Anda di halaman 1dari 36

BAB 1 PENDAHULUAN 1.

1 Latar belakang Obstructive sleep apneu merupakan bentuk umum sleep disorder breathing yang telah dikenal secara umum dan berhubungan dengan berbagai masalah medis serta mempunyai dampak pada angka kesakitan dan kematian sehingga menjadi beban dalam pelayanan kesehatan. Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) adalah suatu sindrom obstruksi total atau parsial jalan nafas yang menyebabkan gangguan fisiologis yang bermakna dengan dampak klinis yang bervariasi.1 Prevalensi OSA di negara-negara maju diperkirakan mencapai 2- 4% pada pria dan 1-2% pada wanita. Prevalensi OSA pada anak-anak sekitar 3% dengan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun. Faktor risiko OSAS pada anak sangat berbeda dengan orang dewasa. Pada dewasa, obesitas merupakan faktor risiko utama terjadinya OSAS, sedangkan pada anak penyebab utama OSA adalah hipertrofi tonsil dan adenoid.2 Obstruktif Sleep Apnea Syndroma adalah ditandai dengan sering berhentinya nafas selama waktu tidur yang biasanya disertai dengan dengkuran yang keras. Beberapa ahli memperkirakan kelainan ini secara epidemiologi merupakan kelainan yang umum di masyarakat, namun sering tidak terdiagnosis. Mengingat dampak yang ditimbulkan, makan tonsilitis yang disertai dengan sleep apnea harus segera ditindak-lanjuti dengan pendekatan operatif.3 Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer yang paling sering disebabkan oleh bakteri atau virus. Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, tapi jarang terjadi pada anak-anak dengan umur dibawah 2 tahun. Pada tonsilitis terjadi hipertrofi tonsil yang dapat menyebabkan pasien bernafas melalui mulut, tidur mendengkur, gangguan tidur karena terjadinya sleep apnue yang dikenal sebagai obstructive sleep apneu syndrome (OSAS).4 1.2 Batasan Masalah

Makalah ini membahas tentang Hubungan Obstructive Sleep Apnea Syndroms (OSAS) dengan Tonsilitis 1.3 Tujuan Penulisan Untuk mengetahui tentang Hubungan Obstructive Sleep Apnea Syndroms (OSAS) dengan Tonsilitis 1.4 Metode Penulisan Metode yang dipakai adalah tinjauan kepustakaan dengan merujuk pada berbagai literatur.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1.1 Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) Definisi Obstructive Sleep Apnea (OSA)adalah keadaan apnea (penghentian aliran udara selama 10 detik atau lebih sehingga menyebabkan penurunan saturasi oksigen 2 - 4%) dan hipopnea (pengurangan aliran udara >30% untuk minimal 10 detik dengan desaturasi oksihemoglobin >4% atau pengurangan dalam aliran udara >50% untuk 10 detik dengan desaturasi oksihemoglobin >3%) ada sumbatan total atau sebagian jalan napas atas yang terjadi secara berulang pada saat tidur selama non - REM atau REM sehingga menyebabkan aliran udara ke paru menjadi terhambat. Sumbatan ini menyebabkan pasien menjadi terbangun saat tidur atau terjadi peralihan ke tahap tiduryang lebih awal.5 Obstructive Sleep Apnea merupakan bagian dari sindrom henti nafas. Sindrom henti napas saat tidur dibagi menjadi 3 tipe yaitu tipe sentral, tipe obstruksi dan tipe campuran. Pada tipe sentral terjadi aliran udara ini disebabkan berhentinya upaya bernapas selama beberapa saat akibat otak gagal mengirimkan sinyal ke diafragma dan otot dada untuk mempertahankan siklus pernapasan. Sedangkan pada tipeobstruksi terjadi hambatan aliran udara ke paru-paru.5,6 Obstruktif Sleep Apnea Syndroma adalah gangguan klinis yang ditandai dengan sering berhentinya nafas selama waktu tidur yang biasanya disertai dengan dengkuranyang keras. Terhentinya nafas sementara ini mengakibatkan

berkurangnya pasokan oksigen untuk tubuh sementara waktu dan menghentikan proses pengeluaran karbondioksida. Hal ini mengakibatkan otak secara langsung membuat penderit aterbangun untuk membuka jalan nafas dan kembali bernafas.

Kejadian ini bisa terjadi berulang kali dan mengganggu proses tidur. Penderita akan merasa mengantuk berat saat siang hari, sulit berkonsentrasi atau sakit kepala.7 2.1.2 Epidemiologi OSA pertama kali dipublikasikan pada tahun 1956 oleh Sidney Burwell, lebih dari 50 tahun yang lalu dan kepentingan klinisnya saat ini semakin dikenali. Prevalensi OSA di negara-negara maju diperkirakan mencapai 2- 4% pada pria dan 1-2% pada wanita. Pria lebih sering mengalami OSA dan seringkali (tetapi tidak harus) juga menderita obesitas. Prevalensi OSA pada pria 2-3 kali lebih tinggi dari wanita. Belum diketahui mengapa OSA lebih jarang ditemukan pada wanita.8,9 Prevalensi OSA pada anak-anak sekitar 3% dengan frekuensi tertinggi padausia 2-5 tahun. Penyebab utama OSA pada anak-anak adalah hipertrofi tonsil dan adenoid, tetapi dapat juga akibat kelainan struktur kraniofasial seperti pada sindroma Pierre Robin dan Down. Frekuensi OSA mencapai puncaknya pada dekade 5 dan 6, dan menurun pada usia di atas 60-an. Tetapi secara umum frekuensi OSA meningkatsecara progresif sesuai dengan penambahan usia.8,9,10 OSA terdapat pada lebih dari 40% individu dengan IMT 30 kg/ m2 atau individu dengan sindrom metabolik. Pasien dengan penyakit kardiovaskular

memiliki prevalensi OSA yang tinggi, 50% pasien dengan hipertensi, 50% pasien dengan fibrilasi atrium yang membutuhkan tindakan kardioversi, 33% pasien dengan fibrilasi atrium saja, 33% pasien dengan penyakit jantung koroner, 50% pasien dengan strokeakut dan 30-40% pasien dengan gagal jantung dan disfungsi sistolik.8

2.1.3

Patofisiologi Faring adalah struktur yang sangat lentur. Pada saat inspirasi, otot-otot

dilator faring berkontraksi 50 mili-detik sebelum kontraksi otot pernafasan sehingga lumen faring tidak kolaps akibat tekanan intrafaring yang negative oleh karena kontraksi otot dinding dada dan diafragma. Pada waktu tidur aktivitas otot dilator faring relatif tertekan (relaksasi) sehingga ada kecenderungan lumen faring menyempit pada saat inspirasi. Mengapa hal ini terjadi hanya pada sebagian orang, terutama berhubungan dengan ukuran faring dan faktor-faktor yang mengurangi dimensi statik lumen sehingga menjadi lebih sempit atau menutup pada waktu tidur. Faktor yang paling berperan adalah: a. b. c. Obesitas Pembesaran tonsil Posisi relatif rahang atas dan bawah.11 Obstructive Sleep Apnea (OSA) ditandai dengan kolaps berulang dari saluran nafas atas baik komplet atau parsial selama tidur. Akibatnya aliran udara pernafasan berkurang (hipopnea) atau terhenti (apnea) sehingga terjadi desaturasi oksigen (hipoksemia) dan penderita berkali-kali terjaga (arousal). Kadang-kadang penderita benar-benar terbangun pada saat apnea di mana mereka merasa tercekik. Lebih sering penderita tidak sampai terbangun tetapi terjadi partial arousal yang berulang, berakibat pada berkurangnya tidur dalam atau tidur gelombang lambat.7

Gambar 2.1 Patofisiologi OSA

2.1.4

Manifestasi klinis Manifestasi klinis yang terbanyak adalah kesulitan bernafas pada saat tidur

yang biasanya berlangsung perlahan lahan. Sebelum gejala kesulitan bernafas terjadi, mendengkur merupakan gejala yang mula mula timbul. Gejala lain yang dapat ditemukan pada penderita OSA mengantuk yang berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada waktu tidur, apnea, nokturia, sakit kepala pada pagi hari, penurunan libido sampai impotensi dan enuresis, mudah tersinggung, depresi, kelelahan yang luar biasa dan insomnia. Kebanyakan penderita mengeluhkan kantuk yang sangat mengganggu pada siang hari sehingga menimbulkan masalah pada pergaulan, pekerjaan dan meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas.12 Tabel 1.Gejala klinis OSA

2.1.5 a)

Diagnosis Polisomnografi Polisomnografi merupakan pemeriksaan baku emas untuk menegakkan

diagnosis OSAS. Polisomnografi juga akan menyingkirkan penyebab lain dari gangguan pernafasan selama tidur. Pemeriksaan ini terdiri dari elektroensefalogram (EEG), elektromyogram (EMG), elektrookulogram (EOG), parameter respirasi, electrocardiogram (ECG), saturasi oksigen dan mikrofon untuk mengukur dengkuran. 13 6

Tabel 2. Variabel yang direkam pada polisomnografi Stadium tidur Upaya pernafasan Aliran udara Saturasi oksihemoglobin arteri Posisi tubuh Gerakan anggota badan Irama dan denyut jantung Kategori beratnya apnea berdasarkan AHI : ringan (AHI 5-15) : saturasi oksigen 86% dengan keluhan ringan sedang (AHI 15-30) : saturasi oksigen 80-85% dengan keluhan mengantuk dan sulit konsentrasi berat (AHI > 30) : saturasi oksigen kurang dari 80% dan gangguan tidur.

Gambar 2.2 Polisomnografi b) The Epworth sleepiness scale Digunakan untuk menilai ngantuk pada siang. OSA disuspek pada pasien dengan skor diatas 10. Tabel 3. Kuesioner Epworth

b) Kuesioner Berlin Tabel 4. Kuesioner Berlin 1. Body Mass Index Information: Height (in inches): Weight (in pounds): CATEGORY 1 QUESTIONS 2. Do you snore? Yes ** No I don't know CATEGORY 2 QUESTIONS 7. Are you tired after sleeping? Almost every day ** 3 - 4 times per week ** 1 - 2 times per week 1 - 2 times per month Never or almost never 8. Are you tired during waketime?

3. How loud is your snoring? My snoring is as loud as breathing My snoring is as loud as talking My snoring is louder than talking ** My snoring is very loud ** 4. How frequently do you snore? Almost every day ** 3 - 4 times per week ** 1 - 2 times per week 1 - 2 times per month Never or almost never 5. Does your snoring bother other people? Yes ** No 6. How often have your breathing pauses been noticed? Almost every day ** 3 - 4 times per week ** 1 - 2 times per week 1 - 2 times per month Never or almost never

Almost every day ** 3 - 4 times per week ** 1 - 2 times per week 1 - 2 times per month Never or almost never 9. How often do you nod off or fall asleep while driving? Almost every day ** 3 - 4 times per week ** 1 - 2 times per week 1 - 2 times per month Never or almost never CATEGORY 3 QUESTIONS 10. Do you have high blood pressure? Yes ** No I don't know BMI (body mass index) BMI > 30 ** Weight BMI = -------------------- X 703 Height X Height
Weight in pounds, height in inches OR Weight in kilograms, height in meters

Berlin Scoring Results Any answer followed by double asterisks (**) is a positive response. Category 1 is positive with 2 or more positive responses to questions 2 through 6 Category 2 is positive with 2 or more positive responses to questions 7 through 9 Category 3 is positive with 1 or more positive responses and/or a BMI>30 2 or more positive categories indicates a high liklihood of sleep apnea

10

d) Uji tapis Uji tapis yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan kuesioner dan dilakukan pada pasien anak. Brouillette dkk12 menunjukkan bahwa penelitian tidur yang abnormal dapat diprediksi dengan suatu questionnare score yang disebut skor OSAS. Skor OSAS = 1,42D + 1,41A + 0,71S 3,83 D: kesulitan bernafas (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu) A: apnea (0: tidak ada, 1: ada) S: snoring (mendengkur) (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu) Dengan rumus di atas, ditentukan kemungkinan OSAS berdasarkan nilai: Skor < -1 : bukan OSAS Skor -1 sampai 3,5 mungkin OSAS mungkin bukan OSAS Skor > 3,5 sangat mungkin OSAS 2.1.6 Terapi

2.1.6.1. Terapi Non-Bedah Terapi OSA mengalami perubahan yang revolusioner ketika Sullivan et al. memperkenalkan nasal Continuous Positive Airway Pressure (nCPAP). Prinsip nCPAP sangat sederhana yaitu dengan pemberian tekanan positif melalui hidung maka setiap kecenderungan jalan nafas untuk menyempit dan menutup dapat diatasi dan dinding jalan nafas dapat distabilkan sehingga menekan suara dengkur, menormalkan kualitas tidur dan menghilangkan gejala pada siang hari. Efektifitas pengobatan dengan cara ini mencapai 90-95%.10,11 Selain itu, Bi-level PAP merupakan suatu alat Bantu resprasi noninvasif yang mengalirkan tekanan inspirasi (IPAP) dan ekspirasi (EPAP) yang berbeda kepada pasien yang bernapas spontan untuk menjaga jalan napas atas tetap terbuka. Dengan mengalirkan

11

tekanan rendah selama fase ekspirasi, tekanan total yang ada di jalan napas kemudian dapat diturunkan sehingga mendekati pernapasan normal. Bi-level memiliki aliran tambahan untuk mendapatkan ventilasi yang diingingkan pada pasien dengan berbagai masalah respirasi dan telah digunakan pada terapi OSA. Keuntungan metode ini adalah menurunkan kerja pernapasan (work of breathing).14 CPAP adalah teknik yang sering digunakan dalam tatalaksana non surgical OSA dan merupakan tatalaksana terapi pertama OSA. CPAP mengurangi dengkur dan apnea dan membaiki symptom ketiduran pada siang. American college of Chest Physicians merekomendasikan penggunaan CPAP pada pasien dengan RDI > 30 kali/ jam dan kepada semua pasien yang simptomatik dengan RDI 5-30 kali/jam. CPAP 90-95% effective dalam eliminasi OSA dan keefektifannya tergantubg pada compliance dan keteraturan penggunaan pasien.15

Gambar 2.3 Nasal Continuous Positive Airway Pressure

Pada penderita OSA yang mengalami obesitas dianjurkan penurunan berat badan. Perlu dilakukan perubahan gaya hidup termasuk diet, olah raga, dan medikamentosa. Berdasarkan penelitian, penurunan berat badan 10% - 15% dikaitkan dengan penurunan 50% kejadian apnea dan perbaikan keadaan klinis.

12

Beberapa laporan kasus menunjukkan gejala OSA dapat diatasi dengan mengurangi berat badan. Posisi tidur dapat membantu menghilangkan gejala OSA. Beberapa pasien mengalami perbaikan setelah tidur dengan posisi miring atau telungkup (pronasi).16 Salah satu pendekatan terapi terbaru adalah penggunaan alat mandibular advancement dengan beberapa variasinya. Alat ini dipasang pada gigi dan menahan mandibula dan lidah ke depan (protrusi parsial dari rahang bawah) sehingga dapat memaksimalkan diameter faring dan mengurangi kemungkinan kolaps pada waktu tidur. Alat ini hanya digunakan pada penderita OSA yang tidak dapat menjalani operasi dan penderita OSA yang ringan sampai sedang khususnya yang tidak gemuk atau pada penderita yang intoleran terhadap CPAP. Tetapi perlu diingat alat ini dapat mempengaruhi oklusi dan sendi temporomandibula sehingga pemakaiannya diperlukan seorang ortodontic karena pembuatannya tergantung individu.2

Gambar 2.4 Mandibular Splint 2.1.6.2 Terapi Bedah Sebagian penderita tidak dapat menerima pengobatan dengan nCPAP karena beberapa sebab, di antaranya klaustrofobia, suara bising dari mesin dan karena timbulnya efek samping seperti hidung tersumbat dan mukosa hidung serta mulut

13

yang kering. Banyak pasien yang tidak mau penggunakan alat CPAP karena tidak nyaman dan mengurangi nilai estetika, sehingga diusahakan bentuk lain terapi OSA.2,16 Terapi bedah dapat dilakukan pada regio anatomi tertentu yang menyebabkan obstruksi saluran nafas sesuai dengan hasil pemeriksaan sleep endoscopy. Beberapa prosedur operasi dapat dilakukan: 1. Tonsilektomi dan adenoidektomi. Pada penderita OSA dengan tonsil yang besar, tonsilektomi dapat menghilangkan gejala secara komplet dan tidak memerlukan terapi CPAP.14 2. Uvulopalatofaringoplasti (UPPP). Metode ini uvula serta jaringan faring yang berlebih diangkat sehingga ruang faring bertambah serta membuat kaku dinding faring yang akan mencegah kolaps. Metode ini angka keberhasilannya 50% dalam menyembuhkan OSA. Komplikasi metode ini adalah terjadinya regurgitasi nasofaring saat minum namun hanya bersifat sementara karena akan berkurang dalm 3 bulan.2 3. Pembedahan pada daerah hidung seperti septoplasti, bedah sinus endoskopik fungsional dan konkotomi bisa menjadi terapi yang efektif bila sumbatan terjadi di hidung. Kelainan hidung harus dicari pada penderita yang mengalami gejala hidung pada pengobatan dengan CPAP.3 4. Laser-Assisted Uvulopalatoplasty. Teknik yang digunakan oleh sebagian besar ahli bedah menghapus bagian segitiga jaringan berdekatan dengan setiap sisi akar dari uvula diikuti dengan

14

pengurangan 50% dari uvula distal

sehingga memperpendek dan

meningkatkan ukuran dan posisi uvulopalatal kompleks.2,14 5. Maxillofacial (Skeletal) Surgery. Teknik ini meningkatkan ukuran saluran udara bagian atas dengan menggerakkan pangkal lidah jauh dari hypopharyngeal posterior dan dinding orofaringeal, penurunan collaps jalan napas. Pasien ada yang dipilih berdasarkan tingkat keparahan mereka apnea (sedang sampai berat), adanya kelainan kraniofasial, seperti micrognathia atau retrognathia, atau kegagalan untuk menanggapi terapi lain.2,14 6. Radiofrequency Tissue Volume Reduction. Teknik ini dengan memasukkan elektroda ke berbagai bagian langit-langit lunak dan menerapkan energi panas, jaringan lunak akan mengalami

'lesi termal akan timbul fibrosis jaringan. prosedur ini dapat diulang beberapa kali dan dalam beberapa sasaran situs dari saluran udara bagian atas, termasuk tonsil dan pangkal lidah.2,14 7. pemasangan implan Pillar pada palatum. `Implan Pillar atau implan palatal merupakan teknik yang relative baru, merupakan modalitas dengan invasi minimal. Digunakan untuk penderita dengan habitual snoring dan OSA ringan sampai sedang. Prosedur ini bertujuan untuk memberi kekakuan pada palatum mole. Tiga buah batang kecil diinsersikan ke palatum mole untuk membantu mengurangi getaran yang menyebabkan snoring.14 8. Trakeostomy- tatalaksana surgical yang gold standard dan terakhir apabila metode lain tidak berhasil adalah trakeostomy. Trakeostomy

15

dilakukan dengan by pass obstruksi salur napas atas. Indikasi trakeostomy adalah pasien dengan cor pulmunale, obesity

hypoventilation syndrome, aritmia, pasien yang tidak toleransi CPAP dan intervensi surgical lain gagal.15 2.1.7 Komplikasi

Komplikasi OSAS terjadi akibat hipoksia kronis nokturnal, asidosis, sleep fragmentation.12 1. Komplikasi neurobehavioral Komplikasi neurobehavioral terjadi akibat hipoksia kronis nokturnal dan sleep fragmentation. Rasa mengantuk pada siang hari yang berlebihan dilaporkan terjadi pada 31% - 84% anak dengan OSAS. Keluhan lain yang dapat menyertai OSAS adalah keterlambatan perkembangan, penampilan di sekolah yang kurang baik, hiperaktifitas, sikap yang agresi/hiperaktif, penarikan diri dari kehidupan sosial. Manifestasi gangguan kognitif yang lebih ringan dapat sering terjadi. Suatu penelitian menunjukkan perbaikan OSAS dapat menyebabkan perbaikan yang nyata pada fungsi kognitif. 2. Gagal tumbuh Gagal tumbuh merupakan komplikasi yang sering terjadi pada anak-anak dengan OSAS kira-kira 27 - 56%. Penyebab gagal tumbuh pada anak dengan OSAS adalah anoreksia, disfagia, sekunder akibat hipertrofi adenoid dan tonsil, peningkatan upaya untuk bernafas, dan hipoksia. Pertumbuhan yang cepat terjadi setelah dilakukan adenotonsilektomi. 3. Komplikasi kardiovaskular Hipoksia nokturnal berulang, hiperkapnia dan asidosis respiratorik dapat mengakibatkan terjadinya hipertensi pulmonal yang merupakan penyebab kematian pasien OSAS. Keadaan di atas dapat berkembang menjadi kor pulmonal. Prevalensi hipertensi pulmonal pada anak dengan OSAS tidak diketahui. Brouilette dkk4 melaporkan kor pulmonal terjadi pada 55% dari 22 anak dengan OSAS dan Guilleminault dkk, melaporkan adanya cardio respiratory failure pada 20% dari 50 pasien. 4. Enuresis

16

Enuresis dapat merupakan komplikasi OSAS. Etiologinya mungkin akibat kelainan dalam regulasi hormon yang mempengaruhi cairan tubuh. Enuresis khususnya yang sekunder dapat membaik setelah obstruksi jalan nafas bagian atas dihilangkan. 5. Penyakit respiratorik Pasien dengan OSAS lebih mungkin mengaspirasi sekret dari respiratorik atas yang dapat menyebabkan kelainan respiratorik bawah dan memungkinkan terjadinya infeksi respiratorik. Keadaan ini dapat membaik setelah dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi. Beberapa anak dengan tonsil yang besar mengalami disfagia atau merasa sering tercekik dan mempunyai risiko untuk mengalami aspirasi pneumonia. 6. Gagal nafas dan kematian Laporan kasus telah melaporkan adanya gagal nafas pada pasien dengan OSAS yang berat atau akibat komplikasi perioperatif. 2.2 2.2.1 Tonsil Anatomi Tonsil Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer.4 Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Tonsil palatina terletak di fosa tonsilar, diantara kolumna anterior dan posterior. Adenoid terletak pada dinding posterior nasofaring dan tonsil lingual terletak di pangkal lidah. Fungsi cincin waldeyer adalah sebagai pertahanan pada saluran pencernaan dan saluran pernafasan terhadap bakteri-bakteri, selain itu dapat menghasilkan antibodi dan limfosit.14,16

17

Gambar 2. 5 Gambaran Tonsil dalam Cincin Waldeyer

Tonsil palatina merupakan suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fossa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsil. 17 Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsila palatina adalah : 4 1. 2. 3. 4. 5. 6. Anterior : arcus palatoglossus Posterior : arcus palatopharyngeus Superior : palatum mole Inferior : 1/3 posterior lidah Medial : ruang orofaring Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior oleh jaringan areolar longgar. A. carotis interna terletan 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsila.

18

Gambar 2.6 Anatomi Tonsil Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan medial bentuknya bervariasi dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Di dalam kriptus ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering disebut kapsul tonsil, yang tidak melekat erat pada otot faring.4 Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik. 2.2.2. Vaskularisasi Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a. karotis eksterna yaitu: a. maksilaris eksterna (a. fasialis) yang mempunyai cabang a. tonsilaris dan a. palatina asenden, a. maksilaris interna dengan cabangnya yaitu a.palatina desenden, a. lingualis dengan cabangnya yaitu a. lingualis dorsal dan a. faringeal asenden. a. tonsilaris berjalan ke atas di bagian luar m. konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirim cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior atau lesser palatina artery member vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis

19

dengan a. palatina asenden. vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. 4,15

Gambar 2.7 Pendarahan tonsil 2.2.3 Aliran Getah Bening Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferen sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada. 4,19 2.2.4 Persarafan Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatina nerves. Innervasi terutama dilayani oleh n. IX (glossopharyngeus) dan juga oleh n. Palatina minor (cabang ganglion sphenopalatina). Pemotongan pada n. IX menyebabkan anestesia pada semua bagian tonsil. 4,19

20

2.2.5 Imunologi Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsil. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel limfoid. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.18 2.2.6 Fisiologi Tonsil Berdasarkan penelitian, ternyata tonsil mempunyai peranan penting dalam

fase-fase awal kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bagian bawah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa parenkim tonsil mampu menghasilkan antibodi. Tonsil memegang peranan dalam menghasilkan Ig-A, yang menyebabkan jaringan lokal resisten terhadap organisme patogen. 20 Sewaktu baru lahir, tonsil secara histologis tidak mempunyai centrum germinativum, biasanya ukurannya kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan adenoid, yang pada permulaan kehidupan masa anak-anak dianggap normal dan dapat dipakai sebagai indeks aktifitas sistem imun. Pada waktu pubertas atau sbelum masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses involusi. 20 2.2 Tonsilitis Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Tonsilitis Kronis merupakan keradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.4 2.3.2 Etiologi 21

2.3.1 Definisi

1) Tonsilitis Akut

Gambar 2.8 Tonsilitis Akut a) Virus : Paling sering virus Eipsten barr, dapat juga disebabkan oleh hemofilus influenzae, virus coskchakie.

Gambar 2.9 Eipstern Bar Virus

Gambar 2.10 Tonsilitis Virus Coxshackie b) Bakteri : streptokokus hemolitikus grup A, pneumokokus, streptokokus viridan dan streptokokus piogens 2) Tonsilitis membranosa 22

a) Tonsilitis difteri : kuman coryne bacterium dipteriae b) Tonsilitis Septik : streptokokus hemolitikus pada susu sapi c) Angina Plaut Vincent : kurangnya higiene mulut, defisiensi vitamin C serta kuman spirilum dan basil fusi form d) Penyakit kelainan darah

Gambar 2.11 Tonsilitis difteri

Gambar 2.12 Tonsilitis Folikularis

23

Gambar 2.13 Tonsilitis Lakunaris

Gambar 2.14 Tonsilitis Jamur (Candidiasis)

Gambar 2.15 Tonsilitis Sifilis

24

3) Tonsilitis kronis Penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman golongan gram negatif.4

Gambar 2.16 Tonsilitis Kronis


Table 5 Penyebab Tonsilitis20 Etiologi Viruses

Rhinovirus, adenovirus, influenza virus, parainfluenza virus, etc. Coxsackie virus (herpangina). Epstein-Barr virus (mononucleosis syndrome).

Klinis Pada Tonsil Tonsil menjadi membesar dan hiperemis seperti ulkus, hiperemis pada pilar anterior tonsil Tonsil sangat membesar, menebal dan kotor warna keabu-abuan membentuk membran mudah diangkat tanpa menimbulkan perdarahan Pembesaran tonsil hiperemis dengan adanya detritus dan terdapat membran atau eksudat purulenta Eksudat purulenta masif Penebalan Eksudat pharyngotonsillitis dengan penebalan membran pharyngeal. Membran sukar diangkat, mudah berdarah bila membran diangkat Tonsil menjadi membesar dan hiperemis Terdapat Plak putih hampir

Bakteri Aerob

Streptococcus pyogenes and other streptococcal species. Neisseria gonorrhoeae. Corynebacterium diphtheriae.

anaerob Jamur

Bacteroides species. Candida species.

25

Spirochetes

seluruh selaput orofaring pallidum Permukaan mukus membran pada bibir, lidah,tonsil dan paltum terdapat bercak keputihan dengan batas kemerahan. Spirochaete denticolata and Membran kemerahan pada treponema tonsil dengan ulkus yang vincentii (Vincents angina). mendasarinya Treponema (syphilis).

2.3.3 Faktor Predisposisi Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian tonsilitis kronis, yaitu :
4

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Rangsangan kronis (rokok, makanan) Higiene mulut yang buruk Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah) Alergi (iritasi kronis dari alergen) Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik) Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

2.3.4. Patofisiologi Infeksi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya lekosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan lekosit, bakteri yang mati, dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kripta tonsil dan tampak sebagai bercak kuning.4 Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripti tonsil .Karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripti akan melebar, ruang antara kelompok melebar yang akan diisi oleh detritus (akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat berwarna kekuning-kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar

26

fosa tonsilaris. Pada anak-anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar submandibula.4,19 2.3.5 Manifestasi Klinis

a) Tonsilitis akut Keluhan awal berupa rasa kering ditenggorok. Selanjutnya penderita merasa nyeri waktu menelan yang makin lama makin hebat, sehingga karena sakitnya penderita jadi tidak mau makan. Nyeri hebat ini dapat menjalar ketelinga yang disebut referred pain melalui n.glosofaringeus. demam dengan suhu tubuh yang tinggi, lesu, rasa nyeri di sendi-sendi dan nafsu makan berkurang. Suara penderita terdengar seperti orang yang mulutnya penuh terisi makanan panas. Keadaan ini disebut plummy voice. Mulut berbau busuk (foeterex ore) dan ludah menumpuk di kavum oris akibat nyeri menelan yang sangat hebat.4,14 b) Tonsilitis Kronis Keluhan mirip dengan tonsilitis akut tapi sangat ringan bahkan kadang tanpa gejala. Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut yang berulang-ulang.4,14 2.3.6 Pemeriksaan fisik a) Tonsilitis akut Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat detritus membentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh membran semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan.4 b) Tonsilitis kronis Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukan yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang mungkin tampak, yakni :

27

1.

Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti keju.

2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.15

Gambar 2.17 Pembesaran tonsil Ukuran tonsil dibagi menjadi : T0 : Post tonsilektomi T1 : Tonsil masih terbatas dalam fossa tonsilaris T2 : Sudah melewati pilar anterior, tapi belum melewati garis paramedian (pilar posterior) T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median T4 : Sudah melewati garis median

28

Kriteria Malapati

Gambar 2.18 Kriteria Mallampati Modified Mallampati Scoring: Class I : Palatum mole, uvula, fossa, pillar terlihat Class II : Palatum mole, uvula, fossa terlihat Class III : Palatum mole, uvula, terlihat Class IV: Hanya palatum durum yang terlihat 2.3.7 Tatalaksana 1. Terapi Medikamentosa Penatalaksanaan medis termasuk pemberian antibiotika spektrum lebar penisilin, eritromisin, antipiretik dan obat kumur yang mengandung desinfektan. 2. Tindakan Operatif Tonsilektomi merupakan suatu prosedur pembedahan yang diusulkan oleh Celsus dalam buku De Medicina (tahun 10 Masehi). Jenis tindakan ini juga merupakan tindakan pembedahan yang pertama kali didokumentasikan secara ilmiah oleh Lague dari Rheims (1757). a) Indikasi Tonsilektomi4 Indikasi absolut

29

Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas, disfagia berat, gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal. Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase, kecuali jika dilakukan fase akut. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi Indikasi relatif Terjadi 7 episode atau lebih infeksi tonsil pada tahun sebelumnya, atau 5 episode atau lebih infeksi tonsil tiap tahun pada 2 tahun sebelumnya atau 3 episode atau lebih infeksi tonsil tiap tahun pada 3 tahun sebelumnya dengan terapi antibiotik adekuat. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik. Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap -laktamase.

b) Komplikasi Tonsilektomi111 Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi lokal maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. 1. Komplikasi anestesi Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Komplikasi yang dapat ditemukan berupa : Laringospasme Gelisah pasca operasi Mual muntah 30

Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti jantung Hipersensitif terhadap obat anestesi.

2. Komplikasi Bedah a. Perdarahan Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus). Perdarahan dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah. b. Nyeri Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi. c. Komplikasi lain Demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan pneumonia. c) Kontraindikasi Infeksi akut berat Gangguan pendarahan Risiko anestesi yang besar/penyalkit kronik anemia

2.3.8 Komplikasi a) Tonsilitis akut Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut. Komplikasi tonsilitis akut lainnya adalah abses peritonsil, abses parafaring, sepsis, 31

bronkitis, nefritis akut, miokarditis serta atritis. Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernafas melalui mulut, tidur mendengkur, gangguan tidur karena terjadinya sleep apnue yang dikenal sebagai obstructive sleep apneu syndrome (OSAS).4 b) Tonsilitis kronis Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut : 17 1. Komplikasi sekitar tonsil a. Peritonsilitis Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan abses. b. Abses Peritonsilar (Quinsy) Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi. c. Abses Parafaringeal Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening/pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, mastoid dan os petrosus. d. Abses retrofaring Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe. e. Krista Tonsil Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih/berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel. f. Tonsilolith (kalkulus dari tonsil)

32

Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan tonsil membentuk bahan keras seperti kapur. 2. Komplikasi ke organ jauh a. Demam rematik dan penyakit jantung rematik b. Glomerulonefritis c. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis d. Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura e. Artritis dan fibrositis 2.4 Hubungan Tonsilitis dengan Obstructive sleep apnea syndrome Salah satu komplikasi dari Tonsilitis yaitu tidur mendengkur, gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea.1 Pada waktu tidur aktivitas otot dilator faring relatif tertekan (relaksasi) sehingga ada kecenderungan lumen faring menyempit pada saat inspirasi. Hal ini terjadi hanya pada sebagian orang, terutama berhubungan dengan ukuran faring dan faktor-faktor yang mengurangi dimensi statik lumen sehingga menjadi lebih sempit atau menutup pada waktu tidur, salah satunya yaitu hipertrofi tonsil.7 Hipertrofi adenoid dan tonsil merupakan keadaan yang paling sering menyebabkan OSAS pada anak. Ukuran adenoid dan tonsil tidak berbanding lurus dengan berat ringannya OSAS. Terdapat anak dengan hipertrofi adenoid yang cukup besar, namun OSAS yang terjadi masih ringan, anak lain dengan pembesaran adenoid ringan menunjukkan gejala OSAS yang cukup berat. Banyak ahli berpendapat bahwa tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi merupakan tindakan yang harus dilakukan karena keuntungannya lebih besar. Tingkat kesembuhan tindakan ini pada anak sekitar 75 - 100%. Pada anak dengan etiologi hipertrofi adenoid dan tonsil saja angka keberhasilannya tinggi tetapi apabila disertai dengan risiko lain seperti obesitas dan disproporsi kraniofasial maka pascaoperasi akan tetap timbul OSAS. Meskipun demikian, karena OSAS terjadi akibat ukuran struktur komponen saluran nafas atas relatif kecil dibandingkan dengan ukuran absolut dari tonsil dan adenoid, maka para ahli berpendapat tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi tetap diperlukan pada keadaan di atas. Pasca tonsilektomi dan/atau adenoidektomi diperlukan

33

pemantauan dengan polisomnografi sebagai tindak lanjut. Kadangkadang gejala masih ada dan dalam beberapa minggu kemudian menghilang. Tatalaksana non medis lainnya seperti penanganan obesitasnya tetap dilakukan meskipun telah dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi. BAB 3 KESIMPULAN Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Tonsilitis diklasifikasikan menjadi tonsilitis akut, membranosa dan kronis. Penyebab tonsilitis yang paling sering adalah bakteri dan virus. Manifestasi klinis dari tonsilitis biasanya nyeri menelan, nyeri tenggorokan, nafas berbau dan demam tinggi. Pada tonsilitis terjadi hipertrofi tonsil yang dapat menyebabkan pasien bernafas melalui mulut, tidur mendengkur, gangguan tidur karena terjadinya sleep apnue yang dikenal sebagai obstructive sleep apneu syndrome (OSAS). Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) adalah suatu sindrom obstruksi total atau parsial jalan nafas yang menyebabkan gangguan fisiologis yang bermakna dengan dampak klinis yang bervariasi. Manifestasi klinis yang terbanyak adalah kesulitan bernafas pada saat tidur yang biasanya berlangsung perlahan-lahan. Sebelum gejala kesulitan bernafas terjadi, mendengkur merupakan gejala yang mulamula timbul. Diagnosis OSAS secara definitif menggunakan. Tata laksana OSAS ada yang terapi non bedah seperti pemasangan CPAP dan penurunan berat badan pada yang obesitas, danb terapi bedah berupa tonsilektomi. Komplikasi yang dapat terjadi adalah gangguan tingkah laku, kelainan kardiovaskular, dan gagal tumbuh. Diharapkan dengan penanganan yang tepat dan cepat dapat menurunkan angka mortalitas dan angka kecacatan yang ditimbulkan oleh OSA.

34

DAFTAR PUSTAKA

1.

Marcus CL. Carroll JL. Obstructive sleep apnea syndrome. Dalam: Loughlin GM, Eiger H, penyunting. Respiratory disease in children; diagnosis and management. Baltimore, William & Wilkins, 1994. h. 47591.

2. 3.

Brouillette RT, Fernbach SK, Hunt CE. Obstructive sleep apnea in infants and children. J Pediatric 1982; 100:31-9 Nez-Fernndez D, Garcia-Osornia MA. Snoring and Obstructive Sleep Apnea, Upper Airway Evaluation. Emergency Medicine Textbook, 2008. (diakses dari website www.medscape.com, pada tanggal 25 juni 2013)

4.

Rusmarjono,efiaty AS. Faringitis,Tonsilitis,dan Hipertrofi Adenoid. Dalam; Soepardi EA,iskandar NH(eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2007. Hal 214-225

5.

Supriyatno B, Said M, Hermani B, Syarif DR, Sastroasmoro. Risk factors obstrucyive sleep apnea syndrome in obese early adolescents: scoring system as diagnostic prediction (disertasi). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009

6. 7.

Kaswandani Nasiti. Obstructive Sleep apnea syndrome (OSAS) pada anak. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol 60. Jakarta;2010 WHO. Obstructive sleep apnoea syndrome. http://www.who.int/entity/respiratory

8.

Febriani, Debi dkk. Hubungan Obstructive Sleep Apnea Dengan Kardiovaskular. Jurnal Kardiologi Indonesia 2011; 32:45-52.

35

9.

Rodriguez, Hector P. Berggren, Diana A-V. Biology and treatment of Sleep Apnea. Otolaryngology chapter 6, 2006; 71-82.

10. Committee Advisory, 2005. Sleep Apnea-Assesment and Management of Obstructive Sleep Apnea in Adult. 11. White DP. The pathogenesis of obstructive sleep apnea: advances in the past 100 years. Am J Respir Cell Mol Biol 2006; 34: 1-6. 12. Bambang S, Rusmala D. Obstruktif Sleep Apnea Sindrom Pada Anak. Dalam : Sari Pediatri, Vol. 7, No. 2, September 2005: 77 - 84 13. Antariksa, Jakarta. 14. Herawati Sri, Lukmini Sri. Ilmu penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Jakarta: Balai penerbit EGC;2007 15. George LA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam:Adams, Boies, Higler(eds).buku ajar penyakit THT edisi 6. Jakarta:EGC;1997.hal 327-337 16. Lukmanti Petrus, Maulany R.F, Tambajong Jan. Rongga Mulut dan Faring. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: Balai penerit EGC;1995 17. Brodsy L. Poje C. Tonsilitis, Tonsilectomy and Adeneidectomy. In: Bailey BJ. Johnson JT. Head and Neck Surgery. Otolaryngology. 4rd Edition. Philadelphia: Lippinscott Williams Wilkins Publishers. 2006. p1183-1208 18. Health Technology Assessment (HTA) Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2004. Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Jakarta 19. Adam. G.L. Boies L.R. Higler. P. A. Boies Buku Ajar Penyakit THT. 6 th ed. Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Jakarta \: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. Pg: 330-44. 20. Robertson.J.S. Journal of Tonsilitis. Available at: http//www.emedicine.com. Accessed on: April 2012 Budhi. Patogenesis, Diagnosti dan Patogenesis OSA (Obstructive sleep Apnea). Dept pulmonologi dan Respirasi. FKUI.

36

Anda mungkin juga menyukai