Penentuan Umur Sedimen Laut dan Paleo-Temperatur Air Permukaan Laut Berdasarkan Perubahan Rasio Isotop 18O/16O Dalam Foraminifera
Wahyudi1
1) Staf Pengajar Jurusan Teknik Kelautan, FTK - ITS, Surabaya
Abstak: Pemahaman tentang iklim masa lampau, iklim yang sedang terjadi saat ini, serta prediksi iklim yang akan terjadi dapat difasilitasikan dengan memanfaatkan rasio isotop stabil. Kajian lingkungan yang memanfaatkan rasio isotop stabil di Indonesia belum banyak dilakukan. Pada kesempatan kali ini telah dilakukan pengukuran rasio 18O/16O pada fosil foraminifera untuk menentukan umur sedimen dan rekonstruksi paleotemperatur air permukaan laut perairan Okinawa Trough, Laut Cina Timur. Hasil analisa menunjukkan bahwa, umur sedimen (pada bottom core) adalah 42000 tahun, dan pada saat last glacial maximum (glasial terakhir) suhu air dipermukaan air tersebut turun sebesar 20C. Pemanfaatan rasio 18O/16O untuk rekonstruksi perubahan lingkungan dapat dilakukan pada organisme karbonat lain seperti koral atau moluska yang dapat memberikan data lebih detail yang sangat berguna dalam prediksi perubahan iklim. Kata kunci: umur sedimen laut, paleo-temperatur permukaan laut, rasio isotop 18O/16O, foraminifera
1. PENDAHULUAN
Perubahan iklim global (global climate change), seperti naiknya suhu di bumi (global warming), naiknya konsentrasi CO2 di atmosfer, perubahan elevasi muka air laut dan sebagainya telah berjalan sepanjang waktu. Dalam mengantisipasi timbulnya pengaruh negatif dari perubahan iklim tersebut terhadap kehidupan manusia maupun kerusakan alam, perlu adanya prediksi iklim yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Untuk kebutuhan ini, diperlukan adanya data parameter lingkungan yang telah terjadi, baik yang bersifat short term, beberapa tahun sampai ratusan tahun yang lalu, maupun long term dengan jangka waktu ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu. Pemahaman tentang iklim saat ini dan iklim masa lampau, serta usaha untuk memprediksi iklim yang terjadi dapat difasilitasi dengan pemanfaatan isotop. Perubahan temperatur yang menyebabkan perubahan kimia air laut yang telah berjalan dari waktu ke waktu dapat dilihat dari perubahan rasio isotop stabil 18O terhadap 16O yang terkandung dalam cangkang organisme yang telah mati atau fosil yang tersusun oleh kalsium karbonat dan terendapkan bersama sediment di laut. Organisme ini semasa hidupnya menyusun kerang-
ka tubuhnya dengan mengekstrak CaCO3 dari air laut. Pada waktu organisme mengekstrak CaCO3 dari air laut, terjadilah fraksinasi isotop oksigen yang sangat dipengaruhi oleh temperatur air laut. Oleh karena itu perubahan temperatur sangat mempengaruhi perubahan rasio 18 O/16O dalam cangkang karbonat suatu organisme. Selain temperatur air laut, komposisi rasio 18 O/16O air laut juga mempengaruhi komposissi rasio 18O/16O dalam fosil. Sehingga kandungan rasio 18O/16O fosil karbonat dalam strata sedimen laut, akan mencerminkan urut-urutan perubahan temperatur air laut dimana organisme tersebut pernah hidup. Penelitian dengan memanfaatkan isotop stabil untuk kajian lingkungan belum banyak dilakukan di Indonesia. Pada kesempatan ini dikenalkan bagaimana isotop stabil oksigen dimanfaatkan sebagai alat untuk merekonstruksi perubahan lingkungan. Penelitian ini bertujuan membuat korelasi antara hasil pengukuran rasio isotop 18 O/16O dengan kurva 18O/16O standar untuk menentukan umur sedimen laut, serta membuat rekonstruksi perubahan temperatur air permukaan laut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperbanyak informasi dalam oseanografi, khususnya
untuk perubahan iklim yang telah terjadi, terutama tersedianya data temperatur air permukaan laut di masa lalu. Selain itu, diharapkan pula dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan pemanfaatan isotop stabil dalam kajian ilmu lingkungan laut di Indonesia. Beberapa asumsi dipakai dalam penelitian ini, antara lain: (1) tidak ada perubahan salinitas air laut, (2) habitat spesies forasminifera yang dipakai dalam penelitian ini adalah 40-50 meter, dan (3) temperatur yang direkonstruksi adalah temperatur air permukaan laut rata-rata tahunan.
sentase 99.763%, 0.0375%, dan 0.1905% (Bowen, 1991). Dalam analisa, isotop 17O diabaikan karena kelimpahannya sangat kecil dan jarang ditemukan di alam. Isotop 16O yang ringan dan umum dijumpai di alam berasosiasi dengan isotop 18O yang lebih berat. Walaupun kedua isotop ini mempunyai sifat-sifat kimia yang identik, molekul oksigen yang tersususun oleh isotop 16O memperlihatkan tekanan uap yang lebih besar. Sehingga selama terjadi evaporasi air laut, lebih banyak konsentrasi 16O yang mengalami fraksinasi dalam uap, sehingga terjadi pengkayaan 18O dalam air laut. Dalam pengukuran isotop oksigen dari karbonat, secara internasional digunakan standar referensi karbonat, dari fosil Belemnitellla Americana yang berasal dari the Peedee formation, South Carolina Amerika Serikat (disingkat PDB). Laboratorium-laboratorium geokimia di seluruh dunia dapat memakai standar referensi atau working standard yang bermacam-macam, tetapi hasil pengukurannya harus dicatat secara relatif terhadap standar internasional (Bowen, 1991).
dimana, Rsa adalah rasio isotop sample (missalnya, 18O/16O, 15N/14N, atau 13C/12C, dst), Rst adalah rasio isotop yang sama dari standar. Sehingga harga adalah perbedaaan relatif dari rasio isotop antara sample dengan standar dalam permil (0/00). Atom Oksigen terdiri dari isotop stabil 16O, 17O dan 18O, yang masing-masing mempunyai pre-
macam material di bumi ini selalu menunjukkan harga yang mendekati 500. Rasio ini bervariasi dalam interval beberapa persen. Kalsium karbonat dari organisme laut mempunyai 18O rata-rata >4%, dan salju di antartika mempunyai 18O <4% dari air laut. Perbedaaan tersebut merefleksikan bahwa, walaupun isotop tersebut secara kimia memiliki sifat yang mirip, tetapi tidak identik. Misalnya, air yang terbentuk oleh isotop oksigen berat mempunyai tekanan uap 1% lebih rendah daripada air yang terbentuk oleh isotop oksigen ringan. Hubungan antara komposisi isotop air laut dan volume es ditunjukkan oleh adanya kenyataan bahwa, salju yang terakumulasi membentuk tutupan es (ice caps) adalah kekurangan 18O beberapa persen (lihat Gbr. 1). Pengurangan 18O ini terjadi karena air yang mengalami kondensasi membentuk presipitasi dalam masa udara yang dingin mengalami pengayaan 18O. Isotop oksigen ringan (18O) mengalami pengayaan pada uap yang tersisa. Karena itu uap air yang tersisa dalam massa udara mengalami 18O secara progresif. Dalam perjalanan waktu uap air tersebut mencapai daerah-daerah sangat dingin seperti kutub dan Greenland, pengurangan 18O ini mencapai beberapa persen. Karena hal tersebut, es yang membentuk tutupan (dan kemungkinan juga es yang terbentuk pada glacial time) mengalami pengurangan atau depleted dalam 18O. Dalam hal ini molekul berat banyak tersimpan dalam air laut, yang menyebabkan rasio 18O sedikit lebih tinggi dari pada 16O. Sehingga, semakin besar volume es di kontinen, maka semakin tinggi rasio 18O terhadap 16O dalam air laut (Broecker, 1992). Salju yang terakumulasi dan membentuk ice sheets pada glacial terakhir kekurangan 18O ratarata 4% (Broecker, 1992). Sehubungan dengan ini besarnya pengkayaan 18O dalam air laut dapat diestimasi dengan asumsi kedalaman ratarata lautan 3800 meter (Wahyudi & Minagawa, 1997), serta pembentukan es di kontinen menyebabkan penurunan muka air laut rata-rata pada glacial terakhir 120 meter (Fairbanks, 1989; Oba, 1988). Sehingga air laut mengalami pengkayaan 18O sebesar 120/3800 x 4% atau 1.26. Estimasi ini sesuai dengan hasil pengukuran isotop pada koral Acropora palmata yang hanya hidup pada kedalaman 5 meter di bawah permuka-
an air laut yang dilakukan oleh Fairbanks (1989) di daerah Karibia. Hasil ini menunjukkan bahwa, pada saat glacial maximum (suhu minimum) terjadi penurunan air laut 120 meter dan pengkayaan 18O sebesar 1.26 , yang juga sangat dekat dengan estimasi sebesar 1.3 dari Berger & Gardner, (1975), Berger et.al. (1987) dan Imbrie et.al. (1973).
Gambar 1. Hasil observasi 18O pada rata-rata presipitasi tahunan sebagai fungsi dari temperatur rata-rata tahunan (Broecker, 1992)
Gambar 2. Hubungan temperatur tempat organisme karbonat tumbuh dan 18O dari organisme Atas: dari Epstein & Mayeda (1953). Bawah: dari Erez & Luz (1983)
Pengaruh pembentukan es di kontinen terhadap 18O pada saat glacial maksimum (temperatur paling dingin) adalah sebesar 1.3 % (Imbrie et. al., 1973; Berger & Gardner, 1975; Berger et.al., 1987; Fairbanks, 1989). Sedangkan pengaruh temperatur terhadap fraksinasi 18O adalah 0.23 /oC (Epstein & Mayeda, 1953; Erez & Luz, 1983). Berdasarkan faktor tersebut dan dengan asumsi bahwa faktor yang lain seperti salinitas air laut adalah konstan, maka paleotemperatur dapat dihitung.
2.5 18O Sebagai Penentu Umur dan Estimasi Temperatur Air Permukaan Laut
Martinson et al. (1978) membuat kronostratigrafi (urutan umur sedimen) dari 0 sampai 300,000 tahun. Dalam hal ini teori orbital digunakan untuk membuat urutan umur sedimen secara terus menerus berdasarkan 18O resolusi tinggi. Hasil pengkajian Martinson et al. (1987) ini telah digunakan secara luas dan dipakai sebagai kurva standar korelasi sedimen laut. Urey (1948) adalah peneliti yang pertama kali menemukan bahwa, dalam suatu senyawa yang sama harga 18O berubah dengan perubahan temperatur. Sehingga ia menyimpulkan bahwa, dengan menggunakan komposisi isotop oksigen sebagai termometer memungkinkan untuk mengukur paleo-temperatur. Pemanfaatan komposisi isotop oksigen dalam cangkang foraminifera sebagai indikator perubahan iklim diawali oleh Emiliani (1954; 1955; 1966). Emiliani (1954) memperlihatkan bahwa 18O dalam cangkang foraminifera berosilasi dalam merespon fluktuasi glacial-interglasial (dingin-hangat) antara harga-harga maksimum dan minimum selama Periode Kwarter (sekitar 1,600,000 tahun yang lalu sampai sekarang).
Gambar 3. Lokasi pengambilan sediment core pada stasiun PN-3 di Okinawa Trough perairan Okinawa, Laut China Timur
Penelitian ini menggunakan sampel sedimen laut dari perairan Okinawa, Jepang (site PN-3, pada 28o05,98 N, 127o20,55 E; kedalaman air 1058 m, panjang core 430 cm), yang diambil dengan piston corer pada saat Bosei Maru Cruise 1994 oleh Marginal Sea Material Flux Experiment (MASFLEX) Project, the Science and Technology Agency of Japan (Gbr. 3). Sedimen laut yang diperoleh kemudian di sampling setiap interval 10 cm dengan ketebalan 2 cm. Kemudian dari setiap sampel tersebut diambil fosil foraminifera planktonik spesies Globigerinoides sacculifer (BRADY) yang mempunyai ukuran 355-425 m sebanyak 30-40 spesimen, yang selanjutnya digunakan untuk pengukuran kandungan rasio isotop oksigennya. Pengukuran 18O dilakukan dengan mesin mass spectrometer Finnigan MAT 251, di Laboratory of Geosphe-
nya yang dibutuhkan dalam penelitian. Selain itu jumlah spesimen spesies yang dipilih harus memenuhi kebutuhan untuk pengukuran dalam setiap titik kedalaman. Dalam penelitian ini dipilih spesies Globigerinoides Sacculifera (BRADY) seperti ditunjukkan dalam Gbr. 4. Spesies ini hidup pada permukaan air laut sampai kedalaman rata-rata 40 meter (Emiliani, 1955) sehingga data lingkungan yang diperoleh dari spesies ini diasumsikan dapat mewakili keadaan permukaan air laut. Selain habitatnya, spesies ini selalu didapatkan dalam jumlah spesiemen yang cukup untuk pengukuran dalam penelitian ini.
Nilai 18O yang dikandung dalam foraminifera mencerminkan kondisi lingkungan air laut pada kedalaman dimana dan pada saat spesies tersebut hidup. Sehingga pemilihan spesies perlu dilakukan sesuai dengan kedalaman habitat hidup-
Komposisi 18O dalam organisme karbonat dipengaruhi oleh temperatur air laut di mana organisme tersebut tumbuh dan komposisi 18O/16O dari laut sendiri. Pengaruh temperatur air laut terhadap fraksinasi isotop oksigen dalam cangkang karbonat telah diketahui dari eksperimen yang dilakukan oleh Eptein & Mayeda (1953), yaitu sebesar 0.23. Hasil ini dikuatkan lagi 30 tahun kemudian oleh eksperimen Erez & Luz
(1983) dengan angka yang sama. Angka tersebut menunjukkan bahwa, setiap penurunan temperatur air laut 1oC maka dalam cangkang karbonat akan terjadi pengkayaan 18O sebesar 0.23. Sedangkan komposisi 18O air laut dipengaruhi oleh pembentukan dan pelelehan es di kontinen atau yang dikenal sebagai global ice volume effect adalah sebesar 1.26 pada saat Last Glacial Maximum (LGM) atau glacial terakhir maksimum atau kondisi paling dingin (Imbrie et.al., 1973; Berger & Gardner, 1975; Berger et.al., 1987; Fairbanks, 1989). Untuk estimasi paleotemperatur digunakan kurva 18O standar dari Martinson (1987) sebagai kurva referensi yang menyatakan fluktuasi harga 18O hanya disebabkan oleh perubahan komposisi 18O air laut atau pembentukan dan pelelehan es di kontinen. Langkah pertama yang dilakukan adalah perbedaan 18O masa sekarang dengan saat glacial terakhir atau Holocene-LGM 18 O/16O shift pada kurva standar diskala sebanding dengan 1.3 pada kurva 18O sampel, kemudian kedua kurva tersebut di-match-kan. Dari kedua kurva tersebut dapat dihitung 18O sebesar: 18O = 18OG..sacculifer - 18OMartinson dimana: 18O : (2)
dimana Tt adalah temperatur air permukaan laut pada t tahun dan TH merupakan temperatur pada masa Holocene atau saat ini.
selisih harga rasio 18O sample dan rasio 18O standar dari Martinson et al. (1987). 18OG..sacculifer : 18O dari sample. 18OMartinson : 18O standar dari Martinson et al. (1987). Dari harga 18O tersebut, selisih temperatur pada umur t tahun dengan temperatur saat ini dapat dihitung, yaitu sebesar Tt : Tt = (18Ot/ 0,23)oC (3)
dimana Tt adalah selisih temperatur pada umur t tahun dengan temperatur saat ini. 18Ot adalah selisih harga 18O sample dan 18O standar dari Martinson et al. (1987) pada t. Sehingga temperatur air permukaan laut pada t tahun yang lalu adalah, Tt=TH - Tt (4)
Persiapan Pada Vacuum Line; Vacuum line, adalah rangkaian pipa kaca yang pada prinsipnya berfungsi untuk mengekstrak gas CO2 dari sample dan menyalurkan ke mass spectrometer. Persiapan pada vacuum line dikerjakan dengan langkah sebagai berikut, tabung reaksi diisi dengan asam posfat (H3PO4) 100% kurang lebih 20 ml, kemudian dipasang pada rangkaian sample holder. Kemudian setiap sample cup yang
telah terisi dengan fosil karbonat yang telah halus dipasang pada sample holder. Setelah sampel dan tabung reaksi dipasang, kemudian dilakukan pengosongan udara dalam rangkaian vacuum line. Pengosongan udara ini harus dilakukan dengan sempurna agar tidak ada sama sekali pengaruh udara pada nilai sampel isotop yang akan diukur.
2.14. Titik ini juga dipakai sebagai referensi baik pada penentuan umur maupun pada estimasi temperatur, yaitu merupakan titik yang mewakili waktu sekarang.
Tabel 1. Hasil pengukuran rasio isotop stabil oksigen pada globigerinoides sacculifer dalam sediment core PN-3.
Depth in core cm 2 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 G, sacculifer 18O,o/oo vs PDB -2.14 -2.05 -2.18 -1.85 -1.92 -1.88 -1.28 -1.21 -1.07 -0.77 -0.86 -0.59 -0.43 -0.52 -0.49 -0.29 -0.41 -0.41 -0.51 -0.57 -0.38 Depth in core cm 220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320 330 340 350 360 370 380 390 400 410 420 430 G, sacculifer
18O,o/oo vs PDB
-0.54 -0.58 -0.62 -0.57 -0.60 -0.58 -0.66 -0.67 -0.72 -0.76 -0.72 -0.73 -0.74 -0.75 -0.74 -0.83 -0.75 -0.81 -0.72 -0.97 -0.79 -0.97
(5)
Reaksi ini harus berjalan sempurna sampai kalsium karbonat betul-betul habis bereaksi dengan asam posfat. Kemudian gas CO2 dan air yang dihasilkan dikeluarkan dari reaktor dan dipisahkan secara kriogenik. Kemudian CO2 dialirkan ke mass spectrometer untuk dilakukan pengukuran rasio 18O/16O-nya.
Gambar 6. Grafik hasil pengukuran 18O/16O pada G. Sacculifera terhadap kedalaman core
sudah ditentukan (lihat Gbr. 7). Dari hasil korelasi ini didapatkan control points yang ditentukan umurnya dari kurva standar. Berdasarkan control points ini kemudian dibuat grafik hubungan antara kedalaman dengan umur sediment core (lihat Gbr. 8). Dari grafik ini kecepatan sedimentasi ditentukan dengan menganggap sedimen yang berada di antara dua control points dapat ditentukan umurnya. Hasil penentuan umur dari sediment core PN-3 disajikan pada Tabel 2.
Berdasarkan penentuan umur ini diketahui umur sedimen paling tua (pada bottom core) adalah 42000 tahun. Sedangkan kecepatan sedimentasi terendah adalah 5.8cm/1000 tahun pada 12000 tahun terakhir, dan kecepatan maksimum 14.5cm/1000 tahun pada saat glacial maximum.
Tabel 2. Hasil penentuan umur pada sedimen core PN-3
Kedalaman dalam core (cm) 2 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 Umur (ribuan tahun) 0.2 1.8 3.5 5.3 7.0 8.6 10.3 12.0 12.7 13.3 14.1 14.8 15.4 16.2 16.9 17.7 18.4 19.2 20.0 20.7 21.5 22.2 Kedalaman dalam core (cm) 220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320 330 340 350 360 370 380 390 400 410 420 430 Umur (ribuan tahun) 23.1 23.8 24.7 25.6 26.5 27.4 28.3 29.2 30.1 31.0 31.9 32.8 33.7 34.6 35.5 36.4 37.3 38.2 39.0 40.0 40.9 41.8
Gambar 7. Korelasi 18O G Sacculifer dari core PN3 dengan kurva 18O standar, Martinson et al. (1987)
Gambar 8. Plot antara kedalaman core dan umur yang diperoleh dari korelasi Gbr. 7
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320 330 340 350 360 370 380 390 400 410 420 430
0 1.8 3.5 5.3 7.0 8.6 10.3 12.0 12.7 13.3 14.1 14.8 15.4 16.2 16.9 17.7 18.4 19.2 20.0 20.7 21.5 22.2 23.1 23.8 24.7 25.6 26.5 27.4 28.3 29.2 30.1 31.0 31.9 32.8 33.7 34.6 35.5 36.4 37.3 38.2 39.0 40.0 40.9 41.8
0 -0.22 -0.78 0.61 0.26 0.00 1.39 0.61 0.96 1.43 0.61 1.57 2.04 1.43 1.17 2.04 1.91 1.83 1.35 1.22 2.04 2.00 1.39 1.43 2.30 2.17 2.04 1.74 1.74 1.61 1.35 1.52 1.61 1.57 1.52 1.43 1.17 1.52 1.26 1.52 0.57 1.70 0.91
26 26.22 26.78 25.39 25.74 26 24.61 25.39 25.04 24.57 25.39 24.43 23.96 24.57 24.83 23.96 24.09 24.17 24.65 24.78 23.96 24.00 24.62 24.57 23.70 23.83 23.96 24.26 24.26 24.39 24.65 24.48 24.39 24.43 24.48 24.57 24.83 24.48 24.74 24.48 25.43 24.3 25.09
DAFTAR PUSTAKA
Bates, R.L. and Jackson, J.A. (1984), Dictionary of Geological Terms, Anchor Books Doubleday, New York, p. 571 Berger, W.H. and Gardner, J.V. (1975), On the Determination of Pleistocene Temperatures from Planktonic Foraminifera. Journal of Foraminiferal Research, Vol. 5 Berger, W.H., Kilingley, J.S. and Vincent, E. (1987), Time Scale of Winsconsin/Holocene Transition Oxygen Isotope Record in the Western Equatorial Pacific, Quarternary Research, Vol. 8 Bowen, R. (1991), Isotopes and Climates, Elseiver Science Publisher Ltd., London Broecker, W.S. (1992), The Glacial World According to Wally, LamontDoherty Geo-
Gambar 9. Penurunan temperatur air permukaan selama masa glacial terakhir di Perairan Okinawa.
logical Observatory, Columbia University Palisades, New York Emiliani, C. (1954), Depth Habitats of Some Species of Pelagic Foraminifera as Indicated by Oxygen Isotope Ratios, American Journal of Science, No. 252 Emiliani, C. (1955), Pleistocene paleotemperatur. Journal of Geology, Vol. 63 Emiliani, C. (1966), Pleistocene Paleotemperatur Analysis of Caribean Cores P6304-8 and P6304-9 and A Generalized Temperature Curve for the Past 425,000 Years, Journal of Geology, Vol. 74 Epstein, S. R. and Mayeda, T. (1953), Variation of 18O Content of Waters from Natural Sources, Geochemica Cosmochemica Acta, Vol. 4 Erez, J. and Luz, B. (1983), Experimental Paleotemperature Equation for Planktonic For aminifera, Geochemica Cosmochemica Acta, No. 47 Fairbanks, R. G. (1989), A 17,000 Years Glacio-eustatic Sea Level Record : Influence of Glacial Melting Rates on the Younger Dryas Event and Deep Ocean Circulation, Nature No. 342 Imbrie, J., Donk, J.V. and Kipp, N.G. (1973), Paleoclimatic Investigation of a Late Pleistocene Carribean Deep-Sea Core:
Comparison of Isotopic and Faunal Methods. Quaternary Research, No. 3 Martinson, D.G., Pisias, N.G., Hays, J.D., Imbrie, J., Moore, T.C. Jr. and Shackleton, N. J. (1987), Age Dating and Orbital Theory of the Ice Ages: Development of a High Resolution 0 to 300,000 Years Chronostratigraphy, Quarternary Research, No. 27 Oba, T. (1988), Comment for Sea Level Change (dalam bahasa jepang dengan abstrak bahasa inggris), Daiyonki Kenkyu, Vol. 26 Seibold, E. dan Berger, W.H. (1996), The Sea Floor: An introduction to Marine Geology, Springer-Verlag, Berlin Urey, H.C. (1948), Oxygen Isotopes in Nature and in the Laboratory, Science, No. 108 Urey, H.C., Lowenstam, H.A., Epstein, S. and Mc Kinney, C.R. (1951), Measurement of Paleotemperatures of the Upper Cretaceous of England, Denmark, and the Southeastern United States, Bulletin Geological Society of America, No. 62 Wahyudi dan Minagawa, M., (1997), Response of Benthic Foraminifera to Organic Carbon Accumulation Rates in the Okinawa Trough, Journal of Oceanography, Vol. 53