Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
Penggunaan obat selama kehamilan dan menyusui merupakan hal yang
hampir tidak bisa dihindari. Beberapa obat dapat memiliki efek buruk pada bayi
bila terpapar. Oleh karena itu penting bagi dokter untuk menyadari perubahan
farmakokinetik dan farmakodinamik selama kehamilan. Pengetahuan tentang
pengenalan obat teratogenik dan obat yang aman untuk digunakan selama
kehamilan sangat penting. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kandungan
obat masuk ke dalam ASI dan dengan demikian mempengaruhi anak dalam
beberapa kasus. Sehingga beberapa obat dapat mempengaruhi laktasi. Semua data
ini harus secara hati-hati dipelajari oleh dokter.1,2
Di Amerika Serikat, diperkirakan 3 persen bayi memiliki malformasi
struktur mayor yang terdeteksi saat lahir. Pada usia 5 tahun, sekitar 3 persen
lainnya telah didiagnosa dengan sebuah malformasi, dan sekitar 8 sampai 10
persen

ditemukan

memiliki

satu

atau

lebih

kelainan

fungsional

atau

perkembangan pada usia 18 tahun. Kebanyakan cacat lahir - sekitar 65 persen,


etiologinya tidak diketahui. Namun penting untuk diketahui, bahan-bahan kimia
dapat menyebabkan cacat lahir, termasuk yang disebabkan oleh obat-obatan yang
diperkirakan memberikan kontribusi kurang dari 1 persen dari semua cacat lahir
yang ada (Pusat evaluasi dan penelitian obat, 2005).3
Beberapa obat dapat berbahaya penggunaannya pada ibu hamil dan janin
oleh karena itu, kewaspadaan perlu ditingkatkan dalam penggunaan obat pada
kehamilan. Beberapa obat ada yang dapat berefek toksik pada ibu hamil tetapi
tidak pada janin dan ada beberapa yang tidak toksik pada ibu hamil tapi toksik
untuk janin. Pemberian obat pada ibu hamil dengan indikasi yang tepat akan
mengobati penyakit namun perlu juga diperhatikan kontraindikasi dan efek
samping yang dapat terjadi pada ibu dan janinnya. Dengan pemilihan obat yang
tepat akan mengurangi morbiditas dan mortalitas semasa kehamilan dan juga
menyelamatkan ibu dan janinnya.1,2

BAB II
PEMBAHASAN
1.

TAHAPAN ORGANOGENESIS

Gambar 1 - Perkembangan embryofetal berdasarkan usia kehamilan yang


ditentukan oleh hari pertama menstruasi terakhir (dikutip dari kepustakaan 3)
Organogenesis terjadi pada periode embrionik yang mana periode tersebut
dimulai pada awal minggu ketiga setelah ovulasi dan fertilisasi serta berlangsung
sampai pada minggu kedelapan . Selama minggu ketiga, pembuluh darah janin
pada villi chorionic mulai tampak. Pada minggu keempat sistem kardiovaskuler
telah terbentuk. Pembagian ruang-ruang jantung primitif mulai dibentuk pada
pertengahan minggu keempat. Bakal calon lengan dan tungkai mulai tampak, dan
amnion mulai membuka batang tubuh, yang kemudian menjadi tali pusar.3
Pada akhir minggu keenam, panjang embrio berkisar antara 22 sampai 24
mm dan kepala lebih besar dibandingkan dengan badan. Jantung telah terbentuk

sempurna. Jari-jari tangan dan jari-jari kaki mulai ada dan lengan menekuk di
siku. Bibir atas telah sempurna dan telinga luar membentuk ketinggian definitif di
kedua sisi kepala. Gangguan atau teratogen akan mempunyai dampak yang berat
apabila terjadi pada gestasi kurang dari 12 minggu, terlebih pada minggu ketiga.3

Tabel 1 - Hubungan antara waktu paparan teratogen dengan potensi malformasi


yang dapat muncul pada bayi (dikutip dari kepustakaan 4)
2.

PENGARUH OBAT PADA KEHAMILAN


Kehamilan dapat dibagi menjadi 4 tahap utama: 2

1. Tahap pra-implantasi (pembentukan blastokista): berlangsung 16 hari, yaitu


dari konsepsi sampai implantasi. Menunjukkan "semua atau tidak ada" efek,
yaitu baik membunuh embrio atau tidak mempengaruhi sama sekali. Tidak ada
teratogenesis.
2. Periode organogenesis (dari 17 sampai hari ke-56): Selama periode ini, obat
dapat menghasilkan a) tidak ada efek yang dapat diukur, b) aborsi, c) cacat
subletal kelainan anatomi, atau d) kelainan metabolisme permanen atau cacat
fungsional
3. Trimester ke-2 dan 3: obat dapat menyebabkan teratogenik atau efek lain
seperti retardasi pertumbuhan fisik atau otak, cacat perilaku, persalinan
prematur, toksisitas neonatal atau bahkan efek pascanatal seperti kanker di
kemudian hari.
4. Kelahiran-tahap penerimaan: sama dengan bahaya toksisitas dalam periode
neonatal.
Beberapa penelitian mengungkapakan terdapat 6 mekanisme teratogenik
yang berhubungan dengan penggunaan obat : 2,5
1. Antagonisme asam folat
2. Gangguan neural crest cell
3. Gangguan endokrin
4. Stres oksidatif
5. Gangguan vascular
6. Reseptor spesifik teratogenik
3. KATEGORI OBAT DALAM KEHAMILAN
Kehamilan adalah kondisi fisiologis khusus di mana terapi obat menjadi
perhatian khusus karena fisiologi kehamilan mempengaruhi farmakokinetik obat
yang digunakan dan obat-obatan tertentu dapat mencapai janin dan menyebabkan
bahaya.

Menghindari

pengobatan

farmakologis

pada

kehamilan

tidak

memungkinkan dan mungkin berbahaya karena sebagian perempuan memasuki


kehamilan dengan kondisi medis yang memerlukan perawatan berkelanjutan dan
episodik (misalnya asma, epilepsi, hipertensi). Juga selama kehamilan masalah
medis baru dapat timbul dan yang lama dapat memburuk (misalnya migrain, sakit
kepala) yang membutuhkan terapi farmakologi. Fakta bahwa obat-obatan tertentu
yang diberikan selama kehamilan mungkin terbukti berbahaya bagi anak yang
belum lahir adalah salah satu masalah klasik dalam perawatan medis. Terdapat 2

macam kategori penggunaan obat dalam kehamilan yang biasa digunakan, yaitu
berdasarkan FDA & ADEC.6
A. Kategori obat dalam kehamilan berdasarkan FDA
Untuk memberi tuntunan terapi, Food and Drug Administration (1979)
membuat suatu sistem untuk menentukan peringkat keamanan obat pada
kehamilan. Sistem ini dirancang untuk membantu dokter menyederhanakan
informasi manfaat-risiko dengan kategori-kategori yang dinyatakan dengan hurufhuruf. Kesepakatan umum menyatakan bahwa sistem ini tidaklah ideal. Banyak
peringkat obat didasarkan pada data hewan, laporan kasus, dan data manusia yang
terbatas atau tidak ada, dengan informasi yang jarang diperbaharui. Karena
produsen juga membuat peringkat, yang sering terjadi ketidaksesuaian.
Kekurangan lain adalah bahwa adanya kategori-kategori ini menimbulkan kesan
bahwa obat-obat dalam satu kategori memiliki risiko yang setara, yang sebenarnya
tidak.1,3
Kategori

PEMBAHASAN
Studi studi pada wanita hamil belum memperlihatkan adanya risiko
kelainan janin jika diberikan selama trimester pertama (kedua, ketiga,
atau semuanya), dan kemungkinan bahaya bagi janin manusia
tampaknya terkontrol.
Studi-studi reproduksi pada hewan telah dilakukan dan tidak
memperlihatkan adanya bukti gangguan fertilitas atau bahaya bagi janin.
Informasi peresepan perlu memperjelas jenis hewan dan bagaimana

dosisnya dibandingkan dengan dosis pada manusia. Atau studi pada


hewan memperlihatkan efek samping, tetapi studi-studi yang adekuat
dan terkontrol baik, pada wanita hamil gagal memperlihatkan risiko bagi
janin selama trimester pertama kehamilan, dan belum ada bukti risiko

pada trimester-trimester selanjutnya


Studi-studi reproduksi hewan telah memperlihatkan bahwa obat ini
bersifat teratogenik (atau embriosidal atau menimbulkan efek samping
lain), dan belum ada studi yang adekuat dan terkontrol baik pada wanita
hamil. Informasi peresepan perlu memperjelas jenis hewan dan
bagaimana dosisnya dibandingkan dengan dosis pada manusia. Atau

belum ada studi reproduksi pada hewan dan belum ada studi terkontrol
dan adekuat pada manusia.
Obat ini dapat membahayakan janin jika diberikan kepada wanita hamil.
Jika obat ini digunakan selama kehamilan atau jika seorang wanita

menjadi hamil ketika menggunakan obat ini maka ia perlu diberitahu


tentang kemungkinan efek samping pada janinnya
Obat ini dikontraindikasikan bagi wanita yang sedang atau akan hamil.
Obat ini akan merugikan janin. Jika obat ini digunakan selama

kehamilan atau jika seorang wanita menjadi hamil menggunakan obat

ini maka ia perlu diberi tahu tentang kemungkinan bahaya bagi janinnya
Tabel 2 - Kategori FDA Untuk Obat Pada Kehamilan (dikutip dari kepustakaan 3)
B. Kategori obat dalam kehamilan berdasarkan Australian Drug Evaluation
Committee (ADEC)
Sistem kategorisasi Australia berbeda dari kategorisasi FDA. Kategorisasi
obat-obatan untuk digunakan dalam kehamilan tidak mengikuti struktur hierarki.
Data manusia masih kurang atau tidak memadai untuk obat kategori B1, B2 dan
B3. Subkategorisasi dari kategori B berdasarkan data hewan. Kategori B tidak
berarti lebih aman daripada kategori C. Obat dalam kategori D tidak benar-benar
dikontraindikasikan selama kehamilan (agen anti konvulsan). Untuk produk
farmasi yang mengandung dua atau lebih bahan aktif, kategorisasi kombinasi
didasarkan pada bahan aktif dengan kategorisasi kehamilan paling bersifat
membatasi.7
Kategori

PEMBAHASAN
Obat yang telah banyak digunakan oleh ibu hamil maupun wanita
usia produktif tanpa disertai bukti peningkatan frekuensi terjadinya
malformasi ataupun efek lain yang membahayakan janin yang diteliti
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Obat yang digunakan hanya sejumlah kecil ibu hamil maupun wanita
usia reproduktif tanpa disertai bukti peningkatan kejadian malformasi

B1

atau efek lain yang membahayakan janin baik secara langsung


maupun tidak langsung. Penelitian pada hewan tidak menunjukkan

B2

bukti peningkatan kejadian kerusakan pada janin.


Obat yang digunakan oleh sejumlah kecil ibu hamil atau wanita usia
6

reproduktif tanpa disertai bukti peningkatan frekuensi kejadian


malformasi atau efek lain yang membahayakan janin manusia yang
diteliti baik langsung maupun tidak langsung. Data penelitian pada
hewan tidak mencukupi atau tidak ada, tetapi data yang tersedia tidak
menunjukkan peningkatan kejadian kerusakan pada janin.
Obat yang digunakan hanya sejumlah kecil ibu hamil tanpa disertai
bukti peningkatan frekuensi kejadian malformasi atau efek lain yang
B3

membahayakan janin manusia yang diteliti baik secara langsung


maupun tidak langsung. Penelitian pada hewan menunjukkan bukti
peningkatan kejadian kerusakan pada janin tetapi efek tersebut pada
manusia belum jelas.
Obat yang berdasarkan efek farmakologinya telah atau diduga dapat

menyebabkan efek yang membahayakan pada janin manusia atau


neonatus tanpa disertai malformasi. Efek tersebut bisa jadi reversibel.
Obat yang telah dicurigai atau diramalkan menyebabkan peningkatan

kejadian malformasi janin manusia atau kerusakan yang bersifat


menetap.
Obat yang mempunyai resiko tinggi untuk menyebabkan kerusakan

yang bersifat menetap terhadap janin sehingga tidak boleh digunakan


pada masa kehamilan atau jika ada kemungkinan terjadi kehamilan.
Tabel 3 - Kategori obat dalam kehamilan berdasarkan Australian Drug
Evaluation Committee (ADEC) (dikutip dari kepustakaan 1,7)

4. TERATOGEN
Teratogenik adalah disgenesis organ janin baik secara struktural maupun
fungsi. Teratogenesis bermanifestasi sebagai gangguan pertumbuhan, kematian
janin,

pertumbuhan

karsinogenesis, dan

malformasi. Teratogenesis

atau

abnormalitas bervariasi dalam tingkat kelainan organ ataupun fungsinya bisa


relatif ringan, sangat berat bahkan tidak terkoreksi. Suatu obat atau bahan kimia
dikatakan teratogenik apabila seorang ibu hamil mengkonsumsi obat dengan
sengaja atau tidak yang menyebabkan terjadinya abnormalitas struktur janin atau
bayi.1,8

Pada tahun 1959, James Wilson mengusulkan 6 prinsip dasar teratologi.


Lima puluh tahun kemudian, prinsip-prinsip ini tetap menjadi prinsip dasar yang
penting dalam bidang teratologi. Prinsip-prinsip ini meliputi: 2
a) Kerentanan terhadap teratogenesis tergantung pada genotipe hasil konsepsi
dan cara di mana ia berinteraksi dengan faktor lingkungan.
b) Kerentanan terhadap teratogen bervariasi dengan tahap perkembangan pada
saat paparan.
c) Agen teratogenik bertindak dengan cara tertentu pada pengembangan sel dan
jaringan untuk memulai proses perkembangan abnormal.
d) Akses dari pengaruh lingkungan yang merugikan untuk mengembangkan
jaringan tergantung pada sifat dari pengaruh.
e) Manifestasi akhir adalah kematian, malformasi, keterlambatan pertumbuhan
dan gangguan fungsional.
f) Peningkatan manifestasi perubahan dalam frekuensi dan peningkatan derajat
pada dosis tertentu zat dapat berubah dari tidak berpengaruh sampai 100%
letal.
Untuk mengetahui suatu zat dapat bersifat teratogenik dalam prosesnya
harus memenuhi i) menghasilkan satu set karakteristik malformasi; ii) memberi
efek pada tahap tertentu perkembangan janin dan iii) menunjukkan insiden
tergantung dosis. Kurang dari 30 obat telah diidentifikasi sebagai teratogen,
dengan ratusan agen terbukti aman bagi janin. Resiko dasar teratogenik pada
kehamilan (yaitu, risiko kelainan neonatal yang tidak diketahui adanya paparan
teratogenik) adalah sekitar 3%. Cara dimana obat dapat mempengaruhi janin
adalah: 2
a) Bertindak langsung pada embrio untuk menghasilkan efek toksik atau
teratogenik mematikan
b) Mengubah fungsi plasenta
c) Mengubah aktivitas miometrium
d) Mengubah dinamika biokimia pada ibu
5. OBAT-OBATAN YANG SERING DIGUNAKAN SELAMA KEHAMILAN
A. Anti Konvulsan
Epilepsi merupakan penyakit neurologi yang biasa ditemukan pada wanita
hamil. Semua obat anti epileptik dapat menembus sawar plasenta sehingga
berpotensi menimbulkan efek teratogenik. Obat antikonvulsan yang biasa
8

dikonsumsi wanita untuk mencegah kejang berpotensi menimbulkan bahaya ke


janin. Wanita dengan epilepsi mengalami peningkatan resiko malformasi janin
yang biasanya diperkirakan 2-3 kali lipat daripada risiko wanita yang tidak
menderita epilepsi. Terdapat kontroversi mengenai apakah peningkatan risiko ini
disebabkan oleh penyakitnya atau obat yang digunakan untuk mengatasinya.
Data-data terkini menunjukkan bahwa risiko tidak sebesar yang diperkirakan
semula. Semua tipe malformasi lebih prevalen pada konsentrasi anti kejang dalam
serum yang tinggi. Selain itu, kebutuhan akan pemberian obat, kadar serum yang
tinggi, dan obat yang multipel mencerminkan keparahan epilepsi. Karena itu
terdapat kemungkinan bahwa paling tidak sebagian dari peningkatan risiko
berkaitan dengan epilepsi itu sendiri atau aspek lain dari kondisi ibu. Namun
kelainan utama yang ditimbulkan dalam penggunaan antikonvulsan biasanya
ditemukan juga pada bayi yang tidak terpapar seperti : cacat jantung, hipospadia
dan CLP.1,9,10,11
Secara teoritis masing-masing obat anti konvulsan dapat menyebabkan
kelainan tertentu yang khas. 5% asam valproat dan 1% karbamazepin
penggunaannya dapat menyebabkan spina bifida. Beberapa penelitian juga
melaporkan bahwa penggunaan hidantoin, karbamazepin dan fenobarbital dapat
menyebabkan mikrosefali dan gangguan tumbuh kembang. Beberapa studi
penelitian juga melaporkan bahwa terjadi disfungsi kognitif pada anak-anak atau
remaja dengan riwayat ibu menggunakan antikonvulsan.10,11
Karena paparan antikonvulsan begitu umum di kalangan wanita hamil,
maka penting bahwa semua profesional kesehatan dapat menginformasikan
tentang potensi efek pada janin dan pilihannya dalam perawatannya, yang
meliputi: mengkonsumsi suplemen asam folat setiap hari sebelum konsepsi;
mengambil obat antikonvulsan sebagai monoterapi, jika mungkin, menjaga dosis
obat antikonvulsan selama kehamilan serendah mungkin, semakin rendah dosis
semakin rendah risiko yang berbahaya bagi janin.10,11

Gambar 2 - Sindrom Janin Hidantoin. Atas: fitur wajah termasuk hidung yang
menengadah, hipoplasia ringan pertengahan wajah, dan bibir atas yang panjang
dengan batas merah terang yang tipis. Bawah: hipoplasi jari-jari distal. (Dikutip
dari kepustakaan 3)
Kategori
Obat

Abnormalitas yang Dapat


Ditimbulkan

obat
Efek

dalam
kehamila
n

Defek
Valproat

neural-tube,

CLP,

kelainan tulang, keterlambatan


perkembangan
Anomali

Fenitoin

1-2% monoterapi,
9-12% politerapi

kraniofasial,

keterlambatan

perkembangan,

5-11%

1-2%

10-20%

kelainan jantung.
Karbamazepin
Fenobarbital

Spina bifida
CLP,

anomali

jantung,

malformasi saluran kemih

10

Beberapa
Topiramate

penelitian

menunjukan adanya hubungan

2%

dengan CLP

Berhubungan
Levetiracetam

abnormalitas

dengan
tulang

pada

hewan, tetapi tidak dibuktikan


pada manusia

Sangat

sedikit

kasus

yang

dilaporkan

4 kali lipat pada


Lamotrigine

monoterapi,

CLP

kali

lipat

10
pada

politerapi
Tabel 4 - Efek teratogenik yang dapat ditimbulkan oleh beberapa obat
antikonvulsan (dikutip dari kepustakaan 3)
B. Antibiotik
Penisilin
Penisilin dan derivat-derivatnya, termasuk amoksisilin dan ampisilin,
mempunyai batas keamanan yang lebar dan tingkat toksisitas yang rendah untuk
wanita dan janinnya. Penisilin adalah golongan -laktam yang bekerja dengan
menghambat sintesis dinding bakteri dan dapat diberikan secara oral,
intramuskular, dan intravena. Golongan obat ini merupakan obat pilihan utama
untuk mengobati infeksi bakteri dengan cakupan jenis bakteri yang luas, termasuk
bakteri streptokokus grup A penyebab faringitis, otitis media, dan pneumonia yang
diakibatkan oleh Streptococcus pneumoniae. Penisilin merupakan obat pilihan
utama untuk mengobati sifilis. Ampisilin dan amoksisilin merupakan pilihan yang
baik untuk infeksi saluran kemih akibat bakteri enterokokus, tetapi banyak bakteri
lain yang sudah resisten, oleh karena itu penggunaannya harus digunakan secara
selektif.

Amoksisilan-klavulanat

merupakan

kombinasi

-laktam

dengan

penghambat enzim -laktamase yang memperluas aktifitas dari spektrum obat

11

tersebut. Kombinasi ini dapat digunakan untuk sinusitis dan infeksi saluran kemih.
Penisilin dapat digunakan secara aman selama masa menyusui.9
Tetrasiklin
Tetrasiklin dapat menyebabkan pewarnaan kuning coklat gigi desidua atau
mengendap di tulang panjang janin jika digunakan setelah 25 minggu. Namun
risiko karies gigi pada anak yang terpajan tidak meningkat. Salah satu pengobatan
yang menggunakan obat ini adalah dalam pengobatan sifilis pada ibu hamil
dengan alergi penisilin.3,9
Aminoglikosida
Pemberian obat ini kepada ibu hamil dapat menyebabkan keadaan toksik
darah janin, tetapi hal ini dapat dihindari dengan memberikan dosis yang lebih
rendah secara terbagi (Regev, dkk., 2000). Meskipun baik nefrotoksisitas dan
ototoksisitas pernah dilaporkan terjadi pada neonatus kurang bulan dan orang
dewasa yang diberi gentamisin atau streptomisin, cacat konginetal akibat pajanan
prenatal belum pernah dilaporkan.3,9
Secara klinis aminoglikosida sering digunakan untuk terapi infeksi yang
disebabkan oleh kuman Gram positif dan Gram negatif termasuk Mycobacterium
tuberculosis, baik dalam bentuk sediaan tunggal maupun kombinasi dengan
antibiotika lain. Aminoglikosida merupakan antibiotik utama untuk pengobatan
infeksi serius yang disebabkan gram negatif.3,9
Kloramfenikol
Obat ini mudah menembus plasenta dan mencapai darah dalam jumlah
yang signifikan, biasa digunakan pada penyakit seperti ISK, tifoid dan pada
infeksi mata. Insiden anomali kongenital tampaknya tidak meningkat pada janin
yang terpajan pada obat ini. Jika diberikan pada neonatus kurang bulan, obat ini
dapat menyebabkan gray baby syndrome. Keadaan ini bermanifestasi sebagai
sianosis, kolaps vaskular, dan kematian. Kecil kemungkinan bahwa kadar dalam
serum yang berasal dari pemberian kepada ibu dapat menyebabkan sindrom
tersebut.3,9
Sulfonamid

12

Meskipun obat-obat golongan ini mudah menembus plasenta, kadar dalam


darah janin lebih rendah daripada kadar dalam darah ibu. Sulfonamid tampaknya
tidak memiliki risiko teratogenik yang signifikan (Briggs dkk., 2005). Obat ini
memisahkan bilirubin dari tempat ikatannya dengan protein pembawa sehingga
timbul kekhawatiran teoritis terjadinya hiperbilirubinemia pada neonatus kurang
bulan jika digunakan menjelang kelahiran.3,9
Metronidazole
Metronidazole bekerja dengan cara menghambat sintesis protein dari
bakteri. Obat ini biasa digunakan untuk mengobati trikomoniasis dan vaginosis
bakterialis. Agen ini ditemukan positif dalam tes Ames namun belum terbukti
sebagai karsinogenik pada manusia dan juga menghasilkan cacat lahir. Meskipun
beberapa ahli menyarankan untuk menunda penggunaan metronidazole sampai
lewat trimester pertama, namun tidak ada data yang mendukung saran tersebut.9

Obat
Kategori
Penisilin, Ampisilin, Amoxicilin
B
Aminoglikosida
Eritromisin
B
Amikasin
C/D
Gentamisin
C
Streptomisin
D
Tetrasiklin
D
B/D jika digunakan menjelang kelahiran
Sulfonamid
Sefalosporin
B
Metronidazole
B
Tabel 5 - Antibiotik dan Kategorinya (dikutip dari kepustakaan 6)
C.
Analgetik-Antipiretik
Peresepan analgesik sangat sering dilakukan pada ibu hamil. Pembagian
kategori dari analgesik pada dasarnya terbagi dua yaitu anti inflamasi non-steroid
dan golongan opioid.9
NSAID
Obat ini tidak dianggap teratogenik, tetapi dapat menimbulkan efek
merugikan jika digunakan pada trimester ketiga. Indometasin dan ibuprofen
13

secara khusus dilaporkan menyebabkan konstriksi duktus arteriosus janin yang


kemudian menyebabkan hipertensi paru. Obat ini juga dapat menurunkan keluaran
urin janin sehingga mengurangi volume cairan amnion, mungkin dengan
meningkatkan kadar vasopressin dan responsivitas terhadapnya. Penyulit-penyulit
ini tampaknya lebih besar kemungkinannya terjadi jika obat digunakan lebih dari
72 jam. Dalam satu penelitian terhadap lebih dari 60 kehamilan, konstriksi duktus
terjadi pada 50%, dengan peningkatan bermakna insiden setelah 30 minggu.
Untungnya kecepatan aliran duktus pulih ke normal setelah penghentian terapi
pada semua kasus.3,9
Asetaminofen sangat sering digunakan pada ibu hamil. Obat ini dapat
melewati plasenta tetapi terbukti aman digunakan dalam dosis normal. Obat ini
biasanya digunakan untuk meredakan rasa nyeri dan menurunkan demam.
Biasanya digunakan pada macam-macam nyeri, dan sakit kepala.3,9
Aspirin sering digunakan untuk berbagai indikasi, termasuk sebagai
antikoagulan. Dalam sebuah meta-analisis dari semua studi yang tersedia, 38 studi
masuk dalam kriteria. Risiko abortus tidak berbeda pada wanita yang diterapi
dengan aspirin dan yang diterapi dengan plasebo. Wanita yang mengkonsumsi
aspirin memiliki risiko kelahiran prematur lebih rendah dari yang mengkonsumsi
plasebo. Tidak ada perbedaan signifikan pada mortalitas perinatal maupun angka
bayi kecil masa kehamilan pada bayi dari ibu yang diterapi dengan aspirin
maupun ibu yang diterapi dengan plasebo. Demikian pula, tidak ada peningkatan
risiko terhadap malformasi mayor secara umum, meskipun terdapat peningkatan
risiko terhadap gastroskisis. Untuk wanita dengan kehamilan risiko sedang atau
tinggi, terapi dengan aspirin memiliki efek yang kecil namun berarti dalam
menurunkan angka kelahiran preterm, tapi tidak menurunkan angka kematian
perinatal.3,9
Opioid
Banyak sediaan narkotika tersedia dan digunakan pada saat kehamilan.
Semua obat golongan ini dapat melewati sawar plasenta akan tetapi tidak
berhubungan dengan malformasi apabila digunakan dalam dosis yang normal.
Penggunaan obat ini menjelang kelahiran dapat menyebabkan gawat janin.

14

Golongan opioid seperti kodein, meperidin, dan oxycodone aman digunakan pada
saat kehamilan dan menyusui.9
Obat

Kategori

NSAID
Parasetamol
Asam Mefenamat
Ibuprofen
Indometasin
Asetaminofen
Fenasetin
Aspirin
Opioid

B
B
D
D
B
B
C
B/D (Digunakan dalam dosis tinggi atau
waktu yang lama.
Tabel 6 - Analgesik dan Kategorinya (dikutip dari kepustakaan 6)

D. Keluhan Saluran Pernapasan Atas


Common cold adalah penyakit akut yang paling sering diderita, dan
sebagian besar didiagnosis dan diobati sendiri. Obat-obatan yang digunakan untuk
mengobati gejala yang berhubungan dengan common cold adalah salah satu obat
yang paling umum digunakan pada kehamilan. Kebanyakan pasien mengeluh
kelelahan, malaise, rhinorrhea, hidung tersumbat, batuk, dan sakit tenggorokan.
Pengobatan yang paling umum digunakan untuk mengatasi gejala-gejala yang
ada, yaitu dengan pemberian antihistamin, dekongestan, dan penekan batuk.9
Antihistamin
Kebanyakan antihistamin aman digunakan pada ibu hamil. Bromfeniramin
dilaporkan dapat meningkatkan resiko terjadinya malformasi. Namun antihistamin
yang lain seperti klorfeniramin, klemastin, diphenhidramin dan doxylamin
terbukti aman digunakan.3,6,9,12
Terdapat banyak antihistamin baru dengan sedikit data ada tentang
keamanan penggunannya dalam kehamilan. Obat-obat ini sebaiknya digunakan
sebagai obat lini kedua. Obat tersebut adalah astemisol (Hismanal), cetirizin
(zyrtec) dan loratadin (Claritin).8,9,12
Dekongestan
Obat-obatan dekongstan biasanya dalam bentuk oral seperti pseudoefedrin,
fenilefrin dan fenilpropanolamin. Terdapat beberapa laporan yang berhubungan

15

dengan gastroskisis pada penggunaan pseudoefedrin pada trimester pertama. Pada


trimester

pertama

kita

dapat

menggunakan

alternatif

pengobatan

lain

menggunakan sediaan topikal seperti dekongestan hidung oxymetazoline atau


fenilefrin.3,9,12
Penekan Batuk
Kodein dan dekstrometorfan merupakan zat penekan batuk yang paling
sering digunakan. Keduanya juga tidak dikaitkan dengan efek teratogenik. Ketika
digunakan selama trimester pertama kehamilan, guaifenesin telah dikaitkan
dengan peningkatan risiko dari defek tabung saraf. Namun tidak jelas apakah
peningkatan risiko tersebut berasal dari penggunaan obat, penyakit yang
mendasari, atau keduanya.9,12

Tabel 7 - Daftar obat bebas jenis dekongestan, ekspektoran, dan antihistamin


nonselektif beserta efek penggunaannya selama kehamilan (dikutip dari
kepustakaan 12)
E. Obat Asma
2-Simpatomimetik
2-Sympathomimetic tipe cepat adalah pengobatan lini pertama pada
pengobatan seranagan asma akut. Albuterol inhalan (Proventil, Ventolin) adalah
obat yang biasanya digunakan.Terbutalin dan metaproterenol inhalan juga dapat
digunakan sebagai alternatif. Tidak ditemukan resiko malformasi atau

16

teratogenitas pada obat golongan ini, obat ini juga aman digunakan saat menyusui.
Pada pengobatan jangka panjang seperti pada penggunaan salmoterol obat juga
aman digunakan.3,8,9,13
Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalan juga merapakan pengobatan asma lini pertama.
Cara kerja obat ini adalah dengan mereduksi inflamasi. Obat-obatan termasuk
beclomethasone, fluticasone dan lain-lain terbukti aman digunakan selama
kehamilan dan menyusui. Kortokosteroid sistemik juga dapat digunakan pada
pengobatan asma akut akan tetapi menurut penelitian dapat meningkatkan resiko
bibir dan langit-langit sumbing sampai lima kali lipat.3,8,9,12,13
Teofilin
Teofilin memang bukan pengobatan lini pertama pada asma,akan tetapi
pada kasus emergensi dan alergi terhadap obat lini pertama obat ini sering
digunakan. Obat ini dapat digunakan secara intravena maupun oral. Penggunaan
teofilin tidak menunjukan bukti adanya kejadian malformasi.1,9
F. Imunosupresan
Kortikosteroid
Hidrokortison, prednison, dan kortikosteroid lain sering digunakan untuk
mengobati penyakit medis serius, misalnya asma dan penyakit autoimun. Dalam
studi hewan, obat golongan ini dilaporkan berkaitan dengan langin-langit
sumbing. Dalam sebuah studi prospektif 10 tahun oleh Motherisk Program and
University of Toronto, pajanan kortikosteroid tidak berkaitan dengan peningkatan
risiko malformasi mayor. Namun, suatu meta-analisis oleh para peneliti yang
sama memperlihatkan adanya peningkatan insiden bibir sumbing. Odds ratio
untuk bibir sumbing dalam penelitian-penelitian kasus-kelola meningkat sekitar
tiga kali lipat-risiko absolut adalah 3/1000. Berdasarkan temuan-temuan ini,
kortikosteroid sistemik berada dalam kategori D jika digunakan pada trimester
pertama, tetapi obat ini tidak dianggap memiliki risiko teratogenik mayor.3,9
G. Anti Jamur
Anti jamur biasanya digunakan pada penyakit kulit dan keputihan yang
disebabkan oleh jamur. Terdapat beberapa laporan terkait malformasi kongenital
yang berhubungan dengan penggunaan flukonazol. Didapatkan abnormalitas
tulang, bibir sumbing dan kelainan bahu lainnya. Terdapat juga laporan hubungan
17

itrakonazol dengan beberapa kelainan kongenital. Mikonazol dalam beberapa


penelitian dapat menyebabkan abortus spontan apabila digunakan dalam dosis
berlebih.3,9
Obat
Kategori
Nistatin
A
Mikonazol
C
Klotrimazol
B
Flukonazol
C
Itrakonazol
C
Tabel 8 - Anti Jamur dan Kategorinya (dikutip dari kepustakaan 3,6)
H. Hormon
Androgen
Salah satu contoh efek pada janin akibat pajanan dini ke androgen adalah
hiperplasia adrenal konginetal autosomal resesif. Pajanan terhadap androgen
eksogen dapat memicu efek serupa pada janin, tetapi maskulinisasi akibat
androgen eksogen tidak berlanjut setelah lahir.3,9
Estrogen
Sebagian besar senyawa estrogen yang tersedia tidak mempengaruhi
perkembangan janin. Kontrasepsi oral (pil kombinasi), belum pernah dilaporkan
berkaitan dengan adanya anomali kongenital (tidak ada bukti bersifat
teratogenik).3
Kontrasepsi Progestasional
Dalam studi terhadap tikus dan mamalia, paparan antenatal untuk
medroxyprogesterone

acetate

yang

diberikan

sebagai

depot

kontrasepsi

intramuskular telah dikaitkan dengan virilisasi pada janin perempuan dan


feminisasi pada janin laki-laki. Untungnya, tidak ada hubungan antara zat ini
dengan adanya cacat bawaan pada manusia. Norethindrone, (salah satu contoh
jenis

kontrasepsi

progesteron

saja/bukan

pil

kombinasi),

diperkirakan

menyebabkan maskulinisasi pada janin perempuan sebanyak 1 persen ketika


terjadi paparan dengan zat tersebut.3
Hormon
Androgen
Estrogen

Kategori
X
X

18

Progestogen
Hydroxyprogestrone

Medroxyprogestrone

Norethindrone

Norgestrel
X
Tabel 9 - Hormon dan Kategorinya (dikutip dari kepustakaan 6)
6.

OBAT-OBATAN YANG DIGUNAKAN PADA PENYAKIT-PENYAKIT


YANG SERING MENYERTAI KEHAMILAN
A. Diabetes Mellitus dalam Kehamilan
Perempuan yang memiliki gejala morbiditas

janin

(berdasarkan

pemeriksaan glukosa atau adanya janin yang besar) atau perempuan yang
mempunyai konsentrasi gula darah yang tinggi harus dirawat lebih seksama dan
biasanya diberi insulin. Terapi insulin dapat menurunkan kejadian makrosomia
janin dan morbiditas perinatal.1,3
Dosis insulin yang diberikan sangat individual. Pemberian insulin
ditujukan untuk mencapai konsentrasi gula darah pascaprandial kurang dari 140
mg/dl sampai mencapai kadar glikemi di bawah rata-rata dan hasil perinatak yang
lebih baik, ketimbang dilakukannya upaya mempertahankan konsentrasi gula
darah praprandial kurang dari 105 mg/dl, tetapi keadaan janin tidak
diperhatikan.1,3
Kejadian makrosomia dapat diturunkan dengan cara pemberian insulin
untuk mencapai konsentrasi gula darah praprandial kurang lebih 80 mg/dl (4,4
mmol/l). Oleh karena itu, dalam merancang penatalaksanaan pemberian insulin
harus dipertimbangkan ketepatan waktu pengukuran gula darah, konsentrasi target
glukosa, dan karakteristik pertumbuhan janin.1,3
B. Penyakit Kelenjar Tiroid dalam Kehamilan
Tirotoksikosis yang terjadi selama kehamilan hampir selalu dapat
dikontrol dengan obat-obatan jenis thiomide. Beberapa klinis memilih
propylthiouracil (PTU) karena obat ini sebagian menghambat perubahan T4
menjadi T3 dan lebih sedikit melewati sawar plasenta bila dibandingkan dengan
methimazole. Kedua obat ini efektif dan cukup aman untuk digunakan dalam
terapi tirotoksiskosis. Walaupun jarang dan belum terbukti, penggunaan

19

methimazole harus lebih berhati-hati karena pemberian pada awal kehamjlan


diduga ada hubungannya dengan terjadinya atresia esofagus, khoana, dan aplasia
cutis.1,3
C. Hipertensi dalam Kehamilan
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut
off) tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan
cut off yang dipakai adalah 160/110 mmHg dan MAP 126 mmHg. Di RSU Dr.
Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian antihipertensi ialah apabila
tekanan sistolik 180 mmHg dan/atau tekanan diastolik 110 mmHg. Tekanan
darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari tekanan sistolik
dan tekanan darah diturunkan mencapai < 160/105 mmHg atau MAP < 125
mmHg.1,3
Hendorson, dalam Cochrane Review, juga meneliti 24 uji klinik yang
melibatkan 2.949 ibu dengan hipertensi dalam kehamilan, menyimpulkan bahwa
sampai didapatkan bukti yang lebih teruji, maka pemberian jenis antihipertensi,
diserahkan kepada para klinikus masing-masing, yang bergantung pada
pengalaman dan pengenalan dengan obat tersebut. Ini berarti hingga sekarang
belum ada antihipertensi yang terbaik untuk pengobatan hipertensi dalam
kehamilan. Namun yang harus dihindari secara mutlak, sebagai antihipertensi,
ialah pemberian diazokside, ketanserin, nimodipin, dan magnesium sulfat.1,3
Adapun jenis obat antihipertensi yang diberikan di Indonesia adalah
Nifedipin dengan dosis awal 10-20 mg, diulangi 30 menit bila perlu. Dosis
maksimum 120 mg per 24 jam. Nifedipin tidak boleh diberikan sublingual karena
efek vasodilatasi sangat cepat, sehingga hanya boleh diberikan per oral. Obat
antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah klonidine
(Catapres). Satu ampul mengandung 0,15 mg/cc. Klonidine 1 ampul dilarutkan
dalam 10 CC larutan garam faali atau larutan air untuk suntikan.1
D. Malaria dalam Kehamilan
Secara umum penggunaan obat antimalaria selama kehamilan bukan
merupakan suatu kontraindikasi. Beberapa jenis obat terbaru mempunyai aktifitas
anti asam folat dan secara teori berkontribusi akan timbulnya anemia
megaloblastik. Chloroquine merupakan pilihan terapi untuk malaria yang
20

disebabkan oleh semua spesies Plasmodium yang sensitif. Untuk wanita dengan
infeksi malaria yang resisten terhadap Chloroquine, yang umumnya terjadi pada
jenis falciparum, kuinin ditambah dengan klindamisin dapat direkomendasikan
untuk digunakan. Kuinin dapat menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia yang
dapat berakibat terjadinya hipoglikemia pada ibu dan janin. Mefloquine atau
atovaquoneproguanil
kehamilan,

tidak

meskipun

direkomendasikan

mefloquine

tetap

untuk

pengobatan

direkomendasikan

selama
sebagai

kemoprofilaksis. Untuk malaria yang berat atau kompleks, quinidine gluconate


dapat diberikan secara parenteral. Kardiotoksik merupakan efek samping yang
paling utama, oleh karena itu wanita yang mendapatkan obat ini harus diawasi
melalui EKG secara kontiniu.1,3
E. HIV dalam Kehamilan
Pengobatan direkomendasikan untuk semua wanita hamil yang terinfeksi
HIV. Tujuan dari pengobatan tersebut adalah untuk menurunkan risiko dari
penularan perinatal tanpa memperhatikan jumlah dari CD4 + sel-T atau level RNA
HIV. Obat-obatan antiretrovirus dikelompokkan menjadi beberapa kelas dan
digunakan untuk merancang jenis antiretrovirus yang akan diberikan selama
terapi.1,3
Satuan tugas dinas kesehatan Amerika Serikat (2009) telah menerbitkan
pedoman mengenai pengelolaan infeksi HIV selama kehamilan dengan skenario
yang berbeda-beda. Wanita yang sudah memulai HAART (Terapi Antiretrovirus
Sangat Aktif) saat hamil dianjurkan untuk melanjutkan pengobatan jika terjadi
penurunan jumlah virus yang signifikan. Pengecualian buat efavirenz yang harus
dihentikan pada trimester pertama karena menyangkut efek teratogeniknya.
Sampai saat ini, penambahan zidovudine direkomendasikan untuk semua rejimen
pengobatan. Namun saat ini, wanita dengan penurunan jumlah virus dalam darah
yang signifikan dengan rejimen yang tidak mengandung zidovudine, maka
dianjurkan untuk melanjutkan pengobatan dengan rejimen yang telah ada
sebelumnya. Pada semua wanita, zidovudine diberikan secara intravena selama
proses persalinan.1,3

21

Tabel 10 - Klasifikasi obat-obat antiretrovirus (dikutip dari kepustakaan 3)

Tabel 11 - Rekomendasi penggunaan obat antiretrovirus selama kehamilan


(dikutip dari kepustakaan 3)
22

BAB III
KESIMPULAN
Selain risiko yang terkait dengan paparan janin terhadap obat-obatan
teratogenik, terdapat pula sebuah risiko terkait dengan informasi yang salah
tentang teratogenitas dari obat-obatan, yang mana hal tersebut dapat menyebabkan
aborsi yang tidak perlu terjadi atau menghindari obat-obatan tertentu terkait
dengan terapi penyakit yang dibutuhkan. Komunitas medis dan produsenprodusen obat harus membuat sebuah upaya terpadu untuk melindungi perempuan
dan bayi mereka yang belum lahir dari kedua risiko tersebut.8

23

DAFTAR PUSTAKA
1. Hadi L. Obat Pada Perempuan Hamil dan Janinnya. In: Saifuddin AB, editor.
Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2009. p. 67-80.
2. Shaikh AK, Kulkarni MD. Drugs in Pregnancy and Lactation. Int J Basic Clin
Pharmacol. 2013;2(2):130-5.
3. Cunningham, Leveno, Bloom, Hauth, Rouse, Spong. Teratology and
Medication That Affect The Fetus. Williams Obstetrics. 23rd ed. United States
of America: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2010.
4. Pernoll Martin L. Development and Maldevelopment. Benson & Pernolls
handbook of obstetrics & gynecology. Tenth edition. United States of America:
The McGraw-Hill Companies, Inc; 2001.
5. Gelder MMHJv, Rooij IALMv, Miller RK, Zielhuis GA, Berg LTWdJ-vd,
Roeleveld N. Teratogenic Mechanisms of Medical Drugs. Oxford Medical
Press. 2010;16(4):378-94.
6. Sachdeva P, Patel BG, Patel BK. Drug Use in Pregnancy; a Point to Ponder.
Indian J Pharm Sci. 2009;71(1):1-7.
7. Health AGDo. Australian Categorisation System for Prescribing Medicines in
Pregnancy. Australia: Australian Government; 2011. p. 1-3. [Online] 2011
[cited January 19 2014] Available from http://www.tga.gov. au/hp/medicinespregnancy-categorisation.htm#.UxPPDmOzyE8
8. Koren G, Pastuszak A, Ito S. Drugs in Pregnancy. N Engl J Med.
1998;338(16):1128-37.
9. Yankowitz J. Drugs in Pregnancy. In: Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF,
Nygaard I, editors. Danforth's Obstetrics and Gynecology. Tenth ed.
Balrimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. p. 122-36.
10. Holmes LB. The Teratogenicity of Anticonvulsant Drugs: A Progress Report.
J Med Genet. 2002;39:245-7.
11. Holmes LB, Harvey EA, Coull BA, Huntington KB, Khoshbin S, Hayes AM,
et al. The Teratogenicity of Anticonvulsant Drugs. N Engl J Med.
2001;344(15):1132-8.
12. Black Ronald A., Hill D. Ashley. Over the counter medications in pregnancy.
American Academy of Family Physician. 2003;67(12):2517-24

24

13. Yawn Barbara, Knudtson Mary. Treating asthma and comorbid allergic rhinitis

in pregnancy: a review of the current guidelines. J Am Board Fam Med.


2007;20(3):289-98.

25

Anda mungkin juga menyukai