Anda di halaman 1dari 25

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Respirasi adalah pertukaran gas antara makhluk hidup dengan lingkungannya, sedangkan peran dan fungsi respirasi adalah menyediakan oksigen (O2) serta mengeluarkan gas karbondioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi respirasi merupakan fungsi yang vital bagi kehidupan, dimana O 2 merupakan sumber tenaga bagi tubuh yang harus dipasok secara terus-menerus, sedangkan CO2 merupakan bahan toksik yang harus dikeluarkan dari tubuh (Guyton, 2005). Ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal akan menyebabkan terjadinya gagal napas. Dimana sistem pulmoner tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme, yaitu eliminasi CO2 dan oksigenasi darah. Gagal napas terjadi bila tekanan parsial oksigen arterial (PaO2) < 60 mmHg atau tekanan parsial karbondioksida arterial (PCO2) > 45 mmHg (Guyton, 2005). Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia, dan gagal napas hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO 2 < 60 mmHg dengan PaCO2 normal atau rendah. Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO2 > 46 mmHg (Neema, 2003). Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan neuromuskular, dinding thoraks dan diafragma, penyakit pada paru seperti pneumonia, edema paru, asma, dan yang lainnya. Kelainan pada serta sistem kardiovaskuler juga dapat menyebabkan gagal nafas. Gagal napas akut merupakan salah satu kegawatdaruratan, sehingga membutuhkan penangan yang cepat dan tepat. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut (Neema, 2003; Price, 2006).

B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum a. Untuk memahami lebih jauh tentang fisiologi pernapasan. b. Untuk memahami lebih jauh tentang definisi, patofisiologi, gambaran klinis, etiologi, diagnosis serta tatalaksana gagal napas. 2. Tujuan Khusus Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Program Pendidikan Profesi di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Fisiologi Pernapasan Fungsi primer dari sistem pernapasan adalah untuk menyediakan Oksigen (O2) bagi jaringan dan membuang karbondioksida. Untuk mencapai tujuan ini, pernapasan dapat dibagi menjadi empat tahapan, yaitu:(Guyton, 2005). 1. Ventilasi a. Ventilasi Paru Ventilasi merupakan suatu proses perpindahan masa udara dari luar tubuh ke alveoli dan pemerataan distribusi udara ke dalam alveoli. Selama inspirasi, kontraksi diafragma menarik permukaan bawah paru ke arah bawah. Kemudian selama ekspirasi, diafragma mengadakan relaksasi, dan sifat elastis daya lenting paru (elastic recoil) , dinding

dada, dan struktur abdominal akan menekan paru-paru (Guyton, 2005; Price, 2006; Sherwood). Selama inspirasi otot yang berperan adalah otot interkostalis eksterna. Otot lain yang membantu adalah otot sternokleidomastoideus yang mengangkat sternum ke atas, otot serratus anterior yang mengangkat sebagian besar iga, dan otot skalenus yang mengangkat dua iga pertama. Otot lain yang berperan saat ekspirasi adalah otot rektus abdominis dan otot interkostalis interna. (Guyton, 2005; Price, 2006; Sherwood). 1) Inspirasi Terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih rendah dari tekanan udara luar. Pada saat inspirasi biasa, tekanan berkisar antara -1mmHg sampai -3mmHg. Saat inspirasi dalam tekanan intraalveolar dapat mencapai -30mmHg. Menurunnya tekanan intrapulmonar pada saat inspirasi disebabkan oleh mengembangnya rongga toraks karena berkontraksinya otot-otot inspirasi (Guyton, 2005; Price, 2006). 2) Ekspirasi Terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih tinggi daripada tekanan udara luar sehingga udara bergerak keluar paru. Tekanan intrapulmonar meningkat bila volume rongga paru mengecil yang terjadi saat otot-otot inspirasi berelaksasi. Pada proses ekspirasi biasa tekanan intraalveolar berkisar antara +1mmHg sampai +3mmHg (Guyton, 2005). 3) Tekanan Intrapleura Tekanan di dalam rongga pleura (antara pleura parietalis dan pleura viseralis). Dalam keadaan normal ruang ini hampa udara dan mempunyai tekanan negatif kurang lebih -4mmHg dibandingkan dengan tekanan intraalveolar (Guyton, 2005).

4) Volume pernapasan semenit Jumlah total udara baru yang masuk ke dalam saluran pernapasan tiap menit, dan sesuai dengan volume napas (volume Tidal/VT) dikalikan dengan frekuensi pernapasan. VT normal kira-kira 500 ml dan frekuensi pernapasan normal kira-kira 12 kali permenit. Oleh karena itu, volume pernapasan semenit ratarata sekitar 6 liter/menit (Guyton, 2005). b. Ventilasi Alveolar (VA) Ventilasi alveolar adalah salah satu bagian yang penting karena O2 pada tingkat alveoli inilah yang mengambil bagian dalam proses difusi. Besarnya ventilasi alveolar berbanding lurus dengan banyaknya udara yang masuk atau keluar paru, laju napas, udara dalam jalan napas serta keadaan metabolik. Banyaknya udara masuk atau keluar paru dalam setiap kali bernapas disebut sebagai Volume Tidal (VT). Nilai VT normal pada orang dewasa berkisar 500-700 ml. Volume napas yang berada di jalan napas dan tidak ikut dalam pertukaran gas disebut sebagai Dead Space (VD) atau Ruang Rugi dengan nilai normal sekitar 150-180 ml. Anatomic Dead Space yaitu volume napas yang berada di dalam mulut, hidung dan jalan napas yang tidak terlibat dalam pertukaran gas. Alveolar Dead Space yaitu volume napas yang telah berada di alveoli tapi tidak terjadi pertukaran gas yang disebabkan karena tidak ada suplai darah atau udara yang ada di alveoli jauh lebih besar jumlahnya dari pada aliran darah pada alveoli tersebut (Guyton, 2005; Price, 2006) Ventilasi alveolus setiap menit adalah volume total udara yang masuk dalam alveoli. Ini sama dengan frekuensi napas dikalikan dengan jumlah udara baru yang memasuki alveoli setiap kali bernapas: VA = (VT VD) x RR

VA: Ventilasi Alveolar VT: Volume Tidal VD: Volume dead space/ ruang rugi RR: Respiration Rate Pada orang sehat tekanan CO2 (PaCO2) normal dipertahankan kurang lebih 40 mmHg dengan mengatur VA melalui proses regulasi ventilasi. Hiperventilasi alveolar adalah VA yang diperlukan untuk kebutuhan metabolisme tubuh dan direfleksikan dengan PaCO 2 kurang dari 40 mmHg, sedangkan hipoventilasi alveolar adalah VA yang diperlukan untuk metabolisme tubuh dengan PaCO 2 lebih dari 40 mmHg (Guyton, 2005). 2. Difusi Difusi O2 dari alveoli ke pembuluh darah paru dan difusi karbondioksida dari arah sebaliknya melalui membran tipis antara alveolus dan kapiler. Pada paru normal kurang lebih dua pertiga udara pernapasan sampai di alveoli untuk mengadakan pertukaran gas. Terjadinya difusi O2 dan CO2 ini karena adanya perbedaan tekan parsial. Tekanan udara luar sebesar 1 atm (760 mmHg), sedangkan tekanan parsial O2 di paru-paru 760 mmHg. Tekanan parsial pada kapiler darah arteri 100 mmHg, dan di vena 40mmHg. Hal ini menyebabkan O2 berdifusi dari udara ke dalam darah. Sementara itu, tekanan parsial CO2 dalam vena 47 mmHg, tekan parsial CO2 dalam arteri 41 mmHg dan tekan parsial dalam alveolus 40mmHg. Oleh karena itu CO2 berdifusi dari darah ke alveolus (Guyton, 2005). 3. Transport O2 dan CO2 Bila O2 telah berdifusi dari alveoli ke dalam darah paru, O2 terutama ditranspor dalam bentuk gabungan dengan hemoglobin ke kapiler jaringan, dimana O2 dilepaskan untuk digunakan oleh sel. Adanya hemoglobin di dalam sel darah merah memungkinkan darah untuk mengangkut 30-100 kali jumlah O2 yang dapat ditranspor dalam bentuk O2

terlarut di dalam cairan darah (plasma). Dalam sel jaringan, O 2 bereaksi dengan berbagai bahan makanan untuk membentuk sejumlah besar karbondioksida (CO2). Karbondioksida kemudian masuk ke dalam kapiler jaringan dan ditranspor kembali ke paru-paru (Guyton, 2005). Oksigen diangkut ke jaringan dari paru melalui dua jalan, yaitu (1) secara fisik larut dalam plasma, kira-kira hanya 3% (2) secara kimiawi berikatan dengan hemoglobin (Hb) sebagai oksihemoglobin, kira-kira sebesar 97% O2 ditranspor melalui cara ini. Ikatan kimia O2 dengan Hb ini bersifat reversible, dan jumlah sesungguhnya yang diangkut dalam bentuk ini mempunyai hubungan nonlinear dengan tekanan parsial O2 dalam darah arteri (PaO2), yang ditentukan oleh jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma darah (Guyton, 2005). Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb ke dalam plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Hb yang telah melepaskan O2 pada tingkat jaringan disebut Hb tereduksi. Hb tereduksi berwarna ungu dan menyebabkan warna kebiruan pada darah vena, sedangkan HbO2 berwarna merah terang dan menyebabkan warna kemerah-merahan pada darah arteri (Guyton, 2005). Transpor CO2 dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan dengan tiga cara. Sekitar 10% CO2 secara fisik larut dalam plasma, karena tidak seperti O2, CO2 mudah larut dalam plasma. Sekitar 20% CO2 berikatan dengan gugus amino pada Hb (karbaminohemoglobin) dalam sel darah merah, dan sekitar 70% diangkut dalam bentuk bikarbonat plasma (HCO3-). Karbondioksida berikatan dengan air dalam reaksi berikut ini (Guyton, 2005) : CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3Reaksi ini reversible dan disebut persamaan buffer asam bikarbonat-karbonat. Keseimbangan asam basa tubuh ini sangat dipengaruhi oleh fungsi paru dan homeostasis CO 2. Pada umumnya

hiperventilasi (ventilasi alveolus dalam keadaan kebutuhan metabolisme yang berlebihan) menyebabkan alkalosis (peningkatan pH darah melebihi pH normal 7,4) akibat ekskresi CO 2 berlebihan dari paru; hipoventilasi (ventilasi alveolus yang tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme) menyebabkan asidosis akibat retensi CO2 oleh paru. Penurunan PCO2 seperti yang terjadi pada hiperventilasi, akan menyebabkan reaksi bergeser ke kiri sehingga menyebabkan penurungan konsentrasi H +(kenaikan pH), dan peningkatan PCO2 menyebabkan reaksi menjurus ke kanan, menimbulkan kenaikan H+ (penurunan pH) (Guyton, 2005). 4. Pengaturan ventilasi Tujuan kontrol ventilasi adalah untuk menjaga homeostasis tekanan parsial oksigen dan karbondioksida arterial (PaO2 dan PaCO2) serta pH. Tiga unsur dasar pengaturan ventilasi adalah: a. Sensor (sentral maupun perifer) yang menerima informasi dan mengirimkan melalui serabut saraf aferen ke pusat kontrol di otak b. Pusat kontrol, di otak memproses informasi dan mengirim impuls ke efektor c. Efektor (otot-otot pernapasan) sehingga timbul ventilasi Proses autonomic normal dari pernapasan mula-mula berasal dari batang otak. Korteks bisa mengambil alih kontrol ventilasi jika diperlukan (kontrol volunteer). Input dari bagian otak yang lain dapat terjadi pada kondisi tertentu. a. Pusat Pernapasan Ada tiga kelompok utama neuron pengatur pernapasan di batang otak yaitu (Guyton, 2005) : 1) Medullary Respiratory Centre Pusat ini terletak di reticulum formatio medulla. 2) Cortical Center Input kortikal pada sentra respirasi akan menghasilkan respirasi yang bersifat kontrol voluntary.

3) Bagian Lain Otak Bagian lain dari otak seperti sistem limbik dan hipotalamus dapat merubah pola pernapasan. Contoh: affektif state seperti marah dan ketakutan. b. Efektor Otot-otot efektor respirasi termasuk di dalamnya adalah diafragma, mm. intercostalis, mm. abdominalis, dan m. sternocleidomastoideus, berada dalam kendali setara pernafasan. c. Sensor 1) Central Chemoreceptor Sel yang berada pada sentrum ventilasi, yang sensitif terhadap perubahan pH cairan ekstraseluler. Perubahan cairan ekstraseluler diperngaruhi oleh PaCO2, karena CO2 akan diubah menjadi HCO3. Aktivitas dari ventilasi kenaikan akan CO2 meningkat atau yang merupakan akibat sebaliknya.

Karbondioksida akan dengan mudah melintasi sawar darah otak, sehingga perubahan sedikit saja pada PaCO2 (2-3 mmHg) akan dengan cepat merubah ventilasi permenit. 2) Peripheral Chemoreceptor Terletak di bifucartio carotis dan sepanjang arcus aorta. Kecepatan aliran darah pada badan carotis berhubungan dengan diameter pembuluh darah, yang akan diikuti respon ventilasi pada perubahan PaO2 dan kurang tanggap terhadap perubahan PaCO2.

B. Definisi Gagal Nafas Gagal napas merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat ketidakmampuan sistem pulmoner untuk mencukupi kebutuhan metabolisme (eliminasi CO2 dan oksigenasi darah). Sistem pernapasan gagal untuk mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan selsel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal (Amin, 2009). Gagal napas terjadi bila: 1). PO2 arterial (PaO2) < 60 mmHg, atau 2). PCO2 arterial (PaCO2) > 45 mmHg (ada yang mengatakan PaCO2 > 50 mmHg), kecuali jika peningkatan PCO2 merupakan kompensasi dari alkalosis metabolik (Amin, 2009; Kaynar, 2010). Pada PaO2 < 60 mmHg, yang berarti ada gagal napas hipoksemia, berlaku bila bernapas pada udara ruangan biasa (fraksi O2 inspirasi [F1O2] = 0,21), maupun saat mendapat bantuan oksigen. Sedangkan pada PaCO 2 > 45 mmHg yang berarti gagal napas hiperkapnia, kecuali ada keadaan asidosis metabolik. Tubuh pasien yang asidosis metabolik secara fisiologis akan menurunkan PaCO2 sebagai kompensasi terhadap PH darah yang rendah. Tetapi jika ditemukan PaCO2 meningkat secara tidak normal, meskipun masih dibawah 45 mmHg pada keadaan asidosis metabolik, hal ini dianggap sebagai gagal napas tipe hiperkapnia (Amin, 2009; Kaynar, 2010).

C. Klasifikasi Gagal Nafas Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia dan gagal napas hiperkapnia. Berdasarkan waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut dan gagal napas kronik. Gagal napas akut berkembang dalam waktu menit sampai jam, pH darah kurang dari 7,3. Gagal napas kronik berkembang dalam beberapa hari atau lebih lama, terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi dan meningkatkan konsentrasi bikarbonat, oleh karena itu biasanya PH hanya menurun sedikit (Kaynar, 2010). 1. Gagal Nafas Hipoksemia

Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal napas hiperkapnia. Pasien tipe ini mempunyai nilai PaO 2 yang rendah tetapi PaCO2 normal atau rendah. Selain pada lingkungan yang tidak biasa, dimana atmosfer memiliki kadar oksigen yang sangat rendah, seperti pada ketinggian, atau saat oksigen digantikan oleh udara lain, gagal napas hipoksemia menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi parenkim paru atau sirkulasi paru. Contoh klinis yang umum menunjukkan hipoksemia tanpa peningkatan PaCO2 ialah pneumonia, aspirasi isi lambung, emboli paru, asma, dan ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) (Kaynar, 2010; Price, 2006) Istilah hipoksemia menunjukkan PO2 yang rendah di dalam darah arteri (PaO2) dan dapat digunakan untuk menunjukkan PO2 pada kapiler, vena dan kapiler paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar O2 darah atau berkurangnya saturasi oksigen di dalam hemoglobin. Hipoksia berarti penurunan penyampaian (delivery) O2 ke jaringan atau efek dari penurunan penyampaian O 2 ke jaringan. Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia dapat pula terjadi akibat penurunan penyampaian O2 karena faktor rendahnya curah jantung, anemia, syok septik atau keracunan karbon monoksida, dimana PaO 2 dapat meningkat atau normal (Neema, 2003; Kaynar, 2010). 2. Gagal Nafas Hiperkapnia Gagal napas hiperkapnia mempunyai kadar PaCO2 yang abnormal tinggi. Karena CO2 meningkat dalam ruang alveolus, O2 tersisih di alveolus dan PaO2 menurun. Maka pada pasien biasanya didapatkan hiperkapnia dan hipoksemia bersama-sama, kecuali bila udara inspirasi diberi tambahan oksigen. Paru mungkin normal atau tidak pada pasien dengan gagal napas hiperkapnia, terutama jika penyakit utama mengenai bagian nonparenkim paru seperti dinding dada, otot pernapasan, atau batang otak. Penyakit paru obstruktif kronis yang parah sering mengakibatkan gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan asma berat, fibrosis paru stadium akhir,

dan ARDS

(Acute Respiratory Distress syndrome)

berat

dapat

menunjukkan gagal napas hiperkapnia (Neema, 2003; Kaynar, 2010). Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat. Peningkatan PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat, mekanismenya terutama melalui turunnya PH cairan cerebrospinal yang terjadi karena peningkatan akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi secara bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, PH turun secara cepat dan hebat karena hiperkapnia akut (Kaynar, 2010; Plantadosi, 2004). Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama sehingga bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat sebagai kompensasi terhadap asidosis respiratorik kronik. Kadar PH yang rendah lebih berkorelasi dengan perubahan status mental dan perubahan klinis lain daripada nilai PaCO2 mutlak (Kaynar, 2010; Plantadosi, 2004). Pasien dengan gagal napas hiperkapnea akut harus diperiksa untuk menentukan mekanisme. Diagnosis banding utama ialah gagal napas hiperkapnea karena penyakit paru versus penyakit nonparu. Pasien dengan penyakit paru seringkali menunjukkan hipoksemia yang tidak sesuai dengan derajat hiperkapnia. Hal ini dapat dinilai menggunakan perbedaan PO2 alveolar-arterial. Tetapi pasien dengan masalah nonparu dapat pula mempunyai hipoksemia sekunder sebagai efek kelemahan neuromuskuler yang mengakibatkan atelektasis atau pneumonia aspirasi (Kaynar, 2010; Plantadosi, 2004). D. Penyebab Gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan neuromuskuler, 1. Otak Neoplasma, epilepsi, hematoma subdural, keracunan morfin 2. Susunan Neuro-muskular dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler (Neema, 2003) :

Miastenia gravis, polyneuritis, demyelinisasi, analgesia spinal tinggi, pelumpuh otot 3. Dinding toraks dan diafragma Luka tusuk toraks dan ruptur diafragma 4. Paru Asma, infeksi paru, benda asing, pneumothoraks, hemathoraks, edema paru, ARDS, aspirasi) 5. Kardiovaskuler Gagal jantung dan emboli paru) 6. Pasca bedah toraks E. Patofisiologi 1. Gagal nafas hipoksemia Ketidakseimbangan ventilasi dengan perfusi merupakan penyebab hipoksemia tersering, terjadi ketidaksesuaian ventilasi-perfusi. Area paru mendapat ventilasi yang kurang dibandingkan banyaknya aliran darah yang menuju ke area-area tersebut. Disisi lain, beberapa area paru yang lain mendapat ventilasi berlebih dibandingkan aliran darah regional yang relatif sedikit (Kaynar, 2010, Plantadosi, 2004). Hipoksemia dapat terjadi karena meningkatnya pencampuran vena, yang dikenal sebagai pirau kanan ke kiri (right-to-left-shunt). Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus, bercampur dengan darah yang berasal dari paru, akibatnya adalah percampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru dengan PO 2 diantara PAO2 dan PVO2. Pirau kanan ke kiri dapat terjadi karena: 1). Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus sedangkan aliran darah dipertahankan. 2). Penyakit jantung kongenital dengan defek septum. 3). ARDS, dimana dapat terjadi edema paru yang berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi pirau kanan ke kiri yang berat (Kaynar, 2010, Plantadosi, 2004). 2. Gagal nafas hiperkapnia

Hipoventilasi merupakan penyebab hiperkapnia yang paling sering. Selain meningkatnya PaCO2 juga terdapat asidosis respirasi yasng sebanding dengankemampuan bufer jaringan dan ginjal. Menurunnya VA, pertama dapat disebabkan olehkarena menurunnya faktor minute ventilation (VE) yang sering disebut sebagai hipoventilasi global atau kedua, karena meningkatnya dead space (VD). Penyebab hipoventilasi global adalah overdosis obat yang menekan pusat pernafasan (Amin, 2009). F. Manifestasi Klinis 1. Gagal Nafas Hipoksemia Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke jaringan yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan pergeseran metabolisme ke arah anaerobik disertai pembentukan asam laktat. Peningkatan kadar asam laktat di darah selanjutnya akan merangsang ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat menyebabkan gangguan mental, terutama untuk pekerjaan kompleks dan berpikir abstrak. Hipoksia yang lebih berat dapat menyebabkan perubahan status mental yang lebih lanjut, seperti somnolen, koma, kejang dan kerusakan otak hipoksik permanen. Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat. Sehingga menyebabkan terjadinya takikardi, diaphoresis dan vasokonstriksi sistemik, diikuti hipertensi. Hipoksia yang lebih berat lagi, dapat menyebabkan bradikardia, vasodilatasi, dan hipotensi, serta menimbulkan iskemia miokard, infark, aritmia dan gagal jantung (Kaynar, 2010, Plantadosi, 2004). Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk jika ada gangguan hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien dengan curah jantung yang berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi dapat diramalkan akan mengalami hipoksia jaringan global dan regional pada hipoksemia yang lebih dini. Misalnya pada pasien syok hipovolemik

yang menunjukkan tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial ringan (Kaynar, 2010, Plantadosi, 2004). Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari gambaran hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan. Hipoksemia arterial meningkatkan ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus karotikus, diikuti dispnea, takipnea, hiperpnea, dan biasanya hiperventilasi. Derajat respon ventilasi tergantung kemampuan mendeteksi hipoksemia dan kemampuan sistem pernapasan untuk merespon. Pada pasien yang fungsi glomus karotikusnya terganggu maka tidak ada respon ventilasi terhadap hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama di ekstremitas distal, tetapi juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar membran mukosa dan bibir. Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi hemoglobin dan keadaan perfusi pasien (Kaynar, 2010, Plantadosi, 2004). 2. Gagal Nafas Hiperkapnia Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala

hipoksemia. Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan hiperkapnia mungkin memiliki ventilasi semenit yang meningkat atau menurun, tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas. Jadi, dispnea, takipnea, hiperpnea, bradipnea, dan hipopnea dapat berhubungan dengan gagal napas hiperkapnea ((Kaynar, 2010, Plantadosi, 2004).

G. Diagnosis Gambaran klinis gagal napas sangat bervariasi pada setiap pasien. Hipoksemia dan hiperkapnia yang ringan dapat pergi tanpa disadari sepenuhnya. Kandungan oksigen dalam darah harus jatuh tajam untuk dapat terjadi perubahan dalam bernafas dan irama jantung. Untuk itu, cara mendiagnosa gagal napas adalah dengan mengukur gas darah pada arteri (arterial blood gases, ABG), PaO2 dan PaCO2. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui apakah ada anemia, yang

dapat menyebabkan hipoksia jaringan. Pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis underlying disease (penyakit yang mendasarinya) (Amin, 2006; Kaynar, 2010). Pemeriksaan Fisik Tanda dan gejala dari gagal nafas akut menggambarkan proses penyakit yang mendasari dan hubungannya dengan hipoksemia atau hiperkapnia. Kelainan paru yang terlokalisir menggambarkan penyebab akut dari hipoksemia (contoh: pneumonia, edema paru, asma, atau PenKelainan paru yang terlokalisir menggambarkan penyebab akut dari hipoksemia (contoh: pneumonia, edema paru, asma, atau Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)). Pada pasien dengan sindrom gagal nafas akut, manifestasi klinis yang dapat ditemukan terbatas pada kelainan di thoraks. Gejala neurologis yang dapat timbul seperti cemas, bingung, kejang, atau koma. Asteriksis dapat ditemukan pada kondisi hiperkapnia yang berat. Takikardia dapat terjadi pada kondisi hipoksemia dan asidosis. Sianosis mengindikasikan terjadinya hipoksemia pada pasien. Kondisi sianosis dapat terlihat ketika konsentrasi dari hemoglobin deoksigenasi kurang dari 5 gr/dL (Kaynar, 2010). Dispnea, suatu sensasi bernafas yang tidak nyaman, seringkali menjadi tanda terjadinya suatu gagal nafas. Usaha nafas yang berlebihan, refleks vagal, dan stimulasi kimia (hipoksemia dan/atau hiperkapnia) menyebabkan terjadinya dispnea (Kaynar, 2010). Gejala kebingungan dan somnolen dapat terjadi pada kondisi gagal nafas. Mioklonus dan kejang dapat terjadi pada hipoksemia berat. Polisitemia merupakan komplikasi pada hipoksemia yang terjadi kronis (Kaynar, 2010). Pemeriksaan Laboratorium Setelah kondisi gagal nafas telah dapat diduga dari gejala klinis, analisis gas darah perlu dilakukan untuk memastikan diagnosa dan untuk membantu membedakan akut atau kronis. Pemeriksaan ini dapat

membantu dalam menilai tingkat keparahan dari gagal nafas dan dapat membantu mengarahkan penanganan pada pasien (Kaynar, 2010). Pemeriksaan darah lengkap dapat mendeteksi terjadinya anemia, yang dapat menyebabkan kondisi hipoksia jaringan, sedangkan polisitemia mengindikasikan gagal nafas hipoksemik kronik (Kaynar, 2010). Pengukuran kreatinin kinase serum dapat menolong dalam menyingkirkan dugaan terjadinya infark miokard. Pada kondisi peningkatan nilai kreatinin kinase dengan troponin I yang normal mengindikasikan miositis, yang dapat menyebabkan terjadinya gagal nafas (Kaynar, 2010). Pada kondisi gagal nafas hiperkapnia kronis, kadar Thyroid Stimulating Hormone (TSH) serum harus diukur untuk menilai kemungkinan terjadinya hipotiroidisme (Kaynar, 2010). Pemeriksaan Radiologi Foto thoraks sangat penting dilakukan dengan tujuan untuk menilai gagal nafas. Hal ini disebabkan kemungkinan dapat ditemukan penyebab terjadinya gagal nafas dari foto thoraks. Peningkatan ukuran jantung, redistribusi vaskuler, peribronchial cuffing, dan efusi pleura dapat disebabkan oleh edema hidrostatik (Kaynar, 2010). Ekokardiografi Ekokardiografi tidak perlu dilakukan secara rutin ke setiap pasien dengan gagal nafas. Namun demikian, pemeriksaan ini sangat berguna ketika ada dugaan gagal nafas yang diakibatkan kelainan pada jantung (Kaynar, 2010). Penemuan adanya suatu dilatasi pada ventrikel kiri, atau regurgitasi katup mitral mendukung diagnosis dari edema pulmo kardiogenik. Pada pasien yang memiliki jantung dengan ukuran yang masih normal, serta dengan tekanan darah normal, menggambarkan terjadinya suatu ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). H. Tatalaksana

Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu, penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care area) di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut (Rodriguez, 2003). 1. Pengobatan nonspesifik Pengobatan ini dapat dan harus dilakukan segera untuk mengatasi gejala-gejala yang timbul, agar pasien tidak jatuh ke dalam keadaan yang lebih buruk. Sambil menunggu dilakukan pengobatan spesifik sesuai dengan etiologi penyakitnya (Amin, 2006; Kaynar, 2010). Pengobatan nonspesifik pada gagal napas akut : a. Atasi hipoksemia: terapi oksigen Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal napas dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkapnia sehingga pusat pernapasan tidak terangsang oleh hipercarbic drive melainkan terhadap hypoxemic drive. Akibat kenaikan PaO2 pasien dapat apnea (Rodriguez, 2003). Terapinya dengan menaikkan konsentrasi oksigen fraksi inspirasi (FiO2), menurunkan konsumsi oksigen dengan hipotermi sampai 34C atau pemberian obat pelumpuh otot. Ventilasi dilakukan secara bantuan atau terkendali. Cara pemberian oksigen dapat dilakukan dengan kateter nasal, atau sungkup muka. Sungkup muka tipe venture dapat mengatur kadar O2 inspirasi secara lebih tepat, bila ventilasi kembali dengan ventilator maka konsentrasi O2 dapat diatur dari 21-100% (Rodriguez, 2003).

b. Atasi hiperkapnia: perbaiki ventilasi Hiperkapnia diperbaiki dengan memperbaiki ventilasinya, dari cara sederhana hingga dengan ventilator. Hiperkapnia berat serta akut akan mengakibatkan gangguan pH darah atau asidosis respiratorik, hal ini harus diatasi segera dan biasanya diperlukan ventilasi kendali dengan ventilator. Akan tetapi pada gagal napas dari penyakit paru kronis yang menjadi akut kembali (acute on chronic), keadaan hiperkapnia kronik dengan pH darah tidak banyak berubah karena sudah terkompensasi oleh ginjal atau dikenal sebagai asidosis respiratorik terkompensasi sebagian atau penuh. Dalam hal ini, penurunan PaCO2 secara cepat dapat menyebabkan pH darah meningkat menjadi alkalosis, keadaan ini justru dapat membahayakan, dapat menimbulkan gangguan elektrolit darah terutama kalium menjadi hipokalemia, gangguan pada jantung seperti aritmia jantung hingga henti jantung. Penurunan tekanan CO2 harus secara bertahap dan tidak melebihi 4 mmHg/jam. 1) Perbaiki jalan napas (Air Way) Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan hipereksistensi kepala mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan napas, apabila masih belum menolong maka mulut dibuka dan mandibula didorong ke depan (triple airway maneuver), biasanya berhasil untuk mengatasi obstruksi jalan nafas bagian atas. Sambil menunggu dan mempersiapkan pengobatan spesifik, maka diidentifikasi apakah ada obstruksi oleh benda asing, edema laring atau spasme bronkus, dan lain-lain. Mungkin juga diperlukan alat pembantu seperti pipa orofaring, pipa nasofaring atau pipa trakea. 2) Ventilasi Bantu

Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas dapat dilakukan mulut ke mulut ( mouth to mouth) atau mulut ke hidung (mouth to nose). Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan ventilasi menggunakan ventilator, spontan inspirasi seperti melalui maka ventilator mouth tekanan bird, atau dengan ventilasi muka IPPB yang akan (Intermittent Positive Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas piece sungkup dihubungkan dengan ventilator. Setiap kali pasien melakukan negatif yang ditimbulkan menggerakkan ventilator dan memberikan bantuan napas sebanyak sesuai yang diatur. 3) Ventilasi Kendali Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan dengan ventilator. Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Biasanya diperlukan obat-obatan seperti sedatif, narkotika, atau pelumpuh otot agar pasien tidak berontak dan parnapasan pasien dapat mengikuti irama ventilator. 4) Fisioterapi Dada Ditujukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret dan sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal napas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernapas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan kedua telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang baik dan efisien. Dilakukan juga tepukantepukan pada dada dan punggung, kemudian perkusi, vibrasi dan drainase postural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik, bronkodilator, atau pernapasan bantuan dengan ventilator. 5) Medikamentosa

Bronkodilator mempengaruhi langsung terhadap kontraksi otot polos, tetapi beberapa mempunyai efek tidak langsung terhadap edema dan inflamasi. Bronkodilator merupakan terai utama untuk penyakit obstruktif, tetapi peningkatan resistensi jalan nafas juga ditemukan pada penyakit lain seperti edema paru,ARDS, dan mungkin pneumonia. Agonis beta-adrenergik lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan secara parenteral atau oral. Untuk efek bronkodilatasi yang sam, efek samping sangat berkurang bila dilakukan dengan rute inhalasi sehingga dosis yang lebih besar dan kerja lama dapat diberikan Antikolinergik direkomendasikan untuk bronkodilatasi pasien dengan bronkitis kronik. Pada gagal nafas selalu digunakan kombinasi dengan agonis beta-adrenergik. Ipratropium bromide MDI (metered-dose inhaler) atau solution untuk nebulisasi. Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilatordibandingkan agonis beta-adrenergik. Mekanisme kerja ialah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada AMP siklik, translokasi kalsium, antaonis adenosine, stimulais reseptor beta-adrenergik, dan aktivitas inflamasi. Kortikosteroid menurunkan inflamasi pada jalan nafas. Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya ada gagal nafas akut dan hamper selalu digunakan preparat oralatau parenteral. Cairan per oral atau parenteral dapat memperbaiki volume atau karakteristik sputum pada pasien yang kekurangan cairan. Kaliumyodida oral mungkin berguna untuk meningkatkan volume dan menipiskan sputum yang kental. Obat mukolitik dapat diberikan langsung pada sekret jalan nafas terutama pasien dengan ETT. NaCl 0,9%, salin hipertonik dan natrium bikarbonat dapat diteteskan sebelum penyedotan (suctioning) (Amin, 2009).

2. Pengobatan Spesifik Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Kadangkadang memerlukan persiapan yang membutuhkan banyak waktu seperti operasi atau bronkoskopi.

I. Komplikasi Komplikasi pada gagal nafas akut dapat terjadi pada sistem pernafasan, kardiovaskuler, pencernaan, infeksi, atau ginjal. Komplikasi pernafasan paling sering adalah emboli paru, barotrauma, fibrosis paru, dan komplikasi sekunder yang disebabkan pemakaian alat-alat mekanik. Pasien juga dapat mudah mengalami pneumonia nosokomial. Pemeriksaan rutin perlu dilakukan dengan pemantauan melalui pemeriksaan foto thoraks. Fibrosis pulmo biasanya disebabkan oleh kerusakan pada paru karena kondisi ARDS. Kadar oksigen tinggi dan penggunaan volume tidal yang besar dapat memperburuk cedera pada paru (Kaynar, 2010). Komplikasi pada kardiovaskuler yang paling sering dialami pasien adalah hipotensi, berkurangnya cardiac output, aritmia, perikarditis, dan infark miokard akut. Komplikasi yang terjadi kemungkinan berhubungan dengan proses penyakit yang mendasari, penggunaan ventilasi mekanik, atau penggunaan kateter arteri pulmonalis (Kaynar, 2010). Gejala komplikasi gastrointestinal utama pada pasien dengan gagal nafas aku adalah perdarahan, distensi lambung dan usus, diare, serta pneumoperitoneum. Stress ulceration sering terjadi pada pasien dengan gagal nafas akut (Kaynar, 2010). J. Prognosis Angka kematian karena gagal nafas bervariasi tergantung dari etiologi. Pada ARDS, angka mortalitas berkisar antara 40-45%. Pada pasien

berusia muda memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien yang berusia tua. Kira-kira dua pertiga dari pasien gagal nafas yang dapat bertahan hidup memiliki risiko gangguan fungsi paru sekitar lebih dari 1 tahun setelah masa pemulihan (Kaynar, 2010). Angka mortalitas yang cukup signifikan juga terjadi pada pasien dengan gagal nafas hiperkapnik. Hal ini dikarenakan pada pasien memiliki gangguan nafas kronis disertai komorbiditas yang lain, seperti pada kardiopulmoner, renal, hepar, atau gangguan neurologis (Kaynar, 2010).

BAB III KESIMPULAN

Gagal napas merupakan ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal. Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia, dan gagal napas hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 normal atau rendah. Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO2 > 45 mmHg. Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler. Penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut yang utama adalah membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.

BAB IV DAFTAR PUSTAKA

Amin, Zulkifli; Purwoto, Johanes. (2009). Gagal Napas Akut. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simandibrata, M., Setiati, S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jilid 1. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2008, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 11, Jakarta: EGC. Kaynar, Ata Murat; Sharma, Sat. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada tanggal 10 Mei 2012 dari www.emedicine.medscape.com/article/167981-overview Neema, Praveen K. (2003). Respiratory Failure. Indian J Anaesth; 47 (5) : 360-6. Plantadosi, Claude A; Schwartz, David A. (2009). Acute Respiratory Distress Syndrome. Ann Intern Med; 141: 460-70. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., (2012). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC. Rodriguez, Ricardo J. (2003). Acute Respiratory Distress Syndrome: An Update. Respiratory Care; 48 (3): 279-87.

Anda mungkin juga menyukai