Anda di halaman 1dari 31

PRESENTASI KASUS MIASTENIA GRAVIS

Pembimbing: dr. Sholihul M, Sp S, Msi Med. Disusun Oleh: Arga Gumilang Wiriadidjaja 1110221120

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN NEUROLOGI RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO JAKARTA

BAB I STATUS NEUROLOGIS PASIEN


A. IDENTITAS PASIEN Nomor rekam medik : 27.94.04 Nama Umur Alamat Jenis Kelamin Agama Status Masuk tanggal Diperiksa tanggal Pekerjaan : Tn. M. Y : 50 tahun : Komp. Paspampres H 72 Kramat Jati, Jakarta Timur : Laki-laki : Islam : Menikah : 17 Februari 2013 : 5 April 2013 : Anggota TNI

B. ANAMNESIS Anamnesis yang dilakukan secara autoanamnesis pada 5 April 2013 Keluhan Utama : lemas pada kedua tangan dan kaki

Keluhan Tambahan : sesak nafas, sulit menelan

Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke poli Saraf RSPAD Gatot Soebroto Jakarta dengan keluhan lemas pada kedua tangan dan kaki sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit ( 17 Februari 2013). Berdasarkan alloanamnesa, keluhan pasien tersebut sudah diderita semenjak 5 tahun sebelumnya dan berangsur-angsur menjadi semakin berat dan mengganggu dalam beberapa tahun terakhir, hingga pasien dibawa oleh keluarganya ke RSPAD Gatot Soebroto Jakarta. Keluhan lemas yang diderita oleh pasien tersebut dirasakan setelah pasien melakukan aktivitas. Sejak 3 tahun terakhir, pasien mulai mengalami kesulitan dalam beraktivitas sehari-hari. Kelemahan pada kedua tungkai menyebabkan pasien hanya dapat berbaring saja di tempat tidur. Pergerakan pasien juga dikeluhkan semakin melambat. Selain itu

pasien juga merasakan bahwa kedua kelopak matanya semakin turun dan semakin sulit untuk diangkat, terutama setelah beraktivitas. Disamping itu juga pasien mengeluhkan sulitnya menelan, mengakibatkan proses makan menjadi lambat. Kadang-kadang makanan dan minuman yang dikonsumsi keluar kembali, akibat sulitnya proses menelan. Setelah itu pasien juga mengeluhkan lambatnya proses berjalan yang dirasakan semakin nyata. 2 Bulan sebelum pasien dibawa oleh keluarganya ke rumah sakit, kesulitan menelan menjadi semakin nyata. Berat badan pasien terlihat sangat menurun diakibatkan berkurangnya asupan makanan. 3 hari sebelum masuk ke rumah sakit, pasien mengalami demam yang naik turun. Berdasarkan keterangan istri pasien, pasien sulit untuk dibangunkan dan terdengar mengorok. Pasien juga sulit untuk diajak berkomunikasi yang ditandai dengan berkurangnya respon saat diajak berbicara. Pasien juga mengeluhkan adanya batuk berdahak disertai sesak napas. Keluhan tambahan seperti mual, muntah, sakit kepala, bicara pelo dan riwayat kejang dibantah oleh keluarga pasien. Riwayat adanya trauma pun dibantah oleh pasien beserta keluarganya.

Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat hipertensi disangkal Riwayat diabetes melitus disangkal Riwayat penyakit jantung disangkal Riwayat stroke disangkal Riwayat Parkinson (+)

Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada

Riwayat kelahiran / pertumbuhan / perkembangan Tidak ada kelainan

C. PEMERIKSAAN FISIK 1. Status Generalisata Keadaan Umum : tampak sakit berat Kesadaran GCS : CM : E ptosis M6 V endotrachealtube : 110/70 mmHg : 80 x/menit RR : 20 x/menit

Tanda-tanda Vital : TD Nadi Kepala Leher Thorax

Suhu : 36,7C

: deformitas (-), normocephal : KGB tidak teraba : dada kiri dan kanan tampak simetris, napas vesikular, rhonki (-/-), wheezing (-/-) bunyi jantung I II murni, murmur (-), Gallop (-)

Abdomen

: hati, limpa, ginjal tidak teraba. bising usus : dalam batas normal

Ekstremitas

: Akral teraba hangat, tidak ditemukan deformitas, tidak ada edema

2. Status Psikiatris : Tingkah laku : sulit dinilai Perasaan hati : sulit dinilai Orientasi : sulit dinilai

Jalan pikiran : sulit dinilai Daya ingat : sulit dinilai

3. Status Neurologis TANDA RANGSANG MENINGEAL Kaku kuduk Laseque : (-) / (-) : >700 / >700

Kerniq Brudzinky I,II N.CRANIALIS N.I N.II

: >1350 / >1350 : (-) / (-)

: Normosmia / Normosmia : Tajam penglihatan : sulit dinilai Lapang pandang : sulit dinilai Pengenalan warna : sulit dinilai

N.III, IV, VI

: Ptosis : (+) / (+)

Strabismus : (-) Nistagmus (-) Gerakan bola mata ke segala arah : Terhambat Pupil : bulat, isokor , 3mm/3mm Refleks cahaya langsung : +/+ Refleks cahaya tidak langsung : +/+ N.V : Sensibilitas : Sisi atas: sulit dinilai Sisi tengah : sulit dinilai Sisi bawah : sulit dinilai Membuka dan menutup mulut : sulit dinilai Menggigit : sulit dinilai N.VII : Mengangkat alis: sulit dinilai Kerutan dahi : sulit dinilai

Menutup mata : kedua mata dalam keadaan tertutup Meringis : sulit dinilai Menggembungkan pipi : sulit dinilai N.VIII N.IX, X : Pendengaran: mendengar suara gesekan jari: kanan dan kiri : sulit dinilai : Disfagia (+) Disfonia (-) Arcus faring : simetris Uvula N.XI : ditengah

: Menolehkan kepala : sulit dinilai Mengangkat bahu : sulit dinilai

N.XII

: Lidah deviasi: sulit dinilai Atrofi lidah : sulit dinilai Pelo/ cadel (-)

Pemeriksaan Motorik Kekuatan : Dextra 4444 4444 Tonus : Dextra Hipertonus Hipertonus Sinistra Hipertonus Hipertonus Sinistra 4444 4444

Trofi

: Dextra Eutrofi Eutrofi Sinistra Eutrofi Eutrofi

Pemeriksaan Refleks

Fisiologis Biseps Triseps RTL RTA : (+/+) : (+/+) : (+/+) : (+/+)

Patologis Babinski Chaddock Gordon Openheim Schaefer : (-/-) : (-/-) : (-/-) : (-/-) : (-/-)

Hoffman Trommer : (-/-)

SENSORIK Eksteroseptif Nyeri Suhu Taktil : sulit dinilai : sulit dinilai : (+) Proprioseptif Vibrasi Posisi Rasa dalam : (sulit dinilai) : (sulit dinilai) : (sulit dinilai)

FUNGSI OTONOM Miksi : Inkotinensia (-) Retensi (-) Anuria (-) Defekasi : Inkotinensia (-) Retensi (-)

KOORDINASI DAN KESEIMBANGAN Tes Romberg Tes Tendem Gait Tes tumit lutut Tes telunjuk hidung : sulit dinilai : sulit dinilai : tidak dilakukan : tidak dilakukan

FUNGSI LUHUR : Fungsi bahasa : sulit dinilai Fungsi orientasi : sulit dinilai Fungsi memori : sulit dinilai Fungsi emosi : tampak tenang

Fungsi kognisi : sulit dinilai

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 21 Maret 2013 menunjukkan adanya penurunan kadar kolinesterase disertai penurunan elektrolit Natrium. Pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 3 April 2013 menunjukkan turunnya kadar Hb, Hematokrit, serta eritrosit disertai dengan peningkatan leukosit, dan penurunan kadar elektrolit Natrium, Kalium serta Klorida Foto Thorax Foto rontgen thorax yang diambil pada tanggal 17 Maret 2013 menunjukkan adanya gambaran infiltrat pada bagian suprahiler dan parakardial kiri CT-SCAN Pada tanggal 18 Maret 2013, dilakukan pengambilan gambar CT-SCAN tanpa kontras, dimana didapatkan hasil : tidak tampak adanya infark, lesi hemoragik maupun SOL Intrakranial, serta sinus paranasal.

E. Diagnosis Diagnosis klinik : Tetraparese, Ptosis, Disfagia, Disartria, bradikinesia, rigiditas Diagnosis topis : Neuromuscular junction, substansia nigra Diagnosis etiologis : Miastenia Gravis dengan riwayat Parkinson

F. TERAPI Medikamentosa :

IVFD Nacl 0,9 % 20 tpm Mestinon 2 x 60 mg 1 x 0,75 mg Madopar 2 x 100 mg Arthane 2 x 2 mg

Non Medikamentosa : Edukasi pasien dan keluarganya dalam kaitannya dengan meminimalisir faktor resiko Konsul untuk melakukan rehabilitasi medik Pemeriksaan laboratorium lengkap EMG Pemeriksaan Laboratorium kadar Antibodi Reseptor Asetilkolinesterase Rawat bersama dengan Bagian Penyakit Dalam

G. Prognosis Ad Vitam Ad Fungsionam Ad Sanationam Ad Cosmeticum : dubia ad malam : dubia ad malam : dubia ad malam : dubia ad malam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pendahuluan Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang dapat dijumpai pada anak, orang dewasa, dan pada orang tua. Sindrom klinis ini dikemukakan pertama kali pada tahun 1600. Pada akhir tahun 1800an miastenia gravis mulai dibedakan dari kelemahan otot akibat paralisis bulbar. Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita miastenia gravis merasa ada perbaikan sesudah ia meminum obat efedrin yang ditujukan untuk mengatasi kram menstruasi. Akhirnya pada tahun 1934 Mary Walker, seorang dokter dari Inggris melihat adanya gejalagejala yang serupa antara miastenia gravis dan keracunan kurare. Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisostigmin untuk mengobati miastenia gravis dan ternyata ada kemajuankemajuan yang nyata. Miastenia gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun. Pada umur dibawah 40 tahun miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 40 tahun lebih banyak pada pria (Harsono, 1996). Insidens miastenia gravis di Amerika Serikat sering dinyatakan sebagai 1 dalam 10.000. Tetapi beberapa ahli menganggap angka ini terlalu rendah karena sesungguhnya banyak kasus yang tidak pernah terdiagnosis (Patofisiologi, 1995). Tingkat kematian pada waktu lampau dapat mencapai 90%. Kematian biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan. Jumlah kematian telah berhasil dikurangi secara drastic sejak tersedia obat-obatan serta unit-unit perawatan pernapasan. Remisi spontan dapat terjadi pada 10% hingga 20% pasien dan dapat dicapai dengan melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu. Yang paling cocok untuk menjalani cara ini adalah wanita muda yang masih dini keadaannya (5 tahun pertama setelah awitan) dan tidak berespon baik dengan pengobatan.

2.2. Definisi Istilah miastenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Miastenia gravis merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Miastenia gravis ialah gangguan auto-imun yang menyebabkan otot skelet menjadi lemah dan lekas lelah1. Miastenia gravis merupakan suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan otot-otot rangka akibat defisiensi reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuskular3. 2.3. Patofisiologi Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.

Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama.

Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terusmenerus3. Pembuktian etiologi oto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar timus mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita miastenia didapati kelenjar timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderitapenderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya5. 2.4. Manifestasi Klinis Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga merupakan gangguan otoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuskular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok otot tertentu saja. Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local yang ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya terdapat gejala kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai gejala kelainan okular jarang ditemukan dan terdapat kira-kira 20% penderita didapati kesulitan mengunyah dan menelan. Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis ocular). Kelumpuhankelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore atau malam. Pada pagi hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak terbebas dari kesulitan penglihatan. Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau bilateral,

salah satu otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil).Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot levator palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian. Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang bersifat LMN, kelemahan otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-otot farings dan lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung. Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang lanjut sekali. Yang pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan. Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi otot ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi8. Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan lendir. Biasanya gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan dengan memberikan obat antikolinesterase. Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau mengalami eksaserbasi oleh sebab: 1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama siklus haid atau gangguan fungsi tiroid. 2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan infeksi yang disertai diare dan demam.

3. Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka berada dalam keadaan tegang. 4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin, suatu obat yang mempermudah terjadinya kelemahan otot, dan obat-obat lainnya3. 2.5. Klasifikasi Klasifikasi klinis miastenia gravis dapat dibagi menjadi3: 1. Kelompok I: Miastenia okular Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada kasus kematian. 2. Kelompok IIA: Miastenia umum ringan Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah. 3. Kelompok IIB: Miastenia umum sedang Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktifitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah. 4. Kelompok III: Miastenia berat akut Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Respons terhadap obat buruk. Insiden krisis miastenik, kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.

5. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut Miastenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-gejala kelompok I atau II. Miastenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Respons terhadap obat dan prognosis buruk. Disamping klasifikasi tersebut di atas, dikenal pula adanya beberapa bentuk varian miastenia gravis, ialah1: 1. Miastenia neonatus Jenis ini hanya bersifat sementara, biasanya kurang dari bulan. Jenis ini terjadi pada bayi yang ibunya menderita miastenia gravis, dengan kemungkinan 1:8, dan disebabkan oleh masuknya antibodi antireseptor asetilkolin ke dalam melalui plasenta. 2. Miastenia anak-anak (juvenile myastenia) Jenis ini mempunyai karakteristik yang sama dengan miastenia gravis pada dewasa. 3. Miastenia kongenital Biasanya muncul pada saat tidak lama setelah bayi lahir. Tidak ada kelainan imunologik dan antibodi antireseptor asetilkolin tidak ditemukan. Jenis ini biasanya tidak progresif. 4. Miastenia familial Sebenarnya, jenis ini merupakan kategori diagnostik yang tidak jelas. Biasa terjadi pada miastenia kongenital dan jarang terjadi pada miastenia gravis dewasa. 5. Sindrom miastenik (Eaton-Lambert Syndrome) Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan oleh terganggunya pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf. Sering kali berkaitan dengan karsinoma bronkus (small-cell carsinoma). Gambaran kliniknya berbeda dengan miastenia gravis. Pada umumnya penderita mengalami kelemahan otot-otot proksimal tanpa disertai atrofi, gejala-gejala orofaringeal dan

okular tidak mencolok, dan refleks tendo menurun atau negatif. Seringkali penderita mengeluh mulutnya kering. 6. Miastenia gravis antibodi-negatif Kurang lebih daripada penderita miastenia gravis tidak menunjukkan adanya antibodi. Pada umumnya keadaan demikian terdapat pada pria dari golongan I dan IIB. Tidak adanya antibodi menunjukkan bahwa penderita tidak akan memberi respons terhadap pemberian prednison, obat sitostatik, plasmaferesis, atau timektomi. 7. Miastenia gravis terinduksi penisilamin D-penisilamin (D-P) digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid, penyakit Wilson, dan sistinuria. Setelah penderita menerima D-P beberapa bulan, penderita mengalami miastenia gravis yang secara perlahan-lahan akan menghilang setelah D-P dihentikan. 8. Botulisme Botulisme merupakan akibat dari bakteri anaerob, Clostridium botulinum, yang menghalangi pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf motorik. Akibatnya adalah paralisis berat otot-otot skelet dalam waktu yang lama. Dari 8 jenis toksin botulinum, tipe A dan B paling sering menimbulkan kasus botulisme. Tipe E terdapat pada ikan laut (see food). Intoksikasi biasanya terjadi setelah makan makanan dalam kaleng yang tidak disterilisasi secara sempurna. Mula-mula timbul mual dan muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin. Kemudian muncul pandangan kabur, disfagia, dan disartri. Pupil dapat dilatasi maksimal. Kelemahan terjadi pola desendens selama 4-5 hari, kemudian mencapai tahap stabil (plateau). Paralisis otot pernapasan dapat terjadi begitu cepat dan bersifat fatal. Pada kasus yang berat biasanya terjadi kelemahan otot ocular dan lidah. Sebagian besar penderita mengalami disfungsi otonom (mulut kering, konstipasi, retensi urin).

2.6. Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Penting sekali untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia gravis. Diagnosis dapat dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik sebagai berikut: 1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit. 2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi) Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang 30% penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma adlah sangat kecil. 3. Tes tensilon (edrofonium klorida) Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya miastenia gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik. Penderita sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan miastenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua

penyakit ini merupakan faktor pembeda yang penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya akan hilang kalau patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG. 4. Foto rontgen dada Foto rontgen dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik. 5. Tes Wartenberg Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis. 6. Tes prostigmin Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg sulfas atropin disuntikkan intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik. 2.7. Terapi 1. Antikolinesterase Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan

oleh stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut. 2. Steroid Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selangseling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari. 3. Azatioprin Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.

4. Timektomi Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik. 5. Plasmaferesis Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik. 2.8. Krisis Pada Miastenia Gravis Pada miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan, membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis krisis, yaitu: 1. Krisis miastenik Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup dan dapat dicetuskan oleh infeksi. Tindakan terhadap kasus demikian adalah sebagai berikut: - Kontrol jalan napas - Pemberian antikolinesterase - Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis

Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan (respirator), obat-obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap, dan seringkali dosis dapat diturunkan. 2. Krisis kolinergik Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial. Tindakan terhadap kasus demikianadalah sebagai berikut: - Kontrol jalan napas - Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine, pasien harus diawasi secara ketat, karena secret saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit dihisap atau mungkin gumpalan lender dapat menyumbat bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian antikolinesterase dapat diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah. - Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis. Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis miastenik, tetapi tidak akan memberikan perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis kolinergik. 2.9 Kesimpulan 1. Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan otot yang bersifat progresif, dimulai dari otot mata dan berlanjut keseluruh tubuh hingga ke otot pernapasan.

2. Miastenia gravis disebabkan oleh kerusakan reseptor asetilkolin pada hubungan neuromuskular akibat penyakit otoimun. 3. Gejala utama miastenia gravis adalah kelemahan otot setelah mengeluarkan tenaga yang sembuh kembali setelah istirahat. 4. Diagnosis miastenia gravis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan gambaran klinis, serta tes diagnostik yang terdiri atas: antibodi anti-reseptor asetilkolin, antibodi anti-otot skelet, tes tensilon, foto dada, tes wartenberg, dan tes prostigmin. 5. Pengobatan miastenia gravis adalah dengan menggunakan obat-obat antikolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin.

Penyakit Parkinson Penyakit Parkinson adalah suatu kondisi degeneratuf yang terutama mengenai jaras ekstrapiramidal yang mengandung neurotransmitor dopamine, dan karakteristiknya adalah trias yang terdiri dari : Akinesia (hambatan gerakan) Rigiditas Tremor

Etiologi dan patogenesis Diketahui bahwa hasil metabolism heroin sintesis yaitu MPTP dapat menyebabkan Parkinsonisme akut, merupakan hal penting dalam etiologi penyakit Parkinson. Fakta bahwa toksin eksogen yang tidak umum dapat menyebabkan kerusakan SSP tertentu dan Parkinsonisme, menunjukkan bahwa penyakit Parkinson idiopatik mungkin disebabkan oleh pajanan faktor lingkungan yang lebih sering, namun belum teridentifikasi, mungkin melalui mekanisme yang serupa dengan MPTP. Hal-hal lain yang mendukung adanya dasar lingkungan dalam etiologi adalah :

Penyakit ini lebih sering terjadi seiring dengan bertambahnya usia (rata-rata onset usia sekitar 60 tahun) Relatif tidak ada faktor genetic yang diketahui. Riwayat keluarga biasanya tidak ada pada penyakit parinson idiopatik. Akan tetapi, telah dilaporkan adanya anggota keluarga yang terkena, dan kadang ditemukan mutasi gen spesifik, baik dominan maupun resesif.

Terdapat hubungan antara penyakit Parkinson dan berbagai faktor lingkungan, seperti pajanan terhadap getah karet dan pestisida.

Epidemiologi Penyakit Parkinson cukup sering ditemukan, mungkin mengenai 1 2 % populasi berusia lebih dari 60 tahu, tanpa adanya bias jenis kelamin yang signifikan. Distribusi ditemukan di seluruh dunia, walaupun tampaknya lebih sering terjadi di Eropa dan Amerika Utara.

Patologi Penyakit Parkinson terutama mengenai neuron dopaminergik yang berproyeksi dari substansia nigra otak tengah sampai striatum ganglia basalis (nucleus kaudatus dan putamen). Secara makroskopis, didapatkan atrofi substansia nigra pada penyakit Parkinson tahap lanjut, yang dikenali dari hilangnya pigmentasi melanin pada region ini. Secara mikroskopis didapatkan kerusakan berat neuron pada substansia nigra, dan neuron yang tersisa seringkali mengandung badan inklusi intrasel, yaitu badan Lewy. Gejala Parkinson terlihat jika kerusakan neuron dopaminergik nigrostriatum telah mencapai 60-80 %. Secara patofisiologis, kerusakan jaras dopaminergik menyebabkan ketidakseimbangan sistem ekstrapiramidal dengan mekanisme kolinergik dan neurotransmitter lain.

Gambaran Klinis Akinesia Gerakan fisik yang bertambah lambat (bradikinesia) Pola berjalan Postur pasien akan menjadi fleksi, atau membungkuk. Pasien mungkin tidak mampu mempertahankan posisi berdiri normal sebagai respons tekanan dari belakang, dan pasien jatuh ke depan (propulsi), atau bila ada gaya dorong dari depan, maka akan jatuh ke belakang (retropulsi). Rigiditas Peningatan tonus otot pada Parkinson berbeda dengan spastisitas, di mana tonus pada penyakit Parkinson relative konstan selama pemeriksaan gerak sendi disebut juga rigiditas pipa (lead pipe rigidity). Rigiditas roda gerigi (cogwheel rigidity) dapat dianggap sebagai akibat tremor pada penyakit Parkinson yang terjadi pada lead pipe rigidity. Tremor Pada Parkinson, tremor terutama terjadi pada tangan, tetapi dapat juga pada anggota gerak atas dan bawah, dan jarang terjadi pada kepala atau leher. Tanda dan gejala lainnya Nervus Kranialis Pemeriksaan gerakan mata dapat menunjukkan kerusakan ringan pada pandangan ke atas. Kelopak mata tampak bergetar (blefaroklonus).

Anggota gerak Kekuatan otot, reflex tendo, dan sensasi normal.

Otonom Kulit menunjukkan tekstur seboroik yang bermiyak. Sering terjadi konstipasi. Gambaran otonom lainnya, misalnya hipotensi postural, masih lebih ringan dibandingkan sindrom Shy Drager

Insomnia, depresi, dan demensia sering ditemukan pada penyakit Parkinson tahap lanjut.

Terapi Terapi medikamentosa Terapi ini terutama bersifat simptomatik dan ditujukan untuk mengembalikan keseimbangan neurokima. L- DOPA Obat ini merupakan terapi medikamentosa utama untuk penyakit Parkinson yang cukup berat yang menyebabkan disabilitas fungsional signifikan. L- DOPA merupakan substrat alami untuk sintesis dopamine. Co careldopa (L- DOPA plus carbidopa) dan co beneldopa dapat memberikan efek samping sentral (hipotensi postural, kebingungan, halusinasi, delusi. Selegilin Selegilin dapat berfungsi sebagai terapi tunggal pada penyakit Parkinson tahap awal. Selegiline dapat memperlambat progresi penyakit dengan inhibisi MAO B sehingga

potensial untuk menghambat konversi protoksin dari lingkungan yang analog dengan bentuk aktif MPTP, suatu radikal bebas. Agonis reseptor dopamine juga penting dalam terapi penyakit Parkinson tahap awal, dan potensial untuk menunda kebutuhan L-DOPA, sehingga menghambat dan mungkin mengurangi frekuensi komplikasi motorik jangka panjang.

BAB III PEMBAHASAN

Miastenia Gravis (MG) merupakan suatu gangguan pada bagian pertautan saraf otot (Neuro Muscular Junction), yang ditandai dengan adanya kelemahan subakut dan fluktuatif tanpa disertai gangguan sensorik. Gejala Miastenia Gravis dapat berupa disatria, disfagia, ptosis, disfungsi okular dan kelemahan otot-otot leher dan otot-otot proksimal. Miastenia Gravis merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya proses pemulihan, dimana dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal. Diagnosis Miastenia Gravis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium, tes tensilon atau prostigmin dan pemeriksaan elektromiografi. Pada kasus diatas, berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan, penderita mengalami gejala klinis yang berupa kelemahan pada ekstremitas atas dan bawah pada kedua sisi. Pada perjalanan penyakitnya, pasien sudah merasakan keluhan ini sejak kurang lebih 5 tahun sebelum masuk rumah sakit. Keluhan lain yang ada pada pasien yaitu kedua kelopak mata perlahan menutup dan semakin sulit untuk diangkat, disertai adanya kesulitan dalam menelan serta berkomunikasi. Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat melakukan aktivitas. Karakteristik Miastenia gravis terutama ditunjukkan dengan adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini cenderung meningkat apabila penderita sedang melakukan aktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat4. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction5. Pada pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, didapatkan pasien berada dalam keadaan penurunan kesadaran. Tanda vital pasien didapatkan masih dalam batas normal. Kedua kelopak mata pasien dalam keadaan ptosis atau sulit diangkat. keempat ekstremitas pasien spastik atau kaku. Pada ekstremitas didapatkan tonus

Gangguan autoimun pada miastenia gravis menyebabkan rusaknya reseptor asetilkolin pada neuromuscularjunction. Hal ini menyebabkan menurunnya kadar reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Kerusakan pada transisi impuls saraf menuju sel-sel otot ini mengakibatkan penurunan depolarisasi pada neuromuscular junction. Akibat penurunan depolarisasi ini, maka terjadi kelemahan pada otot-otot tubuh. Manifestasi klinis yang timbul tergantung pada neuromuscular junction otot yang terkena. Umumnya pada miastenia gravis, kelemahan otot ini dimulai dari cranio-caudal. Saat mengenai otot okular, gangguan ini dapat menyebabkan terjadinya ptosis dan diplopia, pada otot wajah laring dan faring akan mengakibatkan disfagia dan disartria, pada otot volunter akan mengakibatkan parese ekstremitas, sedangkan pada otot pernafasan akan terjadi ketidakmampuan pasien untuk melaukan refleks batuk serta kesulitan untuk bernafas. Antibodi anti-reseptor asetilkolin bersifat spesifik untuk Miastenia Gravis dengan demikian sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit. Tatalaksana Miastenia Gravis bergantung pada beratnya gejala. Secara garis besar pengobatan Miastenia Gravis terdiri dari pengobatan simptomatik dan immunosupresif. Pengobatan simptomatik dengan memberikan antikolinesterase seperti neostigmin dan pyridostigmin. Obat ini mencegah destruksi Ach dan meningkatkan akumulasi Ach pada NMJ, serta memperbaiki kemampuan kontraksi otot. Pengobatan Intravenous immunosupresif, Immunoglobulin seperti (IVIG).

kortikosteroid,

Azathioprine,

plasmapharesis,

Kortikosteroid menekan antibodi yang memblokir AchR pada NMJ dan dapat digunakan bersamaan dengan antikolinesterase. Kortikosteroid memperbaiki keadaan dalam beberapa minggu dan jika pemulihan sudah stabil, dosis sebaiknya dikurangi secara perlahan (tappering off). Azathioprined dapat digunakan untuk menagani MG umum jika pengobatan lain gagal mengurangi gejala. Pada kasus Tn. M. Y ini, penderita diberikan Pyridostigmin (mestinon 60 mg) 2 x 1 tab. Karena pasien memiliki riwayat parkinson, maka pasien juga diberikan obat-obatan parkinson, seperti Sifrol 1 x 0,75, Madopar 2 x 100 mg, Arthane 2 x 2 mg.

DAFTAR PUSTAKA 1. Harsono, 1996, Buku Ajar Neurologi klinis 2nded., Gajah Mada University Press, Yogyakarta 2. Howard, J.F., 1997, Department of Neurology, The University of North Carolina at Chapol Hill. http://www.myasthenia.org/information/summary.htm 3. Lombardo,M.C., 1995, Penyakit Degeneratif dan Gangguan Lain Pada Sistem Saraf, dalam S.A. Price, L.M. Wilson, (eds), Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit 4th ed., EGC, Jakarta 4. Mardjono, M., 2003, Neurologi Klinis Dasar 9th ed., hal 55,149,348, Dian Rakyat, Jakarta 6. Murray, R.K., 1997, Dasar Biokimiawi Beberapa Kelainan Neuropsikiatri, dalam R.K. Murray, D.K. Granner, P.A. Mayes, V.W. Rodwell, (eds), Biokimiawi Harper 24th ed., EGC, Jakarta 7. NINDS Myasthenia Gravis Fact Sheet, 2003. http://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/pubs/myastheniagravis.htm 8. Sidharta, P., 1999, Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, hal 129,142, 167, 174, 421, Dian Rakyat, Jakarta 9. Sidharta, P., 1999, Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, hal 139, 280, 317, 366, 390, 421, 576, Dian Rakyat, Jakarta 10. Walshe III, T.M., 1995, Disease of Nerve And Muscle, dalam M.A. Samuels, (eds), Manual Of Neurologic Therapeutics 5th ed., Little brown And Company, London 11. Ginsberg Lionel, 2005, Lecture Notes Neurology 8th Edition, Blackwell Publishing Ltd, London

Anda mungkin juga menyukai