Anda di halaman 1dari 14

REFERAT GENERAL ANESTESI ANAK DENGAN FRAKTUR FEMUR PADA PEMASANGAN ORIF (Open Reduxtion and Internal Fixation)

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Anestesi dan Reanimasi RSUD Sragen

Oleh: Iqnu Sasminta Bhakti Nuzul Rizki Dermawan Aprialita Dini Wulansari

12712353 12712318 12712336

Dokter Pembimbing: dr. IG.L. Sukamto Sp.An dr. Hanifa Agung Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI DAN REANIMASI RSUD SRAGEN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2013 LEMBAR PENGESAHAN

GENERAL ANESTESI ANAK DENGAN FRAKTUR FEMUR PADA PEMASANGAN ORIF (Open Reduxtion and Internal Fixation)

Oleh: Iqnu Sasminta Bhakti 12712353 Nuzul Rizki Dermawan Aprialita Dini Wulansari 12712318 12712336

Telah dipresentasikan tanggal: Juni 2013 Dan disetujui oleh:

Pembimbing I

Pembimbing II

dr. IG.L. Sukamto Sp.An

dr. Hanifa Agung Sp.An

KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Segala puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan hidayah-Nya, terutama nikmat sehat dan semangat yang telah dilimpahkan kepada kami, sehingga kami sanggup menyelesaikan proses penyusunan referat ini. Referat yang bejudul General Anestesi Anak dengan Fraktur Femur pada Pemasangan ORIF (Open Reduxtion and Internal Fixation) ini tidak mungkin terselesaikan tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Allah SWT yang telah memudahkan setiap langkah dengan limpahan rahmat dan berkah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. dr. IG.L Sukamto Sp.An selaku dosen pembimbing kepaniteraan klinik ilmu anestesi dan reanimasi Fakultas Kedokteran UII RSUD Sragen. dr. Hanifa Agung Sp.An selaku dosen pembimbing kepaniteraan klinik ilmu anestesi dan reanimasi Fakultas Kedokteran UII RSUD Sragen. Bapak Harsono S.Kep selaku kepala Instalasi Bedah Sentral RSUD Sragen. Seluruh bapak ibu Perawat Anestesi dan Bedah Instalasi Bedah Sentral RSUD Seluruh dosen Fakultas Kedokteran UII yang selama kuliah telah memberikan ilmu dan bekal hingga akhir studi. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penulisan karya tulis ilmiah ini dan

Sragen yang telah membantu dalam kegiatan kepaniteraan klinik.

dicatat sebagai amal sholeh. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini jauh dari sempurna. Namun dengan segala kemampuan yang ada, penulis berusaha menyusun karya tulis ilmiah ini dengan harapan semoga bermanfaat bagi semua pihak yang membaca. Amiin. Wassalamualaikum Wr.Wb Sragen, 13 Juni 2013 Penulis BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Femur merupakan tulang terpanjang pada tubuh manusia. Hal ini menyebabkan perkembangan tulang terjadi pada bagian proksimal dan distal sehingga memungkinkan koordinasi aktifitas musculoskeletal pada panggul dan lutut. Perkembangan pada femur proksimal khususnya pada epifisis dan fisis sangat kompleks di antara region pertumbuhan skeletal apendikular (Odgen, 2000). Fraktur (patah tulang) adalah terputusnya kontuinitas tulang yang ditentukan sesuai jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang terkena stress yang lebih besar dari pada yang dapat diabsorbsinya (Smelzter and Bare, 2002). Fraktur terjadi biasanya akibat dari trauma, beberapa fraktur sekunder bisa pula terjadi akibat proses penyakit seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis (Mansjoer, 2001). Fraktur ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, dan krepitasi (Doenges, 2000). Parsch (2010) menyebutkan bawa fraktur batang femur (femoral shaft fracture) termasuk diantaranya region subtrokanter dan suprakondilar berkisar 1,6% pada semua fraktur pada anak. Rasio antara anak laki laki dan perempuan adalah 2 : 1, rasio ini mungkin akan mengalami perubahan jika semakin banyak anak perempuan yang berpartisipasi pada olah raga. Tingkat terjadinya fraktur batang femur per tahunnya adalah 19 per 100.000 anak anak. Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti kecelakaan mobil,

olah raga, atau jatuh. Patah tulang terjadi jika tenaga yang melawan tulang lebih besar dari pada kekuatan tulang. Jenis dan beratnya patah tulang dipengaruhi oleh : a. Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang. b. Usia penderita. c. Kelenturan tulang dan jenis tulang. Fraktur bisa dibedakan menjadi beberapa klasifikasi, contohnya berdasarkan parahnya integritas kulit, lokasi, patahan, bentuk, dan status kelurusan. Menurut integritas kulit, fraktur dibedakan menjadi fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur tertutup adalah fraktur yang tertutup karena integritas kulit masih utuh atau tidak berubah. Fraktur terbuka adalah fraktur karena integritas kulit robek atau terbuka, dan ujung tulang menonjol sampai menembus kulit. Menurut patahan tulangnya, dibedakan menjadi fraktur komplit dan fraktur tidak komplit. Fraktur komplit adalah fraktur yang luas dan melintang. Biasanya dengan perpindahan posisi tulang. Fraktur tidak komplit adalah hanya sebagian dari tulang yang retak. Menurut bentuk dan status kelurusannya, fraktur dibedakan menjadi : a. Greenstick, fraktur yang tidak sempurna biasanya sering terjadi pada anak-anak.. b. Transversal, fraktur luas yang melintang dari tulang. c. Oblik, fraktur yang memiliki arah miring. d. Spiral, fraktur luas yang mengelilingi tulang. e. Comuminuted, fraktur ini terjadi karena mencakup beberapa fragmen. f. Depresi, fraktur ini terjadi pada tulang pipih, khususnya tulang tengkorak dimana kekerasan langsung mendorong bagian tulang masuk kedalam. g. Kompresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang). h. Patologik, terjadi jika sebuah tumor (biasanya kanker) telah tumbuh kedalam tulang dan menyebabkan tulang menjadi rapuh. i. Avulsi, disebabkan oleh kontraksi otot yang kuat, sehingga menarik bagian tulang tempat tendon tersebut melekat. Paling sering terjadi pada bahu dan lutut, tetapi bisa juga terjadi pada tungkai dan tumit. Bila Fraktur mengubah posisi tulang, struktur yang ada disekitarnya (otot, tendon, saraf dan pembuluh darah) bisa mengalami kerusakan.

ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan sepanjang bidang anatomik tempat yang mengalami fraktur. Fraktur direposisi dengan tangan agar menghasilkan posisi yang normal kembali, sesudah reduksi, fragmen fragmen tulang dipertahankan dengan alat alat berupa Pin, Pelat, srew, paku. I.2. Anestesiologi Menurut Latief, S. A., (2002), anestesiologi adalah ilmu kedokteran yang awalnya berprofesi menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama dan sesudah pembedahan. Definisi ini berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran. Definisi yang ditegakkan oleh oleh The American Board of Anesthesiology pada tahun 1989 ialah mencakup semua kegiatan profesi atau praktek yang meliputi hal-hal berikut: 1. Menilai, merancang, menyiapkan pasien untuk anstesi. 2. Membantu pasien menghilangkan nyeri pada saat pembedahan, persalinan atau pada saat dilakukan tindakan diagnostik terapeutik. 3. Memantau dan memperbaiki homeostasis pasien perioperatif dan pada pasien dalam keadaan kritis. 4. Mendiagnosis dan mengobati sindroma nyeri. 5. Mengelola dan mengajarkan resusitasi jantung paru. 6. Membuat evaluasi fungsi pernapasan dan mengobati gangguan pernapasan. Tujuan tersebut tentunya dapat diterapkan pada setiap tindakan yang memerlukan anestesi, termasuk juga pada tindakan pembedahan untuk operasi ORIF.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini dapat berupa Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranversal. II.1.1. Indikasi Indikasi dilakukannya ORIF menurut Reksoperasirodjo. S, (1995) yaitu : 1. Fraktur yang tidak bisa sembuh tanpa manipulasi pembedahan. 2. Fraktur yang tidak bisa direposisi secara tertutup. 3. Fraktur yang dapat direposisi tapi sulit dipertahankan. 4. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan operasi. II.1.2. Komplikasi Beberapa komp;ikasi dari ORIF yaitu : 1. Malunion adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut atau miring. Komplikasi dapat dicegah dengan melakukan analisa yang cermat sewaktu melakukan

reduksi dan mempertahankan reduksi dengan baik dan benar, terutama pada masa awal penyembuhan. 2. Delayed union dan non union adalah sambungan tulang yang terlambat dan tulang patah yang tidak menyambung kembali (Price, A.S, 1996). 3. Gejala pada pasien post ORIF yaitu edema, nyeri, pucat, otot tegang dan bengkak, menurunnya pergerakan, menolak bergerak, deformitas (perubahan bentuk), eritema, parestesia atau kesemutan (Apley, 1995). II.2. Penatalaksanaan Anestesi II.2.1 Penilaian Preoperatif Selain penilaian anestesi rutin, perhatian terutama di fokuskan pada fungsi organ dalam khususnya jantung dan paru-paru. Indikator yang terbaik bahwa pasien menderita penyakit sistemik adalah riwayat mediknya, sehingga perlu diteliti mengenai riwayat penyakitnya. Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan hanya minimal saja yang didapatkan. Pada kasus ini tidak bisa diukur tekanan darah pasien akibat peralatan yang kurang memadai dan pasien adalah anak-anak. Pemeriksaan laboratorium mutlak diperlukan untuk pasien yang akan melakukan operasi. Hal tersebut untuk menyiapkan pasien dan mengantisipasi keadaan yang tidak menguntungkan terjadi. Urinalisis merupakan pemeriksaan laboratorium yang murah, informatif dan tersedia. Hitung darah lengkap dapat juga diperlukan untuk mengetahui kondisi pasien. Pemeriksaan lain seperti rontgen thorax dan EKG diperlukan tergantung dari symptom yang ditunjukan pasien. II.2.2 Obat-obat Premedikasi Analgetik Narkotik 1. Morfin Dosis premedikasi dewasa 5-10 mg (0,1-0,2 mg/kgBB) intramuskular. Diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan pasien menjelang operasi, dan agar anestesi berjalan dengan tenag dan dalam.

2. Petidin Dosis premedikasi dewasa 50-75 mg (1-1,5 mg/kgBB) intravena. Diberikan untuk menekan tekanan darah dan pernafasan serta merangsang otot polos. Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital) Diberikan untuk menimbulkan sedasi. Dosis dewasa 100-200 mg, pada anak dan bayi 1 mg/kgBB secara oral atau intramuskular. Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan kurang menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Yang mudah didapat adalah fenobarbital dengan efek depresan yang lemah terhadap pernafasan dan sirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan muntah. Antikolinergik (Atropin) Mekanisme atropin menghambat aksi asetilkolin pada bagian parasimpatik otot halus, kelenjar sekresi dan SSP, meningkatkan output jantung, mengeringkan sekresi, mengantagonis histamin dan serotonin. Atropin diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus. Dosis atropin untuk premedikasi injeksi intravena sebesar 300 600 mcg , segera sebelum induksi anestesia. Untuk anak-anak 20 mcg/kg ( maksimal 600 mcg). Pemberian injeksi subcutan atau intramuscular 300 600 mcg 30 60 menit sebelum induksi dan untuk anak-anak 20 mcg/kg (maksimal 600 mcg). Obat Penenang (transquillizer) Diazepam merupakan golongan benzodiazepin. Pemberian dosis rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik. Dosis premedikasi dewasa 10 mg intramuskular atau 5-10 mg oral (0,2-0,5 mg/kgBB) dengan dosis maksimal 15 mg. Dosis sedasi pada analgesi regional 5-10 mg (0,04-0,2 mg/kgBB) intravena. Dosis induksi 0,2-1 mg/kgBB intravena. II.2.3 Obat Anestesi Inhalasi Dinitrogen Oksida (N2O/ gas gelak)

N2O merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis, tidak iritatif, tidak berasa, lebih berat dari pada udara, tidak mudah terbakar/meledak dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O:O2 yaitu 60%:40%, 70%:30%, dan 50%:50%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesik digunakan dengan perbandingan 20%;80%, untuk induksi 80%:20%, dan pemeliharaan 70%:30%.

Halotan Halotan merupakan cairan tidak berwarna, berbau enek, tidak iritatif, mudah menguap, tidak mudah terbakar/meledak, tidak bereaksi dengan soda lime, dan mudah diuraikan cahaya. Halotan merupakan obat anestesi dengan kekuatan 4-5 kali eter atai 2 kali kloroform. Keuntungan penggunaan halotan adalah induksi cepat dan lancar, tidak mengiritasi jalan nafas, bronkodilatasi, pemulihan cepat, proteksi terhadap syok, jarang menyebabkan mual/muntah. Kerugiannya adalah sangat poten, relatif terjadi over dosis, analgesi dan relaksasi yang kurang, harus dikombinasikan dengan obat analgetik dan relaksan, harga mahal, menimbulkan hipotensi, dan aritmia. Enfluran (ethran) Merupakan obat anestesi eter berhalogen berbentuk cairan, mudah menguap, tidak mudah terbakar, tidak bereaksi dengan soda lime. Induksi dengan enfluran cepat dan lancar. Obat ini jarang menimbulkan mual dan muntah serta masa pemulihannya cepat. Isofluran (forane) Merupakan eter berhalogen, berbau tajam dan tidak mudah terbakar. Keuntungan penggunaan isofluran adalah irama jantung stabil dan tidak terangsang oleh adrenalin serta induksi dan masa pulih anestesi cepat. Sevofluran Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling disukai untuk induksi inhalasi, induksinya enak dan cepat terutama pada anak.

II.2.4 Obat-obat Induksi Induksi anastesi dapat dengan intravena atau dengan inhalasi.Semua obat anestesi inhalasi mengalami biotransformasi sampai taraf tertentu, dengan sebagian besar metabolisme produk non volatil dieksresi oleh ginjal. Akan tetapi, efek reversibel terhadap sistem syaraf pusat dari obat-obatan inhalasi ini tergantung pada eksresi paru, sehingga kegagalan fungsi ginjal tidak akan mempengaruhi respon terhadap obat tersebut. Ketamin terikat dengan protein ikatannya kurang bila dibandingkan dengan thiopental dan tampaknya gagal ginjal berpengaruh minimal pada fraksi bebasnya. Redistribusi dan metabolisme hepar bertanggung jawab untuk terminasi efek anastesinya, dengan < 3% obat dieksresi tanpa mengalami perubahan di urin. Propofol mengalami biotransformasi cepat di hepar menjadi bentuk inaktif yang dieksresi oleh ginjal. Farmakokinetik tampaknya tidak mengalami perubahan pada pasien dengan gagal ginjal. Induksi standar dengan propofol aman untuk gagal ginjal. Kelompok benzodiazepin terikat kuat dengan protein. Gagal ginjal kronik meningkatkan fraksi bebas benzodiazepin dalam plasma, berpotensi meningkatkan efek klinik. Metabolit benzodiazepin tertuntu secara farmakologik aktif dan potensial diakumulasi dengan pemberian dosis ulangan obat induk pada pasien anephrik. Sebagai contoh 60-80 persen midazolam dieksresi dalam bentuk aktif metabolit hydroxy, yang dapat terakumulasi selama pemberian lama infus midazolam pada gagal ginjal. II.2.5 Obat untuk pemeliharaan ... II.2.6 Monitoring ... II.2.6 Keseimbangan cairan ... II.2.7 Penatalaksanaan Nyeri Sesudah Operasi

...

1. Ogden. JA, 2000. Skeletal Injury In The Child Second Edition. New York : W. B Saunders Company. p.857 872 2. Engelhardt PW. 2010. Femoral Neck Fracture In : Benson M, Fixsen J, Macnicol M, Parsch Klaus (eds) Childrens Orthopaedics and Fractures Third Edition. London : Springer. p. 759 764

Smeltzer, Suzanne C. Bare Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC Mansjoer, Arif, et. al. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius. Doenges, Marilynn E. et.al. (2000) Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3. (Alih bahasa oleh : I Made Kariasa, dkk). Jakarta : EGC. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan, M. R., 2002, Fisiologi Ginjal dalam buku Petunjuk praktis Anestesiologi, Cetakan kedua, Bagian anestesiologi dan Terapi intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Appley,A.G and Louis Solomon.(1995).Terjemahan Ortopedi dan Fraktur Sistem Appley ( edisi ke7).Widya Medika.

Hart, E. M., 2006, Anaesthesia for Renal Surgery, University hospitals of Leicester NHS trust, UK, http://www.anaesthesiauk.com/

Anda mungkin juga menyukai