Anda di halaman 1dari 19

BAB I PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Bagi suatu negara, pajak merupakan sumber pemasukan bagi pemerintah yang cukup penting dalam mengisi pembangunan di semua sektor. Pajak tidak hanya dirasakan urgensinya bagi kepentingan nasional oleh pemerintah pusat, melainkan juga dirasakan begitu besar masyarakat di daerah yang bersangkutan. Oleh karenanya sebagian besar hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan tersebut diserahkan kepada Pemerintah Daerah sebagai pendapatan daerah yang setiap tahun anggaran dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Daerah. Dengan demikian penggunaan hasil penerimaan pajak sebagaimana di atas diharapkan akan merangsang masyarakat di daerah letak obyek pajak untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak mereka, yang sekaligus mencerminkan sifat kegotong-royongan rakyat dalam pembiayaan pembangunan. Perlu juga dalam otonomi daerah, diperlukan sumber dari penerimaan di daerah, maka menjadi penting peranan Pajak Bumi dan Bangunan dalam rangka otonomi daerah. Dan ternyata juga keterlibatn PBB melibatkan Pemerintahan Daerah pada Pajak Bumi dan Bangunan. Karena sekarang penempatan/ penetapan selama ini ada bersama dengan Pemerintahan Daerah, dalam hal menetapkan NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) maupun pelaksanaan penagihan. Pajak Bumi dan Bangunan dikenakan terhadap bumi dan bangunan menjangkau semua lapisan masyarakat dengan stratifikasi sosial yang beragam. Oleh karenanya berbagai ketentuan di dalam Pajak Bumi dan Bangunan harus diciptakan dengan mempertimbangkan pula kepentingan dan kondisi masyarakat selaku wajib pajak. Satu di antara banyak hal yang penting berkaitan dengan pengaturan dalam Pajak Bumi dan Bangunan adalah mengenai waktu pembayaran utang pajak. Dalam Undang-undang tentang Pajak Bumi dan 5 Bangunan (PBB), yakni UU No. 12 Tahun 1985 yang telah diundangkan dengan UU No. 12 Tahun 1994, khususnya mengenai pembayaran pajak ditentukan berdasarkan waktu yang dihitung sejak saat diterimanya SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) ataupun SKP (Surat Ketetapan Pajak) oleh wajib pajak

Wajib pajak pada umumnya tidak mengetahui mekanisme penetapan besarnya pajak yang harus dibayar. Wajib pajak tidak mengetahui dasar yang dipakai pemerintah untuk menetapkan besarnya nilai objek pajak tersebut. Bahkan untuk menentukan luas bangunan yang tertera dalam SPPT petugas pajak tidak mengukurnya secara langsung. Ada kesan bahwa petugas pajak "main tembak" yang mengakibatkan ketidakpuasan bagi wajib pajak. Kadangkadang nilai objek pajak dinaikkan jauh dari nilai objek pajak sebelumnya. Mengenai permintaan NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) di masyarakat menjadi permasalahan karena masyarakat tidak mengetahui apa yang menjadi landasan untuk menetapkan NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) dan bagaimana peranan daripada aparat-aparat, dan perlunya penetapan NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) dan peran serta masyarakat dalam membangun segala macam aspek kehidupan. Karena itu bisa jadi mungkin, bahwa besaran NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) harus diikutkan peranan masyarakat, karena pada akhirnya penerimaan dari pajak besar dan bangunan diberikan kepada Pemerintah Daerah. Dalam rangka demokrasi Indonesia perlu transparansi dalam menetapkan besaran dari tarif peningkatan pajak. Dalam transparansi itu antar lain nilai jual bangunan. Menurut Pasal 9 UU RI No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994.

BAB II KERANGKA TEORI

Dengan uang yang berasal dari penyetoran pajak Negara memperoleh dukungan dana untuk lancarnya roda pemerintahan, tetapi di sisi yang lain apabila penyetor pajak dilaksanakan dengan tanpa terkendali dapat berakibat pemerasan terhadap rakyat. Untuk tetap dalam koridor yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat bangsa dan negara, maka pungutan pajak harus taat asas dan mematuhi aturan-aturan hukum yang berlaku. Untuk adanya kontrol dari masyarakat maka para wajib pajak perlu memahami betul-betul apa yang menjadi kewajibannya sebagai wajib pajak serta memahami betul apa fungsi pajak. Menurut Prof.Dr. Rochmat Soemitro, S.H., Guru Besar Hukum Pajak pada Universitas Pajajaran, Bandung, mengatakan: "Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara (peralihan kekayaan dari sektor Pemerintah) dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum" Menurut Prof.Dr. PJA Adriani (Guru Besar Hukum Pajak pada Universitas Amsterdam), mengatakan: "Sumber penerimaan negara yang pokok adalah Pajak, yaitu iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelanggarakan pemerintahan Fungsi Pajak 1.Fungsi Budgetter (pemasukan pada kas negara) yang untukterlaksananya dapat dipaksakan oleh undang-undang; 2.Fungsi Reguleren (untuk mencapai tujuan penting pemerintah); Dalam pembahasan ini yang dimaksud dengan objek pajakadalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan darimodal, yaitu bunga, deviden dan royalti.Wajib pajak adalah, pihak yang diwajibkan untuk bayar pajak,bisa perseorangan, bisa juga badan hukum.Fiscus adalah petugas pajak yang berwenang untuk melakukanpemungutan pajak.Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh manfaat dari bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, karena mendapat sesuatu hak dari kekuasaan negara, wajibmenyerahkan sebagian dan kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak.Sebelum berlakunya

undang-undang ini, terhadap tanah yang tunduk pada hukum adat telah dipungut pajak berdasarkanUndang-undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 dan terhadap tanahyang tunduk padahukum barat dipungut pajak atas tanah dan bangunan yang didasarkan pada Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 serta lain-lain pungutan daerah atas tanah dan bangunan. Dengan mengadakan pembaharuan sistem perpajakan melalui penyederhanaan yang meliputi macam-macam pungutan atas tanah dan/atau bangunan, tarif pajak dan cara pembayarannya, diharapkan kesadaran perpajakan dari masyarakat akan meningkat, sehingga penerimaan pajak akan meningkat pula. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dimiliki Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dikenakan pajak penentuan pungutan Pajak Bumi dan Bangunan atas obyek pajak yang digunakan oleh negara untuk menyelenggarakan pemerintahan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP).

BAB III ANALISIS Struktur dan Klasifikasi Anggaran Negara 1. Struktur Anggaran Struktur anggaran mencerminkan pengelompokkan komponen-komponen anggaran berdasarkan suatu kerangka tertentu. Disamping mencerminkan system penganggaran, pengelompokkan komponen-komponen anggaran berdasarkan suatu kerangka tertentu ini sangat penting artiya dalam memudahkan proses pengelolaan anggaran. Berdasarkan strukturnya ini, maka anggaran dapat dibedakan menjadi : anggaran terpilah (the devided budget), dan anggaran komprehensif (the comprehensive budget). 1.1 Anggaran Terpilah Dalam anggaran terpilah, komponen anggaran dipisahkan secara tajam menjadi anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Yang dijadikan sebagai criteria dalam melakukan pemilahan itu adalah : a) Jangka waktu pelaksanaan kegiatan. Barang dan jasa yang diperoleh dan dikonsumsi di dalam satu periode akuntansi atau satu tahun anggaran, diklasifikasikan sebagai anggaran rutin. b) Kemungkinan suatu kegiatan untukmendatangkan penerimaan Negara. Dalam hal ini juga diharapkan proyek tersebut dapat dibiayai baik seluruhnya atau sebagian dari proyek itu sendiri. Kriteria ini sangat berguna apabila dihubungkan dengan pendanaan suatu kegiatan dengan pinjaman luar negeri. Walaupun terhadap pinjaman luar negeri ini kita harus membayar bunga, namun beban tersebut akan lebih murah bila hasil pinjaman tersebut digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang menghasilkan penerimaan Negara di kemudian hari. c) Jumlah uang yang digunakan. Merupakan hal yang wajar untuk memasukkan suatu kegiatan yang biayanya melampaui suatu jumlah tertentu ke dalam anggaran pembangunan. Kelebihan anggaran terpilah :

Anggaran terpilah memisahkan antara pengeluaran rutin dengan pengeluaran investasi, maka proses pertanggungjawaban anggaran dapat dilakukan dengan mudah. Khususnya untuk Negara berkembang. Melalui anggaran terpilah, alokasi penggunaan pinjaman pemerintah dpat dimonitor dengan mudah. Kelemahan anggaran terpilah : Seringkali terjadi ketidakcocokan antara para perencana dengan para penyusun anggaran dalam menentukan pengeluaran yang masuk dalam kategori anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Pemisahan anggaran rutin dan anggaran pembangunan sering menimbulkan salah anggapan. 1.2 Anggaran Komprehensif Anggaran komprehensif adalah suatu anggaran tunggal yang mencakup aktifitas pemerintah secara keseluruhan. Dalam anggaran komprehensif ini, alokasi sumber dana dapat dilakukan secara lebih rasional yaitu dengan cara mengevaluasi sumber dana dan penggunaannya secara menyeluruh. Beberapa kekurangan anggaran komprehensif : Anggaran tambahan dn perubahan yang biasanya digunakan untuk mendukung pengeluaran-pengeluaran yang tidak terlihat pada waktu penyusunan anggaran komprehensif, menyediakan peluang untuk mengalokasikan sejumlah dana guna membiayai perubahanperubahan kebijaksanaan yang belum mendapat persetujuan dari legislative. Negara berkembang dengan system federal, transksi dari pemerintah daerah sukar sekali dimasukkan ke dalam suatu anggaran nasional. Sehingga anggaran untuk pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam konsolidasinya ke dalam anggaran nasional. Kemungkinan terjadinya anggaran yang berulang (repetitive budgeting). 2. Struktur dan Komponen APBN-RI Struktur APBN-RI dengan mudah dapat dikelompokkan sebagai struktur anggaran terpilah. 2.1 Anggaran Penerimaan Unsur-unsur penerimaan Negara dapat dikelompokkan atas dua kelompok besar sebagai berikut: (a) penerimaan dalam negeri; dan (b) penerimaan luar negeri. Penerimaan dalam negeri dapat berupa penerimaan bumi dan gas alam (migas) dan penerimaan diluar minyak bumi dan gas alam (nonmigas), sedangkan penerimaan luar negeri dapat berupa bantuan program dan bantuan proyek.

Yang disebut bantuan program adalah penerimaan Negara dalam bentuk pinjman atau utang luar negeri yang diterima berupa uang. Sedangkan yang dimaksud dengan bantuan proyek adalah penerimaan Negara dalam bentuk pinjaman atau utang luar negeri yang diterima berupa barang dan jasa. Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa anggaran penerimaan pada dasarnya dapat dirinci kedalam lima unsur penerimaan utama sebagai berikut : Penerimaan minyak bumi dan gas alam Penerimaan pajak Penerimaan bukan pajak Bantuan program Bantuan proyek 2.2 Anggaran Pengeluaran Anggaran pengeluaran dalam garis besarnya juga juga dikelompokkan kedalam dua kelompok utama yaitu: (a) pengeluaran rutin; (b) pengeluaran pembangunan. Yang dimaksud dengan pengeluaran rutin adalah pengeluaran yang ditujukan untuk membiayai kegiatan sehari-hari pemerintah. Pengeluaran rutin secara terinci dapat dikelompokkan ked ala ena unsure pengeluaran sebagai berikut : Belanja pegawai Belanja barang Subsidi daerah otonom Bunga / cicilan utang Pengeluaran rutin lainnya Sedangkan yang dimaksud dengan pengeluarn pembangunan adalah pengeluaran pemerintah yang bersifat investasi, dan ditujukan untuk melaksanakan tugas pemerintah sebagai salah satu pelaku pembangunan. 3. Klasifikasi Anggaran Klasifikasi anggaran terutama ditujukan untuk keperluan-keperluan sebagai berikut : a) Untuk memudhkan proses perumusan sasaran program-program yang hendak dilakukan b) Untuk memudahkan proses formulasi penerimaan dan pengeluaran secara kuantitatif c) Untuk memudahkan pelaksanaan anggaran d) Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan anggaran e) Untuk memudahkan pelaksanaan analisa ekonomi

f) Untuk memudahkan pemeriksaan terhadap realisasi anggaran g) Untuk memudahkan pelaksanaan evaluasi terhadap pencapaian sasaran-sasaran yang telah digariskan Sedangkan bentuk pengklasifikasiannya dalam garis besarnya dapat dibedakan berdasarkan beberapa pendekatan sebagai berikut : 3.1 Klasifikasi Organik dan Objek Klasifikasi organic dan objek sebenarnya merupakan dua bentuk pengklasifikasian anggaran yang berbeda. Dalam klasifikasi organic, anggaran dikelompok-kelompokkan berdasarkan departemen atau lembaga Negara. Kemudian sebagai kelanjutan dari klasifikasi organic, setiap pengguna uang mengklasifikasikan pengeluarannya sesuai dengan objek atau jenis pengeluaran seperti: gaji, biaya perjalanan, pembelian alat dan bahan, dll. Tujuannya adalah untuk menyeragamkan standar pengawasan dan pertanggungjawaban pada berbagai tingkat manajemen. Beberapa kelemahan jika klasifikasi ini digunakan tanpa disertai dengan metode klasifikasi lainnya : Klasifikasi jenis ini hanya menekankan perhatiannya pada pengeluaran secara individual, tapi mengabaikan pelaksanaan program secara keseluruhan. Seringkali sangat sulit membuat klasifikasi yang benar-benar tepat bagi semua unit organisasi. 3.2 Klasifikasi Fungsional Klasifikasi fungsional biasanya digunakan untuk menunjukkan tujuan umum yang hendak dicapai oleh pengeluaran pemerintah. Dengan klasifikasi fungsional ini, maka cakrawala pengalokasian dan pengkajian keputusan yang berkaitan dengan anggaran diharapkan dapat diperluas. 3.3 Klasifikasi Ekonomi Dalam klasifikasi ekonomi ini, anggaran diklasifikasikan sedemikian rupa sehingga menyajikan informasi yang berguna bagi proses pengambilan keputusan ekonomi. Hal-hal yang perlu diketahui oleh pemerintah dalam mengelola perekonomian misalnya adalah: perbandingan alokasi anggaran untuk belanja konsumsi dan untuk pengadaan sarana yang bersifat meningkatkan produksi, dampak anggaran terhadap pendapatan, dampak anggaran terhadap penyediaan lapangan kerja, dan lain sebagainya. 3.4 Klasifikasi Berdasarkan Program Dibandingkan dengan klasifikasi yang lain, klasifikasi berdasarkan program ini lebih memusatkan perhatiannya terhadap barang dan jasa yang dihasilkan. Yang dimaksud dengan

program dalam hal ini adalah serangkaian kegiatan yang dimulai sejak penyiapan barang dan jasa secara intern, sampai dengan penyerahannya kepada pihak ekstern.

3.5 Klasifikasi Terpadu Dalam perkembangnnya, klasifikasi anggaran Indonesia secara berangsur-angsur dilengkapi dengan klasifikasi berdasarkan fungsi dan berdasarkan karakteristik ekonomi. Sehingga dapat dikatakan bahwa saat ini Indonesia menganut klasifikasi terpadu.

1.

KEBIJAKAN ANGGARAN BELANJA NEGARA

Sebagai salah satu piranti utama pelaksanaan kebijakan fiskal , pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN ) dalam dua tahun anggran terahir menghadapi tantangan berat . Seperti diketahui , sejak tahun 1997 perekonomian Indonesia dihadapkan pada berbagai permasalahan dan tantangan , diawali oleh adanya krisis moneter yang dipicu oleh krisis mata uang baht Thailand pada bulan juli 1997 dan menjalar ke Asia Tenggara , dan berkembang menjadi krisis ekonomi , bahkan berlanjut menjadi krisis kepercayaan didalam negeri. KEBIJAKAN POKOK DIBIDANG APBN Dibidang perpajakan faktor-faktor positif yang diperkirakan masih dapat mendukung penerimaan pajak yang cukup berarti , antara lain adalah adanya pencabutan fasilitas

perpajakan dari beberapa sektor usaha , serta kenaikan nilai transaksi dibidamg pertambangan , kanaikan nilai rupiah dan transaksi impor, pemberlakuan UU tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB )Serta meningkatnya coverage ratio. Sementara itu , kebijaksanaan tingkat suku bungan deposito dan SBI yang cukup tinggi , dengan maksud untuk menarik minat masyarakat agar menyimpan dananya disektor perbankan , sekaligus sebagai upaya meredam spekulasi dalam perdagang valuta asing , secara tidak langsung memberikan dampak ynag cukup menguntungkan bagi upaya mobilisasi penerimaan pajak penghasilan ( PPh ). Namun demikian hal ini bersifat sementara , karena kebijaksanaan suku bunga tinggi kurang menguntungkan bagi kegiatan dunia usaha , yang justru merupakan objek pengenaan PPh .

Disisi pengeluaran pembangunan , anggaran belanja pembangunan diharapkan dapat berperan mempercepat upaya proses stabilisasi dan reformasi struktural ,mengingat dalam masa krisis moneter dan ekonomi dewasa ini sektor masyrakat dan dunia usaha ( swasta ) kurang mampu menjadi lokomotof kegiatan ekonomi .Berkaitan dengan itu , dilaksanakan penajaman prioritas alokasi dan peningkatan efesiensi penggunaan anggaran belanja pembangunan , penundaan-penundaan proyek-proyek dan kegiatan pembangunan yang belum mendesak , serta penyediaan tambahan anggran untuk meningkatkan pengusaha kecil menengah dan koperasi .Dalam lingkup sektoral , prioritas alokasi anggaran belanja pembangunan diberikan pada sektor-sektor yang menunjang peningkatan penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha , pemenuhan kebutuhan pokok dan pengembangan produksi pangan dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi , pemenuhan kebutuhan dasar dibidang pendidikan dan kesehatan dalam rangka memperkuat jaring pengaman sosial , serta operasi dan pemeliharaan proyek prasarana dan sarana dasar. 1.1 PENERIMAAN DALAM NEGERI

Sejalan dengan perkembangan ekonomi saat ini , peran penerimaan dalam negeri bagi APBN menjadi makin penting , baik dalam rangka pembiayaan kegiatan pemerintah maupun dalam kaitannya dengan pelaksanaan kebijakan fiskal . Oleh karena itu , penerimaan dalam negeri yang terdiri dari penerimaan minyak bumi dan gas alam ( migas ), penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak senantiasa dikembangkan dari waktu kewaktu . Berkaitan dengan kurang menentunya perkembangan penerimaan migas yang sangat ditentukan oleh berbagai faktor eksternal yang variatif dan sulit untuk diperkirakan , maka harapan pengembangan penerimaan dalam negeri dititikberatkan pada penerimaan perpajakan. Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak yang meliputi laba BUMN dan

berbagai jenis penerimaannya yang berasal dari departemen/ lembaga pemerintah nondepartemen terus diupayakan peningkatannya . Hal itu dilakukan melalui ditempuhnya berbagai kebijksanaan dengan harapan agar penerimaan ini dapat memberikan kontribusi yang makin besar bagi penerimaan dalam negeri. Langkah yang ditempuh antara lain pemberlakuan Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta upaya privatisasi BUMN. A.PENERIMAAN MINYAK BUMI DAN GAS

Komoditas minyak bumi dan gas alam , sampai dengan saat ini masih memegang peran yang cukup penting , baik sebagai sumber pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri maupun sebagai sumber penerimaan negara. Walaupun dalam beberapa tahun terakhir ini sumbangannya terhadap penerimaan negara tidak sebesar pada priode sebelumnya , penerimaan dari minyak bumi dan gas alam ( migas ) merupakan sumber penerimaan yang handal bagi penerimaan negara. Tingkat produksi minyak bumi dan kondensat didalam negeri selama empat tahun pelaksanaan Repelita VI menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun. Melihat kepada perkembangan harga dan produksi minyak mentah Indonesia dipasar Internasional serta produksi dan ekspor LNG dan LPG , maka empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI , penerimaan minyak bumi rata-rata tumbuh 36,64 persen per tahun, sedangkan penerimaan gas rata-rata 40,64 persen per tahun . B. PENERIMAAN PERPAJAKAN Sejalan dengan berkembangnya kebutuhan pembiayaan pembangunan dan aktivitas pemerintahan , kebutuhan akan peningkatan penerimaan negara menjadi semakin mendesak . Untuk memenuhi kebutuhan tersebut , pemerintah telah melakukan upaya-upaya ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak . Dengan adanya program ekstensifikasi diharapkan penerimaan pajak dapat meningkat sejalan dengan perkembangan jumlah wajib pajak dan perluasan jenis objek pajaknya. Sementara itu melalui program intensifikasi penerimaan pajak yang dilakukan melalui peningkatan kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak , serta upaya penegakan hukum diharapkan penerimaan pajak akan meningkat lebih besar lagi. Disamping itu telah dilakukan penyempurnaan sistem administrasi perpajakan melalui kebijaksanaan penetapan Nomor Pokok Wajib Pajak tunggal yang berlaku sejak tanggal 1 Juni 1998. Dengan kebijaksanaan ini diharapkan admnistrasi perpajakan semakin sempurna , terutama dalam rangka mendorong penerimaan pajak dimasa yang akan datang .Pemungutan pajak yang dilakukan antara lain : 1. 2. Pajak Penghasilan (PPh) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah ( PPN dan PPnBm ) 3. Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan

( PBB dan BPHTB ) 4. Cukai

5. 6. 7.

Bea Masuk Pajak Lainnya Pajak Ekspor .

C. PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang kemudian ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak , Pemerintah terus melakukan inventarisasi , penertiban dan penetapan janis-janis pungutan yang dikategorikan sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNPB ). Disamping itu , telah pula dilakukan penyempurnaan berbagai perturan yang berkaitan dengan penggunaan PNBP yang diselaraskan dengan mekanisme APBN. Dengan upaya tersebut , PNBP diharapkan semakin mampu memberikan sumbangan yang lebih besar dalam pembiyaan pembangunan . Upaya peningkatan PNBP yang berasal dari penerimaan departemen / lembaga pemerintah nondepartemen ditempuh melalui penyempurnaan admnistrasi, intensifikasi pemungutan serta peningkatan pengawasan didalam pelaksanaannya . Sedangkan PNBP yang berasal dari bagian pemerintah atas laba BUMN , terus dilakukan langkah-langkah meningkatkan efesiensi dan produktivitas BUMN.

D. PENERIMAAN PEMBANGUNAN Penerimaan pembangunan merupakan nilai lawan rupiah dari pinjaman luar negeri yang diterima kemudian digunakan untuk melengkapi pembiyaan pengeluaran dalam anggaran pendapatan belanja negara ( APBN ) . Penerimaan pembangunan terdiri dari bantuan program dan bantuan proyek . Bantuan program dapat berupa nilai lawan bantuan luar negeri dalam bentuk barang-barang dan devisa kredit untuk impor yang dapat menghasilkan dana rupiah untuk membiayaai proyek-proyek pembangunan. Kebijaksanaan penerimaan pembangunan berpedoman kepada kebijaksanaan umum yang digariskan dalam garis-garis besar haluan negara (GBHN ), yaitu pinjaman luar negeri diupayakan memiliki persyaratan selunak mungkin , tidak disertai dengan ikatan politik , disesuaikan dengan batas kemampuan untuk membayar kembali , dan tidak memberatkan perekonomian . Adapun didalam pelaksanaannya pengelolaan dana yang bersumber dari luar negeri tersebut , mulai dari perencanaan hingga pemantauannya berpedoman pada Keputusan

Bersama antara Menteri keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Ketua Bappenas Nomor 185/KMK.03/1995 dan Nomor Kep.031/Ket/5/1995 tentang Tata Cara Perencanaan , Pelaksanaan/ Penatausahaan, dan Pemantauan Pinjaman /Hibah Luar Negeri Dalam Rangka Pelaksanaan APBN.

E. PENGELUARAN RUTIN Kebijakan pengeluaran rutin didasarkan pada prinsip efesiensi dalam pengelolaan dan pengendalian ,serta optimalisasi pengalokasian anggaran belanja negara dan selaras dengan kebutuhan pembiyaan bagi pelaksanaan kegiatan operasional pemerintah .Hal itu dimaksudkan agar pelaksanaan alokasi anggaran belanja rutin tetap mengacu pada sasaran pokoknya , yaitu penyelenggaraan kegiatan operasional pemerintah dan pemeliharaan hasilhasil pembangunan secara optimal . Pengalokasian pengeluaran rutin pada setiap jenis pengeluaran senantiasa diselaraskan dengan kemampuan penerimaan dalam negeri dengan tetap mengupayakan peningkatan efesiensi dan evektivitas ,serta peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat .Untuk itu langkah-langkah pengendalian dan penghematan pengeluaran rutin yang selama ini dijalankan tetap dipertahankan tanpa mengorbankan efektivitas pelaksanaan admnistrasi dan roda pemerinthan .Selanjutnya terus dilakukan berbagai upaya penyempurnaan pengelolaan pengeluaran rutin yang meliputi peningkatan daya guna berhasil guna aparatur pemerintah , pengendalian dan pemanfaatan biayaa operasional dan pemeliharaan , serta pengurangan secara bertahap berbagai macam subsidi yang dipandang dari segi priorias pembangunan tidak diperlukan lagi. Namun demikian sejalan dengan perkembangan organisasi , tugas dan fungsi pemerintah dalam rangka melaksanakan tugastugas umum pemerintahan dan pembangunan, pengeluaran ruitn dalam APBN senantiasa mengalami peningkatan . Pengeluaran rutin meliputi : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Belanja pegawai Belanja barang Subsidi daerah otonom Pembayaran bunga dan cicilan hutang Pengeluaran rutin lainnya Tabungan pemerintah Pengeluaran pembangunan \

2. 1.

STRUKTUR PAJAK PAJAK PENGHASILAN

Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pengahasilan (PPh) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10 Tahun1994 , dan terakhir diubah dengan Undang-Undang No.17 Tahun 2000 mengatur mengenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dan badan . Subjek pajak penghasilan : 1. 2. 3. Orang pribadi Badan Bentuk usaha tetap

Bukan subjek pajak pengahsilan : 1. 2. 3. Badan perwakilan negara asing Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan

Menteri Keuangan . 4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional.

Tarif pajak pengahsilan Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi wajib Pajak orang pribadi dalam Negeri dapat dilihat sebagai berikut : Lapisan Penghasilan Kena Pajak Sampai dengan Rp. 25.000.000,Di Rp.50.000.000.Di atas Rp.50.000.000,s.d 15% atas Rp.25.000.000,-s.d Tarif Pajak 5% 10%

Rp.100.000.000,Di atas Rp.100.000.000,s.d 25%

Rp.200.000.000,Di atas Rp.200.000.000,30%

2.

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG dan

JASA dan PAJAK

PENJUALAN BARANG MEWAH (PPN dan PPnBM ) Penerimaan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah ( PPN dan PPnBM )berkaitan erat dengan kondisi ekonomi yang berlaku , seperti

produksi nasional, ( produk domestik bruto ) dan pertumbuhannya , tingkat harga umum dan perubahannya ,serta nilai tukar rupiah terhadap valuta asing .Faktor-faktor tersebut menentukan penerimaan PPN dan PPnBM melalui pengaruhnya nilai transaksi penyerahan barang dan jasa yang merupakan objek PPN dan PPnBM. PPN dikenakan atas transaksi penyerahan barang dan jasa kena pajak dengan tarif 10 persen , sedangkan atas ekspor tarifnya 0 persen. Sementara itu , penyerahan barang yang tergolong mewah merupakan objek PPnBM. Tarif PPN Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah sebesar 10 % Tarif PPnBM Tarif pajak penjualan atas barang mewah dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif , yaitu tarif terendah sebesar 10% dan tarif tertinggi 75%. Atas ekspor barang kena pajak yang tergolong mewah dikenakan pajak dengan tarif 0%.Oleh karena itu , barang kena pajak yang tergolong mewah yang diekspor atau dikonsumsi diluar daerah pabean dikenakan pajak penjualan atas barang mewah dengan tarif 0%.

3.

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN dan BEA PEROLEHAN HAK atas

TANAH dan BANGUNAN ( PBB dan BPHTB ) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pungutan yang dikenakan atas tanah dan bangunan yang didirikan diatasnya .Hasil pungutan tersebut ,90 % dikembalikan kepada daerah setempat melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tingkat 1

16,2persen , dan APBD tingkat II 64,8 persen .Sedangkan sisanya ,9 persen digunakan sebagai upah /biaya pungut .Sementara itu ,bagian pemerintah pusat yang mencapai 10 persen .Peraturan yang mendasari pungutan PBB adalah Undang-Undan Nomor 12 Tahun 1994, tentang perubahan atas Undang-Undang No.12 Tahun 1985tentang Pajak Bumi dan Bangunan .Tarif pajak PBB: 1. Sebesar 40 persen dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek

Pajaknya Rp.1.000.000.000,00 atau lebih. 2. Sebesar 20 persen dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek

Pajaknya kurang dari Rp.1.000.000.000,00.

4.CUKAI

Kebijaksanaan pemungutan cukai tidak semata-mata dilaksanakan untuk mengisi kas negara ( fungsi budgeter ), tetapi juga bertujuan sebagai alat pengatur dalam rangka

perlindungan bagi masyarakat .Pengawasan dan penerapan sanksi untuk menjamin ditaatinya ketentuan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai . Berdasrkan peraturan tersebut tarif maksikum cukai adalah 250 persen dari harga dasarnya adalah harga jual pabrik atau 55 persen apabila harga dasarnya adalah harga jual eceran. 5.BEA MASUK Pungutan bea masuk dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeaan yang berlaku penuh mulai 1 April 1997.Dengan adanya pungutan tersebut ,maka bea masuk selain berfungsi sebagai sumber penerimaan negara juga sebagai pengatur arus impor , baik untuk barang konsumsi maupun barang-barang yang diperlukan industri dalam negeri, dengan demikian penerimaan bea masuk tidak semata mata ditujukan sebagai penerimaan untuk mengisi kas negara , tetapi juga berfungsi sebagai alat pengatur ( fasilitator ).Besarnya penerimaan bea masuk dipengaruhi oleh tiga besaran yaitu : besarnya nilai devisa bayar (dutiable impor ) , tarif bea masuk , dan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing , sehingga apabila salah satu komponen yang mempengaruhi penerimaan bea masuk tersebut berubah , jumlah penerimaannya berubah juga .

6.BEA MATERAI Dalam peraturan pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 tanggal I mei 1995 tentang perubahan tarif bea materai diatur bahwa bea materai Rp.2.000dikenakan atas surat

perjanjian dan surat lainnya yang digunakan untuk alat pembuktian yang bersifat perdata , akte notaris dan salinannya serta akte pejabat pembuat akte tanah (PPAT) dan rangkapnya .Selain itu bea materai Rp. 2.000 juga dikenakan atas dokumen dan surat lainnya yang nilai nominalnya lebih dari 1.000.000,. Sedangkan apabila nilai nominalnya antara Rp.250.000 sampai dengan Rp.1.000.000, , serta cek dan bilyet giro ,bea materai yang dikenakan adalah Rp.1000.Sementara itu ,untuk dokumen dan surat lainnya yang nilai nominalnya kurang dari Rp.250.000 tidak terutang bea materai. 7.PAJAK EKSPOR Pengaturan tarif pajak ekspor atas beberapa komoditi tertentu ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 241 Tahun 1998 tentang Penetapan Besarnya Tarif dan Tata Cara Pembayaran Serta Penyetoran Pajak Ekspor atas Beberapa Barang Komoditi Tertentu.Besarnya tarif rata-rata ditetapkan sebesar 30 persen , sedangkan untuk produk kelapa sawit dan turunannya , ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor

334 Tahun 1998 tentang Penetapan Besarnya Tarif Pajak Ekspor Kelapa Sawit , Minyak Sawit ,Minyak Kelapa, dan Produk Turunannya ditetapkan antara 15 persen sampai 60 persen yang dihitung dari besarnya harga patokan ekspor ,dan nilai tukar valuta asing .

BAB IV KESIMPULAN

Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Belanja Negara Belanja terdiri atas dua jenis: 1. Belanja Pemerintah Pusat, adalah belanja yang digunakan untuk

membiayai kegiatan pembangunan Pemerintah Pusat, baik yang dilaksanakan di pusat maupun di daerah (dekonsentrasi dan tugas pembantuan). Belanja Pemerintah Pusat dapat dikelompokkan menjadi: Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Modal, Pembiayaan Bunga Utang, Subsidi BBM dan Subsidi Non-BBM, Belanja Hibah, Belanja Sosial (termasuk Penanggulangan Bencana), dan Belanja Lainnya. 2. Belanja Daerah, adalah belanja yang dibagi-bagi ke Pemerintah

Daerah, untuk kemudian masuk dalam pendapatan APBD daerah yang bersangkutan. Belanja Daerah meliputi: 1. 2. 3. 4. Dana Bagi Hasil Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Dana Otonomi Khusus.

Fungsi APBN APBN merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum. APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam suatu tahun anggaran harus dimasukkan dalam APBN. Surplus penerimaan negara dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara tahun anggaran berikutnya.

Fungsi otorisasi, mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar

untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan, Dengan demikian, pembelanjaan atau pendapatan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat.

Fungsi perencanaan, mengandung arti bahwa anggaran negara dapat menjadi

pedoman bagi negara untuk merencanakan kegiatan pada tahun tersebut. Bila suatu pembelanjaan telah direncanakan sebelumnya, maka negara dapat membuat rencanarencana untuk medukung pembelanjaan tersebut. Misalnya, telah direncanakan dan dianggarkan akan membangun proyek pembangunan jalan dengan nilai sekian miliar. Maka, pemerintah dapat mengambil tindakan untuk mempersiapkan proyek tersebut agar bisa berjalan dengan lancar.

Fungsi pengawasan, berarti anggaran negara harus menjadi pedoman untuk

menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian akan mudah bagi rakyat untuk menilai apakah tindakan pemerintah menggunakan uang negara untuk keperluan tertentu itu dibenarkan atau tidak.

Fungsi alokasi, berarti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk

mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian.

Fungsi distribusi, berarti bahwa kebijakan anggaran negara harus

memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan

Fungsi stabilisasi, memiliki makna bahwa anggaran pemerintah menjadi alat

untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian

Anda mungkin juga menyukai