Anda di halaman 1dari 29

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Kehidupan rumah tangga yang damai, sejahtera, dan bahagia adalah dambaan setiap keluarga. Tidak ada satupun wanita di dunia ini yang menginginkan kehidupan rumah tangga yang kandas di tengah jalan, karena harus mengalami perceraian dalam rumah tangganya. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah menjadi agenda bersama dalam beberapa dekade terakhir. Fakta menunjukkan bahwa KDRT memberikan efek negatif yang cukup besar bagi wanita sebagai korban. World Health Organization (WHO) dalam World Report pertamanya mengenai Kekerasan dan Kesehatan di tahun 2002, menemukan bahwa antara 4070% wanita yang meninggal karena pembunuhan, umumnya dilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri. Laporan Khusus dari PBB mengenai Kekerasan terhadap Wanita telah mendefinisikan KDRT dalam bingkai gender sebagai kekerasan yang dilakukan di dalam lingkup rumah tangga dengan target utama terhadap wanita dikarenakan peranannya dalam lingkup tersebut; atau kekerasan yang dimaksudkan untuk memberikan akibat langsung dan negatif pada wanita dalam lingkup rumah tangga.. Ada empat jenis kekerasan dalam rumah tangga, yaitu kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi. Namun demikian, masyarakat umum memahami kekerasan biasanya hanya sebatas kekerasan fisik. Wanita karier adalah wanita yang bukan hanya bekerja di sektor domestik, tetapi juga di sektor publik. Perannya yang ganda tersebut seringkali memberikan kesibukan yang luar biasa, sehingga kadang-kadang intensitas komunikasi dengan pasangan hidupnya relatif kurang. Komunikasi yang kurang kemungkinan dapat menyebabkan masalah kecil dalam rumah tangga menjadi masalah yang besar jika tidak segera diatasi. Tidak jarang hal ini menimbulkan pertengkaran dan adu mulut, bahkan sampai menimbulkan kekerasan fisik bagi wanita. Akan tetapi, karena wanita karier sibuk dengan berbagai akitivitas, kadang-kadang keadaan rumah tangga yang dialaminya tidak terlalu dipikirkan, termasuk tidak pernah berpikir tentang adanya KDRT dalam rumah tangganya.

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu kiranya dilakukan survei tentang terjadinya KDRT wanita karier agar mereka menyadari bahwa adanya KDRT sekecil apapun perlu dikomunikasikan dengan pasangannya, sehingga tidak menjadi pemicu masalah di kemudian hari yang dapat berakibat fatal pada terjadinya perceraian. Selama ini hampir sebagian besar wanita, baik wanita sebagai ibu rumah tangga maupun wanita karier, hanya memahami KDRT sebagai kekerasan fisik, padahal kata-kata kasar dan tidak mengenakkan dari pasangannya sudah termasuk bentuk KDRT. Penelitian ini difokuskan pada responden yang berprofesi sebagai pendidik (guru/dosen) karena sebagai pendidik yang berperan menanamkan nilai-nilai karakter yang baik dan akhlak mulia kepada peserta didiknya biasanya sangat tertutup terhadap masalah pribadi yang dihadapinya, artinya ketika ia mengajar semua permasalahan pribadi sedapat mungkin ditekan sedemikian rupa agar tidak terlihat di hadapan peserta didiknya. Keadaan ini berakibat sulitnya terdeteksi terjadi atau tidaknya dan mengalami atau tidaknya kekerasan dalam rumah tangga seorang pendidik. Hal inilah yang mendorong survei ini ditujukan kepada wanita karier yang berprofesi pendidik (guru/dosen). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat diajukan masalah: 1. Berapa persentase wanita karier di wilayah DIY yang mengalami KDRT ditinjau dari keempat jenis KDRT yang ada ? 2. Berapa persentase wanita karier di wilayah DIY yang mengalami KDRT ditinjau dari usia perkawinan ? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Persentase wanita karier di wilayah DIY yang mengalami KDRT ditinjau dari keempat jenis KDRT yang ada ? 2. Persentase wanita karier di wilayah DIY yang mengalami KDRT ditinjau dari usia perkawinan ?

D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: 1. Bagi Lembaga, sebagai tambahan kekayaan informasi yang berkaitan studi wanita dan isu kesetaraan gender, khususnya tentang KDRT. 2. Bagi Dosen, sebagai masukan pentingnya kepedulian terhadap semua kejadian yang ada di sekitar kehidupannya dan berusaha menindaklanjuti dalam bentuk penelitian, sehingga dapat menyajikan data empirik. 3. Bagi Masyarakat, sebagai informasi tentang pentingnya menyadari secara dini terjadinya KDRT, sehingga dapat mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dalam kehidupan berumahtangga.

BAB II KAJIAN PUSTAKA


A. Profesi Pendidik Salah satu indikator dari suatu profesi adalah adanya keterampilan kerja. Namun, tidak setiap orang yang memiliki keterampilan kerja pada sesuatu bidang dipandang sebagai seorang profesional. Tingkatan keterampilan kerja ada dua, yaitu keterampilan teknis (keterampilan vokasional), yaitu keterampilan yang tidak perlu didukung konsep atau teori tertentu yang diperoleh dari suatu jenjang pendidikan tinggi, dan keterampilan profesional yang perlu didukung oleh konsep dan teori tertentu yang harus dikuasai melalui jenjang pendidikan tinggi. Pendidik (guru/dosen) merupakan keterampilan profesional yang untuk menyandang profesi tersebut harus menempuh jenjang pendidikan tinggi pada program studi kependidikan (Mohamad Ali, 1984 : 31-34). Pada saat ini profesi pendidik merupakan sesuatu yang ideal bila dibandingkan dengan profesi lain. Bila seorang dokter dapat menjalankan tugasnya sebagai dokter dengan prosedur kerja dan teknik yang baku dapat mendapatkan hasil yang jelas dan tepat, maka hal ini tidak ditemui pada profesi pendidik. Meskipun pendidik memiliki bekal pengetahuan tentang bagaimana menghadapi peserta didik yang bermasalah dan bagaimana mengelola kelas yang baik, namun bila diterapkan belum tentu diperoleh hasil yang diharapkan. Suatu cara yang cocok digunakan untuk mengajar materi tertentu belum tentu cocok untuk materi yang lain. Demikian pula di tangan seorang pendidik mungkin suatu metode efektif, tetapi di tangan pendidik yang lain mungkin tidak efektif. Hal inilah yang menyebabkan profesi pendidik merupakan profesi yang sangat sulit dan tidak semua orang pandai yang bergelar sarjana dapat menjadi pendidik yang baik. Ada satu peristiwa di Amerika Serikat yang ada kaitannya dengan profesi pendidik, yaitu pada tahun 1948. Ketika itu banyak pasien masuk ke rumah sakit besar di Amerika Serikat, ternyata yang menderita gangguan mental 17% pasien dokter, 19% petani, 30% dokter gigi, 36% ahli hukum dan ibu rumahtangga, dan

55% pendidik (Nasution, 1982 ; 121). Kenyataan ini sangat mengejutkan, karena persentase terbesar penderita gangguan mental adalah pendidik. Hal ini kemungkinan besar disebabkan pekerjaan sebagai pendidik seringkali menimbulkan ketegangan dan frustasi. Keadaan ini sangat dimungkinkan menimpa pendidik wanita, karena selain harus menjalankan tugas sebagai pendidik yang demikian berat, juga masih terbebani pekerjaan domestik yang juga berat. Terlebih jika pasangannya tidak mau tahu dan tidak meringankan beban pekerjaan tersebut. Berkaitan dengan beban kerjanya yang relatif berat dan perlu konsentrasi yang tinggi serta persiapan yang matang ketika akan mengajar, maka hal ini berimbas pada kondisi badan yang kelelahan ketika sudah sampai di rumah dan harus berperan sebagai ibu rumah tangga dalam kerja domestik. Secara psikologis, keadaan ini berpengaruh pada ketidakberdayaan wanita, menarik diri dari lingkungan, dan penurunan motivasi (Kendall & Hammen, 1984). Peran ganda wanita karier menyebabkan mereka harus pandai-pandai membagi waktu dan tenaga dengan sebaik-baiknya, namun demikian seringkali pekerjaan domestik menjadi terbengkalai. Mulai dari memasak, merawat anak, melayani suami, sampai pada urusan-urusan kecil mencuci piring, pakaian, dan menyapu. Bagi pasangannya yang dapat memahami dan memaklumi mungkin keadaan ini tidak menjadi masalah, tetapi sebagian dari mereka menganggap suatu masalah, sehingga tidak jarang berujung pada pertengkaran kecil menjadi besar sampai pada kekerasan fisik. Perasaan wanita yang mudah tersinggung, menyebabkan setiap kali terjadi pertengkaran meninggalkan luka hati yang disimpan sangat dalam dan suatu saat akan dapat meledak menjadi pertengkaran hebat (Kartini Kartono, 1977:190). Tidak jarang hal ini memicu adanya perceraian. Oleh karena wanita karier dalam kehidupan kesehariannya disibukkan oleh berbagai aktivitas publik dan domestik, sehingga jarang mereka merenungkan bahwa apa yang dialami dalam rumah tangganya merupakan bentuk KDRT. Seorang suami yang mengeluarkan ucapan yang merendahkan atau menghina istri ketika pertengkaran terjadi hingga menyebabkan istri sulit tidur, stres atau depresi hal itu sudah merupakan bentuk kekerasan psikis yang termasuk KDRT.

Sosialisasi isi UU Penghapusan KDRT kepada khalayak masyarakat diharapkan dapat menjadi pengendali jika seseorang akan melakukan KDRT. B. Wanita Karier Wanita karier adalah mereka yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengorganisasikan pekerjaan mereka, sehingga dapat mencapai prestasi, tetapi tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai ibu rumah tangga (Juwairiyah Dahlan, 1999). Hasil penelitian M. W. Plunkett melaporkan bahwa wanita karier yang diteliti justru memperlihatkan keberhasilan dalam tugas intern rumah tangganya selaras dengan tugas kariernya. Hal ini disebabkan semakin banyak pekerjaan yang harus dikerjakan semakin mendorong dan mempertinggi kemampuan mengorganisasikan pekerjaannya tersebut. Pekerjaan sedikit dan monoton tidak menjadi tantangan dan dinamika bagi kehidupan wanita karier. Penelitian Juwairiyah Dahlan terhadap 42 wanita karier di DIY memperlihatkan kesuksesan mereka dalam tugas karier selaras dengan keberhasilan pendidikan sekolah anak-anaknya. Menurut Heni Widyastuti (200: 72) pada umumnya wanita karier memiliki masalah intern, seperti terbatasnya waktu dan kesempatan mendidik anak, tugas rumah tangga yang terbengkalai, lemahnya kondisi fisik akibat kerja di kantor. Sedangkan masalah ekstern yang dihadapi antara lain kurangnya pengertian suami terhadap keadaan istri, sulitnya berperan ganda karena sebagian besar suami menyerahkan pekerjaan rumah tangga dan pendidikan anak kepada istri, faktor pandangan lingkungan yang kadang-kadang tidak mengenakkan hati. Penelitian yang dilakukan Susilaningsih (1996: 106) terhadap wanita karier di Kabupaten Gunung Kidul menunjukkan meningkatnya gugat cerai yang sebagian beralasan karena adanya KDRT yang sudah lama mereka alami dan setelah tidak kuat baru mengajukan gugat cerai. Namun mereka tidak mengetahui bahwa alasan tersebut termasuk KDRT dan ada UU yang melindunginya. Mereka hanya mengajukan gugatan sehubungan dengan seringnya bertengkar dan dihina, dipukul, ditampar, dan lain-lain bentuk kekerasan. Berdasarkan hal ini maka sangat penting dilakukan survei untuk melihat gambaran konkrit seberapa besar

terjadinya KDRT pada wanita karier yang terjadi di lapangan. Dengan data informasi hasil survei ini nantinya dapat menjadi masukan bagi pihak yang berwenang penting tidaknya sosialisasi KDRT digalakkan lebih intensif. C. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Seringkali jika kita melihat dan mendengar berita tentang KDRT muncul pertanyaan mengapa pria dapat seenaknya melakukan KDRT terhadap wanita ? . Sebenarnya jika kita termasuk wanita yang berpandangam maju, bukan pertanyaan itu yang muncul, tetapi pertanyaan mengapa wanita diperlakukan seperti itu diam saja?. Merestrukturisasi pertanyaan tesebut merupakan hal penting dalam melakukan pembaharuan hukum, khususnya dari perspektif keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Kunci utama untuk memahami KDRT dari perspektif gender adalah untuk memberikan apresiasi bahwa akar masalah dari kekerasan tersebut terletak pada kekuasaan hubungan yang tidak seimbang antara pria dan wanita yang terjadi pada masyarakat yang didominasi oleh pria. Menurut UU Penghapusan KDRT No 23 Tahun 2004, KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psiologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan penghapusan KDRT adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya KDRT, menindak pelaku KDRT, dan melindungi korban KDRT. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan khususnya terhadap wanita oleh pasangannya maupun anggota keluarga dekatnya, terkadang juga menjadi permasalahan yang tidak pernah diangkat ke permukaan. Meskipun kesadaran terhadap pengalaman kekerasan terhadap wanita berlangsung setiap saat, fenomena KDRT terhadap wanita diidentikkan dengan sifat permasalahan ruang privat dimana wanita diartikan sebagai orang yang bertanggung jawab, baik untuk memperbaiki situasi yang sebenarnya didikte oleh norma-norma sosial atau mengembangkan metode yang dapat diterima dari penderitaan yang tak terlihat.

Sebagian besar masyarakat, KDRT belum diterima sebagai suatu bentuk kejahatan, meskipun secara internasional telah diakui sebagai lingkup hak asasi manusia (HAM) dan tanggung jawab sosial. Pemahaman dasar terhadap KDRT sebagai isu pribadi telah membatasi luasnya solusi hukum untuk secara aktif mengatasi masalah tersebut. KDRT seringkali menggunakan paksaan yang kasar untuk menunjukkan hubungan kekuasaan di dalam keluarga, dimana wanita dikondisikan untuk menerima status yang rendah terhadap dirinya sendiri, di bawah kekuasaan pria. Hal ini juga membuat pria, dengan harga diri yang rendah, menghancurkan perasaan wanita dan martabatnya karena mereka merasa tidak mampu untuk mengatasi seorang wanita yang dapat berpikir dan bertindak sebagai manusia yang bebas dengan pemikiran dirinya sendiri. Sebagaimana pemerkosaan, pemukulan terhadap istri menjadi hal umum dan menjadi suatu keadaan yang serba sulit bagi wanita di setiap bangsa, kasta, kelas, agama maupun wilayah. Pada tingkat internasional, kekerasan terhadap wanita telah dilihat sebagai suatu bingkai kejahatan terhadap hak dan kebebasan dasar wanita serta perusakan dan pencabutan kebebasan mereka terhadap hak-hak yang melekat pada dirinya. Hal ini menjadi sebuah tantangan dalam pencapaian persamaan hak, pengembangan dan kedamaian yang diakui dalam Nairobi Forward-looking Strategis for the Advancement of Women, yang merekomendasikan satu perangkat tindakan untuk memerangi kekerasan terhadap wanita. Rekomendasi tersebut dibebankan kepada Pemerintah sebagai kewajiban hukum dan moral untuk menghilangkan KDRT melalui kombinasi berbagai langkah serius. KDRT merupakan permasalahan yang telah mengakar sangat dalam dan terjadi di seluruh negara dunia. Oleh karena itu masyarakat internasional telah menciptakan standar hukum yang efektif dan khusus memberikan perhatian terhadap KDRT. Sebagai contoh, tindakan memukul wanita telah dimasukkan di dalam konvensi HAM internasional maupun regional yang mempunyai sifat hukum mengikat terhadap negara yang telah meratifikasinya. Dokumen HAM Internasional tersebut, meliputi Universal Declaration of Human Rights (UDHR), the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dan the

International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang menjadi standar umum mengenai Hak Asasi Manusia, dimana para korban dari KDRT dapat menggugat negaranya masing-masing. Berbagai peristiwa KDRT telah menunjukkan bahwa negara telah gagal untuk memberi perhatian terhadap keluhan para korban. Suatu negara dapat dikenakan sanksi jika negara tersebut merupakan anggota dari instrumen internasional seperti telah disebutkan sebelumnya. Hal yang sama dapat pula dilakukan di bawah Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) beserta dengan Protokolnya, dan juga melalui Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment (CAT). Demikian juga, instrumen regional dapat memberikan perlindungan terhadap wanita yang menjadi korban. The European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (ECHR), the American Convention on Human Rights (ACHR), bersama dengan the Inter-American Convention on the Prevention, Punishment and Eradication of Violence Against Women (Inter-American Convention on Violence Against Women), dan the African Charter on Human and Peoples' Rights (African Charter) merupakan dokumen utama HAM regional yang dapat dijadikan landasan bagi korban KDRT. Pengaruh negatif dari KDRT pun beraneka ragam dan bukan hanya bersifat hubungan keluarga, tetapi juga terhadap anggota dalam keluarga yang ada di dalamnya. Dalam hal luka serius fisik dan psikologis yang langsung diderita oleh korban wanita, keberlangsungan dan sifat endemis dari KDRT akhirnya membatasi kesempatan wanita untuk memperoleh persamaan hak bidang hukum, sosial, politik dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Terlepas dari viktimisasi wanita, KDRT juga mengakibatkan retaknya hubungan keluarga dan anak-anak yang kemudian dapat menjadi sumber masalah sosial. Kekerasan di antara mereka yang mempunyai hubungan dekat merupakan salah satu masalah utama di Indonesia. Permasalahan ini haruslah dilihat dari peranan hokum, sehingga negara kita mengeluarkan UU Penghapusan KDRT yang mengkriminalisasi tindakan-tindakan kekerasan dalam rumah tangga.

Seperti diberitakan dalam beberapa mass media, pengaduan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menempati peringkat teratas selama tahun 2009. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Wanita Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) mencatat 657 pengaduan oleh wanita yang mengalami kekerasan. Pengaduan KDRT banyak dialami wanita yang menjadi ibu rumah tangga. Aduan terbanyak kedua adalah perselisihan pasca perceraian termasuk soal pembagian harta gono-gini (99 kasus). Aduan perdata (92 kasus) termasuk aduan pidana umum yang menyangkut pelecehan terhadap wanita (80 kasus). Secara keseluruhan tingkat aduan meningkat dari tahun 2008, jumlah aduan sebanyak 853 kasus, maka tahun 2009 mencapai 1058 kasus. Hingga kini wanita yang menjadi korban kekerasan lebih cenderung melaporkan kasusnya ke institusi legal non pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat. Ini lantaran pemerintah masih dianggap belum memiliki perhatian penuh terhadap perlindungan hak wanita di Indonesia. Oleh karena itu setiap daerah diharapkan dapat menyediakan dana khusus untuk menindaklanjuti aduan kasus termasuk memfasilitasi proses hukum untuk kepentingan hak wanita. D. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Berdasarkan hasil Rapat Paripurna DPR pada tanggal 14 September 2004, telah disahkan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal, yang diharapkan dapat menjadi payung perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga, khususnya wanita, dari segala tindak kekerasan. UU ini muncul dengan berbagai pertimbangan, seperti pertimbangan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Selain itu bahwa segala bentuk kekerasan, terutama KDRT merupakan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Pertimbangan yang tidak kalah pentingnya adalah korban KDRT, yang kebanyakan perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan/ancaman kekerasan, pe-

10

nyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Kenyataan menunjukkan KDRT banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban KDRT. Secara garis besar UU ini berisi tentang ketentuan umum, meliputi pengertian KDRT, penghapusan KDRT, korban KDRT, perlindungan, perintah perlindungan, dan lingkup rumah tangga. Bab-bab selanjutnya mengatur tentang asas dan tujuan diadakannya penghapusan KDRT, larangan KDRT termasuk bentuk-bentuk KDRT, hak-hak korban, kewajiban Pemerintah dan masyarakat, perlindungan, pemulihan korban, dan ketentuan pidana. Uraian dan penjelasan masing-masing pasal sangat jelas, sehingga diharapkan UU ini mampu mengatasi dan terutama melindungi bagi siapa saja yang mengalami KDRT. E. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Kebanyakan orang awam menganggap perbuatan yang termasuk KDRT hanyalah sebatas kekerasan fisik, padahal menurut UU Penghapusan KDRT No. 23/2004 Pasal 5 9, bentuk-bentuk kekerasan yang dimaksud dapat berupa: 1. Kekerasan Fisik Kekerasan fisik berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang; memukul, menyundut; melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan cedera berat, tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari, pingsan, luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati, kehilangan salah satu panca indera, mendapat cacat, menderita sakit lumpuh, terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih, gugurnya atau matinya kandungan seorang wanita, dan kematian korban. Kekerasan fisik ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan cedera ringan dan rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat. Jika kekerasan fisik ringan dilakukan berulang-ulang (repetisi), maka dapat dimasukkan ke dalam kekerasan fisik berat. Oleh karena tujuan atau niat pelaku dalam tindak pidana KDRT tidak semata-mata untuk melukai tubuh atau menghilangkan nyawa korban, tetapi lebih

11

pada kehendak pelaku untuk mengontrol korban agar tetap ditempatkan dalam posisi subordinat (konteks kekerasan domestik), maka tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang bukan dalam konteks kekerasan domestik tidak diatur dalam UU ini tetapi masuk dalam pengaturan KUHP. 2. Kekerasan Psikis Kekerasan psikis berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya dapat mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut: a. gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun; b. gangguan stres pasca trauma; c. gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis); d. depresi berat atau destruksi diri;

e. gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya; f. bunuh diri. Kekerasan psikis ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya dapat mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal berikut ini: a. ketakutan dan perasaan terteror; b. rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri dan kemampuan bertindak; c. gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual;

12

d. gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis); e. fobia atau depresi temporer. Pembuktian kekerasan psikis harus didasarkan pada dua aspek secara terintegrasi, yaitu tindakan yang diambil pelaku dan implikasi psikologis yang dialami korban. Diperlukan keterangan psikologis atau psikiatris yang tidak saja menyatakan kondisi psikologis korban tetapi juga uraian penyebabnya. 3. Kekerasan Seksual Seperti halnya kekerasan fisik dan psikis, kekerasan seksual juga dibagi menjadi kekerasan seksual berat dan ringan. Kekerasan seksual berat berupa: a. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina, dan merasa dikendalikan. b. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki. c. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan. d. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu. e. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi. f. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera. Kekerasan seksual ringan berupa pelecehan seksual secara verbal, seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan, dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban. Jika kekerasan seksual ringan dilakukan berulangulang (repitisi), maka dapat dimasukkan senagai kekerasan seksual berat.

13

Kata pemaksaan hubungan seksual lebih diuraikan untuk menghindari penafsiran bahwa pemaksaan hubungan seksual hanya dalam bentuk pemaksaan fisik semata (seperti harus adanya unsur penolakan secara verbal atau tindakan), tetapi pemaksaan juga dapat terjadi dalam tataran psikis (seperti di bawah tekanan, sehingga tidak dapat melakukan penolakan dalam bentuk apapun). Dengan demikian pembuktiannya tidak dibatasi hanya pada bukti-bukti bersifat fisik, tetapi dapat juga dibuktikan melalui kondisi psikis yang dialami korban. Tindakan-tindakan kekerasan seksual ini dalam dirinya sendiri (formil) merupakan tindakan kekerasan dengan atau tanpa melihat implikasinya. Implikasi itu sendiri harusnya dimasukkan sebagai unsur pemberat (hukuman), seperti rusaknya hymen, hamil, keguguran, terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS), kecacatan, dan lain-lain. 4. Kekerasan Ekonomi Kekerasan ekonomi berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran, melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya, dan mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban. Kekerasan ekonomi ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya. Kekerasan ekonomi yang dimaksud dalam UU ini adalah tindakan-tindakan dimana akses korban secara ekonomi dihalangi dengan cara korban tidak boleh bekerja tetapi ditelantarkan, kekayaan korban dimanfaatkan tanpa seijin korban, atau korban dieksploitasi untuk mendapatkan keuntungan materi. Dalam kekerasan ini, ekonomi digunakan sebagai sarana untuk mengendalikan korban.

14

BAB III METODE PENELITIAN


A. Desain Penelitian Penelitian ini didesain sebagai penelitian deskriptif dengan metode survei terhadap wanita karier yang berprofesi sebagai tenaga pendidik (guru/dosen) yang ada di wilayah DIY. Adapun variabel yang akan diteliti adalah KDRT yang terjadi pada wanita karier yang menjadi sampel. B. Definisi Operasional Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini adalah KDRT pada wanita karier yang berprofesi sebagai pendidik (guru/dosen) dari lima Kabupaten yang ada di DIY. KDRT yang dimaksud adalah persentase terjadinya KDRT yang dialami pendidik (guru/dosen) yang menjadi sampel setelah menjawab pernyataan yang ada dalam lembar angket identifikasi terjadinya KDRT yang berisi aspek-aspek kekerasan dalam empat bentuk, yaitu kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi. C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pendidik (guru/dosen) yang berasal dari lima Kabupaten di DIY, yaitu Kota, Bantul, Sleman, Kulon Progo, dan Gunung Kidul. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 40 wanita karier yang berprofesi pendidik (guru/dosen) per Kabupaten, sehingga jumlah sampel seluruhnya 200 orang. Sampel diambil secara area purpossive sampling, artinya pengambilan sampel berdasarkan area/wilayah, yaitu dari lima Kabupaten yang ada di DIY dengan mempertimbangkan rasio usia perkawinan. D. Instrumen Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data Pada penelitian ini digunakan satu instrumen berupa angket yang dijabarkan berdasarkan keempat bentuk KDRT sesuai dengan UU Penghapusan KDRT No. 23 Tahun 2004, yaitu kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi. Angket divalidasi logis, artinya secara logis butir-butir pernyataan tersebut telah meme-

15

nuhi syarat sebagai instrumen, karena pernyataan dijabarkan dari aspek-aspek KDRT yang diambil dari sumber UU Penghapusan KDRT No. 23/2004.. Aspek-aspek tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar dalam menjabarkan pernyataan-pernyataan dalam angket yang seluruhnya berjumlah 50 butir dan berupa pernyataan positif. Setiap butir angket mengandung lima alternatif jawaban, yaitu tidak pernah (TP), jarang (J), kadang-kadang (K), sering (S), dan sangat sering (SS). Pemberian skor jawaban berturut-turut adalah 1, 2, 3, 4, dan 5. Adapun kisi-kisi butir angket identifikasi terjadinya KDRT disajikan pada Tabel 1. berikut ini. Angket selengkapnya terdapat pada Lampiran 1. Tabel 1. Kisi-kisi Butir Angket Identifikasi Terjadinya KDRT No. Bentuk/Jenis KDRT Nomor Butir Angket 1. Kekerasan Fisik a. Fisik Berat 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10 b. Fisik Ringan 11, 12, 13, 14, 15, 16 2. Kekerasan Psikis a. Psikis Berat 17, 18, 19, 20, 21, 22 b. Psikis Ringan 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29 3. Kekerasan Seksual a. Seksual Berat 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38 b. Seksual Ringan 39, 40, 41. 42. 43. 44 4. Kekerasan Ekonomi a. Ekonomi Berat 45, 46, 47, 48 b. Ekonomi Ringan 49, 50 JUMLAH SELURUHNYA Jumlah 10 6 6 7 9 6 4 2 50

Data berupa skor terjadinya KDRT dari masing-masing pendidik (guru/ dosen) yang menjadi sampel yang kemudian dijumlahkan sesuai dengan bentuk KDRT yang ada dan diubah menjadi bentuk persentase. Selanjutnya skor terjadinya KDRT dipisahkan sesuai dengan bentuk kekerasan dan interval usia perkawinan yang ditetapkan dalam penelitian ini, yaitu 1 5 tahun, 5,1 10 tahun, 10,1 15 tahun, dan > 15 tahun. Dalam angket ini ada 50 butir pernyataan positif, sehingga skor minimal 50 dan skor maksimal 250.

16

E. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa skor terjadinya KDRT dari setiap sampel yang dihitung melalui tahap-tahap sebagai berikut : 1. Memasukkan data skor tiap sampel ke dalam tabel data dasar. 2. Menghitung jumlah skor jawaban dari setiap aspek dan seluruh aspek. 3. Menghitung skor rata-rata tiap aspek dari bentuk KDRT dengan rumus :

SA
Keterangan : SA N1, N2, N3 Nx

N1 N 2 N 3 Nx N
= skor rata-rata suatu aspek (misal aspek kekerasan fisik) = skor total butir angket nomor 1, 2, 3 dan seterusnya dibagi jumlah seluruh butir angket pada aspek tersebut. = skor total butir angket nomor x dan seterusnya dibagi jumlah seluruh butir angket pada aspek tersebut.

= jumlah seluruh sampel


T1 T2 T3 Tx N

4. Menghitung skor rata-rata seluruh aspek dengan rumus :


ST

Keterangan : ST T1, T2, T3 Tx N

= skor rata-rata seluruh aspek (ada 4 aspek) = skor total seluruh aspek dari sampel nomor 1, 2, 3 = skor total seluruh aspek dari sampel nomor x = jumlah seluruh sampel

5. Selanjutnya, baik skor rata-rata setiap aspek maupun seluruh aspek yang diperoleh dikonversikan secara kualitatif dengan kriteria konversi yang diadaptasi dari Robert Ebel L. (1972 : 266) sebagai berikut: Tabel 2. Konversi Data Kuantitatif ke Kualitatif Persentase (Kuantitatif) 80 - 100 60 79 40 59 20 39 0 - 19 Kriteria (Kualitatif) Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah

17

Berdasarkan konversi tersebut maka dapat disimpulkan seberapa tinggi tingkat terjadinya KDRT pada wanita karier yang berprofesi sebagai pendidik (guru/dosen) di Daerah Istimewa Yogyakarta, baik untuk tiap aspek dari bentuk KDRT yang ada maupun untuk keseluruhan aspek. 6. Persentase terjadinya KDRT dari setiap aspek ditinjau dari usia perkawinan juga dapat ditentukan dengan langkah yang sama, tetapi dari tabel data dasar diubah sesuai dengan interval usia perkawinan yang telah ditentukan sebelumnya, sehingga dengan mudah dapat dihitung persentasenya. Semua langkah penelitian ini dapat disajikan dalam bentuk diagram alir pada Gambar 1 berikut ini.

Penentuan Sampel (Area Purpossive Sampling) 200 Wanita Karier Berprofesi Pendidik (Guru/Dosen)

Penyusunan Instrumen Angket Terjadinya KDRT

Pengambilan Data Dikategorikan Berdasar

Skor Terjadinya KDRT

Bentuk KDRT Diperoleh %

Usia Perkawinan

Kekerasan Fisik

Kekerasan Psikis

Kekerasan Seksual

Kekerasan Ekonomi

Konversi Data Kuantitatif ke Kualitatif Gambar 1. Diagram Alir Langkah-langkah Penelitian

18

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Penelitian Berdasarkan data yang diperoleh dari pengisian angket identifikasi terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), diperoleh data awal berupa jawaban tiga pertanyaan sederhana untuk menjajagi tentang pernah/tidaknya responden mendengar dan tahu/tidaknya responden tentang KDRT, termasuk responden diminta mengungkapkan apa yang mereka ketahui tentang KDRT dengan bahasanya sendiri. Adapun hasil pengisian dua pertanyaan singkat tersebut dapat disajikan pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Rekapitulasi Penjajagan Pengetahuan tentang KDRT Responden Pertanyaan Apakah Ibu pernah mendengar tentang KDRT ? Apakah Ibu tahu apa itu KDRT? Jawaban Tidak Pernah Pernah 1 (0,5%) 199 (99,5%) Tidak Tahu 2 (1%) Sedikit Tahu Tahu 83 (41,5%) 115 (57,5%)

Sedangkan beberapa jawaban atas pertanyaan ketiga yang berupa penjelasan singkat responden tentang KDRT disajikan pada Tabel 4. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 4. Beberapa Penjelasan Singkat tentang KDRT oleh Responden No 1. 2. Jawaban Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, baik fisik, psikis, seksual maupun ekonomi. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga yang satu terhadap yang lain (suami terhadap istri, istri terhadap suami atau orangtua terhadap anak) baik secara fisik maupun psikis. Kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami kepada istri yang berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi. Kekerasan yang dialami istri oleh suaminya, atau suami oleh istrinya dalam kehidupan berumah tangga. Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Jumlah 68 39 % 34 19,5

3.

26

13

4. 5.

20 16

10 8

19

Selanjutnya berdasarkan data yang diperoleh dari pengisian angket identifikasi terjadinya KDRT yang meliputi empat aspek, yaitu berupa bentuk-bentuk atau jenis KDRT yang meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi, maka diperoleh skor rata-rata setiap jenis atau bentuk KDRT yang dialami wanita karier setiap Kabupaten yang ada di wilayah DIY, khususnya pendidik (guru/ dosen). Skor rata-rata kemudian dikonversikan secara kualitatif untuk mengetahui tinggi rendahnya KDRT yang terjadi untuk setiap bentuk/jenis KDRT. Skor ratarata dan konversi kualitatif tersebut disajikan pada Tabel 5. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Tabel 5. Persentase Rata-rata Setiap Jenis KDRT Setiap Kabupaten No. Jenis KDRT 1. Kekerasan Fisik 2. Kekerasan Psikis 3. Kekerasan Seksual 4. Kekerasan Ekonomi % Rerata Kabupaten (%) Sleman Bantul GK 20,375 20,156 21 22,154 21,5 21,667 20,423 21 20,333 21,462 20,767 22,333 % Ratarata 20,462 21,415 21,127 21,283

Kota 20,125 20,423 20,867 20,167

KP 20,656 22,615 21,5 21,917

20,396 21,424 20,478 21,391 21,672 21,072 (rendah) (rendah) (rendah) (rendah) (rendah) (rendah)

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka data yang diperoleh dari angket juga digunakan untuk menghitung persentase rata-rata setiap bentuk/jenis KDRT ditinjau dari usia perkawinan. Pada penelitian ini juga dihitung persentase rata-rata setiap bentuk/jenis KDRT ditinjau dari usia perkawinan untuk setiap Kabupaten yang ada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Adapun data mengenai hal ini disajikan pada Tabel 6, sedangkan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9.

20

Tabel 6. Persentase Rata-rata Setiap Jenis KDRT Berdasarkan Usia Perkawinan No.
1.

UP (Tahun)
15

Jenis KDRT

Kota
20 20 20,4 20 20,1 20 20 24 20 21 20 20,439 20,476 20,476 20,348 20,417 21,196 20,444 20,37 21,838

Kabupaten (%) Sleman Bantul GK


20,313 20,385 20,667 20 20,341 20,268 21,978 21,238 20,952 21,109 20,357 23,736 22,667 21,429 22,047 20,536 22,198 21,524 23,095 21,838 20 20,80 20,242 20 20,261 20,556 20,855 21,926 20 20,834 20,179 20 20,571 20 25,313

KP
20,36

% Rerata
21,197 22,292 21,090 21,595 21,544 (rendah) 20,231 20,751 21,578 20,752 20,828 (rendah) 20,774 22,373 21,395 21,196

Kekerasan Fisik Kekerasan Psikis Kekerasan Seksual Kekerasan Ekonomi % Rata-rata

28,077 22,198 21,667 22,476 27,5 20,476

25,639 21,378 20,329 20

2.

5,1 10

Kekerasan Fisik Kekerasan Psikis Kekerasan Seksual Kekerasan Ekonomi % Rata-rata Kekerasan Fisik Kekerasan Psikis Kekerasan Seksual Kekerasan Ekonomi % Rata-rata Kekerasan Fisik Kekerasan Psikis Kekerasan Seksual Kekerasan Ekonomi % Rata-rata

20,567 20,355 20,211 20,513 22,807 20

20,979 20,217 22,083 21,25

3.

10,1 15

22,564 25,128 20 20 23,259 24,074

20,1875 21,162 23,428 20 20,362 20,941 20 20,326

4.

> 15

21,435 (rendah) 21,333 21,136 20,684 20 23,217 21,395 21,253 21,559 21,223 (rendah)

20,933 22,424 21 23,333

20,817 22,528

21

B. Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase wanita karier di wilayah DIY yang mengalami KDRT ditinjau dari keempat jenis KDRT yang ada dan persentase wanita karier di wilayah DIY yang mengalami KDRT ditinjau dari usia perkawinan. Adapun wanita karier yang dimaksud dibatasi pada wanita karier yang berprofesi pendidik (guru/dosen). Berdasarkan penjajagan terhadap pengetahuan responden menunjukkan hanya ada 1 dari 200 responden yang tidak pernah mendengar tentang KDRT. Hal ini kemungkinan satu responden tersebut termasuk wanita karier yang kurang bergaul (memiliki kepribadian tertutup) atau termasuk wanita yang kurang peduli dengan sekitarnya. Pada pertanyaan kedua, ada 2 responden yang menjawab tidak tahu tentang KDRT, kemungkinan alasannya sama dengan yang menjawab tidak pernah pada pertanyaan pertama. Ada 83 responden (41,5%) responden menjawab sedikit tahu. Hal ini dapat dipahami karena guru/dosen jarang terlibat dalam organisasi wanita, kecuali mereka yang berkecimpung dan aktif dalam organisasi wanita atau setidak-tidaknya aktif dalam wadah dharma wanita dan sejenisnya. Sebanyak 115 responden (57,5%) menyatakan tahu tentang KDRT. Sebagian besar responden yang tahu tentang KDRT, yaitu sebanyak 68 responden (34%) memberikan jawaban terhadap pertanyaan ketiga dengan menjelaskan KDRT sebagai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, baik fisik, psikis, seksual maupun ekonomi. Hal yang menggembirakan ada sebanyak 39 responden (19,5%) yang mampu menjelaskan bahwa KDRT sebagai kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga yang satu terhadap yang lain (suami terhadap istri, istri terhadap suami atau orangtua terhadap anak), baik secara fisik maupun psikis dan sebanyak 20 responden (10%) menjelaskan KDRT sebagai kekerasan yang dialami istri oleh suaminya atau suami oleh istrinya dalam kehidupan berumah tangga. Dengan jawaban ini berarti responden memahami bahwa KDRT tidak selalu kekerasan suami terhadap istri, bukan seperti yang diungkapkan oleh 26 responden (13%) maupun oleh 7 responden (3,5%) bahwa KDRT sebagai tindakan kekerasan fisik yang terjadi dalam rumah tangga yang biasanya dilakukan suami terhadap istrinya.

22

Sebagian responden yang menjawab pertanyaan kedua dengan jawaban sedikit tahu menjelaskan KDRT hanya seperti kepanjangannya, yaitu kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga (16 responden atau 8%), tetapi sebagian lagi tidak menjawab (9 responden atau 4,5%), termasuk responden yang menjawab pertanyaan pertama tidak pernah dan pertanyaan kedua tidak tahu. Meskipun hanya satu responden yang menjawab bahwa KDRT sebagai kekerasan yang sering terjadi dalam rumah tangga akibat tidak harmonisnya keluarga, tetapi jawaban ini sangat besar maknanya, karena terjadinya KDRT memang biasanya berawal dari ketidakharmonisan yang terjadi dalam rumah tangga kemudian muncul kekerasan dalam berbagai bentuknya. Berdasarkan pengolahan data dari angket yang diisi responden dari lima Kabupaten, maka diperoleh rerata KDRT dari keempat jenis KDRT untuk setiap Kabupaten tersebut. Meskipun semua berada dalam kategori/kriteria rendah, tetapi sebenarnya jika dilihat dari pola jawaban ada beberapa responden yang mengalami KDRT, baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi. Jika ditelusuri lebih lanjut, terbanyak responden mengalami kekerasan psikis (21,415%). Hal ini sesuai kenyataan dalam kehidupan seorang wanita karier yang sibuk dengan berbagai akitivitas, kadang-kadang keadaan rumah tangga yang dialaminya tidak terlalu dipikirkan, termasuk tidak pernah berpikir bahwa ia telah mengalami kekerasan psikis dalam rumah tangganya. Berdasarkan penelusuran butir-butir pernyataan yang termasuk dalam kekerasan psikis, maka butir nomor 21 yang berbunyi diperlakukan yang dapat membuat susah tidur, stres, depresi menempati urutan pertama, yaitu sebesar 23% (230/200 : 5). Perlakuan kekerasan psikis yang demikian memang sering dialami oleh wanita karier, mengingat masih banyaknya suami yang tidak dapat menerima seutuhnya jika istri sibuk bekerja. Akibatnya perselisihan paham sering terjadi karena kurangnya intensitas komunikasi antara suami istri. Seperti diketahui, jika perselisihan tidak segera dicarikan solusi berdamai, maka masalah ini akan terbawa terus hingga menyebabkan seorang istri menjadi sulit tidur. Keadaan ini jika dibiarkan dapat berakibat pada stres, dan akibat yang lebih fatal terjadinya depresi yang dapat membahayakan kehidupan rumah tangga.

23

Ditinjau dari semua skor total yang diperoleh dari pernyataan yang ada pada angket, maka butir nomor 34 menempati urutan pertama sebagai kekerasan seksual yang sering dirasakan wanita. Butir tersebut berbunyi memaksa hubungan seksual, meskipun ibu sedang tidak dapat melakukannya, karena sakit, kecapekan, dan alasan logis lainnya. Hal ini dapat dipahami, bahwa kebutuhan seksual seorang wanita yang sudah berumah tangga, apalagi wanita yang sudah memiliki anak lebih dari satu menjadi menurun seiring dengan pertambahan usia dan banyaknya aktivitas yang dilakukan. Menurut Hembing Wijayakusuma (1999: 65 77), penyebab seorang istri menolak diajak melakukan hubungan seksual dengan suami terutama disebabkan faktor kelelahan dan kekhawatiran akan hamil lagi. Lebih lanjut dikemukakan dari hasil penelitian di Inggris terhadap 100 pasangan yang terdidik, ternyata terdapat 23% pasangan melakukan hubungan seksual 2 3 kali sebulan, 24% sekali seminggu, dan 31% 2 -3 kali seminggu. Menurut penelitian tersebut, intensitas melakukan hubungan seksual menurun karena kesibukan mereka bekerja. Dengan melihat kembali Tabel 5 yang telah disajikan sebelumnya menunjukkan kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi terbesar berturut-turut dialami responden dari Gunung Kidul (21%), Kulon Progo (22,615%), Sleman/ Kulon Progo (21,5%), dan Kulon Progo (22,333%). Secara keseluruhan Kabupaten yang respondennya terbesar mengalami semua jenis KDRT adalah Kabupaten Kulon Progo (21,672%). Seperti diketahui, Kulon Progo merupakan wilayah luas yang jarang terjamah oleh aktivitas ceramah, sosialisasi dan sejenisnya dari organisasi wanita di tingkat pusat maupun Provinsi. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan beberapa responden dari Kulon Progo yang sempat diwawancarai peneliti. Jawaban yang sama juga disampaikan oleh beberapa responden (21,424%) dari Sleman ketika diwawancarai, meskipun di Sleman banyak organisasi wanita, seperti PKK, dasa wisma, tetapi guru di Sleman merasa sangat jarang dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sosialisasi peraturan atau undangundang seperti Undang-Undang Penghapusan KDRT. Ditinjau dari semua skor total yang diperoleh dari responden Kulon Progo, ternyata butir nomor 34 menempati urutan pertama, yaitu sebesar 26% (52/40 : 5).

24

Butir tersebut berbunyi memaksa hubungan seksual, meskipun ibu sedang tidak dapat melakukannya, karena sakit, kecapekan, dan alasan logis lainnya yang merupakan bagian dari kekerasan seksual. Seperti diketahui bahwa kaum pria memang memiliki nafsu seks lebih besar daripada kaum wanita. Oleh karena nafsu seks merupakan sesuatu yang mendorong seseorang untuk melakukan, maka biasanya pria cenderung lebih banyak memulai dalam kegiatan seks. Sebaliknya, wanita lebih sulit dibangkitkan nafsu seksnya, meskipun tenaga seks wanita lebih kuat (Hembing Wijayakusuma, 1999: 4). Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan bahwa ditinjau dari usia perkawinan, maka untuk usia perkawinan 1 5 tahun, 5,1 10 tahun, 10,1 15 tahun, dan > 15 tahun terbesar berturut-turut dialami oleh responden dari Kabupaten Gunung Kidul (25,639%), Sleman (21,109%), Kulon Progo (23,428%), dan Kulon Progo (22,528%). Secara keseluruhan persentase rata-rata terbesar responden yang mengalami KDRT adalah mereka yang berada pada usia perkawinan 1 5 tahun. Hal ini dapat dipahami karena di usia awal perkawinan biasanya suami istri sedang dalam masa saling mencari kesesuaian dan beradaptasi satu dengan yang lain, sehingga perselisihan paham dan pertengkaran kecil sangat mungkin terjadi. Bahkan di masa awal perkawinan biasanya sifat asli suami istri akan muncul, sehingga banyak kekerasan psikis terjadi, seperti tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; diperlakukan yang dapat membuat stres atau hilang percaya diri. Oleh karena itulah kekerasan psikis merupakan terbesar dialami oleh responden di usia perkawinan ini, yaitu sebesar 22,292%. Kekerasan terbanyak yang dialami wanita pada usia perkawinan 1 5 tahun terdapat pada butir nomor 34, yaitu sebesar 23,3% (42/36 : 5). Butir tersebut merupakan bagian dari kekerasan seksual yang bunyinya memaksa hubungan seksual, meskipun ibu sedang tidak dapat melakukannya, karena sakit, kecapekan, dan alasan logis lainnya yang. Pada tahun-tahun awal perkawinan, perlu penyesuaian dalam segala aspek yang berhubungan dengan rumah tangga, termasuk hal yang berkaitan dengan jadwal dan kesepakatan melakukan hubungan seksual. Pada umumnya, wanita yang memasuki usia awal perkawinan memiliki ketegangan sebelum melakukan hubungan seksual karena belum terbiasa dan belum

25

menyadari bahwa melakukan hubungan seksual adalah suatu kewajiban dan keharusan untuk melanggengkan perkawinan mereka. Akibatnya ketika kelelahan, dengan mudahnya mereka menolak ajakan suami. Jika hal ini dibiarkan terusmenerus, maka keharmonisan rumah tangga dapat terganggu (Hembing Wijayakusuma, 1999: 65). Pada usia perkawinan 5,1 10 tahun, KDRT terbanyak yang dialami adalah jenis kekerasan seksual, yaitu sebesar 21,578%. Hal ini karena di tahun perkawinan ini biasanya wanita mulai menurun kebutuhan biologisnya, apalagi jika sudah memiliki anak, sensitivitas tubuh menjadi menurun perlahan-lahan. Butir terbanyak kekerasan seksual pada usia 5,1 10 tahun terdapat pada butir nomor 30, yaitu sebesar 24,7% (74/60: 5). Butir tersebut menyatakan adanya kekerasan seksual berupa mencium secara paksa. Oleh karena definisi lebih lanjut tentang maksud mencium dengan paksa tersebut tidak ada dalam UU Penghapusan KDRT, maka jumlah responden yang menjawab sering relatif banyak. Pada umumnya ketika usia perkawinan menginjak lima tahun kedua, perhatian istri terhadap suami tidak seperti awal-awal perkawinan, sehingga kemesraan kadang dilupakan. Sebaliknya, suami di usia lima tahun kedua biasanya semakin mengenal istri dengan lebih baik dan ia memahami bagaimana cara menghibur kelelahan istri bekerja. Ciuman adalah salah satu cara suami menghibur istri karena ciuman diartikan sebagai luapan rasa cinta ia kepada istri. Namun kadangkadang maksud baik suami tidak dapat diterima sama baiknya oleh istri, dan ini memunculkan pendapat seolah-olah ada pemaksaan mencium oleh sang istri. Pada usia perkawinan 10,1 15 tahun, KDRT terbanyak yang dialami adalah jenis kekerasan psikis, yaitu sebesar 22,373%. Hal ini karena di tahun perkawinan yang menginjak tahap lima tahun ketiga banyak ketegangan keluarga terjadi akibat kehidupan rumah tangga yang monoton, penuh dengan masalahmasalah yang berkaitan dengan mendidik dan membesarkan anak yang kadangkadang tidak sejalan, terutama banyak ucapan keras dan kasar kedua belah pihak (suami istri) dalam penyelesaian masalah. Apalagi jika suami istri tidak mampu menyiasati hidup, maka pada usia perkawinan ini sangat rawan terjadi percecokan dalam rumah tangga.

26

Butir terbanyak kekerasan psikis pada usia 10,1 15 tahun terdapat pada butir nomor 21, yaitu sebesar 25,6% (55/43: 5) yang berbunyi diperlakukan yang dapat membuat susah tidur, stres, depresi. Usia perkawinan yang berada pada masa transisi (tidak sebentar tetapi juga belum lama) ini sering kali menimbulkan permasalahan dalam rumah tangga, mulai dari masalah dapur sampai pada masalah anak, baik dalam hal pendidikan dan pergaulan. Semua itu dapat memicu terjadinya kesalahpahaman antara suami istri, dan jika masalah tidak segera diselesaikan akan berdampak kurang baik bagi keharmonisan keluarga. Pada usia perkawinan di atas 15 tahun, KDRT terbanyak yang dialami adalah jenis kekerasan ekonomi, yaitu sebesar 21,559%. Seperti diketahui di usia perkawinan ini banyak kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi, sehingga kehidupan semakin terasa berat, karena anak-anak mulai bersekolah, bahkan mungkin sudah ada yang kuliah. Jenis kekerasan yang terbanyak adalah yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga. Jenis kekerasan ekonomi yang terbanyak terdapat pada butir nomor 50, yaitu sebesar 24,6% (75/61: 5) yang berbunyi tidak memenuhi kebutuhan dasar ibu dan keluarga. Bahkan pada butir ini ditemukan adanya skor yang relatif tinggi jika dibandingkan skor yang lain, yaitu terjadi di Sleman sebesar 31,4% (22/14: 5). Ekonomi keluarga yang paspasan menyebabkan pemenuhan kebutuhan dasar ibu dan keluarga sulit terpenuhi. Penelitian ini telah berhasil menunjukkan bahwa ada sebagian kecil wanita karier yang berprofesi pendidik (guru/dosen) yang mengalami KDRT, bahkan ada 2 responden yang menyatakan suami tidak pernah memberi nafkah selama masa perkawinan yang telah dijalani dan mengambil materi hasil kerja ibu. Selain itu ada responden yang merasakan kehilangan percaya diri dan tidak berdaya karena suami sangat sering berkata kasar, menghina, dan membentak-bentak setiap hari. Makna yang lebih mendalam dari hasil penelitian ini adalah perlunya dilakukan penelitian lanjutan terhadap wanita karier yang mengalami perceraian akibat gugat cerai dari pihaknya sendiri, agar benar-benar diperoleh informasi penting yang dapat menjadi bahan renungan sekaligus dapat dirancang kegiatan yang mampu membantu wanita-wanita yang mengalami masalah KDRT, sehingga angka perceraian dapat dikurangi perlahan-lahan.

27

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan Berdasarkan analisis data angket identifikasi terjadinya KDRT, maka dapat ditarik kesimpulan: 1. Persentase wanita karier di wilayah DIY yang mengalami KDRT ditinjau dari kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi berturut-turut sebesar 20,462%, 21,415%, 21,127%, dan 21,283%. Secara keseluruhan persentase rata-rata untuk semua jenis KDRT sebesar 21,072% dengan kriteria/kategori rendah. 2. Persentase wanita karier di wilayah DIY yang mengalami KDRT mulai dari usia perkawinan 1 5 tahun, 5,1 10 tahun, 10,1 15 tahun, dan > 15 tahun berturut-turut sebesar 21,544%, 20,828%, 21,435%, dan 21,223%, semua dalam kriteria/kategori rendah. B. SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan adanya penelitian lebih lanjut terhadap responden yang bukan saja berprofesi pendidik, tetapi wanita dengan profesi lain atau ibu rumah tangga yang sangat rawan mengalami KDRT. Selain itu akan sangat membantu informasi penelitian tentang KDRT jika responden adalah wanita-wanita yang sedang mengalami masalah dan berada di ambang perceraian, sehingga akan diperoleh data yang benar-benar sesuai sasaran. Penelitian ini hanya melakukan wawancara terhadap sebagian kecil responden, sehingga kurang banyak menggali permasalahan yang sesungguhnya, mengingat angket memiliki keterbatasan informasi yang dapat diperoleh. Oleh karena itu akan lebih baik jika dilakukan penelitian sejenis dengan menerapkan wawancara kepada semua responden, sehingga dapat lebih banyak menggali permasalahan KDRT yang sesungguhnya dialami kaum wanita.

28

DAFTAR PUSTAKA
Hembing Wijayakusuma, (1999). Frigiditas: Penyebab, Pencegah, dan Penyembuhannya. Jakarta: Handal Niaga Pustaka. Juwairiyah Dahlan. (1999). Peranan Wanita dalam Islam (Studi tentang Wanita Karier dan Pendidikan Anak. Disertasi. Yogyakarta: PPS IAIN Suka Kartini Kartono. (1977). Psikologi Wanita. Bandung: Alumni. Kedaulatan Rakyat. (2009). Selama 2009, Kasus KDRT Peringkat Teratas. Rabu, 6 Januari 2010 Kendall, P. C & Hammen, C. (1984). Abnormal Psychology Understanding Human Problems. Boston: Houghton Mifflin Company. Mohamad Ali. (1984). Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung : Sinar Baru. Nasution, S. (1987). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta : Bina Aksara. Robert Ebel L. (1972). Essentials of Educational Measurement. New Jersey : Prentice Hall Inc. Englewood Clift. Susilaningsih. (1997). Dinamika Kelompok Keagamaan sebagai Pendorong Usaha Peningkatan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga. Yogyakarta : Fak. Tarbiyah IAIN Suka. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

29

Anda mungkin juga menyukai