Anda di halaman 1dari 21

BAB I PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus kecil yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang ditandai dengan demam lebih dari tujuh hari, gangguan pencernaan dan penurunan kesadaran. Salmonella typhi atau juga dikenal sebagai salmonella enterica serotipe Typhi, merupakan bakteri gram-negatif berbentuk batang yang hanya ditemukan pada manusia. Penyakit ini ditandai dengan demam persisten lebih dari tujuh hari, nyeri perut, anoreksia berat, gangguan konstipasi, diare, dan delirium. Kurang lebih 500 kasus demam tifoid ditemukan setiap tahunnya di USA, kebanyakan kasus penyebarannya diperoleh dari perjalanan luar negeri yang melibatkan anak-anak, remaja dan orang tua. Penyakit serupa tapi lebih ringan adalah yang disebabkan oleh Salmonella paratyphi A. Di Indonesia demam tifoid merupakan penyakit endemis yang tersebar luas, diperkirakan 800/100.000 penduduk tiap tahun menderita demam tifoid. Penyakit ini dapat ditemukan sepanjang tahun, terutama pada musim panas. Penderita demam tifoid adalah semua umur, tetapi kebanyakan diderita pada anak besar yang berusia 5-9 tahun. Hal ini disebabkan anak pada usia ini lebih sering mengkonsumsi makanan di luar rumah. Demam tifoid lebih sering diderita oleh laki-laki dibanding dengan perempuan, dengan perbandingan 2 : 1. laki-laki biasanya lebih sering mengkonsumsi makanan di luar rumah dan kurang menjaga kebersihan makanan sehingga lebih banyak menderita demam tifoid. Penularan demam tifoid dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, mulai saat seseorang mengkonsumsi makanan yang berasal dari luar, dimana makanan itu tidak bersih sehingga dapat membawa kuman Salmonella typhi masuk kedalam tubuh. Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang

tercemar, sedangkan makanan yang tercemar oleh karier merupakan sumber penularan tersering di daerah non endemik. Demam tifoid lebih banyak dijumpai di negara-negara berkembang terutama daerah tropis, dimana penyediaan air bersih belum memadai dan sanitasi lingkungan masih buruk serta sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang masih rendah. Akibatnya insidensi penyakit ini di daerah berkembang masih akan tetap tinggi.

I.2 TUJUAN PENULISAN 1. Tujuan penulisan ini terutama bagi penulis semoga bisa menjadikan bahan penambah wawasan di bidang ilmu kedokteran khususnya bidang kajian demam tifoid sehingga dapat penulis terapkan dalam klinis. 2. Mampu memahami dan mendiskripsikan demam tifoid serta

penanganannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI Demam Tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limfa, kelenjar limfe usus dan peyers patch. Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah sebagai berikut demam paratifoid dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis. Terdapat 3 bioserotipe Salmonella enteriditis yaitu bioserotipe paratyphi A, paratyphi B (Salmonella Schotsmuelleri) dan paratyphi C (Salmonella Hirschfeldii).

II.2 SEJARAH Pada tahun 1829 Pierre Louis (Perancis) mengeluarkan istilah typhoid yang berarti seperti typhus. Baik kata typhoid maupun typhus berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai pada penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Baru pada tahun 1837 William Word Gerhard dari Philadelphia dapat membedakan tifoid dari typhus. Pada tahun 1880 Eberth menemukan Bacillus typhosus pada sediaan histologi yang berasal dari kelenjar limfe mesenterial dan limpa. Pada tahun 1884 Gaffky berhasil membiakkan Salmonella typhi, dan memastikan bahwa penularannya melalui air dan bukan udara. Pada tahun 1896 Widal mendapatkan salah satu metode untuk diagnosis penyakit demam tifoid. Pada tahun yang sama Wright dari Inggris dan Pfelfer

dari Jerman mencoba vaksinasi terhadap demam tifoid. Pada era 1970 dan 1980 mulai dicoba vaksin oral yang berisi kuman hidup yang dilemahkan dan vaksin suntik yang berisi Vi kapsul polisakarida. Pada tahun 1848 Woodward dkk di Malaysia menemukan bahwa kloramfenikol adalah efektif untuk pengobatan demam tifoid.

II.3 EPIDEMIOLOGI Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara sedang berkembang. Penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/tahun di amerika selatan dan 900/100.000/tahun di asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus, 20.000 diantaranya dengan kematian, dimana kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Berdasarkan data sensus WHO tahun 1994, kurang lebih 17 juta kasus dilaporkan per tahun diseluruh dunia. 7 juta kasus diantaranya terdapat di Asia, 4 juta kasus di Afrika dan 0,5 juta kasus di Amerika latin, 600.000 diantaranya menyebabkan kematian. Insidensi secara keseluruhan sebesar 0,5% diseluruh dunia, tetapi insidensi tertinggi sebesar 2% ditemukan di titik tertentu seperti Indonesia dan Papua New Guinea, di negara ini demam tifoid menempati 5 besar penyakit yang menyebabkan kematian. Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat

mengeksrekesikannya melalui sekret saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S.typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63C).

II.4 ETIOLOGI Salmonella typhi sama dengan salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora serta bersifat fakultatif anaerob. Kuman ini dapat hdup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang lebih rendah sedikit, serta mati pada suhu 70C maupun oleh antiseptik. Sampai saat ini kuman ini hanya menyerang manusia. Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu : 1. Antigen O (Ohne Hauch; tidak menyebar) merupakan somatik antigen atau berasal dari tubuh S.typhi, terdiri dari zat komplek liposakarida (oligosakarida). 2. Antigen H (Hauch; menyebar) yang berasal dari flagel atau rambut getar S.typhi (flagelar antigen), terdiri dari protein. 3. Antigen Vi (envelope antigen) yang berasal dari simpai S.typhi, terdiri dari polisakarida. Berfungsi melindungi O antigen terhadap fagositosis. Antigen O dan H dapat digunakan untuk membantu diagnosis demam tifoid, sedang antigen K dipakai untuk mendeteksi karier atau pembawa kuman S.typhi. S.typhi mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. S.typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik. Ketiga jenis antigen tersebut didalam tubuh manusia akan menimbulkan pembentukan tiga macam antibodi (aglutinin). Ada tiga spesies utama yaitu : 1. Salmonella Typi (satu serotip) 2. Salmonella Choleraesius (satu serotip) 3. Salmonella Entereditis (lebih dari 1500 serotip)

II.5 PATOGENESIS Penularan demam tifoid terjadi apabila seseorang memakan makanan atau minumam yang tercemar kuman S.typhi. sumber infeksi adalah penderita demam tifoid, penderita dalam stadium penyembuhan atau karier kronis. Kuman S.typhi masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan air yang tercemar. Kuman dapat menimbulkan infeksi bila mencapai jumlah 105 - 109. sebagian kuman mati oleh asam lambung saat melewati lambung. Kuman yang tidak mati akan masuk ke ileum terminalis melalui mikrovilli dan menuju ke pembuluh limfe plaque peyeri yang ada di ileum terminalis yang mengalami hipertrofi. Selanjutnya kuman menembus lamina propia , masuk aliran limfe dan mencapai klenjar limfe mesenterial yang juga mengalami hipertrofi. Setelah melewati pembuluh limfe ini kuman masuk ke pembuluh darah melalui ductus thoracicus, selanjutnya menyebabkan bakterimia primer dan asimtomatis. Hal ini terjadi 24-72 jam setelah kuman masuk. Selanjutnya ditelan oleh fagosit mononuklear, lalu bertahan hidup dan memperbanyak diri dalam sel sehingga menimbulkan penyakit. Kuman mengikuti aliran darah sistem portal dari usus dan mencapai hati. Selanjutnya kuman bersarang di hati, limpa, plaque peyeri dan sistem retikuloendotelial lainnya. Kemudian kuman akan kembali menuju pembuluh darah dan terjadi bakterimia sekunder yang memulai fase klinik infeksi. Pada fase ini menyebarkan endotoksin ke seluruh tubuh, sehingga timbul gejala dari demam tifoid. Fase ini terjadi pada hari ke 5-9 dari pertama kali kuman masuk kedalam tubuh. Kemampuan kuman untuk menginvasi sel mononuklear dan

memperbanyak diri dalam sel menentukan kemungkinan terjadinya bakterimia sekunder. Ketiadaan antibodi bakterisid memungkinkan kuman untuk difagositosi dalam keadaan hidup. Daya tahan dalam sel tergantung pada faktor mikroba yang menunjang resistensi terhadap pembinasaan dan pada imunitas yang diaktifkan oleh sel limfosit T individu yang terinfeksi, yang berada dibawah kendali genetik.

Ketergantungan dosis pada penyakit klinik tampaknya ekstraseluler dan intraseluler yang didapat. Jika jumlah bakteri intraseluler melampaui, diatur oleh keseimbangan antara perbanyakan diri bakteri pada pertahanan ambang batas kritis, bakterimia sekunder terjadi dan menimbulkan invasi pada kelenjar empedu dan bercak Peyeri pada usus halus. Bakterimia yang menetap menjadi penyebab demam yang menetap pada tifoid klinis, sementara reaksi radang terhadap invasi jaringan menentukan pola pengungkapan klinis ( kolesistesis, perdarahan usus, perforasi ). Dengan invasi kelenjar empedu dan bercak Peyeri, kuman kembali masuk kedalam lumen usus, dan dapat ditemukan pada biakan feses pada awal minggu kedua penyakit klinis. Pertumbuhan dalam ginjal menyebabkan biakan urin positif. Endotoksin lipopolisakarida pada Salmonella typhi dapat menyebabkan demam, leukopenia, dan gejala sistemik lain, tetapi kejadian gejala ini pada individu yang dibuat toleran terhadap endotoksin menunjang peranan untuk faktor lain, seperti sitokin yang dilepaskan dari fagosit mononuklear yang terinfeksi, yang dapat memperantarai peradangan. Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokoin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik. Pada demam tifoid terjadi respons imun humoral maupun selular baik di tingkat lokal (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimna mekanisme imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupuneliminasi terhadap Salmonella typhi tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas selular lebih berperan.

II.6 MANIFESTASI KLINIS Manisfestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Akibatnya lebih sulit untuk menegakan diagnosis demam tifoid pada anak terutama makin muda umur penderita seperti tifoid kongenital maupun tifoid pada bayi bila hanya berpegang pada gejala atau tanda-tanda klinis. Walaupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi,secara garis besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokan: Demam satu minggu atau lebih Gangguan saluran pencernaan Gangguan kesadaran Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyait infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua maka gejala/tanda klinis makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limfa, perut kembung mungkin disertai gangguan kesadaran dari yang ringan sampai yang berat. Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan ratarata antara 10-14 hari. Gejala klinis demam sangat bervariasi, dari gejal klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur salmonella, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya. Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era pemakaian antibiotik belum sperti saat ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step ladder temperature chart yang ditandai dengan deman timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak

orang tua pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat; seperti kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi, atau penuruna kesadaran mulai apatis sampai koma. Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada kasus yang berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak toksid/sakit berat. Bahkan dapat juga dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik sebagai akibat kurang masukkan cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh obstipasi, kemudian disusul episode diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan. Banyak dijumpai gejala meteorismus, berbeda dengan buku bacaan barat, pada anak Indonesia lebih banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan splenomegali. Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda antara lain, lidah nampak kering, dilapisi selaput tebal, dibagian belakang tampak lebih pucat, dibagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif akan terjadi desquamasi epitel, sehingga papila lebih prominen. Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 2-4 m sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Rose spot lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua. Merupakan satu nodul kecil sedikit menonjol dengan berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan, roseola ini merupakan embolikuman dimana didalamnya mengandung kuman salmonella. Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran oleh karena

malaria.pembesaran linpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak. Tifoid kongenital didapatkan dari seorang ibu hamil yang menderita demam tifoid dan menularkan kepada janin melalui darah. Pada umumnya bersifat fatal, tetapi pernah dilaporkan tifoid dapat lahir hidup sampai beberapa hari dengan gejala tidak khas serta menyerupai sepsis neonatorum. Pada tipe kongenital kuman dapat ditemukan dalam darah, hati, limpa serta kelainan patologis pada usus tidak didapatkan, hal ini menjelaskan bahwa pada tifoid kongenital penularannya lewat darah dan secara cepat menimbulkan gejala-gejala sepsis pada janin. Kejadiannya sering mendadak disertai panas yang tinggi, muntah-muntah, kejang-kejang dan tanda-tanda ransangan meningen. Pada pemeriksaan darah terlihat leukositosis (20.00025.000/mm), limpa sering teraba pada pemeriksaan fisik. Perjalanan penyakitnya lebih pendek, lebih bervariasi, sering tidak melebihi 2 minggu, angka kematian yang tinggi (12,5%), diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya kuman salmonella typhi dalam darah dan feses.

II.7 DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S.typhi dari darah. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi S.typhi dari dalam darah pasien lebih besar daripada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan keberhasilan kebih kecil. Biakan spesimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif didpat pada 90% kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasisf, sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yang diambil dari duodenum. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil

10

test positif 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S.typhi (karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya dapat timbul negatif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif. Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi S.typhi dalam serum, antigen terhadap S.typhi dalam darah, serum dan urin bahkan DNA S.typhi dalam darah dan feses. Walaupun menunjukkkan hasil yang baik namun sampai sekarang tidak salah stupun dipakai secara luas. Sampai sekarang belum adanya pemeriksaan yang dapat menggantikan uji serologi Widal.

II.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG Darah tepi perifer : Anemia normokromi normositik, pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe atau perdarahan usus. Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000 /UI, apabila terjadi abses piogenik meka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20.00025.000 /UI Limfositosis relatif Trombositopenia Pemeriksaan serologi : Serologi Widal : kenaikan titer S.typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer fase akut ke fase konvalesens. Biasanya baru positif pada minggu II

11

Kadar IgM dan IgG (typhi-dot) Pemeriksaan biakan salmonella : Kultur empedu : Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit, biakan tinja minggu II, biakan air kemih minggu III. Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4 Pemeriksaan radiologik : Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus atau perdarahan saluran cerna.

II.9 KOMPLIKASI Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3 %, sedangkan perdarahan usus pada 1-10 % kasus demam tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit, walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga nyeri menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen, defance muscular, hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonotis yang lain. Beberapa kasus perforasi usus halus mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas. Dilaporkan pada kasus dengan komplikasineurupsikiatri. Sebagian besar bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor bahkan koma. Beberapa penulis mengaitkan manifestasi klinis neuropsikiatri dengan prognosis buruk. Penyakit neurologi lain adalah trombosis serebral, afasia, ataksis serebral akut, tuli, mielitis transversal, neuritis perifer maupun kranial, meningitis, ensefalomielitis, sindrom Guillain-Barre. Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST-T pada EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung.

12

Hepatitis tifosa asimtomayik dapat dijumpai dengan ditandai peningkatan kadar transaminase. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase, kolesistitis akut dapat juga dijumpai, sedang kolesistitis kronik dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman (karier). Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat merupakan komplikasi. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindroma nefrotik mempunyai prognosis yang buruk. Pneumonia sering pula ditemukan, namun seringkali sebagai akibat infeksi sekunder oleh kuman lain. Komplikasi lain yang dapat dijumpai adalah trombositopenia, koagulasi intravaskular diseminata, hemolytic uremic syndrome (HUS), fokal infeksi dibeberapa lokasi sebagai akibat bakterimia misalnya infeksi pada tulang, otak, hati, limpa, otot, kelenjar ludah dan persendian. Relaps yang didapat pada 5-10 % kasus demam tifoid era pre antibiotik, sekarang lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali seminggu setelah penghentian antibiotik. Namun pernah juga dilaporkan relaps timbul saat stadium konvalesens, saat pasien tidak demam akan tetapi gejala lain masih jelas dan masih dalam pengobatan antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumya.

II.10 DIAGNOSIS BANDING Pada stadium dini demam tifoid beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat merupakan diagnosis banding yaitu influenza,

gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraselular seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruseleosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu

13

dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukemia , limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai diagnosis banding. Diagnosis banding penyakit tifoid dengan demam lebih dari tujuh hari diantaranya meliputi : A. penyakit infeksi Malaria, memiliki gejala klinis panas badan yang berinterval tergantung jenis malarianya, kadang menggigil, anoreksia, sakit kepala, nausea, pegal, panas badan tinggi, pembesaran limfa, anemia. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan hapus darah tebal, antibodi dengan indirect flouresen antibodi test. TBC milier, memiliki gejala klinis badan panas, lemah, anoreksis, sesak, batuk, penurunan berat badan, bisa terjadi komplikasi meningitis. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan LED tes tuberkulin, foto torax. Meningitis, memiliki gejala klinis badan panas, kejang penurunan kesadaran, reflek fisiologis meningkat, reflek patologis ditemukan, kaku kuduk positif. Hepatitis kronik aktif, memiliki gejala klinis badab panas, ikterik

B. penyakit non infeksi Penyakit kolagen, meliputi penyakit rhematoid artritis, sistemik lupus eritematosus, poliartritis nodusa. Penyakit keganasan, meliputi hodgkin disease, limfoma, neuroblastoma. Keadaan lain, meliputi drug fever, dehidrasi, serum sickness.

II.11 TATALAKSANA Pengobatan demam tifoid terdiri atas tiga bagian yaitu : A. Perawatan Tujuan dari perawatan adalah mencegah terjadinya komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut minimal

14

tujuh hari bebas demam atau kurang lebih empat belas hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Yang harus dijaga ; higienes perorangan, kebersihan tempat tidur, pakaian dan alat alat yang dipakai pasien, pasien dengan kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-ubah pada waktu waktu tertentu. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang kadang terjadi obstipasi dan retensi urin. B. Diet Pasien pertama kali diberi diet bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi sesuai tingkat kesembuhan pasien. Tetapi beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa ( pantang sayuran dengan serat kasar ) dapat diberikan dengan aman. Pemberian vitamin dan mineral untuk mendukung keadaan pasien. C. Medikamentosa Obat pilihan pertama (drug of choice) adalah kloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10 sampai 14 hari, sedang pada kasus dengan malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari. Salah satu kelemahan koramfenikol adalah tingginya angka relaps dan karier. Namun pada anak hal tersebut jarang dilaporkan. Alternatif antibiotik antara lain : Ampisillin, dosis yang dianjurkan adalah 100-200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian secara oral atau suntikan intravena selama 10 hari. Ampisillin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan kloramfenikol. Amoksillin, dosis yang dianjurkan adalah 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10 hari, memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam lebih lama.

15

Kotrimoksasol (kombinasi trimetophin dengan sulfametoksazol), diberikan dengan dosis 6 mg/kgBB/hari peroral slama 10 hari, memberikan hasil yang kurang baik dibanding kloramfenikol.

Seftriakson, diberikan dengan dosis 80 mg/kgBB/hari, intravena atau intra muskular sekali sehari, selama 5 hari. Obat ini memberikan angka kesembuhan 90 % dan relaps 0-4 %.

Sefiksim, diberikan dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari , per oral dibagi dalam 2 dosis selama 10 hari. Merupakan alternatif terutama apabila jumlah leukosist , 2000/I atau dijumpai resistensi terhadap S.typhi. Pada kasus demam tifoid berat yang disertai delirium, koma atau

syok, golongan kortikosteroid deksametason dapat diberikan dengan dosis tinggi 1-3 mg/kgBB/hari secara intravena, dibagi dalam 3 dosis hingga kesadaran membaik.

Demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-kadang memerlukan transfusi darah. Sedangkan apabila diduga terjadi perforasi, adanya cairan pada peritonium dan udara bebas pada foto abdomen dapat membantu menegakkan. Laparatomi segera harus dilakukan perfusi usus disertai penambahan antibiotik metrinidazol dapat memperbaiki prognosis. Kasuus demam tifoid yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam tifoid serangan pertama.

II.12 MONITORING Terapi Evaluasi demam reda dengan memonitor suhu. Apabila pada hari 4-5 setelah pengobatan demam tidak reda, maka harus segera kembali di evaluasi adakah komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi S.typhi terhadap antibiotik, atau kemungkinan salah menegakkan diagnosis.

16

Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, klinis perbaikan dan tidak dijumpai komplikasi. Pengobatan dapat dilanjutkan di rumah.

II.13 PENCEGAHAN Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57 oC untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi. Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57 oC beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara atau daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.

II.14 VAKSINASI Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S.paratyphi A, S. Paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan tahun digunakn dengan cara pemberian suntikan subkutan; namun vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (ty-21a) diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur di atas 2 tahun. Pada penelitian di lapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella

17

typhi diberikan secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60-70 % selama 3 tahun.

II.15 PROGNOSIS Prognosis demam tifoid bergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi salmonella serta cepat dan tepatnya pengobatan.

18

BAB III KESIMPULAN

1. Demam tifoid adalah infeksi penyakit infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh salmonella typhi, yang ditandai dengan demam lebih dari tujuh hat\ri, gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran. 2. Di Indonesia demam tifoid merupakan penyakit endemis, yang tersebar di mana-mana, dapat ditemukan sepanjang tahun, terutama pada musim panas. 3. Terapi demam tifoid meliputi terapi medikmentosa, perawatan, bed rest dan pengaturan diet. 4. Prognosis demam tifoid umumnya baik, prognosis akan memburuk bila terjadi komplikasi dari demam tifoid.

19

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2005, Demam Tifoid dalam Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta Anonim, 2006, Guidelines for Ivestigation and Management of Typhoid Fever, Maryland Department of Health and Mental Higiene, Inc. http://EDCP.com Anonim, 2006, Typhoid Fever, Medineplus Medical Encyclopedia.com, Inc, http://medineplus.com Berham, R.E., 2002, Demam Tifoid, dalam Behrman dan Vaughan (eds), Nelson: Ilmu Kesehatan Anak Bagian 3, EGC, Jakarta Curtis, T., 2006, Typhoid Fever, eMedicine.com, Inc, http://emedicine.com Darmowandoyo, W., 2002, Demam Tifoid, dalam Soedarmo, S.S.P., Garna, H., Hadinegoro S.R.S. (eds), Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak ; Infeksi dan penyakit tropis, 1st ed, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta Eastmon, C., 2006, Typhod Fever and Paratyphoid Fever, netDoctor.co.uk, Inc, http://netDoctor.co.uk Garna, H., 2002, Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, 2nd, Bagian/SMF Ilmu Keshatan Anak FKUP/RSHS Bandung, Bandung. Ngastiyah, 2005, Perawatan Anak Sakit, 2nd ed, EGC, Jakarta Sunarto. Dkk., 2000, Demam Tifoid, dalam Standar Pelayanan Medis RSUP Dr. Sardjito, 2nd ed., Cetakan I, Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

20

Tumbelaka, A.R. Dkk., 2004, Demam Tifoid dalam Pusponegoro, H. D. Dkk (eds), Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, 1st ed, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta Bell, M. L., dan Magnussson M., 2005, Demam dalam Schwartz, M. W. (eds), Pedoman Klinis Pediatri, Cetakan I, EGC, Jakarta.

21

Anda mungkin juga menyukai