Anda di halaman 1dari 150

1

Kata Penulis
Sebuah naskah kejar-tayang gagal yang diikutsertakan dalam salah satu kompetisi menulis yang diadakan penerbit ternama di tahun 2010 silam. Ya. Begitulah saya mengistilahkannya. Naskah yang

beruntung karena bisa lolos menjadi finalis 20 besar, namun nyatanya cuma mentok di sana saja (baca: gagal terbit). Lantas saya berpikir,

daripada naskah ini membusuk tiada guna.. lebih baik saya biarkan ia bergerilya di antara mereka yang mungkin suka. Maka, saya putuskan
untuk mengkonversinya ke dalam bentuk pdf dan wallaaaa~~ jadilah ia didandani secara pas-pasan. Maklum lah, saya memang penulis

gadungan dan betul-betul bukan perancang tata letak buku yang baik dan benar :)) Well, berhubung saya tak tahu lagi mau nulis apa di salamsalam pembuka ala kadarnya ini dan tidak mau sok-sok an jadi penulis betulan yang berbagi kisah seputar pembuatan naskah, ataupun ucapan terima kasih untuk sanak saudara, maka.. saya ucapkan saja: Selamat Membaca! ^__________^ Kritik dan saran dan caci-maki dan apa saja yang hendak disampaikan pada saya secara langsung, bisa menghubungi saya melalui dunia maya di: Twitter: @mungkin_alien e-mail: alien.alien@rocketmail.com

Terima kasih!! ^__________^

Jakarta, Juni 2012 Penulis Gadungan, Ali N.

PROLOG
SATU cerita dituliskan untuk kita.

Dengan pena merah muda.

Disemprotkan parfum aroma surga.

Berjudul: Cinta.

Langit Jakarta malam itu sangat cerah. Ribuan kerlip kecil menghiasi pekat gelapnya. Namun, hujan ringan sore tadi masih meninggalkan jejak-jejak genangan air di beberapa tempat. Malam seperti itu membuat suasana taman kota menjadi lebih sepi dari biasanya. Hanya ada beberapa remaja yang sibuk menyulut sumbu kembang api di tengah-tengah taman. Sementara, di dekat gerbang taman, sebuah tenda dengan lampu temaram menjadi satu-satunya tempat yang lebih terang dibanding sisi-sisi lain taman tersebut. Suara jangkrik, tawa para remaja, serta gesekan wajan dan spatula, menjadi semacam paduan suara yang syahdu di taman itu. Dari dua arah yang berlawanan, tampak sosok-sosok yang berlari kecil saling mendekat. Memakai jaket yang cukup tebal. Sesekali kedua sosok itu melompati genangan air yang warnanya kecokelatan. Tak peduli pada cipratan air di ujung-ujung celana jeans keduanya. Mereka terus berlari kecil dan terhenti di depan tenda temaram beraroma nasi goreng yang begitu sedap. Membangkitkan rasa-rasa yang nyaris dihapus mereka berdua. Keduanya bergeming tanpa suara. Tidak saling menyapa. Kedua sosok itu hanya saling tatap dengan sejuta makna. Semua rasa tercampur dalam dada keduanya. Ada rindu, ada sendu, dan mereka tak tahu mana rasa yang lebih dominan. Entah apa nama rasa-rasa itu jika semuanya menjadi satu. Suara jangkrik, tawa para remaja, serta gesekan wajan dan spatula mendadak tak terdengar di telinga keduanya. Detik terbentang lebar. Membuka kenangan-kenangan yang telah nyaris usang. Kedua sosok itu larut dalam memori masa silam.

BENIH ITU DITANAM


IRIS duduk di dekat jendela ruang kelasnya yang ada di lantai tiga. Senyumsenyum sendiri. Entah kenapa, warna biru langit dan kumpulan gas putih yang menghiasinya selalu tampak menarik bagi gadis sembilan belas itu. Sudah tiga puluh menit ia duduk di sana dan belum merasa bosan sedikitpun. Iris melihat banyak bentuk-bentuk awan yang menyerupai sesuatu. Mobil, beruang, kelinci. Bahkan, Iris kadang melihat awan yang menyerupai mendiang ayahnya. Ayah Iris tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Motornya disambar truk yang oleng karena supirnya mengantuk. Iris tak pernah punya ayah lagi sejak itu. Usianya baru tujuh tahun. Sejak saat itu, Iris sangat merindukan figur seorang ayah. Ris, udahan kek bengongnya.. Eta menyikut bahunya pelan, Gue laper tau.. nyari makan kek.. Iris ngikik melihat wajah Eta yang manyun gara-gara kelaparan. Persis warga Ethiopia yang busung lapar itu. Ia akhirnya mengangguk dan meninggalkan spot favoritnya. Eta adalah sahabat Iris sejak mereka pertama kali berkenalan tepat di hari ujian masuk kampus. Kala itu, Iris lupa membawa alat tulis. Eta yang duduk di sebelahnya dengan baik hati menawarkan alat tulis cadangan miliknya untuk Iris pakai. Setelah mengobrol lama, rupanya Iris dan Eta berdomisili di daerah yang sama. Hanya beda wilayah kompleks saja. Ketika mereka sama-sama lulus ujian masuk, keduanya pun memutuskan untuk mencari kamar kos berbarengan. Akhirnya, kedua gadis itu malah menyewa satu kamar kos untuk berdua agar lebih murah. Makan apa kita? sebelum Eta menjawab, Iris buru-buru menambahkan, Gue nggak mau makan soto depan kampus lagi ah.. bosen gue, ta.. Airis, sebenernya gue juga bosen, tapi, satu-satunya tempat makan yang pemandangannya bagus cuma di situ doang! Serasa ada di taman bunga gitu kan. Warna-warninya bikin seger mata... hahahaha! Iris paham betul arti pemandangan bagus bagi sahabatnya bukan bunga warna-warni yang kebetulan ada di toko bunga di seberang tukang soto itu, tapi pegawainya! Pegawai toko bunga itu bernama Egi, lelaki berusia akhir dua puluhan, berkacamata, agak gemuk, dan sedikit berwajah oriental. Eta memang selalu suka

cowok-cowok yang agak berdaging. Bikin gemas, katanya. Kalau menurut Iris, Eta suka cowok berdaging hanya untuk memperbaiki keturunan. Ya, tentu saja karena Eta berbadan kecil dan tinggi. Mengingat Egi, membuat Iris ingin tertawa. Cara Eta mengajaknya berkenalan benar-benar konyol sekali. Kala itu, kebetulan Egi sedang membeli soto. Eta pura-pura menanyakan soal bunga-bunga padanya, seolah ingin memesan karangan bunga. Di akhir obrolan, Eta akhirnya menanyakan namanya dan berkenalan. Konyolnya, Eta juga mengatakan: saya mesen karangan bunganya kapankapan ya, Koh. Kalau temen saya ini udah dapet jodoh. Soto dua ya, pak! Pake nasi! Suara Eta mengembalikan Iris dari lamunannya. Tukang soto manggut-manggut dan langsung meracik dua porsi untuk Eta dan Iris. Iris menyenggol kaki Eta pelan, Kalo nasi nya aja bisa nggak, ta? Enggak usah pake soto... bisiknya. Bisa, kalo lu yang dagang sotonya! Lima belas menit kemudian, dua piring nasi sudah tak bersisa, soto pun sudah tinggal kuahnya saja. Eta melirik Iris yang masih sibuk mengais sisa-sisa daging di mangkuk sotonya. Bosen-bosen abis juga!! katanya meledek. Iris cuma nyengir. Balik yuk, Ta. Sebelum gue berubah pikiran dan mesen satu porsi lagi... Bentar dulu, gue kok belum liat si ndut yaa.. Eta menjulur-julurkan lehernya, berusaha melihat penampakan Egi di seberang sana. Tapi, yang dicari tak kunjung terlihat. Iris ikut menjulur-julurkan lehernya, memicingkan mata. Ia lalu geleng-geleng kepala, Lagi cuti kali, ta.. Tunggu-tunggu.. itu siapa tuh?? Seorang pria keluar dari dalam toko bunga itu, membawa ember yang penuh bunga berwarna kuning. Pria itu bukan si ndut yang ditaksir Eta. Dia lebih tua. Iris merasa belum pernah melihatnya. Ndut lu kurusan kali, ta.. kata Iris asal saja. Eta menghadiahkan pukulan di paha Iris atas kata-kata asalnya barusan. Beda, odong! Itu mah bapak-bapak! Nyari si ngkoh ya, neng? Asisten tukang soto yang sedari tadi memperhatikan mereka sibuk menjulurkan leher, akhirnya bersuara. Eta dan Iris menoleh dengan muka merah. Saling injak kaki. Mereka cuma terkekeh saja, tidak 6

menyahut. Dia lagi pulang kampung, neng. Bapaknya sakit. Nggak tau baliknya kapan. Sekarang yang punya jadi ngurus tokonya sendiri dah tuh. Iris dan Eta melirik lagi toko bunga itu. Si Pria sedang melihat ke arah mereka. Panik, Iris dan Eta buru-buru beralih lagi ke asisten tukang soto. Ini jadi berapa, bang? Eta cepat-cepat mengeluarkan dompet. Delapan belas ribu, neng. Nih, makasih ya, bang! Setelah menyerahkan uangnya, Eta langsung menarik Iris meninggalkan tempat itu. Kalo tuh bapak-bapak tau kita nyariin si Egi, trus bilang ke si Egi nya, tengsin gue!! katanya. Iris cuma mengangguk-angguk. Sebelum pergi, Iris melirik toko bunga itu sekali lagi. Pria tadi sudah berbalik masuk ke tokonya. Pemilik toko bunga?

Detik itu, tersimpan dalam benakku secara tak sengaja. Sekelebat bayangmu, kekal dalam memori di kepala. Aku terpesona

Pulpen dalam genggaman Iris belum juga berkurang tintanya. Kertas di hadapannya pun masih kosong meski jam kuliah sebentar lagi berakhir. Tak sedikitpun ceramah dosen masuk dalam kepalanya. Ia melanglang buana di dunianya sendiri. Wajah pria yang dua jam lalu ia lihat di toko bunga masih terbayang dalam ingatannya. Ada perasaan aneh dalam hati Iris. Dia tak tahu apa nama rasa itu. ... yaaa, jadi saya minta makalahnya dikumpulkan minggu depan ya!! Kuliah hari ini cukup sampai di sini, sampai ketemu minggu depan. Suara ribut kursi yang bergeser mengembalikan Iris ke kelasnya. Dia melirik Eta, Makalah apaan, ta?? Eta geleng-geleng kepala, Bengong aja sih lu dari tadi! sahutnya, Makalah Patofisiologi1! Oohh.. Iris mengangguk-anggukkan kepalanya. Sendiri-sendiri ta? Eta melotot kesal, Berdua, Ris!! Elu sama gue!! Isshhhh...
1

Ilmu yang mempelajari tentang penyakit.

Sip sipp.. jangan melotot gitu lah, ta.. mata lu mau loncat keluar tuh! Iris cekikikan. Abis ini lu langsung balik, kan? Hari ini jatah lu beresin kosan! Oh iya! Soriiiii banget, Ris.. Eta yang s edari tadi sibuk merapikan bukubukunya menoleh dengan wajah penuh penyesalan, Gue ada praktek susulan di lab, gantiin dulu ya, nanti jatah lu gue yang ngerjain deh.. bawa motor gue sana nggak papa..soriii banget ya ngerepotin.. Eta menyerahkan kunci motor matic nya pada Iris. Iris bengong. Gue kan nggak gitu lancar bawa matic, ta.. Bisa dehh, gampang kok.. gas-rem-gas-rem doangan.. okee?? okeee?? Gue ke lab dulu yaaaa!!! Eta meninggalkan Iris yang masih memandangi kunci motor dalam genggamannya dengan tampang cemas. Teringat saat terakhir ia mengendarai motor matic, kandang ayam dekat kosannya menjadi korban. Iris menarik napas perlahan. Berusaha untuk tenang. Sudah lima menit ia berdiri di parkiran kampus sambil memandangi motor matic Eta. Gampang, Ris.. gasrem-gas-rem doang.. Iris menyalakan motor, sukses. Sekarang, diarahkannya motor itu keluar dari area parkir, sukses. Sedikit menyenggol kaca spion motor orang, tapi tak masalah. Kini ia berhenti di depan gerbang kampus. Ia harus melawan arus sebentar untuk pindah jalur ke seberang kampusnya. Segumpal ludah tertelan sudah. Gas-rem-gasrem.. gumamnya dalam hati. Gas diputar dan wuuuuuuuuusssssssssshh, saking gugupnya Iris lupa menekan rem. Motor melaju cepat menyeberang jalur. Tidak berhenti, terus bergerak maju dengan sangat cepat! MINGGIIIIIIIIIIIIRRRRR!!! AWAAAAASSS AWAAAAAAASSSS!!! Bunyi roda-roda kendaraan berdecit di jalanan. Semua dihentikan paksa oleh pengendaranya untuk menghindari motor matic yang melaju dengan gila-gilaan. AWAAAAAAAAAAAAAAAASSSSSSS!!!!!!!! MINGGIR WOIIIIIIII!!! Dan.. BRUAKKKKKK!!!! Ember-ember bunga terguling di sana-sini. Bunga-bunga yang berwarna-warni itu pun berserakan ke mana-mana. Iris mengelus-elus lutut dan sikunya yang lecetlecet. Ia meringis kesakitan. Orang-orang mengerubunginya. Tiba-tiba seseorang menyeruak kerumunan itu,

IRISSSSS!!! ASTAGA IRISSSS!!! Eta memegangi pipinya sendiri dengan panik. LU NGGAK PA-PA KAN???? ASTAGAAA!!! Kan gue udah bilang taaa, gue nggak lancar bawa matic.. sahut Iris masih sambil mengelus-elus lutut dan sikunya yang kini terasa sangat perih. Iris bersyukur ia tak lupa memakai helm tadi. Seorang petugas polisi datang dan membubarkan kerumunan orang yang menontoni kekacauan akibat kecerobohan Iris itu. Pria pemilik toko bunga tampak syok melihat bunga yang akan ia jual sudah menjadi sampah jalanan. Anda butuh ke rumah sakit, mbak? si petugas polisi berjongkok di samping Iris. Eta menyingkirkan motor matic nya ke trotoar. Iris menggeleng, Enggak usah, pak.. nanti diobatin teman saya aja.. katanya. Pak, bunga-bunga saya nasibnya gimana ini? pria pemilik toko bunga tibatiba bersuara. Petugas polisi yang berjongkok di samping Iris menoleh ke arahnya. Diselesaikan secara kekeluargaan saja, pak.. kata petugas polisi itu, ia melirik Iris, gimana, mbak? Iris bengong. Eta menoleh ke arahnya. Mulutnya komat-kamit tanpa suara, gue enggak ada duit.. Iris merasakan bulir keringat mengalir dari dahi ke dagunya. Duh, maaf Pak..untuk sekarang saya lagi enggak ada uang.. saya anak kosan, Pak.. Iris meratap, melirik ke arah si pemilik toko bunga, seorang pria berambut pendek dengan kumis dan janggut tipis seperti habis dicukur kasar. Cukup tampan jika dilihat dari jarak sedekat ini. Cu-kup. Pria itu menggeleng, Terus nasib bunga saya gimana, Mbak? Saya pasti rugi kalau enggak diganti.. Iris menggigit bibir bawahnya sedikit. Bingung. Dia tak mungkin menghubungi orang tuanya di rumah dan minta uang untuk ganti rugi. Ibunya pasti akan sangat marah sekali. Tapi, dia sendiri juga tak ada uang lebih untuk mengganti bunga-bunga yang ia lindas barusan. Begini saja Pak, Mbak, si petugas polisi tampaknya memahami posisi Iris yang seorang anak mahasiswi kosan berkantong pas-pasan, Mbak bisa meninggalkan identitas Mbak ke Bapak ini biar gampang dihubungi, selebihnya mau bagaimana, bisa mbak dan bapak bicarakan lagi baik-baik nanti.. kondisi mbak juga kan sedang kurang baik seperti ini ya.. ini sih sekadar saran saja dari saya, bagaimana, Mbak? Pak? 9

Iris melirik Eta yang langsung angguk-angguk kepala tanda setuju. Ia beralih ke si pemilik toko bunga yang tampak berpikir. Lantas pria itu mengangkat bahunya, Ya sudah, mau bagaimana lagi.. saya rasa cuma itu satu-satunya jalan keluar untuk saat ini.. Iris lalu mengeluarkan secarik kertas dan pulpen dari dalam tasnya, menuliskan nama dan nomor ponselnya di sana. Ia menyerahkan kertas itu pada si pemilik toko bunga, Maaf banget ya, Pak.. pasti saya ganti kok, Pak.. sekali lagi, maaf ya, Pak.. Petugas polisi memapah Iris untuk berdiri, Lain kali hati-hati, Mbak.. Kali ini, Eta yang mengendarai motor sementara Iris duduk di belakangnya. Kata maaf masih keluar dari mulutnya. Ia merasa sangat tidak enak hati. Eta menyalami petugas polisi dan pemilik toko bunga, Maaf Pak, atas kecerobohan teman saya ini..mari.. Dari kejauhan, Iris sempat melirik lagi ke arah si pemilik toko bunga itu. Pria itu masih memperhatikannya. Tampan..

Malam itu kosan Iris berisik bukan main. Eta sibuk menotol-notolkan kapas dengan antiseptic ke luka-luka di lutut dan tangan Iris. Iris menjerit-jerit, ia merasa sekujur tubuhnya sakit sekali. Nyeri dan perih di sana-sini. Ta!! Sumpah ya Ta, pelan-pelan dikit kek!! Perih nih!!! Iris menarik paksa tangannya yang sedang diobati Eta. Eta melotot dan menariknya lagi. Biar cepet sembuh!! Lu nggak mau luka-luka ini berbekas, kan?? Iya, tapi pake perasaan kek!! Buset.. AWWW AWWW!! Perih Ta!! Salah lu sih, udah gue bilang gas-rem-gas-rem, lu malah ngegas doang tapi lupa ngerem!! omel Eta masih sambil menotol-notolkan kapas ke luka Iris, Gimana juga tuh cara ganti rugi bunga-bunga yang udah lu lindes tadi?? Tabungan gue lagi kosong banget.. Iris diam. Betul juga, dia nyaris saja lupa kalau ia masih berhutang pada si pemilik toko bunga itu. Siapa pula namanya.. bahkan dia lupa menanyakan nama dan nomornya tadi. Lagipula.. uang dari mana??

10

Gue nggak mungkin minta uang ke nyokap, Ta. Buat kuliah aja udah syukur ada... Iris teringat ibunya yang hanya seorang pegawai negeri sipil. Ibu tunggal semenjak ayah Iris meninggal ketika Iris masih berusia tujuh tahun. Ponsel Iris tiba-tiba berdering. Iris melirik ponsel yang tergeletak di sebelah kasurnya. Satu nomor yang tidak ia kenal. Siapa? Angkat dulu sono, Ris.. Penting kali itu. Eta ikut melirik layar ponsel Iris yang berkelap-kelip. Iris mengangkatnya, Halo.. Malam, maaf, apakah saya bicara dengan saudari Iris? suara berat nan menyejukkan di ujung sana bertanya. Satu bulatan air liur menggelinding dalam tenggorokan Iris. Pria bunga? I..iya..a..ada apa? Saya Ranu, yang punya toko bunga.. Jantung Iris serasa terjun bebas ke dasar perutnya. Gugup, takut, sekaligus.. kagum. Ranu.. Ranu. .Ranu.. namanya Ranu. Oh, iyaa..maaf..soal bunga-bunga itu ya pak..duh gimana ya pak..saya betulan lagi enggak ada uang sekarang..tapi pasti saya ganti kok pak..betulan.. Eta memandangi Iris dengan wajah panik, seakan berkata: ngaku aja kalo kita enggak punya uang sama sekali!!! Enggak bisa bayar!!!! Nah, iya.. justru itu.. suara di ujung sana berhenti sebentar, saya mau menawarkan penyelesaian yang terbaik buat kamu dan saya.. suara itu berhenti lagi. Jadi? Besok bisa ketemu? Nanti dibicarakan lebih lanjut kalau kita ketemu..saya merasa lebih leluasa kalau kita bicara langsung.. Jantung Iris semakin menekan perutnya. Dia bingung, mengapa separuh hatinya begitu senang sekali diajak bertemu oleh si Pria Bunga ini, sementara separuh lainnya merasa.. takut. Bi..bisa.. Iris membaca bibir Eta yang komat-kamit tanpa suara: bisa ngapain?? Ia membalas dengan komat-kamit juga: minta ketemu!! Saya di toko sampai jam delapan malam.

11

Oh..o..oke..saya ke situ habis pulang kampus, pak..sekali lagi maaf ya pak atas kecerobohan saya tadi siang.. Iris benar-benar gugup dan merasa sangat berdosa sekarang. Bunga-bunga yang dilindasnya pasti lah tidak murah harganya. Jika dia jadi si pemilik toko, tentu dia juga akan melakukan segala cara agar mendapatkan ganti rugi. Maaf jika saya mengganggu karena menelepon malam-malam begini. Saya tunggu sampai jam delapan malam ya..terima kasih.. Ahh..nggak pa-pa Pak, justru saya yang jadi enggak enak..untuk ke sekian kalinya, maaf ya Pak.. Tak ada jawaban. Pria bunga sudah memutuskan teleponnya. Pasti lah Pria bunga enggan bicara berlama-lama dengan pembuat masalah seperti dirinya. Iris mengembuskan napasnya. Tak sadar kalau sedari tadi napasnya tertahan. Eta panik, kenapa? Kenapa? Dia maksa lu buat lunasin bunganya??? ia mengguncang-guncangkan tubuh Iris dengan mata melotot. Enggak secara langsung..tapi iya.. Iris mendorong wajah Eta hingga menjauh, dan badan gue sakit kalo lu goyang-goyang begitu!! Sori-sori, panik gue tau!! Eta nyengir, trus, dia bilang apa lagi? Minta ketemu gimana?? Besok, gue ditunggu sampe jam delapan malem di tokonya. Nggak tau deh mau disuruh bayar pake cara apa.. duuhhhhhhh!!!! Iris menenggelamkan kepalanya ke dalam bantal. Dia tak tahu kenapa wajahnya mendadak terasa panas dan jantungnya berdegup di luar kecepatan normal. Bagaimana jadinya besok?? Lu kok jadi salting gitu deh, Ris.. Iris mengangkat wajahnya, melempar bantal dalam tangannya kepada Eta, Siapa yang salting??!!! Udah ah, gue ngantuk!!! Ia lekas berbalik dan mencium kasur. Eta melempar bantal itu kembali ke Iris, Yeeeeee, sewot!!!

Entah kenapa, suaramu masih terdengar dalam kepalaku. Mengisi mimpiku malam itu. Kenapa begitu? Aku tak tahu..

12


Iris merangkak turun dari kasurnya. Sekujur tubuhnya makin terasa sakit sekarang. Rasanya seperti baru saja digilas truk molen. Andai tiap bagian tubuhnya bisa dilepas, Iris sungguh ingin menggantungnya di tempat jemuran, agar ia tak perlu merasakan nyeri itu. Ia melirik jam di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Pukul delapan pagi. Hari ini kuliah pukul sembilan tepat, sementara Eta pun masih tertelungkup di kasurnya. Iris melempar temannya itu dengan guling, yang dilempar mengangkat kepala dengan malas, Eta!! Buset lu bukannya bangunin gueeeee!!!!! Iris buru-buru mengambil handuk dari pintu lemarinya, berjingkat menghindari buku-buku kuliah yang tercecer di lantai, dan berlari keluar kamar menuju kamar mandi dengan kaki separuh diseret. Iris mandi secepat yang ia bisa, lebih tepatnya bukan mandi, cuma membasuh mukanya dengan air dan menyikat gigi secara asal saja. Di saat-saat begini, Iris merasa beruntung memiliki rambut pendek. Semua terasa jadi lebih praktis. Eta ikutan panik dan memukuli pintu kamar mandi dengan kepalan tangannya. Setengah jam kemudian, keduanya sudah melaju di jalanan Jakarta yang padat. Tentu saja Eta yang memegang kemudi motor matic pagi itu. Sementara Iris yang dipenuhi plester di sana-sini duduk manis dibelakangnya. Demi apapun, Iris benarbenar kapok untuk mengendarai motor matic lagi. Mereka melewati jajaran toko di depan kampusnya, termasuk toko bunga yang kemarin bunganya ludes dilindas Iris. Toko itu belum buka, Iris membaca papan namanya sekilas sebelum motor mereka menyeberang ke gedung kampus: Ranu and Lilacs Florist. Jantung Iris berdebar. Sudah beristri kah Pria Bunga itu? Ris, udah nyampe ini, lu mau nemplok di punggung gue sampe kapaaan?? Eta mengejutkan Iris yang masih memandangi toko bunga di seberang kampus itu. Iyaaa, bawel!! Iris turun dari motor secara perlahan. Lututnya masih terasa ngilu. Beberapa mahasiswa yang kemarin melihat insiden ketololannya tertawa geli. Iris pura-pura tidak melihat dan cepat-cepat menyeret Eta meninggalkan area parkiran motor. Kedua mahasiswi kesiangan itu berlari menuju ruang kelas mereka di lantai tiga. Tak ada lift. Anggap saja olahraga pagi yang tidak pernah sempat mereka

13

lakukan. Bulir-bulir keringat membanjiri wajah keduanya. Iris mengelus-elus lututnya yang semakin terasa nyeri setelah berlari-lari di tangga tadi. Eta mengetuk pintu kelas yang sudah tertutup. Lama, tak ada jawaban. Eta mengetuknya sekali lagi. Lagi-lagi tak ada jawaban. Iris yang tak sabaran akhirnya mendorong pintu itu hingga terbuka, di dalamnya tak ada siapa-siapa. Iris menoleh menatap Eta dengan bingung, Ini hari Kamis bukan?? Eta menggeleng, Ini hari Rabu.. Bego nyaaaa kitaaaa, hari ini mah nggak ada jam, etaaaaaaaaaaa!!!!!

Iris dan Eta terdampar di pos satpam dekat gerbang kampus. Akibat ketololan Iris yang mengira ini hari Kamis, disertai kebodohan Eta yang tak sadar bahwa ini bukan hari Kamis, dua sahabat itu terpaksa menanti toko Ranu and Lilacs Florist di seberang sana buka dengan duduk-duduk bareng satpam kampus. Hal yang rutin mereka lakukan kalau datang kepagian ataupun kalau diusir dosen karena kesiangan. Lebih hemat ketimbang nongkrong di kantin, kata Iris. Tiba-tiba Eta menepuk dahinya dengan panik, Ampun!! Gue lupa!! Ha? Lupa apaan? Kemaren kan gue nggak jadi praktek tuh gara-gara insiden lu nabrak toko bunga, jadi hari ini gue disuruh ke sana!! Duh.. Eta cepat-cepat mengemasi barangbarangnya, Gue cabut duluan yaa, nanti kalo lu udah ketemu si tukang bunga itu, kita ketemu lagi di sini..duluan yaa, buru-buru nih gue! Eta langsung beranjak dari pos satpam, sementara Iris ikutan panik, Lah, taa!! Masa gue sendirian ta??!!! Etaaaaaaaa!!! Temenin gue dong taaaaaaaaaaa!!!!!!!! Eta cuma melambai saja tanpa berbalik. Iris melirik toko bunga yang belum juga buka itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk menunggu di depan toko itu saja. Ia menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya, dan melangkah meninggalkan pos satpam nya yang nyaman. Ia menoleh kanan-kiri sebelum menyeberang jalan. Ia berusaha mengembalikan detak jantungnya ke kecepatan normal. Tapi, tak bisa. Tarik napas..buang..tarik napas..buang.. GIMANA INI??? Iris melongo memandangi toko bunga yang kini sudah ada di hadapannya persis. Sekali lagi ia membaca papan namanya, Ranu and Lilacs Florist. Lilac itu

14

kemungkinan nama istrinya, bukan? Biasanya pasangan suami istri akan menamai toko mereka dengan nama masing-masing. Norak.., Iris membatin. Sudah lama di sini? Seseorang menepuk bahunya, Iris nyaris terlonjak saking kagetnya. Ia menoleh. Pria Bunga.. Eh..ba..baruu, Pak.. Iris nyaris kehilangan suara saking kagetnya. Usahanya untuk memperlambat detak jantung kini gagal total. Pria Bunga yang hari itu memakai kemeja panjang kotak-kotak yang digulung sampai di lengannya bikin Iris merasa semakin dag-dig-dug. Saya yang namanya Ranu, mbak.. Pria Bunga mengulurkan tangan kanannya. Perlahan, Iris menyambutnya, tangan yang besar dan hangat. Sa..saya Iris, Pak. Cukup panggil Iris saja.. Kita bicara di dalam aja ya, sebentar saya buka dulu pintunya.. Pria Bunga menggeser tubuh Iris sedikit ke pinggir, Iris tak sadar kalau ia menghalangi pintu masuknya. Pria Bunga sibuk mencari kunci di sakunya. Sementara Iris sibuk memandangi siluet pria itu dari belakang. Pria Bunga cukup tinggi, setidaknya bagi Iris yang bertubuh mungil, dia tinggi. Badannya tidak terlalu besar. Tapi, kelihatan sangat nyaman untuk dipeluk.. Iris mengerjapkan matanya, kaget dengan pikiran yang lewat dalam kepalanya barusan. IRIS, DIA SUAMI ORANG!!!!! SU-A-MI O-RANG!!! Pria Bunga menoleh ke arahnya, kelihatannya sudah selesai dengan urusan kunci-kunci itu, Mari masuk, maaf toko saya agak berantakan.. seingat saya, mbak bilangnya mau datang setelah pulang kuliah.. Ah, i..iya, saya lupa kalau hari ini nggak ada jam, Pak.. Iris melangkah masuk ke toko kecil itu. Matanya menyapu ruangan, banyak.. ember-ember bunga di sana-sini tentunya. Ada satu meja kecil yang di atasnya berserakan sampah daun dan tangkai bunga di hadapan Iris. Ukuran toko itu mungkin hanya 2x3 meter saja. Kecil sekali. Pria Bunga menyodorkan kursi plastik pada Iris, Duduk, mbak.. Iris mengangguk, Eh, iya..ma..makasih.. Iris menarik kursi yang disodorkan Pria Bunga dan duduk di depan meja kecil yang sepertinya meja kerja itu. Sementara Pria Bunga duduk di seberangnya. Pria Bunga lalu menyapu tangannya untuk membersihkan sampah daun dan tangkai di atas meja kecil itu, Maaf, mejanya berantakan.. katanya. Iris mendengar nada malu 15

dalam kalimat itu. Andai saja Pria Bunga tahu kalau kosannya lebih jorok dari tempat itu.. Ah, enggak pa-pa.. Iris tersenyum. Kikuk. Jadi, begini mbak.. Pria Bunga menatapnya lurus-lurus, Iris makin kikuk, Saya paham betul keadaan seorang anak kosan, saya yakin sekali mbak nggak bisa membayar ganti rugi atas.. Pria Bunga mengembuskan napasnya, aroma mint meringsek masuk ke dalam hidung Iris, ..bunga-bunga saya yang mbak lindas kemarin itu.. Pria Bunga berhenti sesaat. Iris sibuk berkonsentrasi mengingkari bahwa pria di hadapannya kini memang benar-benar tampan. ..saya akan menawarkan penyelesaian yang paling ringan buat mbak sekaligus tidak merugikan buat saya,.. Pria Bunga menarik napasnya, Kebetulan, pegawai saya satu-satunya sedang cuti, jadi saya agak repot ngurus toko ini sendirian. Sebagai ganti uang yang seharusnya mbak bayarkan pada saya, mungkin lebih baik mbak kerja membantu saya di sini.. tanpa digaji tentunya. Cuma sampai pegawai saya itu kembali. Yah, itung-itung gaji yang seharusnya mbak terima itu dipakai untuk bayar ganti rugi saya. Bagaimana? Iris masih melongo, mendadak otaknya bekerja sangat lamban. Ia kesulitan mencerna kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Pria Tampan..eh, Pria Bunga barusan, Gimana? Gimana? Saya kurang paham.. Hmm, gini, jadi, mbak kerja di sini sampai pegawai saya kembali tapi tanpa digaji..gimana? Pria Bunga melambatkan bicaranya seperti sedang bicara dengan anak berusia lima tahun. Ohhh... Iris mengangguk-angguk, baru paham, Bisa aja sih, Pak.. tapi, saya kan kuliah, jadi mungkin waktunya nggak bisa dipastiin.. Iris mengingat jadwal kuliahnya di kampus. Mahasiswi keperawatan itu biasanya sibuk sekali, tapi lepas pukul tiga sore, sepertinya tak masalah baginya. Iris buru-buru menambahkan, ..lepas jam tiga, bisa kayaknya.. ng.. kalo ada jam kosong, saya juga ke sini deh, Pak. Iris tersenyum penuh rasa berdosa. Jadi? Pria Bunga menyodorkan tangan kanannya. Iris mengangguk. Perlahan, ia mengulurkan tangan kanannya dan menjabat tangan itu. Jantungnya berdebar seketika. Bi..bisa deh, Pak. katanya, Ng, makasih banyak, Pak.. terima kasih karena sudah memahami kondisi kantong anak kosan..satu hari nanti, kalo..kalo saya ada uang lebih, saya pasti kasih ganti rugi yang betulan ke

16

bapak... Iris memamerkan gigi putihnya dengan tampang kikuk. Dalam hati ia bersyukur bertemu orang sebaik ini di jaman seperti sekarang. Kamu bisa mulai kerja besok, ya.. untuk hari ini sebaiknya istirahat dulu deh.. Pria Bunga menarik tangannya yang barusan menjabat tangan Iris, lantas menunjuk plester-plester yang menempel di tubuh Iris, itu masih butuh diistirahatin kayaknya.. katanya dengan nada prihatin yang terdengar sangat lembut di telinga Iris. Iris mengusap-usap plester di lengannya, Ah, enggak pa-pa kok, Pak.. katanya. Gugup, ia melirik jam di pergelangan tangannya. Jam metalik peninggalan mendiang ayahnya, Kalo gitu, saya permisi sekarang, Pak.. ditunggu temen di kampus.. mari, Pak.. Iris cepat-cepat berdiri dan berbalik, menabrak kursi plastik yang barusan ia duduki hingga jatuh. Lututnya berdenyut. Nyeri sisa insiden kemarin belum hilang, kini malah terantuk lagi. Rasanya ia ingin menangis, tapi berhasil ditahannya. Pria Bunga berdiri, menatap penuh kecemasan, Nggak apa-apa itu, mbak? Iris menoleh, berusaha tersenyum dan menggeleng, Nggak pa-pa, Pak.. ma..mari, Pak.. katanya sambil mengembalikan kursi itu ke posisinya semula. Ia melangkah keluar dari toko itu secepat yang ia bisa. Atmosfer di ruangan tadi mulai terasa mengganggu. Entah kenapa ia merasa gugup sekali tadi. Jika tidak cepat-cepat pergi, mungkin ia bisa melakukan tindakan konyol karena salah tingkah. Iris tak sadar, perasaan aneh dalam hatinya mulai berakar

17

18

BENIH ITU DITANAM


RANU___pria berambut pendek, dengan kumis dan janggut yang tampak seperti baru dicukur secara asal___merapikan meja kerjanya yang bertaburkan daundaun dan tangkai bunga. Biasanya ada pegawai yang membantunya, dia hanya perlu duduk tenang mengerjakan penataan bunga di dalam toko, dan membeli stok bunga di pasar grosir. Sementara pegawainya lah yang bolak-balik merapikan dan mengangkut bunga-bunga keluar untuk dipajang, serta mengantarkan pesanan ke tempat tujuannya. Sesekali membantu membuat karangan bunga juga. Sayangnya, mulai hari ini semua itu harus dilakukannya seorang diri karena si pegawai sedang izin pulang kampung. Ayahnya sakit, begitu katanya saat minta cuti pada Ranu. Yah, tentunya mau tidak mau Ranu harus mengizinkannya. Dia juga punya anak. Dia tentunya berharap anaknya juga akan menjenguknya jika suatu hari di masa tuanya nanti ia jatuh sakit. Ranu mengangkut seember mawar putih keluar toko, meletakkannya di sana. Ia mendongak sebentar menatap langit yang cukup cerah. Baguslah, kalau hujan, ia pasti akan repot sekali mengangkut ember-ember bunga itu ke dalam toko seorang diri. Ia melirik sebentar ke gedung kampus di seberang toko bunga kecil miliknya itu. Pada jam-jam seperti ini, biasanya ada seorang mahasiswa yang bengong memandangi langit di pinggir jendela. Ranu sudah hapal betul, karena dari meja kerjanya di dalam toko, ia bisa melihat si mahasiswa itu. Benar saja, saat Ranu melirik ke gedung kampus itu, si mahasiswa sudah bertopang dagu di jendela. Ranu geleng-geleng kepala. Apakah ada siluet awan berwujud gadis cantik di sana? Aneh betul, batinnya. Ia lalu masuk kembali ke dalam toko untuk membereskan pekerjaannya yang masih menumpuk. Ia sibuk merapikan bunga mawar kuning untuk diletakkan di luar toko. Dimasukkannya satu-satu ke dalam ember. Setengah jam kemudian, ia mengangkut ember itu keluar, diletakkan tepat di samping mawar putih yang tadi ia bawa. Ia memukul-mukul pinggangnya pelan. Pegal juga ternyata. Saat itulah ia sadar ada dua orang gadis yang sibuk memaksa leher mereka bertambah panjang beberapa inchi sedang memperhatikannya dari warung soto di seberang toko bunganya. Dua orang gadis itu buru-buru sembunyi setelah bertemu mata dengan dirinya. Pria tiga puluh empat tahun itu tersenyum geli. Mungkin itu adalah para mahasiswi yang sering diceritakan oleh Egi, karyawan tokonya yang sedang cuti.

19

Menurut cerita Egi, salah satu gadis itu pernah mengajaknya berkenalan. Dua mahasiswi yang lucu sekali. Tapi, Ranu sedikit heran, ia merasa pernah melihat salah satu di antara mahasiswi itu sebelumnya. Entah kapan dan di mana, ia lupa. Sambil berjalan masuk ke tokonya lagi, ia masih mengingat-ingat wajah mahasiswi yang barusan melongoknya dari warung soto. Siapa kamu?

Siapa kamu? Wajahmu terus mengganggu pikiranku. Melekat dalam ingatanku. Siapa kamu?

Ranu tengah sibuk merangkai bunga untuk pesanan perayaan pernikahan seorang klien besok ketika ia mendengar suara ribut dari arah jalan raya. Ia yang sedari tadi duduk di belakang meja kerjanya langsung berdiri dan melongok ke arah jalanan. Sebuah motor matic melaju tak terkendali dengan kecepatan tinggi. Bunyi ban-ban kendaraan yang dipaksa berhenti oleh pengendara lainnya berdecit tak karuan. Motor matic itu melaju tepat ke arah toko bunganya. Ia panik. Dan.. BRUAAAAAAAKK!!! Ranu cepat-cepat keluar dari dalam tokonya. Ember-ember bunga terguling di sana-sini. Bunga-bunga yang tadi ia susun sudah berantakan, berubah menjadi sampah jalanan. Rugi. Sudah pasti ia akan rugi kalau begini. Siapa sih pengendara gila ini???!!! Ranu melongok dari kerumunan orang-orang yang ingin menontoni kekacauan itu. Helm si pengendara dilepas. Pengendara itu mengelus-elus lutut dan sikunya yang tampak lecet-lecet. Ah! Rupanya mahasiswi yang tadi siang ia lihat di warung soto!! Seorang gadis tiba-tiba menyeruak kerumunan orang-orang itu. Gadis itu berteriakteriak dengan histeris. Gadis itu juga mahasiswi yang ia lihat tadi siang. IRISSSSS!!! ASTAGA IRISSSS!!! si gadis memegangi pipinya sendiri dengan panik. LU NGGAK PA-PA KAN???? ASTAGAAA!!! Oh..rupanya si biang onar ini bernama Iris..

20

Kan gue udah bilang taaa, gue nggak lancar bawa matic.. sahut si biang onar, Iris, sambil mengelus-elus lutut dan sikunya yang diyakini Ranu pasti terasa sangat perih. Tak lama muncul petugas polisi yang membubarkan kerumunan orang-orang yang asik menontoni kecelakaan lalu lintas itu. Ranu melirik ke arah bunga-bunganya yang tampak sangat mengenaskan. Rugi. Pasti rugi. Pasti. Si gadis kecil tinggi dengan rambut sebahu yang barusan menyeruak kerumunan, menyingkirkan motor matic Iris ke trotoar. Ranu mendengus kesal. Sabar, Nu..sabar.. Pak, bunga-bunga saya nasibnya gimana ini? Ranu melirik si petugas polisi. Petugas polisi yang berjongkok di samping Iris menoleh ke arahnya. Diselesaikan secara kekeluargaan saja, pak.. kata petugas polisi itu, ia melirik Iris, gimana, mbak? Si biang onar itu bengong sesaat, menatap kawannya yang berdiri di dekat motor matic. Sepertinya memohon bantuan. Ranu tak peduli. Kalau tak diganti, ia akan sangat merugi. Bunga-bunga itu tidak murah harganya. Duh, maaf pak..untuk sekarang saya lagi enggak ada uang.. saya anak kosan, pak.. Iris meratap, melirik ke arahnya. Gadis itu..cantik. Ah!! Tidak-tidak! Ia harus tetap minta ganti rugi! Ranu menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan pikiran tololnya barusan. Dia terlalu muda, Nuu.. TERLALU MUDA!!! Terus nasib bunga saya gimana, mbak? Saya pasti rugi kalau enggak diganti.. katanya sedikit memohon. Berapa ember yang dilindas barusan? Banyak!! Ia harus dapat ganti rugi. Harus!! Iris tampak menggigit bibir bawahnya sedikit. Sepertinya biang onar itu sedang berpikir bagaimana cara mengganti bunga-bunga yang dilindasnya barusan. Gadis muda memang selalu menyusahkan. Selalu seenaknya dan senang mengacau. Ranu berharap kelak anaknya tidak akan menyusahkan seperti si biang onar itu. Begini saja pak, mbak, si petugas polisi tampaknya memahami posisi Ranu yang sangat membutuhkan uang ganti agar ia tak merugi. Bagaimanapun caranya, biang onar itu harus membayar uang ganti, Mbak bisa meninggalkan identitas mbak ke bapak ini biar gampang dihubungi, selebihnya mau bagaimana, bisa mbak dan bapak bicarakan lagi baik-baik nanti.. kondisi mbak juga kan sedang kurang baik seperti ini ya.. ini sih sekadar saran saja dari saya, bagaimana, mbak? Pak?

21

Ranu berpikir sejenak. Tak ada jalan lain. Jika si Iris ini tak punya uang, tentunya ia harus punya alamat atau nomor telepon yang bisa dihubungi sewaktuwaktu. Lagipula, ia sendiri merasa tak tega dengan ABG yang kini lecet-lecet itu. Bagaimana jika suatu hari anaknya juga mengalami hal yang sama? Ranu mengangkat bahunya, Ya sudah, mau bagaimana lagi.. saya rasa cuma itu satu-satunya jalan keluar untuk saat ini.. Si biang onar lalu mengeluarkan secarik kertas dan pulpen dari dalam tasnya, menulis sesuatu di kertas itu dan menyerahkannya pada Ranu, Maaf banget ya, pak.. pasti saya ganti kok, pak.. sekali lagi, maaf ya, pak.. Suaranya.. Ranu menggenggam kertas itu, melirik sekilas tulisan tangan di atasnya: Iris 085693906xxx Secepatnya saya ganti pak, silakan hubungi nomor ini ya pak.. Maaf atas kekacauan yang saya buat.. Petugas polisi memapah si biang onar untuk berdiri, lain kali hati-hati, mbak.. Kali ini, temannya yang mengendarai motor matic itu. Si biang onar hanya duduk di belakangnya. Masih meminta maaf pada Ranu. Sepertinya gadis itu sangat tak enak hati padanya karena sudah melindas bunga-bunga yang akan ia jual. Teman si biang onar lalu menyalami petugas polisi dan Ranu, Maaf pak, atas kecerobohan teman saya ini..mari.. Keduanya pun meninggalkan tempat itu. Ranu masih belum melepaskan matanya dari si biang onar. Dari kejauhan, dilihatnya gadis itu melirik ke arahnya sebentar. Cantik..

Ranu menimbang-nimbang kertas dalam genggamannya. Ia melirik jam dinding di atas tempat tidurnya. Pukul sepuluh malam. Sudah tidurkah gadis bernama Iris itu? Dirawat di rumah sakit kah? Apakah mengganggu jika ia menghubunginya sekarang? Ranu meletakkan lagi ponselnya di atas kasur. Ragu. Tak lama, ponsel itu

22

diambilnya lagi. Ia menekan tombol angka seperti yang tertera pada kertas dalam genggamannya. Terdengar nada sambung. Jantungnya berdebar. Napasnya tertahan. Ia tak tahu mengapa demikian. Halo.. terdengar suara lembut di ujung sana. Lembut tapi gugup. Malam, maaf, apakah saya bicara dengan saudari Iris? Lama.. Ranu menanti suara lembut itu terdengar lagi. I..iya..a..ada apa? ah..itu dia.. Saya Ranu, yang punya toko bunga.. Ia mengenalkan dirinya. Dia tahu pemilik suara lembut di ujung sana tentu sibuk menduga-duga siapa yang meneleponnya malam-malam begini. Ia tak mau dituduh sebagai orang iseng. Om-om iseng lebih tepatnya.. oh, iyaa..maaf..soal bunga-bunga itu ya pak..duh gimana ya pak..saya betulan lagi enggak ada uang sekarang..tapi pasti saya ganti kok pak..betulan.. suara itu terdengar makin gugup sekarang. Sejujurnya Ranu mulai merasa ingin tertawa. Ia membayangkan si biang onar itu banjir keringat karena ditagih hutang olehnya. nah, iya.. justru itu.. ia berhenti sebentar. Akankah ini menjadi penyelesaian yang tepat? Mudah-mudahan iya.. saya mau menawarkan penyelesaian yang terbaik buat kamu dan saya.. ia diam lagi. Tepatkah penyelesaian yang akan ditawarkannya pada si biang onar ini? jadi? suara lembut di ujung sana memotongnya. Ranu membulatkan tekad. Ini yang paling tepat.. besok bisa ketemu? Nanti dibicarakan lebih lanjut kalau kita ketemu..saya merasa lebih leluasa kalau kita bicara langsung.. bi..bisa.. Jantung Ranu mendarat di dasar perutnya. Entah kenapa, ia merasa ada yang bersorak sorai di dalam kepalanya sekarang. Ia meneguk ludahnya sendiri, saya di toko sampai jam delapan malam. Yaa, dia rela menunggu sampai tokonya tutup agar gadis itu datang. Bukan untuk sekadar melihatnya, bukan bukan bukan. Ia harus menagih ganti rugi. Ganti rugi, Ranu! Ganti Rugi!! oh..o..oke..saya ke situ habis pulang kampus, pak..sekali lagi maaf ya pak atas kecerobohan saya tadi siang.. suara lembut di ujung sana terdengar makin gugup, bikin Ranu semakin ingin tertawa, tapi sekaligus juga berdosa. Si biang onar ini tentunya merasa sangat takut karena ditagih uang ganti olehnya. Ranu tertawa di dalam hati. 23

maaf jika saya mengganggu karena menelepon malam-malam begini. Saya tunggu sampai jam delapan malam ya..terima kasih.. Ia berusaha membuat suaranya tetap setenang yang ia bisa. Jangan tertawa, Ranu.. jangan tertawa.. ahh..nggak pa-pa pak, justru saya yang jadi enggak enak..untuk ke sekian kalinya, maaf ya p.... TUT! Duh! Ranu melempar ponselnya ke kasur. Ponsel Ranu kehabisan daya. Hubungan itu terputus begitu saja. Sekarang ia merasa tidak enak. Bahkan si biang onar belum menyelesaikan kalimatnya. Ia pasti dianggap sebagai orang yang tidak kenal kata maaf. Pria yang cuma peduli soal uang ganti saja. Ia berdiri, meninggalkan kasurnya dan melangkah menuju dapur. Ranu meracik secangkir kopi, meneguknya. Ia berharap semoga si Iris itu tidak batal datang besok karena berpikir seperti apa yang ia pikirkan barusan.

Ranu terbangun setelah mendengar telepon rumahnya berdering. Ia ketiduran di dapur. Diliriknya jam dinding di dekat lemari es. Pukul delapan.00 pagi. Siapa yang menelepon pagi-pagi begini? Halo? Suaranya masih serak. Ayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhh!!! ujung sana menjerit penuh kerinduan, Ayah, ayah, lagi apa? Ranu tersenyum mendengar suara gadis kecilnya itu. Lilac, nama gadis kecilnya itu, berumur lima tahun dan tinggal bersama neneknya di daerah Jakarta Barat. Kadang ia merasa kasihan pada anak satu-satunya itu, Lilac tak pernah merasakan kelembutan belaian seorang ibu yang dipanggil Tuhan tepat setelah mengantarkan gadis kecil itu dengan selamat ke dunia. Baru aja bangun tidur.. Lilac lagi apa, sayang? Lilac baru mau mandi..ayah, ayah, kapan jalan-jalan lagi? Ranu terkekeh pelan, Kapan ya? Ayah lagi kerja, sayang.. kalau jalan-jalan lagi, Lilac mau oleh-oleh apa? Terdengar pekik kegirangan dari ujung sana, Ranu senyum-senyum sendiri membayangkan gadis kecilnya tengah meloncat-loncat bahagia ketika mendengar kata Suara manis di

24

oleh-oleh, Lilac mau berbi! Lilac mau masak-masakan! Sama.. Lilac mau cokelat!! Ranu tertawa, gemas sekali mendengar suara gadis kecilnya di telepon, sejujurnya ia ingin Lilac tinggal dengannya saja, bukan dengan ibu mertuanya di Jakarta Barat sana. Tapi, kondisi keuangannya yang tidak stabil memaksanya untuk membiarkan ibu dari almarhum istrinya itu yang mengasuh Lilac. Sebagai laki-laki, ia punya harga diri untuk tidak menerima uang pemberian ibu mertuanya itu. Setidaknya, ia masih sanggup membiayai hidupnya sendiri. Ayah, Lilac mau mandi dulu ya..daadaaaahhh... belum sempat Ranu mengucapkan salam perpisahan, suara mertuanya sudah terdengar. Nu.. Suara perempuan baya yang lembut, Ranu menerawang akankah suara ibunya terdengar seperti ini? Ah, dia bahkan tak mengenal ibunya sejak kecil. Ranu dibesarkan oleh ayahnya seorang. Dia dan Lilac bernasib sama. Nu.. gimana di sana? Kamu sehat? Ah..iya, Bu.. saya sehat.. Tokomu gimana? Kalau kurang lancar, pulang saja ke rumah Ibu.. kamu bisa bantu-bantu di toko material bapak.. Ranu teringat a yahnya, jika saja ia ikut ayahnya kerja di perusahaan pertambangan di Jayapura, akankah ia mampu menghidupi Lilac dan dirinya? Ranu ingat betul, ketika ia baru menikah dengan Aster__almarhumah istrinya___ayahnya mengajak pasangan muda itu pindah ke Jayapura. Ayah Ranu adalah seorang pengusaha pertambangan di sana. Namun, Ranu menolaknya. Kala itu, ia merasa lelaki yang sudah berkeluarga tak pantas bergantung hidup pada sang ayah. Lagipula, ia tak pernah tertarik bekerja di bidang pertambangan. Ia dan istrinya adalah pecinta bunga. Ia mengatakan, keluarga kecilnya akan tetap tinggal di Jakarta. Ia berjanji pada ayahnya, ia akan menjadi pemilik toko bunga yang sukses tanpa bergantung pada sang ayah. Tapi kini, nyatanya, untuk membiayai hidup dua manusia saja ia tak sanggup. Sementara, ia merasa malu untuk menyusul ayahnya ke Jayapura. Ah, nggak pa-pa, Bu.. toko saya lancar-lancar saja.. nanti.. Ranu menarik napas panjang, Kalau saya sudah ada uang, Lilac saya jemput, Bu.. Ehh..ngomong apa sih kamu.. Ibu kan neneknya juga, nggak masalah kalau hanya mengurus Lilac.. Maaf ya, bu.. saya.. ngerepotin..

25

Kamu juga kan anak Ibu, Nu, nggak usah sungkan gitu ah! Suara lembut itu bernada tegas, ibu mertuanya memang sangat baik terhadap Ranu. Ya sudah, ini ibu mau mandiin Lilac-mu dulu, kalau ada perlu apa-apa langsung telepon ke rumah ya, Nu! Awas kalo enggak! Ibu marah lho! Ranu tersenyum, Iya, bu.. terima kasih. Kalau ada waktu kapan-kapan saya main ke sana.. salam buat bapak..

Ranu sedikit terlambat tiba di tokonya. Jalanan di kawasan Jakarta Selatan memang selalu dipadati kendaraan bermotor, baik itu pribadi maupun umum. Ranu berangkat dari rumahnya naik metromini. Dia punya sepeda motor, tapi hanya digunakan untuk membeli bunga di pusat grosir ataupun mengantar pesanan, motor itu ia simpan di tokonya. Saat Ranu tiba, si gadis mungil berambut pendek yang kemarin membuat kekacauan itu sudah ada di sana. Si biang onar itu berdiri terpaku memandangi papan nama toko bunga Ranu. Lama sekali, seperti mengeja hurufnya satu-satu. Ranu sendiri jadi ikut menontoni papan nama tokonya itu, khawatir barangkali ada sesuatu yang salah di sana. Tapi, tidak ada. Ranu akhirnya menepuk bahu si biang onar itu, Sudah lama di sini? Gadis itu terlonjak sedikit, menoleh dengan kaget. Ranu nyaris tertawa karenanya, tapi ia berhasil menyimpan tawa itu kembali. Eh..ba..baruu, Pak.. Sahut si biang onar dengan terbata-bata. Wajahnya sedikit pucat dengan pipi kemerahan. Ranu berharap semburat merah muda yang ia lihat di pipi si biang onar itu hanya perasaannya saja. Saya yang namanya Ranu, mbak.. Ranu mengulurkan tangan kanannya. Perlahan, si biang onar menyambutnya, tangan yang mungil dan lembut sekali. Sa..saya Iris, Pak. Cukup panggil Iris saja.. Kita bicara di dalam aja ya, sebentar saya buka dulu pintunya.. Ranu menggeser tubuh si biang onar agak sedikit ke pinggir. Entah memang masih pusing atau apa, tapi Ranu merasa gadis itu agak sedikit linglung. Bahkan, si biang onar tak sadar sama sekali kalau posisi berdirinya menghalangi pintu masuk, dan malah pasrah saja badannya digeser oleh Ranu.

26

Ranu mengeluarkan sekumpulan kunci dari saku celana jeans nya. Sedikit membungkuk di depan pintu. Ini dia yang paling malas ia lakukan: mencari kunci masuk! Ranu tak pernah hapal mana kunci untuk tiap pintu. Bodohnya, ia selalu mencampur semua kunci miliknya dalam satu gantungan kunci. Lama ia berkutat dengan para kunci dalam genggaman tangannya itu. Ketemu! Ranu menoleh, Mari masuk, maaf toko saya agak berantakan.. seingat saya, mbak bilangnya mau datang setelah pulang kuliah.. Ah, i..iya, saya lupa kalau hari ini nggak ada jam, Pak.. si biang onar melangkah masuk menyusul Ranu dari belakang. Matanya memandang berkeliling. Bagi Ranu, pandangan itu terlihat seperti tatapan prihatin karena melihat tokonya yang berantakan. Satu meja kerja penuh sampah, motor yang terparkir di sebelahnya, dan ember-ember bunga pasti terasa menyesakkan mata. Apalagi mata seorang gadis muda. Ranu mengambil satu kursi plastik yang ada di dekat meja kerjanya. Ia menyodorkan kursi itu pada si biang onar, Duduk, mbak.. Si biang onar mengangguk, Eh, iya..ma..makasih.. Mata Ranu tak lepas dari pergerakan si biang onar yang menarik kursi plastik pemberiannya lalu duduk di seberang meja kerjanya. Ia takut si biang onar membuat kekacauan di dalam tokonya yang sempit itu. Ranu menyapu tangannya ke atas meja, membersihkan sampah daun dan tangkai bunga dari sana. Ia menyesal sekali semalam lupa membersihkan toko itu, Maaf, mejanya berantakan.. katanya agak malu. Ah, enggak pa-pa.. Si biang onar tersenyum. Manis tapi terlihat canggung. Semburat merah muda di pipi gadis itu semakin jelas terlihat, membuatnya terlihat sangat manis. Ranu memutuskan mempercepat urusannya itu. Jadi, begini mbak.. Ranu menatap si biang onar lurus-lurus, mendadak ia merasa kesulitan menyusun kata-kata. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa si biang onar tidak manis sama sekali. Sekali lagi, TIDAK MANIS!! Saya paham betul keadaan seorang anak kosan, saya yakin sekali mbak nggak bisa membayar ganti rugi atas.. Ranu mengembuskan napasnya yang sedari tadi tertahan tanpa sadar, ..bunga-bunga saya yang mbak lindas kemarin itu.. Ranu berhenti sebentar. Kata-kata yang sudah ia susun dalam kepalanya sejak tadi malam mendadak hilang tak bersisa. Seakan dicuri oleh wajah manis yang duduk di

27

hadapannya sekarang. Ranuuu, lebih cepat lebih baik!!! BERPIKIR RANU!! BERPIKIR!!! Ranu menemukan kembali kata-katanya, ..saya akan menawarkan penyelesaian yang paling ringan buat mbak sekaligus tidak merugikan buat saya,.. Ia menarik napasnya yang terasa sesak. Sepertinya atmosfer ruangan itu berubah seketika, Kebetulan, pegawai saya satu-satunya sedang cuti, jadi saya agak repot ngurus toko ini sendirian. Sebagai ganti uang yang seharusnya mbak bayarkan pada saya, mungkin lebih baik mbak kerja membantu saya di sini.. tanpa digaji tentunya. Yah, itung-itung gaji yang seharusnya mbak terima itu dipakai untuk bayar ganti rugi saya. Bagaimana? Si biang onar tampak bingung, Ranu sempat curiga padanya. Jangan-jangan si biang onar itu tak mengerti bahasa Indonesia.. Gimana? Gimana? Saya kurang paham.. Nah..jangan-jangan memang benar.. Hmm, gini, jadi, mbak kerja di sini sampai pegawai saya kembali tapi tanpa digaji..gimana? Ranu melambatkan nada bicaranya. Ia menekan tiap kata pada kalimatnya, berharap si biang onar cepat paham dan cepat-cepat menghilang dari hadapannya. Dia terlalu manis.. Ohhh... Si biang onar mengangguk-angguk, sepertinya ia baru paham, Bisa aja sih, Pak.. tapi, saya kan kuliah, jadi mungkin waktunya nggak bisa dipastiin.. Si biang onar diam sesaat, seperti mengingat sesuatu. Lalu, cepat-cepat menambahkan, ..lepas jam tiga, bisa kayaknya.. ng.. kalo ada jam kosong, saya juga ke sini deh, Pak. Biang onar itu tersenyum lagi. Kali ini senyum penuh penyesalan. Ranu makin tak tega melihat biang onar itu. Bisa-bisa ia keceplosan mengikhlaskan semuanya kalau terlalu lama disuguhi senyum manis gadis itu. Jadi? Ranu menyodorkan tangan kanannya. Salaman sebentar, lalu usir dia pulang! Biang onar itu mengangguk. Perlahan, ia mengulurkan tangan kanannya dan menjabat tangan Ranu. Jantung Ranu berdebar seketika. Bi..bisa deh, Pak. katanya, Ng, makasih banyak, Pak.. terima kasih karena sudah memahami kondisi kantong anak kosan..satu hari nanti, kalo..kalo saya ada uang lebih, saya pasti kasih ganti rugi yang betulan ke bapak... Si biang onar memamerkan gigi putihnya dengan pipi yang semakin merah muda. Terlalu manis..terlalu manis..

28

Kamu bisa mulai kerja besok, ya.. untuk hari ini sebaiknya istirahat dulu deh.. Ranu merasakan tangannya berkeringat, cepat-cepat ia menarik tangannya yang menjabat tangan mungil si biang onar. Lantas, ia menunjuk plester-plester yang menempel di tubuh si biang onar sebagai pengalihan, itu masih butuh diistirahatin kayaknya.. Kalimat bernada prihatin itu meluncur keluar begitu saja dari mulutnya. Ranu sedikit kaget. Gadis ini harus cepat-cepat diusir sebelum mulutnya menyerocos tak terkendali. Si biang onar mengusap-usap plester di lengannya, Ah, enggak pa-pa kok, Pak.. katanya. Terburu-buru. Kalo gitu, saya permisi sekarang, Pak.. ditunggu temen di kampus.. mari, Pak.. Si biang onar berdiri dan berbalik, menabrak kursi plastik yang barusan didudukinya hingga jatuh. Ranu refleks berdiri, khawatir. Ia sudah menduga gadis itu akan melakukan kekacauan di dalam tokonya yang sempit. Nggak apa-apa itu, mbak? Si biang onar menoleh, tampak seperti ingin menangis, tapi gadis itu tersenyum dan menggeleng, Nggak pa-pa, Pak.. ma..mari, Pak.. katanya sambil mengembalikan kursi itu ke posisinya semula. Yaa, cepat pergi sebelum aku berubah pikiran!! Gadis itu meninggalkan toko dengan langkah besar-besar. Ranu masih memperhatikannya berjalan menyeberang kembali ke gedung kampusnya. Siapa tahu manusia ceroboh itu akan mengacau di jalanan lagi jika tidak diawasi. Ranu mendadak teringat sesuatu, ia menarik laci meja kerjanya. Foto Aster ada di situ. Ia merasa berdosa, dalam hati Ranu berbisik, Sayang, kamu tetap yang termanis dalam hidupku..

29

30

TUMBUH DAN BERSEMI


DEBARAN jantungku tak terkendali. Bikin semburat merah muda tiba-tiba muncul di pipi. Ada apa ini?

Iris bengong di depan pos satpam di kampusnya. Tangannya yang tadi berjabat dengan Pria Bunga kini berkeringat. Gugupnya masih belum hilang. Hampir tiga puluh menit ia hanya berdiri diam di sana. Pikirannya tertinggal di toko kecil yang tadi ia kunjungi. Bahkan, ia tak membalas lambaian tangan Eta yang sudah kembali dari laboratorium. IRIS!!! Eta meneriaki wajah Iris kuat-kuat, Iris melonjak saking kagetnya. Ia nyengir lebar sesudahnya. Doyan banget bengong ini anak satu! Ckckck.. Gue lagi ngitungin motor di parkiran! Lu udah ketemu si tukang bunga itu? Iris mengangguk, dalam hati menyahut: Justru gara-gara itu, tadi gue bengong!!!! Terus gimana? Dosa-dosa lu kemaren akhirnya diampuni gitu aja?? Eta tampak bersemangat dengan dugaannya barusan. Iris menggeleng, wajah Eta langsung berubah drastis, Yaaahh, tapi bayarnya gimana? Gue betulan lagi nggak ada uang ini.. Bayarnya nggak dalam bentuk uang, ta.. Eta melotot, LU BAYAR PAKE APAAN??!! ia meremas bahu Iris, tuh om-om ngegodain lu tadi??? Astagaaaaaa!!!! Iris menempeleng kepala Eta, beberapa orang tampak mencuri dengar meski tanpa melirik mereka berdua, Enggak gitu juga, taa.. nuduh aje lu!! Enggak gitu gimana? Kalo lu digodain kita laporin polisi aja! Ini namanya pemerasan!! Ihhh, dengerin gue dulu apa, ta!! Gini.. Iris menarik napasnya sebelum menjelaskan pada Eta, ..si Pak Ranu itu, nyuruh gue kerja di tokonya. Si ndut lu lagi cuti, jadi dia nggak ada yang bantuin. Jadi lah gue disuruh kerja di sana, tanpa digaji.. What?? Hell-oooo!! Lu mau aja nggak digaji gitu?? Eta sewot.

31

Lah, kan kemaren gue ngelindes bunga-bunga di tokonya ampe nggak berbentuk gitu, ta.. masih bagus gue nggak dipaksa bayar pake duit kan.. jadi gue sih oke aja.. Eta manggut-manggut, Tapi, betulan lu nggak digodain, Ris? Enggaaaaaakkkk, Eta sayaaaaaangg!! Pak Ranu baik banget gitu!! Tapi mukanya rada kayak om-om mesum gitu, Ris! Hahaha.. Ada juga gue yang jadi mesum gara-gara liat manusia satu itu.. Iris ngikik dalam hati. Jadi, mulai ngebabu di situ kapan? Eta menunjuk ke arah toko bunga Ranu dengan dagunya, Gue nggak kena jatah juga kan, gara-gara bertanggung jawab atas izin lu ngebawa motor matic gue kemaren? Eta terlihat enggan ikutan kerja tanpa digaji. Siapa pula yang mau melakukan hal seperti itu kecuali karena merasa punya salah? Iris menggeleng, tertawa, Ya enggak lah ta, itu mah gue aja sendirian..haha, gue mulai kerjanya besok sore.. dan gue harap lu nggak ngebocorin soal ketololan gue ini ke nyokap gue! Eta manggut-manggut lagi, Enggak bakal, Ris! Gue juga kan yang bakal kena nantinya!! Eta diam sebentar, kemudian memasang tampang serius, Eh, tapi, kalo nanti lu digodain, kita harus lapor polisi, Ris!! Enggak akan, Eta!!! Eta mengelus perutnya, melirik Iris, Ngomong-ngomong, lu nggak ngerasa laper, Ris? Kita kan belom sarapan tadi.. Iris baru sadar, perutnya meronta minta diisi. Sebelum Eta mengusulkan tempat makan, Iris buru-buru menggeleng, Please, ta.. No soto today..

Dua bungkus nasi uduk lenyap tanpa sisa, dua gelas es teh manis hanya tinggal es nya saja. Iris dan Eta telah selesai menunaikan ibadah makan mereka. Sarapan pagi sekaligus makan siang, nasib anak kos berkantong tipis yang kesiangan. Iris duduk di jendela kamar kosnya, di lantai dua sebuah rumah lumayan besar yang sebetulnya tak begitu jauh dari kampus. Rumah itu terletak di gang kecil yang hanya cukup untuk lewat satu mobil saja. Seperti biasa, Iris melakukan ritual bengong-memandangi-

32

langit-nya. Eta merapikan sisa-sisa ke-barbar-an mereka di lantai. Ia melempar sampah-sampah itu ke dalam keranjang plastik di belakang pintu kamar mereka berdua. Kosan Iris merupakan sebuah rumah khusus kosan bertingkat dua yang terdiri dari delapan kamar tidur ukuran 3x3 meter berjajar mirip kamar asrama dan dua kamar mandi serta satu ruang tamu, dengan empat kamar tidur dan satu kamar mandi di masing-masing lantainya. Tak ada dapur di sana. Kamar Iris ada di lantai dua. Dari kamar Iris, gedung kampusnya dapat terlihat jelas menjulang seperti tiang penyangga langit. Ris, ngomong-ngomong, tadi gimana ketemu ama si tukang bunga itu? Eta tiba-tiba bersuara. Ia duduk di pinggir kasurnya sendiri, tepat di seberang jendela tempat Iris duduk. Iris mengalihkan pandangannya dari warna biru langit yang membius kepada Eta, Eh? Kenapa? Ituu, tadi lu ketemu ama si tukang bunga itu gimana? Lu belum cerita ke gue.. Ah! i..itu..iyaa.. namanya Ranu..ehem.. Pak Ranu.. Iris mencoba mengingat pembicaraannya dengan Pria Bunga tadi, meski yang menempel dalam ingatannya hanya manusia tampan, berkemeja kotak-kotak panjang digulung hingga ke lengan, bicara dalam bahasa yang asing. Yaaa..gitu dah, ta.. pokoknya gue disuruh kerja tanpa digaji gitu deh.. gue.. nggak begitu inget kata-kata persisnya.. Iris berdeham pelan kemudian. Lu beneran nggak digodain, kan?? Iris merasa tenggorokannya tercekat mendadak. Buset, ta! Dari tadi lu nanya begituan mulu!! Ia batuk-batuk sedikit. Eta tertawa, Enggak gitu, Ris, soalnya gue bingung aja.. lu tuh kayak korban pelecehan seksual gitu dari tadi!! Hahahaha!! Bengong-bengong aneh gimanaaaaa gitu!!! HAHAHAHAHAHA.. SIALAN!!! Iris melempar apa saja yang terjangkau tangannya ke arah Eta: kaus kaki di pinggir jendela. Eta merunduk, kaus kaki yang dilempar Iris meleset dari sasaran. Eh, tapi, lu kerja di sana sampe kapan? Iris mengangkat bahu, Enggak tau juga sih. Tergantung si Egi baliknya kapan. 33

Si Egi, si Egi, berasa akrab aja, Koko Ndut gue tuh! Dih! Mending si Egi daripada Koko Ndut! Ntar kalo gue akrab sama orangnya, gue aduin loh!! Iris menjulurkan lidahnya. Eta buru-buru melempar kaus kaki yang tadi tergeletak di lantai tepat ke wajah Iris. Awas lu yee kalo sampe ikutan naksir dia juga!!! Iris merunduk, Gue nggak suka yang bentuknya kayak manusia salju gitu sih! Weeeekkk.. Kaus kaki yang dilempar Eta meluncur ke luar jendela. Iris tertawa jahil, Ta, itu kan kaos kaki lu tauuu!!! HAHAHAHHAHA!! Eta melotot garang, IRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIISSSSSSS!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Plester terakhir sudah ditempel Iris di daerah lengannya. Ia memandangi refleksi dirinya dalam cermin di lemari baju. Rasanya ia ingin tertawa melihat plesterplester yang menghiasi lengan dan kakinya selama dua hari belakangan itu. Plesterplester itu mengingatkannya pada sekumpulan tentara yang terluka di film-film perang orang bule. Lu udah kelar belom? Eta melongokan kepalanya dari pintu, Ayo berangkat! Iyeeee bawel!! Iris cepat-cepat menyusul Eta. Mereka tiba di kampus tepat lima menit sebelum dosen masuk. Iris langsung diberondong pertanyaan-pertanyaan seputar insiden ketololannya dua hari lalu oleh teman-teman sekelasnya. Persis kayak wartawan infotainment yang sering ia lihat di televisi. Ris, lo kecelakaan ya?? Gue denger rem motornya blong ya? Beneran nabrak toko bunga? Ih..parah banget, itu yang diplester luka-lukanya ya?? Katanya ngelindes tukang bunganya juga ya?? Iris pasang muka jutek. Heran, gosip selalu menyebar cepat kayak virus influenza. Iris menggeleng untuk celetukan terakhir yang ngawur,

34

Bukan tukang bunganya yang gue lindes! Tapi bunganya!! Iris beringsut ke kursi favoritnya, kursi di dekat jendela. Ia berharap kelas hari itu cepat selesai.

Pukul dua belas siang adalah waktu di mana Iris akan duduk di dekat jendela kelasnya sambil senyum-senyum memandangi langit. Kali ini, ia menyumpal kedua telinganya dengan earphone. Ia enggan menjawab pertanyaan-pertanyaan konyol seputar insiden tololnya seperti tadi pagi. Eta barusan mengajaknya turun mencari makan, tapi ia tolak. Ia bosan makan soto. Heran, padahal si ndut yang menjadi incaran Eta sedang cuti, tapi manusia satu itu tetap saja hobi makan soto depan kampus. Lama-lama Iris curiga, jangan-jangan bukan si ndut yang diincar Eta, tapi tukang soto! Perlahan, mata Iris berpindah ke arah jalan raya. Jam-jam segini, kendaraan yang lalu lalang tak sepadat pada pagi dan sore hari. Jam-jam orang berangkat kerja dan pulang kerja. Mata Iris bergerak lagi, berpindah ke pertokoan di seberang kampusnya. Toko-toko buah, toko-toko bunga.. matanya parkir di toko bunga yang tak asing lagi dalam ingatannya. Toko bunga Ranu and Lilacs Florist. Seorang pria sedang sibuk melayani pelanggannya. Pria Bunga.. Iris menikmati pemandangan Pria Bunga bolak-balik menemani pelanggannya memilah bunga. Pria Bunga terlihat menunjuk beberapa jenis bunga, mungkin memberi saran pada si pelanggan yang kini tampak mengangguk-angguk pelan. Iris sendiri tak pernah tahu jenis-jenis bunga. Dia cuma tahu mawar dan bunga matahari. Itu saja, titik. Pria Bunga bersalaman sebentar dengan pelanggannya sebelum si pelanggan kembali lagi ke mobilnya dan meninggalkan tempat itu. Pria Bunga kemudian mengambil beberapa tangkai bunga dari ember-embernya. Semua yang tadi ia tunjuk. Agak lama Pria Bunga berjongkok di depan masing-masing ember sebelum akhirnya masuk kembali ke tokonya setelah tangannya penuh dengan bunga yang berwarna-warni. Iris menepuk-nepuk kedua pipinya. Sadar, Ris.. Ranu itu suaminya Lilac, Ris.. Suami orang.. Iris kembali menatap langit, menikmati alunan lagu dari sebuah band ternama di Jepang yang terdengar di telinganya.

35

kimi he to yume wa ima me no mae de kiramei teru hanabira no mai furu you na yuki ga shukufuku shi ta2

Ta, gue duluan ya! Iris menepuk bahu Eta pelan. Eta masih sibuk menjejalkan buku-bukunya ke dalam tas. Ia mendongak, Lu balik jam berapa? Iris mengangkat bahu, Tergantung, gue juga belum tau.. Ati-ati ya, Ris.. kalo ada apa-apa telepon gue! Iris mengangguk. Eta buru-buru menambahkan, Kalo digodain, lapor polisi!!! Lapor Komnas HAM sekalian, Ta!! Iris berlari-lari kecil melewati area parkir motor, menyeberang jalan dan diam sebentar di depan toko Ranu and Lilacs Florist. Di dalam toko, Pria Bunga sibuk merangkai bunga. Iris menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah masuk. Permisi.. Pria Bunga mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk dan kini menatap Iris. Dia tersenyum, senyuman yang menyihir jantung Iris untuk bermain orchestra perkusi seketika, Ah, sudah selesai kuliahnya? Iris mengangguk, berusaha memberi kekuatan pada lidahnya agar tidak kaku mendadak, Sudah, Pak.. Uhm..tolong bunga-bunga yang di depan itu kamu semprotin air ya.. Penyemprotnya ada di deket ember yang warna kuning.. Pria Bunga menunjuk ke arah ember kuning di sebelah kiri Iris. Iris mengangguk pelan. Ia meletakkan tasnya di kursi plastik dekat pintu masuk. Tasnya taro di sebelah sini aja, Ris.. Pria Bunga menunjuk sisi meja tempat ia sedang merangkai bunga. Iris terpaku di tempatnya. Baru kali itu ia mendengar Pria Bunga memanggil namanya, bukan mbak. Rasanya begitu..

Mimpi itu kini untukmu, berkilauan di depan mata. Salju yang menari seperti daun bunga pun memberkatimu. (Larc en Ciel - Bless)

36

Eh, kalau.. kamu keberatan saya panggil Ris, saya bisa.. Ah, eng..enggak, Pak.. Iris cepat-cepat menggeleng, Sa..ya... cuma kaget aja..soalnya biasanya kan.. Umm, yaaa... karena... kamu resmi jadi pegawai di sini, jadi saya rasa lebih.. nyaman.. kalau saya panggil nama kamu.. tapi kalau kamu keberatan.. Iris menggeleng, tersenyum, Sa..saya enggak keberatan kok, Pak.. Iris lalu meletakkan tasnya di tempat yang tadi Pria Bunga tunjukkan. Langkahnya kaku. Seluruh sendinya mendadak kaku. Bunga.. di luar.. semprot.. Iris menggerakkan tangannya yang seperti kurang oli, menunjuk ke arah bunga di luar. Lidahnya juga ikut-ikutan kram, dan ia merasa pipinya menghangat. Pria Bunga menatapnya dengan heran, mengangguk pelan-pelan, Iya.. tolong disemprot.. Katanya lambat-lambat. Iris memaksa otot kakinya bergerak, mengarahkannya untuk keluar toko dan mengikuti perintah Pria Bunga. Ia merasa orchestra perkusi dalam jantungnya makin kencang suaranya. Iris menyemprotkan air ke bunga-bunga yang ada di luar toko. Tepat seperti apa yang diperintahkan Pria Bunga. Hanya saja, ia tak bisa menghentikan matanya untuk mencuri pandang ke dalam toko. Ke satu titik di mana Pak Ranu yang selama ini ia juluki Pria Bunga sedang merangkai bunga dengan serius. Dia suami orang, Iris.. Dia suami orang.. Iris melirik papan nama toko bunga yang kini menjadi tempatnya bekerja untuk mengganti rugi: Ranu and Lilacs Florist. Sudah berkali-kali ia mengeja papan nama itu. Sudah berkali-kali juga ia meyakini dirinya bahwa Pak Ranu adalah suami orang, suami si Lilac itu. Berkali-kali juga ia berusaha mengingkari perasaan aneh dalam hatinya tiap kali ia melihat Pak Ranu karena keyakinannya itu. Tapi, Iris bersumpah, ia tak tahu kenapa ia sangat menyukai cara Pak Ranu memanggil namanya tadi. Ris yang diucapkan Pak Ranu tadi terasa berbeda di telinganya, menembus hingga ke hatinya. Menggema dalam kepalanya. Permisi.. Seseorang menyentuh bahu Iris pelan, mengembalikannya dari dunia mungil dalam kepalanya. Iris menoleh, ..saya mau pesan buket bunga, mbak.. Iris buru-buru pasang senyum ramah, silakan langsung ke dalam saja, Pak.. Lelaki yang baru datang itu bergegas masuk ke dalam toko. Pak Ranu berdiri, menjabat tangan lelaki itu dan bercakap-cakap dengannya. Iris kembali sibuk dengan 37

bunga-bunganya. Sedikit berharap suara Pak Ranu yang tadi memanggil namanya segera menguap dari dalam kepalanya.

Iris melirik jam metalik di pergelangan tangannya. Tepat pukul delapan malam. Ia memandang ruang dalam toko bunga kecil itu. Ternyata pekerjaannya tak semudah yang terlihat. Ia harus menyapu toko sebelum tutup agar tidak kotor besok pagi. Ia juga harus membuang sampah bunga-bunga yang layu, tangkai, dan daun ke tong sampah yang letaknya agak lumayan jauh. Belum lagi mengangkut ember-ember bunga yang aduhai beratnya masuk ke toko sebelum mereka tutup. Dan penyemprot air itu..duh! Dia heran, bisa-bisanya Egi tetap bertubuh gempal padahal mengerjakan tugas-tugas seberat itu. Malah Pak Ranu bilang, Egi juga mengantar bunga-bunga pesanan kepada para pelanggan! Iris sedikit bersyukur karena tak mahir mengendarai motor. Jadi ia hanya kebagian jatah jaga toko sementara Pak Ranu yang mengirimkan bunga-bunga karyanya sendiri ke para pelanggan. Iris menoleh ke belakang, Pak Ranu tengah mengunci pintu masuk tokonya. Lama kemudian, ia selesai. Iris tak tahu kenapa bos barunya itu selalu lama berkutat dalam urusan kunci mengunci pintu. Rumah kamu di mana, Ris? Pak Ranu berdiri di sebelah Iris. Mendadak Iris merasa tubuhnya menyusut beberapa senti. Pak Ranu terlalu tinggi baginya. Deket sini, Pak.. saya bisa naik ojek kok, Pak.. Iris nyengir. Ia menunjuk kumpulan ojek yang mangkal di dekat gedung kampusnya. Kalo gitu naik ojek yang kenalan saya aja, sudah malam begini, rawan.. Pak Ranu langsung melambai ke arah kumpulan ojek itu sebelum Iris sempat mengiyakan. Satu ojek segera menghampiri mereka. Ma..makasih ya, Pak.. Iris tersenyum kikuk, sebetulnya saya ada ojek langganan juga.. Pak Ranu tertawa pelan, Oh gitu? Ah, ya sudah nggak pa-pa naik yang kenalan saya ini aja..ahaha... Pak Ranu menepuk bahu si abang ojek itu, Titip, Bang Jay. Ini pegawai baru saya. Si abang ojek yang disapa Bang Jay itu mengangguk dan terkekeh pelan, Sip, bos! Dijamin amaaann.. katanya.

38

Iris segera duduk di belakang Bang Jay itu. Ia menganggukkan kepalanya ke arah Pak Ranu, Mari, Pak.. Pak Ranu tersenyum, balas mengangguk, Makasih ya, Ris. Iris tak berani mengangkat wajahnya. Ia terus tertunduk hingga kaki-kaki Pak Ranu yang berdiri di pinggir trotoar tak terlihat lagi. Neng, ini rumahnya di sebelah mana? Bang Jay tiba-tiba bersuara. Ah, itu di... rumah nomor 31B, Pak. Okee. Bang Jay diam sebentar, lalu melanjutkan, ngomong-ngomong, Neng pegawai baru apa cuma gantiin si Egi, Neng? Oh, itu.. saya yang tempo hari nabrak tokonya Pak Ranu itu loh, Bang. Ooh..lah kok bisa jadi kerja di situ? Yaah, itung-itung ganti rugi, Bang. Saya anak kosan, kalo ganti uang, saya nggak bisa. Iris terkekeh pelan. Bang Jay mengangguk-angguk kecil. Pak Ranu itu orangnya baik, Neng. Enak deh sama dia mah. Iris baru berniat menanyakan status Pak Ranu pada Bang Jay ketika motor berhenti di depan kosan Iris, betul yang ini, Neng rumahnya? Ah, iya iya betul. Iris buru-buru turun dari motor, menyerahkan selembar sepuluh ribuan kepada Bang Jay, makasih ya, Bang. Sama-sama, Neng. Ojek itu berputar dan menghilang di ujung jalan. Iris melangkah masuk, pelan-pelan ia bergerak ke lantai dua rumah kosan itu, lalu mengetuk pintu kamarnya. Taa, gue pulang, Taa.. Ia berbisik pelan. Terdengar gusrak pelan, suara gerendel pintu digeser, lalu muncul lah kepala Eta dari balik pintu. Maaf, Mbak, saya nggak pesen bunga tuh. Eta nyengir jahil. Sialan lu!!! Iris mencubit lengan sahabatnya itu. Haha, gimana Neng kerja jadi tukang bunga nya? Enak nggak? Eta buruburu duduk manis di kasurnya, seakan siap mendengarkan cerita Iris. Iris meletakkan tasnya di meja belajar dekat jendela. Ia merebahkan diri di kasurnya. Enggan bercerita banyak. Terutama bagian di mana ia merasa aneh tiap kali melihat Pak Bosnya, Pak Ranu itu. Aneh. Iris butuh nama untuk perasaannya itu. Cuapeeekk, Bos! katanya. Enak nggak? Capek, Ta! Gue kayak kuli di sana!

39

Oohh, emang cocok, Ris, ama tampang lu yang kayak kuli panggul pasar tanah abang!! Eta ngakak. Iris bangkit dari kasur dan melempar gulingnya ke arah Eta. Dasar tukang soto! Iris meleletkan lidahnya. Dasar tukang bunga! Eta melempar guling Iris kembali, Omong-omong, ada kabar terbaru seputar Egi nggak? Iris menggeleng, Belum. Gue nggak tau kapan dia balik. Nyesel juga, harusnya waktu gue ngajak dia kenalan, minta nomernya sekalian ya hahahahhaa! Nggak bakal dikasih, Ta! Hahaha! Sialan! Eta terdiam sebentar, tiba-tiba dia menyeletuk, Eh, lu masih nggak digodain kan, Ris? Sumpah ya, Ta, sekali lagi lu nanya kayak gitu, langsung gue kasih payung cantik!!

Begitu mata kuliah terakhir selesai, Iris cepat-cepat menjejalkan buku-buku kesehatannya ke dalam tas, meninggalkan kelas seperti bayangan, dan pergi ke toko Pak Ranu. Selalu ada rasa menggelora di dalam dadanya tiap kali dia akan kembali ke toko bunga itu lagi. Iris masih belum bisa menamai rasa itu. Ris, nasib makalah kita buat minggu depan gimana, nih? Eta menarik lengan Iris sebelum dia berlari keluar kelas. Tinggal dikit lagi sih... Iris nyengir, Lu kerjain ya, Ta, gantinya...kerjaan lu di kosan, gue kerjain semua deh selama satu minggu! Ya? Ya? Ya? Semuanya ya? Iyaa! Udah ya, gue buru-buru! Iris melepaskan tangan Eta dari lengannya, melambai dan meninggalkan Eta tanpa menoleh lagi. Dari kejauhan, Iris melihat Pak Ranu sedang berusaha mengikat karangan bunga yang cukup besar di keranjang motornya. Iris mempercepat langkahnya, menyeberangi jalan, dan akhirnya berdiri di samping motor Pak Ranu.

40

Iris mencondongkan tubuhnya, melongok Pak Ranu yang berjongkok di sisi lain motor. Wajah serius itu terlihat lucu sekali bagi Iris. Dia tersenyum, Butuh bantuan, Pak? Pak Ranu mendongak dengan kaget. Sepertinya sedari tadi Pak Ranu tidak sadar ada Iris berdiri di depannya. Pak Ranu tertawa. Ah, Iya nih, untung kamu udah dateng. Ahaha... Pak Ranu menunjukkan tali yang sedang berusaha ia tautkan. Tolong pegang di sini, Ris. Iris menekan bagian tali itu kuat-kuat. Ia dapat merasakan embusan hangat napas Pak Ranu di wajahnya dari jarak sedekat ini. Rasanya detik berlalu dengan sangat lambat saat itu. Mendadak, Iris merasa kakinya tidak lagi menjejak trotoar. Iris pikir itu hanya perasaannya saja sampai Pak Ranu berteriak panik. IRIISSS, AWAASS!!!!! Pak Ranu melompat mundur tepat sebelum Iris dan motor itu menimpa tubuhnya. Rupanya Iris tanpa sadar membebankan tubuhnya di motor tersebut. Nyaris saja Iris mencium trotoar kalau Pak Ranu tidak cepat-cepat menangkap tubuhnya. BRAK!!!!! Motor berisi karangan bunga itu kini tergeletak di trotoar, dengan ujung sepatu Iris tersangkut di joknya. Pak Ranu menarik tubuh Iris yang separuh gemetar dan mendudukkannya di trotoar. Beberapa orang yang lewat di sana membantu Pak Ranu untuk mengembalikan motor berisi karangan bunga itu ke posisi wajarnya. Kamu nggak pa-pa, Ris? Pak Ranu cepat-cepat menghampiri Iris setelah memastikan motor dan karangan bunga itu masih dalam keadaan layak. Pak Ranu berjongkok di hadapan Iris dengan wajah panik. Memperhatikan tangan dan lengan Iris dengan khawatir. Iris menggeleng. Tidak, dia tidak terluka. Dia syok. Eng..enggak pa-pa, Pak... Iris melirik motor di belakang Pak Ranu. Merasa bersalah. Itu... Ah, itu mah nggak pa-pa, Ris. Masih layak kok, bisa saya betulin sedikit. Pak Ranu tersenyum, Duduk dulu deh kamu di dalam. Biar saya cari air dulu, tangan kamu dingin banget. Pak Ranu menyentuh tangan Iris sedikit. Iris merasa tangan Pak Ranu lah yang justru terlalu hangat. Pak Ranu membantu Iris berdiri, dan membawanya masuk ke toko. Iris duduk di kursi plastik dekat pintu. Masih syok. Tak habis pikir kenapa belakangan ini selalu melakukan kecerobohan di sekitar Pak Ranu. Kecerobohan yang merugikan. Bunga-bunga yang ia lindas, dan kini motor berikut karangan bunga di atasnya tak sengaja ia gulingkan. 41

Sebentar, saya cari air dulu. Kamu duduk aja di sini, ya. Ng..nggak usah, Pak... Iris refleks menarik lengan Pak Ranu. Pak Ranu menoleh. Menatap tangan Iris yang menggenggam lengannya. Bumi seakan berhenti berputar sejenak. Membiarkan jemari Iris merasakan denyutan nadi di lengan Pak Ranu yang mendadak terpacu. Iris cepat-cepat menarik tangannya lagi. Anu.. saya.. nggak apa-apa kok, Pak. Pak Ranu tampak mengerjapkan matanya, sebelum akhirnya berkata, Nggak nggak, kamu harus minum buat ngilangin kaget. Oke? Tunggu di sini ya. Iris memandangi punggung Pak Ranu yang berlalu. Tangannya yang barusan menggenggam lengan Pak Ranu ia remas-remas. Seakan berusaha menetralisir tangan itu. Ia merasa masih menggenggam lengan Pak Ranu di sana. Masih merasakan denyut nadi Pak Ranu yang begitu cepat. Kenapa... cepat? Ini airnya, Ris. Pak ranu tiba-tiba sudah muncul lagi di hadapan Iris sambil menyerahkan sebotol air mineral. Iris mengambilnya dengan hati-hati. Ma..makasih, Pak. Maaf, tadi..tadi saya nggak sengaja... Pak Ranu menggeleng, Itu kecelakaan, Iris. Nggak mungkin kan kamu sengaja? Udah, diminum dulu airnya. Iris meneguk air itu sekali. Maaf, Pak... ia benar-benar merasa bersalah. Akan terasa lebih baik justru kalau Pak Ranu memarahinya. Udah, nggak apa-apa. Pak Ranu menepuk bahu Iris pelan. Kamu duduk aja dulu di sini, ya. Saya urus bunganya dulu. Pak Ranu melangkah keluar toko. Iris memperhatikan sosok itu dengan seksama. Pak Ranu terlihat memperbaiki karangan bunga di atas motor yang tadi tidak sengaja Iris gulingkan. Kenapa Pria Bunga-nya tidak marah? Sungguh, detik itu, Iris merasa Pak Ranu terlalu baik untuk menjadi suami orang.

Iris duduk di depan toko. Memperhatikan jalanan Jakarta yang lengang di hadapannya. Hanya pagi hari di akhir minggu seperti itu jalanan Jakarta menjadi sepi kendaraan. Iris datang kepagian. Pak Ranu ternyata malah belum datang. Padahal jam metaliknya sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit. Dia mengeluh

42

dalam hati, benar kata Eta tadi pagi. Seharusnya dia datang pukul sepuluh saja. Sebuah bajaj tiba-tiba menepi di depan Iris. Ada bunga-bunga yang menyembul keluar dari pintu penumpangnya. Iris berdiri ketika pintu bajaj itu terbuka. Pak Ranu keluar dari sana. Terkejut melihat Iris yang sudah berdiri manis di depan toko pagipagi begini. Loh, Ris, kamu nggak kuliah? Iris menggeleng, Nggak, Pak. Tersenyum, Sabtu-Minggu saya libur. Pak Ranu ber-oh panjang sebelum akhirnya menurunkan ember bunga dari bajaj ke trotoar. Iris menghampiri, berusaha ingin membantu. Pak Ranu menggeleng, Jangan, Ris. Berat. Ia mencari-cari sesuatu dalam saku celana jins nya. Menarik keluar sekumpulan kunci dan menyerahkannya pada Iris, Kamu bukain pintunya aja, nih. Kuncinya yang mana, Pak? Kamu cobain aja satu-satu, saya nggak pernah hapal kunci mana untuk pintu mana soalnya.. Pak Ranu tertawa pelan. Iris memandangi kunci-kunci dalam tangannya. Jelas saja Pak Ranu selalu lama berkutat dengan urusan kunci-mengunci pintu. Kunci yang dimilikinya ada beraneka jenis dan semuanya dikumpulkan dalam satu gantungan kunci! Bisa nggak, Ris? Pak Ranu berdiri di samping Iris yang sudah satu menit mencoba tapi belum berhasil juga. Nah! Bisa nih, Pak. Iris menjerit girang seakan baru saja menyelesaikan teka-teki silang. Ia mendorong pintu toko hingga terbuka. Pak, kalau belanja selalu naik bajaj, ya? Pak Ranu menggeleng. Biasanya naik motor, Ris. Motornya...kenapa, Pak? Motornya lagi di bengkel, Ris. Knalpotnya lepas. Iris panik, Lepas?!! Gara-gara kemarin jatuh, Pak? Bukan, Ris...udah lama emang agak bermasalah knalpotnya. Pak Ranu menepuk kepala Iris pelan, tersenyum. Senyum yang bikin Iris melupakan paniknya dan sibuk berkonsentrasi memberi kekuatan pada kedua kakinya yang mendadak lemas. Bukan gara-gara kemarin. Be..betulan, Pak? Iris merasa curiga. Jangan-jangan Pak Ranu mengatakan hal itu hanya untuk menenangkannya saja.

43

Saya serius, Iris... Pak Ranu tersenyum lagi. Curiga Iris buyar seketika. Iris mempertajam konsentrasinya. Daripada kamu mikirin knalpot motor, Pak Ranu mengambil beberapa tangkai bunga dari ember di sebelahnya. Mending kamu belajar bikin karangan bunga... Eh? Saya nggak bisa, Pak... Iris menggeleng-gelengkan kepalanya. Bisa..saya ajarin. Pak Ranu menyeret Iris ke meja kerjanya. Mengambil gunting, dan perkakas lainnya. Hari itu, sepanjang hari Iris belajar membuat buket bunga dan karangan bunga. Sepanjang hari juga ia berdoa, semoga Pak Ranu tidak mendengar debaran jantungnya dari jarak sedekat itu.

Ada perasaan aneh di dalam dada. Perlahan mengakar. Tumbuh. Dan berbunga...

Iris mendadak punya hobi baru. Bahkan, ia tak sadar kalau ia punya hobi baru selain menontoni awan berarak. Ya, mencuri pandang ke arah toko bunga tepat di seberang kampusnya. Sudah seminggu dia bekerja di tempat itu. Sudah seminggu juga hobi barunya itu ia jalani tanpa sadar. Iris selalu menikmati pemandangan Pak Ranu yang sedang melayani pelanggan, sibuk memilah bunga dan menyarankannya pada tiap pelanggan. Tak hanya itu, Iris juga mulai merasa betah kerja di toko bunga Pak Ranu itu. Semua lelahnya tak terasa tiap kali ia mendengar Pak Ranu memanggil namanya, tiap kali Pak Ranu tersenyum ramah padanya, tiap kali ia menontoni Pak Ranu merangkai bunga secara diam-diam, tiap kali Pak Ranu mengajarinya membuat karangan bunga, tiap kali Pak Ranu mengucapkan terima kasih padanya sebelum Bang Jay mengantarnya pulang. Iris tahu, Pak Ranu adalah suami orang. Suami si Lilac itu___setidaknya itulah yang ia yakini saat ini___yang berarti adalah Pak Ranu itu pria terlarang. Pria terlarang untuk dikagumi, untuk dipandangi, apalagi untuk dinikmati senyumannya. Tapi Iris tak bisa menipu dirinya sendiri. Semakin ia berkata tidak, semakin melekat bayang

44

Pak Ranu dalam kepalanya. Mencuri jiwanya. Membuatnya sulit tidur di malam hari. Membuatnya justru bermimpi di siang hari, mimpi untuk paling tidak ada di dekat Pria Bunga-nya itu. Iris tak tahu, apakah dia sedang jatuh cinta pada bos-nya itu? Dosakah jika ia jatuh cinta pada suami orang? Ris, langitnya pindah ke jalan raya? Eta menyenggol bahu Iris pelan. Iris nyaris melompat dari kursi karenanya. Eta cekikikan. Gue lagi ngitung metromini! Iris melengos. Menyembunyikan wajah paniknya. Berharap Eta tidak melihatnya. Yaelah, ngeles aja kayak ojek! Eta menyodorkan roti-kasur dan duduk di samping Iris. Hari ini kita anti-soto! Kok? Iris melirik Eta yang agak manyun. Soalnya, cacing di perut gue mulai demo minta ganti menu. Telat! Gue udah mau muntah sejak seminggu yang lalu! Eta mengalihkan pandangannya ke arah jalan raya. Mengunyah roti-kasurnya. Matanya tertumbuk ke satu titik. Iris memperhatikan perubahan air muka sahabatnya itu. Dahi Eta mendadak berkerut. Iris tahu sahabatnya menangkap sesuatu di seberang sana. Satu titik yang sudah seminggu ini Iris hapal tiap bagiannya. Eta cepat-cepat menoleh ke Iris. Ris, kok lu nggak bilang-bilang sih? Bilang apa? Iris pura-pura tidak tahu. Toko bunganya keliatan dari sini! Ya, terus? Iris berdebar. Napasnya tertahan. Kan gue enggak perlu ke tukang soto buat memantau Koh Egi!! Hah?

Iris cepat-cepat merapikan berkas bahan makalahnya yang barusan ia presentasikan bersama Eta. Apapun nilainya, Iris pasrah saja karena bukan dia yang menyusun makalah tersebut. Gue duluan, Ta! Iris menepuk bahu Eta pelan dan buru-buru meninggalkan kelas. Rutinitasnya yang biasa selama seminggu ini. Semenjak Iris punya kewajiban membayar hutangnya pada Pak Ranu. Kewajiban yang perlahan mulai dinikmatinya.

45

Sekumpulan stand-stand di parkiran kampus menghentikan langkah Iris. Ia berbelok ke sana. Baru menyadari kalau sedang ada bazar di kampusnya. Iris berhenti di salah satu stand, mendadak teringat gantungan kunci Pak Ranu yang cuma satusatunya itu. Iris senyum-senyum sendiri. Mengambil sebuah gantungan kunci berbentuk bunga matahari. Membayarnya. Iris mengantongi benda itu. Cepat-cepat Iris meninggalkan tempat itu. Ia akan menghadiahkan benda itu pada Pria Bunga-nya. Iris melangkah masuk ke toko, Permisi.. Pak Ranu duduk di balik mejanya, membelakangi Iris. Sepertinya terlalu serius hingga tak menyadari kehadirannya. Pria itu sedang bicara dengan seseorang di ponselnya. Iris mendengar nama Lilac disebut-sebut barusan. Refleks, Iris memperlambat geraknya, mencuri dengar pembicaraan itu. Iya, Bu. Rencananya besok saya ajak Lilac jalan-jalan.. iya, saya tau dia ngambek karena hampir sebulan saya nggak mampir ke sana.. tolong dibujuk dulu biar mau makan, Bu. Saya khawatir dia sakit. iya, tolong sampaikan salam saya ke Lilac ya, Bu. Besok saya pasti ke sana. Makasih, Bu. Pak Ranu mengantongi lagi ponselnya. Menoleh ke arah pintu. Kelihatan kaget karena Iris ada di sana. Iris buruburu tersenyum, pasang tampang tidak-mendengar-stadium-tiga. So..sore, Pak.. Sore... Pak Ranu balas tersenyum, kikuk. Kamu.. udah dari tadi, Ris? Iris menggeleng. Iris merasa pertanyaan itu mengisyaratkan bahwa pembicaraan di telepon barusan bukan untuk didengar orang lain. Terutama, Iris. Ba..ru kok, Pak... Oh...gitu... Pak Ranu diam sebentar, mengalihkan topik pembicaraan. Ah, ya, ada yang mau saya omongin, duduk dulu, Ris. Deg.. Iris menarik kursi plastik di dekat pintu hingga ke meja kerja Pak Ranu. Lantas, ia duduk di sana. Ada.. apa, Pak? Bentar ya, tunggu satu orang lagi. Pak Ranu tersenyum. Siapa? Pak, itu knalpot motornya udah nggak masalah pas saya coba barusan... Seorang lelaki masuk ke toko. Iris menoleh. EGI???!!!! Gi, ini yang gantiin kamu selama ini... Pak Ranu melirik Iris, Iris. Egi mengerutkan dahinya. Iris yakin lelaki gempal itu tengah mengingat wajahnya, karena detik berikutnya ia langsung tertawa. Padahal Iris berharap Egi 46

tidak mengingat dirinya. Yang ketemu di tukang soto, ya? Ia cepat-cepat menghampiri Iris. Menjabat tangannya. Apa kabar? Kaget ternyata kamu orangnya... Iris menyunggingkan bibirnya sedikit, Baik. Saya juga kaget bisa ada di sini.. Iris mengekeh sesudahnya. Kalo jodohnya dapet, jangan lupa pesen bunganya kemari... Egi tersenyum jahil. Iris bersumpah akan membuat perhitungan dengan Eta begitu ia kembali ke kosannya nanti. Gampang... Iris memilih tersenyum. Tak tahu harus berkomentar apa lagi. Pak Ranu tahu-tahu saja berdeham pelan. Iris dan Egi menoleh ke arahnya. Iris sempat lupa keberadaan Pak Ranu di sana saking seriusnya berdoa agar Egi lupa ingatan. Jadi, tadi saya ngobrol-ngobrol sama Egi. Saya bilang kalau perjanjian saya sama kamu itu, kamu kerja di sini sampai Egi pulang. Pak Ranu menarik napas, sementara napas Iris justru tertahan. Iris hampir yakin kalau Pak Ranu akan mengatakan: Mulai besok, kamu nggak perlu dateng lagi, Ris. Tapi, karena tadi saya dapet pesanan bunga buat pernikahan, dan butuh pegawai tambahan, jadi... Kamu bantu kita di sini, Ris. Egi menutup pidato panjang Pak Ranu. Iris melongo. Mengembuskan napasnya. Ia tak sepenuhnya merasa yakin pada kesimpulan yang diserap otaknya. Jadi, dia batal diberhentikan?? Gimana? Kamu tetep kerja di sini, Ris. Untuk kali ini, saya gaji kamu kayak si Egi. Pak Ranu menegaskan sekali lagi, Sampai dua minggu ke depan. Acaranya sekitar dua minggu lagi. Pak Ranu menambahkan, Tapi, kalau kamu nggak mau, yaa..nggak apa-apa. Nanti saya cari orang lain. Iris butuh beberapa detik untuk mencerna semuanya, memikirkan untuk menerima tawaran Pak Ranu dan Egi atau tidak. Sumpah demi apapun, Iris sejujurnya sangat-sangat-senang dengan tawaran itu. Siapa yang akan menolak untuk berada dekat dengan seseorang yang dikagumi selama dua minggu lagi? Seseorang yang mungkin tak bisa selamanya kau kagumi karena dia milik orang lain? Siapa yang akan menolak? Iris mengangkat bahunya, Nggak perlu cari orang lain, Pak. Saya bersedia. Egi menepuk bahu Iris, tersenyum padanya. Selamat datang di toko kami!

47


Ris, pulang ke arah mana? Egi tahu-tahu saja sudah berdiri di samping Iris. Mata lelaki satu itu hilang tiap kali dia tersenyum. Pipinya terlihat makin menggembung. Iris bingung, bisa-bisanya Eta naksir manusia seperti ini. Iris menunjuk satu arah, Kosan saya ada di daerah situ. Egi mengangguk-angguk. Menggaruk tengkuknya yang entah benar-benar gatal atau tidak. Satu kosan sama Eta? Iris mendadak mulai paham arah pembicaraan mereka. Dia tersenyum, Satu kamar malahan... Salam ya buat Eta... Egi tersenyum lagi. Agak malu-malu. Bagi Iris malumalu itu seperti malu-malu kucing yang menolak ketika disodori ikan, begitu lengah sedikit ikannya langsung hilang. Ris, Pak Ranu berdiri di sisi lain Iris. Iris merasa seperti diapit duo mario brothers. Bang Jay belum muncul juga? Belum, Pak...kayaknya lagi ada penumpang lain. Saya nggak masalah nunggu sebentar di sini. Iris tersenyum. Naik bajaj aja, Ris! Egi tiba-tiba berceletuk. Iris melirik lelaki gempal itu. Bajaj? Haruskah BAJAJ??!!!! Boleh juga kayaknya naik bajaj... Pak Ranu ikut berkomentar pelan. Jujur saja, Iris tidak berani naik bajaj. Ia pernah punya pengalaman buruk dengan kendaraan beroda tiga itu. Dulu, Iris kecil pernah nyaris diculik oleh tukang bajaj! Semenjak itu, dia antipati dengan kendaraan mungil yang banyak berkeliaran di Jakarta itu. Kalaupun tiba-tiba ia harus___terpaksa___naik bajaj lagi, tentu tidak pada jam delapan malam seperti ini. Seorang diri. Saya..nunggu di sini aja deh... Siapa tahu masih lama, Ris. Pak Ranu membujuk. Enggak apa-apa, Pak... Kamu nggak takut naik bajaj kan, Ris? Egi menyenggol bahu Iris pelan. Iris cepat-cepat menggeleng, Eng..enggak kok. Cuma... Pak Ranu tertawa pelan, Kalau bareng saya, gimana?

48

Wah! Iya tuh, rumah Pak Ranu kan ke arah sana juga! Egi mengangguk anggukkan kepala tanda setuju, Yaaa, daripada kita nungguin si Bang Jay yang nggak jelas kapan datengnya di sini, kan? Iris seakan kehilangan kata-katanya, tak terbayang jika harus pulang diantar Pak Ranu, berhimpitan di dalam bajaj... Atau kamu justru takut naik bajaj sama saya, Ris? Egi terbahak mendengar kata-kata Pak Ranu barusan. Iris buru-buru menggeleng, Eng..enggak kok, Pak... Iris akhirnya menuruti saran Egi. Pulang naik bajaj bersama...Pak Ranu. Egi sendiri rupanya menyeberang jalan dan naik bis ke arah yang berlawanan dengan mereka berdua. Jantung Iris berdebar-debar saat Ia dan Pak Ranu duduk berhimpitan di dalam bajaj. Ia merasa jantungnya akan rontok jika berdebar secepat itu. Iris berusaha tidak mengacuhkan bahunya yang menempel dengan tubuh Pak Ranu. Matanya diarahkan ke jalan raya. Terlalu gugup. Ia merasa Jakarta terlalu panas malam itu. Iris berkeringat. Ia dapat merasakan keringat mengalir di punggungnya. Ke mana perginya angin malam??!! Ris, kosan kamu masuk gang ini? Pak Ranu melirik Iris sambil menunjuk sebuah gang. Iris menoleh sebentar, mengangguk. Baru menyadari betapa dekat jaraknya dengan Pak Ranu saat itu. Mendadak ia merasa bajaj itu makin menyesakkan. Makin membuatnya berkeringat. Makin..panas! Iris mengembalikan pandangannya ke arah jalan lagi. Iris hampir yakin pipinya mulai memerah sekarang. Ia tak mau ekspresi itu dilihat oleh Pak Ranu. Oleh.. suami orang. Stop!! Stop!! Stop!! Iris menepuk bahu tukang bajaj kuat-kuat ketika sadar kosannya hampir saja terlewat. Bajaj itu menepi. Iris segera turun dari bajaj itu. Pak Ranu memandangi kosan Iris lekat-lekat. Alisnya nyaris bertaut. Iris melirik kosannya, tapi tak menemukan kejanggalan di sana. Ini..kosan kamu, Ris? Iris mengangguk, Iya, kenapa, Pak? Kamar kamu di sebelah mana? Iris menunjuk sebuah jendela di lantai dua. Kenapa pula Pak Ranu menanyakan..kamarnya? 49

Deg. Deg.. Yang itu kamar saya, Pak. Kenapa? Pak Ranu menggeleng, Nggak kenapa-napa... Entah Iris berkhayal atau tidak, Iris merasa seperti melihat sebersit senyum di bibir Pak Ranu barusan. Sedetik, tapi terlihat. Membuat Iris meremas jeans-nya saking gugupnya. Iris menyadari ada yang menyembul di kantong celananya. Gantungan kunci! Saya pulang dulu, Ris... Sebentar, Pak. Iris cepat-cepat mengeluarkan gantungan kunci yang dibelinya di bazar kampus tadi, menyerahkan pada Pak Ranu yang tampak sangat terkejut. Iris tersenyum, Ini... buat kunci toko, Pak. Biar dipisahin aja sama yang lain... Pak Ranu terkekeh pelan, Saya sendiri selalu lupa buat misahin kunci itu. Terima kasih, Ris... Lantas Pak Ranu tersenyum. Kali ini ia tersenyum penuh. Sesaat Iris dan Pak Ranu hanya saling tatap. Pak Ranu tiba-tiba berdeham pelan, menggaruk tengkuknya sedikit. Saya pulang sekarang, Ris... sekali lagi, terima kasih, ya... Ia menunjuk gantungan kunci berbentuk bunga matahari pemberian Iris. Iris cuma mengangguk pelan. Suaranya serasa dicuri orang. Pak Ranu lalu mengangkat kelima jemari kanannya sedikit sebelum bajaj itu berbalik arah dan kembali melaju. Meninggalkan kepulan asap di depan Iris. Demi apapun, Iris sungguh ingin menari detik itu juga!!

UDAH BALIK??? KIRIM SALAM BUAT GUE??? ASTAGAAAA!!!! Eta menjerit-jerit girang mendengar kabar kepulangan dan salam Egi dari Iris. Bilang bilang bilang, salam balik dari gue!! Eta bergulingan di kasurnya sambil memeluk guling. Bernyanyi-nyanyi tidak jelas. Iris membiarkan sahabatnya itu bersenangsenang dalam dunianya sendiri. Dan dia, dalam dunianya sendiri juga Iris terlentang di kasurnya. Menatap langit-langit kosannya. Seakan langitlangit itu menembus ke langit yang sesungguhnya. Langit yang bertaburkan bintang, membentuk gugus bintang baru yang hanya dapat dilihat oleh Iris seorang. Gugus bintang Ranu. Ada rasa bersalah dalam hatinya, tapi sekaligus ada rasa senang di

50

sana. Iris merasa bersalah karena Pak Ranu, suami orang, mengantarnya pulang. Tapi sekaligus senang karena pria yang dikaguminya, pria yang mengisi hampir sebagian dari pikiran dalam kepalanya, telah mengantar Iris pulang. Tiba-tiba, ponsel Iris bergetar di sisi kasurnya. Iris kembali dari gugus Ranunya. Terdampar lagi di atas kasurnya. Ia meraba-raba kasurnya, mencari ponsel mungil miliknya. Membaca nama penelepon pada layarnya yang berkedip-kedip. Ibu. Wajah ibu melintas dalam kepala Iris. Seorang wanita paruh baya yang lebih sering memakai pakaian dinasnya ketimbang daster seperti layaknya ibu pada umumnya. Ibu Iris adalah seorang guru SMA. Ibunya berubah semenjak ayah kandung Iris tiada. Ibunya menjadi sangat otoriter dan konservatif, tak pernah lagi memberikan kebebasan dalam hidup Iris. Semua sudah diatur ibu, di mana Iris harus sekolah, pekerjaan apa yang harus Iris jadikan sebagai mata pencaharian, bahkan bagaimana sosok pasangan suami ideal yang harus Iris nikahi. Ibunya selalu berpesan, seorang gadis baik-baik pantas mendapat lelaki baik-baik, seorang perawan pantas mendapat seorang perjaka. Jakarta itu rawan, Iris. Hati-hati. Iris teringat ketika Ibu menolak permintaannya untuk tinggal di kosan. Perdebatan panjang itu berakhir dengan disetujuinya keputusan Iris dengan ketentuan, ibu yang memilihkan tempat kosan, dan setiap sebulan sekali Iris harus pulang ke rumahnya di Bogor. Halo, Suara tegas yang sudah Iris hapal itu menyapa di ujung sana. Iris paham betul ibunya berusaha menjadi figur tegas seorang ayah. Entah kapan terakhir kali suara itu terdengar lebih keibuan. Kamu kapan pulang, Ris? Sehat kan di sana? Mungkin minggu depan, Bu. Belakangan ini Iris sibuk..sehat, Bu. Jangan khawatir. Sibuk kuliah, kan? Inget, Ris, kuliah itu modal utama, jangan sampai nilai kamu turun. Nggak usah lah ikutan temen-temen kamu yang ambil kerja paruh waktu. Iris merasa seperti ada yang menohok perutnya. Ia berdoa, semoga ibunya tidak akan tahu perihal pekerjaannya di toko bunga Pak Ranu. Kapan kamu mulai praktek di rumah sakit? Kayaknya mulai bulan depan, Bu, mungkin nanti jadi jarang pulang. Iya, Iris paham, mudah-mudahan nilai Iris nggak turun. Nanti kalau sudah lulus kamu bisa kerja di tempat kawan ibu, kemarin ibu sudah ngobrol-ngobrol dan katanya kamu bisa ditempatkan di sana. 51

Iris mengembuskan napas. Bahkan tempat kerja pun sudah ditentukan. Iya, Bu. Jangan lupa pesan ibu... Iris mengeja pesan ibunya di dalam hati. ...seorang gadis baik-baik pantas mendapat lelaki baik-baik, seorang perawan pantas mendapat seorang perjaka. Jaga diri kamu baik-baik, Iris. Iya, Bu. Iris paham. Ibu tunggu minggu depan. Tut. Iris mengembuskan napas panjang. Memejamkan matanya. Teringat keluarga kecilnya sebelum sang ayah tiada. Eluarga kecilnya yang bahagia. Ketika ibu berusaha tegas tapi tak keras, ketika ibu membiarkannya bebas tapi tak lepas, ketika ibu hanya menjadi seorang ibu dan bukannya sekaligus ayah. Iris sungguh rindu sosok ibunya di masa itu.

Tak ada sosok Pak Ranu di toko siang itu. Hanya ada Egi yang tengah membuat karangan bunga duka cita di dalam toko. Iris celingukan ketika masuk ke sana. Barangkali Pak Ranu terhalang tubuh besar Egi. Tenyata tidak. Hai, Ris! Egi meliriknya sedikit, lalu kembali menatap karangan bunganya. Ada yang salah di sini? Iris duduk di sebelah Egi. Enggak kok.. Pak Ranu ke mana? Ada janji sama Lilac-nya. Egi mengekeh pelan, Ngambek lagi anak itu, kata Pak Ranu, dia nggak mau makan sebelum ketemu ayahnya. Lucu ya... Anak? Ayah? Lilac itu...anaknya Pak Ranu? Iris bertanya hati-hati. Egi menoleh, Loh, kamu belum tahu? Iris menggeleng. Enggan mengatakan kalau selama ini ia berpikir Lilac adalah istri Pak Ranu. Egi tertawa. Lilac itu anak satu-satunya Pak Ranu. Masih kecil. Anak itu tinggal sama neneknya di daerah Jakarta Barat. Lucu deh, Ris. Sayang jarang dibawa kemari... Iris mengernyitkan dahinya, Istrinya? Istrinya udah meninggal, Ris. Waktu ngelahirin Lilac-nya itu...

52

Pak Ranu... ayah tunggal? Sejauh ini, iya. Mendadak Iris merasakan ada yang bergelora di dalam dadanya. Ada perasaan yang tiba-tiba merdeka di sana. Meletup-letup sepuasnya.. Ternyata dugaan Iris selama ini salah. Ternyata pria yang dikiranya suami orang itu seorang ayah tunggal. Bukan suami orang. Egi menoleh, menambahkan, Saya belum pernah lihat Pak Ranu deket sama perempuan lain... Egi menimbang sesaat, ...sampai kemarin. Maksudnya? Egi mengembuskan napas, Gini ya, Ris. Sebelumnya saya minta maaf karena seharusnya saya nggak ngomong seperti ini ke kamu. Yaa, kamu kenal saya aja baru satu hari. Tapi, saya cuma mengingatkan aja, status Pak Ranu itu..duda beranak satu. Nggak banyak orang tua yang terbuka dengan status seperti itu, jadi...sebelum ada sesuatu, menurut saya... Egi tersenyum, menepuk bahu Iris lembut. Seperti seorang abang pada adiknya. ...kamu pikirkan lagi matang-matang. Oke? Iris tak menyahut. Kata-kata Egi barusan meresap dalam kepalanya, membangkitkan wajah ibunya di Bogor. Menggaungkan lagi suara ibunya di telepon tadi malam, seorang perawan pantas mendapat seorang perjaka... Nih, bantuin saya bikin karangan bunganya. Egi menyodorkan setumpuk bunga pada Iris. Iris mengambilnya. Perlahan direkatkan bunga-bunga itu pada karangan bunga duka cita di hadapannya.

Ketika rasa itu merdeka, ada duka yang mengancam. Belum. Duka itu belum benar-benar datang. Hanya saja, sakitnya lebih dulu terasa...

Iris berjongkok sambil mengikat kantung sampah terakhir yang ia kumpulkan dari lantai toko. Egi merapikan perkakas kembali ke tempatnya masing-masing. Jam metalik di pergelangan tangan Iris menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit. Iris melongok keluar toko. Belum ada penampakan dari Eta. Padahal siang tadi Eta senyum-senyum dan bilang akan menjemput Iris dari toko tepat pukul delapan

53

malam. Sudah pasti alasan Eta mendadak menawarkan diri untuk menjemput Iris adalah si Egi itu. Iris melirik punggung bulat yang sedang merapikan meja di belakangnya. Manusia yang sore tadi memberinya ceramah singkat. Obrolannya dengan Egi sore tadi terputar lagi dalam kepala Iris. Fakta bahwa dugaan Iris selama ini salah, bahwa Lilac adalah anak Pak Ranu dan bukan istrinya, terasa sangat melegakan bagi Iris. Tapi kenyataan bahwa Pak Ranu berstatus duda justru terasa sangat menyesakkan bagi Iris. Iris tak pernah mempermasalahkan status, usia, jabatan, pekerjaan, apapun itu, bagi Iris mereka semua sama. Bukankah tak ada yang sempurna di dunia? Hanya saja tidak bagi ibu Iris. Teman lelaki Iris semasa SMA, guru magang di sekolahnya, bahkan diusir ibu ketika bertamu. Cercaan, seperti Pedofilia3, dilontarkan pada lelaki itu. Nasib yang sama juga dialami teman lelaki Iris yang lainnya, salah satu pengurus karang taruna di lingkungan rumah Iris, diusir oleh ibu. Iris tak berkutik, tak berani menentang ibu. Iris meyakinkan dalam hatinya, ibu mungkin sudah berubah... Ris, kamu pulang duluan aja. Egi tiba-tiba bersuara. Berbalik badan. Menyadarkan Iris dari lamunannya. Saya masih nunggu Pak Ranu dulu, katanya dia mampir buat ambil kunci toko. Takutnya Pak Ranu masih lama, nanti kamu kemalaman. Nggak kok, kebetulan saya lagi nunggu Eta, katanya dia mau jemput. Iris tersenyum simpul. Separuh hati berdoa agar sempat melihat Pak Ranu sebelum ia pulang nanti. Eta mau jemput? Egi menghentikan kegiatan beres-beresnya. Iris mengangguk. Iya, janjinya sih jam delapan. Iris melirik jam metaliknya, sudah pukul delapan lewat dua puluh menit. Tapi mungkin agak telat. Egi cepat-cepat merapikan rambutnya. Menyeka keringat di wajahnya, dan mengelap kacamata dengan ujung bajunya. Lalu, menatap Iris. Udah rapi belum? Iris terbahak. Membuat Egi menguncupkan bibirnya dengan kesal. Maafmaaf, Iris menutup mulut dengan tangan kanannya, mengacungkan ibu jari kirinya. Rapi! katanya separuh menahan tawa. Suara klakson motor membuat Iris dan Egi menoleh keluar toko. Eta melambai di sana. Lantas menggantung helmnya di spion motor dan berjalan menuju
3

Sejenis kelainan seksual pada orang dewasa yang menyukai anak-anak untuk memuaskan hasrat mereka.

54

ke dalam toko. Egi terlihat salah tingkah sementara Eta berjalan mantap. Iris sungguh ingin tertawa melihat pemandangan itu. Sori ya, Ris, telat. Gue ketiduran. Eta berdiri di samping Iris, melirik Egi dan menganggukkan kepalanya. Tersenyum pada lelaki itu. Halo, Koh Egi. Apa kabar? Halo..baik. baik. Panggil Egi aja. Egi balas tersenyum. Kikuk. Iris makin ingin tertawa melihatnya. Kamu.. apa kabar? Baik. Eta menambahkan, Salamnya yang kemarin...makasih ya. Pipi Eta merona merah muda. Iris melihat rona yang sama di pipi Egi. Membuatnya senyumsenyum sendiri melihat dua manusia itu. Ah, i..iya. sama-sama. Eta menoleh pada Iris lagi, Balik sekarang, kan? Iris mengangguk-angguk. Berdiri, mengambil tasnya di meja. Menepuk bahu Egi pelan, Duluan ya. Iris dan Eta baru melangkah keluar toko ketika sesosok manusia menyeberang jalan. Berjalan menuju ke arah mereka. Siluet yang rasanya sudah sangat Iris kenali. Sosok itu berhenti beberapa langkah di depan mereka. Tepat di batas remang-remang cahaya dari lampu di sisi trotoar. Pak Ranu? Pak Ranu melangkah maju perlahan, Iris? Kok belum pulang? berhenti satu langkah di depan Iris dan Eta. Itu..tadi saya nunggu dijemput teman saya... Iris melirik Eta. Eta buru-buru menyalami Pak Ranu, Eta... katanya memperkenalkan diri. Saya yang punya motor matic yang dipake Iris waktu itu, Pak... Eta tersenyum takut-takut. Oh... Pak Ranu mengangguk-angguk pelan, Motornya nggak apa-apa waktu itu? Eta menggeleng, Enggak, Pak. Cuma lecet-lecet dikit... Oh... bagus kalau gitu. Hening sesaat sebelum Pak Ranu melanjutkan, Kalian udah makan malam? Iris dan Eta menggeleng. Iris cepat-cepat menambahkan, Nanti kita beli makan di warteg deket kosan, Pak. Makan sama-sama aja. Pak Ranu menunjuk ke satu arah, Ada tukang nasi goreng langganan saya sama Egi di dekat taman situ. Saya yang traktir. Jarang-jarang 55

kan saya traktir... Pak Ranu tersenyum. Ia lantas melambai pada Egi yang buru-buru keluar toko. Kenapa, Pak? Tiba-tiba kangen nasi goreng yang di deket taman situ, sekalian ajak Iris sama temannya ini. Saya yang traktir... Pak Ranu mengekeh pelan. Iris dan Eta terpaksa menurut saja. Separuh hati Iris merasa tak enak menolak tawaran Pak Ranu. Separuhnya lagi menerima dengan senang hati. Mereka berempat berjalan kaki menuju taman kota yang tak terlalu jauh dengan toko Pak Ranu. Egi dan Eta berjalan lebih dulu. Iris dan Pak Ranu mengekor di belakang keduanya. Iris cekikikan melihat dua sejoli itu. Ada yang lucu, Ris? Pak Ranu tiba-tiba bersuara. Iris mendongak sedikit. Pak Ranu sedang menatap dirinya. Jantung Iris berdegup kencang di balik kemejanya. Ia berbisik, berusaha mengabaikan degup jantungnya barusan. Dua sejoli di depan kita, Pak... Pak Ranu menundukkan kepalanya sedikit, Bukannya, kamu sama Egi... Iris cepat-cepat menggeleng, Saya sama Egi nggak ada apa-apa, Pak. Pak Ranu ber-oh panjang. Menegakkan kepalanya lagi. Memandangi Egi dan Eta, lantas tersenyum. Saya bersyukur... Jantung Iris berdegup makin kencang.

Empat piring nasi goreng sudah bersih dilahap empat perut yang lapar. Keempatnya kini sibuk memperhatikan sekumpulan remaja yang membakar sumbu kembang api tepat di seberang tempat mereka duduk. Detik berikutnya, angkasa terang benderang oleh warna-warni yang mempesona. Egi dan Eta menontoni hiburan gratis itu sambil bergumam-gumam kagum. Wah, yang itu bagus... Kayak lagi tahun baru ya... Yang ini lebih bagus... Iris dan Pak Ranu ikut mendongak, menatap angkasa, memandangi letusan kembang api dalam diam. Kata-kata tak diperlukan lagi ketika semua rasa dalam dada

56

sudah mengalir melalui tiap pori-pori kulit mereka yang bersatu. Di balik kotak tisu, ada jemari yang saling bertautan. Mendadak, Iris teringat sesuatu. Pelan, Ia berbisik, Saya sudah tahu soal Lilac... Pak Ranu menoleh. Iris tersenyum, menambahkan, Saya suka anak-anak.

Angin malam terasa sangat hangat di pipi Iris. Dia masih terjaga meski sudah lewat tengah malam. Iris duduk di dekat jendela kamarnya yang ia buka lebar-lebar meski diprotes Eta karena merasa malam itu terlalu dingin. Protes itu reda seiring dengan terpejamnya mata Eta. Iris melirik sahabatnya itu, Eta sudah tertidur pulas di kasurnya. Iris memandangi jemari tangan kanannya. Ia masih merasakan jari-jari Pak Ranu yang bertaut di sana beberapa jam yang lalu. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Pak Ranu. Tak perlu. Sudah ada bahasa lain yang disampaikan oleh jari-jari itu. Bahasa yang menjalar hingga ke dalam hati Iris. Menghangatkannya. Bahkan Iris mendapat bonus ucapan selamat malam sebelum mereka berpisah tadi. Dibisikkan di telinga, tepat ketika Eta dan Egi sibuk bertukar nomor ponsel. Langit hitam perlahan berubah menjadi biru cerah. Iris lelap di pinggir jendela kamarnya. Bermimpi Pak Ranu mengecup keningnya, tersenyum, dan berucap, mimpi indah, manis.

57

58

TUMBUH DAN BERSEMI


KUHARAP mata ini salah.. Kuharap semburat merah muda itu tidak benar-benar ada.. Manis, tolong jangan rusak harapan ini..

Siang itu, Ranu menutup tokonya lebih cepat. Ia harus mengantar buket bunga ke satu rumah yang tak jauh dari tokonya. Tak mungkin ia membiarkan tokonya buka tanpa ada yang menjaga. Ia sendiri agak malas jika harus buka-tutup toko hanya karena mengantar bunga. Jadi, ia putuskan untuk tutup saja sekalian. Dia benar-benar membutuhkan pegawai pengganti Egi sekarang. Rumah tempat Ranu akan mengirimkan buket bunga nya terletak di gang kecil yang hanya muat untuk satu ukuran mobil. Matanya sibuk mencari-cari rumah bernomor 32B. Sesekali ia berhenti sebentar dan bertanya pada orang di sekitar situ. Saat motornya melewati satu rumah yang lumayan besar tiba-tiba sesuatu terlempar keluar dari jendela di lantai dua. CKIIIIIIIIIIIITTTTTTTTTTTTTTTTT!!!! Ranu menginjak remnya kuat-kuat. Terkejut. Nyaris saja ia terjungkal dari motor. Ia melirik buket bunga di keranjang belakang motornya. Buket bunga itu masih dalam keadaan baik. Matanya beralih ke sesuatu yang hampir membuatnya celaka itu. Dahinya berkerut. Kaus Kaki? Ranu mendongak, melihat ke jendela di lantai dua. Seseorang berambut pendek duduk di sana, membelakangi dirinya, sosok itu tampak tertawa geli sekali. Entah lelaki atau perempuan. Sungguh mengesalkan. Manusia itu nyaris mencelakakan dirinya dan kini malah tertawa-tawa bahagia di atas sana. Ranu turun dari motornya. Ia ingin meneriaki orang di atas sana agar turun dan meminta maaf. Niat itu batal saat ia melihat nomor rumah. 31B. Ia melirik rumah di sebelah rumah itu, 32B. Ia mendongak lagi, mengumpat dalam hati, Hari ini kau kumaafkan, hei pelempar kaus kaki!! Tapi lain kali, awas kau ya!!!!

59

Semalaman Ranu merasa seluruh tubuhnya pegal-pegal. Baru beberapa hari ditinggal Egi cuti, rasanya ia sudah letih sekali. Mulai dari membersihkan toko, melayani pelanggan, merangkai bunga, hingga mengantar bunga-bunga itu ke tujuannya terpaksa ia lakukan seorang diri. Ia merasa beruntung karena tidak sampai terjungkal dari motornya kemarin. Kalau iya, mungkin hari ini dia tidak akan bisa bekerja. Ranu memijit lehernya sedikit. Tak sengaja matanya menangkap sosok mahasiswa tukang bengong yang selalu bertengger di pinggir jendela gedung kampus di seberang tokonya. Ranu melihat angkasa, mengira-ngira apa yang dipandangi si mahasiswa itu. Tapi dia masih juga tak menemukan sesuatu yang rancu di sana. Semua tampak normal di matanya. Ranu membuat hipotesis sendiri, mungkin mahasiswa itu mengidap sejenis kelainan yang membuatnya tergila-gila pada angkasa. Ranu melirik jam di pergelangan tangannya. Pukul dua belas siang. Ia baru akan pergi membeli makan siang saat seorang pelanggan datang. Niat mencari makan siang diurungkannya saat itu juga.

Ranu sedang serius merangkai bunga saat seseorang tiba-tiba masuk ke tokonya. Permisi.. suara seorang gadis. Ranu mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertumbuk pada bunga-bunga di mejanya, menatap sosok gadis berambut pendek. Si biang onar. Entah kenapa, melihat gadis satu itu, Ranu ingin tersenyum. Bibirnya menyungging tanpa diperintah. Ah, sudah selesai kuliahnya? akhirnya dia berkata. Berusaha membuat suaranya agar senormal mungkin, agar tidak terlalu terdengar..senang. Si biang onar mengangguk, Sudah, Pak. Ranu berpikir cepat. Apa yang harus dilakukan gadis itu sekarang? Sesuatu yang tidak terlalu berat, sesuatu yang bisa dilakukannya tanpa mengacau, apa? Ia teringat bunga-bunga yang belum disemprot air di luar toko. Uhm..tolong bunga-bunga yang di depan itu kamu semprotin air ya. Penyemprotnya ada di deket ember yang warna kuning. Ranu menunjuk ke arah ember kuning di sebelah kiri si biang onar. Gadis itu mengangguk pelan. Si biang onar meletakkan tasnya di kursi plastik dekat pintu masuk.

60

Ranu melirik sisi meja kerjanya yang kosong. Sepertinya tas kecil itu muat diletakkan di sana. Tasnya taro di sebelah sini aja, Ris.. Ranu menunjuk sisi meja tempatnya sedang merangkai bunga. Iris tak bergerak. Ranu juga diam. Ranu terkejut dengan apa yang barusan keluar dari mulutnya. Ris? Sungguh, Ranu tak bermaksud memanggil si biang onar dengan namanya begitu. Kenapa lidahnya begitu seenaknya sendiri? Bagaimana jika Iris itu merasa keberatan? Bagaimana jika Iris itu merasa dia terlalu sok dekat? Eh, kalau.. kamu keberatan saya panggil Ris, saya bisa.. Ranu akhirnya bersuara. Mencairkan hening yang datang tanpa diundang. Ah, eng..enggak, Pak. Iris cepat-cepat menggeleng, Sa..ya... cuma kaget aja..soalnya biasanya kan... Ranu berpikir cepat. Kenapa ia harus memanggil Ris tadi? Apakah karena gadis itu sudah resmi jadi pegawainya? Apakah karena sebagai bos ia harus dekat dengan bawahannya? Apakah karena... Umm, yaaa... karena... kamu resmi jadi pegawai di sini, jadi saya rasa lebih.. nyaman.. kalau saya panggil nama kamu.. tapi kalau kamu keberatan.. Iris menggeleng, gadis itu tersenyum, Sa..saya enggak keberatan kok, Pak.. Iris lalu meletakkan tasnya di tempat yang tadi Ranu tunjukkan. Ranu merasa, mendadak gerakan gadis itu seperti paskibraka di istana negara. Ranu berharap itu hanya perasaannya saja. Bunga.. di luar.. semprot.. Iris menggerakkan tangannya yang kini terlihat seperti boneka unyil di mata Ranu. Ada yang salah dengan gadis itu dan Ranu berusaha mati-matian untuk membuang jauh-jauh pikiran konyolnya. Kamu terlalu tua untuk ditaksir gadis muda semanis dia, Nu!!! Ranu lantas mengangguk perlahan, Iya. tolong disemprot... Katanya lambatlambat. Iris berbalik meninggalkannya. Melangkah keluar toko dan melakukan apa yang diperintahkan Ranu barusan. Masih dengan gerakan ala paskibraka-nya. Ranu kembali menatap bunga-bunga di mejanya. Berusaha fokus ke kumpulan bunga-bunga itu meski tak bisa dipungkiri otot-otot bibirnya ingin menyungging segera. Tidak tahu kenapa, ia hanya ingin tertawa. Itu saja. Pintu tokonya terdorong membuka. Ranu mendongak. Bukan Iris yang masuk ke toko, tapi seorang lelaki. Pelanggan yang sudah sangat Ranu kenal. Ranu tersenyum ramah menyambut. 61

Apa kabar? Sambil menjabat tangan lelaki itu, ujung matanya mencuri pandang ke luar toko. Tempat di mana Iris sedang sibuk dengan bunga-bunganya.

Ranu melirik jam di pergelangan tangannya, jam perak hadiah dari mendiang istrinya yang sudah berkali-kali direparasi tapi enggan Ranu ganti dengan yang baru. Pukul delapan malam. Iris sudah berdiri menunggu entah apa atau siapa, sementara dia masih berkutat dengan kunci pintunya. Ranu bersumpah akan segera memisahkan kunci-kunci itu kalau ada waktu. Secepatnya. Setelah selesai dengan urusan kuncikuncinya, Ranu menghampiri Iris. Berdiri di sebelahnya. Ranu mendadak menyadari satu hal, tinggi Iris hanya sebatas ketiaknya saja. Mungil sekali. Rumah kamu di mana, Ris? Deket sini, Pak.. saya bisa naik ojek kok, Pak.. Iris nyengir. Gadis itu menunjuk kumpulan ojek yang mangkal di dekat gedung kampusnya. Ranu teringat pada tukang ojek kenalannya. Kalo gitu naik ojek yang kenala n saya aja, sudah malam begini, rawan.. Ranu cepat-cepat melambai ke arah tukang ojek kenalannya, seorang pria gemuk dengan jaket dealer motor yang lebih dikenal dengan panggilan Bang Jay. Bang Jay segera menghampiri mereka. Ma..makasih ya, Pak.. Iris tersenyum. Terlihat agak kikuk, sebetulnya saya ada ojek langganan juga.. Ranu tertawa pelan. Ia baru sadar tadi Iris belum mengiyakan tawarannya, Oh gitu? Ah, ya sudah nggak pa-pa naik yang kenalan saya ini aja..ahaha... Ranu menepuk bahu Bang Jay, Titip, Bang Jay. Ini pegawai baru saya. Bang Jay mengangguk dan terkekeh pelan, Sip, bos! Dijamin amaaann.. Iris segera duduk di belakang Bang Jay. Gadis itu menganggukkan kepalanya ke arah Ranu, Mari, Pak... Ranu tersenyum, balas mengangguk, Makasih ya, Ris. Gadis itu tertunduk. Tidak mengucapkan apa-apa lagi. Ranu masih memandanginya berlalu sampai motor yang ditumpangi Iris hilang dari

pandangannya, berbelok ke satu gang tak jauh dari tempat Ranu berdiri sekarang. Ranu masih tersenyum. Wangi tubuh gadis itu tertinggal di bulu-bulu hidungnya.

62


Ranu, dengan susah payah, mengangkat sebuah karangan bunga yang cukup besar keluar dari tokonya. Iris belum muncul. Terpaksa dia harus mengangkat karangan bunga itu seorang diri. Ranu meletakkan karangan bunga itu di keranjang motornya. Ia masuk kembali ke toko dan membawa keluar sebuah tali pengikat. Ranu berusaha mengikat karangan bunga itu ke keranjang motornya. Sulit sekali melakukannya sendirian. Ia butuh sesorang untuk menekan talinya agar tidak longgar. Sungguh, ia berharap Iris segera muncul. Sudah beberapa menit Ranu berkutat dengan tali, karangan bunga, dan keranjangnya. Tapi, ketiga benda itu belum juga terikat. Butuh bantuan, Pak? Ranu mendongak dengan kaget. Iris tahu-tahu saja sudah tersenyum di hadapannya. Entah sejak kapan gadis itu menontoni dirinya sibuk dengan tali pengikat. Menyadari itu, membuat Ranu tertawa. Ah, Iya nih, untung kamu udah dateng. Ahaha... Ranu lantas menunjuk tali yang sedang berusaha ia tautkan. Tolong pegang di sini, Ris. Iris segera menekan bagian tali yang ditunjuk Ranu kuat-kuat. Ranu dapat merasakan ujung-ujung rambut Iris membelai dahinya dari jarak sedekat ini. Rasanya detik berlalu dengan sangat lambat saat itu. Mendadak, Ranu merasa wajah Iris kian dekat. Ranu akan diam dan menikmati apa yang mungkin terjadi jika saja ia tak menyadari bahwa motor di hadapannya juga ikut bergerak mendekat. IRIISSS, AWAASS!!!!! Ranu berteriak panik, melompat mundur tepat sebelum Iris dan motor itu menimpa tubuhnya. Beruntung, Ranu sigap menangkap tubuh Iris sebelum gadis itu jatuh mengendus trotoar. BRAK!!!!! Motor berisi karangan bunga itu kini tergeletak di trotoar, dengan ujung sepatu Iris masih tersangkut di joknya. Ranu menarik tubuh Iris yang separuh gemetar dan mendudukkannya di trotoar. Ranu kemudian beralih ke motornya yang terguling di trotoar. Beberapa orang yang lewat di sana membantu Ranu untuk mengembalikan

63

motor berisi karangan bunga itu ke posisi wajarnya. Motornya hanya lecet sedikit, dan karangan bunganya rontok beberapa. Masih bisa diperbaiki. Ranu berbalik, menghampiri Iris yang terduduk di pinggir trotoar. Kamu nggak pa-pa, Ris? Ranu berjongkok di hadapan Iris dengan panik. Ia memperhatikan tangan dan lengan Iris dengan khawatir. Takut kalau-kalau gadis itu terluka akibat insiden barusan. Iris menggeleng. Wajahnya agak pucat. Tampak bulir-bulir keringat pada dahi gadis itu. Eng..enggak pa-pa, Pak... Iris melirik ke belakang Ranu. Sepertinya melihat ke arah motor Ranu. Tampak ngeri. Itu... Ah, itu mah nggak pa-pa, Ris. Masih layak kok, bisa saya betulin sedikit. Ranu tersenyum, sebisa mungkin berusaha membuat Iris tidak merasa bersalah. Duduk dulu deh kamu di dalam. Biar saya cari air dulu, tangan kamu dingin banget. Ranu menyentuh tangan Iris sedikit. Tangan itu dingin sekali. Ranu lantas membantu Iris berdiri, dan membawanya masuk ke toko. Iris dibiarkan duduk di kursi plastik dekat pintu. Pucat di wajah Iris masih jelas terlihat. Ranu sangat khawatir gadis mungil itu kenapa-napa. Sebentar, saya cari air dulu. Kamu duduk aja di sini, ya. Ng..nggak usah, Pak... Tiba-tiba Iris menarik lengan Ranu. Ranu sangat kaget, ia menoleh. Ditatapnya tangan Iris yang menggenggam lengannya, lekat-lekat. Bumi seakan berhenti berputar sejenak. Seolah membiarkan Ranu terbius oleh tiap mili jemari Iris yang meremas lengannya dengan lembut dan bertenaga. Iris cepatcepat menarik tangannya lagi. Anu.. saya.. nggak apa-apa kok, Pak. Ranu mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha mengembalikan kesadaran otaknya yang terbius barusan. Ranu berusaha mengumpulkan suaranya lagi, Nggak nggak, kamu harus minum buat ngilangin kaget. Oke? Tunggu di sini ya. Ranu berbalik. Cepat-cepat keluar dari toko. Ia masih merasakan jemari Iris yang tadi meremas lengannya. Membuat lengannya berdenyut dengan sensasi yang membius otaknya. Ranu membeli sebotol air mineral di warung yang tak jauh dari tokonya. Kemudian bergegas kembali ke toko. Iris masih duduk di kursi plastik dekat pintu. Masih terlihat syok meski tak separah tadi. Ini airnya, Ris. Ranu menyodorkan botol itu kepada Iris. Iris mengambil botol dari tangan Ranu dengan hati-hati. Ma..makasih, Pak. Maaf, tadi..tadi saya nggak sengaja... 64

Ranu menggeleng, benar-benar berusaha menghilangkan rasa bersalah yang ia yakini kini mendera Iris. Itu kecelakaan, Iris. Nggak mungkin kan kamu sengaja? Udah, diminum dulu airnya. Iris meneguk air itu. Maaf, Pak... Udah, nggak apa-apa. Ranu menepuk bahu Iris pelan. Kamu duduk aja dulu di sini, ya. Saya urus bunganya dulu. Ranu melangkah keluar toko. Ia berusaha memperbaiki karangan bunga di atas motor yang tadi terguling. Ranu tak peduli meski motornya lecet, tak peduli meski bunganya rontok, asal gadis mungil yang kini duduk di dalam tokonya baik-baik saja.

Ranu terpaksa berbelanja bunga dengan menumpang bajaj. Sejujurnya ia kurang suka naik bajaj, tapi naik taksi akan jauh lebih mahal. Tadi pagi saat ia baru menghidupkan mesin motornya, tiba-tiba saja knalpot motor itu lepas. Mungkin penyebabnya insiden kemarin itu. Ranu menunjuk toko bunganya dan bajaj yang ia tumpangi segera menepi di sana. Ia terkejut saat melihat Iris sudah berdiri di depan tokonya sepagi ini. Loh, Ris, kamu nggak kuliah? Gadis mungil itu menggeleng, Nggak, Pak. Tersenyum, Sabtu-Minggu saya libur. Ranu ber-oh panjang sebelum akhirnya menurunkan ember bunga dari bajaj ke trotoar. Berarti khusus hari Sabtu dan Minggu, ia akan seharian bersama Iris di toko. Iris menghampiri, berusaha ingin membantu. Ranu menggeleng, mana tega ia membiarkan Iris mengangkat beban seberat itu. Jangan, Ris. Berat. Ia mencari-cari sesuatu dalam saku celana jins nya. Menarik keluar sekumpulan kunci dan menyerahkannya pada Iris. Pekerjaan membuka pintu jauh lebih ringan ketimbang mengangkat ember bunga. Kamu bukain pintunya aja, nih. Kuncinya yang mana, Pak? Kamu cobain aja satu-satu, saya nggak pernah hapal kunci mana untuk pintu mana soalnya.. Ranu tertawa pelan.

65

Iris memandangi kunci-kunci yang diserahkan Ranu ke dalam tangannya. Bibirnya menyungging sedikit. Gadis mungil itu berbalik, berjalan ke arah pintu. Ranu menyingkirkan ember-ember bunganya dari trotoar ke depan tokonya persis. Ia memperhatikan Iris yang serius menyocokkan kunci-kunci dalam tangannya dengan lubang pintu satu persatu. Sudah satu menit gadis itu mencoba, tapi belum berhasil juga. Ranu nyaris saja tertawa melihat kegigihan gadis itu. Bisa nggak, Ris? Nah! Bisa nih, Pak. Iris menjerit girang seakan baru saja menyelesaikan teka-teki silang. Tawa Ranu nyaris meledak saat itu juga. Ranu berusaha menahannya. Pak, kalau belanja selalu naik bajaj, ya? Ranu menggeleng. Teringat lagi pada knalpot motornya yang lepas pagi tadi. Biasanya naik motor, Ris. Motornya...kenapa, Pak? Ranu separuh yakin Iris akan panik jika mendengar jawabannya. Motornya lagi di bengkel, Ris. Knalpotnya lepas. Lepas?!! Gara-gara kemarin jatuh, Pak? Nah, betul saja dugaan Ranu. Kedua mata Iris terbuka lebar. Mulutnya juga tidak terkatup rapat. Gadis itu panik. Bukan, Ris...udah lama emang agak bermasalah knalpotnya. Ranu tak bisa menahan tangannya untuk tidak menepuk kepala Iris pelan. Ia tersenyum, sebisa mungkin berusaha menenangkan Iris kembali. Seolah-olah bukan insiden kemarin penyebab lepasnya knalpot motor Ranu. Bukan gara-gara kemarin. Be..betulan, Pak? Iris menatap Ranu dengan tatapan menyelidik. Sepertinya gadis itu sadar kalau Ranu berusaha menipunya. Saya serius, Iris... Ranu tersenyum lagi. Mendadak terlintas ide untuk menghentikan pembicaraan seputar knalpot yang ia yakini tak akan ada habisnya. Daripada kamu mikirin knalpot motor, Ranu mengambil beberapa tangkai bunga dari ember di sebelahnya. Mending kamu belajar bikin karangan bunga... Eh? Saya nggak bisa, Pak... Iris menggeleng-gelengkan kepalanya. Bisa..saya ajarin. Ranu menyeret Iris ke meja kerjanya. Mengambil gunting, dan perkakas lainnya. Hari itu, sepanjang hari Ranu mengajari Iris untuk membuat buket bunga dan karangan bunga. Sepanjang hari juga Ranu berharap bahana orchestra di balik kaosnya tidak didengar Iris dari jarak sedekat itu.

66


Ada benih yang mulai berkecambah dalam dada. Menggeliat. Menyebar. Tumbuh. Dan berbunga...

Sudah seminggu, Ranu memperkerjakan Iris di tokonya. Gadis mungil itu terlihat semakin bersemangat setiap harinya. Auranya menulari Ranu untuk ikut bersemangat juga. Ranu seringkali melihat Iris senyum-senyum sendiri ketika Ranu sibuk___tepatnya pura-pura sibuk___merangkai bunga. Ranu menikmati senyum malumalu itu. Ah, tidak cuma senyum malu-malu itu. Ranu juga menikmati wajah serius gadis mungil itu saat menyemprot bunga-bunga dengan air, wajah lelah gadis mungil itu saat mengangkat kantung sampah, gerak ala paskibraka gadis mungil itu tiap kali Ranu tersenyum padanya, ketekunannya saat belajar membuat karangan bunga, bahkan, caranya menunduk setiap pulang diantar Bang Jay. Ranu sadar, sadar sekali bahwa Iris terlalu muda untuk menjadi pendampingnya. Bahwa Iris tidak memenuhi kriteria sosok ibu yang sesuai untuk Lilac-nya. Tapi, Ranu tak bisa memungkiri betapa dia sulit menghilangkan bayang Iris dari dalam benaknya. Semakin Ranu berkata tidak, semakin melekat sosok mungil itu dalam tiap lipatan otaknya. Memenuhi mimpi-mimpinya tiap malam. Membuat Ranu enggan terbangun dari tidurnya, enggan menghadapi kenyataan bahwa ia hanya bermimpi. Mimpi untuk menjadikan gadis mungil itu sebagai ibu dari Lilac-nya. Untuk mengisi ruang kosong dalam hatinya yang telah ditinggal mati penghuni sebelumnya, Aster-nya tercinta. Satu pertanyaan berputar-putar dalam kepala Ranu, apakah perasaan ini benar-benar nyata? Atau hanya perasaan sesaat saja karena terlalu lama ia menduda? Pak Ranu...Pak... Seorang lelaki menyentuh lengan Ranu pelan-pelan. Ranu nyaris terjungkal dari kursi karenanya. Lelaki gempal di hadapannya tertawa. Maaf, Pak. Loh?! Egi?!!!! Kapan kamu dateng??? Ranu segera berdiri dari kursi dan menjabat tangan pegawainya itu. Ia tak menyadari kehadiran Egi sedari tadi. Pikirannya sedang berwisata entah ke mana tadi.

67

Baru kok, Pak. Egi tersenyum, duduk di hadapan Ranu. Lelaki gempal itu meletakkan tasnya di lantai. Kapan sampai di Jakarta? Ranu kembali duduk di kursinya. Sedikit bingung, haruskah ia senang karena pegawainya yang berbakat ini kembali? Atau..merasa sedih? Semalam, Pak. Egi membetulkan letak kacamatanya, menyeka keringat di dahinya. Ayah kamu udah sehat? Sakit apa jadinya? Egi mengangguk, Udah, Pak. Ternyata kena stroke ringan. Ada penyumbatan di kepala. Kata dokter sih begitu, saya sendiri kurang paham. Tapi, sekarang udah nggak apa-apa? Ranu sungguh prihatin mendengar kabar ayah Egi itu. Egi mengangguk lagi, Udah nggak apa-apa kok, Pak. Egi diam sebentar, lalu, Pegawai yang gantiin saya itu gimana jadinya, Pak? Wajah Iris yang tersenyum langsung terlukis sempurna dalam kepala Ranu saat Egi menanyakan gadis mungil itu. Ah ya, itu..jadi begini... Ranu menceritakan kronologis bagaimana seorang Iris akhirnya bisa menjadi pengganti Egi di tokonya. Egi manggut-manggut beberapa kali. Ranu juga menceritakan perjanjiannya dengan Iris, bahwa jika Egi telah kembali maka Iris tak perlu bekerja di toko itu lagi. Ranu menghilangkan bagian dugaannya tentang kemungkinan Iris adalah mahasiswi yang mengajak Egi berkenalan beberapa waktu lalu itu. ...tapi, masalahnya pagi tadi saya dapet pesanan bunga buat acara pernikahan, Gi. Pemesannya teman lama saya. Agak nggak enak juga nolaknya. Wah, Egi menggaruk tengkuknya dengan wajah bingung, Acaranya kapan, Pak? Dua minggu lagi. Ranu berhenti sesaat sebelum mencetuskan ide gilanya, Kalau..kalau si Iris ini kita tahan sampai dua minggu lagi, kamu setuju, Gi? Egi mengembuskan napasnya, Dia bisa ngerangkai bunga, Pak? Saya nggak keberatan kalo dia bisa, cuma..jangan nanti kita berdua jadi keteteran aja, Pak. Ranu mengangkat bahunya, Dikit sih, kemarin-kemarin sempat saya ajarin. Acaranya juga nggak mewah banget kok, Gi. Sederhana aja. Ya, kalau menurut Pak Ranu dia oke, saya sih setuju aja, Pak...

68

Keduanya lalu diam. Egi memandangi tasnya di lantai. Ranu menerawang ke luar toko. Dua minggu tambahan akan menjadi bonus spesial baginya. Siapa yang tidak ingin berada lebih dekat dengan orang yang dikagumi selama dua minggu lagi? Mata Ranu yang menerawang, tak sengaja tertumbuk pada satu titik di lantai tiga gedung kampus di seberang tokonya. Dua orang gadis termangu di sana. Dahi Ranu berkerut. Ia menyadari sesuatu. Kekeliruannya selama ini. Sosok yang sering ia lihat bengong memandangi angkasa di lantai tiga gedung itu rupanya bukan mahasiswa. Dia mahasiswi. Dia...Iris!

Motor Ranu yang knalpotnya lepas seminggu yang lalu, kemarin sore ternyata lepas lagi. Lima belas menit yang lalu, motor itu baru kembali dari bengkel. Ranu meminta Egi untuk membawanya berkeliling sebentar. Sekadar memastikan bahwa knalpotnya tidak akan lepas lagi. Ranu sedang sibuk dengan guntingnya ketika Ibu mertuanya menghubungi ponsel Ranu. Ya Bu? Nu, Lilac-mu ngambek ini. Suara ibu mertuanya terdengar khawatir. Kenapa lagi, Bu? Dia nggak mau makan sebelum ketemu sama kamu. Bahkan dia juga nggak mau ngomong sama kamu. Kamu janji sama Lilac, Nu? Iya, Bu. Rencananya besok saya ajak Lilac jalan-jalan.. Seharusnya kamu jangan janji dulu kalau belum ada waktu, Nu. Dia jadi ngambek begini... Iya, saya tau dia ngambek karena hampir sebulan saya nggak mampir ke sana.. tolong dibujuk dulu biar mau makan, Bu. Saya khawatir dia sakit. Ini dari tadi ibu sama adikmu lagi usaha bujuk Lilac biar mau makan. Besok jangan sampai batal lagi, Nu. Iya, tolong sampaikan salam saya ke Lilac ya, Bu. Besok saya pasti ke sana. Iya, ini mudah-mudahan Lilac sudah mau makan lagi kalau denger kamu mau datang besok. Ya sudah, jaga diri baik-bai ya, Nu. Makasih, Bu.

69

Ranu mengantongi ponselnya lagi. Dia memang sudah sebulan ini tidak mengunjungi Lilac-nya. Pantas jika gadis lima tahunnya itu mogok makan demi mendapat perhatian dari ayahnya. Ranu baru akan melanjutkan pekerjaannya saat melihat sosok Iris terpaku di pintu masuk dengan separuh badan di dalam sementara separuhnya lagi masih di luar. Sejak kapan gadis itu di sana??!! Ranu tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya atas keberadaan Iris di sana. Dalam hati ia sibuk menduga-duga apakah gadis itu mendengar obrolannya di telepon barusan? Apakah wajah datar Iris dan senyumnya yang biasa itu benar-benar nyata? Atau hanya pura-pura saja? So..sore, Pak.. Kalimat gugup itu terdengar sangat mencurigakan bagi Ranu. Sore... Ranu balas tersenyum. Sungguh berharap Iris tidak mendengar percakapannya barusan. Apa jadinya jika gadis itu..tahu tentang status duda-nya?? Kamu.. udah dari tadi, Ris? Iris menggeleng. Ba..ru kok, Pak... Oh...gitu... Ranu diam sebentar. Teringat obrolannya dengan Egi pagi tadi. Kekikukan ini harus segera dialihkan. Sebelum ia justru menjadi keceplosan bicara soal pembicaraan telepon tadi. Ah, ya, ada yang mau sa ya omongin, duduk dulu, Ris. Iris menarik kursi plastik di dekat pintu hingga ke seberang meka kerja Ranu. Lantas, gadis mungil itu duduk di sana. Ada.. apa, Pak? Bentar ya, tunggu satu orang lagi. Ranu tersenyum. Menduga-duga reaksi Iris ketika melihat Egi. Mungkinkah mahasiswi yang diceritakan Egi adalah..Iris? Pak, itu knalpot motornya udah nggak masalah pas saya coba barusan... Egi muncul dari pintu setelah mencoba motor Ranu yang baru saja kembali dari bengkel. Ranu melihat sekilas ekspresi Iris yang tampak kaget. Mulai hampir yakin dugaannya benar. Jika ya, sudah jelas, mimpinya selama seminggu ini hanya akan jadi mimpi saja. Tak akan ada penghuni baru dalam beranda hatinya. Gi, ini yang gantiin kamu selama ini... Ranu melirik Iris, Iris. Egi mengerutkan dahinya. Sepertinya berusaha memanggil memori dalam kepalanya. Mulutnya terbuka. Ranu harap kalimat yang akan diucapkan Egi, tak seperti dugaanya. Ranu harap.. Yang ketemu di tukang soto, ya? Deg..

70

Egi menghampiri Iris. Menjabat tangannya. Apa kabar? Kaget ternyata kamu orangnya... Deg.. Ranu melirik Iris. Ada senyum kecil di bibir mungilnya. Senyum yang sulit diartikan maknanya oleh Ranu. Baik. Saya juga kaget bisa ada di sini.. Iris mengekeh sesudahnya. Kalo jodohnya dapet, jangan lupa pesen bunganya kemari... Egi tersenyum. Senyum menggoda. Senyum ketika seorang pria berusaha akrab dengan wanita. Senyum ketika seorang pria ingin membuat pipi wanita merona malu-malu. Senyum ketika seorang pria ingin melihat... Gampang... Iris tersenyum. ...si wanita tersenyum. Ranu merasa gerah tiba-tiba. Entah angin panas dari mana. Kerongkongannya mengering dan seperti dipenuhi pasir di sana. Refleks, Ranu berdeham pelan. Iris dan Egi menoleh ke arahnya. Seakan deham Ranu barusan mengembalikan keduanya dari dunia milik mereka berdua. Tanpa Ranu di dalamnya. Jadi, Ranu mulai bicara, tadi saya ngobrol-ngobrol sama Egi. Saya bilang kalau perjanjian saya sama kamu itu, kamu kerja di sini sampai Egi pulang. Ranu menarik napasnya, berdoa semoga keputusannya ini tidak malah membuat Egi dan Iris semakin dekat. Tapi, karena tadi saya dapet pesanan bunga buat pernikahan, dan butuh pegawai tambahan, jadi... Kamu bantu kita di sini, Ris. Egi menyelesaikan kalimat Ranu yang masih menggantung. Bikin Ranu makin merasa..gerah. Iris melongo. Tampak bingung. Seakan barusan Ranu bicara dengan bahasa planet lain. Gimana? Kamu tetep kerja di sini, Ris. Untuk kali ini, saya gaji kamu kayak si Egi. Ranu menegaskan sekali lagi. Kembali berdoa semoga keputusannya tidak salah. Sampai dua minggu ke depan. Acaranya sekitar dua minggu lagi. Bukan acara besar sih. Ranu kemudian menambahkan, berusaha memberi kesan kalau ia tidak terlalu berharap Iris mau. Meski harapannya justru sangat besar. Tapi, kalau kamu nggak mau, yaa..nggak apa-apa. Nanti saya cari orang lain. Beberapa detik keheningan saat Iris berpikir terasa sangat lama bagi Ranu. Ia sungguh berharap Iris tidak akan menolaknya. Meski ada kemungkinan gadis itu menerima tawaran Ranu karena pria di sampingnya. 71

Iris mengangkat bahunya, Nggak perlu cari orang lain, Pak. Saya bersedia. Ranu mengembuskan napas lega. Egi menepuk bahu Iris. Pemandangan itu membuat Ranu merasa makin gerah. Makin mengurangi jatah oksigen yang harusnya ia hirup. Egi tersenyum pada gadis mungil itu, Selamat datang di toko kami!

Ranu sibuk mengunci pintu tokonya. Dia sebal karena tak juga ingat untuk memisahkan kunci-kuncinya dari satu gantungan kunci tersebut. Ranu melirik Egi yang berdiri di samping Iris. Berdua di pinggir trotoar jalan. Egi yang menggaruki tengkuknya dengan salah tingkah itu membuat Ranu benar-benar tidak nyaman. Rasanya seperti ketika Ranu kecil melihat bocah lain yang mengambil alih mainan kesayangannya. Ranu menghampiri keduanya, berdiri di sebelah Iris. Ris, Bang Jay belum muncul juga? Iris tersenyum. Belum, Pak...kayaknya lagi ada penumpang lain. Saya nggak masalah nunggu sebentar di sini. Naik bajaj aja, Ris! Egi tiba-tiba berceletuk. Ranu melirik anak buahnya itu. Mau tak mau terpaksa mengakui kalau bajaj memang alternatif yang bagus. Boleh juga kayaknya naik bajaj... Saya..nunggu di sini aja deh... Siapa tahu masih lama, Ris. Ranu membujuk. Enggak apa-apa, Pak... Iris berkeras. Ranu melihat sedikit garis ketakutan pada wajah gadis mungil itu. Jangan-jangan... Kamu nggak takut naik bajaj kan, Ris? Egi seakan meneriakkan pikiran Ranu. Iris cepat-cepat menggeleng, Eng..enggak kok. Cuma... Ranu tertawa pelan. Sangat jelas terlihat ketakutan pada wajah Iris sekarang. Dia teringat kalau tempat tinggalnya dan kosan Iris kebetulan satu arah. Mungkin jika ia menawarkan diri... Kalau bareng saya, gimana? Wah! Iya tuh, rumah Pak Ranu kan ke arah sana juga! Egi mengangguk anggukkan kepala tanda setuju. Dalam hati Ranu berterima kasih pada anak buah

72

yang mendukungnya itu. Yaaa, daripada kita nungguin si Bang Jay yang nggak jelas kapan datengnya di sini, kan? Atau kamu justru takut naik bajaj sama saya, Ris? Egi terbahak mendengar kata-kata Ranu barusan. Iris buru-buru menggeleng, Eng..enggak kok, Pak... Meski mulanya berkeras untuk tidak naik bajaj dengan alasan yang tidak mau Iris jelaskan, pada akhirnya gadis itu menguntit Ranu menumpang bajaj. Sementara Egi menyeberang jalan dan naik bis ke arah yang berlawanan dengan mereka berdua. Dopamin4 dalam tubuh Ranu meningkat tajam saat duduk berhimpitan dengan Iris di dalam bajaj. Sebisa mungkin Ranu berusaha mengabaikan bahu Iris yang bersentuhan dengan tubuhnya. Berusaha untuk tidak menautkan jemarinya pada jemari Iris yang berjarak hanya beberapa senti saja dari tangannya. Ranu lantas mengetuk-ngetukan jemarinya ke pahanya sendiri. Mendadak ia merasa kembali ke masa-masa SMA nya dulu. Tepat sebelum bayangan Lilac terlintas dalam kepalanya. Sebelum jiwa ayah menyadarkannya kembali. Apa yang akan ia lakukan jika mengetahui anak gadisnya duduk berhimpitan dengan seorang duda beranak satu seperti..dirinya? Ris, kosan kamu masuk gang ini? Ranu melirik Iris sambil menunjuk sebuah gang. Debaran jantungnya masih belum kembali normal. Sekarang ia malah merasa suhu tubuhnya meningkat. Ranu berkeringat. Kenapa Jakarta begitu kering malam ini? Ke mana angin malam yang biasanya menusuk tulang itu?? Iris menoleh sebentar, mengangguk. Semakin menyadarkan Ranu betapa dekat jaraknya dengan Iris saat itu, ia menyeka keringat di dahinya. Atmosfer di dalam bajaj membuat Ranu makin merasa gerah. Makin panas. Makin berkeringat. Makin... Stop!! Stop!! Stop!! Jeritan Iris mengembalikan pikiran Ranu yang melayang sejenak kembali ke dalam bajaj yang sempit. Iris menepuk bahu tukang bajaj kuat-kuat. Bajaj itu menepi. Iris turun dari bajaj, agak terburu-buru. Ranu memandangi kosan Iris dengan seksama. Merasa pernah ke daerah itu. Ranu melirik nomor yang terpaku di samping pintu masuk kosan Iris. 31B. Satu bulatan air liur menggelinding masuk ke kerongkongannya. Sesuatu jatuh, nyaris membuat Ranu terjungkal dari motornya...

Hormon yang meningkatkan debaran jantung dan tekanan darah.

73

Ini..kosan kamu, Ris? Iris mengangguk, Iya, kenapa, Pak? Sesuatu itu kaus kaki, jatuh dari lantai dua. Sosok yang membelakanginya di jendela tertawa... Kamar kamu di sebelah mana? Iris menunjuk sebuah jendela di lantai dua. Yang itu kamar saya, Pak. Kenapa? Sosok itu.. Iris. Ranu ingin tertawa. Tertawa sekerasnya-kerasnya saat itu juga. Tawa itu ia tahan hingga hanya tercipta senyum kecil di bibirnya. Sedetik sebelum ia benar-benar berhasil menyembunyikan tawanya. Ranu menggeleng, Nggak kenapa-napa... saya pulang dulu, Ris... Sebentar, Pak. Iris tiba-tiba merogoh kantong celananya. Ranu sibuk menduga-duga apa yang akan dikeluarkan gadis itu dari sana. Iris mengeluarkan sebuah gantungan kunci berbentuk bunga matahari. Menyodorkannya pada Ranu. Ranu benar-benar tak menyangka Iris ingat pada sekumpulan kuncinya yang disatukan pada sebuah gantungan kunci saja. Ranu sendiri bahkan tak juga ingat untuk membeli gantungan kunci lain. Iris tersenyum, Ini... buat kunci toko, Pak. Biar dipisahin aja sama yang lain... Ranu mengekeh pelan, betapa gadis ini sungguh membuat Ranu selalu ingin tersenyum dan tertawa. Saya sendiri selalu lupa buat misahin kunci itu. Terima kasih, Ris... Kali ini Ranu benar-benar tersenyum. Sesaat Ranu dan Iris hanya saling tatap. Sebelum akhirnya Ranu sadar tangannya nyaris menggapai jemari Iris. Ranu berdeham pelan, mengalihkan tangannya ke tengkuknya sendiri. Saya pulang sekarang, Ris... sekali lagi, terima kasih, ya... Ranu menunjuk gantungan kunci berbentuk bunga matahari pemberian Iris. Iris mengangguk pelan. Sedikit ragu, tapi Ranu kemudian mengangkat kelima jemari kanannya sedikit sebelum bajaj itu berbalik arah dan kembali melaju. Meninggalkan kosan Iris. Meninggalkan Iris yang entah masih berdiri di depan pintu kosannya atau tidak. Tak sadar, Ranu senyum-senyum sendiri di dalam bajaj.

74

Ranu duduk di balkon kamarnya. Menyesap kopi di cangkirnya. Memandangi pot-pot bunga yang berjajar rapi di sepanjang pagar balkonnya. Matanya terhenti pada satu bunga. Bunga berwarna putih dengan gradasi warna ungu di dasar mahkotanya. Bunga Iris. Jiwanya terbang ke satu tempat yang beberapa jam lalu ia kunjungi. Mampir sesaat lebih tepatnya. Jiwanya merayap naik ke lantai dua. Menelusup masuk lewat celah-celah di pinggir Jendela. Barangkali gadis itu sudah lelap di kasurnya. Tersenyum dalam tidurnya. Mimpi apa gadis itu malam ini? Mungkinkah Ranu bisa sebentar saja ada di dalamnya? Untuk sekadar mengucapkan selamat tidur padanya? Mengecup sedikit keningnya? Tiba-tiba wajah mungil Lilac melintas dalam pikiran Ranu, memaksa jiwanya pulang kembali ke balkon kamarnya di lantai dua. Menyadarkan jiwanya, bahwa dia adalah seorang ayah. Ranu mengembuskan napas panjang. Kenapa menjadi ayah tunggal terasa begitu berat? Ranu bersandar di kursinya, meletakkan cangkir kopinya. Ia berjengit kaget saat melihat ada sosok yang tahu-tahu saja duduk di sebelahnya. Aster? Aster di sebelahnya itu tersenyum, lembut sekali. Hmm? Ahh, suara itu. Suara yang sangat ingin ia perdengarkan pada Lilac-nya. Ranu dengan takut-takut, berusaha menggapai tangan Aster-nya. Menggenggamnya. Dingin. Aster..saya.. saya rindu... Aster tak berkata apa-apa. Hanya tersenyum, lantas membelai wajah Ranu. Sudah berapa lama tangan itu tak membelai wajahnya? Aster..maaf.. Ranu tertunduk, tak berani menatap. Saya.. saya sangat mencintaimu.. hanya..hanya saja... gadis ini..berbeda... maaf... Jemari Aster mengangkat wajah Ranu. Perempuan itu masih tersenyum. Rambutnya yang terurai bergerak-gerak tertiup angin. Untuk Lilac kita... Ranu mengerjapkan matanya. Lilac kita? Sosok itu menganggukkan kepalanya lemah. Perlahan wujudnya memudar. Ranu masih merasakan samar-samar dingin dalam genggaman tangannya. Di pipinya.. Lilac kita.. Sosok itu makin memudar. Seperti kumpulan asap rokok yang menyesakkan dada. Aster? Aster? Aster?

75

ASTER!! Ranu berteriak tepat sedetik sebelum matanya terbuka lebar. Ia memandangi sekitarnya dengan mata yang disipitkan. Sekelilingnya sudah terang benderang. Tak ada siapa-siapa lagi selain dirinya di sana. Ranu tertidur di balkonnya semalaman. Ia memijit pelipisnya sedikit. Memutuskan untuk segera pergi mandi dan berangkat menjemput Lilac di rumah mertuanya. Berusaha melupakan mimpi anehnya itu.

Ayaaaaaaaaahhhhh!!!! Lilac kecil berlari menyongsong Ranu yang baru saja melangkah masuk ke halaman rumah mertuanya. Ranu berjongkok sambil tersenyum, memeluk Lilac-nya dengan penuh rasa sayang. Kemarin kamu nggak mau makan yaaa? Ranu mencubit hidung Lilac-nya dengan lembut. Katanya mau jadi seperti kancil yang banyak akal, kalau nggak mau makan, nanti kamu nggak bisa secerdik kancil loh! Gadis kecil itu memonyongkan mulutnya, Nenek tukang ngadu..kayak si Riri di kelas Lilac. Eeehh, nggak boleh bilang kayak gitu... Ranu tertawa pelan. Sungguh berharap Aster juga melihat anak gadis mereka yang tumbuh semakin menggemaskan itu. Lilac, udah salam belum sama ayah? Hayoo hayoo, salam dulu... Ibu mertua Ranu berdiri di belakang Lilac, menepuk punggung anak itu agar menyalami Ranu, ayahnya. Lilac mengecup punggung tangan Ranu. Ranu tersenyum pada ibu mertuanya. Berdiri. Melakukan seperti yang Lilac lakukan barusan. Masuk dulu, Nu. Ranu mengangguk. Lilac menarik-narik tangannya. Ayah, gendong... Ehhh, Lilac kan udah gede, manja yaaa... Ibu mertua Ranu mendecakkan lidahnya. Ranu menggeleng pelan sambil mengangkat tubuh Lilac-nya, Nggak setiap hari, Bu. Nggak apa-apa... Ranu duduk di sofa ruang tamu yang sederhana. Rumah itu tak pernah berubah. Bahkan semenjak Ranu pertama kali ke sana ketika masih SMA.

76

Lilac, katanya kamu mau ngasih lihat gambar kamu yang dapat nilai delapan itu ke ayah..coba diambil sana. Lilac melompat turun dari pangkuan ayahnya dan menuruti perintah neneknya. Gadis kecil itu berlari ke lantai atas. Ranu merasa anak itu semakin lincah saja. Teringat pada istrinya yang juga tak pernah bisa duduk diam semasa SMA dulu. Nu, ibu rasa...Lilac butuh seorang ibu... Perempuan baya itu menatap mata Ranu lekat-lekat. Garis-garis usia tampak jelas di wajahnya. Tampak sangat lelah dengan keadaan. Anak itu semakin besar, Nu. Banyak hal-hal yang tak bisa dijelaskan seorang ayah, nenek, atau kakek kepada Lilac jika dia makin dewasa, Nu... Ranu mengembuskan napasnya. Dia juga mengerti hal itu. Tapi, entah kenapa Ranu selalu merasa berkhianat jika ia menggantikan posisi Aster dengan orang lain. Apakah Aster-nya tidak akan marah jika Lilac mereka memanggil perempuan lain dengan sebutan ibu? Ranu merasa sangat tertolong ketika Lilac sudah kembali lagi dengan kertas gambar di tangan kanannya. Sehingga ia tak perlu mengomentari katakata ibu mertuanya barusan. Ini ayah...Lilac dapat delapan dari bu guru... Lilac menunjukkan gambar sebuah rumah, sebuah pohon, dan tiga manusia yang bergandengan tangan. Ini siapa, Lac? Ranu menunjuk gambar tiga manusia dengan tinggi berbeda yang kurus-kurus itu. Lilac tersenyum lebar sekali. Ayah, Lilac, dan... ibu.

Wajah Lilac kecil masih terbayang dalam kepala Ranu. Bibirnya yang menguncup lucu dan berkata, ibu, begitu menusuk hati Ranu. Anak itu tertidur dalam gendongan Ranu ketika diantar pulang ke rumah neneknya lagi. Seharian penuh Ranu mengajaknya wisata di kawasan ancol. Seharian juga Ranu menangkap mata anaknya yang memandang iri pada anak lain yang dibelai ibunya. Pada anak lain yang digandeng ibunya. Pada anak lain yang disuapi ibunya. Ranu menarik napas dalamdalam, mengembuskannya perlahan, dan bersandar pada kursi metromininya. Menatap keluar jendela.

77

Kilatan-kilatan lampu kendaraan yang Ranu perhatikan, perlahan bias menjadi bayang-bayang Iris dalam matanya. Gadis mungil itu. Mendadak, ia sangat ingin bertemu gadis mungil itu. Kenapa tiba-tiba dia ingin bertemu Iris? Ranu melirik jam tangan peraknya, pukul delapan lewat dua puluh menit. Gadis itu pasti sudah pulang sekarang. Ranu turun di depan kampus Iris. Berlari kecil menyeberang jalan, menuju tokonya. Dari kejauhan, Ranu melihat dua orang baru saja keluar dari tokonya. Lampu toko dan lampu di sisi trotoar membantu Ranu melihat kedua sosok itu. Iris dan temannya. Ranu berhenti sebentar, memicingkan matanya, memastikan bahwa ia tak salah lihat. Bukankah gadis itu seharusnya sudah pulang? Pak Ranu? Suara yang sudah sangat dikenali Ranu. Ranu maju beberapa langkah. Iris? Kok belum pulang? Rupanya ia tak salah lihat. Tepat satu langkah di hadapannya, berdiri Iris dengan seorang temannya. Itu..tadi saya nunggu dijemput teman saya... Iris melirik teman perempuan di sebelahnya. Ranu mengingat gadis itu sebagai orang yang berteriak histeris ketika beberapa waktu lalu Iris melindas bunga-bunganya. Gadis itu buru-buru menyalami Ranu, Eta... katanya memperkenalkan diri. Saya yang punya motor matic yang dipake Iris waktu itu, Pak... Eta tersenyum. Sedikit sungkan sepertinya. Mungkin takut Ranu akan menegurnya soal insiden yang sudah Ranu ikhlaskan itu. Oh... Ranu mengangguk-angguk pelan, Motornya nggak apa-apa waktu itu? Eta menggeleng, Enggak, Pak. Cuma lecet-lecet dikit... Oh... bagus kalau gitu. Ranu diam sebentar. Terlintas pikiran untuk mengajak Iris makan malam. Entah kenapa, Ranu merasa tak akan ada kesempatan untuk mengajak gadis itu keluar. Ada perasaan seperti.. akan kehilangan dalam dadanya. Kalian udah makan malam? Kedua gadis di hadapannya menggeleng. Iris cepat-cepat menambahkan, Nanti kita beli makan di warteg deket kosan, Pak. Makan sama-sama aja. Ranu menunjuk ke satu arah, Ada tukang nasi goreng langganan saya sama Egi di dekat taman situ. Saya yang traktir. Jarang-jarang kan saya traktir... Ranu tersenyum. Lantas, melambai pada Egi yang buru-buru keluar toko. Kenapa, Pak? 78

Tiba-tiba kangen nasi goreng yang di deket taman situ, sekalian ajak Iris sama temannya ini. Saya yang traktir... Ranu mengekeh pelan. Bukan. Sesungguhnya ia hanya ingin berlama-lama dengan Iris malam itu. Mengikuti bisikan hatinya. Itu saja. Mereka berempat berjalan kaki menuju taman kota yang tak terlalu jauh dengan toko Ranu. Ranu berjalan menyusuri Iris di sebelahnya. Memperpendek langkahnya, mengimbangi kaki-kaki Iris. Egi dan Eta berjalan di depan mereka berdua. Kedua tangan Ranu ia kantongi di saku celananya. Terlalu gugup. Terlalu takut tangannya meraih tangan mungil Iris yang berayun-ayun di sebelahnya. Iris tiba-tiba cekikikan geli. Ranu cepat-cepat menoleh, mungkin gadis itu sadar pada kegugupannya... Ada yang lucu, Ris? Iris mendongak sedikit. Matanya bertemu dengan mata Ranu. Membangunkan sekumpulan pemain orchestra perkusi di balik kemeja Ranu. Dua sejoli di depan kita, Pak... Dua.. sejoli? Ranu menundukkan kepalanya sedikit, Bukannya, kamu sama Egi... Iris cepat-cepat menggeleng, sebelum Ranu menyelesaikan kalimatnya. Sebelum apa yang Ranu duga-duga sejak kemarin dituduhkan pada Iris. Saya sama Egi nggak ada apa-apa, Pak. Ranu ber-oh panjang. Menegakkan kepalanya lagi. Ada yang tertawa bahagia di dalam kepalanya, seakan ia baru saja memenangkan lomba karangan bunga tingkat internasional. Ranu memandangi Egi dan Eta. Jadi, tak ada apa-apa di antara Egi dan Iris. Ranu tersenyum, bergumam pelan. Pelan tapi masih cukup kencang agar gadis mungil di sebelahnya bisa menangkap kata-katanya, Saya bersyukur...

Empat piring nasi goreng sudah bersih dilahap empat perut yang lapar. Keempatnya kini sibuk memperhatikan sekumpulan remaja yang membakar sumbu kembang api tepat di seberang tempat mereka duduk. Detik berikutnya, angkasa terang benderang oleh warna-warni yang mempesona. Egi dan Eta menontoni hiburan gratis itu sambil bergumam-gumam kagum. Wah, yang itu bagus...

79

Kayak lagi tahun baru ya... Yang ini lebih bagus... Ranu dan Iris ikut mendongak, menatap angkasa, memandangi letusan kembang api dalam diam. Ranu merasa tak perlu mengungkapkan apa-apa. Tak perlu mendengar ungkapan apa-apa. Ia biarkan panas tubuh menghantarkan semua rasa dalam dadanya dan keringat yang ia rasakan sebagai jawabannya. Di balik kotak tisu, ada jemari yang saling bertautan. Dalam keheningan, tiba-tiba Iris berbisik, Saya sudah tahu soal Lilac... Ranu menoleh, hampir mengangkat tangannya dari atas meja. Tepat sebelum Ia melihat Iris tersenyum dan menambahkan, Saya suka anak-anak.

Ada banyak bunga yang menari di angkasa. Ada banyak bunga yang menari di dalam dada. Tapi hanya ada satu bunga yang membuatku kembali jatuh cinta.

Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam di jam tangan perak Ranu. Tak sedikitpun rasa kantuk hinggap di kedua kelopak matanya. Ranu sibuk memandangi bunga-bunga di sepanjang pagar balkon kamarnya. Bunga-bunga itu mendadak terlihat semakin indah saja. Terutama bunga putih dengan gradasi ungu di dasar mahkotanya yang kini menjadi favorit Ranu. Bunga Iris-nya. Ranu masih merasakan jemari mungil yang tadi bertaut dengan jari-jari tangan kirinya. Telapak tangan yang berkeringat itu. Ranu tak sanggup menemukan kata-kata yang pas untuk mengungkapkan ledakan rasa dalam dadanya tadi. Beberapa jam yang lalu di pinggir taman kota. Ranu hanya sanggup berbisik selamat malam di telinga Iris ketika Egi dan Eta sibuk bertukar nomor ponsel. Tepat sebelum Ranu dan Iris pulang ke tempat yang berbeda. Gelap malam perlahan digantikan cahaya mentari pagi. Ranu tertidur di balkon kamarnya. Ia bermimpi menemui Iris. Mengecup kening gadis mungil itu dan mengucapkan, mimpi indah, manis.

80

MENEPI SESAAT: MATA BUNDA


IRENE datang jauh-jauh dari Bogor ke kampus anaknya di Jakarta hanya karena mendapat tugas untuk mengantarkan berkas siswa-siswinya yang ingin menempuh pendidikan di sana. Perempuan paruh baya itu memutuskan untuk mampir ke kosan anaknya yang tak jauh dari letak kampus. Irene meminta rekan kerja yang datang bersamanya untuk menunggu sebentar di tempat itu, sementara dia berkunjung ke kosan anak satu-satunya, Iris. Iris-nya baru akan memasuki semester kelima. Gadis mungil berambut pendek yang amat Irene sayangi. Buah hati satu-satunya yang menjadi penghubung dengan suaminya yang telah lama tiada. Semua yang Irene lakukan selama ini, hanya untuk Iris-nya tercinta. Seluruh jalan hidup Iris sudah Irene arahkan menuju yang terbaik. Menuju kebahagiaan yang seakan telah terenggut ketika ayah Iris meninggal dunia dalam kecelakaan tragis. Irene ingin anaknya lebih bahagia dari anak-anak dengan anggota keluarga lengkap. Bahkan, Irene selalu berusaha berperan ganda. Menjadi ibu dan ayah sekaligus agar anak itu tetap merasakan bagaimana seorang ayah mencintanya. Irene baru akan melangkah melewati gerbang kampus ketika matanya menangkap sosok yang sudah sangat dikenalinya. Sosok itu duduk di seberang tempat Irene berdiri sekarang. Sebuah toko bunga. Irene memicingkan matanya, sedikit berharap ia salah lihat. Tapi tidak. Sosok yang berbincang dengan pria dewasa di seberang sana memang Iris-nya. Anak kesayangannya. Napas Irene tertahan. Pemandangan di seberang sana membuat dadanya sesak. Dia paham betul akan arti tatapan dua manusia itu. Paham betul akan makna tawa mereka yang bersamaan itu. Paham betul bahwa... akan ada yang menjegal jalan hidup Iris-nya yang sudah Irene susun matang-matang. Termasuk siapa yang akan menjadi pendampingnya. Dan bukan pria itu. Irene terduduk sebentar di warung penjual soto. Mengatur napasnya yang sejak tadi tertahan. Bahunya ditepuk pelan, Ia menoleh dengan kaget. Maaf, Bu, Penjual soto tersenyum,Mau pesen soto? Irene tersenyum dan menggeleng, Maaf, Pak. Saya numpang duduk sebentar. Irene diam sebentar. Terlintas dalam benaknya untuk menanyakan siapa pria yang sedang berbicara dengan anaknya di seberang sana. Maaf, Pak, tahu laki laki yang duduk di sana nggak, Pak?

81

Penjual soto itu mengikuti arah mata Irene, memicingkan matanya sedikit, Ooh... itu Pak Ranu, Bu. Pemilik toko bunga itu. Sudah berkeluarga, ya? Irene bertanya dengan hati-hati. Penjual soto itu mengerutkan dahinya, mungkin heran dengan seorang ibu yang tiba-tiba menanyakan pemilik toko bunga padanya. Setahu saya, dia duda anak satu, Bu. Jantung Irene berdebar kencang. Iris-nya benar-benar tak boleh akrab dengan pria itu. Tidak boleh. Ada perlu sama Pak Ranu, Bu? Irene menggeleng cepat, Ah, enggak, saya lagi nyari orang. Tapi, sepertinya bukan orang itu. Irene tersenyum, lekas berdiri. Saya permisi dulu, terima kasih ya, Pak. Irene bergegas menghampiri sekumpulan tukang ojek yang tak jauh dari penjual soto itu. Berusaha menutupi wajahnya ketika melewati dua manusia yang sedari tadi diperhatikan olehnya. Irene tak akan menghampiri pria itu sekarang. Tidak. Harus menunggu Iris-nya menghilang dari sana dulu. Kosan Iris lah kuncinya.

82

83

DISERANG HAMA
LANGIT Jakarta petang itu sangat cerah. Warna oranye dan garis-garis merah yang menghiasi awan membuat jantung Iris berdebar ketika melihatnya. Iris tak tahan untuk duduk sebentar di trotoar, memandanginya sambil berdecak kagum. Ia baru selesai membuang sampah, pekerjaan rutinnya tiap kali Egi ataupun Pak Ranu beres membuat karangan-karangan bunga mereka. Iris tak sadar ada seseorang yang memperhatikan dan duduk di sebelahnya. Orang itu tertawa pelan. Iris menoleh. Kaget. Pipinya merona. Saya heran, Pak Ranu tersenyum, kamu suka banget ya, bengong sambil ngeliatin langit. lantas pria itu ikut mendongak, memandangi angkasa. Hobi dari kecil, Pak. Iris mengekeh pelan. Saya suka sama bentuk awan yang kadang-kadang mirip sama sesuatu yang saya kenali. Kadang mirip hewan, mirip kendaraan, bahkan mirip... Iris menimbang sesaat. Ragu untuk mengatakannya. Tapi Pak Ranu sudah terlanjur menoleh dan menanti kalimat Iris yang masih menggantung. ... ayah saya. Ayah? Pak Ranu mengernyitkan dahinya. Iris mengangguk, Dari kecil, saya tinggal berdua sama ibu. Ayah saya... udah nggak ada... Iris tersenyum. Senyum untuk dirinya sendiri. Oh. Maaf... Nggak pa-pa. Sudah lama juga. Iris menggeleng pelan. Lilac... umurnya berapa tahun, Pak? Iris berusaha mengalihkan pembicaraan mereka. Pak Ranu tertegun sesaat sebelum menjawab, Lima tahun, Ris. Masih TK. Masa lucu-lucunya yaa... Pak Ranu mengangguk kecil, Iya. Lagi cerewet anak itu. Kemarin, seharian nggak berhenti ngomong. Ada aja yang diceritain ke saya. Pak Ranu tertawa. Iris ikut tertawa. Jadi kepingin ketemu. Saya selalu suka anak-anak... Lain kali... Lain kali saya bawa Lilac ke sini. Pak Ranu menambahkan, Asal kamu siapin telinga aja buat dengerin Lilac ngomong nggak berhenti-berhenti. Nanti saya siapin telinga cadangan, Pak. Iris dan Pak Ranu tertawa berbarengan. Lama kemudian, mengembuskan napas bersamaan. Kembali sibuk memandangi langit. Sesekali menunjuk awan yang

84

berbentuk unik. Sampai langit berubah menjadi gelap dan awan digantikan kerlip bintang.

Beberapa hari menjelang pesanan bunga untuk pernikahan, Iris, Egi, dan Pak Ranu makin sibuk. Kadang Eta juga ikut membantu. Seperti ketika Iris dan Pak Ranu sedang mengecek rumah tempat akan berlangsungnya acara tersebut, maka Eta akan___dengan sangat senang hati___membantu Egi menjaga toko. Acara tersebut akan berlangsung hari Sabtu. Hari di mana Iris berjanji pulang ke Bogor. Iris benar-benar lupa akan hal itu. Ia memutuskan untuk pulang sore hari setelah acara selesai. Meski sadar badannya pasti akan terasa sangat lelah sekali. Iris sedang menghitung jumlah bunga-bunga yang akan mereka butuhkan ketika Eta tiba-tiba menelepon ponselnya dengan panik. Nyokap lu ada di kosan kita! Hah? Kok bisa?? Iya, bentar lagi gue pulang. Iris cepat-cepat menyambar tasnya hingga mengenai kepala Egi yang sedang berjongkok di depan meja kerja Pak Ranu. Sori, Gi. Saya buru-buru. Egi menghentikan pekerjaannya sesaat. Mengelus-elus kepalanya yang diyakini Iris terasa nyeri sekali. Buru-buru kenapa? Ibu saya yang dari Bogor datang ke kosan. Dia nggak tahu sa ya kerja di sini. Kalau sampai tahu... bisa gawat! Pak Ranu berdiri dari kursinya, Saya antar, Ris. Pakai motor. Pak Ranu bergegas keluar toko, melepas keranjang yang biasanya diikatkan di jok belakang motor tersebut. Iris mengikutinya dari belakang. Sebentar kemudian, motor itu sudah melaju di jalanan dengan Pak Ranu dan Iris di atasnya. Iris memandangi punggung di hadapannya. Punggung yang sangat ingin dipeluk olehnya. Ada perasaan tidak enak saat memandangi punggung itu. Seperti tak akan ada waktu untuk merebahkan kepalanya di sana lain kali. Perlahan, Iris merapatkan tubuhnya di punggung Pak Ranu. Melingkarkan kedua lengannya di pinggang Pak Ranu. Berharap perasaan tidak enaknya tak berhubungan dengan pria itu.

85


Iris cepat-cepat turun dari motor ketika tiba di kosan. Sangat terkejut dengan pemandangan di depan pintu kosan. Eta berdiri salah tingkah dengan Ibu Iris berada tepat di sebelahnya. Pak Ranu melepas helmnya dan membungkuk sedikit, memberi salam. Jantung Iris berdebar ketika melihat kilatan di mata ibunya. Tatapan yang sudah dihapalnya sejak tahunan lalu. Pak Ranu pamit pulang. Iris menghampiri ibunya. Mengecup punggung tangan ibunya. Perempuan paruh baya itu masih mengenakan seragam dinasnya. Masuk dulu, Bu... Iris memaksa dirinya untuk tersenyum. Ketiganya masuk ke ruang tamu di lantai satu. Eta meninggalkan Iris dan Ibunya dengan alasan sedang menyetrika baju. Firasat buruk menggelayuti hati Iris saat itu juga. Ibu mau ke sini kenapa nggak ngabarin Iris dulu, Bu? Ibu cuma kebetulan mampir. Tadi menyerahkan berkas siswa yang mau kuliah di tempat kamu. Deg... Tadi Ibu ke kampus Iris? Ibunya mengangguk, Iya. Jadi mampir ke sini sebentar. Hening sebentar. Kamu... kenapa kerja paruh waktu, Ris? Ibu kan sudah bilang, kamu jangan ikutan temen-temen kamu yang ambil kerja paruh waktu. Ibu mau kamu serius kuliah. Iris tertunduk. Merasa tak nyaman dengan tatapan ibunya. Ibu barusan memaksa Eta untuk cerita semuanya. Kenapa kamu nggak minta uang gantinya ke ibu saja? Maaf, Bu. Iris masih menunduk, Iris nggak mau ngerepotin Ibu. Hening lagi. Itu... tadi teman kamu, Ris? Ibu memberi tekanan pada kata teman. Iris paham betul apa yang dimaksud ibunya. Termasuk apa yang akan dikatakan ibunya jika dia bilang iya. Iris mengangkat wajahnya. Menggeleng pelan. Itu bos Iris, Bu. Ibu menatap mata Iris dalam-dalam. Seakan berusaha masuk ke dalam kepalanya. Berusaha membongkar memori dalam kepalanya satu-satu dengan

86

terperinci. Iris berdoa agar mata itu tak menemukan rasa hati yang sedang Iris sembunyikan. Oh... Ibu melirik jam di dinding ruang tamu. Sudah sore, Ibu pulang sekarang. Ibu berdiri. Iris ikut berdiri, hendak mengantar ibu keluar. Tapi, ibunya menggeleng, Nggak usah diantar, ibu bisa naik ojek. Ada guru lain yang nunggu ibu di kampus kamu. Sebelum keluar, ibu melirik Iris sedikit, Hari Sabtu jangan lupa pulang.

Puluhan kali kata maaf keluar dari mulut Eta. Puluhan kali juga Iris tersenyum dan menyahut, tak apa-apa. Bukan salah Eta jika ibu mengintimidasinya hanya untuk mendapatkan secuil informasi yang ibu inginkan. Ibu akan bertanya pada siapa asaja, kapan saja, hanya untuk mengetahui informasi-informasi seputar Iris. Iris bersyukur ibu tidak bertanya lebih lanjut seputar Pak Ranu. Mungkin dugaan Iris memang benar, ibu sudah berubah. Tidak lagi se-otoriter dulu. Maaf banget Iris, gara-gara gue lu ribut sama nyokap... Eta menatap mata Iris lekat-lekat. Rasa bersalah itu tergambar jelas di wajah Eta. Nggak apa-apa, Eta. Nyokap gue emang begitu, nanti kalo gue pulang juga udah nggak apa-apa lagi. Iris tersenyum, Kayaknya nyokap juga nggak semarah dulu-dulu kok. Seenggaknya nyokap nggak mencak-mencak sambil nyeret gue pulang ke Bogor. Gue bantuin ngomong ke Pak Ranu deh soal pengunduran diri lu yang t ibatiba ini. Apalagi lusa ada acara kan... astagaa, gue makin nggak enak nih! Eta meremas bahu Iris. Iris menggeleng pelan, Nggak usah, biar gue yang ngomong sendiri sama Pak Ranu. Dia pasti ngerti. Iris tersenyum. Pak Ranu pasti mengerti...

87

Semalaman Iris tidak bisa tidur. Sekalipun ia memejamkan matanya dengan paksa, rasa kantuk itu tak juga ada. Ia sibuk menyusun kata-kata pengunduran dirinya dari toko bunga Pak Ranu. Berikut alasan-alasannya jika ditanya. Ia meyakinkan dirinya bahwa Pak Ranu akan mengerti. Sedikit berharap, Pak Ranu akan memintanya mampir ke toko sesekali. Iris bergegas ke toko bunga ketika mata kuliah terakhir selesai. Ia ingin bicara dengan Pak Ranu secepatnya. Namun, ternyata Iris tak juga mendapat kesempatan untuk itu. Pak Ranu selalu tampak sibuk mengurus bunga-bunga. Beberapa kali mata Iris dan mata Pak Ranu bertemu. Tapi, Pak Ranu selalu cepat-cepat beralih pada pekerjaannya lagi ketika Iris baru membuka mulutnya untuk berbicara. Iris membuang jauh-jauh pikirannya tentang kemungkinan Pak Ranu sedang berusaha

menghindarinya. Iris sedang berjongkok di lantai untuk membersihkan sampah ketika Egi tibatiba menepuk bahunya pelan. Saya pulang duluan ya, Ris. Ada urusan sedikit. Egi tersenyum. Iris menganggu-angguk. Senang karena akhirnya ia punya kesempatan untuk bicara berdua saja dengan Pak Ranu. Iris menanti sampai Egi benar-benar menghilang dari pandangan matanya. Lantas ia mengumpulkan suaranya. Memanggil kata-kata yang sudah ia susun semalaman dari dalam kepalanya. Pak... Ris... Hening. Jantung Iris berdebar. Tak menyangka kalau mereka akan bicara bersamaan. Kamu duluan, Ris. Iris berdiri, berbalik menghadapi Pak Ranu. Mengangkat wajahnya sedikit. Memantapkan suaranya. Saya... saya mau mengundurkan diri lebih cep at. Maaf, saya tidak bisa ikut acara besok. Pak Ranu bergeming. Memandangi Iris dalam diam. Tak ada tanda-tanda pria itu akan mengatakan sesuatu. Iris artikan itu sebagai keterkejutan. Mungkin kaget karena tiba-tiba Iris mengundurkan diri dari toko bunganya. Iris menghela napasnya yang tertahan sedari tadi. Ia menatap mata Pak Ranu lekat-lekat. Separuh berharap Pak Ranu akan berkata, Oh, tak masalah, Iris. Tapi, Saya sangat berharap kamu bisa mampir sering-sering. Saya harap... kita... akan terus ada. 88

Pak Ranu membuka mulutnya, berbicara dalam nada dingin. Mungkin... mungkin memang lebih baik kamu tak perlu ikut. Suara yang sangat asing di telinga Iris. Mungkin lebih baik kamu tak usah datang ke sini lagi, Ris. Iris berusaha menjejak tanah kuat-kuat. Terkejut dengan kata-kata Pak Ranu yang tak diperkirakan olehnya. Saya rasa, lebih baik kita tak usah lagi bertemu. Dunia Iris serasa runtuh. Jatuh menimpa tubuh mungilnya. Mungkinkah semua yang telah terjadi belakangan ini hanya khayalannya? Hanya tipuan pikirannya? Iris bertanya-tanya dalam hati. Berusaha menemukan jawabannya pada kedua mata Pak Ranu yang tampak tak bersahabat. Kenapa? Kenapa? Kenapa? Saya rasa, apa yang terjadi belakangan ini hanyalah sebuah kekeliruan besar, Iris. Iris seakan tak percaya dengan telinganya sendiri. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Wajah Pak Ranu mulai buram. Kenapa? Kenapa? Ke...liru? Lamat-lamat Iris berusaha mengeluarkan suaranya. Namun, yang terdengar hanya seperti bisikan. Iris berharap pria di hadapannya ini bukan Pria Bunga-nya. Mungkin kembarannya yang datang dari planet lain. Setelah pembicaraan kemarin sore, saya sadar, kamu hanya rindu sosok seorang ayah. Dan saya rindu istri saya... Cukup... jangan bicara lagi... ...semua ini hanya kekeliruan semata. Cepat atau lambat kamu juga akan menyadari hal itu. Kita keliru, Iris. Keliru. Jakun Pak Ranu bergerak satu kali. Sudah... cukup... jangan bicara lagi... Iris masih mencari kebenaran pada mata Ranu. Berharap kata-kata ibu salah. Berharap Pak Ranu akan berteriak April MOP!!! Memeluknya dan meminta maaf. Tapi, cuma berharap. Karena bulan April masih beberapa minggu lagi. Wajah Pak Ranu semakin buram. Iris cepat-cepat menatap langit-langit toko. Mengerjapkan matanya beberapa kali. Berusaha menghilangkan air yang merembes keluar dari kelenjar di rongga matanya. Mendadak ia merasa semua itu lucu. Menangisi seorang pria yang bahkan baru dikenalnya dalam waktu satu bulan. Seorang pria yang ternyata menjadikan Iris sebagai pelampiasan atas kerinduannya pada sang istri. Iris tertunduk. Ia tertawa pelan. Lantas kembali menatap Ranu. Ia merasa ada yang mengalir dari ujung matanya menuju ke pipi. Iris tak berniat menyusutkannya. 89

Saya sadar... Suara Iris bergetar. Ia menahan sakit dalam dadanya. Menahan tangisnya agar tidak meledak di hadapan Pak Ranu. Tidak di hadapan orang ini. ...ternyata saya memang keliru... ternyata selama ini, bukan saya yang Pak Ranu lihat... tapi, istri Pak Ranu itu... ya, saya keliru. Iris tertawa pelan. Merasa konyol sekali karena pernah begitu senang ketika Pak Ranu menggenggam tangannya. Barangkali, saat itu pun bukan Iris yang ada di matanya. Konyol sekali. Iris menarik tasnya dari atas meja kerja Pak Ranu. Melangkah keluar toko secepat yang ia bisa. Tidak berusaha menoleh lagi. Tidak juga melirik sedikit. Mungkin benar kata-kata Pak Ranu barusan, bahwa dia telah keliru.

Ternyata, duka itu tak sesakit yang kukira dulu. Ya, seperti katamu, Kukeliru.

Langit pagi itu agak mendung. Iris sempat meliriknya sedikit sebelum mengemasi barang-barangnya. Tidak semua barang-barangnya. Dia akan pulang ke Bogor hari ini dan kembali besok, Minggu sore. Melepas penat sejenak. Mungkin juga akan membuang dukanya di jalan menuju Bogor nanti dan tak perlu membawanya kembali ke Jakarta. Iris tak menangis semalam. Rupanya air-air itu susut dengan sendirinya. Terlalu mubazir dibuang untuk pria yang mengatakan semua yang terjadi selama ini hanyalah sebuah kekeliruan. Bahwa semua debaran jantung itu adalah kekeliruan. Keliru. Ris, lu mau ke Bogor? Eta muncul di belakang Iris dengan handuk melingkar di lehernya. Iya. Kemarin, udah ngomong ke Pak Ranu? Iris menoleh, merasa Eta tak perlu tahu semua yang terjadi kemarin. Lantas ia tersenyum, Udah. Terus dia bilang apa? Nggak marah? Eta mengusap wajahnya yang agak basah dengan handuk di lehernya.

90

Ya sudah. Dia... biasa aja sih. Iris cepat-cepat memakai tas ranselnya sebelum Eta mulai bertanya lagi, Gue berangkat dulu ya, Ta. Pulangnya besok sore. Iris bergegas meninggalkan tempat itu. Tak sabar ingin segera membuang dukanya entah di mana nanti. Mungkin juga memorinya sekalian. Iris bahkan tak menoleh ketika bus yang ditumpanginya lewat di depan toko bunga Pak Ranu. Iris memejamkan mata. Tak habis pikir, mengapa dunia berbalik tiba-tiba? Apa yang salah? Bukankah belum lama ini semua masih baik-baik saja? Belum lama ini... Tunggu. Iris teringat pada kunjungan ibunya dua hari yang lalu. Mata Iris terbuka. Ibu sudah berubah. Ibu sudah berubah. Iris mengulang kalimat itu dalam hatinya. Sedikit keraguan menyergapnya. Sungguh, Iris ingin tiba di Bogor saat itu juga.

Apakah... apakah duka itu... datang darimu, Bunda?

Iris menempuh perjalanan yang cukup jauh. Turun-naik angkutan umum berkali-kali sebelum akhirnya tiba di rumah sederhananya di Bogor saat tengah hari. Iris memandangi pintu pagar setinggi lutut yang sudah hampir sebulan tak disentuh olehnya. Tumbuhan yang memagari sekitar rumahnya tampak tak bertambah tinggi sejak terakhir kali Iris ke sana. Mungkin juga sudah dipotong lagi oleh Mang Ujang, tetangga sebelah rumahnya yang biasa membantu ibu. Iris mendorong pintu pagar itu hingga terbuka, menyusuri jalan berbatu yang menghubungkan antara pintu pagar dengan teras rumahnya. Bunga-bunga yang menghiasi sepanjang sisinya membuat Iris teringat pada sosok di Jakarta. Iris lupa membuang dukanya di jalan tadi. Tidak juga dengan memorinya. Keraguan di jalan tadi membuat Iris ingin menyimpan semuanya. Iris melepaskan sepatunya, menjejakkan kakinya ke teras rumah. Berjalan menuju pintu rumahnya, mengetuknya beberapa kali. Ibu... Iris pulang. Iris menunggu beberapa saat sebelum mengetuk lagi pintu itu. Terdengar derap langkah dari dalam rumah. Pintu terbuka perlahan. Ibu melongokkan kepalanya dari dalam, Kirain ibu kamu nggak jadi pulang, Ris. Ibu membuka pintu lebar-lebar. Ibu sudah berubah, Iris... Dari sana memang nggak terlalu pagi, Bu. Iris memaksa bibirnya untuk tersenyum. Mencoba berhenti memikirkan kemungkinan bahwa kemarin lusa ibu

91

menemui Pak Ranu seperti halnya ibu menemui dan mencaci semua teman lelaki Iris yang sudah-sudah. Iris memandang berkeliling, interior rumahnya selalu bersih dari debu. Ibu selalu suka bersih-bersih. Belum berubah. Belum? Kamu mau istirahat dulu atau mau langsung makan siang, Ris? Suara ibu mengembalikan Iris ke dalam ruangan itu. Iris menoleh. Mau langsung makan aja, Bu. Iris mengikuti ibunya melangkah ke dapur rumah mereka yang juga sekaligus ruang makan. Iris duduk di kursi rotan, meletakkan tas ranselnya di dekat kaki. Ibu membuka tudung saji, Hari ini ibu masak sayur kesukaanmu, sayur asam. Ibu duduk di hadapan Iris, mengambilkan nasi untuknya dan menyerahkan piring berisi nasi itu pada Iris. Sebentar, ibu buatkan teh manis dulu. Ibu berdiri dan sibuk di meja dapur menyeduh segelas teh manis untuk Iris. Iris memandangi ibunya. Tak tahan untuk tidak bertanya sekarang juga. Bu, Iris meletakkan piring nasinya di meja, berharap jawaban ibunya nanti tidak seperti dugaannya. Berharap... dugaannya keliru. Kemarin lusa, waktu ibu ke kosan Iris itu, ibu... mampir ke tempat Iris kerja, Bu? Bunyi dentingan sendok dengan gelas terhenti tiba-tiba. Iris dapat melihat bahu ibu naik perlahan-lahan. Kemudian, Laki-laki itu... bilang ke kamu? Napas Iris tertahan. Ibu sudah berubah. Tidak. Ibu sudah berubah... Ibu... mampir ke sana? Ibu berbalik. Berdiri menatap Iris lurus-lurus. Dia bilang apa saja? Wajah Pak Ranu semalam terputar dalam kepala Iris. Kata-kata Pak Ranu yang tak disangkanya itu menggaung lagi dalam kepalanya. Semua begitu tiba-tiba. Kini ia tahu apa penyebabnya. Ibu... belum berubah. Pak Ranu nggak bilang apa-apa ke Iris, Bu. Iris bergeming. Menatap mata ibunya yang tampak terkejut. Apa yang salah dari Pak Ranu, Bu? Wajah ibu memburam. Mendadak Iris merasakan bagaimana menjadi Pak Ranu tadi malam. Betapa sakitnya menipu diri sendiri. Betapa sakitnya menipu dirinya. Ibu mau yang terbaik buat kamu, Iris! Dan seorang duda beranak satu itu tidak termasuk yang terbaik! Nada bicara ibu meninggi, Masih banyak yang sama sama sendiri di luar sana, Iris! Kalau kamu suka yang lebih tua, biar ibu carikan yang masih sendiri! Jangan duda! 92

Iris mengusap pipinya yang mulai basah, Apa yang salah dari seorang duda, Bu? Bukankah... bukankah semua sama? Iris mulai terisak. Embusan napasnya terputus-putus. Kamu pikir kita tinggal di mana, Iris? Ibu nggak mau kamu jadi omongan orang karena dekat dengan duda! Iris berdiri menyeret tas ranselnya. Melangkah cepat keluar rumah. Tak dihiraukan teriakan ibu yang memanggil-manggil namanya. Pikirannya kacau. Terbayang lagi wajah Pak Ranu. Terngiang lagi kata-kata Iris sebelum meninggalkan toko itu. Iris menyesal telah mengatakan itu semua. Ia harus segera minta maaf. Iris mau kembali ke Jakarta, Bu. Iris harus minta maaf. IRIS!!! BRUUKK!! Iris menoleh. Ibu tersungkur di dapur tak sadarkan diri. Panik, Iris berbalik. IBUU...

Ruang rumah sakit terasa makin dingin bagi Iris. Ia duduk cemas menanti dokter yang sedang memeriksa ibunya. Jari-jari Iris menghentak pahanya tanpa henti. Baru kali ini ibu tak sadarkan diri seperti itu. Setahu Iris, ibu tak punya penyakitpenyakit berat. Setidaknya sampai detik ini. Iris menoleh ketika pintu ruang pemeriksaan akhirnya terbuka. Iris segera berdiri, menghampiri dokter itu. Bagaimana keadaan ibu saya, Dok? Tekanan darah ibu anda naik. Sehingga memicu terjadinya serangan jantung ringan. Mungkin penyebabnya stres berlebih. Butuh istirahat dan alangkah baiknya jika dijaga agar stresnya berkurang. Khawatir jika berkepanjangan, bisa terjadi serangan jantung yang lebih serius. Dokter itu menyerahkan selembar kertas resep obat, Ini obat untuk menurunkan tekanan darahnya. Saya dengar anda mahasiswi keperawatan? Iris mengangguk kecil, Tolong pola makan ibu anda dijaga, agar tekanan darahnya tidak tinggi. Anda tentunya tahu makanan-makanan apa yang semestinya ibu anda konsumsi. Baik, Dok. Terima kasih.

93

Dokter itu meninggalkan Iris. Iris bergegas memasuki ruang tempat ibunya dibaringkan. Ibu sedang tertidur lelap. Garis-garis usia di wajahnya tampak sangat jelas. Garis-garis kelelahan. Lelah karena harus mengurus Iris sendirian. Iris yang telah membuat ibu stres sampai seperti ini. Iris menggenggam tangan ibunya yang lemas. Ibu adalah harta Iris satusatunya. Hartanya yang paling berharga. Ia tak akan rela kehilangan ibunya sekarang. Demi apapun juga. Meski demi kebahagiaannya. Tidak. Iris mengusap bulir-bulir air yang turun dari matanya. Demi ibu, ia akan melupakan Pria Bunga-nya. Tekadnya untuk kembali ke Jakarta hari itu juga, Iris batalkan. Ia justru memutuskan untuk menetap di Bogor sedikit lebih lama. Tak masalah. Semua demi ibu. Perlahan, Iris mengecup punggung tangan ibunya. Demi ibu.

Sudah seminggu Iris menetap di Bogor. Merawat ibunya. Sesekali menghubungi Eta, menanyakan bagaimana kuliahnya di Jakarta. Kondisi ibu berangsur pulih dan sudah lebih baik ketika Iris akan kembali ke Jakarta. Ibu mengantar Iris sampai di pintu pagar rumahnya. Membelai kepala Iris dengan lembut ketika Iris berpamitan. Iris minta maaf karena udah bikin ibu stres, Iris tersenyum, ada yang terluka di dalam dadanya. Ibu nggak usah mengkhawatirkan Iris lagi sekarang. Kesalahan itu... nggak akan Iris ulangi lagi. Ibu mengangguk kecil, balas tersenyum. Ibu tahu cepat atau lambat kamu pasti akan sadar kalau semua itu... keliru, Iris. Keliru... Iris berangkat sekarang, Bu. Biar sampai di kosan nggak terlalu sore. Iris berbalik dan meninggalkan tempat itu meski enggan. Baru kali ini langkahnya terasa berat. Sejujurnya ia ingin menetap saja di Bogor. Tak perlu kembali ke Jakarta dan susah payah berpura-pura tak pernah mengetahui keberadaan toko bunga Ranu and Lilacs Florist. Susah payah berpura-pura tak pernah mengenal Pak Ranu. Susah payah berpura-pura tak melihat manusia itu dan tokonya yang akan ada di depan kampus Iris sampai entah kapan.

94

95

DISERANG HAMA
GADIS mungil yang duduk memandangi langit itu menjadi pemandangan indah bagi Ranu. Lebih indah ketimbang langit Jakarta yang sore itu sedang cerahcerahnya. Lama, Ranu berdiri di sebelah Iris yang sepertinya tak juga menyadari keberadaannya di sana. Ranu memutuskan untuk duduk di sebelah gadis itu. Tiap kali Iris memandangi langit, gadis itu seperti punya dunianya sendiri. Mulutnya yang sedikit terbuka itu membuat Ranu tertawa. Iris menoleh. Sepertinya sangat terkejut karena Ranu duduk di sebelahnya. Pipi gadis itu merona. Saya heran, Ranu tersenyum, kamu suka banget ya, bengong sambil ngeliatin langit. lantas Ranu ikut mendongak, memandangi angkasa. Berusaha mencari kenikmatan seperti yang Iris lakukan meski hasilnya nihil. Hobi dari kecil, Pak. Iris mengekeh pelan. Saya suka sama bentuk awan yang kadang-kadang mirip sama sesuatu yang saya kenali. Kadang mirip hewan, mirip kendaraan, bahkan mirip... Iris menggantungkan kalimatnya. Ranu menoleh, menanti lanjutan kalimat itu. ... ayah saya. Ayah? Ranu mengernyitkan dahinya. Apakah awan dapat menyerupai seseorang? Iris mengangguk, Dari kecil, saya tinggal berdua sama ibu. Ayah saya... udah nggak ada... Iris tersenyum. Bukan senyum untuk Ranu. Ranu paham sekali senyum seperti itu. Senyum ketika seseorang berusaha menyenangkan dirinya sendiri. Oh. Maaf... Nggak pa-pa. Sudah lama juga. Iris menggeleng pelan. Lilac... umurnya berapa tahun, Pak? Ranu tahu betul Iris sedang berusaha mengalihkan pembicaraan mereka. Satusatunya yang harus ia lakukan adalah membantu. Lima tahun, Ris. Masih TK. Masa lucu-lucunya yaa... Ranu mengangguk kecil, Iya. Lagi cerewet anak itu. Kemarin, seharian nggak berhenti ngomong. Ada aja yang diceritain ke saya. Ia tertawa. Iris ikut tertawa. Jadi kepingin ketemu. Saya selalu suka anak-anak... Ranu sangat lega mendengar pernyataan Iris. Untuk menjadi seorang ibu, seseorang harus menyukai anak-anak lebih dulu. Lain kali... Lain kali saya bawa

96

Lilac ke sini. Ranu menambahkan, Asal kamu siapin telinga aja buat dengerin Lilac ngomong nggak berhenti-berhenti. Nanti saya siapin telinga cadangan, Pak. Ranu dan Iris tertawa berbarengan. Lama kemudian, mengembuskan napas bersamaan. Kembali sibuk memandangi langit. Sesekali menunjuk awan yang berbentuk unik. Sampai langit berubah menjadi gelap dan awan digantikan kerlip bintang.

Beberapa hari menjelang pesanan bunga untuk pernikahan, Ranu, Egi, dan Iris makin sibuk. Ranu merasa tertolong dengan sahabat Iris, Eta, yang sesekali cukup membantu. Seperti ketika Ranu dan Iris sedang mengecek rumah tempat akan berlangsungnya acara tersebut, maka Eta akan membantu Egi menjaga toko. Entah karena ada maksud tertentu atau tidak. Sebuah karangan bunga sedang dirangkai Ranu ketika ponsel Iris berbunyi tiba-tiba. Ranu menduga Eta lah si peneleponnya. Hanya saja, Ia tak tahu apa yang membuat Iris terdengar panik. Hah? Kok bisa?? Iya, bentar lagi gue pulang. Iris segera menyambar tasnya hingga mengenai kepala Egi yang sedang berjongkok di depan meja kerja Ranu. Sori, Gi. Saya buru-buru. Egi menghentikan pekerjaannya sesaat. Mengelus-elus kepalanya. Ranu tahu, pasti kepala itu terasa sakit sekali. Buru-buru kenapa? Ibu saya yang dari Bogor datang ke kosan. Dia nggak tahu saya kerja di sini. Kalau sampai tahu... bisa gawat! Deg... Ranu berdiri dari kursinya. Merasa harus mengantar pulang. Merasa bertanggung jawab jika ibu gadis itu marah. Merasa... ada firasat tidak enak yang menyergap hatinya tiba-tiba. Saya antar, Ris. Pakai motor. Ranu bergegas keluar toko, melepas keranjang yang biasanya diikatkan di jok belakang motor tersebut. Iris mengikutinya dari belakang. Sebentar kemudian, motor itu sudah melaju di jalanan dengan Ranu dan Iris di atasnya. Ranu melirik Iris dari

97

spion motornya. Gadis itu menatap lurus-lurus punggung Ranu. Tatapan sendu yang Ranu tidak suka. Tatapan yang membuat perasaan tidak enak dalam hati Ranu makin menjadi-jadi. Ranu mengalihkan perhatiannya ke jalan lagi. Perlahan, ia merasakan lengan Iris melingkari pinggangnya, tubuh gadis itu merapat ke punggungnya. Mendadak, Ranu merasa sendu itu merembes ke dalam dadanya.

Ranu cukup terkejut dengan pemandangan di depan pintu kosan Iris ketika motornya berhenti di sana. Tampak Eta berdiri salah tingkah dengan seorang perempuan berseragam dinas berada tepat di sebelahnya. Mungkin pengajar. Ranu yakin sekali perempuan itu adalah ibu Iris. Ranu melepas helmnya dan membungkuk sedikit, memberi salam. Jantungnya berdebar setelah dilihat tak ada senyum pada wajah perempuan itu. Ranu memutuskan untuk segera kembali ke tokonya lagi. Pamit sebentar dan cepat-cepat memutar balik motor bebeknya. Wajah tanpa senyum ibu Iris sangat mengganggu pikiran Ranu. Semakin memperburuk perasaan di hatinya. Membuat Ranu sedikit tersandung ketika melangkah masuk toko. Hati-hati, Pak. Egi buru-buru menyingkirkan bambu yang tadi membuat Ranu tersandung. Memandangi bosnya dengan khawatir, Ibunya Iris... marah-marah, Pak? Ranu mengangkat bahunya, Mudah-mudahan enggak. Ranu kembali pada karangan bunga yang tadi sedang ia kerjakan. Berusaha membuang jauh-jauh perasaan tidak enak di hatinya. Barangkali ibu Iris memang kurang suka tersenyum, barangkali memang tak suka berakrab-akrab dengan orang asing, dan sejuta barangkali lainnya memenuhi kepala Ranu. Ia berusaha menyenangkan dirinya sendiri. Satu karangan bunga yang cukup besar tengah digotong keluar oleh Ranu dan Egi ketika mata Ranu menangkap sosok perempuan paruh baya menyeberang jalan menuju tokonya. Ranu meletakkan karangan bunga itu di keranjang motor. Perempuan itu menghampiri Ranu, menjabat tangannya. Deg... Saya Irene. Perempuan itu tak juga tersenyum, Ibunya Iris.

98


Irene duduk di seberang meja Ranu. Melempar pandangannya berkeliling ruang toko Ranu yang sempit. Pandangan yang membuat Ranu tidak nyaman. Pandangan itu berhenti tepat di mata Ranu. Seakan menusuknya dalam-dalam. Keperluan saya ke sini, untuk membicarakan Iris. Saya rasa anda sudah mengerti... Irene masih belum melepaskan tatapannya yang menusuk dari mata Ranu. Sungguh, Ranu tak akan merasa setidak nyaman ini kalau saja perempuan di hadapannya itu mau tersenyum sedikit. Maksud Ibu? Irene mengembuskan napasnya, Tolong, pecat anak saya dari toko anda ini. Ranu merasakan tenggorokannya mengering dengan cepat. Pecat Iris dari toko anda. Irene berhenti sebentar. Kemudian melanjutkan, Saya sudah mendengar duduk perkaranya sampai Iris akhirnya terpaksa bekerja di sini. Biar saya yang mengurus masalah itu. Irene menyodorkan sebuah amplop kepada Ranu. Ranu menggeleng pelan. Mendorong amplop itu menjauh. Ranu makin merasa tidak nyaman. Masalah itu sudah selesai, Bu. Saya memaksa. Tolong, jangan ditolak. Irene mendorong kembali amplop itu kepada Ranu. Irene mengembuskan napasnya lagi. Saya... saya juga meminta anda untuk memutuskan hubungan anda dengan Iris. Ranu merasa seakan ada petinju kelas berat menyerang perutnya. Meremukkan seluruh isinya. Kenapa? Maksud Ibu... apa? Ranu berusaha menyembunyikan kegetiran dari suaranya. Maaf karena saya lancang dan sempat bertanya-tanya tentang anda pada pedagang-pedagang di sekitar sini, saya tahu tentang latar belakang anda. Anak dan almarhum istri anda. Jantung Ranu mencelos mendengar Irene mengatakan itu. Irene membetulkan letak duduknya, Saya tak tahu sejauh mana hubungan anda dengan Iris. Tapi, saya rasa hubungan tidak baik itu harus segera dihentikan. Ranu kehilangan suaranya. Ia hanya diam mendengarkan Irene menghujaninya dengan kata-kata seperti itu. Saya rasa anda paham mengapa saya meminta anda untuk menjauhi Iris. Bukankah anda adalah orangtua juga? Bukankah semua orangtua ingin yang terbaik

99

bagi anak-anaknya? Saya yakin, Iris hanya mengagumi anda karena dia merasa anda adalah sosok ayah yang sempurna, karena Iris hanya rindu sosok ayah yang mampu mengayomi dirinya. Lambat laun toh dia juga akan menyadari hal itu. Irene menarik napasnya saya. Ranu masih tidak bersuara. Irene berdiri. Menganggukan kepalanya sedikit, Saya permisi sekarang. Maaf jika kata-kata saya kurang berkenan. Irene berbalik, meninggalkan Ranu yang terpaku di kursinya. Ada yang tersayat di dalam dadanya. Ada yang hancur menjadi serpihan halus di sana. Ranu tidak tahu apakah yang dikatakan Irene barusan itu benar. Apakah Iris memang hanya rindu pada sosok ayah dan padanya lah figur itu ada? Ranu memejamkan matanya. Berharap saat ia membuka mata, ia ada di atas kasurnya. Bukan di dalam toko. dalam-dalam, mengembuskannya perlahan. Saya hanya ingin

mempercepatnya saja. Jadi, tolong... putuskan benang tak kasat mata itu. Jauhi anak

Semalaman Ranu tidak bisa tidur. Bukan, bukan karena hari itu adalah hari terakhir untuk mempersiapkan pesanan bunga untuk pesta pernikahan besok. Tapi karena dia sibuk menyusun kata-kata untuk memecat Iris. Memecat sekaligus mengusir gadis itu dari kehidupan Ranu selamanya. Namun, kata-katanya tak boleh terlalu pedas. Ranu tak mau melihat Iris menangis karena kata-katanya. Ranu bersandar di kursinya. Memijit pelipisnya. Kepalanya mendadak terasa sangat pusing. Kata-kata Irene menggaung dalam kepalanya, bukankah anda adalah orangtua juga? Bukankah semua orangtua ingin yang terbaik bagi anak-anaknya? Ranu bertanya pada dirinya sendiri, apa yang akan ia lakukan jika suatu hari nanti, Lilac-nya juga berhubungan dengan seorang pria seperti dirinya? Apakah sama seperti apa yang Irene lakukan padanya kemarin? Atau justru membiarkan Lilac-nya begitu saja? Hati kecil Ranu tidak menyahut. Ranu menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan. Ada yang berdenyut sakit di dalam dadanya. Andai saja tak ada insiden itu dulu. Andai saja ia tak pernah mengenal Iris. Andai saja... Pak, mobil colt-nya udah saya sewa buat besok. Egi tahu-tahu saja sudah berdiri di hadapan Ranu. Ranu menegakkan tubuhnya. Egi mengerutkan dahinya, Sakit, Pak?

100

Ranu terkekeh pelan, menggeleng. Saya cuma kurang tidur aja semalam. Egi mengangguk-angguk kecil dengan wajah separuh tidak percaya. Orangorang yang buat bantuin kita juga udah saya cari, Pak. Kenapa tiba-tiba jadi nambah ya, Pak? Kan kita juga udah bertiga sama si Iris. Ranu pura-pura terkejut. Dia tak mau Egi tahu kalau Iris akan ia pecat hari ini juga. Masa? Ranu pura-pura mengecek daftar nama orang yang akan membantu mereka besok. Nggak apa-apa lah. Cuma nambah satu. Egi baru akan berbalik kembali mengurus tugas-tugasnya ketika Ranu teringat satu hal. Hal penting yang tidak boleh bocor ke Iris. Iris benar-benar tidak boleh mengetahui hal itu. Gi, Egi berhenti, menoleh. Kunjungan ibunya Iris ke toko kita, tolong jangan sampai Iris dan Eta tahu, ya!

Sepanjang sore itu, Ranu menghindari kontak dengan Iris. Ia pura-pura sibuk mengurus bunga-bunga. Ranu memutuskan untuk bicara dengan gadis mungil itu sebelum toko tutup nanti. Beberapa kali matanya dan mata Iris bertemu, mulut gadis itu terbuka sedikit seperti ingin bicara, tapi, Ranu akan cepat-cepat beralih pada pekerjaannya lagi. Jam perak di pergelangan tangan Ranu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Ranu membereskan perkakas di mejanya. Iris sedang mengumpulkan sampah dari lantai. Sementara Egi tengah sibuk merapikan emberember bunga ke sisi-sisi ruangan. Ranu menghampiri Egi, berbisik pelan, Kamu pulang duluan aja, Gi. Saya ada perlu sebentar sama Iris. Untuk sesaat Egi menatap Ranu dengan curiga. Tapi, akhirnya ia mengangguk. Egi segera merapikan tasnya. Menepuk bahu Iris yang sibuk berjongkok di lantai, Iris mendongak. Saya pulang duluan ya, Ris. Ada urusan sedikit. Egi tersenyum. Iris cuma mengangguk-angguk. Ranu menanti sampai Egi benar-benar menghilang dari pandangan matanya. Ia menghela napasnya dalam-dalam. Sungguh berharap hari itu akan segera lewat tanpa harus ia lalui. Ranu berdeham pelan.

101

Ris... Pak... Hening. Jantung Ranu berdebar. Terkejut karena mereka bicara bersamaan. Kamu duluan, Ris. Iris berdiri, berbalik menghadapinya. Gadis itu mengangkat wajahnya sedikit. . Saya... saya mau mengundurkan diri lebih cepat. Maaf, saya tidak bisa ikut acara besok. Jantung Ranu melorot ke dalam perutnya. Napasnya tertahan. Jika Iris ingin mengundurkan diri, maka bebannya berkurang satu. Ia tak perlu menyakiti diri sendiri dengan memecat Iris. Mungkin... mungkin memang lebih baik kamu tak perlu ikut. Napas Ranu tertahan. Kebohongan besar ini akan sangat menyakitkan. Mungkin lebih baik kamu juga tak usah datang ke sini lagi, Ris. Ranu memperhatikan perubahan air muka Iris. Gadis itu tampak berusaha menyembunyikan keterkejutannya atas kata-kata Ranu barusan. Saya rasa, lebih baik kita tak usah lagi bertemu. Maaf, Iris... Maaf... Kenapa? Senyum di wajah Iris hilang sudah. Ia tampak bingung. Wajah itu seakan mempertanyakan hari-harinya yang telah lewat bersama Ranu. Saya rasa, apa yang terjadi belakangan ini hanyalah sebuah kekeliruan besar, Iris. Ranu tak sanggup menatap mata Iris. Mata itu mulai berkaca-kaca sekarang. Kumohon Iris, jangan menangis... jangan menangis... Ke...liru? Lamat-lamat Iris berucap, nyaris berbisik. Ia menatap Ranu dengan tatapan asing. Seakan baru kali ini mereka bertemu dan bicara. Setelah pembicaraan kemarin sore, saya sadar, kamu hanya rindu sosok seorang ayah. Dan saya rindu istri saya. Semua ini hanya kekeliruan semata. Cepat atau lambat kamu juga akan menyadari hal itu... kita keliru, Iris. Keliru. Ranu menelan ludahnya yang kini terasa bagaikan jutaan jarum kecil yang menusuk kerongkongannya. Iris masih menatap mata Ranu lekat-lekat. Mata itu membuat Ranu ingin segera merengkuh tubuh Iris ke dalam pelukannya, berbisik di telinganya bahwa ini adalah sebuah kebohongan besar. Bahwa satu-satunya yang keliru adalah kebodohan Ranu untuk melepaskan Iris dari genggamannya. Iris mengalihkan pandangannya ke langit-langit toko. Ke lantai. Menarik napas dalam-dalam lagi. Tertawa pelan. Lantas kembali menatap Ranu. Ada yang 102

mengalir dari mata Iris, bergerak menuju pipinya. Sungguh, Ranu ingin menyusutkan aliran itu. Aliran yang hadir akibat keputusannya untuk menipu Iris dan dirinya sendiri. Untuk yang terbaik, Ranu. Untuk yang terbaik. Saya sadar... Suara Iris bergetar. Ranu merasa sangat sesak mendengar suara itu. Sakit. Ranu tahu rasa sakit itu. ...ternyata saya memang keliru... ternyata selama ini, memang bukan saya yang Pak Ranu lihat... tapi, istri Pak Ranu itu... Iris tertawa pelan. Terdengar seperti isakan di telinga Ranu. Maaf atas kebohongan ini, Iris... Maaf... Iris menarik tasnya dari atas meja kerja Ranu. Melangkah keluar toko. Ranu tidak berusaha menghentikannya. Tidak berusaha mengatakan yang seharusnya ia katakan. Ranu memejamkan matanya. Membaui aroma tubuh Iris yang tertinggal di sana untuk yang terakhir kalinya. Saya bukan yang terbaik, Iris... bukan saya...

Wajah Iris yang menangis semalam masih terbayang dalam ingatan Ranu. Ranu mengerti rasa sakit itu. Rasa sakit yang sama seperti yang dirasakannya. Mungkin malah lebih. Ranu mendongak, menatap langit pagi itu yang agak mendung. Mungkinkah Iris juga sedang memandangi langit itu? Ranu menghela napasnya dalam-dalam, mengembuskannya perlahan. Ada rasa hampa dalam dadanya. Mungkin rasa yang tak sengaja terbawa Iris ketika gadis itu meninggalkan tokonya tadi malam. Pak, Egi menepuk bahu Ranu pelan, Ranu menoleh. Kok Iris belum datang juga, ya? Kita kan janjian jam delapan. Ini sebentar lagi harus berangkat kalau nggak mau terlambat... Jantung Ranu berdenyut mendengar nama Iris disebut. Iris berhenti, Gi. Egi terbeliak. Berhenti gimana, Pak? Berhenti. Sudah nggak kerja di sini lagi. Ranu melirik jam perak di tangannya, Kita berangkat sekarang aja. Dia nggak akan datang. Tunggu, Pak. Biar saya telepon Iris dulu, ini pasti ada yang salah. Egi mengeluarkan ponselnya. Ranu cepat-cepat menarik ponsel itu. Lebih baik tak perlu menghubungi Iris lagi. Setidaknya tidak sekarang. Egi memandang Ranu dengan bingung.

103

Sebaiknya nggak usah dihubungi. Iris... dia minta untuk tidak diganggu hari ini. Ranu mengembalikan ponsel Egi, Kita berangkat sekarang. Ranu berjalan menuju pintu tokonya yang belum terkunci. Merogoh saku celana jeans-nya. Tangannya terhenti. Napasnya tertahan. Ranu mengeluarkan kunci tokonya perlahan. Ia menggenggam benda yang tergantung di kuncinya erat-erat. Gantungan kunci berbentuk bunga matahari pemberian Iris. Iris, gadis mungil yang mencuri separuh rasa di hatinya. Ranu cepat-cepat mengunci pintu toko bunganya. Mengantongi lagi kunci itu. Berbalik menuju mobil colt-nya. Membuang jauh-jauh bayang Iris dalam kepalanya. Iris pantas mendapat yang terbaik, dan itu bukan kamu, Nu.

Ibu Iris sakit. Itu adalah kabar terakhir yang Ranu dengar dari Egi dan Eta. Katanya Iris memutuskan untuk merawat sendiri ibunya dan tinggal di Bogor sampai ibunya lebih sehat. Sedikit menjelaskan kenapa Ranu tak melihat gadis itu di jendela lantai tiga gedung kampusnya seperti hari-hari yang lalu. Sedikit mengecewakan karena setidaknya Ranu ingin melihat gadis itu untuk yang terakhir kalinya sebelum ia pindah ke daerah Cihideung di Bandung Barat, membuka kebun bunga miliknya sendiri. Ranu menghabiskan tabungannya untuk membeli lahan di sana. Ia memang sejak lama mengidam-idamkan memiliki perkebunan bunga sendiri. Meski sebenarnya, itu bukan alasan utama kepindahannya yang sangat mendadak. Ranu membelai meja kerjanya. Memandangi toko bunganya sekali lagi. Dia akan sangat merindukan semuanya. Rumahnya, toko mungil itu, termasuk Lilac-nya. Ibu mertua Ranu tidak mengizinkannya membawa anak itu ke Lembang. Ranu paham, ibu tak mau kehilangan pengganti Aster dari rumahnya. Tidak semendadak ini. Ranu mengangkat kopernya. Pak, yakin kalau saya nggak perlu ngabarin Eta dan Iris soal kepindahan Pak Ranu ini? Egi mengiringi Ranu berjalan menuju taksinya. Iris... Ranu mengangguk meski sesungguhnya ia ingin menggeleng. Ingin menghubungi Iris, menemuinya, memeluknya bahkan mungkin membawanya ikut

104

serta ke Lembang. Namun, Ranu tahu itu tak mungkin. Tak mungkin untuk membiarkan Iris-nya melawan orangtua hanya demi dirinya. Sosok yang tak terbaik. Nggak perlu lah... memangnya saya siapa? Ranu tertawa pelan. Menepuk bahu Egi pelan, Kelola toko ini baik-baik, Gi. Cari pegawai yang kompeten dan nggak asal-asalan... Egi mengangguk-angguk pelan, Pak Ranu betulan nggak mau saya antar sampai ke stasiun, Pak? Nggak perlu, Gi. Ranu masuk ke taksinya. Menutup pintu, melambai ringan pada Egi sambil tersenyum. Ranu bersandar pada kursi taksi itu. Tangannya menggenggam satu benda. Gantungan kunci berbentuk bunga matahari.

Selamat tinggal Jakarta. Selamat tinggal Manis. Mungkinkah kita akan kembali berjumpa?

105

106

APA KABAR, BUNGA?


Pria Bunga, berapa lama kita tak bertemu? Satu hari? Satu minggu? Satu bulan? Satu tahun? Aku tak tahu. Bagiku kita selalu bertemu, meski hanya di dalam khayalku.

Tujuh tahun sudah Iris lewati tanpa merasa bergerak maju sedikitpun. Usianya bertambah, tapi jiwanya masih terjebak di satu waktu pada masa lalu. Menikmati secuil kecil kehidupannya yang dulu Iris anggap akan segera menguap dari kepalanya dengan cepat. Nyatanya, tujuh tahun pun belum sanggup menguapkan kenangankenangan manis itu. Kenangan yang manisnya masih terasa hingga kini. Kenangan yang manisnya mengusik ibu. Mengusir Pria Bunga-nya hingga entah ke mana. Iris tak pernah melihatnya di toko bunga lagi. Iris enggan menanyakannya pada Egi ataupun Eta. Merasa lebih baik jika ia tak tahu pria itu ada di mana. Iris memandangi refleksi dirinya di cermin kamarnya. Tak ada yang berubah pada dirinya, masih berambut pendek dan masih bertubuh mungil. Hanya kini ia memakai seragam perawat. Iris sukses lulus dengan nilai terbaik dari kampusnya. Ia kini bekerja di rumah sakit swasta kecil milik kawan ibunya, di daerah Jakarta Barat. Tempat yang sudah ditawarkan padanya sejak masih kuliah dulu. Sementara, Eta bekerja di rumah sakit swasta yang cukup besar di daerah Jakarta Selatan. Karenanya Iris terpaksa menyewa kontrakan seorang diri. Ponsel Iris bergetar. Iris meliriknya. Menghela napas saat membaca satu nama yang berkelip-kelip pada layar ponselnya. Arga. Iris memandangi cincin yang melingkari jari manisnya. Laki-laki yang menghubunginya itu adalah calon suaminya. Dua bulan lagi, mereka akan melangsungkan pernikahan. Ibu yang menjodohkan laki-laki itu dengan Iris dua tahun lalu. Dia yang terbaik buatmu, Iris. Yang terbaik..., begitu ibu berbisik di telinga Iris ketika memaksanya datang menemui laki-laki itu. Rupanya alasan ibu meminta Iris bekerja di rumah sakit pilihannya adalah perjodohan Iris dengan Arga. Anak pemilik rumah sakit yang sekaligus anak dari kawan dekat ibunya. Ris, Suara Arga terdengar di ujung sana. Berat dan dalam. Sosok laki-laki itu segera terbayang dalam kepala Iris. Arga adalah laki-laki bertubuh jangkung

107

dengan badan yang tidak terlalu kurus. Rambut ikalnya yang cukup panjang agak menutupi salah satu alis matanya. Aku udah di depan gang kontrakan kamu, nih. Iris akan berkata, pergilah sana sendiri! Kalau saja bukan karena ibu yang mengenalkannya dengan paksa pada Arga. Iya, aku sebentar lagi ke situ. Jangan lama-lama ya, sayang. Tut. Iris sengaja memperlambat prosesi-siap-siap-berangkat-kerja-nya. Kalau saja Pria Bunga yang membisikkan kata-kata itu di telinganya, Iris tentu akan segera berlari menuju tempatnya menunggu secepat yang ia bisa.

Sedan hijau metalik itu terparkir di depan seberang gang tempat tinggal Iris. Pengemudinya bersandar pada pintu mobil. Arga. Tersenyum pada Iris. Iris balas tersenyum pada laki-laki itu. Lama-lama ia mulai lelah dengan segala kepura-puraan ini. Sedikit berharap Arga menyadarinya, lantas meninggalkannya. Tapi, sayangnya hal itu tidak terjadi. Arga melingkarkan lengannnya di pinggang Iris. Menunduk sedikit dan mengecup pipi kanan Iris. Perlakuan yang seperti biasa dilakukannya setiap pagi. Iris cuma akan tersenyum sebagai balasannya. Tak berniat melakukan hal yang sama pada laki-laki itu. Sama sekali tidak. Arga berputar dan membukakan pintu untuk Iris. Iris mengikutinya dari belakang. Lantas duduk di kursi sebelah pengemudi. Tempat Arga akan duduk. Kamu udah sarapan, Ris? Arga memakai sabuk pengamannya, menoleh pada Iris. Iris mengangguk, meski sesungguhnya ia belum sarapan. Udah, tadi aku sempet ke warteg deket kontrakan aku. Warteg deket kali itu? Mobil mulai meninggalkan tempatnya terparkir tadi. Iris mengangguk-angguk. Dua tahun cukup bagi Iris untuk memahami bahwa Arga sangat menjaga kebersihan. Manusia higienis yang sangat membenci warteg dekat kontrakan Iris. Lebih tepatnya, membenci semua warung makan kecil di pinggir jalan dan warteg-warteg kecil di ujung-ujung gang. Iris hanya berharap Arga akan merasa

108

Iris terlalu jorok untuk menjadi pendampingnya, dan segera membatalkan pertunangan mereka. Makanannya enak kok di situ. Sekali-sekali kamu harus coba, Ga. Arga bergidik sekali, Iris tertawa-tawa di dalam hati. Itu nggak higienis, Iris. Siapa tahu banyak bakterinya. Jangan-jangan air masaknya diambil dari kali situ juga. Ah, dari dulu aku emang makan makanan kayak gitu, Ga. Dan buktinya aku masih sehat wal afiat. Tubuhku jadi kebal sama bakteri-bakteri itu... Iris mengikik pelan. Nih ya, makanan nggak higienis itu sumber banyak penyakit, ... Arga mulai menceramahi Iris. Iris memilih memandangi jalanan alih-alih mendengarkan Arga melakukan ceramah paginya seputar makanan bergizi. Kemacetan seakan tak lagi terasa mengesalkan bagi Iris yang hampir setiap hari harus bergumul dengannya. Iris menyapu pandangannya ke jajaran toko di sisi kiri jalan. Mata Iris tak sengaja menangkap sebuah toko bunga di sana. Jantungnya mencelos. Toko itu tampak baru. Sekian lama Iris melalui jalan itu, baru kali ini ia melihatnya. Pegawai toko itu sedang sibuk mengangkut ember-ember bunga dari sebuah mobil colt hitam menuju tokonya. Pria berambut pendek dengan kumis dan janggut yang seperti baru dicukur secara asal... Iris mengerjapkan matanya beberapa kali. Akhirnya menyadari bahwa ia salah lihat. Pria di toko itu masih terlalu muda. Aku nggak tahu kalau kamu tertarik sama bunga-bunga, Ris. Iris buru-buru menoleh. Sadar bahwa Arga sudah selesai dengan kuliah tentang makanan bergizinya itu dan kini tengah memperhatikan dirinya. Emang nggak tertarik, kok. Itu barusan kamu antusias banget ngeliatin toko bunga di pinggir jalan. Arga tersenyum menggoda. Iris cepat-cepat menggeleng, Aku cuma lagi ngebayangin kalau tiba-tiba kamu jemput aku pakai colt tadi.

Merawat anak-anak kecil di rumah sakit sangat menyenangkan bagi Iris. Sejak dulu ia memang selalu suka anak-anak. Dan anak-anak juga selalu nyaman di dekat

109

Iris. Mungkin itulah yang membuat Iris ditempatkan di bagian perawatan anak yang ada di lantai tiga. Setiap selesai memberikan obat pada peri-peri kecil itu, Iris akan mencuri waktu sejenak untuk mengintip langitnya tercinta. Satu-satunya waktu bagi Iris untuk sejenak berhenti dari segala kepura-puraannya dan menjadi dirinya sendiri. Dirinya yang masih seperti Iris tujuh tahun yang lalu, yang suka bertengger di pinggir jendela dan memandangi langit, memandangi jalan, memandangi Pria Bunga yang kini entah ada di mana. Terkadang Iris merasa usang dan berpikir untuk melebur saja dengan diri pura-puranya itu. Tapi sebagian kecil dirinya yang usang memaksa Iris untuk tetap bertahan. Setidaknya sampai ia tak bisa lagi membedakan mana yang pura-pura dan mana yang nyata. Ponsel Iris bergetar di saku bajunya. Iris merogohnya. Membaca tulisan yang berkelip di sana. Satu pesan masuk. Dari Arga: Ris, aku tunggu di lobi ya. Kita makan siang bareng. Iris mengetik sebuah balasan: oke. Perlahan Iris beringsut dari spot favorit barunya itu. Siap untuk makan siang dengan Arga, sang calon suami. Siap untuk kembali berpura-pura lagi.

Arga menyodorkan sejumlah kartu undangan aneka rupa ke hadapan Iris. Iris nyaris tersedak nasi yang tengah dikunyahnya. Selera makannya hilang mendadak akibat melihat kartu-kartu itu. Iris sungguh berharap September tidak datang semakin cepat karena kartu-kartu itu sudah muncul di hadapannya. Arga tersenyum, menatap Iris dengan berseri-seri. Tatapan yang berharap Iris akan antusias membolak-balik kartu-kartu itu, kemudian memilih salah satunya. Menyerahkan pada Arga sambil memberikan pendapatnya seputar kartu pilihannya. Kamu suka yang mana, Ris? Iris meneguk air minumnya. Mengelap mulutnya dengan tisu. Hanya memandangi kartu-kartu undangan itu tanpa sedikit pun tergerak untuk mengambil salah satunya. Kamu suka yang mana, sayang? Arga mengulang sekali lagi. Mungkin i a mengira Iris tak mendengar kata-katanya tadi.

110

Harus... harus aku pilih sekarang, Ga? Sedikit ragu, Iris mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Arga. Kalau aku pilihnya nggak sekarang... boleh? Arga menarik tangan Iris yang menggenggam tangannya, menatap mata Iris dengan tatapan yang tidak Iris suka. Iris, maksud aku, kamu pilih sekarang biar nanti kalau sudah makin dekat waktunya, kita nggak repot lagi. Kamu aja deh yang pilih, Ga. Aku setuju-setuju aja kok sama pilihan kamu. Aku lagi nggak mood buat milih-milih kartu. Tidak akan pernah mood itu ada. Tidak akan... Gini deh, kamu bawa kartu-kartu ini, nanti kalau sudah kamu pilih. Tinggal bilang ke aku. Jadi jangan semua aku yang milih, Ris. Arga tersenyum. Mengingatkan Iris pada senyum-senyum yang sama ketika Arga memintanya memilih tempat resepsi, ketika Arga memintanya menentukan konsep pernikahan mereka, Gimana? Iris memutuskan untuk mengangguk kecil, seakan menyetujui ide tersebut. Iris merasa Arga seharusnya tahu. Tahu bahwa sejak dua tahun lalu, sejak pertama kali ibu dan orangtuanya mengatakan mereka akan menikah, Iris tak pernah sedikitpun benar-benar menerima. Tak pernah benar-benar menerima dan setuju pada semua keputusan ibu, orangtua Arga, ataupun Arga sendiri. Sama seperti saat siang itu, kartu-kartu yang masuk ke dalam tas Iris itu hanya akan jadi alat penghilang gerah saja di kontrakan. Malah mungkin juga hanya akan menghuni tas Iris saja tanpa disentuh si empunya. Kabarin aku secepatnya ya, Ris. Arga berbisik di telinga Iris sebelum mereka memasuki lobi rumah sakit. Tunggu aja ya, Ga. Iris tersenyum. Tunggu lah sampai entah kapan.

Sabtu. Satu hari spesial bagi Iris karena hari itu adalah waktunya untuk berkumpul bersama Eta dan Egi. Satu hari di akhir minggu yang memang sengaja dipilih Iris agar Arga tak punya banyak kesempatan untuk mengajaknya jalan keluar. Iris akan menghabiskan waktu seharian bersama kedua sahabatnya itu dalam bentuk

111

makan, nonton, atau piknik ke tempat wisata. Dan terkadang, Iris berharap Pria Bunga-nya bisa ikut serta. Hanya berharap. Hari itu, Iris, Eta, dan Egi terdampar di daerah Gunung Bundar, Jawa Barat. Duduk di sebuah warung kopi pinggir jalan setelah menikmati wisata air terjun yang tempatnya tidak terlalu ramai. Iris dan Eta sibuk memperhatikan uap yang keluar dari mulut mereka saat bernapas. Baru kemudian menyadari bahwa cuaca memang sangat dingin hingga uap-uap itu tercipta. Egi cuma tertawa melihat kekonyolan dua perempuan di hadapannya itu. Apakah semua perawat kelakuannya seperti kalian berdua gini? Egi mengekeh pelan. Iris menggeleng, Tergantung, Gi. Kalau yang kerja di rumah sakit jiwa... lebih parah! Kalau begitu ini aneh... Aneh gimana? Eta menyambar. Kok yang kayak kalian bisa-bisanya nggak kerja di rumah sakit jiwa. Dua pukulan langsung mendarat di kedua lengan Egi yang mengikik bahagia. Tiba-tiba saya jadi kepikiran, kalau Iris nggak nyusruk ke toko bunga Pak Ranu, mungkin kita nggak bisa kayak gini ya... Jantung Iris berdegup kencang saat mendengar nama itu disebut Egi. Angin yang menerpa kulit Iris mendadak terasa semakin dingin. Seingat Iris, nama itu tak pernah disebut selama hampir tujuh tahun ini. Iris tak ingin benteng pertahanan yang telah dibangunnya bertahun-tahun harus runtuh malam itu dan berakhir dengan dirinya yang menanyakan: Pak Ranu sekarang ada di mana? Beli kopi lagi ya, mulai tambah dingin nih kayaknya. Iris nyengir lebar, segera berdiri dan masuk ke dalam warung. Benar-benar tak ingin membicarakan soal Pria Bunga. Pria itu sudah berusaha menghindarinya demi ibu Iris. Jika begitu, maka satu-satunya yang bisa Iris lakukan adalah melakukan hal yang serupa.

Hampir setiap akhir minggu, kini Iris bolak-balik keluar masuk toko-toko kebaya, toko perhiasan, dan menemui event organizer untuk mengurus pernikahannya dengan Arga. Iris sempat mencurigai ini merupakan cara Arga mendapat perhatiannya

112

di akhir minggu. Mengurangi waktu Iris untuk sekadar mengobrol dengan Eta dan Egi. Arga malah makin memenuhi akhir minggu Iris dengan acara kumpul-kumpul dengan keluarga besarnya. Kadang mengunjungi ibu Iris di Bogor setiap mereka selesai dengan urusan pernikahan yang lama-lama bikin Iris semakin muak. Iris menyerahkan satu contoh kartu undangan yang sudah ditanyakan Arga sepanjang minggu itu. Telinga Iris letih mendengar Arga menanyakan hal yang sama tiap kali mereka bertemu. Undangan, undangan, dan undangan. Persis seperti kaset yang sudah rusak dan memutar bagian pita yang sama berulang-ulang. Ia letih mengelak dan mulai kehabisan alasan. Aku suka yang ini. Iris menyodorkan kartu undangan itu pada Arga, Cocok sama konsep pernikahan kita, Ga. Pernikahan. Iris mengulangi kata itu dalam kepalanya. Suatu prosesi sakral yang seharusnya dilakukan sepasang manusia yang saling mencinta. Saling menyayangi dengan penuh ketulusan. Bukan karena perjodohan. Bukan. Arga memandangi kartu undangan dalam genggaman tangannya. Hanya selembar kartu tanpa amplop. Berwarna putih kehijauan dengan hiasan bunga-bunga clover di ujung salah satu sisinya. Musim Semi. Sesuai dengan konsep pernikahan mereka, musim semi, musim ketika cinta ikut bersemi. Arga tersenyum. Kelihatan puas sekali. Mungkin puas karena pada akhirnya Iris memilih satu kartu untuk segera dicetak seperti yang ia minta. Bagus. Aku juga suka. Arga menggenggam tangan Iris. Memandangi Iris sejenak. Matanya memancarkan aura hangat yang tulus. Baru sekali itu Iris melihat tatapan Arga yang sedemikian lembut. Terima kasih, Iris. Terima kasih. Arga membelai lembut jemari tangan Iris. Terima kasih karena telah datang di kehidupanku. Kamu tahu, aku selalu berpikir bahwa perjodohan ini memang sudah ditakdirkan Tuhan. Bahwa orangtua kita hanya perantara, dan jujur saja, aku tidak pernah keberatan. Iris merasa pernikahan memang tak seharusnya didasari oleh perjodohan. Tapi detik itu ia berpikir, mungkin, mungkin perjodohan akan menghadirkan rasa cinta yang mendasari pernikahan itu. Mungkin ibu memang benar, Arga lah yang terbaik buat Iris. Mungkin... Iris balas menggenggam tangan Arga, untuk yang pertama kalinya, dengan tulus ia tersenyum, Aku juga.

113

Ada hidup yang harus bergerak maju. Membiarkan yang berlalu agar tetap berlalu. Bukankah semua yang terbaik, selalu datang dari ibu? Bukankah selalu begitu?

Pasien baru di ruang perawatan anak yang datang sore itu sangat mengusik ingatan Iris. Seorang gadis kecil yang datang dibawa oleh nenek dan kakeknya. Entah kenapa wajah anak itu terasa tidak asing dalam ingatan Iris. Iris seperti pernah melihat gadis kecil itu di suatu tempat. Tapi ia tidak ingat di mana. Iris melirik kartu pasien anak itu. Jantungnya berdebar ketika ia membaca nama yang tertera pada kartu pasien itu, Lilac Asteria. Iris menatap wajah anak itu sekali lagi. Ada jutaan nama Lilac di dunia. Ia menggeleng pelan pada dirinya sendiri. Jika anak ini memang putri dari Pria Bunga-nya, maka pria itu pasti sudah ada di sini, bukannya malah diantar nenek dan kakeknya. Iris menusukkan jarum infus pada tangan gadis kecil itu. Ada perasaan aneh yang menghinggapi Iris ketika tangannya menyentuh tangan gadis itu. Kenapa terasa begitu dekat? Begitu... akrab? Bu, tolong pasien ini jangan diganggu ya, Bu. Anak ini butuh istirahat. Nanti akan ada perawat yang datang beberapa jam sekali untuk mengganti botol infusnya. Permisi, Bu. Iris tersenyum pada perempuan baya di sebelah kasur gadis kecil itu. Ada raut-raut kecemasan pada wajah perempuan itu. Perempuan itu balas tersenyum dan mengangguk kecil. Mengingatkan Iris pada wajah ibunya tiap kali Iris jatuh sakit. Terima kasih ya, suster. Kalau ada sesuatu pada pasien, ibu bisa memijit tombol ini ya, Bu. Iris menunjuk satu tombol di sisi tempat tidur. Perempuan itu mengangguk lagi. Iris menutup sedikit tirai yang mengelilingi tempat tidur si gadis kecil sebelum meninggalkan tempat itu. Ia masih memandangi kartu pasien gadis kecil tadi. Lilac Asteria. Lilac. Pikiran Iris melayang pada satu toko bunga yang papan namanya ia eja hampir setiap hari. Pada pemiliknya yang tertawa pelan pada satu senja dan mengatakan akan membawa si empunya nama pada Iris suatu hari nanti. Sayangnya nanti itu tak pernah datang. Iris tersenyum sendiri. Merasa lucu karena memori-

114

memori yang sedang berusaha ia hapus satu-satu malah kembali terbuka hanya karena sebuah nama yang belum tentu berasal dari sosok yang sama. Hey, Ris! Arga berdiri di depan lift ketika pintunya membuka, tersenyum pada Iris. Iris menyimpan kartu pasien yang sedari tadi ia pandangi. Kamu sudah selesai? Iris mengangguk, Iya. Kamu? Aku mau ambil kunci mobilku di atas. Ketinggalan di laci meja kayaknya. Kamu tunggu aku di lobby aja ya. Iris mengangguk. Ia buru-buru keluar lift. Arga melambai kecil padanya. Berkomat kamit tanpa suara: See You!

Iris paling suka bekerja di pagi hari. Saat rumah sakit belum terlalu ramai sekali dan para kerabat yang menemani masih separuh tertidur di sepanjang koridor rumah sakit atau pun di tepi kasur si pasien. Iris membawa beberapa botol infus, dan paket-paket obat yang akan ia berikan pada pasien-pasien mudanya di lantai tiga. Ia membayangkan beberapa pasien kecilnya pasti masih lelap tertidur. Iris berbelok ke dalam ruang perawatan anak. Kasur yang pertama ia hampiri adalah kasur gadis kecil yang tiba kemarin sore itu. Iris dengar anak itu terjaga sepanjang malam tadi. Mungkin karena sore harinya gadis kecil itu sudah cukup tidur. Jika begitu tentunya pagi ini anak itu masih tertidur nyenyak. Perlahan, Iris menarik tirai yang menutupi kasur gadis kecil itu hingga terbuka separuh. Benar saja, anak itu masih tertidur pulas. Iris menangkap dua sosok yang duduk di sebelah kasur gadis itu. Seorang perempuan dan... napas Iris tercekat ketika matanya bertemu dengan mata si pria yang duduk bersisian dengan perempuan itu. Seluruh sendi di tubuh Iris mendadak kaku. Tak bisa digerakkan. Pria itu. Wajahnya masih melekat dalam ingatan Iris. Wajah yang sedang berusaha Iris hapus dari dalam kepalanya. Tak mungkin salah. Kumis dan janggut tipis yang tak pernah berubah. Garis-garis kedewasan pada wajahnya yang masih sama. Pria Bunga. Pak Ranu. Jantung Iris berdebar sangat kencang. Iris merasa suasana menjadi nyenyat seketika. Seakan tak ada manusia lain dalam ruangan itu. Seakan hanya dirinya dan

115

Pak Ranu lah yang terpaku di tempat masing-masing. Iris menatap Pak Ranu tanpa sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Iris mengalahkan kekakuan sendi-sendi tubuhnya, ia mengerjapkan matanya. Sedikit berharap Pak Ranu segera menguap hilang setelah matanya mengerjap. Bahwa sosok yang ia lihat duduk di hadapannya itu tidak benar-benar nyata. Tapi harapannya sirna setelah sosok itu masih duduk tegak di hadapannya. Pikiran Iris kembali dalam ruang perawatan anak. Suara-suara di sekitarnya kembali terdengar. Perempuan di sisi Ranu segera menarik perhatian Iris. Istri barunya kah? Iris mengumpulkan segenap suaranya yang dicuri mata Pak Ranu sedetik tadi. Ia berusaha tersenyum dengan ramah. Pagi, Pak, Bu. Iris merasa lebih mudah jika dia pura-pura tidak mengenal Pak Ranu. Terutama jika perempuan cantik yang memandangi Ranu di sisinya itu memang benar-benar ibu baru Lilac. Permisi sebentar, saya mau mengganti botol infus. Cekatan, Iris mengganti botol infus Lilac dengan yang baru. Ia enggan berlama-lama di situ. Sulit menahan ledakan rasa yang sudah menekan kerongkongannya. Sulit menahan matanya untuk tidak mengalirkan air dengan segera. Napas Iris terasa berat. Tangannya agak gemetar. Iris berusaha menjejak tanah kuatkuat meski lututnya terasa lemas. Sakit rasanya melihat sosok yang ia rindukan selama hampir tujuh tahun lamanya duduk bersisian dengan perempuan lain, sedang menunggui anaknya yang jatuh sakit. Hal manis yang membuat Iris justru merasa sakit. Pria itu sudah punya kehidupan baru. Seperti juga halnya Iris yang akan segera punya kehidupan baru. Akan lebih baik jika mereka tetap begini. Menganggap apa yang terjadi tujuh tahun lalu itu adalah sebuah kekeliruan besar. Botol infus telah terpasang sempurna. Iris menoleh pada Pak Ranu dan si perempuan cantik itu, Permisi, Pak, Bu. Tolong anaknya jangan diganggu dulu, anak ini butuh istirahat yang cukup. Mari, Pak... Bu... Iris tersenyum. Ia menutup tirai seperti semula. Cepat, tapi berusaha agar tidak terlihat terlalu buru-buru. Iris menghela napas dalam-dalam sambil bergerak menuju kasur selanjutnya. Ada yang hangat mengalir dari ujung matanya. Iris cepat-cepat menyusutkan aliran itu dengan tangannya. Mengerjapkan matanya berkali-kali. Benar-benar tak menyangka akan bertemu Pak Ranu di waktu seperti ini, dengan perempuan itu di sisinya. Iris tahu ada luka yang kembali menganga di dalam dadanya karena sakitnya kembali terasa.

116

Tak kusangka sudah ada dia di sana. Duduk di tempatku semula. Tidakkah kau tahu, tujuh tahun tak juga membuatku lupa? Lupa pada sesuatu yang bernama cinta.

Iris duduk di dekat tempat satpam tepat di sebelah pintu masuk rumah sakit. Jam kerja Iris sudah berakhir sejak pukul tiga. Iris menanti Arga datang sambil melamun menatap angkasa. Wajah Pak Ranu yang tadi pagi dilihatnya masih membayang dalam benak Iris. Tak ada yang berubah dari sosok pria yang pernah dan masih Iris idamkan itu. Hanya satu yang berbeda, adanya si perempuan cantik itu di sisinya. Perempuan yang beruntung. Iris menghela napasnya, panjang dan dalam. Masa lalu memang tak bisa dibawa menyeberang waktu. Masa lalu akan tetap beku di tempatnya dahulu. Dan Iris adalah bagian dari masa lalu Pak Ranu yang harus merelakannya berlalu dengan perempuan masa depannya. Ris, Iris menoleh, Arga melambai ke arahnya. Maaf, hari ini aku kebagian shift malam. Kamu pulang naik taksi aja ya, sayang. Nggak apa-apa kan? Dan... lakilaki yang ada di hadapan Iris itulah yang akan menjadi laki-laki masa depannya. Nggak apa-apa. Iris tersenyum, Aku naik bus aja juga nggak apa-apa. Naik bus? Berjejalan sama orang-orang yang berkeringat itu? Arga menggeleng, Ngebayanginnya aja aku udah ngeri. Naik taksi aja. Iris menarik tangan Arga, tertawa pelan. Mungkin lelaki higienis ini memang yang terbaik bagi Iris. Lelaki yang dicintai ibunya. Lelaki yang membahagiakan ibunya. Bukankah apa yang dicintai ibu juga dicintai Iris? Bukankah yang membahagiakan ibu juga membahagiakan Iris? Bukankah yang terbaik bagi ibu adalah yang terbaik bagi Iris juga? Iris menatap mata Arga dalam-dalam. Membisiki hati kecilnya agar menurut dan tidak rewel: yang berlalu harus tetap berlalu. Pak dokter, sejak kecil, aku udah biasa naik bus. Jadi tenang aja. Nggak sejorok itu juga kok, Pak dokter. Cuma wanginya aja yang kadang suka bikin nggak nahan. Arga menatap Iris dengan heran. Sebelah alisnya terangkat. Iris masih tersenyum padanya. Kamu kenapa?

117

Kenapa apa? Kayaknya... ada yang beda. Beda? Bukan beda. Iris hanya kembali menjadi dirinya yang telah lama hilang. Kembali menjadi Iris sebelum pertemuannya dengan Pak Ranu. Kembali menjadi Iris yang hatinya utuh setelah selama tujuh tahun, separuhnya hilang dicuri orang. Kembali. Masa? Perasaan kamu aja, Ga. Mungkin... karena kamu nggak enak nggak bisa nganter aku pulang, jadi ngerasa ada yang beda deh. Iris menjulurkan lidahnya sedikit. Arga tertawa. Maaf ya Nona Suster, pak dokter harus menunaikan kewajibannya melayani masyarakat dulu. Iya, nona suster memaklumi kok, Pak Dokter. Iris nyengir lebar, ia melirik jam tangannya, Aku pulang sekarang ya, Ga. Udah kesorean. Hati-hati ya, siapa tahu ada yang nemenin kamu pas jaga malam nanti. Aku udah jadi sahabat mereka semua dari dulu, Nona Suster. Pantes aja mukamu serem! Iris mengekeh sambil melangkah cepat meninggalkan Arga yang bertolak pinggang dengan ekspresi sok-marah. Udah ah, ngobrol sama kamu nggak ada habisnya, aku pulang sekarang, ya. Daahh! Iris melambai sambil tertawa-tawa. Arga sudah meluruskan tangannya lagi, tersenyum, dan balas melambai. Hati-hati ya, Ris! Iris mengacungkan ibu jarinya. Berbalik dan menghadapi jalan raya. Jalan yang sama seperti tahunan lalu. Jalan yang biasanya ia lalui setengah hati. Tapi, hari itu ada yang berbeda. Hari itu, Iris merasa, mungkin jalan itu adalah jalan yang terbaik yang pernah ia lalui.

Iris memandangi nama Arga di layar ponselnya. Melirik jam dinding di atas kasurnya. Pukul satu pagi. Apa yang akan dilakukan seorang calon istri yang baik saat pasangannya tengah menunaikan kewajibannya melayani masyarakat?

Menghubunginya. Ya. Iris memutuskan untuk menjadi calon istri yang baik bagi Arga mulai hari itu, yang lebih tulus.

118

Ibu jari Iris memijit tombol berlogo telepon warna hijau. Terdengar nada tunggu. Sebentar kemudian suara Arga menyapa telinganya. Halo Nona Suster, maaf lama, aku lagi ngobrol sama seseorang. Ohh, jadi aku ganggu nih? Cewek ya pasti. Aku tutup deh kalau gitu... Iris tersenyum. Berapa lama ia tak pernah menganggap Arga ada dan memperlakukannya seperti ini? Eitss, bukan kok, sayang. Dia orangtua pasien. Bapak-bapak, Ris. Jarangjarang kamu nelepon aku, aku nggak rela kalau langsung ditutup... Iris tertawa pelan. Pasien kamu? Bukan... Arga mengekeh, kebetulan aja ketemu di kantin rumah sakit. Anaknya salah satu pasien di ruang anak, Ris. Aku iseng tanya-tanya. Jadi kepikiran, kalau jadi orangtua mungkin begitu lah pengorbanannya. Nungguin anak di rumah sakit. Oh ya? Pasien yang aku rawat dong. Sakit apa? Parah? Gejala tyfus. Deg... Ris? Hanya satu anak di lantai tiga yang menderita gejala tyfus. Seorang anak perempuan. Lilac. Lilac Asteria. Ris? Dan Arga baru saja berbincang dengan orangtuanya. Ayahnya. Halo, Ris? Pria Bunga. Kamu... kamu cerita apa aja, Ga? Cerita soal kamu. Arga mengekeh lagi, Nggak tahu kenapa, aku ngerasa dekat aja sama bapak-bapak tadi. Iris meneguk ludahnya sendiri. Maaf, Ga. Ponselku lowbat. Sampai ketemu besok ya, Ga. Ya? Oh, ya ya. Sampai ketemu besok ya, Ris. Makasih ya udah sempat nelepon aku. Mimpi indah, Nona Suster... Tut.

119

120

APA KABAR, BUNGA?


Manis, berapa lama kita tak berjumpa? Kuharap kau bahagia. Seperti setiap kali kumelihat dirimu tertawa di dalam kepala. Ya, hanya di dalam kepala.

Hamparan kebun bunga berwarna kuning-putih menjadi satu-satunya embusan nyawa bagi Ranu. Ia akan berkutat dengan bunga-bunga krisannya sepanjang hari. Satu-satunya cara untuk menghilangkan sejenak bayang-bayang seorang gadis di Jakarta yang sudah tak pernah dilihatnya lagi selama hampir tujuh tahun. Saat senja tiba, Ranu akan kembali ke rumah sederhananya yang tak begitu jauh dari kebun mungilnya itu. Malam hari, Ranu akan kembali menyerah pada otaknya yang belum juga mampu mengusir sosok Iris dari tiap lipatannya. Ranu menggenggam gantungan kunci berbentuk bunga matahari erat-erat. Kabar terakhir yang Ranu dengar dari Egi adalah kelulusan gadis itu dengan nilai terbaik dari kampus dan bekerja di rumah sakit yang direkomendasikan oleh Irene. Egi tak pernah membahas Iris lagi sejak kira-kira dua tahun yang lalu. Meski Ranu akan cukup terhibur mendengar kabar sekecil apapun tentang gadis itu. Ia mengantongi gantungan kunci itu saat mendengar ketukan dari pintu rumahnya. Ranu bergegas keluar dari kamarnya. Hampir yakin siapa yang ada di depan pintu rumahnya. Ini tadi teh ngadamel bala-bala agak lebih, silakan dicobaan, Kang.5 Seorang perempuan muda berdiri di hadapan Ranu. Tersenyum sambil menyodorkan piring berisi bakwan goreng. Rambut hitamnya yang panjang, digulung setinggi lehernya. Aini. Perempuan di hadapan Ranu itu selalu datang tiap beberapa hari sekali. Mengirim sepiring makanan kecil pada Ranu. Aini adalah tetangga Ranu yang ibunya membuka usaha warung kopi kecil-kecilan. Aini adalah anak sulung keluarga tersebut. Pak Asep dan Istrinya, orangtua Aini, tak pernah mempermasalahkan kedekatan Aini dengan Ranu. Meski paham betul dengan status Ranu. Aini adalah

Ini tadi saya bikin bakwan agak lebih, silakan dicobain, Kang.

121

perempuan yang paling senang mengajak Lilac-nya bermain jika anak itu sedang berlibur di tempat Ranu. Nuhun atuh, Ni.6 Ranu menerima piring itu dari tangan Aini. Balas tersenyum. Bikin perempuan itu tersipu dan mengalihkan matanya ke kaki-kakinya sendiri. Saya jadi ngarepotkeun, ya..7. Aini cepat-cepat menggeleng, Teu nanaon, Kang.8 Aini mendongak lagi, menatap mata Ranu. Sinar mata Aini mengingatkan Ranu pada Iris. Malam terakhir pertemuannya dengan gadis itu. Kebohongan besarnya... Saya permisi sekarang, Kang. Tidak enak dilihat orang malam-malam saya ada di sini. Ranu tersadar dari lamunan sekilasnya barusan. Ia mengangguk-angguk kecil. Ini piringnya mau langsung kamu bawa atau saya yang antar besok? Biar besok saya saja yang ambil, Kang. Aini tersenyum lagi. Mari, Kang... Perempuan itu segera beranjak dari teras rumah Ranu. Ranu memperhatikan perempuan itu hingga sosoknya memasuki pekarangan di sebelah rumah Ranu. Ranu menatap piring di tangannya. Kalau saja Iris yang memberikan piring itu padanya, rasanya pasti berbeda.

Sepiring nasi, satu telur ceplok, dan kopi susu hangat menjadi sarapan pagi rutin Ranu selain sebungkus nasi uduk yang kadang ia beli di warung dekat rumahnya. Ranu duduk seorang diri di meja makannya. Hanya sesekali dalam setahun ia bisa duduk di sana bersama Lilac-nya yang sedang berlibur. Ranu melirik kalender di dinding dapur itu. Liburan sebentar lagi dan Lilac-nya tentu akan mengunjungi Ranu di Cihideung. Ranu merapikan seluruh peralatan makannya dan segera berangkat menuju kebun mungilnya. Sebentuk kabut tipis masih menyapa ketika Ranu keluar dari rumahnya. Ia selalu berjalan kaki ke kebun mungilnya, memakai sweater tebal sebagai penghalau suhu rendah ala pegunungan. Ranu berjalan dengan sangat hati-hati. Tanah di jalanan desa selalu agak lebih lembek di pagi hari akibat embun yang membasahinya.
6 7

Terima kasih, Ni. Saya jadi merepotkan, ya. 8 Tidak apa-apa, Kang.

122

Langkah Ranu terhenti saat ia melihat Aini baru saja keluar dari pekarangan rumahnya. Entah kebetulan atau bukan, hampir setiap pagi Ranu berpapasan dengan perempuan itu. Aini berangkat ke pasar untuk membeli keperluan dagang warung kopinya dan Ranu berangkat menuju kebun mungilnya. Mereka akan menyusuri jalan yang sama, berbincang hangat sampai berpisah di persimpangan jalan. Ranu berbelok sementara Aini lurus mencari angkutan untuk ke pasar. Perbincangan hangat mereka terkadang membuat Ranu merasa tak enak pada perempuan itu. Ranu memperlambat langkahnya sedikit, berharap Aini tak menoleh dan melihat dirinya bergerak bagai siput tua. Doa Ranu tak dikabulkan. Aini keburu menyadari keberadaannya yang hanya terpaut tiga langkah di belakang Aini. Perempuan itu tersenyum, Heran, kenapa selalu bareng Kang Ranu yah kalau pagi? Aini tertunduk. Pipinya bersemu merah. Saya juga... heran. Ranu balas tersenyum. Neng Lilac teu ka Lembang9, Kang? Biasanya tanggal-tanggal segini neng Lilac sudah datang... Aini melirik Ranu. Mungkin minggu depan. Lilac masih sibuk ngurus sekolah baru. Tahun ini masuk smp ya, Kang? Tos gede nya neng Lilac...10 Iya. Anak itu sudah besar sekarang... Ranu teringat Lilac-nya yang dulu masih sering minta gendong, minta dibelikan mainan-mainan, dan tak pernah sungkan ketika Ranu mengecup pipinya dengan penuh cinta. Tidak seperti tahun-tahun belakangan ini. Lilac-nya selalu mengomel tiap kali Ranu hendak mengecup dahinya. Salah satu tanda bahwa anak itu memang sudah besar sekarang. Ditambah dengan garis-garis wajahnya yang semakin menyerupai ibunya, Aster, berikut cerewetnya jika Ranu tidak mencukur habis kumis serta janggutnya. Lilac benar-benar persis Aster. Geulis pasti nya neng Lilac.11 Ranu tertawa pelan, Cantik. Cantik sekali. Semakin mirip ibunya. Aini terbatuk sekali sebelum akhirnya tak berkomentar lagi. Ranu baru menyadari jika dia salah ucap saat Aini tak berbicara apa-apa lagi. Sisa perjalanan mereka lanjutkan dalam sepi. Hingga Ranu pamit dan berbelok ke jalan yang berbeda dengan Aini. Ranu merasa tak enak hati.

Tidak ke Lembang Sudah besar ya neng Lilac 11 Cantik pasti ya negn Lilac.
10

123


Sabtu. Ranu menanti di depan rumahnya dengan tidak sabar. Ia berpakaian rapi dan mencukur habis kumis serta janggut tipisnya. Semalam Lilac

menghubunginya dan bilang akan datang hari ini untuk berlibur di rumah Ranu selama seminggu penuh. Anak itu biasanya diantar salah satu supir toko material kakeknya sampai ke rumah Ranu dengan menggunakan mobil. Saat pulang nanti pun Lilac akan dijemput dari rumah Ranu. Sebuah mobil Kijang merah mulai tampak di kejauhan. Ranu tersenyum sendiri. Menduga-duga perubahan apa yang akan dilihat pada Lilac-nya kali ini setelah hampir satu tahun Ranu tidak bertemu dengannya. Mobil itu berhenti di depan rumah Ranu. Tepat di dekat Ranu berdiri dan menanti. Ranu segera membuka pintu itu, tersenyum pada gadis kecilnya yang kini berambut panjang tebal, bertambah tinggi satu-dua senti, dan wajah semakin menyerupai ibunya, Aster. Capek, sayang? Ranu mengangkat koper Lilac dari mobil. Lilac menggeleng, tersenyum. Nggak terlalu. Ranu menoleh sebentar pada supir yang mengantar Lilac, Mas, nggak mau mampir dulu? Nggak usah, Pak. Saya langsung pulang saja. Mari, Pak! Mobil kijang itu berputar, meninggalkan asap di belakang Ranu dan Lilac yang berjalan masuk ke rumah. Lilac berjalan lebih dulu. Ranu tak ingat terakhir kali anak itu masih menggandeng tangannya saat mereka berjalan beriringan. Lilac memilih duduk di kursi ruang tamu. Bersandar pada kursi itu. Meletakkan ranselnya di atas meja. Ranu berjalan ke dapur untuk mengambilkan air. Lilac boleh ke rumah teh Aini, Yah? Lilac menegakkan tubuhnya lagi dengan wajah berseri-seri. Ranu melirik gadis itu. Tak pernah habis pikir, kenapa anak itu malah lebih merindukan Aini ketimbang ayah kandungnya sendiri. Ranu menggeleng. Masih sibuk membuatkan teh hangat. Nanti, Lilac. Kamu kan baru sampai. Yaaaahh, Ayah... Lilac melorot di kursinya. Ranu membawa segelas teh hangat itu ke ruang tamu dan menyerahkannya pada Lilac. Membelokkan pembicaraan dari sosok perempuan itu. Gimana SMP kamu? Sudah diterima?

124

Lilac menyeruput teh hangatnya. Mengangguk-angguk senang. Lilac diterima di SMP favorit! Gadis kecil itu senyum-senyum penuh kemenangan, Lain kali kalau Ayah ke Jakarta, harus mampir ke sekolah Lilac yang baru. Tempatnya bagus, ekskulnya juga bagus. Rencananya Lilac mau ikut pramuka, boleh ya, Yah? Ranu cepat-cepat menggeleng. Membayangkan gadis kecilnya ikut latihan camping saja sudah membuat kepalanya pusing. Ranu merasa menggendong carryl dan berjalan di hutan belantara sepertinya bukan ekskul yang baik untuk buah hati satu-satunya itu. Ikut yang ringan-ringan saja lah... paduan suara misalnya? Lilac mengerucutkan bibirnya, Kak Ragil kan adanya di pram... Lilac mendekap mulutnya dengan kedua tangannya. Ranu mengerutkan dahinya. Rasanya barusan ia mendengar nama seseorang disebut oleh Lilac. Lilac buru-buru mengangkat ranselnya. Lilac beres-beres dulu, Yah. Gadis kecil itu cepat-cepat beringsut dari hadapan Ranu. Kak... siapa? Dia siapa, Lac? Ranu menatap gadis kecil itu curiga. Memastikan bahwa telinganya tidak salah tangkap. Jika Lilac mulai dekat dengan lawan jenisnya, maka tidur Ranu akan semakin tidak tenang saja. Bukan siapa-siapa, Ayah! Lilac melongokkan kepalanya dari kamar tamu, Ayah dapat salam dari Nenek, katanya pulang nanti harus ikut Lilac ke Jakarta! Jakarta. Nama kota yang mulai terasa asing di telinga Ranu. Terakhir kali ia ke sana adalah tiga tahun lalu. Itu pun karena ibu mertuanya jatuh sakit dan mengharuskannya pergi ke sana. Sejak Irene, ibu Iris mengunjungi Ranu bertahuntahun lalu. Ranu merasa dirinya tak berhak ada di kota tempat Iris tinggal. Tidak jika ibunya tak menginginkan keberadaan dirinya di sekitar gadis mungil itu. Ranu mulai memikirkan alasan untuk menolak berkunjung ke Jakarta. Ia benar-benar enggan pergi ke sana.

Seminggu ada di Lembang, Ranu merasa Lilac malah menghabiskan waktu lebih banyak dengan Aini ketimbang dengan ayahnya sendiri. Anak itu senang sekali ikut Aini berbelanja ke pasar. Ikut Aini memasak untuk warungnya. Pokoknya sebentar-sebentar Aini, selalu Aini. Pak Asep dan istrinya malah tidak kelihatan direpotkan. Mereka menerima keberadaan Lilac yang bolak-balik muncul ke rumah

125

mereka. Justru Ranu yang merasa dipusingkan. Ranu tak ingin Lilac-nya terlalu dekat dengan keluarga itu. Terlalu dekat dengan keluarga Aini dan membuat para tetangga makin meyakini kasak-kusuk yang beredar, bahwa memang ada sesuatu antara dirinya dengan Aini. Meski sesungguhnya tak ada yang spesial di antara dirinya dan Aini. Tidak. Hanya saja, Aini terlalu baik. Terlalu baik hingga Ranu merasa tak ada salahnya membalas budi baik itu dengan kebaikan yang sama. Kebaikan yang sepertinya justru disalahartikan oleh Aini dan keluarganya. Lilac memeluk Aini sebagai tanda pamit pulang. Ranu memperhatikan perempuan itu membelai kepala anaknya seperti seorang ibu pada anak kandungnya sendiri. Pemandangan yang menggoyahkan pendiriannya. Apakah perempuan itu adalah ibu yang pantas bagi anaknya? Neng Lilac harus sering-sering main ke sini ya, nanti teteh ajarin masakmasak lagi. Aini tersenyum. Lilac mengangguk-angguk dengan penuh semangat. Lilac lalu berbalik, mengecup punggung tangan Ranu sebelum meloncat naik ke dalam mobil. Ranu meletakkan koper anak itu di bagian belakang mobil. Lilac memandangi Ranu sebentar. Ada kesedihan di wajah anak itu. Sepertinya cukup kecewa karena Ranu menolak ikut ke pulang ke Jakarta hari itu. Ayah, Ia menarik lengan Ranu agar mendekat ke pintu mobil, Ayah betulan nggak bisa ikut sekarang? Nanti... nanti nenek marah-marah loh... Ranu mengusap kepala Lilac-nya tercinta. Meminta maaf dari lubuk hatinya yang paling dalam. Dia tahu, bukan ibu mertuanya yang ingin Ranu pulang. Tapi, putri tercintanya. Maaf, sayang. Lain kali ayah mungkin datang ke sana. Tapi, tidak bisa sekarang. Kamu tahu kan kerjaan ayah di sini lagi betul-betul nggak bisa ditinggal. Mungkin nanti ayah nyusul ke sana. Salam saja untuk nenek ya... Bukannya Ranu terlalu pengecut untuk muncul di Jakarta, untuk sekadar berkunjung ke toko bunganya yang kini dikelola oleh Egi. Ranu hanya berusaha memenuhi permintaan Irene, ibu Iris. Tiap kali ia ke Jakarta, kakinya selalu membawa Ranu ke tempat-tempat yang tak seharusnya ia kunjungi. Kunjungan terakhir Ranu ke Jakarta, dia berdiri mematung di depan kosan lama Iris meski tahu gadis itu sudah tidak tinggal di sana lagi. Dan malam itu, Ranu terdampar di taman tempat ia makan malam untuk yang pertama sekaligus terakhir kalinya dengan Iris. Lama Ranu duduk di sana sambil menikmati kembang api yang dibakar para remaja di sekitar situ. Lilac menutup pintu mobil. Mengangguk kecil sambil berusaha tersenyum. Nanti biar Lilac yang bantu bilang ke nenek kalau kebun ayah betul-betul ngga bisa 126

ditinggal sekarang. Lilac lalu melambai pada Ranu. Sampai ketemu di liburan semester depan ya, Ayah! Gadis kecil itu menoleh pada Aini, Sampai ketemu di liburan semester depan ya, Teh Aini! Ranu masih berdiri di depan rumahnya sampai mobil yang mengangkut Lilac tak terjangkau penglihatannya lagi. Ranu melirik Aini yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Perempuan itu masih berusaha melihat mobil Lilac yang telah hilang di ujung jalan. Apakah sebegitu dekatnya perempuan ini dengan Lilac-nya? Ni, punten nya, Lilac saya ngarepotkeun selama nginap di sini.12 Aini menoleh. Tersenyum. Henteu, Kang.13 Belum sempat ketemu ibu sama bapakmu juga, saya jadi nggak enak garagara Lilac bolak-balik ke sana melulu. Ibu, bapak, malah senang karena Neng Lilac suka bantu-bantu. Aini tersenyum lagi, Neng Lilac teh siga adik saya sendiri.14 Ranu tertawa pelan. Mungkin bagi Lilac, kamu juga sudah seperti kakaknya sendiri ya. Aini tersipu-sipu. Perempuan itu tampak manis dengan semburat merah muda pada kedua pipinya. Detik itu, Ranu merasa Aini mungkin lebih dari sekadar kakak perempuan di mata Lilac-nya. Di matanya. Mungkin Ranu memang bukan yang terbaik bagi Iris, tapi bagi perempuan di hadapannya ini. Mungkin...

Ada yang berbeda, selalu ada Ranu yang mendampingi Aini setiap pulang belanja. Membawakan barang-barang belanjaannya sampai ke rumah sebelum ia pamit dan kembali lagi ke kebun bunga kecilnya. Selalu ada Aini di kebun kecil Ranu saat makan siang dengan bekal nasi untuk Ranu. Tak pernah ada yang memplokramirkan hubungan spesial itu. Ranu hanya merasa mungkin ia patut mengenali Aini lebih dalam dan begitu juga sebaliknya. Membuat para tetangga kian gencar membicarakan status mereka berdua. Tos lamaran!15

12 13

Ni, maaf ya, Lilac saya merepotkan selama nginap di sini. Tidak, Kang. 14 Neng Lilac itu sudah seperti adik saya sendiri. 15 Sudah lamaran!

127

Ranu nu boga kebon kembang tea?16 Tos nikah siri?17 Sareng Neng Aini?? Eleuh..eleuh...18 Ranu hanya tersenyum setiap omongan-omongan iseng itu sampai di telinganya. Bahkan ketika Aini juga menanyakan pendapat Ranu tentang omonganomongan orang tersebut. Aini menatap mata Ranu dengan takut-takut. Ia duduk di sebelah Ranu saat sedang makan siang di pinggir kebunnya. Kang Ranu sudah dengar omongan-omongan tetangga? Ranu melirik Aini tersenyum padanya, Kamu merasa terganggu, Ni? Aini cepat-cepat menggeleng. Henteu... Bapak dan ibu? Aini kembali menggeleng. Bapak, ibu, teu kaganggu19. Bapak bilang, tetangga memang suka usil. Ranu mengangguk-angguk. Saya setuju sama bapakmu. Ia menyesap kopinya. Memandangi kebun bunganya. Sadar Aini masih menatapnya, Ranu menoleh. Ni, Kita cukup menjalani apa yang ada sekarang. Tak pernah ada yang tahu rahasia Tuhan untuk hari esok. Tidak juga kamu, saya, ibu dan bapakmu, atau para tetangga usil itu. Ranu tersenyum. Mungkin omongan mereka itu doa buat kamu dan saya, Ni. Aini mengerjapkan matanya dengan cepat. Ia buru-buru mengalihkan matanya ke hamparan bunga di kebun Ranu. Ranu tertawa pelan melihat kegugupan perempuan itu. Lantas ikut memandangi kebun bunganya lagi.

Bunga baru akan tumbuh saat yang lama telah layu. Bukan begitu? Atau... layu itu hanya semu? Hingga sesungguhnya, tak akan pernah ada yang baru?

16 17

Ranu yang punya kebun bunga itu? Sudah nikah siri? 18 Sama Neng Aini? Aduh..aduh 19 Tidak terganggu.

128

Ranu panik setengah mati ketika mendengar kabar Lilac dirawat di rumah sakit karena sakit gejala tyfus. Ia tak tahu harus memaki anak itu atau tidak jika nanti tiba di Jakarta. Lilac ternyata diam-diam tetap ikut pramuka dan memaksa neneknya untuk menandatangani surat izin pergi ke perkemahan selama tiga hari. Hasilnya, anak itu sakit sepulang dari perkemahan dan kini terpaksa bermalam di rumah sakit. Perlengkapan Ranu sudah dikemas dalam satu ransel yang tidak terlalu besar. Ia akan datang ke Jakarta menengok anak semata wayangnya itu. Dan meski Ranu memohon pada Aini agar tidak perlu ikut ke Jakarta, tapi perempuan itu tidak menurut. Aini tetap memaksa ikut dan dengan sangat terpaksa Ranu akhirnya membawa perempuan itu serta. Mereka tiba pada larut malam di rumah mertua Ranu. Istirahat sejenak sebelum pagi-pagi sekali berangkat menuju rumah sakit. Aini menunduk sedikit saat bertemu ibu mertua Ranu di rumah sakit. Bu, biar saya yang nunggu di sini. Ibu pulang saja. Saya khawatir ibu ikut sakit kalau ada di sini. Ranu melirik Aini, Ini... teman saya dari lembang, Bu. Aini. Kebetulan akrab dengan Lilac. Ibu mertua Ranu tersenyum pada Aini. Beralih pada Ranu lagi, Ibu datang lagi sore nanti, bawa baju buat kamu kalau mau bermalam di rumah sakit menemani Lilac. Nggak usah, Bu. Nanti biar saya ambil sendiri sambil mengantar Aini ke rumah. Lilac nanti saya titip ke suster sebentar. Ibu mertua Ranu mengangguk-angguk pelan. Kemudian, Ranu mengantarnya sampai di lift. Mengangguk kecil padanya sebelum pintu lift tertutup dan kembali lagi ke kamar perawatan anak, tempat Lilac dirawat. Aini duduk di dekat kasur Lilac. Memandangi wajah anak itu dengan khawatir. Ranu memilih duduk di sebelahnya. Wajah Lilac tampak pucat. Anak itu tertidur dengan selang infus terhubung pada nadinya. Ranu menggenggam tangan Lilac-nya. Memandangi wajah Lilac-nya yang terlihat sangat letih. Ranu sungguh berharap anak itu lekas sehat kembali jika nanti ia bangun dan melihat ayahnya menggenggam tangannya. Jika melihat perempuan yang dikaguminya, Aini, menungguinya di rumah sakit. Tirai penutup di sekeliling tempat tidur Lilac ditarik perlahan oleh seseorang. Ranu menegakkan kepalanya, menatap seseorang yang menarik tirai itu hingga terbuka separuh. Napas Ranu terhenti seketika saat matanya bertemu dengan mata 129

seseorang itu. Seorang gadis mungil dengan seragam suster berwarna putih bersih. Tangan gadis itu masih memegangi ujung tirai yang tadi ditariknya. Gadis yang nyaris ia buang jauh-jauh dari kehidupannya. Gadis yang tak pernah dilihatnya sejak tujuh tahun yang lalu. Iris. Ranu bergeming. Mendadak ia merasa seluruh manusia di ruangan itu menghilang. Hanya ada dua detak jantung yang mampu ia dengar. Miliknya dan milik Iris. Ranu memberi kekuatan pada kelopak matanya untuk mengerjap. Untuk meyakinkannya bahwa apa yang dilihatnya itu bukan hanya fatamorgana semata. Iris masih berdiri di hadapannya. Tidak menghilang seperti apa yang diharapkan oleh secuil hati kecilnya yang paling kecil. Satu bulatan air liur yang menggelinding dalam kerongkongan Ranu terasa bagai satu bulatan kerikil yang menusuk. Ranu meragu, haruskah ia menyapa lebih dulu? Ris, apa kabar? Pagi, Pak, Bu. Iris tersenyum ramah seramah-ramahnya. Seolah ia tak pernah melihat Ranu sebelumnya. Sapaan itu mengembalikan pikiran Ranu ke dalam ruang perawatan anak dengan Aini meliriknya heran. Permisi sebentar, saya mau mengganti botol infus. Dengan cekatan suster itu mengganti botol infus Lilac. Mata Ranu tak lepas memperhatikan gadis mungil itu bekerja. Berusaha membaca nama pada seragam suster itu. Ranu berharap suster yang tersenyum ramah namun asing barusan padanya bukan Iris. Bukan gadis mungil yang ia kenal tujuh tahun yang lalu. Harapan Ranu pupus seiring dengan berhasilnya ia membaca nama pada seragam itu: Zinnia Iris. Memang benar. Suster mungil yang merawat Lilac-nya adalah Iris. Gadis yang sama yang bekerja di toko bunganya tujuh tahun yang lalu. Gadis yang telah mencuri hatinya dan tak pernah mengembalikannya. Gadis yang pantas mendapat sosok yang terbaik, dan sosok itu bukan Ranu. Sebentuk cincin di jari manis Iris segera menarik perhatian Ranu. Cincin? Sudah... sudah dilamar kah gadis ini? Atau... malah sudah menjadi istri orang? Sudah bertemu yang terbaik kah? Iris menoleh lagi pada Ranu dan Aini, tampak sudah selesai dengan botol infusnya. Ia tersenyum lagi, Permisi, Pak, Bu. Tolong anaknya jangan diganggu dulu, anak ini butuh istirahat yang cukup. Mari, Pak... Bu... Iris menutup tirai di sekitar kasur Lilac seperti semula. Ranu memperhatikan bayang gadis itu bergerak ke kasur di seberang tempat Lilac terbaring.

130

Ranu mengerti. Terlalu sakit untuk menegur dirinya. Atau mungkin Iris benarbenar membenci Ranu hingga tak sudi mengucap namanya, tak sudi mengenalnya lagi. Hingga pura-pura tak mengenal akan menjadi obat yang paling mujarab. Ku naon, Kang Ranu?20 Aini menempelkan telapak tangannya pada dahi Ranu yang berkeringat, Kang Ranu teh sakit? Ranu menggeleng pelan. Tersenyum. Ia menggenggam tangan Aini yang menyentuh dahinya. Saya baik-baik saja, Ni. Aini tak perlu tahu soal dirinya dan Iris. Soal kenangan pahit tujuh tahun yang lalu itu. Kenangan pahit yang mendamparkannya di lembang, yang membuatnya mengenal Aini. Kenangan yang sepertinya sudah dihapus oleh Iris dari daftar pengalaman hidupnya. Ranu menghela napasnya dalam-dalam, merasakan ada yang berdenyut menyakitkan lagi dalam dadanya. Luka yang kembali terbuka.

Sorot mata itu membuatku luka. Senyum asing nan ramah itu malah semakin membakar rasanya. Tidakkah kautahu, tujuh tahun kumasih memendam sesuatu itu dalam dada? Sesuatu yang bernama cinta.

Ranu bersandar di dekat jendela di koridor depan ruang perawatan anak. Memandangi jalan raya yang padat di bawahnya. Aini masih duduk menunggui Lilacnya di dalam ruang perawatan anak. Ranu tercenung. Wajah Iris masih membayang dalam benaknya. Balutan seragam putih bersih tadi tetap tidak merubah Iris yang Ranu kenal tujuh tahun yang lalu. Hanya satu yang berbeda. Iris yang pagi tadi mengganti botol infus Lilac-nya, berubah menjadi sangat... asing. Mungkin terlalu sakit hati atas ucapannya bertahuntahun lalu itu. Sungguh, Ranu ingin Iris tahu bahwa rasa sakit karena mengucapkan hal itu juga membekas di dalam dadanya. Ranu merogoh saku celananya. Menggenggam satu benda yang selalu ia bawa ke mana-mana. Gantungan kunci berbentuk bunga matahari. Satu-satunya benda berharga yang ia miliki. Satu-satunya yang tersisa dari Iris-nya di masa lalu.
20

Kenapa, Kang Ranu?

131

Sentuhan lembut pada bahu Ranu membuyarkan lamunannya. Ranu menoleh, mendapati Aini berdiri di hadapannya. Perempuan itu tersenyum. Perempuan masa depannya. Perempuan dengan keluarga yang menerima Ranu apa adanya. Perempuan yang dikagumi anak semata wayangnya. Perempuan yang berusaha ia cintai sepenuhnya. Seutuhnya. Kang, Lilac sudah bangun. Ranu cepat-cepat masuk ke dalam ruang perawatan, menghampiri kasur Lilacnya. Lilac menatap Ranu dengan wajah yang masih tampak pucat. Puluhan kalimat omelan yang sebelumnya sudah berputar-putar dalam kepala Ranu hilang seketika. Mata teduh Lilac membuat Ranu tak kuasa memarahi anak itu. Ranu duduk di sebelah tempat tidur Lilac. Maaf, Ayah... maaf karena Lilac tetap ikut pramuka, tetap ikut kemah... Bibir Lilac bergetar. Matanya berkaca-kaca sekarang. Pelan, Ranu membelai kepala anaknya itu. Jangan bikin ayah khawatir lagi, Lilac. Jangan bikin ayah khawatir lagi.

Ranu mengecup dahi Lilac lembut sebelum mengantar Aini pulang ke rumah ibu mertuanya. Malam itu, hanya Ranu yang akan tetap tinggal di rumah sakit. Ia tidak mengizinkan Aini untuk ikut serta. Lilac melambai lemah pada keduanya. Ranu menggandeng tangan Aini. Mereka naik lift menuju ke lobby di lantai satu. Ranu tak banyak bicara sejak tadi pagi. Pikiran Ranu masih belum mendapatan fokusnya kembali. Masih terbang melayang tak terkendali entah ke mana. Pertemuan Ranu dengan Iris pagi tadi benar-benar merusak isi kepalanya. Aini memperkuat genggaman di tangan Ranu. Ranu menoleh pada perempuan itu. Aini memandangi Ranu. Perempuan itu tampak sangat keheranan. Kang Ranu teh, kenapa? Kenapa apa, Ni? Sejak tadi pagi... Kang Ranu jadi beda. Melamun terus. Beda? Bukan beda. Ranu justru merasa kembali. Kembali ke dalam lingkaran masa lalu yang berusaha ia hapus. Kembali kepada sesuatu yang berusaha ia lepaskan sejak tahunan lalu. Kembali. Ranu menyunggingkan bibirnya. Mungkin... karena terlalu khawatir sama Lilac, Ni. Tapi, saya baik-baik saja.

132

Aini masih memandangi Ranu. Ranu tahu perempuan itu sadar ia tidak jujur. Ranu mengalihkan matanya pada pintu lift yang terbuka. Menghindari pertanyaanpertanyaan yang mungkin akan diajukan Aini selanjutnya. Pertanyaan-pertanyaan yang akan semakin memojokkan dirinya. Pertanyaan-pertanyaan yang sulit ia jawab selain menyinggung soal Iris. Langkah Ranu terhenti di depan pintu masuk rumah sakit. Sepasang manusia yang berbincang di sudut sebelah luar pintu kaca itu mengusik matanya. Si mungil dengan seragam suster yang ia kenali sebagai Iris dan seorang laki-laki jangkung berambut sedikit ikal yang membawa jas putih di lengannya. Kekasihnya? Atau... suaminya? Kang Ranu kenal sama dua orang itu? Ranu cepat-cepat menoleh, tak sadar kalau sejak tadi Aini mengikuti arah matanya dan melihat sepasang manusia yang sama dengan yang ia perhatikan. Eta teh suster nu ngaganti botol inpus neng Lilac tadi pagi nya?21 Aini memicingkan matanya, Kang Ranu kenal? Ranu menggeleng, Ah, henteu. Tadi saya pikir kenalan saya. Ternyata bukan. Ranu melirik jam tangannya, Hayu cepetan pulang, kasihan Lilac ditinggal kelamaan. Ranu tak menoleh ketika melewati sepasang manusia yang tadi ia perhatikan. Sangat berharap, Iris juga tak menoleh dan melihat dirinya lewat di sana.

Malam hari di rumah sakit memang tak seindah di dalam hotel. Lilac sudah tidur. Ranu memutuskan untuk pergi ke kantin rumah sakit sebentar. Satu cangkir kopi pasti mampu mengalahkan dinginnya udara di dalam rumah sakit. Kantin rumah sakit sangat lengang. Ranu membeli secangkir kopi. Lantas ia duduk di salah satu kursi-kursi panjang yang berjajar di sana. Kopi Ranu sudah tinggal setengahnya ketika seseorang duduk di sebelahnya. Ranu menoleh, nyaris tersedak saat melihat sosok yang duduk di sebelahnya. Permisi ya, Pak. Lelaki berjas putih itu tersenyum. Orang yang sama yang tadi siang Ranu lihat berbincang dengan Iris. Ranu hanya mengangguk saja. Malammalam di rumah sakit begini memang enaknya minum yang hangat-hangat ya, Pak.
21

Itu suster yang mengganti botol infus neng Lilac tadi pagi ya?

133

Iya. Ranu akhirnya memutuskan untuk tersenyum. Keluarganya dirawat di lantai berapa, Pak? Lantai tiga, Dok. Oh, anaknya yang sakit, Pak? Ranu mengangguk. Tak sadar matanya memperhatikan jemari lelaki di hadapannya itu. Satu cincin melingkar di jari manisnya. Cincin yang serupa dengan cincin yang Ranu lihat di jari manis Iris tadi pagi. Jantung Ranu berdebar melihat cincin itu. Tak bisa menebak apakah itu cincin pertunangan atau cincin... pernikahan. Ranu memikirkan pertanyaan yang tepat untuk mengetahui cincin apa itu. Sakit apa anaknya, Pak? Gejala tyfus, Dok. Maksa ikut kemah tapi begitu pulang ke rumah langsung sakit. Lelaki itu mengangguk-angguk. Anak-anak memang suka begitu ya, Pak. Tertawa pelan sesudahnya. Anak Dokter juga begitu? Ranu berusaha membuat nada bicaranya tak terlalu menginterogasi. Tak terlalu seperti polisi yang menanyai para tersangka. Lelaki itu tertawa. Saya belum menikah, Pak. Ia melirik cincin di jarinya. Menoleh pada Ranu, mengekeh pelan. Sekarang belum, bulan depan sudah. Deg... Wah, selamat ya, Dok. Ranu berusaha tersenyum. Lelaki itu bersemu, mengucapkan terima kasih dengan wajah cerah. Calonnya satu profesi, Dok? Lelaki itu menggeleng, Bukan dokter juga sih, tapi sama-sama di bidang kesehatan. Ia menyesap kopi di cangkirnya. Kerja di sini juga, suster. Iris. Lelaki itu menoleh, seakan teringat sesuatu. Dia salah satu suster di lantai tiga, Pak. Yang paling cantik pasti, ya? Ranu tertawa pelan, berusaha

menyembunyikan getar pada suaranya. Membayangkan dalam kurun waktu satu bulan lagi Iris akan dipersunting oleh lelaki di hadapannya ini benar-benar terlalu menyakitkan. Seorang dokter. Ranu meyakinkan dalam hatinya, adalah sosok yang baik bagi Iris, yang terbaik. Lelaki itu ikut tertawa. Ya ya, jelas calon istri saya itu suster yang paling cantik. Lelaki itu menerawang. Ranu tahu wajah siapa yang kini sedang terbayang dalam benak lelaki di hadapannya itu. Cantik sekali. Lelaki itu tersenyum malu134

malu. Senyum yang sama jika Ranu juga sedang terbayang wajah si manis itu. Dulu. Senyum yang cukup menjelaskan betapa lelaki di hadapan Ranu itu benar-benar sedang jatuh cinta. Satu suara ponsel memecah detik-detik hening di kantin itu. Lelaki di hadapan Ranu merogoh saku jas putihnya. Menoleh pada Ranu, tersenyum, dan menunjuk ponselnya yang berkelip. Permisi dulu, Pak. Ranu mengangguk, Ya, saya juga mau kembali ke atas. Mari, Dok. Semoga sukses dengan pernikahannya nanti. Ranu tersenyum. Lelaki itu mengangguk, tersenyum, dan mengucapkan terima kasih sebelum berpindah ke sudut kantin, berbicara dengan ponselnya. Ranu berdiri. Memperhatikan lelaki itu sekali lagi. Lelaki yang ramah, yang sepertinya memang jauh lebih baik dari dirinya. Lelaki yang tentunya sanggup menjaga Iris-nya. Bukan, Ranu bukan menyerah pada waktu-waktu yang telah berlalu. Bukan menyerah pada nyonya Irene yang tidak memberi restu. Tapi, Ranu menyerahkan Iris pada masa depannya, pada calon suami Iris. Calon pendamping hidup Iris selamanya.

135

136

YANG KEDUA, TANPA HAMA


PERALATAN yang Iris bawa mendadak terasa lebih berat dari biasanya. Iris memasuki ruang perawatan anak dengan jantung berdebar-debar. Ia menghampiri kasur Lilac. Menarik sedikit tirai yang menutupi kasur itu. Gadis kecil itu masih tertidur. Namun, sepasang mata yang sudah Iris kenal telah terjaga di samping kasur itu. Menatap Iris. Jantung Iris berdebar semakin kencang. Iris sungguh ingin berbalik. Berlari meninggalkan tempat itu. Ke mana saja asal tidak melihat Pria Bunga-nya. Apa kabar, Ris? Suara itu. Suara tenang yang dalam. Suara yang sangat Iris rindukan. Iris tak berani menatap balik mata Pak Ranu. Ia pura-pura sibuk dengan peralatannya. Baik. Selamat ya, atas pernikahanmu bulan depan. Laki-laki itu, tentu yang terbaik. Deg...Deg... Ucapan selamat yang keluar dari mulut Pak Ranu tidak terdengar membahagiakan di telinga Iris. Justru terasa mengiris. Sama seperti ucapan berbelasungkawa. Terima kasih. Susah payah Iris menahan kesedihannya agar tidak tumpah di sana. Ia berusaha bernapas dengan normal meski oksigen terasa sangat tipis. Pak Ranu juga, perempuan yang kemarin, cantik. Semoga kali ini tidak keliru. Hening sebentar. Untuk sesaat, hanya tarikan napas Lilac yang terdengar. Iris menanti komentar Pak Ranu sambil tetap berkutat dengan jarum dan botol infusnya. Pak Ranu menyunggingkan bibirnya sedikit. Terlihat seperti separuh tersenyum. Atau mungkin itu malah bukan senyum sama sekali. Terima kasih. Hening lagi. Iris mempercepat urusannya dengan jarum-jarum itu. Merapikan sisa-sisa kerjanya dengan cepat juga. Ia tak sanggup lagi berlama-lama di tempat itu. Penglihatannya mulai buram. Iris mengumpulkan suara terakhirnya agar sejernih yang memungkinkan. Permisi. Iris menundukkan kepalanya sedikit. Dengan tetap menunduk, Iris meninggalkan tempat itu. Memilih untuk menghentikan pekerjaannya sesaat. Iris mempercepat langkahnya. Berbelok ke dekat lift, masuk ke toilet wanita. Iris menangis sepuasnya di sana. Berharap, berandai. Andai ibu bisa menerima Pak Ranu apa adanya. Tak perlu ada tujuh tahun untuk

137

merasakan sakit hati. Tak perlu ada perjodohan yang tak pernah Iris inginkan. Tak perlu ada pernikahan yang tak pernah Iris impikan. Andai ibu menerima Pak Ranu apa adanya. Andai ibu menerima Pak Ranu apa adanya...

Sudah dua hari Iris tidak masuk kerja. Iris butuh sendirian. Ingin sendirian. Ia merasa harus membenahi pikirannya. Meyakinkan hati kecilnya bahwa hidup barunya akan baik-baik saja. Bahwa keputusannya untuk menerima pernikahan ini tidak keliru. Tidak keliru. Iris mengatakan pada Arga bahwa ia sakit dan menolak untuk dijenguk meski Arga memaksa. Iris tidak berbohong. Dia memang sakit. Bukan sakit fisik. Tapi sesuatu yang lebih halus di dalam dadanya. Kata-kata Pak Ranu masih menggema di dalam kepala Iris. Kata-kata yang membuatnya kembali tersakiti. Selamat ya, atas pernikahanmu bulan depan. Kenapa manusia satu itu malah memberinya ucapan selamat? Bukankah sudah cukup dengan pergi menghilang begitu saja? Tak perlu mengucapkan apa-apa. Tak perlu membuat Iris menyesali lagi pernikahannya bulan depan itu. Iris terlentang di kasurnya. Memandangi langit-langit kamarnya. Masa depan itu membentang di hadapannya. Selangkah lagi. Ke mana kakinya harus dilangkahkan? Putar arah? Atau tetap maju? Iris memejamkan matanya. Jika ayah ada di sisinya, apa yang akan dikatakan pada Iris? Ayah... aku bingung. Suara ketukan di pintu kontrakan Iris membuat matanya kembali terbuka. Iris menyusutkan air mata di pipinya. Bergegas ke arah pintu. Ia harap bukan Arga yang ada di sana. Iris membuka pintu itu dan sangat terkejut dengan siapa yang ada di hadapannya. Ibu? Ibu tersenyum. Arga bilang kamu sakit. Menolak untuk dijenguk. Ibu jadi khawatir... Cuma pusing biasa, Bu. Iris mempersilakan ibu untuk masuk. Ibu memandangi Iris dengan wajah prihatin. Baru kali itu Iris melihat wajah ibu yang seperti itu. Wajah yang sama seperti belasan tahun lalu. Ketika ayah masih ada.

138

Ketika keluarga kecilnya sangat bahagia... Ibu kenapa nggak bilang dulu kalau mau ke sini? Kan Iris bisa siap-siap dulu. Ibu cuma mampir, ada janji sama orang nggak jauh dari sini. Jadi sekalian main. Ibu tersenyum. Senyum yang membuat Iris ingin memeluk ibu, menangis di bahunya dan mengatakan betapa ia tertekan dengan hidupnya selama ini. Betapa ia ingin bebas. Ris, ibu ingin tanya sesuatu. Iris meneguk ludahnya. Pastilah ini tentang Arga. Tentang pernikahannya. Ada apa, Bu? Tahun-tahun belakangan ini, ibu merasa, cahayamu meredup. Jantung Iris berdebar, Kamu... bahagia dengan pernikahan ini, Ris? Bahagia dengan keberadaan Arga di sisi kamu, Ris? Iris berusaha tersenyum. Iris... Iris selalu bahagia dengan semua pilihan ibu. Ibu selalu memberikan yang terbaik buat Iris. Arga termasuk salah satunya... Iris menangis. Di dalam hati. Penipuan besar-besaran. Ibu menghela napas dalam, mengembuskannya dengan berat. Tangan ibu meraih kepala Iris, membelainya dengan lembut. Mata itu, sepasang mata yang kini teduh menatap Iris, sama seperti belasan tahun lalu. Iris berusaha tetap tersenyum. Penipuan besar-besaran. Ris, melihat kamu seperti ini, ada satu hal yang ibu sadari, bahwa yang terbaik belum tentu yang membahagiakan. Satu bulir air mata menetes di pipi Iris. Ibu menyusutkannya dengan ibu jarinya. Maaf karena ibu terlambat menyadari hal itu. Maaf karena ibu terlalu memaksakanmu. Maaf karena ibu telah menjadi orangtua yang egois. Maafkan ibu, Ris... Iris tertunduk. Kamu berhak meniti jalanmu sendiri, Ris. Kamu berhak bahagia. Ibu mau, kamu bahagia atas jalanmu itu. Bukan atas jalan yang telah ibu paksakan padamu. Ibu mengangkat wajah Iris. Menatapnya dengan lembut. Iris menghambur dalam pelukan ibunya. Terisak di bahu ibunya. Memori Iris terlempar pada belasan tahun yang lalu, satu waktu ketika keluarga kecilnya lengkap dan bahagia. Ketika ibu hanya mengawasi Iris dari jauh saat berlarian bebas di taman dan bukannya menuntunnya untuk berjalan lurus. Ibu yang sama seperti yang kini ia peluk erat-erat.

139

Iris memandangi satu nama di ponselnya. Arga. Ibu jari Iris memijit tombol berlogo telepon warna hijau. Nada tunggu yang terdengar membuat jantung Iris berdebar hebat. Halo, Ris? Ada apa? Suara Arga. Kamu udah sehat? Ga, bisa kita ketemu sekarang nggak? Bisa, Ris, bisa. Kebetulan ada yang mau aku tunjukkin ke kamu. Nada itu riang. Nada suara yang membuat Iris merasa berdosa. Sangat berdosa dengan apa yang akan ia lakukan beberapa saat lagi. Ketemu di mana? Aku tunggu di tempat makan kita yang biasa ya, Ga. Oke, sayang. Aku langsung ke sana ya. Tut. Iris menyimpan ponselnya. Memainkan sedotan di gelasnya. Mempersiapkan hatinya. Ini akan jauh lebih baik buat Arga. Buat Iris. Menit-menit berlalu. Arga muncul dengan senyum lebar di wajahnya yang cerah. Hari itu, Iris merasa Arga jauh lebih cerah dari biasanya. Membuat Iris semakin tak tega. Ris, ini contoh undangan untuk bulan depan. Arga menyerahkan beberapa kartu undangan pada Iris, Persis seperti yang kamu mau. Iris menghela napas dalam-dalam. Meletakkan kartu-kartu itu di meja. Ini dia saatnya. Saat yang terberat. Iris harap dosanya akan diampuni Tuhan. Ga, aku minta maaf... Arga mengerutkan dahinya. Maaf apa? Maaf karena... aku nggak bisa... Iris merasa tak sanggup melanjutkan katakatanya. Ia menunduk. Maaf, Arga. Kamu lelaki baik, aku tahu... tapi, maaf... aku... Terdengar helaan napas dari hadapan Iris. Jadi... ini saatnya ya? Iris mendongak menatap Arga. Arga tersenyum pada Iris. Senyum yang menghjangatkan. Senyum yang semakin membuat Iris merasa berdosa. Kamu tahu, Ris? Sejak awal, aku tahu kamu tidak menerima perjodohan ini seperti aku menerimanya dengan tulus. Aku tahu kamu keberatan dengan perjodohan ini. Dengan pernikahan ini. Tapi, sejak awal aku selalu berusaha membuat kita ada. Aku selalu berusaha membuat kamu melihat aku. Aku tahu ada manusia lain di matamu setiap kali mata kita bertemu. Dan bukan aku.

140

Kamu tahu, Ris? Aku paham sekali bahwa pernikahan itu melibatkan sepasang manusia. Bukan cuma satu. Bukan cuma aku yang menunggu kamu untuk menerimaku dalam kehidupanmu. Wajah Arga mulai membayang. Maafkan aku, Arga... maafkan aku. Aku berusaha, tapi maaf... Suara Iris bergetar. Tak perlu minta maaf, Iris. Aku yang salah karena terlalu memaksakan diri. Arga menggenggam tangan Iris dengan lembut. Terlalu lembut. Jangan lepaskan aku. Biar aku yang melepaskan kamu, Ris. Aku yang akan melepaskan kamu... Iris terisak. Arga lelaki yang baik dia tahu itu. Iris sangat tahu akan hal itu. Arga melepaskan tangan Iris, meletakkannya perlahan di atas meja. Semoga kamu bahagia, ya, Ris... Arga membelai kepala Iris sebelum berdiri dan meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Iris yang terisak, merasa bersalah.

Iris tidak pulang ke rumah setelah menemui Arga sore itu. Ia pergi ke satu tempat yang sudah lama tidak disentuhnya selama bertahun-tahun. Hujan rintik yang mengguyur Jakarta tidak menghalangi niat Iris untuk mengunjungi tempat itu. Iris berdiri di trotoar jalan yang remang. Ia memandangi gedung kampusnya, memandangi tenda tukang soto yang sudah digulung, memandangi toko bunga Ranu and Lilacs Florist di seberangnya yang juga sudah tutup. Mungkin Egi sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Iris menyeberangi jalan raya itu. Menyusuri trotoar yang agak basah karena hujan sore tadi. Taman kota menjadi tempat yang tak begitu ramai akibat hujan sore tadi. Hanya ada beberapa remaja yang sibuk menyulut sumbu kembang api. Iris melirik angkasa. Langit Jakarta tampak cerah bertaburkan bintang-bintang. Awan gelap benar-benar sudah berlalu. Tenda remang yang tak jauh dari tempat Iris berdiri sangat menggoda untuk dihampiri. Aromanya sedap sekali. Ia berlari kecil ke arah tenda tukang nasi goreng itu. Sesekali melompati genangan air yang tercipta di sana-sini. Iris tak peduli pada cipratan air kecokelatan yang mengenai celana jeans-nya. Langkahnya terhenti di depan tenda nasi goreng itu. Tertegun sejenak karena menyadari ada sosok tinggi yang juga berhenti di depan tenda yang sama.

141

Suara Iris hilang terbawa angin. Untuk sesaat, Ia hanya diam sambil memandangi sosok di hadapannya itu. Rindu. Ya, Iris rindu pada sosok itu. Kerinduan yang tak sempat ditumpahkannya beberapa waktu lalu. Suara gesekan wajan dan spatula, suara anak-anak remaja, suara malam, membantu Iris mengusir keheningan yang tidak ia sukai. Iris menanti pria di hadapannya bicara. Apa saja. Iris tak peduli. Iris hanya ingin mendengar lagi suaranya yang tenang dan dalam. Suaranya saat menyebut nama Iris. Sosok pria itu maju selangkah demi selangkah. Iris ikut menggerakkan kakinya untuk mendekat. Iris berhenti tepat satu langkah di hadapan pria itu...

142

143

YANG KEDUA, TANPA HAMA


SEPAGI itu Ranu sudah terjaga. Ia menanti sosok suster yang akan mengganti botol infus Lilac-nya. Sosok suster yang sudah lama ia kenali. Iris. Ranu merasa harus mengucapkan salam perpisahan padanya. Pada Iris yang akan segera mempunyai kehidupan baru. Jantung Ranu berdebar ketika tirai penutup kasur Lilac-nya terbuka perlahan. Tak sengaja matanya bertemu dengan mata Iris. Detik seakan membeku. Ranu memaksa lidahnya yang kelu untuk bersuara. Bersuara senormal yang ia bisa. Apa kabar, Ris? Iris sibuk dengan peralatannya. Seakan tak mengizinkan Ranu untuk sekadar melihat matanya lagi. Untuk mencuri tatapan yang meluluhkan hati Ranu itu. Baik. Ranu meneguk air ludahnya sendiri. Berat hati ia menyusun lagi kata-kata yang sudah dihapalnya semalaman. Dipilih susunan kata paling baik dari yang terbaik. Selamat ya, atas pernikahanmu bulan depan. Laki-laki itu, tentu yang terbaik. Keluar sudah. Terima kasih. Dingin Iris berkomentar. Pak Ranu juga, perempuan yang kemarin, cantik. Semoga kali ini tidak keliru. Kalimat Iris menohok perut Ranu. Kata keliru itu mengingatkan Ranu pada malam terakhirnya bertemu Iris tujuh tahun yang lalu. Kebohongan besarnya. Ranu berusaha tersenyum. Meski rasanya otot-otot senyum di wajahnya telah benar-benar kaku. Terima kasih. Hening. Iris kembali sibuk dengan pekerjaannya. Tertunduk dengan serius. Gadis mungil itu tentu terlampau membenci Ranu hingga tak rela jika Ranu melihat wajahnya meski hanya sedikit. Iris membereskan peralatannya. Tak juga menatap Ranu. Permisi. Dengan tetap menunduk Iris meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Ranu yang masih memandangi punggungnya. Berharap Iris mau menoleh sedikit saja. Mungkin memberinya bonus senyuman. Hanya berharap.

Sudah dua hari Ranu tak melihat Iris di rumah sakit. Ada suster lain yang menggantikan gadis itu. Bahkan ketika Lilac sudah siap dibawa pulang, Ranu masih

144

juga tak melihat Iris di sana. Aini ikut menoleh ke sana-sini. Mengikuti arah mata Ranu yang menyapu pandangan ke seluruh lobby rumah sakit dengan heran. Cari apa, Kang? Ranu menoleh, menggeleng. Tersenyum. Ah, tidak... Hati kecil Ranu berbisik, mungkin memang Tuhan tidak mengizinkan Ranu melihat gadis mungil itu lagi. Tidak mengizinkannya untuk berbalik arah, mengejar masa lalu dan menghancurkan masa depan banyak orang. Ranu memperhatikan Aini yang menggandeng tangan Lilac-nya tercinta. Perempuan yang berjalan lebih dulu itu adalah masa depannya. Masa depan Ranu dan Lilac-nya. Tas terakhir Lilac sudah Ranu letakkan di dalam bagasi taksi. Ranu melirik rumah sakit itu untuk yang terakhir kalinya. Berharap Iris akan merasakan pesan yang Ranu tinggalkan pada angin di sana. Semoga bahagia, Ris. Semoga kamu bahagia...

Lilac masih belum boleh melakukan banyak aktivitas. Ranu membiarkan gadis kecilnya itu berdiam diri di atas kasur sambil membaca novel-novel kesukaannya. Aini sedang ada di dapur bersama ibu mertua Ranu. Menyiapkan makan siang. Ranu menghampiri Lilac. Duduk di sisi kasur anak itu. Lilac menoleh, Ada apa, Yah? Ranu tersenyum. Ada satu hal yang sangat ingin Ranu tanyakan pada Lilacnya. Satu hal mengenai Aini. Lac, ayah mau tanya serius sama kamu. Ya? Lilac menutup novel yang sedang ia baca. Soal apa, Yah? Kalau soal pramuka... Lilac sudah memutuskan untuk berhenti. Lilac nggak mau jatuh sakit dan ngerepotin nenek, kakek, sama ayah lagi... Ranu tertawa pelan, menggeleng. Bukan pramuka, Lac. Ini tentang teh Aini. Lilac menegakkan tubuhnya dengan cepat begitu mendengar nama itu di sebut. Tiba-tiba Ranu merasa tak perlu lagi bertanya karena jawaban Lilac sepertinya sudah sangat jelas. Kalau... kalau teh Aini jadi ibumu. Kamu setuju, Lac? Ranu menatap mata Lilac-nya dalam-dalam. Sedikit ragu dengan apa yang ia lihat di sana... Lilac tertawa. Ayah, sejujurnya, Lilac cuma m enganggap teh Aini itu sebagai kakak perempuan Lilac. Lilac nggak nyangka kalau ayah malah punya pikiran seperti

145

itu. Lilac bersandar lagi pada kasurnya, membuka novelnya lagi. Maaf kalau Lilac sedikit lancang, tapi, Lilac suka tante suster itu. Lilac yakin, tante suster itu juga suka sama Lilac. Sama kita. Pasti dia nunggu Ayah buat datang menjemput dia pulang ke rumah kita. Jantung Ranu mencelos mendengar Lilac mengatakan hal yang tidak ia duga. Jadi anak itu tidak tidur ketika Ranu bicara dengan Iris dua hari lalu? Maaf, ayah. Lilac nggak pernah bermaksud menguping pembicaraan orang dewasa, apalagi pembicaraan Ayah dengan tante suster itu. Lilac mengintip Ranu dari balik novel yang entah benar-benar ia baca atau tidak. Maaf ya, Ayah... Suara Lilac tak terdengar lagi. Punggung Iris dua hari lalu terbayang dalam kepala Ranu. Tujuh tahun yang lalu, ia membiarkan punggung itu berlalu. Pasrah pada keadaan. Tapi, kata-kata yang keluar dari mulut gadis dua belas tahun-nya menyadarkan Ranu bahwa ia harus melawan keadaan. Mungkin akan banyak yang terluka, tapi tidak akan lebih menyakitkan daripada kebohongan seumur hidup. Ranu mengecup dahi Lilac-nya. Terima kasih ya, sayang.

Kebun belakang rumah Aster memang selalu terlihat indah di mata Ranu. Hari itu pun tetap terlihat indah meski ada aura kesedihan di sekitarnya. Di sekitar Ranu dan Aini yang duduk bersisian. Ranu memandangi bunga yang berwarna-warni di kebun itu. Ni, Melirik Aini yang memandanginya dengan tatapan yang bikin Ranu berharap Tuhan akan mengampuni dosanya. Saya tahu kamu perempuan yang baik. Bahkan Lilac juga sangat suka dengan kamu, tapi, maaf... maaf karena saya telah melibatkan kamu dalam kehidupan saya. Maaf... saya ternyata benar-benar tidak bisa... Ranu tak tega melanjutkan kalimatnya. Aini mendongak, menatap angkasa. Mata berkaca-kaca itu membuat Ranu merasa makin berdosa. Bukan salah Kang Ranu. Saya yang terlalu memaksakan diri. Aini menghela napasnya, Sejak awal... saya tahu Kang Ranu datang ka Lembang karena sedang menghindar dari orang lain. Sejak awal saya tahu. Tapi, dulu, saya pikir suatu hari nanti Kang Ranu akan melupakan orang itu. Melupakan orang itu dan akhirnya melihat saya...

146

Ranu menggenggam tangan Aini dengan lembut. Rasa bersalahnya semakin terasa saat kulitnya menyentuh kulit Aini. Maaf, Aini... saya berusaha... tapi, maaf... Aini mengeluarkan sesuatu dari kantong roknya. Sebuah gantungan kunci berbentuk bunga matahari. Ranu terkejut benda itu bisa ada pada Aini. Saya sering lihat Kang Ranu memandangi benda ini siga liat22 harta karun. Kamari teh kacuci di saku calana.23 Ranu melepaskan genggamannya dan menerima benda itu di tangannya. Aini berdiri. Saya mau berkemas. Nanti sore saya pulang ka Lembang. Nanti saya antar, Ni. Ranu ikut berdiri. Aini tersenyum. Senyum terakhir yang mungkin akan Ranu lihat setelah bertahun-tahun lamanya. Nuhun, Kang Ranu. Aini menyeka air yang mengalir dari ujung matanya. Air mata yang menyesakkan dada Ranu. Air mata yang menambah beban rasa bersalah Ranu. Terima kasih untuk semuanya. Aini berbalik, melangkah menuju kamar tamu tempatnya bermalam beberapa hari itu. Meninggalkan Ranu yang terpaku di tempatnya. Ranu yang menggenggam gantungan kunci berbentuk bunga matahari di tangannya.

Ranu tidak segera pulang ke rumahnya setelah mengantar Aini ke tempat travel. Ranu merasa travel lebih aman bagi Aini. Setidaknya ia harus bertanggung jawab tentang keamanan perempuan itu. Hujan yang mengguyur Jakarta sore itu, tidak menghalangi niat Ranu untuk mengunjungi satu tempat yang sudah tahunan tak ia jamah. Ranu berdiri di trotoar jalan yang remang. Ia memandangi toko bunganya yang sudah tutup, mungkin Egi sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Ranu memandangi gedung kampus akademi perawat di seberang tokonya, memandangi tenda soto yang sepertinya sudah digulung. Terlalu gelap untuk melihat lebih jauh lagi. Ranu berbalik. Menyusuri trotoar yang basah, sisa-sisa hujan sore tadi. Taman kota tampak tak begitu ramai. Mungkin karena hujan sore tadi. Hanya ada beberapa remaja di sudut taman yang sibuk menyulut sumbu kembang api. Ranu

22 23

Seperti melihat Kemarin tercuci di saku celana

147

melirik angkasa. Langit Jakarta tampak cerah. Ada titik-titik cahaya yang memperindah hitamnya. Awan hujan benar-benar sudah menyingkir ke tempat lain. Tenda remang yang tak jauh dari tempat Ranu berdiri terlihat sangat menggoda. Aromanya begitu mengundang. Ranu berlari kecil menuju tenda tukang nasi goreng itu. Sesekali melompati genangan air yang berwarna kecokelatan itu. Ia tak peduli pada cipratan-cipratan air genangan yang mengenai celana jeans-nya. Langkah Ranu terhenti di depan tenda nasi goreng itu. Tampak tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pada keberadaan sosok mungil yang berhenti di depan tenda yang sama. Suara Ranu disembunyikan jakunnya. Untuk sesaat, Ranu hanya memandangi sosok di hadapannya itu. Rindu. Ya, Ranu sangat rindu pada sosok itu. Kerinduan yang tak sempat ia tumpahkan beberapa hari yang lalu. Suara gesekan wajan dan spatula, suara anak-anak remaja, suara malam, membantu Ranu menutupi hening yang tidak ia suka. Ia ingin bicara. Bicara dan mendengar sosok mungil di hadapannya itu berkomentar. Komentar apa saja. Sekadar tertawa pun tak masalah bagi Ranu. Ranu melangkah mendekati sosok gadis itu. Gadis itu melakukan hal yang sama. Ranu berhenti tepat satu langkah di hadapan gadis itu...

148

EPILOG
Kedua sosok yang sejak tadi hanya saling tatap itu akhirnya melempar senyuman. Keduanya lantas bergerak mendekat. Jarak mereka kini hanya terpaut satu langkah. Ada aura kehangatan yang memancar di sekeliling mereka berdua. Si Pria bersuara lebih dulu, mengusir hening di antara mereka. Malam ini cerah. Si Pria mendongak menatap angkasa. Si Gadis melakukan hal yang sama, menatap angkasa. Ya. Sangat cerah. Tapi, sore tadi hujan rintik. Hujannya sudah berlalu, bukan? Pria itu menoleh pada Si Gadis. Dan kini saya melihat pelangi. Pria itu tersenyum. Kamu tahu, Ris, Iris adalah nama seorang dewi pelangi bangsa Yunani. Iris dipakai sebagai nama bunga yang warnanya menyerupai pelangi itu. Bunga Iris. Bunga favorit saya. Si Gadis tertawa pelan. Saya nggak pernah hapal sama bunga-bungaan. Cuma tahu Mawar dan bunga Matahari. Saya tahu itu. Si Pria mengeluarkan gantungan kunci berbentuk bunga Matahari. Pipi Si Gadis bersemu merah muda saat melihat benda itu. Benda lama yang tak ia sangka masih ada. Lama keduanya memandangi benda kecil yang bergoyang-goyang tertiup angin itu. Lantas keduanya menghela napas bersamaan. Menoleh saat menyadari hal itu dan tertawa bersama. Mata keduanya bertemu. Tawa itu terhenti. Si Pria mengalihkan pandangannya ke jalan taman yang berbatu di bawah kakinya. Maaf, saya tak bisa menjadi yang terbaik... Siang tadi, ibu menemui saya... Pak Ranu tahu, ibu bilang, yang terbaik belum tentu yang membahagiakan. Si Pria melirik Si Gadis yang masih memandanginya. Di mata Si Gadis, Pria itu menemukan jalan hidupnya terbentang lebar. Masa depannya. Sementara Si Gadis melihat arti kata bahagia dalam sepasang mata yang meliriknya itu. Perlahan, Si Pria menautkan jemari tangannya pada jari-jari mungil Si Gadis. Dan yang membahagiakan belum tentu karena menjadi yang pertama.

Bagimu, menjadi yang pertama mungkin memang indah. Tapi bagiku, menjadi yang kedua, yang terakhir, dan untuk selamanya,

149

adalah sebuah anugerah yang jauh lebih indah...

...Iris & Ranu

150

Anda mungkin juga menyukai