Anda di halaman 1dari 11

PENGANTAR ANTROPOLOGI KESEHATAN

I. ANTROPOLOGI : Ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia ditinjau dari segi fisiknya, sejarah perkembangannya dan hasil-hasil kebudayaannya.

Para ahli antropologi sosial-budaya dan antropologi biologi meningkatkan perhatiannya pada sistem kesehatan, faktor-faktor bioekologi dan sosial-budaya yang berpengaruh terhadap kesehatan dan penyakit. Mereka melakukan penelitian-penelitian tentang manusia, anatomi, pediatrik, epidemiologi, kesehatan jiwa, penyalah gunaan obat, definisi mengenai sehat dan penyakit, pelatihan petugas kesehatan, birokrasi medis, pengaturan pelaksanaan rumah sakit, hubungan dokter-pasien, memperkenalkan system kesehatan ilmiah kepada masyarakat yang semula mengenal system kesehatan tradisioanal, sehingga pada akhirnya mereka menyebutnya sebagai subdisiplin baru antropologi, yakni antropologi kesehatan Antropologi Kesehatan, dipandang oleh para dokter sebagai disiplin biobudaya yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosial budaya dari tingkah laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi keduanya di sepanjang sejarah kehidupan manusia, yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit. Akar dari antropologi kesehatan : 1. Perhatian ahli antropologi fisik terhadap evolusi, adaptasi, anatomi komparatif, tipe-tipe ras, genetika, dan serologi. 2. Perhatian etnografi tradisional terhadap pengobatan primitive, termasuk ilmu sihir dan magi. 3. Gerakan kebudayaan dan Kepribadian 4. Gerakan kesehatan masyarakat internasional setelah PD II. 1. Antropologi fisik. Perhatian ahli antropologi fisik meliputi nutrisi dan pertumbuhan, korelasi antara bentuk tubuh dengan variasi penyakit-penyakit misalnya radang pada persendian tulang (arthritis), tukak lambung (ulcer), kurang darah (anemia) dan penyakit diabetes. Penyakit yang ditemukan dalam populasi manusia adalah suatu konsekuensi dari suatu cara hidup yang beradab, dimulai dari pertanian yang menjadi dasar timbul dan berkembangnya pemukiman penduduk yg padat. Ahli antropologi juga disibukkan dengan kedokteran forensik, yakni suatu bidang mengenai masalah kedokteran-hukum yang mencakup identifikasi seperti umur, jenis kelamin dan peninggalan ras manusia yang diduga mati karena unsur kejahatan, serta masalah penentuan orang tua dari seorang anak melalui tipe darah, bila terjadi keraguan siapa yang menjadi bapaknya (test DNA).

2 Dalam pengembangan usaha pencegahan penyakit, para ahli antropologi fisik meneliti kelompok-kelompok penduduk yang beresiko tinggi, yakni orang-orang yang tubuhnya mengandung sel sabit (sicklecell) dan pembawa penyakit kuning (hepatitis). Mereka juga menciptakan pakaian-pakaian dan peralatan-peralatan yang tepat berdasarkan spesifikasi antropometri. 2. Etnomedisin Etnomedisin adalah kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang berkenaan dengan penyakit yang merupakan hasil dari perkembangan kebudayaan asli dan yang eksplisit tidak berasal dari kerangka konseptual kedokteran modern (Hughes 1968), merupakan urutan langsung dari awal perhatian ahli-ahli antropologi mengenai system medis non-Barat. Para ahli antropologi secara rutin mengumpulkan data mengenai kepercayaan dalam pengobatan pada penduduk yang mereka teliti. 3. Studi-studi tentang kebudayaan dan kepribadian. Sejak pertengahan tahun 1930-an, para ahli antropologi, psikiater dan ahli-ahli ilmu tingkah laku lainnya mempertanyakan tentang kepribadian orang dewasa, sifat-sifat, dan lingkungan sosial budaya dimana tingkah laku itu terjadi. Walaupun bagian terbesar penelitian kepribadian dan kebudayaan bersifat teoretis, beberapa ahli antropologi yang menjadi pimpinan dalam gerakan tersebut menaruh perhatian besar pada cara-cara penggunaan pengetahuan antropologi dalam peningkatan taraf perawatan kesehatan. Pada waktu yang bersamaan, Alice Yoseph, seorang dokter dan ahli antropologi melukiskan hubungan antar pribadi pada dokter-dokter kulit putih dengan pasien-pasien Indian di Amerika Baratdaya, yang menunjukkan bagaimana peranan penting persepsi dan perbedaan kebudayaan dalam menghambat interaksi pengobatan yang efektif. 4. Kesehatan masyarakat internasional. Meskipun Rockefeller Foundation telah sibuk dengan pekerjaan kesehatan masyarakat internasional sejak awal tahun 1955 dalam rangka kampanye cacing pita di Ceylon pada tahun 1916-1922, baru pemerintah Amerika Serikat memprakasai kerja sama program-program kesehatan dengan sejumlah pemerintah di Negara Amerika Latin, sebagai bagian dari program bantuan teknik yang lebih luas. Dengan berakhirnya perang, dan perpanjangan program-program bantuan teknik AS bagi Afrika dan Asia, serta terbentuknya WHO maka program-program kesehatan masyarakat yang bersifat bilateral dan multilateral di negara-negara yang sedang berkembang, menjadikan petugas-petugas kesehatan yang bekerja dilingkungan yang bersifat lintas budaya, khususnya yang terlibat di klinik-klinik pengobatan melihat bahwa kesehatan dan penyakit bukan hanya merupakan gejala biologis, melainkan juga gejala social-budaya, Para ahli antropologi dapat

3 menjelaskan kepada petugas kesehatan mengenai bagaimana kepercayaan-kepercayaan tradisional serta praktek-prakteknya bertentangan dengan asumsi-asumsi pengobatan Barat, bagaimana factorfaktor social mempengauhi keputusan-keputusan perawatan kesehatan dan bagaimana kesehatan dan penyakit semata-mata merupakan aspek dari keseluruhan pola kebudayaan. Dimulai pada awal 1950-an, para ahli antropologi mampu mendemonstrasikan kegunaan praktis dari pengetahuan mereka kepada petugas-petugas kesehatan masyarakat internasional. Pendekatan antropologi dapat diterima oleh petugas-petugas kesehatan masyarakat, oleh karena tidak mengancam mereka secara profesional. Mereka melihatnya sebagai pendekatan yang aman, dalam arti bahwa pendekatan itu merumuskan masalah-masalah hambatan terhadap perubahan yang terutama ditunjukkanoleh masyarakat resipien. DIMENSI TEORETIS DAN TERAPAN Perhatian ahli antropologi dalam lapangan kesehatan dan penyakit, memiliki dimensi-dimensi praktis juga, banyak hasil penelitian telah diterapkan dilaksanakan dalam kerja sama dengan petugas-petugas di berbagai program dan proyek kesehatan, dengan tujuan akhir meningkatkan pelayanan kesehatan atau dalam rangka pemahaman terhadap komponen-komponen tingkah laku sehubungan dengan timbulnya penyakit. Oleh sebab itu Antropologi kesehatan sebaiknya didefinisikan sebagai aktifitas formal antropologi yang berhubungan dengan kesehatan dan penyakit, untuk mendeskripsikan : 1. Hubungan timbal balik bio-budaya, antara tingkah laku manusia di masa lalu dan masa kini dengan derajat kesehatan dan penyakit, tanpa mengutamakan perhatian pada penggunaan praktis dari pengetahuan tersebut. Partisipasi profesional para ahli antropologi dalam program-program yang bertujuan memperbaiki derajat kesehatan melalui pemahaman yang lebih besar tentang hubungan antara gejala bio-sosial-budaya dengan kesehatan, serta melalui perubahan tingkah laku sehat ke arah yang diyakini akan meningkatkan kesehatan yang lebih baik.

2.

II.

ANTROPOLOGI KESEHATAN DAN EKOLOGI

EKOSISTEM DAN SISTEM SOSIAL-BUDAYA Kini makin banyak ahli antropologi yang menaruh perhatian pada masalahmasalah kesehatan lingkungan biobudaya dengan mempelajari pandangan ekologis. Pandangan ekologis merupakan lanjutan dari lingkungan dan komuniti biotiknya, yakni perhatian pada sistemnya. Di dalam system ini terdapat suatu keseluruhan yang integral yang disebut dengan kebudayaan. Dalam ekologi

4 keseluruhan integral ada suatu ekosistem, yakni suatu interaksi antara kelompok tanaman dan satwa dengan lingkungan non-hidup mereka. Para ahli antropologi kesehatan yang berorientasi ke ekologi, menaruh perhatian pada hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan alamnya, tingkah lakunya, penyakit-penyakitnya, dan cara-cara tingkah laku dan penyakit-penyakit itu mempengaruhi evolusi dan kebudayaannya melalui proses umpan balik. Penyakit dipandang sebagai suatu unsur dalam lingkungan manusia, telah mempengaruhi evolusi manusia. Penyakit juga memainkan peranan dalam evolusi kebudayaan. Dalam masyarakat-masyarakat tradisional, anak-anak yang meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun, dipandang sebagai suatu adaptasi yang pada tingkatan tertentu meredakan kesedihan orang tua dan kerabatnya. Nutrisi, dipandang juga sebagai ciri lingkungan sosio budaya. Nutrisi tidak dapat melewati batas dari yang disediakan oleh alam sekitar, namun bagian apa dari nutrient yang tersedia dalam lingkungan tertentu, yang didefinisikan sebagi makanan- dan karena dapat dimakan- merupakan masalah kebudayaan juga. Nutrisi adalah juga bagian dari lingkungan sosial- budaya pada situasi tertentu, contohnya, pria makan lebih dulu dan menerima lebih banyak makanan yang kaya protein, sedangkan wanita dan anak-anak memperoleh sisa-sisa, sehingga seringkali hal itu mengakibatkan mereka kekuranagn nutrisi yang serius. ASI, oleh para dokter telah disepakati sebagai makanan yang ideal bagi bayi, karena selau segar, campurannya tepat, dan mudah dijaga kebersihaannya, sebaliknya kotak-kotak formula makanan bayi seringkali tidak tepat, sering terkontaminasi air yang kurang bersih sehingga menyebabkan diare dan penyakit perut lainnya. Paleopatologi, yakni studi tentang penyakit manusia purba, menjelaskan bagaimana nenek moyang kita dipengaruhi oleh lingkungan tempat mereka hidup dan cara hidup mereka. Sebaliknya, pengetahuan mengenai penyakitpenyakit mereka membantu kita untuk memahami evolusi manusia, cara-cara generasi berikutnya beradaptasi secara biologis maupun secara budaya terhadap ancaman kesehatan yang mereka hadapi. Ahli-ahli patologi, anatomi dan ahli-ahli antropologi fisik telah banyak belajar tentang penyakit-penyakit dan luka-luka pada manusia purba. Pada umumnya hanya penyakit-penyakit yang menunjukkan bukti-bukti yang nyata pada tulang saja yang dapat teridentifikasi. Contohnya, kerusakan atau abses pada tulang sebagai akibat dari syphilis, tuberculosis, frambosia, osteomilitris, poliomilitis, kusta, dan sejenisnya, adalah penyakit-penyakit yang dapat dikenali. Hal-hal tentang penyakit-penyakit manusia purba dan adaptasinya terhadap lingkungan dapat disimpulkan dari studi mengenai sisa-sisa masyarakat berburu dan meramu. Oleh karena itu sebaiknya penduduk primitive tidak dipandang sabagai sample yang bertahan dari penduduk purba, tetapi dalam kenyataanya bahwa penduduk primitive yang masih ada di masa kini, hidup dalam kondisi yang lebih mendekati kondisi di masa lalu di daerah-daerah luas, dibandingkan dengan kehidupan dalam komuniti yang lebih maju, dan pola penyakit mereka mungkin lebih mendekati pola penyakit manusia purba daripada pola penyakit manusia modern.

5 Kini pendekatan ekologis adalah dasar bagi studi tentang masalahmasalah epidemiologi, cara-cara tingkah laku individu dan kelompok menentukan derajat kesehatan dan timbulnya penyakit yang berbeda-beda dalam populasi yang berbeda-beda. Dalam studi-studi ekologi, sejauh yang menyangkut manusia maka lingkungan itu bersifat alamiah dan sosial-budaya. Semua kelompok harus menyesuaikan diri dengan kondisi geografi dan iklim yang terdapat di tempat tinggal mereka, dan mereka harus belajar untuk mengeksploitasi sumber-sumber yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan mereka. Epidemiologi berkenaan dengan distribusi penyakit dalam tempat dan prevalensi terjadinya penyakit, dipengaruhi oleh lingkungan alam ataupun lingkungan ciptaan manusia serta tingkah laku manusia. Variabel-variabel yang paling umum digunakan adalah perbedaan jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan, hubungan suku bangsa dan kelas sosial, tingkah laku individu, dan lingkungan alami. Contohnya, kaum laki-laki muda Amerika, lebih besar kemungkinannya untuk meninggal akibat kecelakaan daripada kaum wanita muda atau orangorang yang lebih tua baik laki-laki maupun perempuan. Pekerja-pekerja pada industri asbes menghadapi resiko tinggi terhadap asbestosis di paru-paru dan kanker paru-paru. Para perokok lebih besar kemungkinannya untuk meninggal karena kanker paru-paru atau penyakit-penyakit jantung (cardiovascular) daripada yang tidak merokok. Penduduk di pedalaman daerah pegunungan lebih besar kemungkinannya untuk menderita penyakit gondok jika dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di pantai yang mudah memperoleh bahan makanan laut yang kaya zat yodium. Contoh-contoh lainnya masih banyak, antara lain dengan adanya perubahan-perubahan akibat pembangunan. Melalui kegiatan-kegiatan pembangunan prevalensi penyakit dapat tersebar sangat luas, sehingga disebut sebagai penyakit-penyakit pembangunan. Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah tripanosomiasis (penyakit tidur). Filariasis, malaria, bilharziasis (disebut juga schistosomiasis), kesehatan buruk karena malnutrisi, TBC, dan penyakitpenyakit kronis umumnya., Penyakit-penyakit ini secara relative terjadi antara lain akibat adanya danau-danau buatan, irigasi pertanian, pembangunan jalanjalan yang menyebabkan migrasi tenaga kerja dan pedagangan, perubahan dari pertanian subsistensi ke pertanian untuk perdagangan, dan urbanisasi yang cepat. Masyarakat yang mengalami urbanisasi yang cepat, dalam kebudayaankebudayaan yang berbeda seringkali mengalami stress, dan sters ini ada hubungannya dengan peningkatan hipertensi dan/atau penyakit jantung koroner. III. SISTEM MEDIS Pembahasan pada sistem medis ini akan difokuskan tentang masalahmasalah orang-orang yang sakit, yang sebagai makhluk budaya telah mengembangkan pranata-pranata sosial, teori-teori etiologi dan teknik-teknik pengobatan yang memungkinkan mereka menanggulangi dislokasi sosial yang terjadi karena penyakit yang mengakibatkan ketidak mampuan.

6 Penyakit, dengan rasa sakit dan penderitaannya merupakan kondisi manusia yang dapat diramalkan dan merupakan gejala biologis maupun kebudayaan yang bersifat universal. Sebelum manusia ada, apabila kita melihat kehidupan hewan, hewan yang sakit bukan merupakan urusan dari pasangannya, biasanya mereka menjauhi atau meninggalkan si penderita. Pola hewan ini, menghindar atau meninggalkan adalah perilaku adaptif yang merupakan sejenis preventif agar mengurangi bahaya terkenanya kuman-kuman dan virus yang menular. Setelah leluhurleluhur primat kita berevolusi menjadi makhluk manusia banyak macam penyakit yang mereka bawa. Selain berupa fenomena biologis, penyakit-penyakit ini juga mempunyai dimensi sosial dan budaya. Dalam usaha untuk melindungi diri dari berbagai ancaman penyakit, manusia kadangkala mengikuti pola hewan mamalia, yang menjauhkan diri atau lari dari si sakit. Contohnya, sejak zaman Masehi hingga sekarang penderita-penderita kusta dikutuk untuk hidup di luar dinding kota. Orang Kubu yang berdiam du hutan-hutan Sumatra, apabila terancam oleh epidemik, mereka melarikan diri jauh ke hutan meninggalkan yang sakit, hal ini berarti mereka menjatuhi hukuman mati sosial sebelum si sakit mati secara fisik. Namun manusia lebih sering berusaha menyembuhkan si sakit bukan semata-mata karena manusiawi, atau karena merawat yang sakit, melainkan lebih merupakan suatu bentuk tingkah laku adaptif baru yang didasari oleh logika dan juga rasa kasih. Jadi kita memandang setiap sistem medis sebagai mencakup semua kepercayaan tentang usaha meningkatkan kesehatan dan tindakan, serta pengetahuan ilmiah maupun ketrampilan angota-anggota kelompok yang mendukung sistem tersebut. Sistem medis dibagi menjadi 2 kategori, yakni : 1. System teori penyakit, meliputi kepercayaan mengenai ciri-ciri sehat, sebab-sebab sakit, pengobatan dan teknik-teknik penyembuhan lain yang digunakan oleh dokter. Sistem ini berkenaan dengan kualitas dan penjelasan dari penduduk mengenai hilangnya kesehatan, pelanggaran tabu, pencurian jiwa, gangguan keseimbangan unsur panas-dingin dalam tubuh, kegagalan pertahanan tubuh (imunitas) terhadap kuman-kuman atau virus. System perawatan kesehatan, adalah suatu pranata sosial yang melibatkan interaksi antara sejumlah orang, pasien and penyembuh, dengan memperhatikan cara-cara yang dilakukan masyarakat untuk merawat orang sakit dan untuk memanfaatkan pengetahuan tentang penyakit untuk menolong si pasien. Dalam membahas sistem medis, ada 2 bagian yang dapat dibedakan, yakni a. sistem medis dunia non-barat, dan b. sistem medis dunia barat.

2.

7 Yang termasuk dalam dunia non-barat adalah etnomedism, etnopsikiatri, Shaman, Dukun Sihir, dan Penyembuh lain. Sedangkan Sistem medis dunia barat meliputi tingkah laku sakit Ackerneht (1971), bapak antropologi kesehatan, membahas tentang pengobatan primitif yang dilukiskan sebagai religius magis yang memanfaatkan beberapa elemen rasional. Sistem medis pada masyarakat petani disebut sebagai pengobatan rakyat (folk medicine). Adanya penyakit (disease) dibedakan menjadi 2 istilah yakni istilah personalistik dan istilah naturalistik. Sistem personalistik adalah suatu sistem yang menyebutkan bahwa penyakit (illness) adalah disebabkan oleh intervensi suatu agen yang aktif, dapat berupa makhluk halus supranatural (makhluk gaib atau dewa), makhluk bukan manusia (seperti hantu, roh leluhur atau roh jahat, maupun makhluk manusia termasuk tukang sihir, tukang tenung. Orang yang menjadi sakit adalah korbannya. Dalam Sistem naturalistik, penyakit (illness) adalah sesuatu ketidakseimbangan antara beberapa unsur-unsur yang tetap dalam tubuh, misalnya, panas dan dingin, cairan tubuh ( humor atau dosha), yin dan yang, yang berada dalam suatru keseimbangan menurut usia dan kindisi individu dalam lingkungan alamiah dan lingkungan sosialnya. Apabila keseimbangan terganggu maka timbullah penyakit. Dalam dunia non-barat, para penyembuh dideskripsikan dalam konteks kebudayaan dan sistem medis. Mereka memusatkan perhatiannya pada wawancara pengobatan, yakni interaksi formal yang berlangsung antara seseorang yang menduga atau mengatahui bahwa dirinya sakit dengan individu yang oleh kebudayaanya dianggap mampu menolong orang. Pada masa lalu, seorang Eskimo yang merasa terganggu kesehatannya berkonsultasi dengan seorang shaman yang mengelilingi dan memeriksa pasien dari berbagai sudut. Lalu ia menyentuh pasien pada titik tempat rasa sakitnya berada. Ia menjilat kedua tangannya, kemudian menggosokkannya ke bagian yang sakit. Wawancara pengobatan ini umumnya paling tepat dianalisis dalam arti hubungan antara peranan, norma-norma tingkah laku IV. TINGKAH LAKU SAKIT

PENYAKIT DAN SAKIT Rendahnya penggunaan fasilitas kesehatan seperti Puskesmas, rumah sakit dsb, seringkali kesalahan atau penyebabnya dilemparkan kepada fakfor jarak antara fasilitas tersebut dengan masyarakat yang terlalu jauh (baik jarak secara fisik maupun secara sosial), tarif yang tinggi, pelayanan yang tidak memuaskan dsb. Hal ini karena kita sering melupakan factor persepsi atau konsep masyarakat itu tentang sakit. Persepsi ini berkisar antara penyakit (disease) dengan rasa sakit (illness).

8 Penyakit (disease) adalah suatu bentuk reaksi biologis terhadap suatu organisme, benda asing atau luka (injury). Hal ini merupakan fenomena obyektif yang ditandai oleh perubahan-perubahan fungsi tubuh sebagai organisme biologis. Dengan kata lain gangguan yang terbatas pada kelainan medik dan orgonobioligik. Sakit (illness) adalah penilaian seseorang terhadap penyakit sehubungan dengan pengalaman yang langsung dialaminya. Hal ini merupakan fenomena subyektif yang ditandai dengan perasaan tidak enak (feeling unwell). TINGKAH LAKU SAKIT, PERANAN SAKIT DAN PERANAN PASIEN Tingkah laku sakit, didefinisikan sebagai cara-cara dimana gejala gejala ditanggapi, dievaluasi, dan diperankanoleh seorang individu yang mengalami sakit, kurang nyaman, atau tanda-tanda lain dari fungsi tubuh yang kurang baik. Tingkah laku sakit dapt terjadi tanpa adanya peranan sakit dan peranan pasien. Contohnya, seorang dewasa yang bangun dari tidurnya dengan leher sakit, maka ia menjalankan peranan sakit; ia harus memutuskan apakah ia harus minum obat dan mengharapkan kesembuhan, atau memanggil dokter. Apabila penyakit itu telah didefinisikan secara cukup serius sehingga menyebabkan seseorang tidak dapat melakukan semua peranan normalnya, maka barulah seseorang itu melakukan peranan sakit. Konsep peranan pasien lebih terbatas daripada peranan sakit. Contohnya, apabila seorang dewasa yang ternggorokannya sakit, memutuskan untuk beristirahat di tempat tidur denga harapan anggota keluarganya akan membawakan makanan baginya, maka ia telah menunjukkan peranan sakitnya. Baru apabila dokter dihubungi dan ia mengikuti instruksinya, maka ini disebut peranan pasien. Peranan pasien menuntut pengesahan medikal yang formal, yaitu penyerahan orang yang sakit kepada perawatan dokter dan sumber-sumber pendukungnya. Jadi apabila ada orang sakit masuk rumah sakit, maka ia harus diubagh menjadi seorang pasien. Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kelas sosial, perbedaan suku bangsa dan budaya. Orang yang berpenyakit (having a disease) berbeda dengan orang yang sakit (having an illness). Berpenyakit adalah suatu kondisi patologis yang obyektif, sedangkan sakit adalah evaluasi atau persepsi individu terhadap konsep sehat-sakit. Dua orang atau lebih secara patologis menderita suatu jenis penyakit yang sama, bisa jadi orang kesatu merasa lebih sakit dari yang lain, dan bahkan orang yang satunya lagi tidak merasa sakit. Hal ini karena evaluasi atau persepsi mereka berbeda tentang sakit. Orang yang berpenyakit belum tentu akan mengakibatkan berubahnya peranan orang tersebut di dalam masyarakat, tetapi orang yang sakit akan

9 menyebabkan perubahan peranannya di dalam masyarakat maupun di dalam lingkungan keluarga. Jadi orang yang sakit ini telah memasuki posisi baru, yaitu peranan yang baru. Peranan baru dari orang yang sakit(pasien) harus mendapat pengakuan dari anggota masyarakat dan anggota keluarga yang sehat secara wajar. Hal ini karena salah satu anggota adalah pemegang peranan baru. Kadang-kadang peanan orang sakit tersebut demikian luasnya sehingga peranan yag ditinggakanya tidak mungkin digantikan oleh salah satu orang saja, mengingat orang yang menggantikannya tersebut sudah mempunyai posisi dan peranan sendiri. HAK DAN KEWAJIBAN ORANG SAKIT Orang-orang yang sakit mempuyai hak dan kewajiban juga. Sebagai anggota keluarga, orang yang sakit mempunyai hak bebas dari segala tanggung jawab sosial yang normal. Artinya, orang yang sakit mempunyai hak untuk tidak melakukan pekerjaan sehari-hari yang biasa dilakukan. Ini bisa menjadi tuntutan tetapi tidak mutlak tergantung dari tingkat keparahan atau tingkat persepsi dari penyakit tersebut. Tuntutan hak sakit dapat juga diajukan kepada organisasi kerja (tempat kerja) dan juga kepada organisasi-organisasi masyarakat dimana si sakit menduduki posisi atau menjalankan peran. Tuntutan ini dapat diajukan langsung maupun melalui lembaga pelayanan kesehatan seperti surat cuti sakit dari dokter atau surat izin tidak masuk kerja dsb. Orang sakit mempunyai hak untuk menuntut (mengklaim) bantuan atau perawatan kepada orang lain. Orang yang sedang sakit berada dalam posisi lemah, apalagi bila sakitnya sudah pada derajat keparahan yang tinggi. Di pihak lain orang yang sakit dituntut kewajibannya untuk sembuh dari penyakitnya dan juga dituntut untuk segera kembali berperan di dalam sistem sosial. Mengapa? Karena manusia diberi kesempurnaan dan kesehatan oleh Tuhan, maka secara alamiah manusia itu sehat. Adapun menjadi atau jatuh sakit sebenarnya adalah kesalahan manusia itu sendiri, oleh karenanya ia berkewajiban untuk mengembalikan posisinya kedalam keadaan sehat. Untuk melakukan kewajibannya agar sembih dari sakit ia memerlukan bantuan dari orang lain atau mencari penyembuhan sendiri. Apabila prinsip ini diterapkan kepada masyarakat, maka kewajiban tersebut ada pada masyarakat. Para petugas kesehatan hanya sekedar membantu dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Jadi orang yang sakit mempunyai kewajiban pentingnya mencari nasehat dan kerja sama oleh orang sakit kepada masyarakat lain adalah dalam rangka memperoleh kesembuhan secepat mungkin. Dari segi sosiologi, Suchman (1965) menelusuri proses pengambilan keputusan seseorang dalam menghadapi sakit melalui 5 tahapan seperti dalam skema di bawah ini :

10

TAHAP-TAHAP PENGALAMAN SAKIT I


Keputusan Pengalaman gejala sakit Ada sesuatu yang tidak beres Perilaku Penggunaan obat warisan orangtua (folk medicine), Pengobatan diri sendiri

II
Menerima peranan orang sakit Melepaskan peranan orang normal Mohon dibenarkan menaikkan peranan orang sakit dari orang awam Meneruskan penggunaan obat-obatan orang awam Menolak

III
Menghubungi pemberi pelayanan kesehatan Mencari nasehat profesional Mencari pembenaran yang berwenang dalam bidang kesehatan ttg peranan orang sakit, membicarakan cara-cara pengobatan Menolak

IV
Peranan pasien yang tergantung (dependent) Menerima pelayanan/ pengobatan profesional Menerima prosedur pengobatan untuk penyakit, mengikuti instruksi

V
Pemulihan dan rehabilitasi Melepaskan peranan orang sakit Kembali ke peranan orang normal

Menolak(lari dari keadaan sehat Hasil Menunda Menerima

Menolak

Menolak (peranan orang sakit kronis), purapura sakit

Mencari nasehat profesional lain Menerima Kepastian Menerima Menerima

Sumber : Edward A. Suchman, Stages of Illness and Medical Care, Journal of Health and Human Behavior, 6 (Fall, 1965), 114-128, seperti dikutip dalam Coe, op.cit, 115-118.

Pada tahap pertama, ketika mulai ada gejala sakit, si penderita mencoba mengatasinya dengan obat atau cara-cara yang diketahuinya dari orang tuanya atau orang-orang lainnya. Misalnya dengan kerokan bila merasa pusing, atau minum jamu bila merasa badan meriang, dsb. Apabila tidak sembuh maka ia mencari nasehat kepada orang awam sekitarnya. Hal ini telah memasuki tahap kedua, yakni tahap sistem pelayanan kesehatan keluarga/berobat. Apabila belum sembuh juga, si penderita memutuskan bahwa ia memasuki tahap ke tiga, yakni memasuki golongan orang sakit, menerima peranan sebagai orang sakit. Ia kemudian mencari nasehat kepada pemberi pelayanan kesehatan profesional, baik modern (dokter, mantri, dsb) maupun pelayanan kesehatan tradisional (dukun, sinshe, dsb). Jika tidak cocok maka ia beralih ke fasiliasfasilitas yang lain.

11 Tahap ke empat perilaku penderita ini adalah menerima dan melakukan prosedur pengobatan, dan akhirnya kembali ke peran orang normal apabila ia sembuh dari penyakitnya (tahap lima). Penggambaran Suchman tersebut di atas hanya memperhitungkan faktor dari dalam diri si penderita saja, tidak memperhitungkan faktor-faktor lain seperti sosio-budaya, ekonomi, umur, demografi, jenis kelamin, dsb. DAFTAR PUSTAKA 1. Azwar Agoes dan T. Jacob, Antropologi Kesehatan Indonesia Jilid I, Penerbit Bku kedokteran EGC, Jakarta, 1996. 2. Foster, George M dan Baebara Gallatin Anderson, Antropologi Kesehatan, Penerbut Universitas Indonesia, 1986. 3. Soekidjo Notoatmodjo, Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta, 1993.

Anda mungkin juga menyukai