Anda di halaman 1dari 21

PENDAHULUAN Bells palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral, penyebabnya tidak diketahui

(idopatik), akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal.1,2 Diagnosis biasanya ditegakkan bila semua penyebab yang mungkin telah disingkirkan. Sir Charles Bell (1774-1842) dikutip dari Singhi2 dan Cawthorne4 adalah orang pertama yang meneliti tentang sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis. Oleh karena itu nama Bell diambil untuk diagnosis setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya. Saraf fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari 7.000 serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf lainnya membentuk saraf intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisikan serabut sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjer parotis, submandibula, sublingual dan lakrimal. Saraf fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu : 1. Segmen supranuklear 2. Segmen batang otak 3. Segmen meatal 4. Segmen labirin 5. Segmen timpani 6. Segmen mastoid 7. Segmen ekstra temporal Insiden Bells palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari semua kelumpuhan saraf fasialis perifer akut. Prevalensi rata-rata berkisar antara 1030 pasien per 100.000 populasi per tahun dan meningkat sesuai pertambahan umur. Insiden meningkat pada penderita diabetes dan wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini. Gejala Bells palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari (maksimal 7 hari). Pasien juga mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak ada gangguan sensorik. Kadang- kadang diikuti oleh hiperakusis, berkurangnya produksi air mata, hipersalivasi dan berubahnya pengecapan. Kelum-puhan saraf fasialis dapat terjadi

secara parsial atau komplit. Kelumpuhan parsial dalam 17 hari dapat berubah menjadi kelumpuhan komplit. Dalam mendiagnosis kelum- puhan saraf fasialis, harus dibedakan kelumpuhan sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian bawah wajah saja, otot dahi masih dapat berkontraksi karena otot dahi dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah. Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai secara subjektif dengan menggunakan sistim House-Brackmann dan metode Freyss. Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk menentukan letak lesi saraf fasialis dengan tes Schirmer, reflek stapedius dan tes gustometri.

Tujuan penatalaksanaan Bells palsy adalah untuk mempercepat penyembuhan, mencegah kelum-puhan parsial menjadi kelumpuhan komplit, meningkatkan angka penyembuhan komplit, menurunkan insiden sinkinesis dan kontraktur serta mencegah kelainan pada mata. Pengobatan seharusnya dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah pengaruh psikologi pasien terhadap kelumpuhan saraf ini. Disamping itu kasus Bells palsy membutuhkan kontrol rutin dalam jangka waktu lama. Prognosis pasien Bells palsy umumnya baik, terutama pada anak-anak. Penyembuhan komplit dapat tercapai pada 85 % kasus, penyembuhan dengan asimetri otot wajah yang ringan sekitar 10% dan 5% penyembuhan dengan gejala sisa berat. Bells palsy biasanya dapat sembuh tanpa deformitas. Hanya 5% yang mengalami deformitas. Deformitas pada Bells palsy dapat berupa : Regenerasi motorik inkomplit Ini merupakan deformitas terbesar dari kelumpuhan saraf fasialis. Dapat terjadi akibat penekanan saraf motorik yang mensarafi otot-otot ekspresi wajah. Regenerasi saraf yang tidak maksimal dapat menyebabkan kelumpuhan semua atau beberapa otot wajah. Manifestasi dari deformitas ini dapat berupa inkompetensi oral, epifora dan hidung tersumbat. Regenerasi sensorik inkomplit Manifestasinya dapat berupa disgeusia, ageusia atau disesthesia. Regenerasi Aberrant Selama regenerasi dan perbaikan saraf fasialis, ada beberapa serabut saraf yang tidak menyambung pada jalurnya tapi menyambung dengan serabut saraf yang ada didekatnya. Regenerasi aberrant ini dapat menyebabkan terjadinya gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter (sinkinesis).

BELL'S PALSY DEFINISI Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals. Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin

Gambar 2 : Bells palsy EPIDEMIOLOGI Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bells palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester

ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat Sedangkan di Indonesia, insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan . ANATOMI Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu : 1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae (n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah). 2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis. 3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah. 4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus. Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otot- otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dank ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari otot yang disarafinya. Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada

akar desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus (N.V). hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus. Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi otot- otot wajah.

Gambar 1 : Perjalanan saraf fasialis yang memperlihatkan distribusi motorik, sensorik dan parasimpatis 8 PATOFISIOLOGI Inti saraf fasialis terdapat dalam reticular pons, bersebelahan dengan bilik jantung yang keempat. Radik dari nervus fasialis meliputi serabut motorik, solitarius dan nukleus saliva. Nervus intermedius meliputi serabut dari saliva dan nukleus solitarius berisi serabut yang berhubungan dengan perasaan dari lidah, mukosa dan post auricular kulit seperti halnya serabut parasimpatetik yang berhubungan dengan kelenjar ludah dan kelenjar lakrimal. Serabut saraf fasialis kemudian berjalan disekitar inti saraf kranial keenam lalu keluar melalui pons pada sudut cerebellopontine. Serabut yang melewati saluran indera auditorik internal bersama dengan vestibular saraf kranial kedelapan. Bagian yang paling dangkal dari saluran indera auditorik internal adalah segmen labirin. Ini merupakan penempatan yang umum dari lokasi tekanan pada saraf fasialis dalam Bell palsy.

Saraf kranialis ketujuh berisi serabut parasimpatetik yang mempersarafi hidung, langitlangit mulut dan kelenjar lakrimal. Serabut parasimpatetik preganglionik yang berawal dari nukleus saliva yang bergabung dengan serabut nukleus solitarius yang akhirnya membentuk nervus intermedius. Serabut ini kemudian bersinaps dengan ganglion submandibular, yang mempersarafi kelenjar sublingual dan submandibular. Serabut dari nervus intermedius juga mempersarafi ganglion pterygopalatine, dimana terdapat serabut parasimpatetik yang mempersarafi hidung, langit-langit mulut dan kelenjar lakrimal. Saraf fasialis melalui foramen stylomastoid dalam tengkorak dan berakhir ke dalam zygomatik, bukkal, mandibular dan cabang dari cervical. Nervus ini mempersarafi otot-otot dari ekspresi muka, yang meliputi frontalis, orbicularis oculi, orbicularis oris, buccinator, dan platysma. Otot lain yang diinervasi oleh saraf fasialis meliputi stapedius, stylohyoid, abdomen digastric posterior, oksipitalis serta di daerah anterior dan posterior otot-otot auricular. Semua otot yang dipersarafi oleh saraf fasialis berasal dari arkus brachialis kedua. Lokasi dari kerusakan nervus fasialis pada penyakit Bell palsy terjadi di perifer. Dimana kerusakan berada di dekat atau di ganglion geniculate. Jika lesi berada di proksimal ganglion geniculate, maka terjadi kelumpuhan motorik dari gustatorik dan terjadi kelainan otonom. Lesi diantara ganglion geniculate dan asal chorda tympani menghasilkan efek yang sama kecuali pada kelenjar lakrimasi. Jika lesi terdapat pada foramen stylomastoid, mungkin hanya mengakibatkan kelumpuhan muka saja. Bell palsy disebabkan oleh edema dan iskhemia yang menghasilkan tekanan saraf fasialis yang berjalan sampai saluran tulang. Penyebab edema dan iskhemia masih diperdebatkan. Di masa lalu, pada keadaan dingin (misalnya angin dingin, pengaruh keadaan udara dingin, atau mengemudi dengan jendela yang terbuka) telah dipertimbangkan sebagai satu-satunya pemicu pada Bell palsy. Bagaimanapun, kebanyakan penulis percaya bahwa herpes simpleks virus (HSV) adalah penyebab yang hampir bisa dipastikan. Tapi hubungan antara HSV dan Bell palsy sangat sulit karena HSV ada dimana mana. Pada tahun 1972, Mccormick lebih dulu mengusulkan bahwa HSV bertanggung jawab atas kelumpuhan muka yang tidak diketahui. Ini telah didasarkan pada analogi bahwa pada HSV telah ditemukan sariawan dan ia menghipotesakan bahwa HSV tetap berada pada ganglion geniculate. Sejak itu, studi otopsi menunjukkan HSV berada di dalam ganglion geniculate pada pasien dengan Bell palsy. Murakami melakukan polymerase reaksi berantai (PCR) dalam pengujian HSV pada cairan endoneural nervus ketujuh pada pasien yang mengalami perawatan Bell palsy. Sebelas dari 14 pasien telah ditemukan HSV pada cairan endoneuralnya.

Asumsi bahwa HSV merupakan agen etiologi pada Bell palsy adalah wajar. Jika ini adalah benar, kemudian virus hampir bisa dipastikan terdapat pada akson sensoris dan terletak pada sel-sel ganglion. Kadang-kadang virus akan timbul kembali, menyebabkan kerusakan lokal pada myelin. Jadi Bell palsy mungkin terjadi karena sekunder oleh virus dan atau reaksi autoimun yang menyebabkan saraf fasialis demyelinasi, yang menghasilkan kelumpuhan fasialis secara unilateral. Mortalitas dan Morbiditas Mayoritas pasien yang menderita penyakit Bell palsy mempunyai neurapraksia atau blok konduksi saraf lokal. Pasien mungkin bisa mengalami penyembuhan saraf sempurna. Pasien dengan axonotmesis, dengan gangguan akson, mempunyai penyembuhan yang baik tetapi pada umumnya tidak sempurna. Faktor resiko yang berhubungan dengan hasil yang kurang baik pada Bell palsy meliputi : (1) usia lebih dari 60 tahun (2) kelumpuhan lengkap (3) penurunan indera perasa atau berhubungan dengan ludah pada salah satu sisi kelumpuhan (pada umumnya 10-25% dibandingkan dengan sisi pasien normal). Faktor lain yang berhubungan dengan hasil yang kurang baik meliputi nyeri pada auricular posterior dan penurunan lakrimasi. Pasien pada umumnya mempunyai prognosis yang baik, kira-kira 80-90% pasien sembuh tanpa kerusakan rupa yang nyata dalam 6 minggu sampai 3 bulan. Pasien dengan usia 60 tahun atau lebih tua mempunyai kesempatan sembuh sempurna kira-kira 40% dan mempunyai resiko tinggi sequele. Pasien dengan usia muda sekitar 30 tahun hanya mempunyai suatu 10-15% kesempatan dengan keadaan sembuh sempurna dan sequele. Jika tidak sembuh dalam 4 bulan, maka kemungkinan pasien mempunyai sequele yang meliputi sinkinesis, keluar air mata terus menerus dan spasme hemifasial. Sinkinesis adalah suatu kontraktur yang abnormal dari otot muka baik sambil tersenyum atau menutup mata. Mungkin saja lemah dan mengakibatkan sulitnya menggerakkan dagu ketika pasien mengedip, menutup mata sambil tersenyum atau kontraktur di sekitar mulut sambil yang mengedip. Air mata diamati ketika pasien sedang makan. Spasme wajah merupakan salah satu komplikasi dari Bell palsy yang jarang terjadi. Biasanya terjadi kontraksi tonik singkat pada satu sisi muka. Spasme dipicu oleh stress, lelah atau ketika akan tidur. Kondisi bisa terjadi sekunder oleh karena tekanan akar saraf ketujuh oleh pembuluh darah yang menyimpang, tumor atau demyelinasi saraf. Paling umum terjadi pada usia 50 sampai 60 tahun dan kadang-kadang etiologi tidak ditemukan. Adanya

hemispasme progresif pada muka dan ditemukannya kelainan saraf kranial menandai adanya kemungkinan suatu luka pada batang otak. Pasien diabetes 30% lebih mungkin sembuh sempurna dibanding pasien non diabetes yang hanya mempunyai kesembuhan parsial, biasanya Bell palsy sering kambuh pada pasien yang disertai diabetes. Bell palsy hanya meliputi 23% dari kelumpuhan muka secara bilateral. Mayoritas pasien dengan kelumpuhan muka secara bilateral mempunyai Guillain-Barr Sindrom (GBS), sarcoidosis, penyakit lyme, meningitis (neoplastik atau infeksi) atau neurofibroma bilateral (pada pasien dengan neurofibromatosis type 2). Rekurensi Bell palsy terjadi sekitar 10-15%. Mungkin berulang pada sisi ipsilateral atau kontralateral dalam kelumpuhan awal. Rekurensi pada umumnya dihubungkan dengan sejarah keluarga dari Bell palsy. Kira-kira 30% pasien dengan kelumpuhan muka ipsilateral yang timbul kembali ditemukan tumor saraf ketujuh atau tumor kelenjar parotis. Pasien dengan kelumpuhan muka ipsilateral yang timbul kembali perlu pemeriksaan MRI atau HighResolution CT yang berfungsi untuk mengesampingkan infeksi atau neoplastik (misalnya, berbagai sklerosa, sarcoidosis) yang menyebabkan rekurensi. Jenis kelamin Bell palsy dipengaruhi oleh jenis kelamin. Bagaimanapun, wanita-wanita muda yang lebih tua 10-19 tahun lebih memungkinkan terpengaruh dibanding orang pada kelompok usia yang sama. Wanita-Wanita hamil mempunyai 3,3 kali resiko yang lebih tinggi dibanding wanita yang tidak hamil, Bell palsy paling sering terjadi pada trimester yang ketiga. Usia Yang paling rendah ditemukan pada usia yang lebih muda dibanding 10 tahun dan yang paling tinggi terdapat pada usia 60 tahun atau lebih . ETIOLOGI Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat dikelompokkan sebagai berikut: A. Idiopatik Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bells palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bells Palsy antara lain : sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres,

hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetic. B. Kongenital a. anomali kongenital (sindroma Moebius) b. trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.) C. Didapat a. Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis) b. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll) c. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus) d. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll) e. Sindroma paralisis n. fasialis familial GEJALA KLINIK Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitarnya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa : Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh (lagophthalmos). Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar zXke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebutBell's sign Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi : 1. Lesi di luar foramen stilomastoideus Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat,makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus. 2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah

menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis. 3. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius) Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya hiperakusis 4. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum) Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum.Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina. 5. Lesi di daerah meatus akustikus interna, Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus. DIAGNOSA A. Anamnesa Rasa nyeri Gangguan atau kehilangan pengecapan. Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan terbuka atau di luar ruangan. Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain. B. Pemeriksaan Fisik Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal : 1. Mengerutkan dahi 2. Memejamkan mata 3. Mengembangkan cuping hidung 4. Tersenyum 5. Bersiul 6. Mengencangkan kedua bibir

Gambar 3 : Foto pasien pada pemeriksaan House-Brackmann

Gambar 4 : Foto pasien pada pemeriksaan metode Freyss C. Pemeriksaan Penunjang Radiologi Jika sejarah dan pemeriksaan mendorong ke arah hasil diagnosa Bell palsy, maka pemeriksaan radiologi tidak begitu perlu, sebab kebanyakan pasien dengan Bell palsy sembuh dalam 8 sampai 10 minggu. Jika kelumpuhan tidak sembuh atau bertambah buruk, pemeriksaan radiologi mungkin bermanfaat.

MRI pada pasien dengan Bell palsy bisa memperlihatkan gambaran peningkatan saraf ketujuh pada atau dekat ganglion geniculate. Bagaimanapun, jika kelumpuhan lebih daari saatu minggu, kemungkinan adalah tinggi karena suatu neoplasma yang menghambat saraf kranialis ketujuh. Tumor yang menekan saraf kranialis meliputi schwannoma (yang paling umum), hemangioma, meningioma, dan sclerosing hemangioma. Jika pasien mempunyai suatu sejarah trauma, CT Scan tulang yang sementara mungkin diperlukan. Pemeriksaan lain Bisa juga menggunakan peningkatan bunyi pada stetoskop test yang berfungsi untuk menilai fungsi dari otot stapedius. Schirmer blotting test untuk menilai fungsi dari air mata serta penggunaan benzen untuk mengetahui refleks nasolaakrimal. Brainstem auditory-evoked respone (BAER) berguna dalam mengukur respon transmisi melalui batang otak dan sangat efektif dalam mendeteksi khususnya luka retrocochlear. Bagaimanapun, ketika suatu pasien mengalami multiple kraniaal neuropati, dengan kata lain, CN VII dan VIII, maka penggunaan BAER mungkin bermanfaat. Pemeriksaan mikroskopik Suatu tinjauan dalam 12 kasus otopsi pada pasien dengan Bell palsy yang dilakukan Peter Dycks menyatakan bahwa mayoritas kasus menunjukkan perubahan inflamasi di sekitar sel tulang dan dinding dari arteri. Lokasi keterlibatan yang umum adalah ganglion geniculate. DIAGNOSA BANDING 1. Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom) Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai dengan ruam yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah. Tanda dan gejala RHS meliputi: Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang telinga, saluran telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-langit) atau lidah Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang terkinfeksi Kesulitan menutup satu mata Sakit telinga

Pendengaran berkurang Dering di telinga (tinnitus) Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo) Perubahan dalam persepsi rasa Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrom yang jarang

2. Miller Fisher Syndrom dijumpai.Miiler Fisher syndrom atau Acute Disseminated Encephalomyeloradiculopaty ditandai dengan trias gejala neurologis berupa opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller Fisher syndrom didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang menyebabkan kelemahan otot otot mata . Selain itu kelemahan nervus facialis menyebabkan kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer pada Miller Fisher syndrom menyerang otot wajah bilateral. Gejala lain bisa didapatkan rasa kebas, pusing dan mual. 3. Inflamasi akut demyelinasi poliradikuopati 4. Angiopati amyloid 5. Sirkulasi stroke bagian anterior 6. Arsenik 7. Trombosis arteri basilar 8. Tumor Kepala Benigna 9. Glioma batang otak 10. Penyakit Carotis dan Stroke 11. Serebral Aneurisma 12. Guillain-Barre Sindrome pada masa kanak-kanak 13. Intrakranial Hemorhagik 14. Low-Grade Astrocytoma 15. Penyakit lyme 16. Meningioma 17. Meningococcal meningitis 18. Berbagai Sklerosis 19. Mbius Sindrome 20. Neurofibromatosis type 2 21. Neurosarcoidosis 22. Neurosyphilis

23. Meningitis tuberculosa Penyakit lain yang bisa dipertimbangkan: 1. Retak Tengkorak fundamental 2. Barotrauma 3. Keracunan makanan 4. Carcinomatosis 5. Dipteri 6. Kerusakan muka 7. HIV 8. Iatrogenic ( seperti otologik, neurotologik, dasar tengkorak atau operasi parotid) 9. Idiopatik 10. Infeksi atau peradangan 11. Aneurisma intratemporal carotis interna 12. Otitis eksterna malignant 13. Meningitis 14. Penyakit gondok 15. Tumor parotid 16. Sarcoma 17. Teratoma 18. Tetanus 19. Pemberian Thalidomide 20. Trauma 21. Racun 22. Gangguan vaskuler 23. Vasculitis Wegener Serum titer dari HSV mungkin bisa diperoleh, tetapi tidak begitu membantu. Glukosa darah atau hemoglobin A1c mungkin diperoleh untuk menentukan pasien yang mempunyai penyakit diabetes yang tidak diagnosa. TATA LAKSANA 1. Istirahat terutama pada keadaan akut 2. Medikamentosa

a. Pemberian kortikosteroid Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya kelumpuhan yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal fasialis yang sempit. Dosis dewasa : 1 mg/kg atau 60 mg/oral untuk 7 hari, tappering dose dengan total pemberian obat selama 10 hari. Dosis anak-anak : 1 mg/kg atau 60 mg untuk 6 hari, tappering dose dengan total pemberian obat untuk total 10 hari. Kontraindikasi : Hipersensitivitas, diabetes yang taaak terkontrol, infeksi jamur sistemik, penyakit peptik ulser, tuberkulosis, osteoporosis, reaksi kurang baik dari kortikosteroid. Interaksi obat : Obat yang mempengaruhi enzim hepatik bisa meningkatkan clearance meliputi obat tidur, phenitoin dan rifampin, pasien dengan pemberian aspirin atau coumadin harus dimonitor akan terjadinya perdarahan pada gastro intestinal. Kehamilan : Pada umumnya aman. Tindakan pencegahan : pasien dengan resiko hiperglikemia, elektrolit yang abnormal, osteoporosis, nekrosis avascular, penyakit kejiwaan, dan myopati atau memperburuk kelemahan pada pasien dengan myasthenia gravis, discontinuitas prednisone tanpa tappering dose pada pasien dengan resiko adrenal crisis. b. Penggunaan obat- obat antivirus . Acyclovir dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bells palsy yang dikombinasikan dengan prednison atau dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk penderita yang tidak dapat mengkonsumsi prednison.Penggunaan Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus. Dosis dewasa : 800 mg/oral/5 kali/hari dalam 10 hari Dosis anak-anak : > 2 tahun, 20 mg/kg untuk 10 hari Kontraindikasi : Hipersensitivitas Interaksi obat : Probenecid atau Zidovudine memperpanjang waktu paruh dan bisa meningkatkan keracunan CNS. Kehamilan : Belum tentu aman.

Tindakan pencegahan :Hati-hati pada renal failure atau ketika menggunakan obat-obat nefrotoksik. c. Perawatan mata: Air mata buatan: digunakan selama masa sadar untuk menggantikan lakrimasi yang hilang. Pelumas digunakan saat tidur: Dapat digunakan selama masa sadar jika air mata buatan tidak mampu menyedikan perlindungan yang adekuat. Satu kerugiannya adalah pandangan kabur. Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan menurunkan pengeringan dengan menurunkan paparan udara langsung terhadap kornea 3. Fisioterapi Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore atau dengan faradisasi. 4. Operasi Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial. Tindakan operatif dilakukan apabila : Tidak terdapat penyembuhan spontan Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison

KOMPLIKASI 1. Crocodile tear phenomenon. Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum. 2. Synkinesis Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi.

Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah. 3. Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme Timbul kedutan pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian. PROGNOSIS Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bells palsy cenderung memiliki prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bells palsy, 85% memperlihatkan tandatanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 36 bulan kemudian. Sepertiga dari penderita Bells palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata. 1/3 sisanya cacat seumur hidup. Penderita Bells palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bells palsy adalah: 1. Usia di atas 60 tahun 2. Paralisis komplit 3. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh, 4. Nyeri pada bagian belakang telinga dan 5. Berkurangnya air mata. Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis lain. Pada umumnya prognosis Bells palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.

Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bells palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.

DAFTAR PUSTAKA 2. Singhi P, Jain V. Bells Palsy in Children. Seminar in Pediatric Neurotology.2003; 10(4): 289-97 3. Marsk E,Hammarstedt L,Berg et al. Early Deterioration in Bells Palsy : Prognosis and Effect of Prednisolone. Otology & Neurotology. 2010; 31: 1503-07 5. Quinn FB. Facial Nerve Paralysis. Deparment of Otolaryngology, UTMB,Grand Rounds. 1996 6. Rath B, Linder T, Cornblath D. All That Palsies is not Bells The Need to Define Bells Palsy as an Adverse event following immunization. Elsevier. 2007; 26: 1-14 7. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bells Palsy: Diagnosis and Management. American Family Physician. 2007;76(7): 997-1002 8. Alford BR. Anatomy of the 7th cranial nerve. Baylor College of Medicine. 2010 9. Gilden DH. Bells Palsy. N Engl J Med. 2004; 351: p 1323-31. 10. Holland J. Bells palsy. BMJ Publishing. 2008; 1-8. 11. Lo B. Bell Palsy. [Update Feb 24,2010: cited Dec 21,2010]. Available from: http://www.emedicine.medscape.com/article/791311

1.

Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta

neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300

2. desember 2011) 3. tanggal 22 Desember 2011). 4. 5. 6. 7. 8. desember 2011) 9.

Dr

Nara,

Dr

Sukardi,

Bells

Palsy,

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy.pdf/ sPalsy.html (diakses tanggal 11 Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell (diakses

Palsy,http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#a0156

Annsilva, 2010, Bells Palsy, http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bellsLumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia. Irga, 2009, Bells Palsy, http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html, Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta: Nurdin, Moslem Hendra, (diakses 2010, tanggal Bell 12

palsy-case-report/ (diakses tanggal 11 desember 2011)

(diakses tanggal 12 Desember 2011) Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174 Palsy,http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bell-palsy.html

Sabirin J. Bells Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I.

Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81 2 10. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian Rakyat, 1985 : 311-1a

Anda mungkin juga menyukai