Anda di halaman 1dari 12

Kasus: Tuan A 36, petugas keamanan dikantor kelurahan, belum menikah, tinggal bersama adiknya yang menikah dan

memiliki 3 orang anak. Diagnosis holistic : I. II. III. IV. V. operator) Batuk produktif, tidak terdapat darah-kebiruan sejak 1 bulan. Akan menjadi buruk Mungkin disembuhkan Tuberkulosis pulmonal, BTA (+), Lesi luas & fibrosis paru kiri Obesitas Penderita DM Berhenti dari pengobatan anti-TB setelah 1bulan. Kurangnya motivasi & perilaku yang mendukung. Belum menikah & dependent Hubungan interpersonal dengan ipar kurang harmonis. Tidak ada partisipasi keluarga dalam manajemen pasien. Beresiko tinggi menular dalam keluarga Tidakk terdapat kenyamanan hidup bagi pasien dan keluarga Skala fungsional : 2 (sbagian kemauan, ketergantungan

Berdasarkan kasus diatas sebagai dokter keluarga, bagaimana penanganan anda terhadap: a. Personal pasien? b. Bagaimana planning komprehensif pada keluarga? c. Bagaimana penangan komprehensif yang berorientasi pada lingkungan dan komunitasnya?

a.

Personal Pasien

Dugaan diagnosis TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, radiologis dan penunjang yang lain. Gejala gejalanya termasuk gejala respiratorik (batuk 3 minggu, batuk berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak nafas) dan gejala sistemik (demam, keringat malam, penurunan berat badan, malaise, nafsu makan menurun). Pada pemeriksaan fisik TB tidak khas, sehingga tidak dapat membantu membedakan dengan penyakit lainnya, temuan fisik tergantung lokasi kelainan, serta luasnya kelainan struktur paru. Pemeriksaan bakteriologis sangat berperan untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan dahak untuk menentukan bakteri tahan asam (BTA) merupakan pemeriksaan yanng harus dilakukan pada seseorang yang dicurigai menderita TB atau suspek, pemeriksaan dilakukan 3 kali (sewaktu/pagi/sewaktu). Diagnosis TB paru ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif jika sedikitnya 2 dari 3 spesimen dahak ditemukan BTA (+). Bila hanya satu spesimen positif maka perlu dilakukan pemeriksaan foto thorax atau sputum ulangan. Bila foto thorax mendukung TB maka didiagnosis TB paru BTA (+). Bila foto thorax tidak mendukung maka perlu dilakukan pemeriksaan sputum ulang. Bila hasil sputum ulangan negatif berarti bukan penderita TB. Bila foto roentgen mendukung TB namun sputum negatif maka diagnosis adalah TB paru BTA (-) roentgen positif. Pada kasus dimana sputum positif maka pemeriksaan roentgen tidak diperlukan lagi. Namun beberapa kasus perlu dilakukan foto thorax bila: 1. Sputum BTA negatif 2. Sputum BTA positif a. curiga adanya komplikasi (contoh efusi pleura, pneumothorax). b. hemoptisis berulang atau berat. c. didapatkan hanya 1 spesimen BTA (+). Tujuan pengobatan adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah relaps, menurunkan penularan ke orang lain dan mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT. Saat menegakkan diagnosa TB, dan sebelum memulai pengobatan, harus ditentukan definisi kasus TB yang ditentukan oleh 4 determinan: 1. lokasi penyakit 2. hasil hapusan dahak 3. riwayat pengobatan sebelumnya 4. beratnya penyakit Tabel 1. Kategori pengobatan TB kategori Pasien TB Fase intensif lanjutan I TB paru BTA (+) kasus baru 2HRZE 4H3R3 TB paru BTA (-) kasus baru 4HR dengan kerusakan parenkim 6HE yang luas TB ekstra pulmoner kasus baru dengan kerusakan paru berat

II

III

IV

TB paru BTA (+) kasus baru dengan riwayat pengobatan sebelumnya: o kambuh o gagal pengobatan o pengobatan tidak selesai TB paru BTA (-) kasus baru diluar kategori I kasus baru yang berat dengan TB ekstrapulmoner kasus kronis (BTA tetap positif, setelah pengobatan ulang)

2HRZES + 1HRZE

5H3R3E3 5HRE

2HRZ

4H3R3 4HR 6HE

Rujuk ke dokter spesialis paru

Pada pasien ini lokasi TB berada pada paru dengan hapusan dahak (+) dan pernah diobati dengan OAT sebelumnya, sehingga definisi kasus pada pasien ini adalah TB paru BTA (+) kasus baru dengan riwayat pengobatan sebelumnya. Sehingga dimasukkan kedalam kategori II pada pengobatan TB, dengan fase intensif 2HRZES + 1HRZE dan fase lanjutan 5HRE. Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping, namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat berat atau ringan, jika efek samping yang terjadi ringan, dapat diatasi dengan obat simptomatis dan pemberian OAT dapat dilanjutkan, namun jika efek samping berat yang terjadi maka OAT dihentikan. Pemantauan efek samping selama pengobatan secara klinis dilakukan dengan menjelaskan kepada penderita mengenai tanda-tanda efek samping, menanyakan kepada penderita adanya gejala efek samping pada saat penderita mengambil OAT, melakukan pemeriksaan fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin), fungsi ginjal (ureum, kreatinin), gula darah, asam urat (bila menggunakan pirazinamid) untuk data dasar penyakit penyerta dan efek samping pengobatan, pemeriksaan visus dan uji buta warna jika ada keluhan / setiap bulan (bila menggunakan ethambutol). Tabel 2. Efek samping OAT dan tatalaksana OAT H Efek samping Mayor* Hepatitis evaluasi AST/ALT tatalaksana Vitamin B6 (piridoksin) 100 mg/hari (profilaksis 10mg/hari) - Dimakan sebelum tidur Minor - kesemutan - kaki rasa terbakar - Hepatitis - anorexia - Syok, purpura, - nyeri perut gagal ginjal, anemia - urin warna hemolitik (jarang) merah - Hepatitis - nyeri sendi Neuritis optika (buta warna merah-

Z E

- AST/ALT Alkali phospatase - bilirubin - AST/ALT Beri aspirin / allopurinol - Asam urat / probenescid - uji visus setiap

hijau dan tajam penglihatan menurun) Ket: * efek samping mayor hentikan OAT

bulan/jika ada keluhan

Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak perlu dilakukan pemeriksaan awal tersebut. Yang penting adalah evaluasi klinis adanya efek samping, dan bila dicurigai adanya efek samping maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping sesuai pedoman. Dari anamnesis pada pasien ini didapatkan bahwa pasien penderita DM, namun tidak terdapat keluhan poliuri, polidipsi, dan polifagi. Meningkatnya kepekaan pasien DM terhadap infeksi disebabkan oleh berbagai faktor. Pada umumnya efek hiperglikemia memudahkan pasien DM terkena infeksi. Hal ini disebabkan karena hiperglikemia mengganggu fungsi neutrofil dan monosit (makrofag) termasuk kemotaksis, perlengketan, fagositosis dan mikroorganisme yang terbunuh dalam intraselular. Diabetes melitus dianggap oleh WHO sebagai suatu penyakit imunodefisiensi sekunder yang karakteristik oleh adanya resolusi bila kausa yang mendasarinya dieliminasi, perlangsungan lebih lama dan lebih berat serta infeksi sering rekuren, gangguan salah satu respon imun biasanya granulosit PMN dan atau aktifitas subset limfosit. Bila mengenai PMN maka manifestasi kemotaksis dan fagositosis terganggu. Leukosit PMN ditarik ketempat infeksi oleh substansi kemotaksis yang disekresikan oleh mikroorganisme dan oleh aktifasi komplemen dan faktor faktor yang diindus secara lokal oleh PMN. Pada penelitian in vitro sel sel pasien DM mempunyai kemotaksis yang menurun, terutama pada keadaan DM yang tidak terkontrol. Fagositosis pada DM juga terganggu dikaitkan dengan defek intrinsik dari PMN. Hiperglikemia juga berkaitan dengan killing activity dari enzim lisosom yang menurun. Normalisasi kadar glukosa darah akan segera meningkatkan aktifitas membunuh dalam 48 jam. Infeksi adalah penyebab utama krisis hiperglikemia pada DM. Tercatat 30% episode KAD dipresipitasi oleh infeksi dan pada umumnya DM tipe II. Infeksi ringan pada DM biasanya menaikkan toleransi glukosa dengan meningkatkan kadar glukosa darah dan menaikkan kebutuhan insulin pada pasien DM tipe I. Efek metabolik infeksi pada DM diawali oleh kenaikan kadar glukosa darah karena glukoneogenesis yang distimulasi oleh meningkatnya sekresi counter regulatory hormones (glukagon, kortisol, growth hormon dan katekolamin) maupun penekanan sekresi insulin oleh sel sel beta pankreas. Katekolamin diproduksi oleh simpatis dan adrenalin dihasilkan oleh medula adrenal, keduanya menyebabkan meningkatnya glukoneogenesis dan penekanan sekresi insulin. Vasopresin bekerjasama dengan hormon antagonis dan ini juga berperan pada stadium awal. Tahap selanjutnya walaupun sekresi meningkat pada non diabetik maupun pada DM tipe II akan tetapi akibat adanya resistensi insulin, hiperglikemia menetap dan malahan cenderung meningkat. Resistensi insulin terutama pada otot skelet dimana insulin tidak mampu meningkatkan asupan glukosa demikian pula dihati. Mekanisme yang mendasarinya belum diketahui dengan pasti. Namun kadar kortisol yang meningkat dalam sirkulasi dan sitokin yang disekresi oleh sel imun akibat infeksi ikut berperan. Selanjutnya interleukin dan TNF alfa yang mengganggu kerja insulin diperifer dengan menekan tirosin kinase activity pada reseptor insulin. Kenaikan kadar glukagon terutama pada defisiensi insulin akan merangsang ketogenesis yang terkait erat dengan terjadinya ketoasidosis pada infeksi DM.

TB sering ditemukan menyertai DM dan menyebabkan resistensi insulin dan brittle diabetes. Di Negara-negara Barat insiden TB sudah menurun walaupun insidensinya masih tinggi pada populasi imigran dan terutama pada pasien AIDS. Didaerah dimana TB masih endemik maka insiden TB pada DM masih tinggi. Perjalanan TB dengan DM lebih berat dan kronis dibanding DM saja. Hal ini disebabkan meningkat kepekaan terhadap kuman TB pada pasien DM, reaktifasi fokus infeksi lama, cenderung lebih banyak cavitas dan pada hapusan serta kultur sputum lebih banyak positif, keluhan dan tanda tanda klinis TB paru toksik tersamar sehingga tidak pernah didiagnosis atau dianggap TB paru ringan dan akhirnya pada keadaan hiperglikemia pemberian obat kemoterapi tidak efektif. Pengobatan DM pada TB paru meliputi pengobatan terhadap DM-nya dan pengobatan terhadap TB parunya. Pengobatan DM adalah sama saja pengobatan DM pada umumnya yang meliputi perencanaan makan/diet, anti diabetes oral maupun insulin. Perencanaan makan selain untuk menormalkan kadar glukosa darah, juga untuk mengembalikan berat badan ke BB ideal. Sebagai petunjuk atau guidellines untuk pengelolaan DM selama infeksi adalah sebagai berikut: pada pasien yang berobat jalan tindakan adalah monitor kadar glukosa plasma sekurang-kurangnya 4 jam terakhir, pada pasien yang sudah mendapat insulin, dosis insulin ditingkatkan untuk mengantisipasi hiperglikemia persisten, pertahankan asupan cairan, kendalikan DM seoptimal mungkin kadar GDP 80-109 mg/dl, GD2PP 0-144 mg/dl, HbA1c <6,5, kolesterol total <200 mg/dl, LDL <100 mg/dl, HDL > 45 mg/dl, Tg < 150 mg/dl, IMT 18,5-23 dan Td <130/80 mmHg. Awasi bila timbul muntah-muntah atau terjadi hiperglikemia berat atau hipoglikemia dan tindaki segera. Pada pasien rawat inap tindakan adalah monitor kadar glukosa plasma 4 jam terakhir, tingkatkan dosis insulin untuk mengatasi hiperglikemia bila perlu berikan insulin IV atau tetes. Pada pasien yang memakai obat hiperglikemia oral pertimbangkan untuk mengganti atau menambah dosis insulin, pertahankan hidrasi dengan pemberian cairan intravena bila diperlukan. Pengobatan pasien ini dengan menggunakan insulin karena; pertama, efek rifampisin terhadap obat hipoglikemik oral dimana rifampisin dapat mempercepat metabolisme obat-obat anti diabetik oral, menginaktifasi sulfonilurea dan meningkatkan kebutuhan insulin. Sebaliknya INH dapat mengganggu absorpsi karbohidrat di usus dan bekerja antagonis dengan sulfonilurea. Walaupun jarang INH menyebabkan pankreatitis, menghambat efek metformin pada absorbsi glukosa diusus, mengganggu absorpsi karbohidrat di usus dan bekerja antagonis dengan sulfonilurea. Kedua; Pemberian sulfonilurea pada DM dengan TB paru adalah kontraindikasi karena TB dianggap penyakit dengan infeksi serius yang intercurrent. Sedang biguanid tidak diberikan karena pada umumnya TB paru mempunyai keluhan nafsu makan menurun, BB menurun dan adanya malabsorbsi glukosa, dan ketiga; terdapatnya indikasi penggunaan insulin. Rifampisin merupakan obat anti tuberkulosis lini pertama, yang juga mempunyai spektrum luas terhadap organisme lain, termasuk beberapa bakteri gram positif dan gram negatif Legionella spp, M. kansasii, dan M. marinum. Aktifitas bakterisidal dari rifampisin pada intraselular dan ekstraselular dengan memblok sintesis, dengan mengikat dan menginhibisi secara spesifik sintesis RNA pada DNA dependent RNA polimerase. Rifampisin merupkan antibiotik yang bersifat larut lemak dan terdistribusi dengan baik pada seluruh jaringan tubuh, termasuk meninges yang terinflamasi. Rifampisin diekskresi terutama melalui saluran empedu dan sirkulasi enterohepatik, sedangkan 30-40% diekskresikan melalui ginjal. Meskipun secara umum rifampisin ditoleransi dengan baik, namun efek samping yang paling sering

adalah masalah gastrointestinal. Pasien dengan penyakit hepar, terutama dengan alkoholisme dan usia lanjut terlihat beresiko tinggi untuk memiliki efek samping serius yaitu hepatitis. Rifampisin merupakan inducer enzim mikrosomal hepar yang poten sehingga dapat menurunkan waktu paruh dari beberapa obat, dimana salah satunya adalah obat hipoglikemik oral. Indikasi mutlak penggunaan insulin adalah DM type I, tetapi seringkali diberikan pada bukan DM type I dengan tujuan agar tubuh memiliki jumlah insulin efektif pada saat yang tepat. Beberapa indikasi penggunaan insulin adalah pada DM type I, DM type II yang pada saat tertentu tidak dapat dirawat dengan obat hipoglikemik oral, DM dan keadaan khusus (kehamilan, nefropati diabetik tipe B3 dan Be, gangguan faal hati berat, infeksi akut, TB paru berat, ketoasidosis diabetik, operasi, patah tulang, underweight, dan penyakit graves). Telah dikenal berbagai macam insulin kerja cepat, sedang sampai lama yang disuntikkan sendiri atau mixed dalam satu semprit. Saat ini tersedia insulin kerja cepat yaitu insulin lispro dan insulin aspart, kerja sedang tersedia actrapid, humulin NPH, kerja lama adalah ultra lente dan insulin gargline. Insulin yang dikombinasi antara kerja pendek dan sedang adalah insulin mixtard, yang terdiri monotard 70% dan actrapid 30%. Insulin yang beredar sekarang adalah insulin murni atau human insulin yang dibuat dengan tehnologi rekombinan DNA dan mempunyai kerja lebih cepat dan masa kerja lebih pendek dibandingkan insulin babi. Di indonesia hanya beredar insulin dengan dosis 40 IU/ml dan 100 IU/ml. Di luar negeri tersedia pula insulin dengan dosis 500 IU/ml yang ditujukan pada kasus-kasus resistensi insulin dimana memerlukan insulin dosis besar. Pemberian insulin sebaiknya dimulai dengan insulin kerja cepat seperti actrapid atau monotard R dengan dosis kecil 5 unit diberikan tiap jam sebelum makan dan dosis ditingkatkan 2-4 unit dalam waktu 2-4 hari. Macam dan jadwal pemberian insulin dapat diubah sesuai respon pasien. Bila pengendalian DM berlangsung baik dan keadaan TB paru sudah membaik maka insulin kerja pendek dapat dilanjutkan dengan insulin kerja menengah seperti monotard atau humulin N dengan dosis 2/3 dari dosis total insulin kerja pendek. Bila dosis total perhari diperlukan kurang 30 unit perhari maka cukup pemberian insulin kerja menengah cukup diberikan sekali perhari dan apabila dosis lebih 30 unit maka pemberian insulin diberikan 2 kali perhari yaitu 2/3 dosis sebelum makan pagi dan 1/3 dosis sebelum makan malam. Pemberian insulin mixed lebih baik dalam menormalkan kadar glukosa darah dibanding insulin tunggal. Namun demikian insulin campuran sebaiknya mengikuti petunjuk dan prosedur standar pemberian seperti penyuntikan dilakukan 15 menit sebelum makan, dianjurkan hanya pada pasien yang sudah terkontrol baik. Tidak dianjurkan menggabungkan antara lente insulin dengan NPH karena zink pospat dapat mempresipitasi sehingga insulin kerja lambat akan menjadi kerja pendek. Demikian pula insulin gargline tidak dapat dicampur dengan insulin lainnya karena pH rendah akan saling mengencerkan. Dosis insulin pada pasien DM tergantung respons glikemik setiap individu dan asupan makanan serta latihan jasmani. Pada umumnya pada pemberian awal diberikan 3 kali pemberian atau lebih suntikan perhari dengan insulin kerja pendek untuk memperoleh derajat euglikemik. Jadwal penyuntikan tergantung dari kadar glukosa darah, jumlah asupan makanan, aktifitas fisik dan tipe insulin yang dipakai. Pada umumnya penyuntikan dilakukan 30 menit sebelum makan khusus untuk insulin kerja pendek karena penyuntikan setelah makan atau segera sebelum makan akan menyebabkan

hipoglikemia atau insulin tidak efektif menekan kenaikan glukosa darah postprandial.
11

Pada saat ini pemberian insulin khususnya dalam periode lama seperti DM dengan TB paru maka perlu monitor kadar glukosa darah sendiri. Untuk memantau kadar glukosa dapat dipakai darah kapiler dengan memakai glukosa meter. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah dengan glukosa meter dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan standar yang diperlukan. Secara berkala hasil pemantauan dengan meter atau reagen perlu dibandingkan dengan cara konvensional. Waktu pemeriksaan untuk pemantauan adalah pada saat sebelum makan dan waktu tidur untuk menilai resiko hipoglikemia dan pemeriksaan glukosa darah 2 jam setelah makan untuk menilai ekskursi maksimal glukosa selama sehari. b. Planing Komprehensif terhadap Keluarga Melihat kasus di atas, perlunya penanganan serius bagi penderita TBC yang melibatkan peran keluarga. Rencana komprehensif sangatlah penting dalam upaya pencegahan. Komplikasi lebih lanjut seperti: TBC perikarditis, peritonitis yang dapat menimbulkan kematian akibat penyakit ini. Oleh karena itu peran keluarga dalam mengatasi masalah ini yakni melalui: 1. Promotif yaitu meningkatkan dan memberi support pada keluarga pasien agar meningkatkan kondisi dan daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan bergizi, istirahat yang cukup, olah raga yang cukup. 2. Preventif, adalah usaha pencegahan yang dapat dilakukan melalui penyuluhan demi meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga tentang perawatan dan cara pencegahan penularan dan penemuan kasus dini. 3. Kuratif, dalam hal ini dokter keluarga melakukan perawatan pada penderita untuk mencegah komplikasi lebih lanjut, serta proses kolaborasi dengan tim medik lain dalam pengobatan sampai pada penyembuhan. 4. Rehabilitasi: sangat membutuhkan peran dokter keluarga dalam memberi penyuluhan perawatan diri serta mematuhi jadwal pengobatan. c. Planing Komprehensif terhadap Lingkungan

Rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan manusia. Rumah atau tempat tinggal manusia dari zaman ke zaman mengalami perkembangan. Sejak zaman dulu manusia telah mencoba mendesain rumahnya, dengan ide mereka masing-masing yang dengan sendirinya berdasarkan kebudayaan masyarakat setempat dan membangun rumah mereka dengan bahan yang ada setempat (local material) pula. Setelah manusia masuk abad moderen ini meskipun rumah mereka di bangun bukan dengan bahan-bahan setempat, kadang dengan desainnya masih mewarisi kebudayan generasi sebelumnya. Pengertian rumah menurut WHO adalah tempat untuk tumbuh dan berkembang baik secara jasmani, rohai dan sosial. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sasaran pembinaan keluarga. Dan tempat untuk berlindung/bernaung dari pengaruh keadaan alam sekitarnya (hujan, matahari dan lain-lain), sert merupakan tempat untuk beristirahat setelah bertugas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesehatan berasal dari kata sehat. Sehat adalah suatu proses yang dinamis, dengan proses ini manusia menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup.

Dengan demikian manusia yang sehat adalah manusia yang menyesuaikan sepenuh-penuhnya badan dan jiwanya dengan lingkungan hidup. Sehat adalah keadaan sempurna dari jasmani,rohani dan sosial serta bebas daari cacat dan kelemahan. Sehat menurut WHO adalah keadaan yang sempurna baik fisik, mental, dan sosial bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit atau kelemahan. Sedangkan sehat menurut undangg-undang republik indonesia no 36 tahun 2009 tentang kesehatan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Kebijakan nasional yang melandasi upaya penyehatan lingkungan pemukiman adalah : a. Upaya penyehatan lingkungan pemukiman, diselenggarakan berdasarkan berdasarkan pada kebijakan pembangunan kesehatan. b. Pemecahan masalah perumahan adalah jaangka panjang, diarahkan agar setiap keluarga indonesia menempati rumah yang layaak, dipandag dari segi hakekat dan fungsi rumah bagi kehidupan manusia yang layak. c. Kegiata penyehatan perumahan diperioritaskan bagi penduduk berpenghasilan rendah dan penduduk yang mempunyai resiko tinggi terhadap penularan penyakit menular didaerah pedesaan, perkotaan dan pemukiman. d. Perumahan rumah didaerah transmigrasi, didaerah rawan dan strategis diperbatasan perlu mendapat perhaatian sesuai dengan persyaratan kesehatan agar dapat dijadikan sebgai sabuk pengaman (benteng pengaman) bagi negara terhadap gangguan dan ancaman berasal dari luar. e. Pembangunan perumahan dan pemukiman harus ditangani dari berbagai aspek secara lintas sektor dan memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan terpadu dengan menitik berat kan pada penaataan, pengaturan, pengadaan dan pemanfaatannya. 1. Syarat Rumah sehat Syarat-syarat rumah sehat berdasarkan WHO yaitu antara lain : a. Memenuhi kebutuhan fisiologis. Secara umum rumah dikatakan sehat apabila memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain : 1) Pencahayaan alam Pencahayaan Alam Diperoleh Dengan Masuknya Sinar Matahari Ke Dalam Rungan Melalui Jendela,Celah-Celah Dan Bagian-Bagian Bangunan Yang Terbuka. Cahaya Matahari Beguna Selain Untuk Penrangan Juga Dapat Mengurangi Kelembaban Ruangan,Mengusir Nyamuk,Membunuh Kuman-Kuman Penyakit Terntu Seperti Tbc,Influenza,Penyakit Mata Dan Lain-Lain.Kebutuhan Standar Minimum Cahaya Alam Yang Memenuhi Syarat Kesehatan Untuk Berbagi Keprluan Menurut Who Diamana Salah Satunya Adalah Untuk Kamar Keluarga Dan Tidur Dalam Rumah Adalah 60-120 Lux. Untuk Memperoleh Jumlah Cahaya Matahari Pada Pagi Hari Secara Optimal Sebaiknya Jendela Kamar Tidur Menghadap Ke Timur.Luas Jendela Yang Baik Paling Sedikit Mempunyai Luas 10-20 % Dari Luas Lantai. 2) Pencahayaan Buatan

Pencahayaan Buatan Yang Baik Dan Memenuhi Standar Dapat Dipengaruhi Oleh: a) Cara Pemasang Sumber Cahaya Padad Dinding Atau LangitLangi. b) Konstruksi Sumber Cahaya Dalam Ornament Yang Dipergunakan. c) Luas Dan Bentuk Ruangan. d) Penyebaran Sinar Dan Sumber Cahaya. b. Memenuhi Kebutuhan Psikologis Dengan Tercapainya Kebutuhan Psikologis Dari Suatu Rumah,Maka Penghuninya Akan Terjamin Ketenangan Dan Kebebasannya Sehingga Dapat Melakukan Kegiatan Sehari-Hari Dengan Bebas,Merasa Nikmat Dan Bahagia Sepanjang Hari. Agar Penghuni Merasa Nyaman,Senang Dan Tentram,Maka Suatu Rumah Perlu Adanya Pengaturan Ruangan Atau Kamarisasi Dengan Memperhitungkan Jumlah Penghuninya. Banyak Penghuninya Dalam Suatu Rumah Akan Menuntut Jumlah Ruangan Yang Banyak Trutama Kamar Tidur.Umumnya Jumlah Ruangan Disesuaikan Dengan Fungsi Ruangan Seperti Ruangan Tidur,Ruang Tidur,Ruang Makan Dan Tidur. Tercapainya Kebutuhan Psikologis Suatu Rumah Maka Penghunya Akan Terjamin Ketenangan Dan Kebebasannya,Sehingga Dapat Melakukan Kegiatan Sehari-Hari Dengan Bebas,Mesa Nikmat Dan Bahagia Setiap Hari.Agar Penghuninya Merasa Nyaman,Tenang Dan Tentram Serta Perifasi Dapat Terjamin,Maka Suatu Rumah Memerlukan Adanya Pengaturan Ruangan Atau Kamar Dengan Memperhitungkan Jumlah Penghuninya.Banyaknya Penghuni Dalam Suatu Rumah Akan Menuntut Jumlah Ruangan Yang Banyak,Terutama Kamar Tidur. Suatu Rumah Harus Mempunyai Wc Dan Kamar Mandi Sendiri Dan Terpelihara Kebersihannya.Bila Tidak Mempunyai Wc Sendiri,Maka Buang Air Besar Dilakukan Disembarang Tempat (Sungai,Kebun,Empang Dan LainLain) Yang Sebenarnya Tidak Dibenrakan Karena Dapat Menyebabkan Dan Memudahkan Penyakit-Penyakit Tertentu Dapat Ditlarkan Melalui Pembuangan Kotoran Yang Tidak Sehat. Kebutuhan Rumah Sebagai Tempat Tinggal Bagi Keluarga Harus Memmperhatikan Pula Faktor-Faktor Mempengaruhi Penularan Penyakit Bagi Penghuninya antara Lain: a. Bebas Dari Serangga Dan Tikus. Menghindari Adanya Kehidupan Serangga (Lalat,Tikus Dan Keoa), Dengan Cara Atau Usaha Kebersihan Dan Kesehatan Lingkungan Di Dalam Dan Di Luar Rumah. b. Pembuangan Sampah Sampah Dibedakan Menjadi: Sampah Basah,Sampah Kering Dan Sampah Sukar busuk (Kaleng,Kaca,Paku Dan Lain-Lain.Sampah Jangan Dibuang Di Tempat Terbuka Lebih Dari 24 Jam Karena Akan Menyebabkan Lalat Dan Tikus Untuk Bersarang. c. Pembuangan Tinja. Usahakan Rumah Mempunyai Jamban Sendiri,Selau Bersih Dan Tidak Berbau (Konstruksi Leher Angsa). Jarak Cukup Jauh Dari Sumber Air Dan

Letaknya Di Bagian Hilir Air Tanah, Wc Harus Selalu Bersih, Mudah Dibersihkan, Cahaya Dan Cukup Ventilasi,Sehingga Tidak Menjadi Penyakit.Orang-Orang Yang Batuk Dan Bersin-Bersin Mengelurkan Udara Yang Penuh Dengan Kuman-Kuman Penyakit (Tbc,Pneumonia,Dll) Yang Dapat Menifecteer Udara Di Sekelilingnya.Penyakit-Penyakit Menular Yang Penularannya Dengan Perantara Udara,Antra Lain: Tbc,Bronchitis,Pneumonia,Dan Lain-Lain. Faktor-Faktor Pada Rumah Yang Berpengaruh Terhadap Kesehatan : a. Kualits Bangunan, Dimana Dapat Dilihat Dari Segi : 1. Bahan Bangunan Dan Konstruksinya, Menentukan Apakah Suatu Rumah Mudah Rusak,Terbakr,Lembab,Panas,Mudah Menjadi Sarang Pembawa Penyakit,Bising Dan Lainnya. 2. Denah Rumah,Menentukan Cukup Tidaknya Jumlah Penghuni Serta Berbagi Kegiatan. b. Pemanfaatan Atau Penggunaan Rumah Yang Secara Teknis Memenuhi Syarat Kesehatan,Tetapi Apabila Penggunanya Tidak Sesuai,Maka Dapat Terjadi Gangguan Kesehatan.Misalnya Rumah Yang Dibangun Untuk Dihuni 4 Orang Tak Jarang Dihuni Lebih Dari Semestinya. c. Segala Fasilitas Yang Disediakan,Apabila Tidak Terpelihara Dengan Baik Akan Menunjang Terjadinya Penyakit.Misalnya Lantai Rumah Yang Jarang Dibersihkan,Banyak Debu Yang Mengundang Bakteri Atau Zat-Zat Yang Menimbulkan Alergi. Rumah Sehat Menurut Winslow Dan APHA (American Public Health Association), harus memenuhi beberapa persyaratan : a) Ventilasi Ventilasi adalah usaha untuk memelihara kondisi atmosfir yang menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia.tersedianya udara segar dalam rumah atau ruangan amat dibutuhkan oleh manusia.suatu ruangan yang tidak mempunyi sistem ventilasi yang baik dan dihuni oleh manusia akan menimbulkan beberapa keadaan yang dapat merugikan kesehatan manusia,misalnya kadar O2 akan berkurang,kadar CO2 akan meningkat,ruangan berbau,kelembaban udara dalam ruangan akan meningkat karena terjadi proses penguapan dari kulit pernapasan. Didalam ruangan yang tidak memiliki ventilasi yang yang baik dan Dan lembab merupakan faktor resiko terjadinya kontak antara mycobacterim tersebut dengan orang,sehingga terjadinya efek (sakit). Dua cara pengaturan ventilasi dalam rumah, yakni: 1) Ventilasi alami Adalah ventilasi yang terjadi secara alamiah diaman udara masuk kedalam ruangan melalui jendela, pintu ataupun lubang angin yang senga dibuat untuk itu. Ventilasi udara berungsi untuk melakukan pertukaran udara dari dan menuju kedalam rumah. Untuk itu, ukuran ventilasi udara pada bangunan rmah harus dibuat secara cukup sehingga mampu mengalirkan udara segar yang diperlukan kedala ruangan. Penempatan, ventilasi udara biasa dilakukan berdasarkan kebutuhan dan arah angin yang palng doinan di lokasi rumah. Selai itu pergerakan udara ddalam rumah bida diakibatkan oleh

perbedaaan suhu antara daerah yang terpapar sinar matahari dengan bagian yang terlindung, misalnya adanya pepohonan di halaman rumah juga akan turut mempengaruh proses sirkulasi udara di rumah. Upayakan agar aliran udara harus diarahkan keruang-ruang yang sering digunakan sehingg proses penghawaan alami biasa efisien. 2) Ventiasi buatan Adalah dengan mempergunakan alat yang khusus untuk mengalirkan udara, misalnya : mesin penghisap udara dan air conditioner. Syarat-syarat dari ventilasi adalah : 1) Luas lubang ventilasi teta, minimum 5 % dari luas lantai ruangan. Sedangkan lua lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimal 5 %. Jumlah keduanya menjadi 10 % kali luas lantai ruangan. Ukuran luas ini diatur sedemikian rupa sehingga udara yang masuk tidak terlalu deras dan tidak terlalu sedikit. 2) Udara yang masuk harus udara bersih, tidak dicemari oleh asap dari sampah atau dari pabrik, dari knalpot kendaraan, debu dan lain-lain. 3) Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan lubang hawa berhadapan antara 2 dinding ruangan. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh barangbarag besar (lemari, dinding sekat, dan lain-lain). Pada prinsipya fungsi dari ventilasi dapat dibedakan dalam tiga bagian, yaitu : 1. Penyediaan udara segar Dengan adanya ventilasi diharapkan menyediakan udara segar sesuai dengan kebutuhan akan udara segar bagi penghuni rumah tersebut. 2. Pendinginan konfekif Pergantian udara dalam rumah dengan udara yang berasal dari luar apabila suhunya lebih rendah akan menyebabkan rasa dingin dalam ruangan tersebut. 3. Pendinginan filosfis Gerakan udara mengenai kulit akan mempercepat hilangnya panas melalui dua jalan: a. Meningkatkan hilangnya panas konveksi b. Mempercepat penguapan dari tubuh lewat keringat.

Daftar Pustaka 1. Palomino JC, Leo SC, Ritacco V. 2007. Tuberculosis 2007: From basic science to patient care First Edition. TuberculosisTextbook.com 2. Jabbar A, Hussain SF, Khan AA. 2006. Clinical characteristics of pulmonary tuberculosis in adult Pakistani patients with co-existing diabetes mellitus. Eastern Mediterranean Health Journal, Vol. 12, No. 5, 3. Misnadiarly. 2001. Penelitian Survey Penyakit Penyerta pada Penderita TB Paru/Mycobacteriosis Paru secara Restrospektif. Research Report from JKPKBPPK Center for Research and Development of Disease Control, NIHRD. Badan Litbang Kesehatan. 4. Alsagaff H, Wibisono MJ, Winariani. 2004. buku ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru. FK Unair-RSU dr. Soetomo. Surabaya. 5. PERKENI. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta. 6. Kasper DL et al. 2005. Harrisons Principles of Internal Medicine 16th Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. United States of America. 7. Tjokroprawiro A. 1999. Diabetes Melitus, Klasifikasi, Diagnosis, dan Terapi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis, pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta. 9. DEPKES. 2001. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 6th Ed. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 10. Price SA, Wilson LM. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinis Prosesproses penyakit. EGC: Jakarta. 11. Sanusi H. Diabetes melitus tipe II pada TB paru. Naskah lengkap Pertemuan Ilimiah Khusus (PIK) ke X perhimpunan dokter paru indonesia 2-5 juli 2003, sahid makassar.

Anda mungkin juga menyukai