Anda di halaman 1dari 19

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Fungsi Saliva Saliva adalah sekresi yang berkaitan dengan mulut, diproduksi oleh tiga pasang kelenjar saliva utama: kelenjar sublingual, submandibula, dan parotis, yang terletak di luar rongga mulut dan menyalurkan saliva melalui duktus-duktus pendek ke dalam mulut (Sherwood, 2001; Irianto, 2004). Pada saliva mengandung beberapa elektrolit (Na+, K+, Cl-, HCO3-, Ca2+, Mg2+, HPO42-, SCN-, dan F-), protein (amilase, musin, histatin, cystatin, peroxidase, lisozim, dan laktoferin), immunoglobulin (sIgA, Ig G, dan Ig M), molekul organik (glukosa, asam amino, urea, asam uric, dan lemak), dan komponen-komponen yang lain seperti Epidermal growth factor (EGF), insulin, cyclic adenosine monophosphatebinding protein, dan serum albumin (Nanci, 2003; Rai, 2007). Fungsi saliva adalah saliva memulai pencernaan karbohidrat di mulut melalui kerja amilase saliva, yang merupakan suatu enzim yang memecah polisakarida menjadi disakarida; saliva mempermudah proses menelan dengan membasahi partikel-partikel makanan, sehingga mereka saling menyatu, serta dengan menghasilkan pelumasan karena adanya mukus, yang kental dan licin; memiliki efek antibakteri melalui efek ganda, pertama oleh lisozim, suatu enzim yang melisiskan atau menghancurkan bakteri tertentu, dan kedua dengan membilas bahan yang mungkin digunakan bakteri sebagai sumber makanan; berfungsi sebagai pelarut untuk molekul-molekul yang merangsang papil pengecap;

membantu kita berbicara dengan mempermudah gerakan bibir dan lidah. Kita sulit berbicara apabila mulut kita kering. Saliva berperan penting dalam higiene mulut dengan membantu menjaga kebersihan mulut dan gigi. Aliran saliva yang terusmenerus membantu membilas residu makanan, melepaskan sel epitel, dan benda asing. Penyangga bikarbonat di saliva menetralkan asam di makanan serta asam yang dihasilkan oleh bakteri di mulut, sehingga membantu mencegah karies gigi (Amerongen, 1992 ; Sherwood, 2001; Nanci, 2003; Setiadi, 2007).

2.2 Sekresi saliva Pengeluaran saliva sekitar 0,5 sampai 1,5 liter per hari. Tergantung pada tingkat perangsangan, kecepatan aliran bervariasi dari 0,1 sampai 4 ml/menit. Pada kecepatan 0,5 ml/menit sekitar 95% saliva disekresi oleh kelenjar parotis (saliva encer) dan kelenjar submandibularis (saliva kaya akan musin); sisanya disekresi oleh kelenjar sublingual dan kelenjar-kelenjar di lapisan mukosa mulut (Despopoulos dan Silbernagl, 2000). Sekresi saliva yang bersifat spontan dan kontinu, bahkan tanpa adanya rangsangan yang jelas, disebabkan oleh stimulasi konstan tingkat rendah ujung-ujung saraf parasimpatis yang berakhir di kelenjar saliva. Sekresi basal ini penting untuk menjaga agar mulut dan tenggorokan tetap basah setiap waktu (Sherwood, 2001). Selain sekresi yang bersifat konstan dan sedikit tersebut, sekresi saliva dapat ditingkatkan melalui dua jenis refleks saliva yang berbeda: (1) refleks saliva sederhana, atau tidak terkondisi, dan (2) refleks saliva didapat, atau terkondisi. Refleks saliva sederhana (tidak terkondisi) terjadi sewaktu kemoreseptor atau

10

reseptor tekanan di dalam rongga mulut berespons terhadap adanya makanan. Sewaktu diaktifkan, reseptor-reseptor tersebut memulai impuls di serat saraf aferen yang membawa informasi ke pusat saliva di medula batang otak. Pusat saliva kemudian mengirim impuls melalui saraf otonom ekstrinsik ke kelenjar saliva untuk meningkatkan sekresi saliva. Tindakan-tindakan gigi mendorong sekresi saliva walaupun tidak terdapat makanan karena adanya manipulasi terhadap reseptor tekanan yang terdapat di mulut. Pada refleks saliva didapat (terkondisi), pengeluaran saliva terjadi tanpa rangsangan oral. Hanya berpikir, melihat, membaui, atau mendengar suatu makanan yang lezat dapat memicu pengeluaran saliva melalui refleks ini (Sherwood, 2001).

Gambar 2.1 Kontrol Sekresi Saliva (Sherwood, 2001) Pusat saliva mengontrol derajat pengeluaran saliva melalui saraf-saraf otonom yang mempersarafi kelenjar saliva. Tidak seperti sistem saraf otonom di 11

tempat lain, respon simpatis dan parasimpatis di kelenjar saliva tidak saling bertentangan. Baik stimulasi simpatis maupun parasimpatis, keduanya

meningkatkan sekresi saliva, tetapi jumlah, karakteristik, dan mekanisme yang berperan berbeda. Rangsangan parasimpatis, yang berperan dominan dalam sekresi saliva, menyebabkan pengeluaran saliva encer dalam jumlah besar dan kaya enzim. Stimulasi simpatis, di pihak lain, menghasilkan volume saliva yang jauh lebih sedikit dengan konsistensi kental dan kaya mukus. Karena rangsangan simpatis menyebabkan sekresi saliva dalam jumlah sedikit, mulut terasa lebih kering daripada biasanya selama keadaan saat sistem simpatis dominan, misalnya pada keadaan stres (Sherwood, 2001). Jalur saraf parasimpatis untuk mengatur pengeluaran saliva terutama dikontrol oleh sinyal saraf parasimpatis sepanjang jalan dari nukleus salivatorius superior dan inferior batang otak (Guyton dan Hall, 2008). Obyek-obyek lain dalam mulut dapat menggerakkan refleks saliva dengan menstimulasi reseptor yang dipantau oleh nervus trigeminal (V) atau inervasi pada lidah dipantau oleh nervus kranial VII, IX, atau X. Stimulasi parasimpatis akan mempercepat sekresi pada semua kelenjar saliva, sehingga menghasilkan produksi saliva dalam jumlah banyak (Martini, 2006; Tortora dan Derrickson, 2009)

12

Gambar 2.2 Pengaturan sekresi saliva melalui saraf (Guyton dan Hall, 2008)

2.3 Definisi dan Penyebab Xerostomia Xerostomia secara harfiah berarti mulut kering,berasal dari dua kata, xeros yang berarti kering dan stoma yang berarti mulut. Xerostomia merupakan gejala dari bermacam-macam kondisi kesehatan (Amerongen, 1992). Laju aliran saliva keseluruhan yang tidak terstimulasi <0,1ml/menit adalah menurun

(Greenberg dkk, 2008; Scully, 2008). Beberapa penyebab xerostomia adalah sebagai berikut: 1. Kesehatan umum yang menurun Kesehatan umum yang menurun pada beberapa penderita dapat menyebabkan berkurangnya sekresi kelenjar saliva yang dapat

meningkatkan resiko terhadap radang mulut. Gangguan-gangguan ini

13

dapat timbul karena berbagai sebab, misalnya berkeringat yang berlebihan, diare yang lama atau pengeluaran urin yang melampaui batas (Amerongen, 1992). 2. Gangguan sistem saraf Sekresi saliva terutama terdapat di bawah pengaturan hormonal dan diatur oleh neuronal baik oleh sistem saraf otonom parasimpatis maupun simpatis. Gangguan pada sistem saraf pusat dan perifer dapat mempunyai akibat bagi kecepatan sekresi saliva. Kelainan saraf yang diikuti gejala degenerasi, seperti sklerosis multipel, juga akan mengakibatkan

menurunnya sekresi saliva (Amerongen, 1992). 3. Obat-obatan Obat-obatan yang memblokade sistem saraf akan menghambat sekresi saliva. Oleh karena sekresi air dan elektrolit terutama diatur oleh sistem saraf parasimpatis, obat-obatan dengan pengaruh antikolinergik akan menghambat paling kuat pengeluaran saliva. Obat-obatan dengan pengaruh anti -adrenergik (yang disebut -bloker) terutama akan menghambat sekresi saliva mukus (Amerongen, 1992). Terdapat kurang lebih 400 jenis obat-obatan yang dapat menyebabkan xerostomia. Golongan-golongan utama dari obat-obatan tersebut adalah antihistamin, antidepresan, antikolinergik, anti anorexia, anti hipertensi, anti psikotik, anti parkinson, diuresis, dan sedatif. Sebagian besar efek xerogenik dari obat-obatan tersebut bersifat sementara (Bartels, 2005).

14

4. Gangguan kelenjar saliva Gambaran penyakit dengan sel-sel asinar dan sel-sel duktus kelenjar saliva yang berkurang atau mengecil, mengakibatkan penurunan sekresi saliva, seperti; aplasi atau hipoplasi kelenjar saliva mayor pembawaan, atropi kelenjar saliva karena ketuaan atau penyinaran, penyumbatan muara pembuangan oleh batu saliva, tumor, penyakit autoimun, radang kelenjar saliva (Amerongen, 1992). 5. Penyinaran daerah kepala-leher Gangguan fungsi kelenjar saliva setelah penyinaran dengan sinar ionisasi pada daerah kepala-leher sudah banyak diketahui. Jumlah dan keparahan kerusakan jaringan kelenjar saliva tergantung dosis dan lamanya penyinaran (Amerongen, 1992). Pada perawatan untuk kanker mulut, untuk kondisi neoplastik di kepala dan leher, atau pada iradiasi mantel atau iradiasi tubuh total (TBI) sebelum transplantasi sel induk haematopoietic (transplantasi tulang sumsum) (Scully, 2008). 6. Fisiologi Sensasi mulut kering yang subyektif terjadi setelah pembicaraan yang berlebihan dan selama berolahraga. Pada keadaan ini ada dua faktor yang ikut berperan. Bernafas melalui mulut yang terjadi pada saat olah raga, berbicara atau menyanyi, juga dapat memberi efek kering pada mulut. Selain itu, juga ada komponen emosional, yang merangsang terjadinya efek simpatik dari sistem saraf otonom dan menghalangi sistem saraf parasimpatik, sehingga menyebabkan berkurangnya aliran saliva dan

15

mulut menjadi kering. Sebagian besar orang mengalami sensasi mulut kering sebelum melakukan tanya jawab yang penting atau sebelum berpidato (Gayford dan Haskell, 1990). 7. Agenisis dari kelenjar saliva Sangat jarang terjadi, tetapi kadang-kadang pasien memang mempunyai keadaan mulut yang kering sejak lahir. Hasil sialograf menunjukkan cacat yang besar dari kelenjar saliva (Gayford dan Haskell, 1990). 8. Karena penyumbatan hidung Pada anak-anak, penyebab penyumbatan hidung yang paling sering terlihat adalah pembesaran tonsil nasoparingeal (adenoid). Pada orang dewasa terdapat berbagai macam penyebab, dari penyimpangan keadaan hidung, polip hidung atau hipertropi rinitis. Semua keadaan tersebut menyebabkan pasien bernafas dari mulut, tanpa penyumbatan hidung (Gayford dan Haskell, 1990). 9. Faktor ketuaan dan psikologi Keadaan mulut yang kering dapat terlihat berupa kesulitan mengunyah dan menelan, atau kesulitan dalam mempergunakan gigi tiruan. Mukosa yang kering menyebabkan pemakaian gigi tiruan tidak menyenangkan, karena gagal untuk membentuk selapis tipis mukous untuk tempat gigi tiruan melayang pada permukaannya, dan dengan tegangan permukaan yang berkurang untuk retensi gigi tiruan atas dalam menahan tekanan kunyah. Bila daerah pendukung gigi tiruan telah terasa nyeri, trauma dapat berlangsung terus (Gayford dan Haskell, 1990). Menurut Hasibuan (2002),

16

perubahan atropi pada kelenjar saliva seiring dengan pertambahan usia, dimana hal ini akan menurunkan produksi saliva dan mengubah komposisinya (Hasibuan, 2002). 10. Penyakit kelenjar saliva Selain sindrom sjogren, penyakit-penyakit kelenjar saliva jarang menimbulkan xerostomia. Penyakit harus mengenai kedua kelenjar parotid secara bergantian, untuk dapat menimbulkan kerusakan yang menyeluruh (Gayford dan Haskell, 1990).

2.4 Perawatan Xerostomia Segala penyebab yang mendasari xerostomia harus diperbaiki, dan berbagai upaya harus dilakukan untuk menghindari faktor-faktor yang dapat meningkatkan kekeringan, seperti lingkungan yang panas dan kering, makanan kering seperti biskuit, obat-obatan (misalnya antidepresan tricyclic atau diuretik), alkohol (termasuk mouthwases), merokok, minuman yang memproduksi diuresis (kopi dan teh). Bibir mungkin menjadi kering dan atropik, sehingga harus terus lembab dengan menggunakan pelumas yang berbahan dasar air atau produk yang berbahan dasar lanolin (misalnya vaseline). Minyak zaitun, vitamin E atau lip balm juga dapat membantu (Scully, 2008). Pada kasus yang ringan dapat dirawat dengan cara banyak minum, dan akan sangat membantu bagi pasien untuk selalu menyediakan segelas air di samping tempat tidurnya atau untuk membantu menelan makanan. Larutan kumur mulut seperti gliserin dari timol juga dapat digunakan pada beberapa keadaan tertentu.

17

Pemberian warna dan bau tertentu, juga dapat digunakan untuk pasien tertentu. Larutan kumur yang mengandung metil selulose 1% dapat membantu keadaan yang parah; larutan ini tidak berbahaya bila tertelan pasien karena dapat membantu mendorong makanan ke oesopagus. Obat-obatan dengan efek parasimpatetik, cukup berbahaya dan tidak efektif (Gayford dan Haskell, 1990). Xerostomia juga dapat diatasi oleh beberapa obat-obatan seperti pilocarpine, cevimeline, dan anethole trithione. Masing-masing obat tersebut memiliki mekanisme kerja serta kontra indikasi sebagai berikut: 1. Pilocarpine Pilocarpine adalah obat yang bersifat kolinergik dan parasimpatomimetik yang bekerja secara lebih dominan pada reseptor muskarinik dalam merangsang sekresi saliva. Adapun kontra indikasinya adalah pada pasien dengan penyakit asthma, iritis, dan hipotensi. Selain itu efek samping dari pilocarpine adalah meningkatkan pengeluaran keringat, gangguan

pencernaan, hipotensi, rhinitis, diare, dan gangguan penglihatan. 2. Cevimeline Cevimeline adalah obat yang bersifat kolinergik dan agonis dengan daya tarik yang tinggi pada reseptor muskarinik yang terletak pada lacrimal dan epithalium glandula saliva, besarnya pertambahan sekresi eksokrin glandula dan termasuk pertambahan pengeluaran saliva dan keringat. Obat ini memiliki kontra indikasi yang sama seperti pilocarpine, selain itu cevimeline memiliki efek samping seperti pengeluaran keringat yang

18

berlebihan, mual, rhinitis, diare, dan gangguan penglihatan. Hal tersebut sering kali terjadi pada malam hari. 3. Anethole trithione Anethole trithione adalah obat yang distimulasi dan disekresikan di dalam empedu juga distimulasikan pada sistem saraf parasimpatis dan dapat meningkatkan sekresi dari asetilkolin, stimulasi dari saliva dihasilkan dari serous sel asini. Obat ini tidak dapat diberikan pada pasien sjogren sindrom, dan efek sampingnya adalah perut terasa tidak nyaman dan adanya gas dalam perut atau usus (Bartels, 2005). Rangsangan sekresi saliva juga dianggap dapat menanggulangi xerostomia seperti mekanis (mengunyah makanan keras atau permen karet), kimiawi oleh rangsangan rasa (asam, manis, asin, pahit, pedas), neuronal (melalui sistem saraf otonom, baik simpatis maupun parasimpatis). Bila sialogog (zat yang merangsang sekresi saliva) tidak memadai pada penderita xerostomia, maka dianjurkan penggunaan pengganti saliva. Pengganti cairan untuk saliva hanya dapat menggantikan fungsi paling pokok saliva manusia, seperti perlindungan, pertahanan dan pembasahan jaringan lunak dan jaringan keras mulut, dan mempermudah bicara dan makan (Amerongen, 1992).

2.5 Musik sebagai Media Terapi Terapi musik di Amerika dimulai pada akhir Abad 18 walaupun jauh sebelumnya sejak jaman kuno, musik telah menjadi media penyembuhan. Profesi terapi musik di AS mulai berkembang selama Perang Dunia I ketika musik

19

digunakan pada rumah sakit veteran perang sebagai media penyembuhan akibat trauma perang. Para veteran perang baik secara aktif maupun pasif menggunakan aktivitas musik dengan fokus untuk mengurangi persepsi rasa sakit. Banyak dokter dan perawat menjadi saksi bagaimana pengaruh musik bekerja secara psikologis, fisiologis, dan kognitif, terhadap kondisi emosional dari para veteran perang (Djohan, 2005). Musik merupakan sebuah rangsangan pendengaran yang teroganisir yang terdiri dari melodi, ritme, harmoni, timbre, bentuk dan gaya. Musik memiliki kekuatan untuk mengobati penyakit dan ketidakmampuan yang dialami oleh tiap orang. Ketika musik diaplikasikan menjadi sebuah terapi, musik dapat meningkatkan, memulihkan, dan memelihara kesehatan fisik, mental, emosional, sosial, dan spiritual dari setiap inidividu. Hal ini dikarenakan, musik memiliki beberapa kelebihan, seperti musik bersifat universal, nyaman dan menyenangkan, berstruktur. Banyak dari proses dalam hidup kita berakar dari irama, sebagai contoh, nafas kita, detak jantung, dan pulsasi, semuanya berulang dan berirama (Turana, 2008). Kemampuan dasar dari indra pendengaran adalah mendengarkan irama, maka itu musik dapat digunakan sebagai fasilitas perangsang relaksasi non farmasi yang aman, murah, dan efektif. Banyak manfaat yang dapat diambil dari penggunaan musik untuk menangani berbagai masalah seperti kecemasan, kanker, tekanan darah tinggi, nyeri kronis, bahkan penyakit mental (Yuanitasari, 2008). Para peneliti mengatakan bahwa musik mampu menurunkan gejala psikosomatik seperti kecemasan dengan jalan mempengaruhi proses fisiologis dan psikologis

20

sehingga mampu

membuat

pasien nyaman

dan dalam keadaan

yang

menyenangkan, tetapi musik tidak memiliki potensi untuk menyebabkan ketergantungan seperti halnya obat-obatan farmaklogis. Dengan demikian musik memiliki peran signifikan dalam merawat pasien dengan kecemasan (Prasetyo, 2008).

2.6 Musik Klasik Barat Zaman Klasik atau periode klasik dalam sejarah musik Barat berlangsung selama sebagian besar abad ke-18 sampai dengan awal abad ke-19. Musik klasik biasanya digunakan untuk menyebutkan semua jenis musik dalam tradisi ini, istilah tersebut juga digunakan untuk menyebut musik dari zaman ini (Anonim, 2011). Ciri musik pada zaman klasik adalah menggunakan peralihan dinamik dari lembut sampai keras (cressendo) dan dari keras menjadi lembut (decressendo); perubahan-perubahan tempo dengan percepatan (accelerando) dan perlambatan (ritardando); hiasan (ornamentik) yang diperhemat pemakaiannya; dan

pemakaian akord 3 nada (Anonim, 2011). Musik klasik memiliki berbagai manfaat bagi psikologi dan fisiologi tubuh. Beberapa hasil studi kasus dan penelitian mengenai musik klasik telah menguatkan hubungan antara mendengarkan musik klasik dan peningkatan derajat kesehatan pendengarnya. Adapun manfaat dari mendengarkan musik klasik bagi tubuh adalah sebagai berikut:

21

1. Memperlambat dan menyeimbangkan gelombang otak Gelombang otak dapat dimodifikasi baik oleh suara musik maupun suara yang ditimbulkan sendiri. Terdapat empat jenis gelombang otak. Gelombang beta dengan frekuenzi 14-20 Hz, bekerja pada kesadaran yang digunakan pada aktifitas sehari-hari; gelombang alfa dengan frekuenzi 813 Hz, bekerja pada saat ketenangan dan kesadaran seseorang meningkat; gelombang theta dengan frekuenzi 4-7 Hz, bekerja pada periode-periode puncak kreatifitas, meditasi dan tidur; sedangkan gelombang delta dengan frekuensi 0,5-3 Hz, bekerja pada saat seseorang tidur dengan nyenyak, meditasi yang dalam dan keadaan tidak sadar. Musik klasik mengubah kesadaran dari beta ke alfa, sehingga menaikkan kewaspadaan serta membuat pikiran menjadi lebih tajam dan dinamis. Musik klasik juga membantu dalam menciptakan keseimbangan antara otak kiri yang lebih logis dan otak kanan yang lebih intuitif (Campbell, 2002). 2. Mempengaruhi denyut jantung, denyut nadi, dan tekanan darah Denyut jantung manusia terutama disesuaikan dengan bunyi dan musik. Denyut jantung menanggapi variabel-variabel musik seperti frekuensi, tempo, dan volume, dan cenderung menjadi lebih cepat atau menjadi lebih lambat guna menyamai ritme suatu bunyi. Semakin cepat musiknya, semakin cepat detak jantung; semakin lambat musiknya, semakin lambat detak jantung, semuanya dalam suatu kisaran yang moderat. Sama dengan laju pernafasan, detak jantung yang lebih lambat menciptakan tingkat stres dan ketegangan fisik yang lebih rendah, menenangkan pikiran, dan

22

membantu tubuh untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Musik merupakan alat pacu alamiah (Campbell, 2002). 3. Mengurangi ketegangan otot, dan memperbaiki gerak dan koordinasi tubuh Melalui saraf otonom, saraf pendengaran menghubungkan telinga dalam dengan semua otot dalam tubuh. Oleh karena itu, kekuatan, kelenturan, dan ketegangan otot dipengaruhi oleh bunyi dan getaran (Campbell, 2002). 4. Mengatur hormon-hormon yang berkaitan dengan stres Musik dan bunyi dapat meningkatkan fungsi kekebalan. Dalam sebuah studi di Michigan State University, para peneliti melaporkan bahwa cukup mendengarkan musik selama lima belas menit dapat menaikkan kadar interleukin-1 (IL-1) dalam darah dari 12,5 menjadi 14 persen (Campbell, 2002). 5. Musik klasik dapat memperbaiki persepsi seseorang tentang ruang, memperkuat ingatan dan konsentrasi dalam belajar (Campbell, 2002). 6. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hasegawa, dkk (2004), musik klasik dapat meningkatkan sekresi saliva pada partisipan dengan usia rata-rata 25 tahun, yang sebelumnya diberikan stressor. Jumlah sekresi saliva cenderung meningkat melalui sistem saraf parasimpatis.. Dinyatakan bahwa corticotrophin releasing hormone (CRH) mengaktifkan sistem sympathetic-adrenal medullary. Dengan memberikan musik maka akan menghambat pelepasan CRH, sehingga sistem saraf simpatis menjadi

23

inaktif. Oleh karena itu, maka disimpulkan bahwa peningkatan jumlah sekresi saliva karena sistem saraf simpatis inaktif.

2.7 Musik Tradisional Bali Berdasarkan periode perkembangan kebudayaan, para ahli menggolongkan gamelan Bali menjadi tiga golongan: 1. Gamelan golongan Tua Gamelan golongan ini berada pada masa Bali Kuno (abad ke-9 hingga abad ke-15 Masehi), yang terdiri dari Gambang, Saron, Selonding Kayu, Gong Beri, Gong Luwang, Selonding Besi, Angklung Klentangan, dan Gender Wayang. 2. Gamelan golongan Madia Berada pada masa Bali Madia (abad ke-16 hingga abad ke-19 Masehi), yang terdiri dari Pegambuhan, Semar Pegulingan, Pelegongan,

Bebarongan, Joged Pingitan, Gong Gede, dan Bebonangan. 3. Gamelan golongan Baru Berada pada masa Bali Baru (abad ke-20 hingga sekarang), yang terdiri dari Pearjaan, Gong Kebyar, Pejangeran, Angklung Berbilah Tujuh, Joged Bumbung, Gong Suling, Genta Pinara Pitu, Smarandana, dan Bumbung (Sugiartha, 2008). 2.7.1 Gamelan semar pegulingan saih pitu Gamelan Semar Pegulingan adalah sebuah orchestra yang amat menyenangkan dari Bali. Semar Pegulingan terdiri dari dua kata, yaitu semar

24

yang berarti Dewa Cinta, yang sering disebut semara; dan pegulingan, yang berarti kamar bercumbu dalam bahasa Balinya. Jadi, semar pegulingan berarti musik cinta saat bercumbu. Pengertian yang lain adalah musik untuk bersukasuka. Saih pitu berarti bahwa gamelan ini menggunakan skala 7 nada pelog, yang merupakan salah satu sistem lagu dalam musik tradisional bali (Rai, 2004).

2.8 Mekanisme Kerja Musik dalam Meningkatkan Sekresi Saliva Mekanisme kerja musik dalam meningkatkan sekresi saliva berkaitan dengan fungsi-fungsi fisiologis tubuh terutama berkaitan dengan sistem pendengaran, sistem saraf pusat, dan sistem saraf tepi. Musik sebagai gelombang suara diterima dan dikumpulkan oleh daun telinga masuk ke dalam meatus akustikus eksternus hingga membrana timpani. Telinga mengubah gelombang suara di udara menjadi gerakan-gerakan berosilasi membrana basilaris yang membengkokkan pergerakan maju mundur rambutrambut di sel reseptor. Perubahan bentuk mekanis rambut-rambut tersebut menyebabkan pembukaan dan penutupan (secara bergantian) saluran di sel reseptor, yang menimbulkan perubahan potensial berjenjang di reseptor, sehingga mengakibatkan perubahan kecepatan pembentukan potensial aksi yang merambat ke otak. Dengan cara ini, gelombang suara diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang dapat dipersepsikan oleh otak sebagai sensasi suara (Sherwood, 2001). Setelah melalui sistem pendengaran, impuls-impuls saraf dihantarkan melalui nervus VIII (vestibulocochlearis) menuju otak Impuls ini masuk melalui serabut saraf dari ganglion spiralis Corti menuju ke nukleus koklearis dorsalis dan

25

ventralis yang terletak pada bagian atas medula. Pada titik ini semua serabut sinaps, dan neuron tingkat dua berjalan terutama ke sisi yang berlawanan dari batang otak dan berakhir di nukleus olivarius superior. Setelah melalui nukleus olivarius superior, penjalaran impuls pendengaran berlanjut ke atas melalui lemnikus lateralis, kemudian berlanjut ke kolikulus inferior, tempat semua atau hampir semua serabut ini berakhir. Dari sini, jaras berjalan ke nukleus genikulatum medial, tempat semua serabut bersinaps. Akhirnya, jaras berlanjut melalui radiasio auditorius ke korteks auditorik, yang terutama terletak pada girus superior lobus temporalis (Guyton dan Hall, 2008).

Gambar 2.3 Jaras saraf pendengaran (Guyton dan Hall, 2008)

26

Dari korteks auditoris yang terdapat pada korteks serebri, jaras berlanjut ke hipotalamus. Hipotalamus merupakan daerah otak yang berfungsi sebagai pusat koordinasi sistem saraf otonom utama, yang kemudian mempengaruhi kelenjar eksokrin, salah satunya adalah kelenjar saliva (Sherwood, 2001). Musik yang dibentuk melalui tempo yang lambat, irama berulang, dan kontur lembut akan memberikan suasana tenang dan santai (Hasegawa dkk, 2004). Saraf yang mendominasi pada keadaan tenang dan santai adalah sistem saraf parasimpatis yang mempersarafi kelenjar saliva. Rangsangan parasimpatis, yang berperan dominan dalam sekresi saliva, menyebabkan pengeluaran saliva encer dalam jumlah besar dan kaya enzim. Sekresi ini disertai oleh vasodilatasi hebat pada kelenjar, yang disebabkan oleh pelepasan lokal VIP (Vasoactive Intestinal Polypeptide). Polipeptida ini adalah kotransmiter asetilkolin pada sebagian neuron postganglionik parasimpatis (Martini, 2006; Ganong, 2010).

27

Anda mungkin juga menyukai