Anda di halaman 1dari 6

TATALAKSANA HIPERTENSI PADA KEHAMILAN Terapi Farmakologi Pemberian terapi antihipertensi dan pemilihan obat antihipertensi pada kehamilan

perlu disesuaikan dengan resiko dan manfaat pada wanita hamil secara individual. Hipertensi berat dalam kehamilan (TDS 160mmHg dan/atau TDD 100mmHg) menunjukkan resiko tinggi pada maternal, sedangkan pada hipertensi ringan dan sedang dalam kehamilan (TD antara 140/90 sampai 159/99) berhubungan resiko maternal yang rendah. Saat ini masih menjadi suatu dilema kapan mulai pemberian obat antihipertensi dan target tekanan darah yang harus dicapai. Hipertensi berat (TD 160/100 mmHg) berhubungan peningkatan resiko terjadinya insiden cerebrovaskular, sehingga harus diberikan obat antihipertensi. Sedangkan pemakaian pada hipertensi ringan dan sedang masih menjadi suatu hal yang kontroversial. Berdasarkan penelitan menunjukkan bahwa pemakaian obat antihipertensi pada hipertensi ringan akan menurunkan resiko terjadinya hipertensi berat tetapi tidak terdapat perbedaan pada terjadinya preeklampsia, kematian neonatus, kelahiran prematur dan bayi BBLR. Awal pemberian antihipertensi pada beberapa organisasi internasional menentukan pemberian dimulai pada TD 160/105 mmHg dan tidak menyebutkan target terapi. Sedangkan National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP) Working Group on Hypertension in Pregnancy merekomendasikan pemberian antihipertensi pada TDS > 150-160 mmHg atau TDD > 100-110 mmHg atau terdapat kerusakan target organ contohnya hipertrofi ventrikel kiri atau penurunan fungsi ginjal. Target tekanan darah yang ingin dicapai adalah TDS < 140 150 mmHg dan TDD < 90 100 mmHg atau Mean Arterial Pressure (MAP) < 105 125 mmHg. Belum ada data yang definitive dan lengkap mengenai keamanan target terapi tekanan darah pada wanita hamil dengan hipertensi. Pemilihan obat antihipertensi pada kehamilan hendaknya mempertimbangkan beberapa faktor antara lain efikasi obat, pengalaman dan familiar terhadap obat, pengetahuan dosis dan interaksi obat, efek samping terhadap ibu dan janin, efek terhadap aliran darah uteroplasenta, onset dan durasi kerja obat, kemudahan dalam penggunaan, dan kelompok obat yang harus dihindari.

The Food and Drug Administration (FDA) mengklasifikasikan obat-obat pada kehamilan berdasarkan resiko terhadap janin dengan satu diantara lima huruf kategori A, B, C, D dan X. Klasifikasi ini tidak dapat digunakan untuk wanita yang menyusui. Obat-obat antihipertensi pada wanita hamil 2-Adrenergic agonis Metildopa merupakan agen lini pertama pada hipertensi dalam kehamilan Dosis yang digunakan 0.75g 3 g / hari terbagi dalam 3 dosis Efek samping diantaranya kelemahan, sedasi yang bersifat sementara, depresi dan penurunan ketahanan mental, mulut kering, penurunan libido, tanda-tanda parkinson dan hiperprolaktinemia, peningkatan serum transaminase dan anemia hemolitik Metildopa dapat menyebabkan bradikardi dan henti sinus Pada pasien dengan disfungsi SA Node dan hipersensitif sinus karotis Antagonis Kanal Kalsium Nifedipin telah merupakan obat lini kedua dalam penanganan hipertensi dalam kehamilan setelah metildopa. Dosis yang digunakan 30 mg 120 mg / hari dengan sediaan lepas lambat Kejadian hipotensi meternal dan distress janin pada penggunaan nifedipin kerja pendek sehingga menyarankan penggunaan nifedipin kerja panjang Pemberian MgSO4 pada wanita hamil yang mendapatkan CCB menyebabkan hipotensi berat dan hambatan neuromuskular Verapamil efektif dan aman digunakan untuk mencegah efek takikardi yang disebabkan -mimetik dengan efek relaksasi jaringan pada otot uterus Vasodilator

Hydralazine adalah vasodilator arteri sering digunakan untuk terapi kombinasi pada hipertensi untuk kehamilan karena efek hipotensinya minimal

Dosis yang sering digunakan 75 mg 150 mg /hari terbagi dalam 3 dosis Efek samping perinatal setelah pemberian intravena diantaranya lupoid-like syndrome dan trombositopenia pada bayi baru lahir

-adrenoseptor antagonis Labetolol merupakan kombinasi antagonis 1 dan adrenoseptor dengan efek vasodilatasi dapat menurunkan tekanan darah tanpa mengganggu aliran darah uteroplasenta Pemberian labetolol tidak didapatkan efek samping hambatan pertumbuhan janin maupun hipoglikemi pada neonatus. Labetolol diberikan intravena selama anestesi umum dapat mencegah takikardi dan reaksi hipertensi saat intubasi. Dosis yang sering digunakan 200 mg 2.5 gr / hari terbagi dalam 2 dosis Atenolol mempunyai kecenderungan efek samping berat janin lahir rendah sehingga penggunaan atenolol sebaiknya dihindari pada awal kehamilan Diuretik Penggunaan diuretik sebagai antihipertensi diperbolehkan hanya jika penggunaannya telah berlangsung lama sebelum kehamilan Loop diuretik terutama furosemide (faktor resiko C) diindikasikan pada kehamilan jika didapatkan gagal jantung berat, edema paru, atau oliguria meskipun mempunyai resiko hiperbilirubinemia neonatus

Penggunaan hydrochlorothiazid mempunyai efek samping trombositopenia neonatus, ikterus, pankreatitis maternal, hipokalemia dan hiponatremia dimana pada beberapa penelitian efek samping yang didapatkan sama dengan pasien yang tidak diterapi diuretik.

Dosis hydrochlorothiazid yang digunakan 12.5 mg 50 mg/hari Spironolakton bersifat kontraindikasi jika digunakan pada wanita hamil karena efek antiandrogenik pada percobaan hewan.

ACE Ihibitor dan Angiotensin II receptor antagonis Dapat menyebabkan oligohidramnion, hambatan pertumbuhan janin, hipoplasi pulmonal, kontraktur persendian, gagal ginjal neonatus, hipotensi. Penggunaan obat golongan ini sebaiknya dihindari pada wanita yang merencanakan kehamilan. Managemen hipertensi berat pada kehamilan dengan pemberian obat antihipertensi diperlukan untuk melindungi dari peningkatan tekanan darah yang tidak terkontrol yang dapat menyebabkan perdarahan terutama pada preeklampsia berat. Beberapa literatur merekomendasikan pemberian obat antihipertensi parenteral untuk pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsi pada tekanan darah diastolik 110 mmHg atau tekanan darah sistolik 160 mmHg dengan target penurunan tekanan arteri rata-rata (MAP) sebesar 25% dalam 1 jam pertama dan diturunkan kembali dengan target tekanan darah 160/100 mmHg . Labetolol merupakan obat antihipertensi parenteral pilihan pertama karena terbukti efektif dalam terapi hipertensi berat yang tidak terkontrol tanpa disertai efek samping takikardi dan menurunkan insiden terjadinya aritmia ventrikuler yang dapat timbul pada pemberian hydralazine. Bahaya hipotensi yang ditimbulkan saat pemberian antihipertensi parenteral yang terlalu harus diperhatikan karena dapat menyebabkan penurunan aliran darah plasenta sehingga dapat menyebabkan gawat janin. Pemberian obat antihipertensi parenteral hendaknya disertai dengan evaluasi tekanan darah yang dilakukan tiap 15 menit sampai target tekanan darah tercapai. Pada preeklampsia penggunaan dosis rendah pada awal pemberian obat antihipertensi

parenteral mengurangi efek hipotensi yang berlebihan dikarenakan terjadinya pengurangan volume intravaskular pada penderita dengan preeklampsia.

HIPERTENSI PASCA PERSALINAN Hipertensi dapat timbul pertama kali pada setelah melahirkan dengan puncak tekanan darah didapatkan pada hari ke 3-6 post partum dikarenakan mobilisasi cairan ekstraseluler yang terjadi selama kehamilan. Selain itu dapat merupakan kelanjutan dari hipertensi yang terjadi pada waktu hamil. Resiko terjadinya hipertensi post partum antara lain pada kehamilan dengan preeklampsia, persalinan prematur, dan pada wanita multipara dengan kadar asam urat dan BUN yang tinggi. Pada hipertensi postpartum hendaknya dilakukan pengawasan terhadap peningkatan tekanan darah maupun perburukan kondisi preeklampsi serta kerusakan target organ yang seharusnya membaik dalam beberapa hari atau minggu setelah melahirkan. Beberapa literatur menjelaskan bahwa semua hipertensi berat baik pada saat hamil maupun setelah melahirkan hendaknya diterapi. Dengan banyaknya pilihan obat antihipertensi yang dapat digunakan pada ibu yang menyusui, diharapkan pemilihan obat berdasarkan pengalaman dalam pemberian obat tersebut. Pemberian obat antihipertensi pada umumnya lebih lama pada pasien preeklampsia (kurang lebih 2 minggu) dibandingkan pada pasien dengan hipertensi gestasional (kurang lebih 1 minggu). Metildopa harus dihindari saat postpartum karena resiko dari depresi postnatal. Agen lini pertama yang sering digunakan diantaranya adalah antenolol, nifedipine atau ACE Inhibitor jika agen lain dibutuhkan. Preeklampsia merupakan salah satu faktor resiko tromboemboli postpartum. Sedangkan faktor resiko yang lain diantaranya adalah obesitas, tirah baring selama > 4 hari setelah melahirkan, dan seksio. Pemberian pencegahan tromboemboli perlu dipikirkan kecuali terbukti tidak bermanfaat.

HIPERTENSI SAAT MENYUSUI Banyak faktor yang mempengaruhi jalannya obat ke dalam payudara antara lain volume distribusi yang kecil, kelarutan dalam lemak, ikatan protein, ionisasi, berat molekul, pH fisiologis dan komponen dari kelenjar susu (lemak maupun protein). Sedangkan jika obat tertelan pada bayi yang menyusui maka kadar obat tergantung pada volume susu yang tertelan, interval waktu minum obat dengan menyusui, bioavaibilitas oral pada bayi dan kemampuan ekskresi obat bayi. Penggunaan metildopa, kalsium antagonis dan labetolol dan propanolol sebagai antihipertensi saat menyusui tergolong aman karena mempunyai konsentrasi yang rendah dalam ASI. Sedangkan Atenolol dan metoprolol terkonsentrasi dalam ASI. Pemberian diuretik dapat menurunkan produksi secara signifikan. Konsentrasi ACE Inhibitor sangat kecil bahkan tidak terukur dalam ASI membuat ACE Inhibitor sebagai salah satu obat pilihan.

Sumber : Folic M, Folic N, Varjacic M, Jakovjevic M, Jankovic S. Antihypertensive Drug Therapy for Hypertensive Disorders in Pregnancy. Asta MedicaMedianae 2008; 47(3) : 65 72. McCarthy FG, Kenny LC. Hypertension in Pregnancy. Current Obstetrics & Gynaecology 2009; 16(3): 315 -320.

Anda mungkin juga menyukai