Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

INTERSKSI OBAT DAN MAKANAN PADA MASA KEHAMILAN,


MENYUSUI DAN LANSIA

MEI WULAN KUSUMADEWI


P17111173045

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN GIZI
PROGRAM STUDI DIPLOMA IV GIZI
MALANG
2020
INTERSKSI OBAT DAN MAKANAN PADA MASA KEHAMILAN

Kehamilan merupakan proses fisiologi yang perlu dipersiapkan oleh wanita dari
pasangan subur agar dapat dilalui dengan aman. Selama masa kehamilan, ibu dan janin adalah
unit fungsi yang tak terpisahkan. Kesehatan ibu hamil adalah persyaratan penting untuk fungsi
optimal dan perkembangan kedua bagian unit tersebut. Selama kehamilan, seorang ibu dapat
mengalami berbagai keluhan atau gangguan kesehatan yang membutuhkan obat. Penggunaan
obat pada Ibu hamil dapat beresiko bagi ibu hamil dan janin. Banyak ibu hamil menggunakan
obat dan suplemen pada periode organogenesis sedang berlangsung sehingga resiko terjadi cacat
janin lebih besar. Sedangkan kebanyakan obat yang dipasarkan tidak diteliti efek sampingnya
kepada Ibu hamil dan janin tersebut.

Beberapa obat yang dapat melintasi plasenta, maka penggunaan obat pada wanita hamil perlu
berhati-hati. Dalam plasenta obat mengalami proses biotransformasi, mungkin sebagai upaya
perlindungan dan dapat terbentuk senyawa antara yang reaktif, yang bersifat
teratogenik/dismorfogenik. Obat-obat teratogenik atau obat-obat yang dapat menyebabkan
terbentuknya senyawa teratogenik dapat merusak janin dalam pertumbuhan.

Teratogenik

Prinsip-prinsip dari teratologi yang diajukan oleh James Wilson pada tahun 1959 dan dalam
bukunya monografi Lingkungan dan Lahir Cacat.  Prinsip-prinsip panduan studi dan
pemahaman tentang agen teratogenik dan pengaruhnya terhadap organisme berkembang:

a) Kerentanan terhadap teratogenesis tergantung pada genotipe konsepsi dan cara dimana ini
berinteraksi dengan faktor lingkungan yang merugikan.
b) Kerentanan terhadap teratogenesis bervariasi dengan tahap perkembangan pada saat
terkena pengaruh yang merugikan. Ada periode kritis dari kerentanan terhadap agen dan
sistem organ terpengaruh oleh agen ini.
c) Agen teratogenik bertindak dengan cara tertentu pada pengembangan sel dan jaringan
untuk memulai urutan peristiwa perkembangan abnormal.
d) Akses pengaruh yang merugikan pada jaringan berkembang tergantung pada sifat
mempengaruhi. Beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan teratogen untuk kontak
konsepsi berkembang, seperti sifat dari agen itu sendiri, rute dan tingkat eksposur ibu,
laju perpindahan plasenta dan penyerapan sistemik, dan komposisi genotipe ibu dan
embrio / janin.

Teratologi pada manusia

Aspek yang paling penting dalam masalah ini adalah pengaruh obat-obat pada saat tertentu
selama pembuahan sampai dengan kehamilan. Periode pertumbuhan hasil konsepsi dibagi
menjadi :

1. Periode ovum, yakni sejak saat fertilisasi sampai dengan implantasi.

2. Periode embrionik, yakni sejak minggu kedua sampai dengan minggu kedelapan setelah
fertilisasi.

3. Periode fetal (janin), yakni setelah 8 minggu sampai dengan aterm. Periode embrionik adalah
periode yang paling kritis oleh karena saat ini sedang dalam fase pembentukan organ-organ
(organogenesis). Pada periode fetal atau janin, terutama trimester III, pengaruh antibiotika yang
diberikan pada ibu hamil tidak akan mempengaruhi pembentukan organ
(malformasi/dismorfogenik). Pengaruh obatobatan terhadap janin berkaitan dengan jumlah bahan
didalam peredaran darah (serum), absorbsi dalam usus, metabolisme, ikatan dengan protein
(protein binding), penyimpanan dalam sel, uuran molekul dan kelarutan bahan tersebut dalam
lemak yang merupakan faktor yang menentukan kemampuan obat untuk menembus barier
plasenta.

Kerja Obat Teratogenik.

Penggunaan obat pada saat perkembangan janin dapat mempengaruhi struktur janin pada saat
terpapar. Thalidomid adalah contoh obat yang besar pengaruhnya pada perkembangan anggota
badan (tangan, kaki) segera sesudah terjadi pemaparan. Pemaparan ini akan berefek pada saat
waktu kritis pertumbuhan anggota badan yaitu selama minggu ke empat sampai minggu ke tujuh
kehamilan. Mekanisme berbagai obat yang menghasilkan efek teratogenik belum diketahui dan
mungkin disebabkan oleh multi faktor.

a) Obat dapat bekerja langsung pada jaringan ibu dan juga secara tidak langsung
mempengaruhi jaringan janin.
b) Obat mungkin juga menganggu aliran oksigen atau nutrisi lewat plasenta sehingga
mempengaruhi jaringan janin.
c) Obat juga dapat bekerja langsung pada proses perkembangan jaringan janin, misalnya
vitamin A (retinol) yang memperlihatkan perubahan pada jaringan normal. Dervat
vitamin A (isotretinoin, etretinat) adalah teratogenik yang potensial.

Kekurangan substansi yang esensial diperlukan juga akan berperan pada abnormalitas. Misalnya
pemberian asam folat selama kehamilan dapat menurunkan insiden kerusakan pada selubung
saraf , yang menyebabkan timbulnya spina bifida.

Paparan berulang zat teratogenik dapat menimbulkan efek kumulatif. Misalnya konsumsi alkohol
yang tinggi dan kronik pada kehamilan , terutama pada kehamilan trimester pertama dan kedua
akan menimbulkan fetal alcohol syndrome yang berpengaruh.

Aksi Mekanisme

Ada 6 mekanisme teratonik yang terkait dengan pengobatan :

1. Folat antagonis
2. Gangguan sel saraf kepala
3. Gangguan endokrin
4. Tekanan oksidatif
5. Gangguan pembuluh darah
6. Reseptor tertentu atau enzim yang dimediasi teratogenesis

Banyak pengobatan digolongkan sebagai kelas X yang dikaitkan dengan sekurang-kurangnya


mekanisme di bawah ini.

Obat Efek Teratogenik


Thalidomida Phocomelia
Androgen & Progestin Verilisasi
Tetrasiklin Perubahan warna & gigi cacat,
pertumbuhan tulang terhambat
Alkohol IQ rendah, sindrom janin alkohol
Obat antitiroid Janin gondok dan hipotiroid
Isotretinoin Jantung kraniofasial dan cacat CNS
Warfarin Hidung tertekan; cacat mata & tangan
Fenitoin Tulang jari hipoplastik, bibir sumbing,
mikrosefalus
Karbamazepin Cacat tabung saraf, kelainan lainnya

Beberapa obat dipelajari untung penggunaan semasa kehamilan & menyusui dan sedikit petunjuk
yang tersedia bagi dokter dan pasien. Dengan demikian sebagian besar obat yang digunakan off
label selama kehamilan. Kebanyakan monograf produk menyarankan bahwa obat tidak boleh
digunakan selama kehamilan atau menyusui. Untuk alasan seperti biaya&pengadilan,
perusahaanfarmasitidakmenanganikehamilan. Informasi tentang diposisi obat selama kehamilan
biasanya diperoleh pasca-persetujuan dan melalui pelaporan ADR secara suka rela.

Klasifkasi FDA tentang obat yang mempunyai efek terhadap janin.

Pada tahun 1979, FDA merekomendasikan 5 kategori obat yang kemungkinan berefek terhadap
janin.

A : Obat yang sudah pernah diujikan pada manusia hamil dan terbukti tidak ada risiko terhadap
janin dalam rahim. Obat golongan ini aman untuk dikonsumsi oleh ibu hamil (vitamin)

B : Obat yang sudah diujikan pada binatang dan terbukti ada atau tidak ada efek terhadap janin
dalam rahim akan tetapi belum pernah terbukti pada manusia. Obat golongan ini bila diperlukan
dapat diberikan pada ibu hamil (Penicillin).

C : Obat yang pernah diujikan pada binatang atau manusia akan tetapi dengan hasil yang kurang
memadai. Meskipun sudah di ujikan pada binatang terbukti ada efek terhadap janin akan tetapi
pada manusia belum ada bukti yang kuat . obat golongan ini boleh diberikan pada ibu hamil
apabila keuntungannya lebih besar dibanding efeknya terhadap janin (Kloramfenicol,
Rifampisin, PAS, INH)

D : Obat yang sudah dibuktikan mempunyai risiko terhadap janin manusia. Obat golongan ini
tidak dianjurkan untuk dikonsumsi ibu hamil. Terpaksa diberikan apabila dipertimbangkan untuk
menyelamatkan jiwa ibu (Streptomisin, Tetrasiklin, Kanamisin).

X: Obat yang sudah jelas terbukti ada risiko pada janin manusia dan kerugian dari obat ini
jauh lebih besar daripada manfaatnya bila diberikan pada ibu hamil, sehingga tidak dibenarkan
untuk diberikan pada ibu hamil atau yang tersangka hamil.
KATEGORI OBAT PADA IBU HAMIL MENURUT FDA

Kategori A : Adalah obat-obat yang telah banyak digunakan oleh wanita hamil tanpa disertai
kenaikan frekuensi malformasi janin atau pengaruh buruk lainnya.

Contoh : Parasetamol, Penisilin, Eritromisin, Glikosida jantung, Isoniazid serta bahan-bahan


hemopoetik seperti besi dan asam folat.

Kategori B : Meliputi obat-obat yang pengalaman pemakainya pada wanita hamil masih
terbatas, tetapi tidak terbukti meningkatkan frekuensi malformasi atau pengaruh buruk lainnya
pada janin.

B1 : Dari penelitian pada hewan tidak terbukti meningkatnya kejadian kerusakan janin (fetal
damage). Contoh : Simetidin, Dipiridamol, dan Spektinomisin.

B2 : Data dari penilitian pada hewan belum memadai, tetapi ada petunjuk tidak meningkatnya
kejadian kerusakan janin. Contoh : Ikarsilin, Amfoterisin, Dopamin, Asetilkistein, dan Alkaloid
Belladonna.

B3 : Penelitian pada hewan menunjukkan peningkatan kejadian kerusakan janin, tetapi belum
tentu bermakna pada manusia. Contoh : Karbamazepin, Pirimetamin, Griseofulvin,
Trimetoprim, dan Mebendazol.

Kategori C : Merupakan obat-obat yang dapat memberi pengaruh buruk pada janin tanpa disertai
malformasi anatomik semata-mata karena efek farmakologiknya. Umumnya bersifat reversibel
(membaik kembali).

Contoh : Analgetik-narkotik, Fenotiazin, Rifampisin, Aspirin, Antiinflamasi non-steroid dan


Diuretika.
Kategori D : Obat-obat yang terbukti menyebabkan meningkatnya kejadian malformasi janin
pada manusia atau menyebabkan kerusakan janin yang bersifat ireversibel (tidak dapat membaik
kembali). Obat-obat dalam kategori ini juga mempunyai efek farmakologik yang merugikan
terhadap janin.

Contoh : Androgen, Fenitoin, Pirimidon, Fenobarbiton, Kinin, Klonazepam, Valproat, Steroid


Anabolik, dan Antikoagulansia.

Kategori X : Obat-obat yang masuk dalam kategori ini adalah yang telah terbukti mempunyai
resiko tinggi terjadinya pengaruh buruk yang menetap (irreversibel) pada janin jika diminum
pada masa kehamilan. Obat dalam kategori ini merupakan kontraindikasi mutlak selama
kehamilan.

Contoh : Isotretionin dan Dietilstilbestrol.

Interaksi obat dengan zat gizi

Selain risiko teratogenik dari pemberian obat selam kehamilan, interaksi obat dan
makana dapat berkontribusi untuk hasil yang merugikan untuk ibu dan janin. Adanya hubungan
antara ibu dan janin, gizi yang cukup dan pemberian obat memiliki dampak yang sangat
signifikan terhadap hasil kehamilan. Namun, efek daari rendahnya asupan zat gizi mikro tertentu
tidak selalu tepat. Ketika obat yang diberikan untuk wanita hamil, resikonya pada zat tertentu
dapat mengakibatkan defisiensi pada wanita, dimana bisa memberikan efek teratogenik pada
janin. Kegagalan interaksi antara obat dan makanan dapat mempengaruhi ibu dan janin pada
kegagalan pengobatan, toksisitas atau reaksi yang merugikan yang mengancam jiwa. Misalnya,
seorang wanita hamil yang menerima fenition untuk gangguan kejang harus disarankan
mengenai potensi efek teratogeniknya. Selain itu, pasien harus diberitahu tentang interaksi obat
dan makanan yatitu antara fenition dan asam folat yang meningkatkan risiko kekurangan asam
folat dan kebutuhan untuk suplementasi. Interaksi antara obat dan makanan dapat terjadi atau
tidak pada wanita hamil. Namun, banyak karakteristik dari kehamilan normal, seperti yang
tercantum dalam table, yang meningkatkan risiko dari interaksi obat dan makanan.
Ciri-ciri Clinical implication

Meningkatkan kebutuhan gizi Potensi deplesi cadangan nutrisi ibu


Mual, muntah, ngidam atau tidak menyukai Mengubah pola makanan yang menyebabkan
makanan deplesi nutrisi
Perubahan komposisi tubuh, meningkatkan Mengubah volume dan distribusi obat
BB, total cairan dalam tubuh dan simpanan
lemak
Menurunkan konsentrasi protein plasma Potensi mengubah level dan ikatan protein
pada obat
Menunda pengosongan lambung Mengubah tingkat absorpsi obat dan zat gizi
Mengubah aktivitas metabolism hati Variasi enzim yang memicu perubahan
metabolism obat

Pertimbangan gizi selama hamil

Kebutuhan gizi selama kehamilan ditentukan oleh persyaratan pertumbuhan ibu dan janin.
Kelangsungan hidup janin berhubungan dengan berat lahir, yang sebagian besar tergantung pada
nutrisi ibu yang memadai. RDA untuk sebagian besar nutrisi yang dibutuhkan selama kehamian
telah ditetapkan. Kehamilan meningkatkan kebutuhan energy sehari hari dengan 300 kkal pada
trimester kedua dan ketiga. Konsumsi makronutrien yang mengalami meliputi karbohidrat,
protein, dan lemak, begitupun kebutuhan makronutrien yang mengalami peningkatan.ketika
konsumsi zat gizi kurang, konsekuensi yang merugikan dan tidak keseimbangan nutrisi selama
kehamilan tercantum dalam table. Ibu hamil juga harus menghindari suplemen mega-vitamin
selama kehamilan. Ada juga resiko yang terikat dengan vitamin yang berlebihan dan pemberian
vitamin.
Pertimbangan zat gizi Asam Folat :

Asupan asam folat cukup penting sebelum kehamilan serta trimester pertama

Selama kehamilan, kebutuhan folat meningkat pada ibu dan proliferasi sel janin, folat yang
dibutuhkan lebih tinggi dan berisiko kekurangan yang lebih besar

Defisiensi folat dapat menyebabkan anemia megaloblastik pada ibu. Selain itu kekurangan folat
pada ibu dapat menyebabkan cacat saraf janin, prematuritas, absorsi spontan, dan berat lahir
janin rendah.

Suplementasi asam folat mengurangi resiko cacat janin. Suplementasi 0,4 mg per hari dianjurkan
sebelum konsepsi sampai trimester pertama. Dosis lebih tinggi secara signifikan yang
direkomendasikan untuk pasien yang memliki kehamilan beresiko bayi cacat saraf dan wanita
yang mengonsumsi obat anti-epilepsy. Direkomendasikan sebanyak 4-5 mg per hari.
Pertimbangan gizi khusus zat besi

Kekurangan selama trimester pertama dapat mengakibatkan isiden yang lebih tinggid dari bayi
berat badan rendah. Dalam trimester 3, ibu mungkin tidak dapat mentolerir pendarahan selama
persalinan danlebih rentan terhadap infeksi. Suatu RDA zat besi rata-rata wanita dewasa adalah
18 mg perhari.

Dengan pentignya menjaga asupan zat besi yang memadai selama kehamilan, potensi DNIS
harus dipantau. Misalnya pemberian antasida dapat menghamabat penyerapan zat besi. Jika obat
dimulai yang berinteraksi dengan besi, penyesuaian dosis obat atau zat besi mungkin diperlukan.
INTERSKSI OBAT DAN MAKANAN PADA MASA MENYUSUI

Tata kehidupan modern pada dasarnya ingin meningkatkan harkat hidup manusia ke taraf yang
lebih baik. Hal ini juga mempengaruhi kebiasaan ibu menyusui yang sudah semakin bijak dalam
memilih jalan terbaik dalam memberikan ASI pada bayi. Namun sejalan dengan arus
modernisasi, juga diperkenalkan berbagai bahan baru & menarik, misalnya obat-obatan yang
mana tanpa terkecuali termasuk ibu yang sedang menyusui, tidak dapat menghindarkan diri dari
penggunaan obat ini. Penggunaan / pemberian obat pada masa menyusui memungkinkan risiko
yang ditimbulkan pada bayi oleh obat  yang terdapat dalam air susu. Oleh karena itu perlu
diketahui bagaimana pengaruh penggunaan obat dalam masa menyusui.

FARMAKOKINETIK  OBAT PADA IBU

Proses Farmakokinetik adalah proses yang menentukan cepat, konsentrasi, dan lamanya obat
terdapat di dalam “target organ”. Proses farmakokinetik terbagi atas 3 komponen, yaitu :
absorpsi, distribusi, dan eliminasi.

EKSKRESI OBAT KE DALAM ASI

Ada 4 mekanisme penting obat dapat sampai (permeasi) ke dalam ASI, yaitu :

1.    Difusi Pasif

Berlangsung berdasarkan perbedaan konsentrasi pada kedua sisi barier, berupa cairan atau
lemak. Difusi terjadi melalui pori-pori kecil pada membran sel, menyebabkan hanya dapat dilalui
oleh molekul-molekul kecil saja, seperti metanol. Kecuali pada pembuluh darah kapiler dan
limfe yang memiliki pori-pori cukup besar sehingga dapat dilalui oleh molekul yang cukup
besar. Obat larut dalam air melewati barier cairan, sedangkan obat larut lemak melewati
membran yang terdiri dari lipid.

2.    Difusi dg bantuan karier khusus

Yang bertindak sebagai karier adalah enzim – enzim atau protein tertentu. Terjadi melalui
perbedaan konsentrasi atau konsentrasi yg sama pada kedua sisi barier. Lebih menentukan
perbedaan aktifitas kimia suatu bahan pada kedua sisi barier. Bahan yg berdifusi dg cairan ini
umumnya mudah larut dalam air, tetapi terlalu besar untuk melalui pori – pori dari membran.

3.    Difusi aktif
 Memerlukan energi untuk transpor, karena menuju daerah dg konsentrasi tinggi. Menggunakan
energi untuk pasasi dari glukosa, asam amino, kalsium, magnesium, dan natrium.

4.    Pinositosis atau kebalikannya

Pada pinositosis, obat melekat pada dinding sel, kemudian mengalami invaginasi atau evaginasi.
Dinding sel & obat memisahkan diri, sehingga obat dapat masuk atau keluar sel. Pinositosis
menggunakan molekul yang sangat besar & protein tidak berdifusi secara pasif, aktif, atau
dengan bantuan karier. pH lingkungan & derajat ionisasi obat, sifat obat basa atau lemah, tingkat
kelarutan, menentukan kesanggupan difusi yang berbeda.

PROSES FARMAKOKINETIS PADA BAYI

Proses farmakokinetik pada bayi pada dasarnya sama dengan proses farmakokinetik pada orang
dewasa dengan beberapa perbedaan – perbedaan yang disebabkan oleh immaturitas organ –
organ yang membawa berbagai perbedaan fungsional.

ABSORBSI OBAT PADA BAYI

Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam peristiwa absorpsi obat pada bayi, yaitu :

1.    Aliran darah pada tempat pemberian obat

Masa otot yang kecil serta aliran darah mudah terganggu akan menyebabkan obat yang diberikan
tetap tinggal pada tempat pemberian, karena tidak atau sedikit sekali yang mengalami absorpsi.

2.    Fungsi gastrointestinal bayi

Dalam 24 jam pertama setelah lahir terjadi peningkatan keasaman lambung yang tajam, sehingga
obat yang tidak tahan asam mudah mengalami kerusakan.Waktu pengosongan lambung bayi
yang lambat (6-8jam), menyebabkan obat yang diserap di lambung, hampir seluruhnya akan
diserap. Sedangkan yang diserap di usus halus, penyerapan lebih lambat dari seharusnya.
Peristaltik usus pada bayi tidak teratur / lambat, mengakibatkan absorpsi obat meningkat
Peristaltik usus meningkat, mengakibatkan absorpsi menurun.

DISTRIBUSI OBAT PADA BAYI

Volume cairan tubuh sangat menentukan distribusi obat, terutama cairan ekstraseluler. Cadangan
cairan pada bayi normal 75%, dan bayi prematur 87%. Di samping cairan tubuh, cairan lemak
bayi normal 15%, dan bayi prematur 1%. Hal ini menyebabkan bayi prematur hanya dapat
menyimpan obat yang mudah larut lemak dari pada bayi normal (genap bulan).

METABOLISME OBAT PADA BAYI

Metabolisme obat sebagian besar terjadi dalam hepar. Pada bayi fungsi metabolime ini masih
rendah karena antifitas enzim hepar juga masih rendah. Semakin tua usia bayi, maka makin
matur fungsi hepar. Oleh karena itu, dosis obat yang diberikan harus disesuaikan dengan kondisi
ini.

EKSKRESI OBAT PADA BAYI

Filtrasi Glomerulus berperan dalam eksresi obat. Daya filtrasi pada bayi semakin meningkat
pada usia 6-12 bulan mencapai filtrasi orang dewasa.  Pada anak yang sakit, fungsi filtrasi
berkembang lebih lambat dari seharusnya hingga pengaturan dosis dan jangka waktu pemberian
obat akan menjadi lebih sulit.

PEMBERIAN OBAT DALAM MASA LAKTASI

Secara umum, sebagian besar obat dapat disekresikan melalui air susu ibu, tetapi dalam jumlah
kecil hingga jumlah yang diterima bayi dalam sehari umumnya masih lebih rendah dosis
terapeutiknya. Walaupun demikian, obat yang diberikan kepada ibu hendaknya dipilih yang
relatif aman, serta diberikan paling lambat 30-60 menit setelah menyusui atau 3-4 jam sebelum
ibu menyusui yang berikutnya, agar diperoleh ekskresi dalam air susu yang terendah.
 

OBAT YANG TIDAK BERPENGARUH PADA BAYI / BOLEH DIGUNAKAN

1. Antikoagulan – warfarin
2. Sulfonamide, kecuali pd bayi dg defisiensi G-6-PD.
3. Antimalaria ; pirimetamin, dapson, sulfadoksin.
4. Metronidazol
5. Antiinflamasi
6. Aspirin dosis rendah
7. Antikonvulsan ; natrium valproat, karbamazepin, etosuksimid.
8. Labelatol, verapamil, hidralazin.
9. Antibiotika.

OBAT YANG TIDAK BOLEH DIGUNAKAN

Antikoagulan ; fenindion & etilbiskumasetat, menyebabkan kekurangan protrombin pd bayi.

1. Tetrasiklin & aminoglikosida, menyebabkan pewarnaan gigi, gangguan pertumbuhan


tulang, flora usus bayi.
2. Kloramfenikol, toksisitas pd bayi.
3. Penisilin, menyebabkan anafilaksis.
4. Ampisilin, menyebabkan diare & kandidiasis pd bayi.
5. Antituberkulosis ; INH, menyebabkan defisiensi piridoksin pd bayi.
6. Siklofosfamid, metotreksat, & obat antineoplastik/imunosupresif,  kontraindikasi dlm
masa menyusui.
7. Aspirin dosis tinggi, mempengaruhi trombosit bayi.
8. Barbiturat, diazepam, antihistaminika menimbulkan gejala depresi pd bayi.
9. Primidon, menimbulkan depresi susunan saraf pusat pd bayi.
10. Heroin dosis tinggi, menyebabkan koma pd bayi.
11. Petidin, mengganggu susunan saraf pusat.
12. Amitriptilin & nortriptilin, efek farmakologik pd bayi.
13. Klorpromazin, menyebabkan pusing & letargi pd bayi.
14. Alkohol, menyebabkan depresi susunan saraf pusat.
15. Teofilin, menyebabkan iritabilitas pd bayi.
16. Estrogen dosis tinggi, menyebabkan penurunan produksi air susu, poliferasi dan
epitel   vagina pd bayi perempuan & ginekomastia pd bayi laki-laki.
17. Antiaritmia & amiodaron, menyebabkan brakardia pd bayi.
18. Alkaloid ergot, menimbulkan gejala intoksikasi ergot.
19. Derivat antrakinon & fenoltalein, menyebabkan diare pd bayi.

Ringkasan dari pertimbangan interaksi pada saat menyusui

Seorang ibu yang sedang menyusui harus berhenti menyusui saat mengonsumsi obat, karena
dalam beberapa kasus hal tersebut tidak aman. Bagi bayi adalah obat. Sehingga ibu harus
memastiakn bayi dapat menerima susunya. Sejumlah besar obat yang digunakan selama
menyusui dan interaksi potensial dalam hal produksi susu, komponen gizi susu, biovailabilitas
obat dihadapan ASI, dan penggunaan obat pada bayi.
INTERSKSI OBAT DAN MAKANAN PADA LANSIA

Keberhasilan pembangunan menyebabkan peningkatan usia harapan hidup penduduk


di Indonesia sehingga terjadi pertumbuhan jumlah penduduk usia lanjut. Batasan lansia menurut
WHO meliputi usia lanjut (elderly) antara 60–74 tahun, dan usia lanjut tua (old) antara 75–90
tahun, serta usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.Berdasarkan Undangundang Nomor 13
Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud dengan usia lanjut adalah
penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.Peningkatan pada usia harapan hidup ini
menimbulkan konsekuensi yang logis, yaitu terjadinya masalah kesehatan yang potensial pada
seseorang dengan usia lanjut. Proses menua berdampak pada penurunan fungsi organ sehingga
dapat menimbulkan berbagai masalah pada kesehatan diantaranya para lansia rentan terhadap
faktor risiko penyakitpenyakit metabolik, antara lain hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia,
dan obesitas.Prevalensi penyakit metabolik meningkat dengan bertambahnya usia.

Seorang praktisi medik dalam praktiknya sehari-hari sering dihadapkan pada berbagai
masalah pengobatan yang kadang memerlukan pertimbangan khusus misalnya pada pasien usia
lanjut. Pertimbangan pemberian obat pada usia lanjut tidak saja diambil berdasarkan ketentuan
dewasa tapi perlu beberapa penyesuaian seperti dosis dan perhatian lebih besar terhadap
kemungkinan efek samping karena adanya perbedaan fungsi organ-organ tubuh dan lebih
rentannya usia lanjut terhadap efek samping/efek toksik obat (Ismayadi, 2004) termasuk infeksi)
dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Boedi, 2006) Pemberian obat atau terapi untuk kaum
lansia, memang banyak masalahnya, karena beberapa obat sering beinteraksi. Kondisi patologi
pada golongan usia lanjut, cenderung membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak obat
dibandingkan dengan pasien yang lebih muda sehingga memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami efek samping dan interaksi obat yang merugikan (Anonim, 2004).

A. Pengaruh pemberian obat pada usia lanjut

1. Farmakokinetik

Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga mengubah absorbsi
obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya aliran darah ke usus akibat
penurunan curah jantung dan perubahan waktu pengosongan lambung dan gerak saluran
cerna. Oleh karena itu, kecepatan dan tingkat absorbsi obat tidak berubah pada usia
lanjut, kecuali pada beberapa obat seperti fenotain, barbiturat, dan prozasin (Bustami,
2001).

Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam cairan tubuh
dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin, tetapi pada beberapa
obat dengan protein lain seperti asam alfa 1 protein), dengan sel darah merah dan
jaringan tubuh termasuk organ target. Pada usia lanjut terdapat penurunan yang berarti
pada massa tubuh tanpa lemak dan cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh dan
penurunan albumin plasma. Penurunan albumin sedikit sekali terjadi pada lansia yang
sehat dapat lebih menjadi berarti bila terjadi pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau
sangat lemah. Selain itu juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat bebas dan
aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat efek obat lebih nyata tetapi
eliminasi lebih cepat.

Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecapatan penyerapan dan cara
penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak dipengaruhi oleh
kecepatan ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati yang biasanya membuat obat
menjadi lebih larut dalam air dan menjadi metabolit yang kurang aktif atau dengan
ekskresi metabolitnya oleh ginjal. Sejumlah obat sangat mudah diekskresi oleh hati,
antara lain melalui ambilan (uptake) oleh reseptor dihati dan melalui metabolisme
sehingga bersihannya tergantung pada kecepatan pengiriman ke hati oleh darah. Pada
usia lanjut, penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan pengurangan ekskresi
obat yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan propanolol.

Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat. Umumnya obat
diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan kecepatan ekskresinya
berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh karena itu berhubungan juga dengan
bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan antibiotik golongan aminoglikosida. Pada usia
lanjut, fungsi ginjal berkurang, begitu juga dengan aliran darah ke ginjal sehingga
kecepatan filtrasi glomerolus berkurang sekitar 30 % dibandingkan pada orang yang lebih
muda. Akan tetapi, kisarannya cukup lebar dan banyak lansia yang fungsi glomerolusnya
tetap normal. Fungsi tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat
semacam penicilin dan litium, yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami
penurunan faali glomerolus dan tubulus (Bustami, 2001).

2. Farmakodinamik

Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Respon seluler pada lansia
secara keseluruhan akan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada respon
homeostatik yang berlangsung secara fisiologis. Pada umumnya obat-obat yang cara
kerjanya merangsang proses biokimia selular, intensitas pengaruhnya akan menurun
misalnya agonis untuk terapi asma bronkial diperlukan dosis yang lebih besar, padahal
jika dosisnya besar maka efek sampingnya akan besar juga sehingga index terapi obat
menurun. Sedangkan obat-obat yang kerjanya menghambat proses biokimia seluler,
pengaruhnya akan terlihat bila mekanisme regulasi homeostatismelemah(Boedi2006).

B. Obat yang sering diresepkan dokter pada usia lanjut dan pertimbangan
pemakaiannya

Obat-obat kardiovaskuler yakni :

1. Hipertensi Pada Lansia

Tekanan darah tinggi biasa ditemui pada pasien yang sudah berusia lanjut (lansia). Hal ini
erat hubungannya dengan proses menua pada seseorang. Di sini terjadi perubahan berupa
berkurangnya elastisitas pembuluh darah, sehingga terjadi kekakuan pembuluh darah.
Keadaan ini diperberat dengan terjadinya penimbunan lemak di lapisan dalam pembuluh
darah. Ini karena terjadinya pengapuran pada dinding pembuluh darah bagian dalam.
Tekanan darah tinggi pada orang lansia yang sering tampak adalah bagian sistol, atau
yang terekam paling atas dari alat pengukur tekanan darah.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan darah tinggi pada lansia

1. Terjadi pengerasan pembuluh darah, khususnya pembuluh nadi (arterial). Hal ini
disertai pengurangan elastisitas dari otot jantung (miokard).
2. Sensitivitas baroreseptor pada pembuluh darah berkurang karena rigiditas pembuluh
arteri. Akibatnya pembuluh darah tidak dapat berfluktuasi dengan segera sesuai
dengan perubahan curah jantung.

3. Selain itu fungsi ginjal juga sudah menurun. Ginjal dalam keadaan normal juga
berperan pada pengaturan tekanan darah, yaitu lewat sistem renin-angiotensin-
aldosteron. Jika tekanan darah sistemik turun, ginjal menghasilkan renin lebih banyak
untuk mengubah angiotensinogen (angiotensin I) menjadi angiotensin II, zat yang
dapat menimbulkan vasokonstriksi pada pembuluh darah. Akibatnya tekanan darah
akan meningkat. Pada lansia, regulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron sudah
kurang baik.

Tidak ada batasan khusus tekanan darah dikatakan tinggi pada lansia. Batasan tekanan
darah untuk lansia sama dengan untuk orang dewasa (di atas 18 tahun). Pada bagan
berikut dapat dilihat batasan tekanan darah yang disebut hipertensi dan bukan pada
dewasa berusia di atas 18 tahun, menurut JNC VII (2003), dan perubahannya
dibandingkan dengan JNC VI.

Hipertensi pada lanjut usia sebagian besar merupakan hipertensi sistolik terisolasi
(HST), dan pada umumnya merupakan hipertensi primer. Adanya hipertensi, baik HST
maupun kombinasi sistolik dan diastolik merupakan faktor risiko morbiditas dan
mortalitas untuk orang lanjut usia.

Lansia tetap perlu mendapat obat hipertensi apabila tekanan darahnya


tinggi.Adapun sasaran tekanan darah yang diharapkan pada kasus hipertensi persisten
adalah 150/80 mmHg. Obat yang dianjurkan adalah indapamid (golongan diuretik tiazid)
lepas lambat (1.5 mg) dan/atau perindopril (golongan ACE-inhibitor) 2-4 mg.

Mengapa yang dipilih adalah dua obat ini? Diuretik tiazid yang umum yaitu HCT
(hidroklorotiazid), terkenal sering menyebabkan gangguan keseimbangan kalium
(potasium), yaitu hipokalemia. Hal ini dapat menyebabkan aritmia fatal pada lansia.
Kombinasinya dengan ACE-inhibitor dapat menetralkan efek hipokalemia ini, karena
ACE-inhibitor dapat menghambat ekskresi ion kalium. Indapamid juga tidak
menyebabkan hiperglikemia dan hiperlipidemia, seperti halnya HCT.

PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PADA PENDERITA LANJUT USIA

Banyak penelitian menunjukkan bahwa pentingnya terapi hipertensi pada lanjut usia; dimana
terjadi penurunan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskuler dan serebrovaskuler.
Sebelum diberikan pengobatan, pemeriksaan tekanan darah pada lanjut usia hendaknya dengan
perhatian khusus, mengingat beberapa orang lanjut usia menunjukkan pseudohipertensi
(pembacaan spigmomanometer tinggi palsu) akibat kekakuan pembuluh darah yang berat.
Khususnya pada perempuan sering ditemukan hipertensi jas putih dan sangat bervariasinya TDS.

a) Sasaran tekanan darah Pada hipertensi lanjut usia,


penurunan TDD hendaknya mempertimbangkan aliran darah ke otak, jantung dan ginjal.
Sasaran yang diajukan pada JNCVI dimana pengendalian tekanan darah (TDS< 160 mmHg
sebagai sasaran intermediet tekanan darah, atau penurunan sebanyak 20 mmHg dari tekanan
darah awal.
b) Modifikasi pola hidup Mengubah pola hidup/intervensi nonfarmakologis pada
penderita hipertensi lanjut usia, seperti halnya pada semua penderita, sangat
menguntungkan untuk menurunkan tekanan darah. Beberapa pola hidup yang harus
diperbaiki adalah : menurunkan berat badan jika ada kegemukan, mengurangi minum
alcohol, meningkatkan aktivitas fisik aerobik, mengurangi asupan garam,
mempertahankan asupan kalium yang adekuat, mempertahankan asupan kalsium dan
magnesium yang adekuat, menghentikan merokok, mengurangi asupan lemak jenuh
dan kolesterol. 1,4,15 Seperti halnya pada orang yang lebih muda, intervensi
nonfarmakologis ini harus dimulai sebelum menggunakan obat-obatan.
c) Terapi farmakologis
Umur dan adanya penyakit merupakan faktor yang akan mempengaruhi metabolisme
dan distribusi obat, karenanya harus dipertimbangkan dalam memberikan obat
antihipertensi. Hendaknya pemberian obat dimulai dengan dosis kecil dan kemudian
ditingkatkan secara perlahan. Menurut JNC VI pilihan pertama untuk pengobatan
pada penderita hipertensi lanjut usia adalah diuretic atau penyekat beta. Pada HST,
direkomendasikan penggunaan diuretic dan antagonis kalsium. Antagonis kalsium
nikardipin dan diuretic tiazid sama dalam menurunkan angka kejadian
kardiovaskuler. Adanya penyakit penyerta lainnya akan menjadi pertimbangan dalam
pemilihan obat antihipertensi. Pada penderita dengan penyakit jantung koroner,
penyekat beta mungkin sangat bermanfaat; namun demikian terbatas penggunaannya
pada keadaan-keadaan seperti penyakit arteri tepi, gagal jantung/ kelainan bronkus
obstruktif. Pada penderita hipertensi dengan gangguan fungsi jantung dan gagal
jantung kongestif, diuretik, penghambat ACE (angiotensin convening enzyme) atau
kombinasi keduanya merupakan ptlihan terbaik. enatalaksanaan Hipertensi pada
Lanjut Usia R.A. Tuty Kuswardhani 139 Obat-obatan yang menyebabkan perubahan
tekanan darah postural (penyekat adrenergik perifer, penyekat alfa dan diuretik dosis
tinggi) atau obatobatan yang dapat menyebabkan disfungsi kognitif (agonis α 2
sentral) harus diberikan dengan hati-hati.' Karena pada lanjut usia sering ditemukan
penyakit lain dan pemberian lebih dari satu jenis obat, maka perlu diperhatikan
adanya interaksi obat antara antihipertensi dengan obat lainnya. Obat yang potensial
memberikan efek antihipertensi misalnya : obat anti psikotik tcrutama fenotiazin,
antidepresan khususnya trisiklik, L-dopa, benzodiapezin, baklofen dan alkohol. Obat
yang memberikan efek antagonis antihipertensi adalah: kortikosteroid dan obat
antiinflamasi nonsteroid. Interaksi yang menyebabkan toksisitas adalah: (a) tiazid:
teofilin meningkatkan risiko hipokalemia, lithium risiko toksisitas meningkat,
karbamazepin risiko hiponatremia menurun; (b) Penyekat beta: verapamil
menyebabkan bradikardia, asistole, hipotensi, gagal jantung; digoksin memperberat
bradikardia, obat hipoglikemik oral meningkatkan efek hipoglikemia, menutupi tanda
peringatan hipoglikemia. 2 Dosis beberapa obat diuretic penyekat beta, penghambat
ACE, penyekat kanal kalsium, dan penyakat alfa yang dianjurkan pda penderita
hipertensi pada lanjut usia adalah sebagai berikut. 15 Dosis obatobat diuretic
(mg/hari) msialnya: bendrofluazid 1,25- 2,5, klortiazid 500-100, klortalidon 25-50,
hidroklortiazid 12,5-25, dan indapamid SR 1,5. Dosis obat-oabat penyekat beta yang
direkomendasikan adalah: asebutolol 400 mg sekali atau dua kali sehari, atenolol 50
mg sekali sehari, bisoprolol 10-20 mg sekali sehari, celiprolol 200-400 mg sekali
sehari, metoprolol 100-2000 mg sekali sehari, oksprenolol 180-120 mg dua kali
sehari, dan pindolol 15-45 mg sekali sehari. Dosis obat-obat penghambat ACE yang
direkomendasikan adalah: kaptopril 6,25-50 mg tiga kali sehari, lisinopril 2,5-40 mg
sekali sehari, perindropil 2-8 mg sekali sehari, quinapril 2,5-40 mg sekali sehari,
ramipril 1,25-10 mg sekali sehari. Dosis obat-obat penyakat kanal kalsium yang
dianjurkan adalah: amlodipin 5-10 mg sekali sehari, diltiazem 200 mg sekai sehari,
felodipin 5-20 mg sekali sehari, nikardipin 30 mg dua kali sehari, nifedipin 30-60 mg
sekali sehari, verapamil 120-240 mg dua kali sehari. Dosis obat-obat penyakat alfa
yang dianjurkan adalah; doksazosin 1-16 mg sekali sehari, dan prazosin 0,5 mg
sehari sampai 10 mg dua kali sehari.

Kesimpulan
1. Hanya obat yang sangat diperlukan saja yang boleh diberikan pada ibu
menyusui. Bila usia bayi kurang dari 1 bulan, atau bayi lahir prematur,
pemberian obat pada ibu sedapat mungkin dihindari. Keputusan untuk
memberikan atau tidak memberikan obat sangat tergantung pada klinikus,
dengan mempertimbangkan keuntungan pengobatan dan dampak kerugian
pada bayi.
2. Potensi interasi obat dengan makanan harus dipertimbangkan bagi wanita
hamil atau menyusui. Hal ini sangat penting bagi mereka dengan status gizi
yang berada dibatas bawah atau membutuhkan beberapa obat. Pengaruh
masing-masing obat pada janin atau bayi menyusui harus dievalusasi sebelu
diberikan
3. Penatalaksanaan hipertensi pada lanjut usia, pada prinsipnya tidak berbeda
dengan hipertensi pada umumnya; yaitu terdiri dari modifikasi pola hidup dan
bila diperlukan dilanjutkan dengan pemberian obatobat antihipertensi. Obat
yang umum digunakan adalah diuretic dan antagonis kalsium, dengan prinsip
dosis awal yang kecil dan ditingkatkan secara perlahan. Sasaran tekanan
darah yang ingin dicapai adalah tekanan darah sistolik 140 dan diastolic 90
mmHg

DAFTAR PUSTAKA

Eva S. Dasopang ,Urip Harahap,Dharma Lindarto. Polifarmasi dan Interaksi Obat Pasien Usia Lanjut
Rawat Jalan dengan Penyakit Metabolik. 2015. file:///C:/Users/ASUS/Downloads/Polifarmasi%20dan
%20Interaksi%20Obat%20Pasien%20Usia%20Lanjut%20Rawat%20Jalan%20dengan.pdf

Merliana nur indah dkk,Pertimbangan interaksi obat dan zat gizi pada kehamilan dan menyusui.
https://www.academia.edu/35259133/Pertimbangan_Interaksi_Obat_dan_Zat_Gizi_pada_Kehamilan_d
an_Menyusui.

Inova gusmelia.2012., Pengaruh Penggunaan Obat dalam Masa Menyusui.


https://www.sarihusada.co.id/Nutrisi-Untuk-Bangsa/Kehamilan-dan-Menyusui/Menyusui/Pengaruh-
Penggunaan-Obat-dalam-Masa-Menyusui

RA Tuty Kuswardhani., PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PADA LANJUT US1A.,


file:///C:/Users/ASUS/Downloads/3757-1-5369-1-10-20121126%20(1).pdf
1. Pada ibu menyusui tidak boleh sembarangan mengonsumsi obat dan ada obat yang boleh
dikonsumsi untuk ibu hamil yaitu
a) Antiinflamasi
b) Kloramfenikol
c) Penisilin
d) Ampisilin

2. Pada ibu menyusui tidak boleh sembarangan mengonsumsi obat dan ada obat yang tidak boleh
dikonsumsi untuk ibu hamil yaitu
a) Antimalaria
b) Metronidazol
c) Kloramfenikol
d) Antiinflamasi

3. Apa saja pertimbangan ibu hamil saat mengonsumsi obat pada masa kehamilan ?
a) Asam folat
b) Keseimbangan zat gizi
c) Zat besi
d) Semua benar

4. Beberapa katagori obat yang boleh dikonsumsi selama hamil adalah katagori
a) Katagori X
b) Katagori A
c) Katagori D
d) Katagori B3

5. Pengaruh pemberian obat pada lansia adalah


a) Kerusakan ginjal
b) Kerusakan hati
c) Semua benar
d) Peningkatan PH lambung

Anda mungkin juga menyukai