal ini karena dianggap kesulitan menentukan pihak mana yang akan memberi legalitas wilayah tinggal jemaat bersangkutann untuk memenuhi prosedur perijinan tempat ibadah. Syarat minimal 90 orang jemaat dalam PBM itu praktiknya harus dilampirkan foto kopi KTP dan dilegalisir. Idealnya legalisir itu diperoleh dari kecamatan, jadi tempat ibadah itu menampung katakanlah jemaat satu kecamatan. Tapi kalau dari mana-mana, siapa yang berhak melegalisir? Ini masalahnya. Pernah kita menemukan kasus kelengkapan berkas pengajuan pendirian tempat ibadah, tapi setelah kita telusuri, ternyata jemaatnya datang dari Jakarta juga. Ya nggak bisa lah. Nah di sinilah mengapa agak susah non muslim bikin tempat ibadah. Bersamaan dengan itu, gerakan proselitisasi (dakwah) untuk menyebarkan suatu agama kepada umat lain juga kerap terjadi di wilayah Kodya Tangerang. Pihak yang sering mendapat iming-iming untuk pindah agama. yang secara ekonomi memang kurang mampu. Dilihat dari pola ini mengindikasikan adanya sikap saling curiga yang masih melekat dalam cara pandang sebagian kalangan beragama di wilayah Kodya Tangerang. Seorang informan, dari kalangan pemuda Islam, mengungkapkan adanya ketakutan warga umat Islam Tangerang terhadap meruyaknya tempat pembangunan rumah ibadah dan pusat pendidikan agama lain. Ketakutan itu lebih dipandang sebagai upaya pembelokan akidah anak-anak yang nantinya ke agama lain. Hal ini menjawab juga mengapa perihal renovasi bangunan di lokasi tempat ibadah, misalnya yang menimpa salah satu gereja di wilayah Perum yang terletak di wilayah Kecamatan Tangerang, yang hendak membangun auditorium ditentang oleh warga sekitar, dengan tuduhan hendak merenovasi gereja. Kasus jual beli tanah juga menjadi masalah jika pihak pembeli adalah yayasan milik non muslim. Seperti yang terjadi pada kasus pembangunan gereja Sang Timur, pembangunan Sekolah Strada di Pabuaran Indah plus rumah ibadah oleh Yayasan St. Aquino. Letak kantor yayasan ini sendiri berada di jantung Kota Tangerang dan menyatu dengan sekolah. Lokasinya agak masuk ke dalam dari jalan raya Otista, Tangerang. Jarak sekolahan dengan jalan raya berkisar 300an meter. Di samping sekolah ini didirikan perumahan Taman Pabuaran Indah yang baru berusia satu tahun. Tidak jauh dari yayasan ini berdiri masjid yang cukup besar, yaitu Masjid Al Khairat. Diketahui masyarakat, bahwa tanah yang dibeli semula dianggap untuk memperluas areal sekolah. Perkembangan kemudian menjadi memanas, setelah beredar kabar akan juga dibangun gereja. Sekali lagi, soal gereja menjadi isu sensitif di Kodya Tangerang. Isunya menjadi ketakutan akan terjadinya jual-beli akidah.

Di sisi lain, menjamurnya rumah ataupun ruko yang dijadikan tempat ibadah bagi kelompok keagamaan tertentu belakangan ini masih terus marak dan disertai penolakan. Salah satu kasusnya adalah protes warga terhadap rumah yang dijadikan tempat ibadah Gereja Bethel Indonesia (GBI) Pondok Bahar, yang berada di wilayah Ciledug. Penolakan dari warga disampaikan dalam bentuk protes dan membentangkan spanduk di pagar rumah yang dijadikan gereja tersebut. Isi spanduk itu menegaskan penolakan warga atas penggunaan rumah tersebut sebagai sarana ibadah. Menurut penuturan beberapa pihak, sebenarnya sebagian dari kelompok keagamaan ini telah mengajukan diri untuk membangun gereja, namun belum terwujud. Proses perijinan dirasakan mampet. Kondisi ini dijadikan alasan, mengapa mereka memilih menggunakan rumah sebagai tempat ibadah. Atas kasus ini, seorang informan dari pihak GBI, mengharapkan seharusnya pemerintah Kota Tangerang memberikan solusi. Paling tidak, menyikapi reaksi masyarakat sedemikian rupa, misalnya membentuk tim untuk melakukan studi kelayakan di mana tempatnya yang layak untuk mendirikan tempat ibadah. Tidak kalah pentingnya juga menyelidiki mengapa umat Islam di Tangerang paling alergi mendengar kata gereja, katanya.

III. POLA PIKIR


PANCASILA

UUD 1945

Hak dan Kewajiban Warga Negara

Bidang Politik

Bidang Pembanguna n

Bidang Ekonomi

Bidang Agama

Bidang Pendidikan

Bidang Hukum
Dalam Bidang Agama

kum Menteri Agama Peraturan Bersama Menteri Forum Kerukunan Umat Beragama

Memeluk Salah Satu Agama yang Diakui oleh Negara

Menerima adanya Agama Lain yang diakui Oleh Negara

Tercipta Suatu Masyarakat yang Memiliki Rasa Toleransi

Kerukunan Antar Umat Beragama

IV. PENUTUP 1. KESIMPULAN a. Setiap warga negara berhak untuk memilih satu Agama yang akan dianutnya. Setiap pemeluk agama seharusnya mempunyai sifat toleransi agar tercipta hubungan yang harmonis antar pemeluk agama. b. Berbagai macam agama yang terdapat di kota Tangerang dapat menimbulkan perbedaan. Perbedaan tersebut dapat membentuk suatu konflik atau suatu masalah yang menghilangkan kerukunan antar umat beragama. c. Banyak masyarakat di kota Tangerang yang melakukan pelarangan fasilitas ibadah, termasuk antara lain munculnya sekelompok masyarakat yang mempersoalkan pembangunan rumah ibadah, baik yang sifatnya renovasi maupun pembangunan dari awal. Selain itu, masyarakat juga mempersoalkan penggunaan rumah tinggal sebagai tempat ibadah. d. Gerakan proselitisasi (dakwah) untuk menyebarkan suatu agama kepada umat lain juga kerap terjadi di wilayah Kodya Tangerang. Pihak yang sering mendapat iming-iming untuk pindah agama. yang secara ekonomi memang kurang mampu. Dilihat dari pola ini mengindikasikan adanya sikap saling curiga yang masih melekat dalam cara pandang sebagian kalangan beragama di wilayah Kodya Tangerang.

2. SARAN a. Setiap warga negara seharusnya memiliki rasa toleransi antar umat beragama. b. Masyarakat harus lebih menerima keberadaan Agama lain di sekitar lingkungannya. c. Semua masyarakat harus dapat menghormati terhadap penganut agama lain. d. Semua masyarakat harusnya lebih sadar bahwa Indonesia adalah Negara Beragama,dengan 6 Agama yang di terima di negara ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abas, Zainul. Hubungan Antar Agama di Indonesia: Tantangan dan Harapan. [t.d.] Hali, Damianus J. 2007. Bahan Kuliah Fenomenologi Agama. http://id.wikipedia.org

10

Anda mungkin juga menyukai