Anda di halaman 1dari 7

PROBLEMATIKA MODERNISASI PERIKANAN

Oleh :

Dr. Andi Adri Arief, S.Pi,M.Si1)

Seiring dengan berlangsungnya program modernisasi perikanan,


pengembangan kelembagaan juga diupayakan melalui pembentukan
kelembagaan ekonomi pedesaan dalam bentuk kelompok tani-nelayan
dan koperasi perikanan (KUD-Mina). Urgensi kehadiran KUD-Mina dan
TPI (Tempat Pelelangan Ikan), selain untuk menyalurkan bantuan mesin
perahu dan alat tangkap modern guna dikredit oleh nelayan, juga untuk
melayani berbagai kebutuhan operasional dan pemasaran hasil
penggunaan bantuan tersebut. Dengan demikian, pelembagaan KUD-
Mina dan TPI merupakan implikasi dari modernisasi perikanan itu
sendiri (Salman, 1997).

Namun, berbagai tuntutan peranan itu ternyata tidak dapat


dipenuhi dengan baik oleh KUD-Mina, bahkan dalam pertumbuhan dan
perkembangannya di akhir 1980-an sebagian besar lembaga ini tidak
bisa bertahan, terutama karena kelemahan managerial dan
penyelewengan pengurus sehingga banyak dana kredit tertunggak
(Lubis, 1992). Akibatnya, pemenuhan kebutuhan operasional dan
pemasaran nelayan kembali diperankan lagi oleh lembaga lama melalui
eksistensi hubungan patronase.

Agaknya modernisasi dalam pengelolaan sumber daya laut belum


seirama dengan peningkatan nasib nelayan. Sebagian besar warga
masyarakat nelayan tradisional di Indonesia masih hidup dalam situasi sosial
dan ekonomi di bawah standar (taraf hidup yang subsisten dan situasi sosial
yang tertinggal). Sebut saja misalnya, paket program penanggulangan
kemiskinan yang digulirkan oleh pemerintah melalui Dirjen Perikanan sejak
Pelita V, sejak tahun 1991/1992 sampai 1997/1998, dengan memberikan
paket bantuan yang meliputi sarana penangkapan (motorisasi dan alat
tangkap) ikan, budidaya, dan pengolahan hasil perikanan di 27 provinsi
sebanyak 14.574 unit dengan nilai investasi Rp. 84,820 milliar dengan
1
.Staf Pengajar Jurusan Perikanan, Program Studi Sosial Ekonomi, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas
Hasanuddin, Makassar.
sistem kredit lunak dengan harapan ada peningkatan kapasitas
penangkapan dan peningkatan keterampilan. Namun dari dana sebesar itu,
baru berhasil dikumpulkan (sampai pada Februari 1998) hanya sebesar Rp.
1,22 milliar sehingga program tersebut tidak dapat dilanjutkan atau
dihentikan (Dirjen Perikanan, 1999 dalamBakrie, 2000). Dalam situasi
seperti ini maka patronase dengan sistem praktek tengkulaknya yang
dianggap sebuah problema menjadi sangat sulit untuk dihapus (diberantas).
Nelayan tradisional melihat bahwa lembaga ini merupakan pilihan satu-
satunya yang dapat menolong meskipun “mencekik” dalam mengatasi
persoalan ketidakadilan struktural yang mereka alami seperti
kesukaranuntuk dapat mengakses sendiri modal dari perbankan karena tidak
adanya jaminan yang dapat diagunkan dan sebagainya.

Selanjutnya, masih kaitan dalam konteks bagaimana mengatasi


kemiskinan nelayan, pemerintahan Orde Reformasi melalui Departemen
Kelautan dan Perikanan kembali melaksanakan beberapa program
pemberdayaan masyarakat nelayan, salah satunya adalah program
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Program ini mulai
dilaksanakan pada tahun 2000. PEMP dijadikan sebagai program unggulan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir secara terencana dan
terstruktur melalui pemberdayaan masyarakat dengan fokus pada
peningkatan lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Program PEMP tahun
2003 di danai melalui program kompensasi pengurangan subsidi bahan
bakar minyak (BBM) dengan sistem pendanaan “block grant" di 126
kabupaten/kota. Selain dana penguatan modal usaha dan bantuan investasi
untuk pengembangan ekonomi masyarakat, program PEMP juga mencakup
pembangunan solar packed dealeruntuk nelayan (SPDN), yang
diperuntukkan khusus bagi nelayan dengan kapal penangkapan ikan
bertonase di bawah 30 gross ton (GT). Namun program ini juga dibayangi
kekhawatiran akan bernasib sama seperti program pemberdayaan ekonomi
rakyat sebelumnya yang telah digulirkan. Hingga kini hasilnya masih belum
seperti yang diharapkan, atau bahkan dapat dikategorikan gagal dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan secara umum, sebagian
nelayan mengaku tidak tahu kalau di daerahnya ada program PEMP, dan di
beberapa daerah tidak semua masyarakat pesisir menerima aliran dana
tersebut, bahkan yang terjadi adalah proyek yang seharusnya untuk
kepentingan rakyat menjadi “proyek” (program yang diobyekkan) yang tidak
mampu memberdayakan, tetapi justru memperdayai masyarakat nelayan
(Kusumastanto, 2004). Hal ini membuktikan bahwa, segala bentuk program
untuk kesejahteraan nelayan grasroot hanya bias kepada kepentingan
segelintir orang atau kelompok saja. Program dalam mengatasi kemiskinan
nelayan selalu mengalami kegagalan demi kegagalan dan faktanya kelompok
yang senantiasa diuntungkan adalah kelompok (pemilik modal) yang diduga
karena adanya faktor kedekatan (jarak sosial) dengan elit lokal yang justru
banyak mengeksploitasi nelayan grassroot (sawi dan nelayan mandiri).
Dalam hal karakteristik, Pollnack (1988) membedakan antara
perikanan tangkap skala besar dan skala kecil. Ciri perikanan skala besar
adalah: (a) diorganisasi dengan cara yang mirip dengan perusahaan
agroindustri di negara-negara maju; (b) secara relatif lebih padat modal; (c)
memberikan pendapatan yang lebih tinggi dari pada perikanan sederhana
baik untuk pemilik maupun awak perahu; (d) menghasilkan untuk ikan
kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor. Sementara itu perikanan
skala kecil lebih beroperasi di daerah pesisir dengan tumpang tindih dengan
kegiatan budidaya. Umumnya mereka bersifat padat karya.

Konteks studi formasi sosial nelayan, pendekatan yang dilakukan


akan berbeda dengan studi pada komunitas petani seperti apa yang
telah dilakukan Kahn (1974). Perbedaan ini disebabkan oleh adanya
perbedaan antara karakteristik nelayan dan petani. Petani menghadapi
situasi ekologi yang dapat dikontrol. Disamping itu menurut Rogers
(1996), petani (peasants) memiliki beberapa karakteristik seperti :
mutual distrust, perceived limited goods, limited view of this world,
limited aspiration. Sedang kondisi nelayan, dihadapkan pada situasi
ekologis yang sulit dikontrol produknya mengingat perikanan tangkap
bersifat open access, sehingga nelayan juga harus berpindah-pindah
dan ada elemen resiko yang harus dihadapi lebih besar (Pollnack,
1988).

Masuknya kapitalisasi perikanan, sedikit banyaknya telah


mempengaruhi karakteristik usaha dan telah berorientasi kepada
perikanan tangkap skala besar. Secara umum kelembagaan kerja dalam
usaha penangkapan ikan pada umumnya dicirikan adanya kegiatan
kelompok. Taryoto (1993) memberikan gambaran umum bahwa, (1)
kegiatan penangkapan ikan merupakan kelompok yang terorganisir,
paling tidak hal ini terjadi pada antar sesama nelayan pekerja dan
antara nelayan pekerja dan pemilik alat dan perahu (capital owner), (2)
antara nelayan pekerja dan pemilik alat terdapat semacam aturan main
yang menyangkut pembagian kerja (dalam kegiatan penangkapan) dan
pembagian hasil tangkapan (sharing production); yang selanjutnya hal
ini bisa disebut sebagai kelembagaan bagi hasil, (3) kelembagaan bagi
hasil tersebut umumnya memiliki kekhasan lokasi, disebabkan oleh
faktor, misalnya moral ekonomi maupun budaya non material. Dengan
demikian kegiatan usaha perikanan merupakan hubungan kerja antar
nelayan dan antara nelayan dan pemilik modal yang terpola dalam
suatu sistem kelembagaan.

Penelitian Arief (2002), menunjukkan bahwa hubungan kerja


antara nelayan, punggawa(pemilik modal) dan pedagang ikan,
menempatkan nelayan merupakan pihak yang paling tidak diuntungkan.
Sementara itu Agusanty (2004), menemukan biasnya keuntungan
kepada juragan atau punggawa laut (pemimpin operasi penangkapan)
dan punggawa darat (pemilik modal) dalam hubungan produksi dengan
nelayan sawi. Penelitian Salman dan Lampe (1993), juga membuktikan
sama bahwa pemilik modal menerima jauh lebih besar dari pada
nelayan yang menjual tenaga kerjanya. Ketidakmerataan bagi-hasil
(sharing production) dalam hubungan produksi menyebabkan sulitnya
nelayan untuk mangakumulasi modal untuk melakukan mobilisasi
secara vertikal begitu juga pelapisan sosial yang terbentuk senantiasa
menempatkan nelayan pekerja dalam posisi paling bawah (upper class)
(Satria, 2001).

Secara umum, kondisi yang dialami oleh nelayan tradisional


hampir sama di semua daerah di Indonesia. Penelitian Nasikun (1996), di
daerah Muncar, Jawa Timur, Elfiandri (2002), di pantai barat, Sumatera Barat
dan Iwan (2002), di daerah Kelurahan Nipah I dan II Kabupaten Tajung
Jabung Jambi, mengungkapkan kesimpulan dengan substansi yang sama
bahwa akibat penetrasi kapitalisme dalam aktivitas nelayan di daerah ini
menyebabkan kelompok nelayan dan buruh nelayan lebih cepat terseret
dalam kemiskinan. Penggunaan teknologi penangkapan ikan yang
mengakibatkan terjadinya perubahan mode of productiondari sistem
tradisional menjadi modern ternyata juga membawa sejumlah persoalan. Hal
ini dikarenakan proses yang terjadi tidak dibarengi oleh pergeseran
hubungan kerja ke arah yang lebih rasional dan saling menguntungkan.
Namun yang berkembang justru pemilik modal (kapal dan teknologi
penangkapan) melalui mekanisme ketergantungan yakni hubungan patron-
clientdengan sistem bagi hasil menikmati pendapatan yang lebih besar dan
menguasai akses pasar. Kelembagaan yang perna ada seperti TPI, asosiasi
nelayan, perkreditan ternyata tidak memenuhi harapan nelayan dan buruh
nelayan sehingga mereka tetap memilih kelembagaan lama yakni hubungan
patronase. Akibatnya, kemiskinan nelayan menjadi permanen (kemiskinan
struktural).

Sementara itu Raymond Firth (1975) menemukan fenomena kelas


pemilik alat-alat untuk penangkapan ikan. Walaupun alat-alat modern dapat
meningkatkan penghasilan secara keseluruhan, namun meningkatnya biaya
modal telah menurunkan penghasilan rata-rata per-angkatan kerja secara
berarti, sehingga nelayan tenaga upahan pendapatannya tergantung dari
banyaknya hasil tangkapan yang sebelumnya dikurangi dengan berbagai
macam biaya yang ditentukan oleh pemilik usaha. Karena itu, nelayan
upahan lagi-lagi dalam posisi yang tidak diuntungkan.

Implikasi modernisasi perikanan ternyata membawa dampak yang


signifikan terhadap penurunan hasil tangkapan nelayan tradisional,
Mubiyarto (1984) membuktikan hal ini melalui hasil penelitiannya di dua
desa pantai di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Tersimpulkan bahwa akibat
beroperasinya kapal-kapal penangkap ikan modern setiap nelayan
mengalami penurunan hasil tangkapan sampai 58 %. Kondisi ini juga dapat
menjadi pemicu terjadinya konflik antar kelompok-kelompok nelayan. Dalam
pandangan Neo-Marsix bahwa semakin kompleksnya struktur sosial dalam
masyarakat akan memunculkan konflik-konflik baru dalam hubungan
produksi.

Secara tipologi konflik antar kelompok nelayan sedikitnya dapat dibagi


menjadi 4 (empat) macam, yaitu : (1) konflik kelas atau disebut juga konflik
vertikal, yakni konflik antara nelayan perikanan industri dengan nelayan
perikanan rakyat, Hal ini biasanya dipicu oleh perbedaan upaya tangkap
(effort)yang dicerminkan oleh ukuran kapal dan penerapan teknologi yang
mengakibatkan timbulnya kecemburuan sosial antar kelompok nelayan
karena hasil tangkapan nelayan perikanan industri lebih banyak dibanding
perikanan rakyat, (2) konflik orientasi yaitu konflik antara nelayan yang
berorientasi pasar dengan nelayan yang masih terikat nilai-nilai tradisional.
Nelayan yang berorientasi pasar biasanya mengabaikan aspek kelestarian
untuk mendapatkan hasil tangkapan sebanyak-banyaknya dengan
menggunakan alat tangkap yang sifatnya merusak sumberdaya ikan dan
lingkungan (bahan peledak dan bahan beracun) yang bertentangan
penerapan nilai-nilai tradisi yang sarat dengan upaya perlindungan terhadap
alam fisik (3) konflik agraria yaitu konflik perebutan penangkapan (fishing
ground), biasanya terjadi antar nelayan yang berbeda domisili. Konflik
seperti ini yang sekarang sedang marak, sebagai dampak eforia otonomi
daerah2dan pengaruh modernisasi perikanan. Konteks ini diungkapkan oleh
Donald K. Emerson tatkala meneliti kehidupan nelayan tradisional di daerah
Pati, Jepara, Rembang dan Demak pada tahun 1977, dimana dampak dari
modernisasi perikanan itu telah menimbulkan konflik horizontal yang
berujung pada pembakaran kapal-kapal penangkap ikan modern. Fenomena
ini ternyata tidak mengalami perubahan sampai kini, terbukti di daerah-
daerah pesisir pantai Timur Sumatera seperti Tajung Balai, Deli Serdang dan
Langkat, pantai barat Sumatera, perairan pantai utara Jawa, perairan
Kalimantan Barat kepulauan Natuna dan Sulawesi Selatan (Takalar, Sinjai)
kasus serupa sering terjadi, dan (5) konflik primordial, terjadi sebagai akibat
perbedaan identitas atau sosial budaya misalnya etnik dan daerah asal.
Konflik ini agak kabur sebagai konflik tersendiri, karena seringkali sebagai
selubung dari konflik lainnya yakni konflik kelas, konflik orientasi maupun
konflik agraria (Sularso, 2002).

Sementara itu Kusnadi (2002) menyimpulkan bahwa faktor-faktor


yang menyebabkan terjadinya konflik di kalangan masyarakat nelayan
setidaknya dipengaruhi oleh enam faktor utama, yakni pranata-pranata
pengelolaan sumber daya lokal; konteks sosial-budaya; kebijakan negara;
variabel-variabel teknologis; tingkat tekanan pasar; dan tekanan penduduk.
Nelayan atau kelompok-kelompok nelayan dengan teknologi penangkapan
yang dimilikinya (tradisonal, semi-tradisonal dan modern) harus bersaing
secara bebas dan kompetitif diantara mereka untuk mendapatkan
sumberdaya perikanan. Dalam persaingan bebas yang tidak seimbang ini,
berlaku hukum besi “siapa yang kuat, dialah yang menang” yang merupakan
pemicu timbulnya konflik terbuka di antara mereka.

2
konflik antar nelayan telah terjadi sejak lama dan makin marak akhir-akhir ini, terutama setelah lahirnya Undang-Undang No.
22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah (yang kini sudah direvisi menjadi UU No.32/2004). Dalam Undang-Undang
tersebut telah diatur bahwa Pemerintah Propinsi memiliki kewenangan pengelolaan wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai
ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan, sedangkan Pemerintah Kota/Kabupaten berhak mengelola sepertiganya
atau sejauh 4 mil.. Namun demikian, karena operasionalisasi desentralisasi pengelolaan wilayah laut belum tergambar secara
jelas maka timbul penafsiran yang berbeda-beda baik di kalangan Pemerintah Daerah maupun nelayan. Gejala ini terlihat dari
adanya beberapa Pemerintah Daerah yang mengeluarkan perizinan di bidang penangkapan ikan yang diluar kewenangannya.
Sementara itu, sebagian kalangan nelayan menafsirkan otonomi daerah dalam bentuk pengkavlingan laut, yang berarti suatu
komunitas nelayan tertentu berhak atas wilayah laut tertentu dalam batas kewenangan daerahnya, baik dalam pengertian hak
kepemilikan (property rights) maupun pemanfaatan (economic rights).Fenomena ini menyulut timbulnya konflik antara nelayan
di beberapa daerah (Ditjen Perikanan Tangkap, 2002. Bahan Dialog Dirjen Perikanan Tangkap denganSub Komisi Kelautan
dan Perikanan DPR-RI. DKP).
.
Oleh karena itu, apa yang dikatakan Sajogyo (1982), sebagai
“modernisation without development” dapat terpahami, karena kapitalisasi
perikanan yang diarahkan kepada peningkatan produksi seringkali hanya
merupakan pertumbuhan ekonomi dan belum dapat dikatakan
pembangunan ekonomi. Karena baik dalam perspektik etic maupun emic
modernisasi perikanan kepentingannya hanya bias kepada yang lebih
memiliki aksesiblitas terhadap modernisasi. Sementara, untuk nelayan kecil
(tradisional) dan sawi(buruh) peningkatan kesejahteraan yang diharapkan
masih jauh dari harapan. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa
implikasi modernisasi kepada nelayan grassroot belum terlihat secara jelas
dan berarti, karena ternyata nelayan kecil diduga tidak memiliki akses pada
modernisasi.

Anda mungkin juga menyukai