Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KRIMINALISASI TERHADAP NEPOTISME MENGGUNAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME Disusun oleh :

NOFRY HARDI
NO BP. 1220113030

Dibawah Bimbingan : Dr. Suharizal, SH, MH

Fokus Thesis Hukum Pidana

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2013

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Di dalam penjelasan Undang-undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtstaat) yang bersumber pada Pancasila dan bukan pada kekuasaan belaka (Machstaat). Ini mengandung konsekuensi bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur negara dan warga negara harus selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku. Manusia, selain sebagai individu juga sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia berusaha untuk mencukupi kebutuhannya, dan sebagai individu manusia ingin melangsungkan hajat hidupnya sebaik mungkin. Pada saat itu terjadi hubungan antar individu, maupun antar kelompok yang disebut interaksi. Meskipun telah diamandemen Undang-Undang Dasar 1945, ternyata Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tetap dipertahankan karena memuat ketentuan yang bersifiat grundnorm sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Dalam arti pandangan hidup tersebut berimplikasi pada keuangan negara dalam rangka pencapaian tujuan Negara, adapun tujuan Negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejaterahan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial1. Tidaklah mustahil, apabila saat berinteraksi akan terjadi benturan-benturan kepentingan antar individu maupun antar kelompok. Agar dalam interaksi antar individu dapat tercapai tujuan, dan tidak terjadi hal-hal yang dapat merugikan dalam berinteraksi tersebut maka diperlukan sebuah peraturan yang dapat mengatur interaksi-interaksi tersebut. Peraturan tersebut

Muhammad Djafar Saidi,. Hukum Keuangan Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm 3

haruslah mengandung sesuatu yang dapat memaksa para individu untuk mematuhi aturan main yang telah dibuat. Hal yang memaksa tersebut kita sebut dengan sanksi atau yang disebut dengan Hukum Pidana. Hukum pidana dikenal sebagai Undang-Undang Pidana Umum dan Undang-Undang Pidana Khusus. Undang-Undang Pidana Umum tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sementara itu, Pidana Khusus, Bersifat Khusus dalam arti tersendiri, atau berarti Pidana yang dibuat secara Khusus untuk menghadapi suatu keadaan atau suatu kondisi masyarakat tertentu. Undang-undang Pidana Khusus tersebut memuat ketentuan yang bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam Undang-undang Pidana Umum. Ini sesuai dengan adagium: lex specialis derogat legi generali. Salah satu hal yang diatur oleh Undang-Undang Tindak Pidana Khusus adalah mengenai tindak pidana korupsi. Korupsi telah menjadi kejahatan yang dianggap merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat dan bernegara. Korupsi Negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi sudah masuk dalam kategori membahayakan. Banyak faktor penyebab kenapa jumlah perkara korupsi dari tahun ke tahun semakin meningkat. Faktor-faktor itu di antaranya adalah pertama, kesadaran masyarakat yang masih rendah. Kesadaran masyarakat yang masih rendah akan dampak perilaku korup terhadap kehidupannya sendiri, merupakan salah satu faktor utama penyebab terjadinya korupsi. Seandainya tercipta pola pikir dan pandangan serta kesadaran masyarakat terhadap dampak buruk korupsi pada perekonomian negara dan kehidupan sosial kemasyarakatan, maka peluang untuk pemberantasan korupsi akan lebih terbuka lebar. Hal yang masih termasuk dalam faktor ini adalah cara pandang masyarakat yang salah mengenai kekayaan. Masyarakat menganggap

kekayaan adalah simbol status sosial pada era kapitalis dewasa ini, orang-orang berlomba untuk mengumpulkan kekayaan. Kekayaan seseorang telah disepadankan dengan kesuksesan dan keberhasilannya. Namun pada beberapa orang, mereka mengumpulkan kekayaan dengan cara yang salah, yaitu dengan melakukan korupsi. Faktor kedua, adalah faktor penegakan hukum yang masih lemah. Mental aparat yang sangat rendah ditambah dengan ketidakprofesionalannya menyebabkan strategi pemberantasan korupsi berjalan tidak maksimal, bahkan tak bergerak sama sekali. Tekad pemberantasan korupsi pada aparat penegak hukum tidak sepenuhnya dihayati dan menjadi sebuah kesatuan tujuan, sehingga seringkali terjadi ketidak selarasan penegakan hukum. Faktor ketiga, adalah faktor regulasi yang tidak mendukung. Faktor undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang belum bisa diselaraskan dengan kenyataan di lapangan, membuka berbagai celah dan kelemahan dalam upaya pemberantasan korupsi. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa hukum akan selalu berada dibagian terbelakang dan tertinggal dari perkembangan zaman, namun tentunya hal tersebut dapat ditanggulangi dan dihindari sedemikian rupa dengan membuat regulasi peraturan perundang-undangan yang berusaha untuk mencakup hal-hal yang kemungkinan terjadi di masa mendatang. Hal tersebut merupakan tugas dan tanggungjawab daripada para pembuat undang-undang. Selain itu, ketidaktegasan sanksi pidana yang diancamkan kepada koruptor tidak cukup membuat efek jera. Para koruptor yang terjerat dan terbukti telah melakukan korupsi tentu akan dipidana dengan sanksi yang telah diatur, namun karena ketidaktegasannya sanksi pidana dalam memberi efek jera pada koruptor membuat penikmatan terhadap hasil-hasil yang diperoleh dengan perbuatan korup ini lebih menggiurkan dibandingkan dengan pemidanaan yang singkat dan relatif lemah.

Korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi disebutkan sebagai jenis tindak pidana yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi, bahkan dalam bagian pertimbangan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dikatakan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara prioritas2. Selain tindak pidana korupsi yang termuat dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terdapat juga suatu tindak pidana yang bahayanya sudah sangat meluas dan bisa diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi yaitu tindak pidana jabatan. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang dimaksud dengan tindak pidana jabatan atau ambtsdelicten ialah sejumlah tindak pidana tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh orangorang yang mempunyai sifat sebagai pegawai negeri.3 Namun belum ada proses konkret penegakan hukumnya terhadap tindak pidana tersebut meskipun sudah diatur dalam undangundang tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pengertian nepotisme adalah tindakan yang hanya menguntungkan sanak saudara atau teman-teman sendiri, terutama dalam pemerintahan walaupun objek yang diuntungkan tidak kompeten. Pengertian nepotisme sebagai tindakan mengambil kesempatan terhadap suatu keadaan, posisi atau jabatan berdasarkan hubungan kekerabatan, tidak selalu mempunyai konotasi makna yang negatif. Nepotisme menjadi sebuah perilaku positif (baik), apabila objek yang diuntungkan memang dianggap kompeten.

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2005, hlm. 2. 3 Lamintang, Kejahatan Jabatan dan Kajahatan jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi , Jakart, SinarGrafika, 2009, hlm 1.

Pengertian Nepotisme dalam Undang-Undang adalah setiap perbuatan penyelenggaraan negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya diatas kepentingan masyarakat, negara dan bangsa. Sedangkan pengertian nepotisme dalam Islam adalah menganjurkan untuk mendahulukan pemberian atau mementingkan sanak saudara atau teman sendiri, terutama dalam hal sedekah, infak dan zakat yang betul-betul membutuhkan dan mendesak. Yang menjadi persoalan, jika tindakan nepotisme dikaitkan pemberian posisi atau jabatan tertentu kepada orang yang mempunyai kekerabatan dengan seorang pelakunya tanpa memperdulikan unsur-unsur sebagai berikut : 1. Pertama, unsur keahlian atau kemampuan yang dimiliki, kalau nepotisme dilakukan dengan tidak memperdulikan kualitas, maka pelakunya bisa dikategori sebagai orang yang dzalim dan dapat merusak tatanan kehidupan, baik keluarga, masyarakat, negara, maupun agama. 2. Kedua, unsur kejujuran dalam menjalankan amanat, Jika nepotisme dijalankan dengan cara yang tidak dibenarkan dalam suatu peraturan atau hukum tertentu, seperti menutup kesempatan kepada orang lain yang sama-sama mempunyai hak, maka ia termasuk kelompok yang bisa dikategorikan sebagai orang yang tidak jujur dan khianat terhadap amanat. Pelanggaran ketentuan nepotisme, umumnya digabung menjadi satu istilah, yaitu Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Ketiga hal ini seolah-olah telah menjadi satu kata, akan tetapi sebagai akibatnya pembahasan masalahnya sendiri menjadi tidak fokus, sebagai konsep mengambang, dan secara operasional menyulitkan.4 Nepotisme berarti kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dijabatan, pangkat di lingkungan pemerintah. Berdasar pada keterangan di atas, maka dipahami bahwa nepotisme sesuai dengan pengertiannya, bertujuan mengawetkan atau dalam batas-batas tertentu memaksakan kehendak dan kepentingan untuk merajai kekuasaan (politik) dan penguasaan ekonomi

Thabib al-Asyhar, Bahaya Makanan bagi Kesehatan Jasmani dan Rohani , (Jakarta, al-Mawardi, 2003). Tim Redaksi Fokus Media, Himpunan Peraturan Perundangan-Undangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Fokus Media, 2008). Abu Fida Abdul Rafi, Terapi Penyakit Korupsi, (Jakarta, Penerbit Republik, 2006).

(bisnis), sehingga salah satu dampaknya adalah praktik monopoli dan brokenisasi yang didominasi oleh keluarga atau orang-orang dekat tertentu. Sehingga Nabi saw menyarankan agar menghadapi suasana demikian, haruslah disertai kesabaran.5 L.B Curzon mengemukakan pendapatnya tentang hukum sebagai simbol. Menurutnya yang dimaksud simbol adalah; inolves the process wherby persons consider in simple term the social relationships and other phenomena arising from their interaction. 6 Ahmad Ali sangat menyetujui ungkapan tersebut. Hukum sebagai simbol, mencukupi berbagai proses bagi seseorang dalam menterjemahkan, menggambarkan dan mengartikan suatu istilah sederhana perhubungan sosial serta fenomena lainnya yang timbul dari interaksinya dengan orang lain. Misalnya seseorang mengambil barang orang lain dengan maksud memiliki dan dengan melawan hukum. Dalam hukum pidana, tindakan itu disimbolkan sebagai tindakan pencurian.7 Contoh lain hukum sebagai simbol, oknum aparatur negara di Indonesia sangat terkenal sering nelakukan tindakan yang merugikan keuangan nengara. Tidak sedikit di antara birokrat negara dari lapisan bawah hingga tertinggi memanfaatkan jabatan dan kekuasaannya untuk mengambil harta negara dengan maksud memperkaya diri dengan jalan melanggar hukum. Tindakan ini disebut dalam hukum pidana sebagai korupsi. Selain itu, dua orang atau pihak atau lebih melakukan suatu kerjasama dalam upaya memperoleh keuntungan sehingga dapat merugikan orang, kepentingan negara sangat sering pula terdengar sekarang ini. Tindakan yang melanggar ini disimbolkan sebagai kolusi. Kedua tindakan yang menyalahi hukum karena terjadinya pelanggaran terhadap hak dan kewajiban sebenarnya dapat juga dinyatakan sebagai tindakan pencurian, terutama bila menyangkut material, tetapi diberi simbol yang lain. hukum
5

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2000. Ibn Hajar al-Asqlani, fath al-Bariy bi Syarh Shahih al-Bukhari, juz VII t.tp: Dar al-Fikr wa Maktabah al-Salafiyah, t.th. Badr al-Din Abu Muhammad bin Ahmad al-Ayniy, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, jilid VIII Beirut: Muhammad Amin Damaj, t.th. Abu al-Ula Muhammad bin Abd al-Rahman al-Mubarakfuri, Muqaddimah Tuhfah al-Ahwaziy bi Syarh Jami al-Turmuziy, juz VI Beirut: Dar al-Fikr, 1979. Muhammad Abu Bakar al-Raziy, Mukhtar al-Sihhah, Beirut: Dar al-Fikr, 1991. Muhammad Farid Wajdi, Dairah al-Maarif al-Qarn al-Isyrin, jilid V Beirut: Dar al-Fikr, 1979. Al-Nawawy, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994. 6 L.B. Curzon, Conplict and Tensions in Islamic Jurisprudence (Cabridge: Cabridge Universitas Press 1974).
7

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis , (Cet I: Jakarta: Chandra Pratama, 1996).

telah menetapkan simbol keduanya dan masyarakat menangkap kedua tindakan itu dalam kaitan dengan interaksi atau menangkap makna fenomena yang terjadi.8 Berdasarkan uraian di atas tadi, maka penulis tertarik ingin mengetahui dan mendalami lebih jauh mengenai pelaksanaan penegakan hukum terhadap kejahatan jabatan dalam tindak pidana korupsi dan hambatan yang timbul dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap kejahatan jabatan dalam tindak pidana korupsi khususnya di Kompetensi Pengadilan Negeri Padang, adapun judul yang penulis pilih adalah 1.2. Perumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah pelaksanaan penegakan hukum terhadap Kriminalisasi Terhadap Nepotisme Menggunakan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang

Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme? 2. Hambatan apa sajakah yang timbul dalam Kriminalisasi Terhadap Nepotisme Menggunakan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme?

1.3. Tujuan Penelitian Penelitian merupakan suatu proses dengan menggunakan metode ilmiah untuk dapat menemukan, mengembangkan serta menguji kebenaran ilmu pengetahuan, oleh karena itu penelitian ini betujuan untuk : 1. Untuk mengetahui pelaksanaan penegakan hukum terhadap Kriminalisasi Terhadap Nepotisme Menggunakan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang

Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. 2. Untuk mengetahui hambatan yang timbul dalam Kriminalisasi Terhadap Nepotisme Menggunakan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme
8

Soerjono Soekamto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Cet. VII; Jakarta: Rajawali Press, 1994).

1. 1.4. Manfaat Penelitian Adapun kegunaan dalam penelitian ini adalah : 1.4.1. Secara teoritis Dalam penelitian ini di harapkan agar hasil penelitian nantinya dapat memberikan ataupun menambah pengetahuan terhadap disiplin ilmu hukum secara umum terutama mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan pelaksanaan penegakan hukum terhadap kejahatan jabatan dalam tindak pidana korupsi.. 1.4.2.Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan sumbangan pemikiran bagi pemerintah sebagai policy maker, khususnya bagi aparat penegak hukum. 1.5.Metode Penelitian Untuk mendapatkan data dan pengolahan data yang diperlukan dalam penulisan tesis hukum ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1.5.1. Metode Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan

pendekatan yuridis sosiologis yaitu dengan melihat fakta-fakta yang berkaitan dengan pelaksanaan uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Padang. 1.5.2. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu suatu upaya menggambarkan dan menjelaskan secara rinci mengenai pelaksanaan penegakan hukum terhadap kejahatan

jabatan dalam tindak pidana korupsi dan hambatan apa saja yang timbul dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap kejahatan jabatan dalam tindak pidana korupsi. 1.5.3. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Pengadilan Negeri Padang dan Kejaksaan Negeri Padang. 1.5.4. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara Wawancara penulis lakukan untuk dapat lebih menggambarkan pelaksanaan pelaksanaan penegakan hukum terhadap kejahatan jabatan dalam tindak pidana korupsi dan hambatan apa saja yang timbul dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap kejahatan jabatan dalam tindak pidana korupsi. b. Studi Dokumen Studi dokumen, diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan atau studi dokumen terhadap aturan-aturan dan buku-buku serta program kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dilingkungan Pengadilan dan Kejaksaan Negeri Padang guna memperoleh data awal untuk digunakan dalam penelitian lapangan. 1.5.5. Jenis Data a. Data Primer Data Primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari para informan dan responden yang dikumpulkan melalui studi lapangan dengan cara observasi dan wawancara mendalam.

b. Data Sekunder Sedangkan data sekunder ialah data yang berkaitan dengan dokumen-dokumen dalam pelaksanaan uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi di Pengadilan dan Kejaksaan Negeri Padang seperti Berita Acara Pemeriksaan dan putusan Hakim. 1.5.6. Analisis Data Dianalisa dengan cara kualitatif, yaitu penafsiran terhadap data dengan bertitik tolak dari definis-definisi yang terdapat pada tinjauan pustaka, sehingga hasil analisis dapat dideskripsikan dan dirumuskan menjadi kesimpulan penelitian sebagai jawaban terhadap permasalahan-permasalahan di dalam penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai