Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih muamalah islamiah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan bahkan sampai puluhan. Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual beli yang telah dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah yaitu murabahah, as-salam, dan al-istishna. Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas resiko serta kegiatan-kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan melalui perpindahan kepemilikan barang. Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang. Pada makalah ini akan dibahas jenis pembiayaan salam dan istishna. Jual beli dengan salam dan istishna ini, akadnya sangat jelas, barangnya jelas, dan keamanannya juga jelas. Maka jual beli salam dan istishna wajar jika masih banyak diminati.

BAB II PEMBAHASAN A. SALAM 1. Pengertian Salam Secara bahasa as salam berarti pesanan, secara terminologis para ulama mendefinisikan as salam dengan menjual suatu barang yang penyerahan ditunda, atau menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari.1 Untuk hal ini para ahli hukum Islam (Fuqaha) menamainya dengan al-mahawiij yang artinya barang mendesak, sebab dalam jual-beli ini barang yang menjadi objek perjanjian jual beli tidak ada di tempat, sementara itu kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan pembayaran terlebih dahulu. Jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau memberi uang di depan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian/untuk waktu yang ditentukan. Menurut ulama Syafiiah akad salam boleh ditangguhkan pembayarannya hingga waktu tertentu dan boleh juga diserahkan secara tunai.2 2. Landasan Hukum Salam Landasan syariah transaksi bai as-Salam terdapat dalam al-Quran dan al-Hadist. Al-Quran Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan utang secara umum meliputi utang-piutang dalam jual beli salam,dan utangpiutang dalam jual beli lainnya. Ibnu Abbas telah menafsirkan tentang utang-piutang dalam jual beli salam.3

1
2

Abd. Hadi, dasar-dasar hukum ekonomi islam, (Surabaya : Putra Medianusantara, 2010), 100 Wahbah Zuhaili, Al-fiqhu Asy-syafiiyyah Al-Muyassar, (Beirut: Darul Fikr, 2008), h. 26 3 Abdurrahman al-Jaziry.Kitab Al-fiqh, (Beirut: Darul fikri, 2004), h. 244

Dalam kaitan ayat di atas Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai as-Salam, hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau: Saya bersaksi bahwa salam (salaf) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya. Ia lalu membaca ayat tersebut.4 Al-Hadist

Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu."5

Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu kami beri pinjaman kepada mereka berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering -dalam suatu riwayat- dan minyak untuk suatu masa
4 5

Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama & Cendekiawan, (Jakarta, 2006), h. 131 Abu al-Walid M ibnu Ahmad ibnu Rusyd al-Qurthuby al-Andalusy, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut: Darul Fikri, 2004) h. 162.

tertentu. Ada orang bertanya: Apakah mereka mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka. (HR. Bukhari)6 3. Rukun Bai As-Salam Pelaksanaan bai as-Salam harus memenuhi sejumlah rukun sebagai berikut7: Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang. Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan. Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman). Muslan fiih adalah barang yang dijual belikan. Shigat adalah ijab dan qabul.

4. Syarat Jual Beli Salam Syarat-syarat sahnya jual beli salam adalah sebagai berikut8: Pihak-pihak yang berakad disyaratkan dewasa, berakal, dan baligh. Barang yang dijadikan obyek akad disyaratkan jelas jenis, ciri-ciri, dan ukurannya. Modal atau uang disyaratkan harus jelas dan terukur serta dibayarkan seluruhnya ketika berlangsungnya akad. Menurut kebanyakan fuqaha, pembayaran tersebut harus dilakukan di tempat akad supaya tidak menjadi piutang penjual. Ijab dan qabul harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh halhal yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad. Para imam mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli salam adalah benar dengan enam syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat barangnya diketahui, banyaknya barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua belah pihak, mengetahui kadar uangnya, jelas tempat penyerahannya.9
6 7

Ibnu Hajar Al-Atsqolany. Bulughul Maram min Adillatil ahkam, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2011), h.382-383. Op.Cit, Ascarya, h. 91 8 Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 33 9 Wahbah Al-Zahily. Al-fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikri, 2007), h. 3603-3605.

Namun Imam Syafii menambahkan bahwa akad salam yang sah harus memenui syarat iniqad, syarat sah, dan syarat muslam fiih. a. Syarat-Syarat Iniqad Pertama, menyatakan shigat ijab dan qabul, dengan sighat yang telah disebutkan. Kedua, pihak yang mengadakan akad cakap dalam membelanjakan harta. Artinya dia telah baligh dan berakal karena jual beli salam merupakan transaksi harta benda, yang hanya sah dilakukan oleh orang yang cakap membelanjakan harta, sepertihalnya akad jual beli. b. Syarat Sah Salam Pertama, pembayaran dilakukan di majelis akad sebelum akad disepakati, mengingat kesepakatan dua pihak sama dengan perpisahan. Alasannya, andaikan pembayaran salam ditangguhkan,terjadilah transaksi yang mirip dengan jual beli utang dan piutang, jikaharga berada dalam tanggungan. Disamping itu akad salam mengandung gharar. Kedua, pihak pemesan secara khusus berhak menentukan tempat penyerahan barang pesanan, jika dia membayar ongkos kirim barang. Jika tidak maka pemesan tidak berhak menentukan tempat penyerahan. Apabila penerima pesanan harus menyerahkan barang itu di suatu tempat yang tidak layak dijadikan sebagai tempat penyerahan. misalnya gurun sahara,, atau layak dijadikan tempat penyerahan barang tetapi perlu biaya pengangkutan, akad salam hukumnya tidak sah. c. Syarat Muslam Fiih (barang pesanan) Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam barang pesanan, yaitu sebagai berikut: Pertama, barang pesanan harus jelas jenis, bentuk, kadar, dan sifatnya. Ia dapat diukur dengan karakteristik tertentu yang membedakannya dengan barang lain dan tentu mempunyai fungsi yang berbeda pula seperti beras tipe 101, gandum,jagung putih, jagung kuning dan jenis barang lainnya. Barang seperti lukisan berharga dan barang-barang langka tidak dapat dijadikan barang jual beli

salam. Penyebutan

karakteristik

tersebut

sangat

perlu

dilakukan

untuk

menghindari ketidakjelasan barang pesanan. Kedua, barang pesanan dapat diketahui kadarnya baik berdasarkan takaran, timbangan, hitungan perbiji, atau ukuran panjang dengan satuan yang dapat diketahui. Disyaratkan menggunakan timbangan dalam pemesanan buah-buahan yang tidak dapat diukur dengan takaran. Abdullah ibn Masud melarang adanya kontrak salam pada binatang. Tetapi Abdullah ibn Umar membolehkannya jika pembayaran ditentukan pada waktu yang telah disepakati. Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat terus mengizinkan praktek penjualan di muka.10 Ketiga, barang pesanan harus berupa utang (sesuatu yang menjadi tanggungan). Keempat, barang pesanan dapat diserahkan begitu jatuh tempo penyerahan. Barang yang sulit diserahkan tidak boleh diperjual belikan, karena itu dilarang alam akad salam.11 5. Salam Paralel Salam paralel yaitu melaksanakan dua transaksi bai as-Salam antara bank dengan nasabah, dan antara bank dengan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan. Dewan Pengawas Syariah Rajhi Banking & Investment Corporation telah menetapkan fatwa yang membolehkan praktek salam paralel dengan syarat pelaksanaan transaksi salam kedua tidak tergantung pelaksanaan akad salam yang pertama. B. ISTISHNA 1. Pengertian Istishna' ( )adalah bentuk ism mashdar dari kata dasar istashna'a-yastashni'u ( - ). Artinya meminta orang lain untuk membuatkan sesuatu untuknya. Dikatakan : istashna'a fulan baitan, meminta seseorang untuk membuatkan rumah untuknya.12

10

Abdullah Alwi Haji Hassan, Sales And Contracts Early Islamic Commercial Law, (New Delhi: Kitab Bhavan, 2006), h. 68. 11 Wahbah Zuhaili. Fiqih Imam Syafii, (Jakarta Timur: Almahira, 2008), h. 25-32. 12 Lihat Lisanul Arab pada madah ()

Sedangkan menurut sebagian kalangan ulama dari mazhab Hanafi, istishna' Adalah sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakaannya. Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam membuat sesuatu, "Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham", dan orang itu menerimanya, maka akad istishna' telah terjadi dalam pandangan mazhab ini.13 Senada dengan definisi di atas, kalangan ulama mazhab Hambali menyebutkan jualbeli barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istishna' mereka samakan dengan jual-beli dengan pembuatan () .14 Namun kalangan Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah mengaitkan akad istishna' ini dengan akad salam. Sehingga definisinya juga terkait, yaitu suatu barang yang diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya.15 Jadi secara sederhana, istishna' boleh disebut sebagai akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara keduanya. 2. Landasan Hukum Akad istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan secara sayr'i di atas petunjuk AlQuran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan muslimin. Al-Quran Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275) Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih. As-Sunnah . : . Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak.
13 14

. .

Badai'i As shanaai'i oleh Al Kasaani jilid 5 halaman 2 Kasysyaf Al-Qinna' jilid 3 halaman 132 15 Raudhatuthalibin oleh An-Nawawi jilid 4 halaman 26 dan Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 297

Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim) Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan.16

Al-Ijma' Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-facto telah

bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.17 Kaidah Fiqhiyah Para ulama di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah: Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya. Logika Orang membutuhkan barang yang spesial dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang

dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen. Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.18 Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai as-salam juga berlaku pada bai al-istishna. Menurut Hanafi, bai al-istishna termasuk akad yang dilarang karena mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Namun mazhab Hanafi menyutui kontrak istishna atas dasar istishan.19

16 17

Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/115) Al Mabsuth oleh As Sarakhsi jilid 12 halaman 138; Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam jilid 7 halaman 115 18 Badai'i As-Shanaai'i oleh Al Kasaani jilid 5 halaman 3 19 Muhammad SyafiI Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani, 2001), hlm. 114

Tujuan istishna umumnya diterapkan pada pembiayaan untuk pembangunan proyek seperti pembangunan proyek perumahan, komunikasi, listrik, gedung sekolah, pertambangan, dan sarana jalan. Pembiayaan yang sesuai adalah pembiyaan investasi.20 3. Rukun dan Syarat al-Istishna Pada prinsipnya bai al-istishna adalah sama dengan bai as-salam. Maka rukun dan syarat istishna mengikuti bai as-salam. Hanya saja pada bai al-istishna pembayaran tidak dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan waktu tertentu penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya barang pada umumnya. Misal : Memesan rumah, maka tidak bisa dipastikan kapan bangunannya selesai. Berikut ini adalah rukun dan syarat-syarat akad istishna : Transaktor Transaktor adalah pihak pemesan yang diistilahkan dengan mustashni'() sebagai pihak pertama. Pihak yang kedua adalah pihak yang dimintakan kepadanya pengadaaan atau pembuatan barang yang dipesan, yang diistilahkan dengan sebutan shani' ( ). Kedua transaktor disyaratkan memiliki kompetensi berupa akil baligh dan memiliki kemampuan untuk memilih yang optimal seperti tidak gila, tidak sedang dipaksa dan lain-lain yang sejenis. Adapun dengan transaksi dengan anak kecil, dapat dilakukan dengan izin dan pantauan dari walinya. Terkait dengan penjual, DSN mengharuskan penjual agar penjual menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati. Penjual dibolehkan menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang telah disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan ia tidak boleh menunutut tambahan harga. Dalam hal pesanan sudah sesuai dengan kesepakatan, hukumnya wajib bagi pembeli untuk menerima barang istishna dan melaksanakan semua ketentuan dalam kesepakatan istishna. Akan tetapi, sekiranya ada barang yang dilunasi terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad. Objek Istishna

20

Ismail, Perbankan syariah, ( Jakarta : Kencana, 2011), hlm. 149-150

Barang yang diakadkan atau disebut dengan al-mahal ( )adalah rukun yang kedua dalam akad ini. Sehingga yang menjadi objek dari akad ini semata-mata adalah benda atau barang-barang yang harus diadakan. Demikian menurut umumnya pendapat kalangan mazhab Al-Hanafi. Namun menurut sebagian kalangan mazhab Hanafi, akadnya bukan atas suatu barang, namun akadnya adalah akad yang mewajibkan pihak kedua untuk mengerjakan sesuatu sesuai pesanan. Menurut yang kedua ini, yang disepakati adalah jasa bukan barang. Syarat-syarat objek akad menurut Fatwa DSN MUI, yaitu : a. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya. b. Penyerahannya dilakukan kemudian. c. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan. d. Pembeli (mustashni) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya. e. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan. f. Memerlukan proses pembuatan setelah akad disepakati. g. Barang yang diserahkan harus sesuai dengan spesifikasi pemesan, bukan barang massal. Shighah (ijab qabul) Ijab qabul adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak pemesan yang meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu untuknya dengan imbalan tertentu. Dan qabul adalah jawaban dari pihak yang dipesan untuk menyatakan persetujuannya atas kewajiban dan haknya itu. Pelafalan perjanjian dapat dilakukan dengan lisan, isyarat (bagi yang tidak bisa bicara), tindakan maupun tulisan, bergantung pada praktik yang lazim di masyarakat dan menunjukan keridhaan satu pihak untuk menjual barang istishna dan pihak lain untuk membeli barang istishna. Istishna tidak dapat dibatalkan, kecuali memenuhi kondisi21 : a. Kedua belah pihak setuju untuk membatalkannya
21

PSAK 104 paragraf 12

10

b. Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad. 4. Berakhirnya akad istishna Kontrak istishna bias berakhir berdasarkan kondisi kondisi berikut: Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua belah pihak ,Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kotrak Pembatalan hokum kontrak ini jika muncul sebab yang masuk akal untuk mencegah dilaksanakannya kontrak atau penyelesaiannya, dan masing masing pihak bisa menuntut pembatalannya.

5. Aplikasi Istishna Pada Lembaga Keuangan Syariah Istishna di lembaga keuangan syariah diartikan dengan akad pembiayaan untuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan criteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni) dan penjual (pembuat, shani) dengan harga yang disepakati bersama oleh para pihak.22 Secara praktis pelaksanaan kegiatan istishna dalam perbankan syariah cenderung dilakukan dalam format istishna paralel. Hal ini dapat dipahami karena pertama, kegiatan istishna oleh bank syariah merupakan akibat dari adanya permintaan barang tertentu oleh nasabah, dan kedua, bank syariah bukanlah produsen dari barang dimaksud. Pada istishna pararel terdapat tiga pihak yang terlibat, yaitu bank, nasabah, dan pemasok. Pembiayaan dilakukan karena nasabah tidak dapat melakukan pembayaran atas tagihan pemasok selama masa periode pembangunan, sehingga memerlukan jasa pembiayaan dari bank. Atas pembiayaan terhadap pembangunan barang, maka bank mendapatkan margin dari jual beli barang yang terjadi. Margin diperoleh dari selisih harga beli bank kepada

22

Pasal 1 ayat 3 Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Pembiayaan Nomor: PER04/BL/2007 tentang akad-akad yang digunakan dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah.

11

pemasok dengan harga jual akhir kepada nasabah. Dimungkinkan juga, bank mendapatkan pendapatan selain margin berupa pendapatan administrasi. Pengertian yang dibuat tau dibangun dalam istishna menunjukan periode yang diperlukan (antara akad jual-beli dengan penyerahan barang) untuk suatu pekerjaan penyelesaian barang. Pekerjaan ini dapat berupa pekerjaan manufactur atau konstruksi (banguan/kapal/pesawat), rakit/assemble (kendaraan/mesin), instalasi (mesin/software) atau istilah teknis engineering lainnya.

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Salam adalah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, pembayaran modal lebih awal. Rukun dan syarat jual beli as-salam yaitu Muaqidain yang meliputi Pembeli dan penjual, Obyek transaksi, Sighat ijab qabul, dan alat tukar. Al-Istishna adalah akad jual beli pesanan dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir. Rukun dan syarat istishna mengikuti bai as-salam. Hanya saja pada bai al-istishna pembayaran tidak dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan waktu tertentu penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya barang pada umumnya. Perbedaan salam dan istishna adalah cara penyelesaian pembayaran salam dilakukan diawal saat kontrak secara tunai dan cara pembayaran istishna tidak secara kontan bisa dilakukan di awal, tengah atau akhir.
12

DAFTAR PUSTAKA Hadi, Abd. 2010. Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam. Surabaya : Putra Media Nusantara Zuhaili, Wahbah, 2008. Al-fiqhu Asy-syafiiyyah Al-Muyassar, Beirut: Darul Fikr. Antonio, Muhammad Syafii, 2006. Bank Syariah Wacana Ulama & Cendekiawan, Jakarta. Ahmad, Abu al-Walid M ibnu, 2004.Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid,Beirut: Darul Fikri. Al-Atsqolany, Ibnu Hajar, 2011. Bulughul Maram min Adillatil ahkam, Surabaya: Mutiara Ilmu. SyafeI, Rahmat, 2004. Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia. Al-Zahily, Wahbah. 2007. Al-fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, Damaskus: Darul Fikri. Hassan,Abdullah Alwi Haji, 2006. Sales And Contracts Early Islamic Commercial Law, New Delhi: Kitab Bhavan. Al-Jaziry, Abdurrahman, 2004. Kitab Al-fiqh, Beirut: Darul fikri.
13

Zuhaili, Wahbah. 2008. Fiqih Imam Syafii, Jakarta Timur: Almahira. Ismail. 2011. Perbankan syariah. Jakarta : Kencana Ascarya, 2011.Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema Insan.

14

Anda mungkin juga menyukai