Anda di halaman 1dari 7

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN REFERAT KECIL SEPTEMBER 2012

DIAPER RASH

DISUSUN OLEH: M. Yusuf Irianto (110 208 126)

PEMBIMBING: dr. Idrianti Idrus Patturusi

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA 2012

I.

PENDAHULUAN Diaper Rash sering juga disebut juga napkin dermatitis yang menunjukkan terjadinya erupsi inflamasi pada daerah popok. Setiap erupsi mempunyai banyak penyebab, sehingga istilah diaper rash sebaiknya dihindari dan hanya dipakai untuk pengertian yang lebih luas. Istilah Dermatitis Popok Iritan Primer (DPIP) lebih tepat dipakai pada keadaan dimana erupsi yang terjadi akibat kontak iritan dengan bahan excreta. Dermatitis popok iritan primer merupakan gangguan kulit yang paling sering di daerah popok, diperkirakan 50% dari bayi yang menderita DPIP. Penyakit ini mulai timbul pada usia 1-3 bulan dan mencapai puncaknya pada usia 712 bulan. Jarang timbul pada usia neonatus (1)

II.

DIAGNOSIS Sering terdapat pada bayi yang popoknya selalu basah dan jarang diganti yang dapat menimbulkan dermatitis iritan, juga sering diderita neonatus sebagai gejala sisa dermatitis oral dan perianal. Diagnosis diaper rash umumnya berdasarkan pada pemeriksaan klinis (temuan klinis). Anamnesis riwayat penyakit yang baik akan mempersempit diagnosis banding penyakit. Informasi histopatologi sangat terbatas. Diagnosis dapat dilakukan dengan menilai adanya ruam merah cerah pada daerah yang sering kontak dengan popok seperti bokong, kelamin, perut bagian bawah, daerah atas paha, area mons pubis, labia mayor dan skrotum. Manifestasi awal dari diaper rash berupa eritem perianal ringan yang asimptomastis pada daerah kulit yang terbatas dengan maserasi dan gesekan. Pada kondisi ini bayi akan merasa tidak nyaman dan perih. Pada diaper rash berat terdapat punched-out lesion atau erosi batas yang luas. (2-4)

Gambar: Diaper dermatitis (iritan). Disebabkan oleh karena popok yang jarang diganti (5) Pemeriksaan Penunjang Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan riwayat perjalanan penyakit dan pemeriksaan terhadap ruam. Biasanya tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium kecuali penyebabnya adalah infeksi jamur dan reaksi alergi. Pada kecurigaan reaksi alergi dapat digunakan salep yang mengandung kortikosteroid.(5)

III.

DIAGNOSIS BANDING (1-4) Dermatitis seboroik Defisiensi zink Psoriasis vulgaris Intertrigo Dermatitis atopik Candidiasis Miliaria

IV.

PENATALAKSANAAN Permasalahan diaper rash sangat berhubungan dengan ketentuan profilaksis. Keberhasilan pengobatan diaper rash tergantung pada

pengetahuan akan faktor penyebab. Pemberian preparat topical tanpa memperhatikan frekuensi penggantian popok sering mengakibatkan kegagalan terapi. (1,6) a. Penggunaan popok Tujuan utama penatalaksanaan DPIP adalah mengurangi kelembapan, karena itu yang paling penting adalah keberhasilan yang baik dan menjaga daerah popok agar tetap bersih dan kering dengan mengganti popok secara teratur dan menggunakan popok sekali pakai seperti popok golongan sintesis yang mengurangi kontak kulit dengan urin. Ada dua bentuk utama popok sekali pakai, popok konvensional cellulose-core dan popok daya serap tinggi yang menggunakan absorbent gelling material (AGM). Popok konvensional mempunyai lapisan dalam yang bersentuhan dengan kulit dan mencegah kontak antar kulit dengan cellulose-core diaper. AGM merupakan polimer yang mempunyai berat molekul tinggi yang akan merubah menjadi gel bila mengalami hidrasi, dan mampu menyerap urin 80 kali dari berat AGM. Penggunaan popok ini mengakibatkan insidens diaper rash lebih rendah dan lesi lebih ringan, bila dibandingkan dengan penggunaan popok yang digunakan berulang. Pada penderita DPIP, popok sebaiknya diganti lebih sering, minimal tiap dua jam pada siang hari dan sekali pada malam hari. Daerah popok dibersihkan dengan aquous cream dan air, kemudian dioleskan dengan salep pelindung seperti zinc oxide ointment atau petrolatum setiap kali mengganti popok dan hindari pemakaian sabun, dan celana karet. Zink oksida efektif mencegah dan mengobati diaper rash. Salep pelindung sangat bermanfaat mengurangi kontak antara kulit dengan urin dan feses. Pada tidewater dermatitis, bedak bayi yang mengandung cornstarch dapat mengurangi kelembapan da gesekan kulit.

Baking soda dan boric acid, tidak boleh digunakan karena dapat diabsorpsi dan menyebabkan kematian. Pengobatan yang paling cepat adalah menghentikan penggunaan popok pada bayi yang mengalami diaper rash, tetapi cara ini tidak terlalu praktis. (1,7,8) b. Terapi spesifik Diaper rash sedang dan berat tidak akan mengalami perbaikan bila hanya menggunakan krim pelindung. Pada keadaan tersebut, dianjurkan penggunaan kortikosteroid topical potensi rendah dan krim pelindung. Krim hidrokortison 1% digunakan dua kali sehari selama 3-5 hari. Bila dicurigai terjadi superinfeksi dengan kandida dapat digunakan klotrimazol 1% atau mikonazol 2%. Hidrokortison dan anti jamur dioleskan bersamaan dua kali sehari pada saat mengganti popok, kemudian dioleskan barier ointment di atasnya. Dapat pula digunakan hidrokortison kuat sebab popok bersifat oklusif dan meningkatkan absorpsi kortikosteroid yang dapat menimbulkan atrofi kulit dan penekanaan kelenjar adrenal. Untuk terapi lanjutan dan pencegahan digunakan nistatin, amphoterin B atau imidazol dalam bentuk powder. (1) Pada diaper rash dengan infeksi Candida albicans sedang hingga berat diberikan mupirocin 2%. Mupirocin 2% mengeradikasi Candida albicans dalam waktu 2-6 hari. Pada diaper rash yang disertai infeksi jamur saluran cerna, dianjurkan menambah nistatin oral 150.000 unit tiga kali sehari. Neomisin sering menimbulkan sensitasi sehingga tidak digunakan pada pengobatan diaper rash. Infeksi yang meliputi sebagian tubuh kadang membutuhkan antibiotic sistemik. Pada infeksi

Staphylococcus sebaiknya menggunakan sepalosporin generasi pertama, dicloxacin atau amoxilin-clavunat dan sebaiknya menghindari

pemakaian eritromisin Preparat dari bahan dasar petroleum adalah sangat efektif untuk meningkatkan fungsi sawar kulit walau pada bayi prematur sekalipun. Obat-obatan yang dijual bebas hanya bisa digunakan pada kasus-kasus tertentu. Obat-obatan yang mengandung antibiotik dan anti jamur harus dengan resep dokter ahli anak. (1,9,10)

V.

PROGNOSIS Diaper Rash hampir selalu menunjukkan respon terhadap terapi yang akan membaik bila pemakaian popok tidak terlalu lama. Kebanyakan kasus sembuh setelah orang memperhatikan kebersihan popok. Banyak kasus diaper rash yang sering terjadi berulang-ulang. Namun penyabab terjadinya belum diketahui apakah berhubungan dengan suseptibilitas, pH, kandungan amoniak atau kandungan alkali pada urin. (1,10)

VI.

KESIMPULAN Diaper Rash adalah penyakit yang ditandai erupsi inflamasi pada daerah popok. Penyakit ini disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor seperti urin, feses, gesekan antara kulit dan popok, air dan mikroorganisme. Pada kasus ringan, biasanya hanya tampak eritem yang bila dibiarkan akan mengelupas dan terjadi udem. Mungkin disertai vesikel dan bulla, bila terjadi erosi akan menunjukkan gejala klinis yang eksematous dan poidermik. Tujuan utama penatalaksanaan DPIP adalah mengurangi kelembapan, karena itu yang paling penting adalah hygiene yang baik dan menjaga daerah popok agar tetap bersih dan kering dengan cara mengganti popok secara teratur dan menggunakan popok sekali pakai. Pencegahan merupakan tindakan yang paling baik. Tujuannya adalah untuk mengurangi kontak antara kulit dengan bahan iritan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aminuddin, Dali. Diaper Dermatitis. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Makassar. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2003.h.357-62 2. Kazzi, Antoine, A; Dib, Rania. Pediatric Diaper Rash. [online] 2009 [citied 2012 Februari 20] Available from:

www.emedicine.medscape.com/article/801222-overview 3. Djuanda, Adhi; Hamzah Mochtar; Aisah, Siti. Edisi ke-4. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2005.h.108 4. Shin, T, Helen. Diaper Dermatitis that does not quit. Dermatologic Therapy, Vol. 18. Backwell Publishing, Inc; 2005.p.125-9 5. Atherton D.J., Gennery A.R., Cant A.J. The Neonate. In: Burns T., Breathnach S., Cox N., editors. Rooks Textbook of Dermatology Vol. I, 7thEd. Oxford: Blackwell Publishing Company; 2004. Page 14.23-14.27 6. Arnold, L, Harry; Odom, B, Richard; James, D, William. Edisi ke-8. Andrews Disease of the Skin: Clinical Dermatology. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 1990. p.76 7. Schachner, A, Lawrence; Hansen, C, Ronald. Edisi ke-2. Pediatric Dermatology. New York: Churchill Livingstone: 1985. p.705 8. Gupta, K, Aditya: Skine, R, Alayne, Management of Diaper Dermatitis. International Journal of Dermatology [online] 2003 [cited 2012 Februari 20]: Volume 43, Available from: www.wileyinterscience.com 9. Adam, Ralf. Skin Care of the Diaper Area. Pediatric Dermatology [online] 2008 [cited 2012 Februari 20]: Volume 25 No. 4. Available from: www.wileyinterscience.com 10. Pediatric in review. Rasmussen, E, James. Diaper Dermatitis. [online] 1984. [cited 2012 Fabruari 20] Available from: www.pedsinreview.aapblications.org

Anda mungkin juga menyukai