Anda di halaman 1dari 10

JURNAL TEKNOLOGI KELAUTAN

Vol. 5, No. 2, Juli 2001: 71 - 80

Penentuan Umur Sedimen Laut dan Paleo-Temperatur Air Permukaan Laut Berdasarkan Perubahan Rasio Isotop 18O/16O Dalam Foraminifera
Wahyudi1
1) Staf Pengajar Jurusan Teknik Kelautan, FTK - ITS, Surabaya

Abstak: Pemahaman tentang iklim masa lampau, iklim yang sedang terjadi saat ini, serta prediksi iklim yang akan terjadi dapat difasilitasikan dengan memanfaatkan rasio isotop stabil. Kajian lingkungan yang memanfaatkan rasio isotop stabil di Indonesia belum banyak dilakukan. Pada kesempatan kali ini telah dilakukan pengukuran rasio 18O/16O pada fosil foraminifera untuk menentukan umur sedimen dan rekonstruksi paleotemperatur air permukaan laut perairan Okinawa Trough, Laut Cina Timur. Hasil analisa menunjukkan bahwa, umur sedimen (pada bottom core) adalah 42000 tahun, dan pada saat last glacial maximum (glasial terakhir) suhu air dipermukaan air tersebut turun sebesar 20C. Pemanfaatan rasio 18O/16O untuk rekonstruksi perubahan lingkungan dapat dilakukan pada organisme karbonat lain seperti koral atau moluska yang dapat memberikan data lebih detail yang sangat berguna dalam prediksi perubahan iklim. Kata kunci: umur sedimen laut, paleo-temperatur permukaan laut, rasio isotop 18O/16O, foraminifera

1. PENDAHULUAN
Perubahan iklim global (global climate change), seperti naiknya suhu di bumi (global warming), naiknya konsentrasi CO2 di atmosfer, perubahan elevasi muka air laut dan sebagainya telah berjalan sepanjang waktu. Dalam mengantisipasi timbulnya pengaruh negatif dari perubahan iklim tersebut terhadap kehidupan manusia maupun kerusakan alam, perlu adanya prediksi iklim yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Untuk kebutuhan ini, diperlukan adanya data parameter lingkungan yang telah terjadi, baik yang bersifat short term, beberapa tahun sampai ratusan tahun yang lalu, maupun long term dengan jangka waktu ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu. Pemahaman tentang iklim saat ini dan iklim masa lampau, serta usaha untuk memprediksi iklim yang terjadi dapat difasilitasi dengan pemanfaatan isotop. Perubahan temperatur yang menyebabkan perubahan kimia air laut yang telah berjalan dari waktu ke waktu dapat dilihat dari perubahan rasio isotop stabil 18O terhadap 16O yang terkandung dalam cangkang organisme yang telah mati atau fosil yang tersusun oleh kalsium karbonat dan terendapkan bersama sediment di laut. Organisme ini semasa hidupnya menyusun kerang-

ka tubuhnya dengan mengekstrak CaCO3 dari air laut. Pada waktu organisme mengekstrak CaCO3 dari air laut, terjadilah fraksinasi isotop oksigen yang sangat dipengaruhi oleh temperatur air laut. Oleh karena itu perubahan temperatur sangat mempengaruhi perubahan rasio 18 O/16O dalam cangkang karbonat suatu organisme. Selain temperatur air laut, komposisi rasio 18 O/16O air laut juga mempengaruhi komposissi rasio 18O/16O dalam fosil. Sehingga kandungan rasio 18O/16O fosil karbonat dalam strata sedimen laut, akan mencerminkan urut-urutan perubahan temperatur air laut dimana organisme tersebut pernah hidup. Penelitian dengan memanfaatkan isotop stabil untuk kajian lingkungan belum banyak dilakukan di Indonesia. Pada kesempatan ini dikenalkan bagaimana isotop stabil oksigen dimanfaatkan sebagai alat untuk merekonstruksi perubahan lingkungan. Penelitian ini bertujuan membuat korelasi antara hasil pengukuran rasio isotop 18 O/16O dengan kurva 18O/16O standar untuk menentukan umur sedimen laut, serta membuat rekonstruksi perubahan temperatur air permukaan laut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperbanyak informasi dalam oseanografi, khususnya

untuk perubahan iklim yang telah terjadi, terutama tersedianya data temperatur air permukaan laut di masa lalu. Selain itu, diharapkan pula dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan pemanfaatan isotop stabil dalam kajian ilmu lingkungan laut di Indonesia. Beberapa asumsi dipakai dalam penelitian ini, antara lain: (1) tidak ada perubahan salinitas air laut, (2) habitat spesies forasminifera yang dipakai dalam penelitian ini adalah 40-50 meter, dan (3) temperatur yang direkonstruksi adalah temperatur air permukaan laut rata-rata tahunan.

sentase 99.763%, 0.0375%, dan 0.1905% (Bowen, 1991). Dalam analisa, isotop 17O diabaikan karena kelimpahannya sangat kecil dan jarang ditemukan di alam. Isotop 16O yang ringan dan umum dijumpai di alam berasosiasi dengan isotop 18O yang lebih berat. Walaupun kedua isotop ini mempunyai sifat-sifat kimia yang identik, molekul oksigen yang tersususun oleh isotop 16O memperlihatkan tekanan uap yang lebih besar. Sehingga selama terjadi evaporasi air laut, lebih banyak konsentrasi 16O yang mengalami fraksinasi dalam uap, sehingga terjadi pengkayaan 18O dalam air laut. Dalam pengukuran isotop oksigen dari karbonat, secara internasional digunakan standar referensi karbonat, dari fosil Belemnitellla Americana yang berasal dari the Peedee formation, South Carolina Amerika Serikat (disingkat PDB). Laboratorium-laboratorium geokimia di seluruh dunia dapat memakai standar referensi atau working standard yang bermacam-macam, tetapi hasil pengukurannya harus dicatat secara relatif terhadap standar internasional (Bowen, 1991).

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rasio Isotop Oksigen (18O/16O)


Isotop adalah atom-atom dari unsur kimia yang sama dimana pada intinya mempunyai jumlah proton sama tetapi mempunyai jumlah neutron yang berbeda. Di alam, kurang lebih ada 300 isotop stabil (non-radioaktif), dan lebih dari 1200 isotop tak stabil yang bersifat radio aktif (Bowen, 1991). Secara umum isotop-isotop terdiri dari isotop major dan isotop minor, yang lebih berat dan jarang dijumpai di alam. Rasio dari kedua isotop tersebut bervariasi sepanjang waktu, dan variasi ini tergantung dari kondisi lingkungan di sekitarnya (Urey et.al., 1951). Kelimpahan absolut isotop minor, demikian juga rasio isotop sulit ditentukan secara akurat untuk kepentingan analisa geokimia, sehingga perbedaan rasio isotop absolut dari dua substansi perlu disubstitusikan. Konsekuensinya, kelimpahan isotop stabil dinyatakan dengan menggunakan perbedaan relatif dari rasio isotop dalam notasi (delta), sebagai berikut: sa = {(Rsa Rst)/Rst} x 103 (1)

2.2 Rasio 18O/16O dalam Foraminifera


Foraminifera adalah binatang atau mikroorganisme unicellular, termasuk dalam protozoa subclass sarcodina dan order foraminifera (Bates & Jackson, 1984). Organisme ini mempunyai satu atau beberapa chamber, dicirikan dengan adanya cangkang dari kalsium karbonat dan sebagian besar mempunyai perforasi dimana pseudopodia (kaki palsu) muncul. Sebagian besar foraminifer hidup di laut, mulai dari permukaan sampai dasar laut. Rasio 18O/16O (untuk selanjutnya dinyatakan dengan 18O) dalam cangkang foraminifera dipengaruhi oleh temperatur pertumbuhan dan komposisi isotop air laut dimana cangkang karbonat tersebut terbentuk (Epstein & Mayeda, 1953; Emiliani, 1955).

dimana, Rsa adalah rasio isotop sample (missalnya, 18O/16O, 15N/14N, atau 13C/12C, dst), Rst adalah rasio isotop yang sama dari standar. Sehingga harga adalah perbedaaan relatif dari rasio isotop antara sample dengan standar dalam permil (0/00). Atom Oksigen terdiri dari isotop stabil 16O, 17O dan 18O, yang masing-masing mempunyai pre-

2.3 Pengaruh Pembentukan Es di Kontinen


Setiap 500 molekul air laut, satu diantaranya membawa isotop oksigen berat 18O. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa, rasio oksigen ringan terhadap oksigen berat dalam bermacam-

macam material di bumi ini selalu menunjukkan harga yang mendekati 500. Rasio ini bervariasi dalam interval beberapa persen. Kalsium karbonat dari organisme laut mempunyai 18O rata-rata >4%, dan salju di antartika mempunyai 18O <4% dari air laut. Perbedaaan tersebut merefleksikan bahwa, walaupun isotop tersebut secara kimia memiliki sifat yang mirip, tetapi tidak identik. Misalnya, air yang terbentuk oleh isotop oksigen berat mempunyai tekanan uap 1% lebih rendah daripada air yang terbentuk oleh isotop oksigen ringan. Hubungan antara komposisi isotop air laut dan volume es ditunjukkan oleh adanya kenyataan bahwa, salju yang terakumulasi membentuk tutupan es (ice caps) adalah kekurangan 18O beberapa persen (lihat Gbr. 1). Pengurangan 18O ini terjadi karena air yang mengalami kondensasi membentuk presipitasi dalam masa udara yang dingin mengalami pengayaan 18O. Isotop oksigen ringan (18O) mengalami pengayaan pada uap yang tersisa. Karena itu uap air yang tersisa dalam massa udara mengalami 18O secara progresif. Dalam perjalanan waktu uap air tersebut mencapai daerah-daerah sangat dingin seperti kutub dan Greenland, pengurangan 18O ini mencapai beberapa persen. Karena hal tersebut, es yang membentuk tutupan (dan kemungkinan juga es yang terbentuk pada glacial time) mengalami pengurangan atau depleted dalam 18O. Dalam hal ini molekul berat banyak tersimpan dalam air laut, yang menyebabkan rasio 18O sedikit lebih tinggi dari pada 16O. Sehingga, semakin besar volume es di kontinen, maka semakin tinggi rasio 18O terhadap 16O dalam air laut (Broecker, 1992). Salju yang terakumulasi dan membentuk ice sheets pada glacial terakhir kekurangan 18O ratarata 4% (Broecker, 1992). Sehubungan dengan ini besarnya pengkayaan 18O dalam air laut dapat diestimasi dengan asumsi kedalaman ratarata lautan 3800 meter (Wahyudi & Minagawa, 1997), serta pembentukan es di kontinen menyebabkan penurunan muka air laut rata-rata pada glacial terakhir 120 meter (Fairbanks, 1989; Oba, 1988). Sehingga air laut mengalami pengkayaan 18O sebesar 120/3800 x 4% atau 1.26. Estimasi ini sesuai dengan hasil pengukuran isotop pada koral Acropora palmata yang hanya hidup pada kedalaman 5 meter di bawah permuka-

an air laut yang dilakukan oleh Fairbanks (1989) di daerah Karibia. Hasil ini menunjukkan bahwa, pada saat glacial maximum (suhu minimum) terjadi penurunan air laut 120 meter dan pengkayaan 18O sebesar 1.26 , yang juga sangat dekat dengan estimasi sebesar 1.3 dari Berger & Gardner, (1975), Berger et.al. (1987) dan Imbrie et.al. (1973).

Gambar 1. Hasil observasi 18O pada rata-rata presipitasi tahunan sebagai fungsi dari temperatur rata-rata tahunan (Broecker, 1992)

Gambar 2. Hubungan temperatur tempat organisme karbonat tumbuh dan 18O dari organisme Atas: dari Epstein & Mayeda (1953). Bawah: dari Erez & Luz (1983)

2.4 Pengaruh Temperatur Air Laut


Sumber lain yang mempengaruhi perubahan kandungan 18O pada karbonat dalam air laut adalah temperatur. Seperti telah diuraikan dimuka bahwa, 18O dalam cangkang karbonat rata-rata 4% lebih tinggi dibanding rasio dalam air laut dimana organisme tersebut hidup. Persoalannya adalah besarnya pemisahan isotop antara oksigen air dan oksigen dalam cangkang tergantung dari temperatur. Untuk setiap derajat Celcius penurunan temperatur, oksigen berat mengalami pengkayaan dalam cangkang dengan penambahan 0.23, (Epstein & Mayeda, 1953; Erez & Luz, 1983). Angka tersebut diperoleh dari hasil pengukuran isotop pada cangkang foraminifera yang di-culture dalam lingkungan yang berbedabeda temperaturnya. Hasil eksperimen tersebut dapat dilihat pada Gbr. 2.

Pengaruh pembentukan es di kontinen terhadap 18O pada saat glacial maksimum (temperatur paling dingin) adalah sebesar 1.3 % (Imbrie et. al., 1973; Berger & Gardner, 1975; Berger et.al., 1987; Fairbanks, 1989). Sedangkan pengaruh temperatur terhadap fraksinasi 18O adalah 0.23 /oC (Epstein & Mayeda, 1953; Erez & Luz, 1983). Berdasarkan faktor tersebut dan dengan asumsi bahwa faktor yang lain seperti salinitas air laut adalah konstan, maka paleotemperatur dapat dihitung.

3. METODE 3.1 Umum

2.5 18O Sebagai Penentu Umur dan Estimasi Temperatur Air Permukaan Laut
Martinson et al. (1978) membuat kronostratigrafi (urutan umur sedimen) dari 0 sampai 300,000 tahun. Dalam hal ini teori orbital digunakan untuk membuat urutan umur sedimen secara terus menerus berdasarkan 18O resolusi tinggi. Hasil pengkajian Martinson et al. (1987) ini telah digunakan secara luas dan dipakai sebagai kurva standar korelasi sedimen laut. Urey (1948) adalah peneliti yang pertama kali menemukan bahwa, dalam suatu senyawa yang sama harga 18O berubah dengan perubahan temperatur. Sehingga ia menyimpulkan bahwa, dengan menggunakan komposisi isotop oksigen sebagai termometer memungkinkan untuk mengukur paleo-temperatur. Pemanfaatan komposisi isotop oksigen dalam cangkang foraminifera sebagai indikator perubahan iklim diawali oleh Emiliani (1954; 1955; 1966). Emiliani (1954) memperlihatkan bahwa 18O dalam cangkang foraminifera berosilasi dalam merespon fluktuasi glacial-interglasial (dingin-hangat) antara harga-harga maksimum dan minimum selama Periode Kwarter (sekitar 1,600,000 tahun yang lalu sampai sekarang).

Gambar 3. Lokasi pengambilan sediment core pada stasiun PN-3 di Okinawa Trough perairan Okinawa, Laut China Timur

Penelitian ini menggunakan sampel sedimen laut dari perairan Okinawa, Jepang (site PN-3, pada 28o05,98 N, 127o20,55 E; kedalaman air 1058 m, panjang core 430 cm), yang diambil dengan piston corer pada saat Bosei Maru Cruise 1994 oleh Marginal Sea Material Flux Experiment (MASFLEX) Project, the Science and Technology Agency of Japan (Gbr. 3). Sedimen laut yang diperoleh kemudian di sampling setiap interval 10 cm dengan ketebalan 2 cm. Kemudian dari setiap sampel tersebut diambil fosil foraminifera planktonik spesies Globigerinoides sacculifer (BRADY) yang mempunyai ukuran 355-425 m sebanyak 30-40 spesimen, yang selanjutnya digunakan untuk pengukuran kandungan rasio isotop oksigennya. Pengukuran 18O dilakukan dengan mesin mass spectrometer Finnigan MAT 251, di Laboratory of Geosphe-

re Science, Graduate School of Environmental Earth Science, Hokkaido University Jepang

nya yang dibutuhkan dalam penelitian. Selain itu jumlah spesimen spesies yang dipilih harus memenuhi kebutuhan untuk pengukuran dalam setiap titik kedalaman. Dalam penelitian ini dipilih spesies Globigerinoides Sacculifera (BRADY) seperti ditunjukkan dalam Gbr. 4. Spesies ini hidup pada permukaan air laut sampai kedalaman rata-rata 40 meter (Emiliani, 1955) sehingga data lingkungan yang diperoleh dari spesies ini diasumsikan dapat mewakili keadaan permukaan air laut. Selain habitatnya, spesies ini selalu didapatkan dalam jumlah spesiemen yang cukup untuk pengukuran dalam penelitian ini.

3.2 Pemilihan Sampel Sedimen Laut


Dalam melakukan rekonstruksi perubahan lingkungan laut yang menggunakan sampel dari sedimen dasar laut. Sampel yang dipakai harus berasal dari sedimen yang terdeposisi secara menerus tanpa mengalami gangguan seperti erosi, redeposisi, atau kerusakan-kerusakan oleh binatang bentos. Sedimen laut yang paling baik untuk kepentingan rekonstruksi lingkungan adalah sedimen yang berasal dari laut dalam. Sedimen laut dalam dipilih karena tidak ada pengaruh pengendapan atau transportasi material dari arah samping yang akan mengacaukan informasi lingkungan yang terekam. Sedimen laut dalam hanya berasal dari material yang diendapkan dari seluruh kolom air yang berada di atas dasar laut di mana sedimen tersebut diendapkan. Sehingga sedimen laut dalam merupakan hasil pengendapan kontinyu dan tak terganggu yang memberikan rekaman kondisi lingkungan secara terus menerus (Seibold & Berger, 1996).

3.4 Penentuan Umur Sedimen


Hasil pengukuran 18O sample diplotkan terhadap kedalaman dan ditampilkan dalam bentuk grafik. Kurva 18O yang diperoleh di-match-kan dengan kurva 18O standar dari Martinson (1987). Titik-titik referensi yang dipakai adalah titik pada top core yang diasumsikan berumur 0 tahun, titik yang mempunyai nilai 18O maksimum atau titik yang menunjukkan saat glacial terakhir yang berumur 17500 tahun, serta titiktitik yang mempunyai pola yang sama. Dari hasil tersebut kemudian dibuat kurva antara kedalaman sedimen dengan umur pada titik-titik referensi tersebut, sehingga dari kurva ini akan didapatkan besarnya kecepatan sedimentasi. Titiktitik atau sedimen yang berada di antara dua titik yang telah ditentukan umurnya dianggap mempunyai kecepatan sedimentasi yang sama, sehingga semua titik pada sediment core dapat ditentukan umurnya.

3.3. Penentuan Spesies Foraminifera

3.5 Penentuan Temperatur Air Permukaan laut


Gambar 4. Globigerinoides sacculifer (BRADY) dengan perbesaran 90 x, dari pandangan depan samping dan belakang (Berger, 1977).

Nilai 18O yang dikandung dalam foraminifera mencerminkan kondisi lingkungan air laut pada kedalaman dimana dan pada saat spesies tersebut hidup. Sehingga pemilihan spesies perlu dilakukan sesuai dengan kedalaman habitat hidup-

Komposisi 18O dalam organisme karbonat dipengaruhi oleh temperatur air laut di mana organisme tersebut tumbuh dan komposisi 18O/16O dari laut sendiri. Pengaruh temperatur air laut terhadap fraksinasi isotop oksigen dalam cangkang karbonat telah diketahui dari eksperimen yang dilakukan oleh Eptein & Mayeda (1953), yaitu sebesar 0.23. Hasil ini dikuatkan lagi 30 tahun kemudian oleh eksperimen Erez & Luz

(1983) dengan angka yang sama. Angka tersebut menunjukkan bahwa, setiap penurunan temperatur air laut 1oC maka dalam cangkang karbonat akan terjadi pengkayaan 18O sebesar 0.23. Sedangkan komposisi 18O air laut dipengaruhi oleh pembentukan dan pelelehan es di kontinen atau yang dikenal sebagai global ice volume effect adalah sebesar 1.26 pada saat Last Glacial Maximum (LGM) atau glacial terakhir maksimum atau kondisi paling dingin (Imbrie et.al., 1973; Berger & Gardner, 1975; Berger et.al., 1987; Fairbanks, 1989). Untuk estimasi paleotemperatur digunakan kurva 18O standar dari Martinson (1987) sebagai kurva referensi yang menyatakan fluktuasi harga 18O hanya disebabkan oleh perubahan komposisi 18O air laut atau pembentukan dan pelelehan es di kontinen. Langkah pertama yang dilakukan adalah perbedaan 18O masa sekarang dengan saat glacial terakhir atau Holocene-LGM 18 O/16O shift pada kurva standar diskala sebanding dengan 1.3 pada kurva 18O sampel, kemudian kedua kurva tersebut di-match-kan. Dari kedua kurva tersebut dapat dihitung 18O sebesar: 18O = 18OG..sacculifer - 18OMartinson dimana: 18O : (2)

dimana Tt adalah temperatur air permukaan laut pada t tahun dan TH merupakan temperatur pada masa Holocene atau saat ini.

4. PENGUKURAN 4.1 Persiapan Pengukuran Isotop


Persiapan Sampel Persiapan sampel dilakukan dengan mengumpulkan fosil Globigerinoides sacculifer yang berukuran 355-400 m sejumlah 30-40 spesimen dari tiap-tiap titik kedalaman. Kemudian sampel dibersihkan dari kotoran yang menempel dengan memasukkan ke dalam cawan kecil bersama alcohol dan digetarkan dengan vibrator ultrasonic. Selanjutnya sample dimasukkan ke dalam sample-cup untuk ditumbuk sampai halus. Setelah semua spesimen dalam setiap sample-cup ditumbuk halus, kemudian dimasukkan atau diset ke dalam sample holder dalam rangkaian vacuum line (lihat Gbr. 5).

selisih harga rasio 18O sample dan rasio 18O standar dari Martinson et al. (1987). 18OG..sacculifer : 18O dari sample. 18OMartinson : 18O standar dari Martinson et al. (1987). Dari harga 18O tersebut, selisih temperatur pada umur t tahun dengan temperatur saat ini dapat dihitung, yaitu sebesar Tt : Tt = (18Ot/ 0,23)oC (3)

Gambar 5. Vacuum line system untuk ekstraksi CO2

dimana Tt adalah selisih temperatur pada umur t tahun dengan temperatur saat ini. 18Ot adalah selisih harga 18O sample dan 18O standar dari Martinson et al. (1987) pada t. Sehingga temperatur air permukaan laut pada t tahun yang lalu adalah, Tt=TH - Tt (4)

Persiapan Pada Vacuum Line; Vacuum line, adalah rangkaian pipa kaca yang pada prinsipnya berfungsi untuk mengekstrak gas CO2 dari sample dan menyalurkan ke mass spectrometer. Persiapan pada vacuum line dikerjakan dengan langkah sebagai berikut, tabung reaksi diisi dengan asam posfat (H3PO4) 100% kurang lebih 20 ml, kemudian dipasang pada rangkaian sample holder. Kemudian setiap sample cup yang

telah terisi dengan fosil karbonat yang telah halus dipasang pada sample holder. Setelah sampel dan tabung reaksi dipasang, kemudian dilakukan pengosongan udara dalam rangkaian vacuum line. Pengosongan udara ini harus dilakukan dengan sempurna agar tidak ada sama sekali pengaruh udara pada nilai sampel isotop yang akan diukur.

2.14. Titik ini juga dipakai sebagai referensi baik pada penentuan umur maupun pada estimasi temperatur, yaitu merupakan titik yang mewakili waktu sekarang.
Tabel 1. Hasil pengukuran rasio isotop stabil oksigen pada globigerinoides sacculifer dalam sediment core PN-3.
Depth in core cm 2 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 G, sacculifer 18O,o/oo vs PDB -2.14 -2.05 -2.18 -1.85 -1.92 -1.88 -1.28 -1.21 -1.07 -0.77 -0.86 -0.59 -0.43 -0.52 -0.49 -0.29 -0.41 -0.41 -0.51 -0.57 -0.38 Depth in core cm 220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320 330 340 350 360 370 380 390 400 410 420 430 G, sacculifer

4.2 Pengukuran Isotop


Sampel karbonat yang berupa powder dalam sample-cup direaksikan dengan asam posfat (H3PO4) 100% pada suhu tetap 60oC, dengan jalan memutar ujung sample yang diinginkan jatuh kedalam reactor yang sudah berisi asam posfat. Reaksi antara kalsium karbonat dan asam posfat yang terjadi adalah sebagai berikut: CaCO3 + H3PO4

18O,o/oo vs PDB
-0.54 -0.58 -0.62 -0.57 -0.60 -0.58 -0.66 -0.67 -0.72 -0.76 -0.72 -0.73 -0.74 -0.75 -0.74 -0.83 -0.75 -0.81 -0.72 -0.97 -0.79 -0.97

CaHPO4 + CO2 + H2O

(5)

Reaksi ini harus berjalan sempurna sampai kalsium karbonat betul-betul habis bereaksi dengan asam posfat. Kemudian gas CO2 dan air yang dihasilkan dikeluarkan dari reaktor dan dipisahkan secara kriogenik. Kemudian CO2 dialirkan ke mass spectrometer untuk dilakukan pengukuran rasio 18O/16O-nya.

5. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengukuran 18O pada fosil G. sacculifer dari core PN-3 dilakukan sebanyak 44 sampel, dari kedalaman core 0-2 cm sampai 430-432 cm, dengan interval 10 cm. Hasil pengukuran yang dilakukan dengan working standard PDB disajikan dalam Tabel 1. Sebelum dilakukan pengukuran pada sampel, terlebih dahulu dilakukan pengukuran sub-standar sampel sebanyak 10 kali pada sampel yang sama untuk mengetahui presisi dari mesin. Pengukuran sub-standar ini menghasilkan standard deviasi 0,03%. Harga 18O G. sacculifer menunjukkan nilai maksimum 0,29 pada kedalaman core 150 cm, yang selanjutnya ditentukan sebagai titik terjadinya glacial maksimum terakhir atau Last Glacial Maximum (LGM) dan dipakai sebagai titik referensi untuk korelasi dengan kurva standar dalam penentuan umur (lihat Gbr. 6 dan 7). Sedangkan nilai 18O pada top core adalah

Gambar 6. Grafik hasil pengukuran 18O/16O pada G. Sacculifera terhadap kedalaman core

5.1 Penentuan Umur


Kurva rasio 18O/16O Globigerinoides Sacculifer yang dihasilkan dikorelasikan dengan kurva rasio 18O/16O standar dari Martinson et al. (1987) berdasarkan titik-titik referensi yang

sudah ditentukan (lihat Gbr. 7). Dari hasil korelasi ini didapatkan control points yang ditentukan umurnya dari kurva standar. Berdasarkan control points ini kemudian dibuat grafik hubungan antara kedalaman dengan umur sediment core (lihat Gbr. 8). Dari grafik ini kecepatan sedimentasi ditentukan dengan menganggap sedimen yang berada di antara dua control points dapat ditentukan umurnya. Hasil penentuan umur dari sediment core PN-3 disajikan pada Tabel 2.

Berdasarkan penentuan umur ini diketahui umur sedimen paling tua (pada bottom core) adalah 42000 tahun. Sedangkan kecepatan sedimentasi terendah adalah 5.8cm/1000 tahun pada 12000 tahun terakhir, dan kecepatan maksimum 14.5cm/1000 tahun pada saat glacial maximum.
Tabel 2. Hasil penentuan umur pada sedimen core PN-3
Kedalaman dalam core (cm) 2 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 Umur (ribuan tahun) 0.2 1.8 3.5 5.3 7.0 8.6 10.3 12.0 12.7 13.3 14.1 14.8 15.4 16.2 16.9 17.7 18.4 19.2 20.0 20.7 21.5 22.2 Kedalaman dalam core (cm) 220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320 330 340 350 360 370 380 390 400 410 420 430 Umur (ribuan tahun) 23.1 23.8 24.7 25.6 26.5 27.4 28.3 29.2 30.1 31.0 31.9 32.8 33.7 34.6 35.5 36.4 37.3 38.2 39.0 40.0 40.9 41.8

Gambar 7. Korelasi 18O G Sacculifer dari core PN3 dengan kurva 18O standar, Martinson et al. (1987)

5.2 Estimasi Paleotemperatur


Sebagai referensi untuk estimasi temperatur, dipakai temperatur air permukaan rata-rata tahunan saat ini diperairan Okinawa yang dikeluarkan oleh Marginal Sea Material Fluk Experiment (MASFLEX) project the science and technology Agency of Japan tahun 1994 yaitu sebesar 260C. Dengan langkah seperti yang telah diuraikan dimuka (lihat Gbr. 9), maka Paleotempetarur permukaan air laut di perairan Okinawa dapat diestimasikan dan hasilnya diberikan dalam Tabel 3. Selisih glacial maksimum terakhir-Holosen (LGM-Holocene Shift) dalam 18O pada kurva standar telah diskala sebanding dengan 1.3 (global ice volume) glacial maksimum dipastikan sebagai akibat local temperatur effect (LTE) air permukaaan perairan Okinawa, yang diestimasi sebesar 2.0oC lebih rendah dari rata-rata temperatur saat ini atau masa Holosen.

Gambar 8. Plot antara kedalaman core dan umur yang diperoleh dari korelasi Gbr. 7

Tabel 3. Hasil estimasi paleo temperatur pada sedimen core PN-3


Kedalaman dalam core (cm) Umur (ribuan th) Perubahan Temperatur T (oC) Temperatur Tt (oC)

6. KESIMPULAN DAN SARAN


Sejumlah kesimpulan yang dapat ditarik dari pengkajian menyangkut penentuan umur sedimen laut dan paleo-temperatur permukaan laut sebagaimana dibahas dalam makalah ini adalah: a. Bagian paling dasar (paling tua) piston core dari sedimen adalah berumur 42000 tahun. b. Masa glacial terakhir pada 17500 tahun yang lalu terletak pada kedalaman sedimen 150 cm. c. Temperatur permukaan air laut di Okinawa Trough, Laut China Timur pada glacial terakhir turun 2oC. Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa, untuk menghindari biaya yang mahal dalam penentuan umur sedimen laut tidak perlu dilakukan radioaktif dating, tetapi dapat dilakukan pengukuran oksigen stabil yang menggunakan biaya lebih murah. Manfaat lain adalah, pengukuran isotop oksigen dapat dilakukan dengan sampel organisme karbonat yang lain seperti koral atau moluska, sehingga dapat untuk merekonstruksi perubahan temperatur air laut yang lebih detail sampai perubahan bulanan. Kalau ini dapat dilakukan kemungkinan dapat dimanfaatkan untuk memprediksi akan terjadinya fenomena-fenomena seperti anomali temperatur air permukaan laut karena adanya peristiwa El Nino atau La Nina.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320 330 340 350 360 370 380 390 400 410 420 430

0 1.8 3.5 5.3 7.0 8.6 10.3 12.0 12.7 13.3 14.1 14.8 15.4 16.2 16.9 17.7 18.4 19.2 20.0 20.7 21.5 22.2 23.1 23.8 24.7 25.6 26.5 27.4 28.3 29.2 30.1 31.0 31.9 32.8 33.7 34.6 35.5 36.4 37.3 38.2 39.0 40.0 40.9 41.8

0 -0.22 -0.78 0.61 0.26 0.00 1.39 0.61 0.96 1.43 0.61 1.57 2.04 1.43 1.17 2.04 1.91 1.83 1.35 1.22 2.04 2.00 1.39 1.43 2.30 2.17 2.04 1.74 1.74 1.61 1.35 1.52 1.61 1.57 1.52 1.43 1.17 1.52 1.26 1.52 0.57 1.70 0.91

26 26.22 26.78 25.39 25.74 26 24.61 25.39 25.04 24.57 25.39 24.43 23.96 24.57 24.83 23.96 24.09 24.17 24.65 24.78 23.96 24.00 24.62 24.57 23.70 23.83 23.96 24.26 24.26 24.39 24.65 24.48 24.39 24.43 24.48 24.57 24.83 24.48 24.74 24.48 25.43 24.3 25.09

DAFTAR PUSTAKA
Bates, R.L. and Jackson, J.A. (1984), Dictionary of Geological Terms, Anchor Books Doubleday, New York, p. 571 Berger, W.H. and Gardner, J.V. (1975), On the Determination of Pleistocene Temperatures from Planktonic Foraminifera. Journal of Foraminiferal Research, Vol. 5 Berger, W.H., Kilingley, J.S. and Vincent, E. (1987), Time Scale of Winsconsin/Holocene Transition Oxygen Isotope Record in the Western Equatorial Pacific, Quarternary Research, Vol. 8 Bowen, R. (1991), Isotopes and Climates, Elseiver Science Publisher Ltd., London Broecker, W.S. (1992), The Glacial World According to Wally, LamontDoherty Geo-

Gambar 9. Penurunan temperatur air permukaan selama masa glacial terakhir di Perairan Okinawa.

logical Observatory, Columbia University Palisades, New York Emiliani, C. (1954), Depth Habitats of Some Species of Pelagic Foraminifera as Indicated by Oxygen Isotope Ratios, American Journal of Science, No. 252 Emiliani, C. (1955), Pleistocene paleotemperatur. Journal of Geology, Vol. 63 Emiliani, C. (1966), Pleistocene Paleotemperatur Analysis of Caribean Cores P6304-8 and P6304-9 and A Generalized Temperature Curve for the Past 425,000 Years, Journal of Geology, Vol. 74 Epstein, S. R. and Mayeda, T. (1953), Variation of 18O Content of Waters from Natural Sources, Geochemica Cosmochemica Acta, Vol. 4 Erez, J. and Luz, B. (1983), Experimental Paleotemperature Equation for Planktonic For aminifera, Geochemica Cosmochemica Acta, No. 47 Fairbanks, R. G. (1989), A 17,000 Years Glacio-eustatic Sea Level Record : Influence of Glacial Melting Rates on the Younger Dryas Event and Deep Ocean Circulation, Nature No. 342 Imbrie, J., Donk, J.V. and Kipp, N.G. (1973), Paleoclimatic Investigation of a Late Pleistocene Carribean Deep-Sea Core:

Comparison of Isotopic and Faunal Methods. Quaternary Research, No. 3 Martinson, D.G., Pisias, N.G., Hays, J.D., Imbrie, J., Moore, T.C. Jr. and Shackleton, N. J. (1987), Age Dating and Orbital Theory of the Ice Ages: Development of a High Resolution 0 to 300,000 Years Chronostratigraphy, Quarternary Research, No. 27 Oba, T. (1988), Comment for Sea Level Change (dalam bahasa jepang dengan abstrak bahasa inggris), Daiyonki Kenkyu, Vol. 26 Seibold, E. dan Berger, W.H. (1996), The Sea Floor: An introduction to Marine Geology, Springer-Verlag, Berlin Urey, H.C. (1948), Oxygen Isotopes in Nature and in the Laboratory, Science, No. 108 Urey, H.C., Lowenstam, H.A., Epstein, S. and Mc Kinney, C.R. (1951), Measurement of Paleotemperatures of the Upper Cretaceous of England, Denmark, and the Southeastern United States, Bulletin Geological Society of America, No. 62 Wahyudi dan Minagawa, M., (1997), Response of Benthic Foraminifera to Organic Carbon Accumulation Rates in the Okinawa Trough, Journal of Oceanography, Vol. 53

Anda mungkin juga menyukai