Oleh :
2
konflik antar nelayan telah terjadi sejak lama dan makin marak akhir-akhir ini, terutama setelah lahirnya Undang-Undang No.
22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah (yang kini sudah direvisi menjadi UU No.32/2004). Dalam Undang-Undang
tersebut telah diatur bahwa Pemerintah Propinsi memiliki kewenangan pengelolaan wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai
ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan, sedangkan Pemerintah Kota/Kabupaten berhak mengelola sepertiganya
atau sejauh 4 mil.. Namun demikian, karena operasionalisasi desentralisasi pengelolaan wilayah laut belum tergambar secara
jelas maka timbul penafsiran yang berbeda-beda baik di kalangan Pemerintah Daerah maupun nelayan. Gejala ini terlihat dari
adanya beberapa Pemerintah Daerah yang mengeluarkan perizinan di bidang penangkapan ikan yang diluar kewenangannya.
Sementara itu, sebagian kalangan nelayan menafsirkan otonomi daerah dalam bentuk pengkavlingan laut, yang berarti suatu
komunitas nelayan tertentu berhak atas wilayah laut tertentu dalam batas kewenangan daerahnya, baik dalam pengertian hak
kepemilikan (property rights) maupun pemanfaatan (economic rights).Fenomena ini menyulut timbulnya konflik antara nelayan
di beberapa daerah (Ditjen Perikanan Tangkap, 2002. Bahan Dialog Dirjen Perikanan Tangkap denganSub Komisi Kelautan
dan Perikanan DPR-RI. DKP).
.
Oleh karena itu, apa yang dikatakan Sajogyo (1982), sebagai
“modernisation without development” dapat terpahami, karena kapitalisasi
perikanan yang diarahkan kepada peningkatan produksi seringkali hanya
merupakan pertumbuhan ekonomi dan belum dapat dikatakan
pembangunan ekonomi. Karena baik dalam perspektik etic maupun emic
modernisasi perikanan kepentingannya hanya bias kepada yang lebih
memiliki aksesiblitas terhadap modernisasi. Sementara, untuk nelayan kecil
(tradisional) dan sawi(buruh) peningkatan kesejahteraan yang diharapkan
masih jauh dari harapan. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa
implikasi modernisasi kepada nelayan grassroot belum terlihat secara jelas
dan berarti, karena ternyata nelayan kecil diduga tidak memiliki akses pada
modernisasi.