Anda di halaman 1dari 27

REFERAT BEDAH ORTHOPEDI PENATALAKSANAAN FRAKTUR TERTUTUP DAN FRAKTUR TERBUKA

Pembimbing : dr. H Bambang AgusT. K, Sp.OT.

Disusun Oleh : Alfian Tagar A. P. Bunga Wiharning S. P. G4A013039 G4A013040

SMF ILMU BEDAH ORTHOPEDI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO 2013

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN REFERAT PENATALAKSANAAN FRAKTUR TERTUTUP DAN FRAKTUR TERBUKA

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Di Bagian SMF Bedah Orthopedi RSUD Prof. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun Oleh : Alfian Tagar A. P. Bunga Wiharning S. P. G4A013039 G4A013040

Telah disetujui Pada tanggal : September 2013

Dosen Pembimbing :

dr. H Bambang Agus T. K, Sp.OT. NIP.19710628.200212.1.006

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan taufik, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Penatalaksanaan Fraktur Tertutup Dan Fraktur Terbuka ini. Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangannya, oleh karena itu penulis mengharapkan saran demi perbaikan referat ini. Akhirnya penulis berharap, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan. Tidak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. 2. 3. dr. H Bambang Agus T. K, Sp.OT.selaku dokter spesialis Bedah Orthopaedi RSMS dan pembimbing referat ini. dokter-dokter Sp. OT selaku dokter spesialis Bedah Orthopaedi RSMS Rekan Co-Ass Bedah atas semangat dan dorongan serta bantuannya. Akhirnya penulis berharap, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan.

Purwokerto,

September 2013

Penyusun

TINJAUAN PUSTAKA I. PENATALAKSANAAN FRAKTUR TERTUTUP

Prinsip tatalaksana untuk fraktur meliputi tindakan manipulasi untuk memperbaiki posisi fragmen, diikuti pembebatan untuk mempertahankannya bersama sebelum semua fragmennya menyatu, lalu melakukan tindakan rehabilitasi guna menjaga fungsi dan pergerakan sendi. Penyembuhan fraktur dibantu oleh pembebanan fisiologis pada tulang sehingga dianjurkan melakukan aktivitas otot dan penahanan beban lebih awal. Secara umum, komponen tatalaksana untuk fraktur tertutup meliputi : a. Reduce (Reduksi) b. Hold (Mempertahankan) c. Exercise (Latihan). Masalahnya adalah bagaimana cara menahan fraktur secara memadai sambil tetap menggunakan tungkai secukupnya, hal ini menjadi pertentangan antara penahanan lawan gerakan yang perlu dicari jalan keluarnya secepatnya oleh tenaga medis (semisal dengan fiksasi internal), tetapi dia juga ingin menghindari risiko yang tak perlu, hal ini menjadi pertentangan antara kecepatan dan keamanan. Adanya dua konflik ini menggambarkan empat faktor utama dalam penanganan fraktur (kuartet fraktur).

Gambar 1. Kuartet Fraktur

Yang perlu digarisbawahi untuk fraktur tertutup adalah hubungan fraktur dengan jaringan sekitarnya yaitu jaringan lunak di sekitar lokasi fraktur. Tscherne (1984) mencoba mengklasifikasikan fraktur tertutup menjadi : a. Grade 0 : fraktur ringan tanpa kerusakan jaringan lunak b. Grade 1 : fraktur dengan abrasi superfisial atau memar pada kulit dan jaringan subkutan c. Grade 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio di jaringan lunak bagian dalam dan terdapat pembengkakan d. Grade 3 : fraktur tertutup terberat dengan ancaman terdapat sindrom kompartemen. Semakin berat cedera yang terjadi akan lebih membutuhkan bentuk fiksasi mekanik tertentu. A. Reduce (Reduksi) Meski terapi umum dan resusitasi harus selalu didahulukan, tidak boleh ada keterlambatan dalam menangani fraktur, pembengkakan jaringan lunak selama 12 jam pertama akan mempersulit reduksi. Akan tetapi, terdapat beberapa kondisi yang tak memerlukan reduksi, yaitu : 1. Bila pergeseran tidak banyak atau tidak ada 2. Bila pergeseran tidak berarti (semisal fraktur clavicula) 3. Bila reduksi tampaknya tidak berhasil (semisal fraktur kompresi vertebrae). Penjajaran (alignment) fragmen lebih penting daripada aposisi, asalkan diperoleh penjajaran yang normal. Yang menjadi pengecualian adalah fraktur yang melibatkan permukaan sendi dimana ini harus direduksi sesempurna mungkin agar tidak menimbulkan arthritis degeneratif.

Gambar 2. Reduksi Tertutup Sejauh ini sudah diketahui ada dua metode reduksi yaitu : a) Reduksi Tertutup Penggunaan anestesi dan relaksasi otot yang tepat, memudahkan proses reduksi melalui tiga tahap manuver yaitu : (1) bagian distal ditarik ke garis tulang, (2) sementara fragmen terlepas, fragmen tersebut direposisi (dengan membalikkan arah kekuatan asal kalau ini dapat diperkirakan), (3) penjajaran disesuaikan di setiap bidang. Cara ini efektif bila periosteum dan otot pada satu sisi fraktur tetap utuh, pengikatan jaringan lunak mencegah reduksi yang berlebihan dan menstabilkan fraktur setelah direduksi. Beberapa fraktur sulit direduksi dengan manipulasi (seperti fraktur batang femur) karena tarikan otot sangat kuat dan membutuhkan traksi yang lama. Reduksi tertutup digunakan untuk semua fraktur dengan pergeseran minimal, pada fraktur yang terjadi pada anak-anak dan pada fraktur yang stabil setelah reduksi. b) Reduksi Terbuka Reduksi bedah pada fraktur dilakukan atas indikasi : 1) Bila reduksi tertutup gagal, baik karena kesukaran mengendalikan fragmen atau karena terdapat jaringan lunak di antara fragmen-fragmen itu

2) Bila terdapat fragmen artikular yang cukup besar yang perlu ditempatkan secara tepat 3) Bila terdapat fraktur traksi yang fragmennya terpisah. Biasanya reduksi terbuka merupakan langkah awal untuk melakukan fiksasi internal. B. Hold (Mempertahankan Reduksi) Kata imobilisasi untuk poin jarang digunakan karena sebenarnya tindakan yang dilakukan merupakan pencegahan pergeseran. Namun pembatasan gerakan tertentu diperlukan untuk membantu penyembuhan jaringan lunak dan memungkinkan gerakan bebas pada bagian yang tidak terkena. Metode yang tersedia untuk mempertahankan reduksi adalah sebagai berikut. 1) Traksi 2) Pembebatan Gips 3) Pemakaian Penahan Fungsional 4) Fiksasi Internal 5) Fiksasi Eksternal Otot di sekeliling fraktur kalau utuh bertindak sebagai kompartemen cair; traksi atau kompresi menciptakan efek hidrolik yang dapat membebat fraktur. Karenanya metode tertutup cocok untuk fraktur dengan jaringan lunak yang masih utuh dan cenderung gagal bila digunakan untuk fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang hebat. Kontraindikasi lain untuk metode nonoperasi adalah fraktur yang sifatnya tidak stabil, fraktur ganda, dan fraktur pada pasien yang tidak kooperatif. 1. Traksi Adalah alat imobilisasi yang menggunakan kekuatan tarikan yang diterapkan pada suatu bagian distal anggota badan dengan tujuan mengembalikan fragmen tulang ke tempat semula. Traksi dibagi menjadi beberapa macam, yaitu : a) Traksi terus-menerus Traksi dilakukan pada tungkai di bagian distal femur supaya melakukan tarikan terus menerus pada poros panjang tulang itu. Cara

ini berguna untuk fraktur batang yang bersifat oblique atau spiral yang mudah tergeser oleh kontraksi otot. Traksi tidak dapat menahan fraktur tetap diam, traksi dapat menarik tulang panjang secara lurus dan mempertahankan panjangnya tetapi reduksi yang tepat kadang susah dipertahankan. Sementara itu pasien dapat menggerakkan sendinya dan melatih ototnya. b) Traksi dengan gaya berat Digunakan pada cedera tungkai atas. Karenanya bila menggunakan kain penggendong lengan, berat lengan akan memberikan traksi terusmenerus pada humerus, untuk kenyamanan dan stabilitas, terutama pada fraktur melintang. c) Traksi kulit Traksi dibebankan pada kulit dan jaringan lunak. Dilakukan bila daya tarik yang diperlukan kecil (sekitar 4-5 kg). Penggunaannya dengan ikatan elastoplast ditempelkan pada kulit yang telah dicukur dan dipertahankan dengan suatu pembalut. Beberapa macam traksi kulit adalah : 1) Traksi Bucks (digunakan pada fraktur femur, pelvis, dan lutut) 2) Traksi Bryants (untuk dislokasi sendi panggul pada anak) 3) Traksi Russells (untuk fraktur femur) d) Traksi skeletal Traksi dibebankan pada tulang pasien dengan menggunakan pin logam dan atau kawat Kirschner, biasanya di belakang tuberkel tibia untuk cedera pinggul, paha dan lutut, di sebelah bawah tibia atau pada kalkaneus untuk fraktur tibia. Kalau digunakan pen, dipasang kait yang dapat berputar dengan bebas, dan tali dipasang pada kait itu untuk menerapkan traksi. Dilakukan bila daya tarik yang diperlukan lebih besar (1/5 dari berat badan) dan untuk jangka waktu lama. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah : a) pada anak-anak, traksi dan pembalut melingkar dapat menghambat sirkulasi

b) pada orang yang lebih tua, traksi dapat menyebabkan cedera saraf peroneus communis yang menyebabkan drop-foot. c) Sindroma kompartemen yang terjadi akibat traksi berlebihan melalui pen kalkaneus.

Gambar 3. Jenis-jenis traksi 2. Bebat Gips Penggunaan gips (plaster of paris) sebagai bebat imobilisasi yang cukup mudah dan murah untuk dilakukan, dimana pasien juga dapat pulang lebih cepat. Biasanya digunakan untuk fraktur tungkai distal dan untuk fraktur pada anak. Meskipun diketahui gips ini membuat pasien kurang nyaman karena kerasnya gips dalam mengimobilisasi jaringan di bawahnya dan kecepatan penyatuannya tidaklah lebih baik dibandingkan dengan traksi. Tehnik pemasangan gips : Setelah fraktur direduksi, pasang kaus kaki pada tungkai dan tonjolan tulang dilindungi dengan wol. Gips kemudian dipasang. Sementara gips mengeras, tenaga medis membentuknya agar tonjolan tulang tidak tertekan. Pembebatan gips ini tidak boleh dihentikan sebelum fraktur berkonsolidasi, kalaupun diperlukan perubahan gips, diperlukan pemeriksaan sinar-X. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut. a) Cetakan gips yang ketat

Pasien akan mengeluh nyeri yang difus kemudian muncul pembengkakan. Tungkai harus ditinggikan untuk mengurangi keluhan. Kalaupun nyeri tetap ada, penanganannya adalah melepas gips. b) Luka akibat tekanan Gips dapat menekan kulit pada tonjolan tulang (patella, tumit, siku) dan pasien akan mengeluh nyeri lokal di atas tempat tekanan. c) Abrasi kulit Terjadi bila pelepasan gips tidak dilakukan dengan benar

Gambar 4. Pemasangan Gips 3. Pemakaian Penahan Fungsional Penggunaan alat ini biasanya untuk fraktur femur, tibia, akan tetapi penahan ini bersifat tidak kaku, sehingga hanya dipakai bila fraktur mulai menyatu, semisal 3-6 minggu setelah traksi atau pemasangan gips. Adapun penggunaan alat ini harus memenuhi syarat sebagai berikut. a) Fraktur dapat dipertahankan dengan baik, b) Sendi dapat digerakkan, c) Fraktur menyatu dengan kecepatan normal, d) Memastikan metode yang dipakai itu aman.

Hal ini cukup berisiko bila pemasangan alat ini tidak oleh tenaga berpengalaman dikarenakan dapat menyebabkan mal-union pada fraktur yang lebih besar. Tehnik pemasangannya adalah dengan menstabilkan frakturnya terlebih dahulu (dalam gips atau traksi), lalu dipasang alat ini yang dapat menahan fraktur tapi memungkinkan gerakan sendi, dan selalu dianjurkan melakukan aktivitas fisik fungsional termasuk penahanan beban.

Gambar 5. Alat Penahan Fungsional 4. Fiksasi Internal Fragmen tulang dapat diikat dengan sekrup, pen, paku pengikat, plat logam dengan sekrup, paku intramedular yang panjang (dengan atau tanpa sekrup pengunci), atau kombinasinya. Bila dipasang dengan semestinya, fiksasi internal menahan fraktur dengan aman sehingga gerakan dapat segera dilakukan. Semakin segera gerakan dapat dilakukan, semakin rendah pula risiko terjadinya kekakuan dan edema. Dalam hal kecepatan, pasien dapat meninggalkan rumah sakit segera setelah luka sembuh, dikarenakan fraktur yang terjadi sudah dipertahankan dengan jembatan logam. Bahaya yang mungkin terjadi adalah infeksi yang dapat menyebabkan sepsis. Risiko infeksi ini tergantung pada kebersihan luka yang dibuat

pada tubuh pasien, keterampilan tenaga medis dalam melakukan pembedahan dan jaminan asepsis saat di ruang operasi. Tindakan ini baru bisa dilakukan atas indikasi : a) Fraktur yang terjadi tidak dapat direduksi kecuali dengan operasi b) Fraktur yang tidak stabil secara bawaan dan cenderung akan bergeser setelah direduksi. c) Fraktur yang penyatuannya kurang baik dan perlahan, terutama fraktur leher femur d) Fraktur patologis dimana penyakit yang mendasarinya mencegah penyembuhan e) Fraktur multipel f) Fraktur pada pasien yang sulit perawatannya (pasien lanjut usia, pasien paraplegia)

Gambar 6. Fiksasi Internal

DAPAT diperbaiki

PERLU diperbaiki

DASAR KETRAMPILAN

HARUS diperbaiki

Gambar 7. Tangga Indikasi


Indikasi untuk fiksasi tidak tetap; karena itu, jika ketrampilan operasi atau daya dukung fasilitas (staff, sterilitas dan perlengkapan) kurang memadai, fiksasi internal diindikasikan hanya bila alternatifnya tidak dapat diterima (missal pada fraktur leher femur). Bila tingkat ketrampilan dan fasilitas sedang, fiksasi diindikasikan bila metode alternaif dapat dilakukan tetapi sukar atau tidak bijaksanan (missal cedera multiple). Bila ketrampilan dan fasilitas baik, fiksasi pantas dilakukan jika menghemat waktu, uang atau lama perawatan.

Berikut ini merupakan gambaran beberapa jenis tehnik pemasangan fiksasi internal.

Gambar 8. Jenis Fiksasi Internal


(A) Screws interfragmentary compression (B) Interlocking nail & screw (C) Flexible intramedullary nails (D) Tension-band wiring (E) Kirschner wires (F) Dynamic compression screw & plate (G) Plate & screw

Komplikasi yang sering terjadi akibat fiksasi internal adalah infeksi, nonunion (dikarenakan terdapat gap yang cukup jauh antar sekrup yang dipasang pada plat logam yang ditanam), kegagalan implan (dikarenakan buruknya kualitas plat logam yang keropos) dan fraktur kembali (dikarenakan terlalu cepat melepas plat logam yang dipasang). Waktu

minimal yang dibutuhkan untuk melepas plat logam tersebut adalah sekitar satu tahun.

5. Fiksasi Eksternal Fiksasi eksternal ini dilakukan atas indikasi : a) Fraktur disertai kerusakan pembuluh darah atau saraf b) Fraktur disertai kerusakan jaringan lunak yang hebat c) Fraktur dengan keadaan sangat kominutif dan sangat tidak stabil d) Fraktur disertai dengan keadaan infeksi

Gambar 8. Alat Fiksasi Eksternal


Laki-laki ini mengalami fraktur kaki dalam kecelakaan ski. Meskipun dilakukan fiksasi internal, fraktur mengarah pada non-union. (a) osteotomi dan kalotasis pada setengah bagian proksimal tulang itu memungkinkan dilakukannya secara serentak pemanjangan TIBIA dan fiksasi kompresi pada fraktur yang tak menyatu (b,c,d) sementara pasien berjalan dengan fiksator luar (e) tiga bulan kemudian fraktur menyatu dan fiksator luar dapat dilepas.

Teknik

Prinsip fiksasi eksternal sederhana yaitu tulang ditransfiksikan di atas dan di bawah fraktur dan sekrup atau kawat transfiksasi bagian proksimal dan distal dihubungkan satu sama lain dengan batang yang kaku. Komplikasi fiksasi eksternal adalah sebagai berikut: Overdistraksi fragmen sehingga dipertahankan terpisah Berkurangnya penyaluran beban melalui tulang, yang menunda penyembuhan fraktur dan menyebabkan osteoporosis, karena alesan tersebut sehingga fiksasi luar dilepas setelah 6-8 minggu kemudian diganti dengan jenis pembebatan yang memungkinkan pembebanan tulang Infeksi di tempat pen Pengertian Exercise dalam konteks ini adalah suatu tindakan rehabilitatif guna memperbaiki pergerakan sendi dan kekuatan otot agar bisa kembali menjalankan fungsi kehidupannya seperti sedia kala. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam poin ini, yaitu: Mencegah edema Alasan mengapa elevasi ini dilakukan guna mengurangi edema yang terjadi akibat fraktur, adapun edema yang terjadi ini dapat menyebabkan kekakuan sendi terutama di tangan. Peninggian Tungkai yang cedera perlu ditinggikan, setelah reduksi pada fraktur kaki, kkaki tempat tidur ditinggikan dan latihan dimulai. Jika kaki digips, tungkai hanya boleh pada posisi di bawah.jika gips dilepas, kaki dibalut dan latihan aktif disertai peninggian pengaturan peredaran darah. Latihan rehabilitatif aktif, Latihan rehabilitatif pun dilakukan atas alasan agar membantu memompa cairan edema yang ada, menstimulasi sirkulasi, mencegah terjadinya adhesi jaringan lunak, dan dapat mempercepat penyembuhan fraktur Gerakan berbantuan, C. Exercise

Latihan yang dimaksud disini adalah bukan latihan aktif berat, melainkan latihan aktivitas normal yang tidak memberatkan. Adapun bila pasien tidak bisa melakukan tindakan rehabilitatif aktif, bisa digunakan alat rehabilitatif pasif menggunakan mesin yang dinamakan CPM (Continuous Passive Motions).

Gambar 9. Alat CPM Aktivitas fungsional. Seiring waktu berjalan, pasien juga harus diajarkan kembali bagaimana melakukan kegiatan sehari-hari seperti berjalan, mandi, berpakaian, dan lain-lain. Pasien juga diajarkan agar tidak takut menggunakan anggota tubuh yang mengalami fraktur. Adapun dukungan keluarga cukup banyak membantu dalam proses kesembuhan pasien dan perbaikan kualitas hidup pasien ke depannya.

II.

PENATALAKSANAAN FRAKTUR TERBUKA

Pencegahan infeksi pada fraktur terbuka penting dilakukan yaitu berupa pembalutan luka dengan segera, profilaksis antibiotika, debridement luka secara dini, dan stabilisasi fraktur. Klasifikasi (Gustilo, Merkow, Templeman, 1990): Tipe I : luka kecil, luka tusuk bersih pada tempat tulang menonjol keluar. Terdapat sedikit kerusakan pada jaringan lunak, tanpa penghancuran dan fraktur tidak kominutif. Tipe II : luka lebih dari 1 cm, tetapi tidak ada penutup kulit. Tidak banyak terdapat kerusakan jaringan lunak, dan tidak lebih kehancuran atau kominusi faraktur tingkat sedang. Tipe III : Terdapat kerusakan yang luas pada kulit, jaringan lunak dan struktur neurovascular, disertai kontaminasi luka. Tipe IIIA : tulang yang fraktur tertutup jaringan lunak Tipe IIIB : terdapat pelepasan periosteum, selain fraktur kominutif berat Tipe IIIC : Terdapat cedera arteri yang perlu diperbaiki, tidak peduli berapa banyak kerusakan jaringan lunak lain Penanganan dini Penanganan dini luka harus tetap ditutup hingga pasien tiba di kamar bedah. Pemberian antibiotik dilakukan secepat mungkin. Antibiotik yang diberikan berupa kombinasi benzilpenisilin dan fluloksasilin tiap 6 jam selama 48 jam, sedangkan jika luka terkontaminasi dapat diberikan gentamisin atau metronidazol selama 4 atau 5 hari.

Pemberian profilaksis tetanus toksoid pada pasien yang telah diimuniasi dan antiserum manusia pada pasien yang belum diimunisasi.

Menerima dari unit orthopedi Transfer ke unit Bedah Plastik kecuali jika pasien memiliki cedera multipel

Hari ke 0

Gabungan penilaian konsultan Rencana Manajemen Debridemen Monitoring Kompartemen Fasciotomi mungkin diperlukan pada setiap waktu sebelum 5 hari pertama

Hari ke 2

Pengamatan kedua Debridemen lebih lanjut Penutupan jaringan lunak jika memungkinkan

Hari ke 4

Pengamatan kembali dan jika perlu penutupan jaringan lunak

Gambar 10. Manajemen fraktur terbuka. Flow Chart menunjukkan manajemen dari fraktur terbuka tibia. Debridemen Operasi bertujuan untuk membersihkan luka dari bahan asing dan jaringan mati, serta memberikan persediaan darah yang baik di seluruh bagian tersebut. Dalam anestesi umum, pakaian pasien dilepas, sementara itu asisten mempertahankan traksi pada tungkai yang mengalami cedera dan menahannya agar tetap diam. Pembalut yang sebelumnya digunakan pada luka diganti dengan bantalan yang steril dan kulit di sekitarnya dibersihkan dan dicukur. Kemudian bantalan diangkat dan luka diirigasi seluruhnya dengan garam fisiologis. Irigasi akhir dapat disertai antibiotik seperti basitrasin. Tornikuet tidak digunakan karena dapat membahayakan sirkulasi dan menyulitkan pengenalan struktur yang mati. Kulit

Pertahankan kulit semaksimal mungkin, luka dieksisi sedikit mungkin dari tepi luka. Luka sering diperluas dengan insisi yang terencana untuk memperoleh daerah terbuka yang memadai. Setelah diperluas, pembalut dan bahan asing lainnya dapat dilepas. Fasia Fasia dibelah secara meluas sehingga sirkulasi tidak terhalang. Otot Otot yang mati dapat membahayakan karena otot tersebut dapat menjadi sumber makanan bagi bakteri. Otot yang mati ini biasanya dapat dikenali dengan adanya perubahan warna yang keungu-unguan, konsistensi buruk, tidak dapat berkontraksi jika dirangsang, dan tidak berdarah jika dipotong. Semua otot mati dan kemampuan hidupnya meragukan sebaiknya dieksisi. Pembuluh darah Pembuluh darah yang banyak mengalami perdarahan diikat dengan cermat tetapi untuk meminimalkan jumlah benang yang tertinggal dalam luka, pembuluh kecil dijepit dengan gunting tang arteri dan dipilin. Saraf Saraf yang terpotong dan baik akan dibiarkan saja. Jika luka bersih dan ujung saraf dijahit dengan bahan yang tidak dapat diserap untuk memudahkan pengenalan di hari berikutnya. Tendon Biasanya tendon yang terpotong juga dibiarkan saja. Seperti halnya saraf, penjahitan diperbolehkan hanya kalau luka itu bersih dan diseksi tidak diperlukan. Tulang Permukaan fraktur dibersihkan secara perlahan dan ditempatkan kembali pada posisi yang benar. Tulang seperti kulit harus diselamatkan, fragmen baru boleh dibuang bila kecil dan lepas semua sekali. Sendi

Cedera sendri terbuka diterapi dengan pembersihan luka, penutupan sinovium dan antibiotika sistemik. Drainase atau irigasi sedang hanya digunakan jika terjadi kontaminasi hebat. Penutupan luka Luka kecil tipe 1 dan tidak terkontaminasi yang dibalut dalam beberapa jam setelah cedera , setelah debridemen dan dapat dijahit (asalkan dapat dilakukan tanpa tegangan) atau dilakukan pencangkokan kulit. Luka yang lain harus dibiarkan terbuka hingga bahaya tegangan dan infeksi terlewati. Luka dibalut sekedarnya dengan kassa steril dan diperiksa setelah 5 hari. Jika bersih, luka tersebut dijahit atau dilakukan pencangkokan kulit ( penutupan primer tertunda). Luka tipe III mungkin perlu debridement lebih dari sekali dan memrlukan bedah plastic untuk penutupan luka, serta penggunaan penutup otot vaskuler. Idealnya, penutupan luka seharusnya terjadi selama 72 jam, atau lebih cepat. Penutupan luka hamper selalu membutuhkan cangkok kulit atau penutup lainnya (penutup bebas, fasciocutenus, dan vaskularisasi). Stabilisasi fraktur Stabilisasi fraktur diperlukan untuk mengurangi kemungkinan infeksi dan pemulihan jaringan lunak. Cara fiksasi tergantung derajat kontaminasi, lamanya dari kejadian hingga operasi, serta kerusakan jaringan lunak. Jika tidak terdapat kontaminasi nyata dan selang waktunya kurang dari 8 jam, fraktur terbuka dari semua grade hingga tipe IIIA dapat ditangani seperti luka tertutup, berupa cast splintage, pemberian paku intramedular atau fiksasi eksternal dapat dilakukan tergantung karakteristik dari fraktur dan luka. Luka yang sangat parah hampir akan melibatkan bedah bplastik dan bedah orthopedi. Metode dalam stabilisasi tergantung luasnya dari penutup jaringan lunak yang membutuhkan pemakaian penutup, meskipun fiksasi internal dapat mengatasi masalahnya. Pada unit tertentu, jika pekerja memiliki pengalaman yang banyak dalam penyembuhan fraktur terbuka yang parah, meskipun luka grade IIIB dapat diatasi dengan mengunci paku. Plat dan screw dapat digunakan untuk fraktur metafisis atau artikuler, dengan syarat ahli bedah tersebut berpengalaman dalam menggunakannya dan keadaannya ideal.

Gambar 11. Fraktur terbuka - terapi


Stabilisasi fraktur sangat menentukan dan biasanya terbaik dicapai dengan fiksasi eksternal.

Perawatan sesudahnya Tungkai ditinggikan di atas tempat tidur dan sirkulasinya diperhatikan dengan cermat. Syok mungkin masih membutuhkan terapi. Antibiotik dilanjutkan jika luka terbuka, kultur sudah didapat dan jika perlu penggantian antibiotik. Jika luka dibiarkan terbuka, periksa setelah 5-7 hari. Penjahitan primer tertunda sering aman, atau jika terdapat banyak kehilangan kulit dapat dilakukan pencangkokan kulit. Jika terus terjadi toksemia atau septicemia meskipun telah diberi kemoterapi, luka tersebut didrainase (terapi aman satu-satunya jika fraktur yang tidak ditangani 24 jam setelah cedera).

Gambar 12. Fraktur terbuka Infeksi


(a).Fragmen tibia bagian atas telah menembus kulit, namun fraktur tetap diberi plat. (b).Luka sembuh dengan cepat; fraktur tidak; beberapa bulan kemudian kulit menjadi

merah dan parah (c).Plat dilepas setelah 1 tahun (d)-tulang masih terinfeksi, fraktur masih belum terkonsolidasi.

Sequele pada fraktur terbuka Kulit Jika terdapat kehilangan kulit atau kontraktur, pencangkokan mungkin diperlukan. Bila dilakukan operasi perbaikan atau rekonstruksi pada jaringan yang lebih dalam, pencangkokan kulit dengan ketebalan penuh sangat diperlukan. Tulang Infeksi dapat mengakibatkan sekuster dan sinus. Sekuester yang kecil harus disingkirkan secara dini, tetapi potongan tulang yang besar tidak boleh dieksisi. Penundaan penyatuan tidak dapat dielakkan setelah infeksi fraktur, tetapi penyatuan akan terjadi jika infeksi dikendalikan dan terapi dilanjutkan dalam waktu yang cukup lama. Sendi Bila fraktur yang terinfeksi mempunyai hubungan dengan suatu sendi, prinsip terapinya sama seperti infeksi tulang, yaitu pengobatan, drainase, dan pembebatan. Sendi itu harus dibebat dalam posisi optimum untuk ankilosis, agar ini tidak terjadi. Pada fraktur terbuka, meskipun tidak berhubungan dengan sendi, kekakuan hampIr tidak dapat dihindari. Keadaan ini dapat diminimalkan dengan latihan aktif yang ditingkatkan secara perlahan atau dengan gerakan pasif yang terus menerus, bila telah dipastikan bahwa infeksi telah dapat diatasi.

Anda mungkin juga menyukai