Anda di halaman 1dari 10

FIXED DRUG ERUPTION

Dr. Donna Partogi, SpKK NIP. 132 308 883

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK/RS.Dr.PIRNGADI MEDAN 2008

Donna Partogi : Fixed Drug Eruption, 2008 USU e-Repository 2009

FIXED DRUG ERUPTION


PENDAHULUAN Obat adalah bahan kimia yang digunakan untuk pemeriksaan, pencegahan dan pengobatan suatu penyakit atau gejala. Selain manfaatnya obat dapat menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan yang disebut reaksi simpang obat. Reaksi simpang obat dapat mengenai banyak organ antara lain paru, ginjal, hati dan sumsum tulang tetapi reaksi kulit merupakan manifestasi yang tersering. 1,2 Reaksi tersebut dapat berupa reaksi yang dapat diduga (predictable) dan yang tidak dapat diduga (unpredictable). Reaksi simpang obat yang dapat diduga (predictable) terjadi pada semua individu, biasanya berhubungan dengan dosis dan merupakan efek farmakologik obat yang telah diketahui. Reaksi ini meliputi 80% dari seluruh efek simpang obat termasuk diantaranya efek samping dan overdoses (kelebihan dosis). Reaksi simpang yang tidak dapat diduga (unpredictable) hanya terjadi pada orang yang rentan, tidak bergantung pada dosis dan tidak berhubungan dengan efek farmakologis obat, termasuk di antaranya reaksi alergi obat. Reaksi alergi obat pada kulit disebut erupsi alergi obat. 2 Fixed drug eruption (FDE) merupakan salah satu bentuk erupsi kulit karena

obat yang unik,. FDE ditandai oleh makula hiperpigmentasi dan kadang-kadang bula diatasnya , yang dapat muncul kembali ditempat yang sama bila minum obat yang sama. FDE adalah erupsi alergi obat yang melulu dicetuskan oleh obat atau bahan kimia. Tidak ada faktor etiologi lain yang dapat mengelisitasi. 3

DEFINISI Fixed drug eruption adalah erupsi alergi obat yang bila berulang akan timbul pada tempat yang sama.
4

EPIDEMIOLOGI Sekitar 10% FDE terjadi pada anak dan dewasa, usia paling muda yang pernah dilaporkan adalah 8 bulan. Kajian oleh Noegrohowati (1999) mendapatkan FDE (63%), sebagai manifestasi klinis erupsi alergi obat terbanyak dari 58 kasus bayi dan anak,

Donna Partogi : Fixed Drug Eruption, 2008 USU e-Repository 2009

disusul dengan erupsi eksantematosa (3%) dan urtikaria (12%). Jumlah kasus bertambah dengan meningkatnya usia, bertambah. 2, 5 hal tersebut mungkin disebabkan pajanan obat yang

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Banyak obat yang dilaporkan dapat menyebabkan FDE. Yang paling sering dilaporkan adalah phenolpthalein, barbiturate, sulfonamide, tetrasiklin, antipiretik pyrazolone dan obat anti inflamasi non steroid.5,6

Daftar obat-obat penyebab FDE


Obat antibakteri Sulfonamid (co-trimoxazole) Tetrasiklin Penisilin Ampisilin Amoksisilin Eritomisin Trimethoprim Nistatin Griseofulvin Dapson Arsen Garam Merkuri P amino salicylic acid Thiacetazone Quinine Metronidazole Clioquinol Barbiturat dan tranquilizer lainnya Derivat Barbiturat Opiat Chloral hidrat Benzodiazepine Chlordiazepoxide Anticonvulsan Dextromethoephan Obat anti inflamasi non steroid Aspirin Oxyphenbutazone Phenazone Metimazole Paracetamol Ibuprofen Phenolpthalein Codein Hydralazin Oleoresin Symphatomimetic Symaphatolitic Parasymphatolitic Hyoscine butylbromide Magnesium hydroxide Magnesium trisilicate Anthralin Chlorthiazone Chlorphenesin carbamate Berbagai penambah rasa/flavour makanan

Dikutip dari daftar pustaka no 1.

Patogenesis FDE sampai saat ini belum diketahui pasti, diduga karena karena reaksi imunologi. Berdasarkan mekanisme imunologik yang terjadi pada reaksi obat dapat berupa IgE mediated drug eruption, immunecomplex dependent drug reaction, cytotoxic drug induced reaction dan cell mediated reaction.5,7
Donna Partogi : Fixed Drug Eruption, 2008 USU e-Repository 2009

Penelitian Alanko dkk (1992) membuktikan bahwa lesi FDE terjadi peningkatan kadar histamine dan komplemen yang sangat bermakna (200-640 nMol/L). Keadaan ini diduga sebagai penyebab timbulnya reaksi eritema, lepuh dan rasa gatal. 7 Visa dkk (1987) melakukan penelitian untuk mengetahui sel imunokompeten pada FDE dengan tehnik imunoperoksidase. Ternyata 60-80% sel infiltrate pada FDE adalah sel Limfosit T ( T4 dan T8). Terlihat pula peningkatan sel mast sebesar 5-10% serta ditemukan HLA-DR pada limfosit T (limfosit aktif) yang berada di dermis. Keadaan ini sama dengan lesi pada hipersensitivitas tipe lambat. Mdvi.. Limfosit T yang menetap dilesi kulit berperan dalam memori imunologis dan menjelaskan rekurensi lesi pada tempat yang sama. Keratinosit pada lesi kulit FDE menunjukkan peningkatan ekspresi pada ICAM 1 dan HLA DR dan peningkatan ekspresi ICAM 1 ini menjelaskan migrasi limfosit T ke sel epidermis dan mengakibatkan kerusakan. 3, 7, 8 Visa dkk juga menyatakan bahwa mekanisme imunologi bukan satu-satunya penyebab kelainan ini, akan tetapi faktor genetik turut mendasari terjadinya FDE. Keadaan ini dapat dibuktikan dengan terjadinya kasus FDE dalam satu keluarga yang menunjukkan kesamaan pada HLA B12.7

GAMBARAN KLINIS FDE dapat timbul dalam waktu 30 menit sampai 8 jam setelah ingesti obat secara oral. Lesi berupa makula oval atau bulat, berawarna merah atau keunguan, berbatas tegas, seiring dengan waktu lesi bisa menjadi bula, mengalami deskuamasi atau menjadi krusta.. Ukuran lesi bervariasi mulai dari lentikuler sampai plakat. Lesi awal biasanya soliter, tapi jika penderita meminum obat yang sama maka lesi yang lama akan timbul kembali disertai dengan lesi yang baru. Namun jumlah lesi biasanya sedikit. Timbulnya kembali lesi ditempat yang sama menjelaskan arti kata fixed pada nama penyakit tersebut. 4,5,6,9, Lesi dapat dijumpai dikulit dan membran mukosa yaitu di bibir, badan, tungkai, tangan dan genital. Tempat paling sering adalah bibir dan genital. Lesi FDE pada penis sering disangka sebagai penyakit kelamin 5,10 Gejala lokal meliputi gatal dan rasa terbakar , jarang dijumpai gejala sistemik.. Tidak dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lesi pada FDE jika

Donna Partogi : Fixed Drug Eruption, 2008 USU e-Repository 2009

menyembuh akan meninggalkan bercak hiperpigmentasi post inflamasi yang menetap dalam jangka waktu lama. 2,5,6,11

HISTOPATOLOGI Gambaran histologi FDE menyerupai eritema multiforme (EM). Seperti pada EM reaksi dapat terjadi di dermis atau epidermis atau keduanya. Yang paling sering adalah yang melibatkan dermis dan epidermis. 12 Pada tahap awal pemeriksaan histopatologi menggambarkan adanya bula subepidermal dengan degenerasi hidropik sel basal epidermis. Dapat juga dijumpai diskeratosis keratinosit dengan sitoplasma eosinofilik dan inti yang piknotik di epidermis.
3,9,12

Pada tahap lanjut dapat dilihat melanin dan makrofag pada dermis bagian atas dan terdapat peningkatan jumlah melanin pada lapisan basal epidermis. 3,9,12

DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang khas.4 Riwayat perjalanan penyakit yang rinci, termasuk pola gejala klinis, macam obat, dosis, waktu dan lama pajanan serta riwayat alergi obat sebelumnya penting untuk membuat diagnosis.2 Selain itu pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis: 1. Biopsi kulit membantu untuk memastikan diagnosis atau menyingkirkan diagnosis banding.2

2. Uji tempel obat merupakan prosedur yang tidak berbahaya . Reaksi anafilaksis sangat jarang terjadi, dan untuk mengantisipasinya dianjurkan mengamati penderita dalam waktu setengah jam setelah penempelan. Secara teoritis dapat terjadi sensitisasi akibat uji tempel, namun dalam prakteknya jarang ditemui. Tidak dianjurkan melakukan uji tempel selama erupsi masih aktif maupun segera sesudahnya. Berdasarkan pengalaman para peneliti, uji tempel sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya 6 minggu setelah erupsi mereda.
13

Donna Partogi : Fixed Drug Eruption, 2008 USU e-Repository 2009

Khusus untuk FDE Alanko (1994) menggunakan cara uji tempel yang agak berbeda. Obat dengan konsentrasi 10% dalam vaselin atau etanol 70% diaplikasikan secara terbuka pada bekas lesi dan punggung penderita. Observasi dilakukan dalam 24 jam pertama, dan dianggap positif bila terdapat eritema yang jelas yang bertahan selama minimal 6 jam. Kalau cara ini tidak memungkinkan untuk dilaksanakan dianjurkan uji tempel tertutup biasa dengan pembacaan pertama setelah penempelan 24 jam. 13

Hasil uji tempel yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis erupsi obat dan hasil yang positif dapat menyokong diagnosis dan menentukan penyebab meskipun peranannya masih kontroversi. Metode uji tempel masih memerlukan banyak perbaikan, diantaranya dengan menggiatkan penelitian tentang konsentrasi yang sesuai untuk setiap obat, vehikulum yang tepat dan menentukan metabolisme obat di kulit. 2,13

3. Uji provokasi oral merupakan pemeriksaan baku emas untuk memastikan penyebab. Uji ini dikatakan aman dan dapat dipercaya untuk pasien anak. Uji ini bertujuan untuk mencetuskan tanda dan gejala klinis yang lebih ringan dengan pemberian obat dosis kecil biasanya dosis 1/10 dari obat penyebab sudah cukup untuk memprovokasi reaksi dan provokasi biasanya sudah muncul dalam beberapa jam. Karena resiko yang mungkin ditimbulkannya maka uji ini harus dilakukan dibawah pengawasan petugas medis yang terlatih. 2,3,5 DIAGNOSIS BANDING 4 1. Mastositosis: biasanya timbul urtikaria disertai tanda Darier 2. Herpes labialis atau herpes genitalis: biasanya berlangsung lebih cepat dan tidak meninggalkan bercak hiperpigmentasi. 3. Dermatitis Kontak Alergi: adanya riwayat kontak

PENATALAKSANAAN 1. Hentikan penggunaan obat yang diduga sebagai penyebab.4

Donna Partogi : Fixed Drug Eruption, 2008 USU e-Repository 2009

2. Pengobatan Sistemik Pemberian kortikosteroid sistemik biasanya tidak diperlukan.Untuk keluhan rasa gatal pada malam hari yang kadang mengganggu istirahat pasien dan orang tuanya dapat diberikan antihistamin generasi lama yang mempunyai efek sedasi. 3,10,14 3. Pengobatan Topikal Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering atau basah. 10 a. Jika lesi basah dapat diberi kompres secara terbuka. Tujuannya adalah untuk mengeringkan eksudat, membersihkan debris dan krusta serta memberikan efek menyejukkan. Pengompresan dilakukan cukup 2-3 kali sehari, biarkan basah (tetapi tidak sampai menetes) selama 15-30 menit. Eksudat akan ikut mongering bersama penguapan. Biasanya

pengompresan cukup dilakukan 2 sampai 3 hari pertama saja. Cairan kompres yang dapat dipilih antara lain larutan NaCl 0,9 atau dengan larutan antiseptik ringan misalnya larutan Permanganas Kalikus 1:10.000 atau asam salisilat 1:1000. 4,10, 14

b. Jika lesi kering dapat diberi krim kortikosteroid misalnya krim hidrokortison 1 % atau 2,5%. Lesi hiperpigmentasi tidak perlu diobati karena akan menghilang dalam jangka waktu lama. 4,10 Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan kortikosteroid topikal pada bayi dan anak:15 1. Pilihlah potensi kortikosteroid sesuai dengan daerah atau lokasi yang akan diobati, misalnya daerah lipatan (aksila,popok) atau muka sebaiknya menggunakan potensi rendah sedangkan pada badan atau ekstremitas dapat diberikan potensi sedang. 2. PIlihlah potensi terendah yang dapat menghilangkan kelainan kulit dalam waktu sesingkat mungkin. Sedapat mungkin hindari penggunaan kortikosteroid yang sangat poten, terutama untuk anak berusia kurang dari 12 tahun.

Donna Partogi : Fixed Drug Eruption, 2008 USU e-Repository 2009

3. Gunakan vehikulum yang tepat sesuai kondisi kelainan kulit, misalnya salap untuk lesi kering dan tebal serta krim untuk radang ringan atau lipatan. 4. Aplikasi 2 kali sehari selama 7- 14 hari biasanya cukup 5. Hati-hati dengan penggunaan kortikosteroid potensi sedang sebanyak > 15g/minggu. 6. Penggunaan di daerah yang oklusif harus hati-hati, misalnya daerah popok atau aksila.

PROGNOSIS Prognosis umumnya baik. Apabila obat tersangka penyebab telah dapat

dipastikan maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan, berupa kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut serta golongannya. Kartu tersebut dapat ditunjukkan bilamana diperlukan (misalnya apabila penderita berobat), sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya FDE. 4

KESIMPULAN 1. Fixed drug eruption adalah erupsi alergi obat yang bila berulang akan timbul pada tempat yang sama.. Lesi berupa makula oval atau bulat berwarna merah tau keunguan, berbatas tegas, dapat ditemukan bula diatasnya, dapat dijumpai pada kulit dan mukosa, terutama pada bibir dan genital. 2. Etiologi yang paling sering adalah phenolphthalein, sulfonamide, tetrasiklin, antipiretik pyrazolone dan obat anti inflamasi non steroid. 3. Patogenesis FDE diduga merupakan reaksi hipersensitifitas tipe lambat dan dihubungkan dengan genetik adanya kesamaan pada HLA B12. 4. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang khas. 5. Pemeriksaan penunjang yang merupakan baku emas adalah tes provokasi oral, nemun harus dibawah pengawasan petugas medis yang terlatih. 6. Penatalaksanaannya yang terutama adalah penghentian penggunaan obat yang diduga mencetuskan FDE, pengobatan oral dengan antihistamin dan pengobatan

Donna Partogi : Fixed Drug Eruption, 2008 USU e-Repository 2009

topikal tergantung lesi jika basah diberikan kompres dan jika kering dapat diberikan kortikosteroid topikal.

DAFTAR PUSTAKA 1. Breathnach SM. Drug reaction. In: Champion RH, Burton JL, Ebling FJG, eds. Textbook of Dermatology. 6th ed. London Balckwell Scientific Publications. 1998:3349-87. 2. Noegrohowati T. Alergi obat pada bayi dan anak. Dalam: Boediardja SA, Widaty S, Rihatmaja R, eds. Alergi kulit pada bayi dan anak. Masalah dan Penanganan. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2002:19-28. 3. Gruschalla RS, Beltrani VS. Drug induced cutaneus reactions. In: Leung DYM, Greaves MW. Allergic skin diseases. Marcel Dekker, Inc: New York-Basel. 2000:307-35. 4. Soebaryo RW, Effendi EHF, Suyoto EK. Eksantema Fikstum. Dalam: Sularsito SA dkk eds. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Erupsi Obat Alergik. Balai Penerbit FKUI, Jakarat, 1995:63-5 5. Shear NH, Landau M, Shapiro Le. Hypersensitivity reactions to drug. In: Harper J, Oranje A, Prose N, eds. London Blackwell Scientific Publication. 2000:174363. 6. Scahner LA, Hansen RC. Vascular Reactions. In: Pediatric Dermatology. 2nd ed.Vol II. New York. Churchill Livingstone. 1995: 929 7. Sudigdoadi, Widiantoro Y. Fixed Drug Eruption pada Anak berumur 18 bulan. Media Dermato-Venereologica Indonesiana 1995, 22 :4 : 166-8. Jakarta 8. Dahl MV. Drug reactions. In: Dahl MV. Clinical Immunodermatology. 3rd ed. . Mosby Year Book inc . Minneapolis Minnesota. 1996:355-67. 9. Hurwitz S. Eczematous Eruptions in Childhood. In: Clinical Pediatric Dermatology. 2nd ed. Philadelphia. WB Saunders Company. 1993:67-8. 10. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Boediardja SA,eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.2001:139-42. 11. Habif TP. Clinical Dermatology. 3rd ed. St Louis. Mosby Year Book.1996:439-40. 12. Ardhie AM. Eksim . Apa dan Bagaimana. Yayasan Penerbitan IDI, Jakarta. 2003:57-62 13. Effendi EH. Uji kulit pada Erupsi Alergi Obat. Dalam: Sudigdoadi, Sutedja E, Agusni YH, Sugiri U,eds. Buku Makalah Lengkap Kursus Imuno-dermatologi I. Kelompok Studi Dermatologi Bag/SMF Kulit dan Kelamin RSUP dr. Hasan Sadikin, Bandung. 2000:35-8. 14. Ardhie AM. Eksim . Apa dan Bagaimana. Yayasan Penerbitan IDI, Jakarta. 2003:57-62 15. Sugito TL,. Kortikosteroid Topikal Generasi Baru dalam Dermatologi Anak. Dalam: Boediardja SA, Prihianti S,eds. Pengobatan Mutakhir Dermatologi pada Anak dan Remaja. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2001:25-38.

Donna Partogi : Fixed Drug Eruption, 2008 USU e-Repository 2009

Donna Partogi : Fixed Drug Eruption, 2008 USU e-Repository 2009

Anda mungkin juga menyukai