Anda di halaman 1dari 5

TINJAUAN PUSTAKA

Diagnosis dan Manajemen Amyotrophic Lateral Sclerosis


Dito Anurogo
Neuroscience Department, Brain Circulation Institute of Indonesia (BCII), Surya University, Tangerang, Banten

ABSTRAK Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) merupakan penyakit neuron motorik degeneratif yang progresif. Memahami etiopatogenesis dan biomaker adalah cara terbaik untuk memulai manajemen ALS. Temuan biomaker ALS baru-baru ini memunculkan harapan bagi penderita ALS. Aspekaspek komprehensif ALS dipaparkan, meliputi sejarah, epidenologi, etiopatogenesis, gambaran klinis, kriteria diagnostik, penekan penunjang, diagnosis banding, penatalaksanaan, biomaker, dan komplikasi. Kata Kunci: amyotrophic lateral sclerosis, etiopatogenesis, manajemen, biomaker

ABSTRACT Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) is a progressive, degenerative motor neuron disease. Understanding of etiopathogenesis and biomarker is the best ways towards ALS management. The recent finding of biomarker ALS offers hope to ALS sufferers. A comprehensive aspects of ALS have been discussed, including history, epidemiology, etiopathogenesis, clinical pictures, diagnostic criteria, supporting examination, differential diagnosis, management, biomarker, and complication. Key words: amyotrophic lateral sclerosis, etiopathogenesis, management, biomarker INTRODUKSI Penyakit amyotrophic lateral sclerosis (ALS) disebut juga motor neuron disease (MND), Charcot disease, Lou Gehrig disease. ALS adalah penyakit neurologis progresif yang dikarakterisasikan oleh degenerasi UMN dan LMN (upper and lower motor neuron). ALS pertama kali diobservasi oleh neurologist JeanMartin Charcot pada tahun 1869, barulah pada tahun 1874, terminologi ALS diperkenalkan. Penyakit ini menjadi populer setelah pemain baseball, Lou Gehrig, didiagnosis menderita ALS pada tahun 1939. Sejumlah 90-95% kasus penyebabnya belum diketahui.1 EPIDEMIOLOGI Di seluruh dunia, ALS dialami oleh 1 dari 3 orang per 100.000 ribu. Di Eropa, insiden tahunan adalah 2,16 per 100 ribu orang/ tahun. Di Indonesia, belum ada data pasti. Rasio pria:wanita adalah 1,5:1, pada ALS familial rasio ini hampir sama. Sekitar 5-10% kasus ALS diwariskan. Pada ALS tipe familial, usia terbanyak adalah 4752 tahun. Pada ALS tipe sporadik, usia terbanyak adalah 5863 tahun.2,3 Kematian dapat terjadi dalam rentang waktu 3-5 tahun setelah diagnosis. Hanya 1 dari 4
Alamat korespondensi email: ditoanurogo@gmail.com

penderita ALS yang dapat bertahan hidup lebih dari 5 tahun setelah diagnosis. Sebagian besar penderita ALS meninggal dunia karena gagal nafas (respiratory failure), rata-rata 3 tahun atau sekitar 2-4 tahun setelah onset, beberapa penderita dapat bertahan hidup hingga satu dasawarsa atau lebih.4 ETIOPATOGENESIS Penyebab pasti ALS belum diketahui. Terdapat beragam hipotesis tentang etiologi yang masih kontroversial: merokok sigaret, diet tinggi lemak atau tinggi glutamat, berpartisipasi di perang Teluk.5,6 Faktor lingkungan intoksikasi timah dan merkuri juga diduga penyebab ALS. Asumsi ini bermula dari tingginya insiden ALS di pulau Guam pada tahun 1945. Begitu pula kondisi eksitotoksik asam-asam amino, terutama glutamat, sempat diduga kuat menyebabkan ALS. Hipotesis ini memerlukan riset lanjutan, mengingat beberapa paparan lingkungan dapat mengubah genetic programming melalui mekanisme epigenetik. 5-7 Beberapa studi menunjukkan bahwa pada ALS terjadi degenerasi neuron motorik akibat apoptosis, yang dipicu oleh stres oksidatif dan disfungsi mitokondria. Disfungsi kemampuan

sel-sel saraf untuk mengendalikan stres oksidatif juga terjadi pada ALS familial yang disebabkan karena mutasi gen yang mengkode cytosolic antioxidant enzyme copper/zinc superoxide dismutase (SOD1). 5,6 Neuroinflamasi jelas berperan pada ALS. Sitokin proinflamasi yang meningkat pada neuron-neuron motorik berdegenerasi juga memicu inflamasi mikroglia. Pada ALS sporadis, terjadi akumulasi proses neurodegeneratif yang kompleks.8 Terdapat neuron-neuron motorik yang rentan, dibuktikan dengan adanya neuronal inclusions, termasuk untai ubikuitin (ubiquitinated skeins) atau Lewy-like formations dan Bunina bodies. Struktur ini dijumpai pada sebagian besar penderita ALS sporadik. Pada ALS familial, dijumpai bentuk berbeda, yaitu hyaline conglomerate yang termasuk neurofilamen dan tidak mengandung ubiquitin.8Antigen neuron di dalam inclusions yang dikenal oleh antibodi untuk ubiquitin telah teridentifikasi sebagai TDP-43 (protein yang dijumpai pada HIV). Mutasi pada gen TDP-43 (TARDBP) telah teridentifikasi sebagai penyebab ALS tipe sporadik dan familial. Identifikasi TDP43 penting di dalam menegakkan diagnosis postmortem ALS.8

352

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA
Penemuan mutasi patogenik pada TARDBP mengimplikasikan TDP-43 sebagai mediator aktif neurodegenerasi pada proteinopati TDP43, termasuk ALS.9 Hal lain yang menarik, terjadi kehilangan selektif EAAT 2, astrocyte-selective glutamate transporter, di bagian motor cortex dan spinal cord penderita yang meninggal dunia karena ALS.10 Riset molekuler berhasil mengungkap 12 gen/lokus kausatif pada ALS familial, misalnya: (1) ALS1/21q22.1, (2) ALS2/2q33-35, (3) ALS3/18q21, (4) ALS4/9q34, (5) ALS5/15q15-q22, (6) ALS6/16q15-q22, (7) ALS7/20ptel, (8) ALS8/20q13.33, (9) ALS9/14q11, (10) ALS10/1q36, (11) ALS-FTD/9q21-22, (12) ALS-FTD/9p13.2-21,3. Sedangkan untuk ALS sporadik, beberapa gen yang rentan, misalnya: SOD1, HFE (human hemochromatosis protein), MAPT (microtubule-associated protein tau), NEFH (neurofilament, heavy polypeptide), PRPH (peripherin), DCT1 (divalent cation transporter 1), PON 1-3 (paroxonase 1-3), Progranulin, ANG (angiogenin, ribonuclease, RNase A family, 5), APEX, SMN1 (survival of motor neuron-1), SMN2, TDP-43, UNC13A.1 BIOMARKER Biomarker yang ideal dapat mendeteksi ciri atau karakteristik fundamental patofisiologi suatu penyakit sekaligus mampu membedakan penyakit dari kondisi lainnya dengan nilai prediktif positif dan negatif yang diterima. Uji dan pemeriksaan biomarker haruslah sederhana dan mudah, relatif noninvasive, murah, terpercaya, akurat, mudah direproduksi di semua laboratorium.42 Teknologi terbaru dengan platform (teknik) omics, seperti: genomics, transcriptomics, proteomics dan metabolomics berupaya menemukan biomarker ALS.43 Beragam teknologi ini, memungkinkan identifikasi biomarker yang tervalidasi, yang berasal dari jaringan otak, sel-sel, dan cairan tubuh.44 Untuk memeriksa klasifikasi pola protein yang canggih pada cairan serebrospinal, digunakan alat liquid chromatography-Fourier transform ion cyclotron resonance mass spectrometry (LCFTICR-MS) kapiler.46 Ditemukan mutasi genetik dan perubahan protein spesifik pada cairan biologis atau biofluids (misalnya: cerebrospinal fluid dan darah) dan/atau jaringan penderita ALS. Contoh biomarker ALS adalah TDP43 (TAR DNA-binding protein 43 kDa), phosphorylated neurofilament heavy subunit (pNF-H), neurofilament light chain (NFL).47 TAR DNA binding protein of 43 kDa (TDP-43) adalah protein khas utama pada penderita ALS. TDP-43 diukur dari cairan serebrospinal dengan metode ELISA. Rendahnya kadar TDP-43 menunjukkan akumulasi TDP-43 di neuron motorik kortikal dan spinal sehingga kelangsungan hidup menjadi lebih pendek, meskipun hasil ini memerlukan riset prospektif lanjutan. Proses immunoreactivity TDP-43 di jaringan otak yang berkaitan dengan penyakit direfleksikan oleh peningkatan kadar TDP-43 di CSF. Dengan analisis receiver operating characteristic (ROC), diketahui bahwa sensitivitas TDP-43 mencapai 59,3% dan spesifisitasnya mencapai 96%.48,49 pNF-H adalah suatu komponen struktural utama di akson motorik. Pada ALS, dijumpai peningkatan konsentrasi pNF-H di plasma, serum, dan cairan serebrospinal. Hal ini berkaitan erat dengan laju perkembangan penyakit.50 Kadar neurofilament light chain (NFL) pada cairan serebrospinal digunakan sebagai parameter aktivitas dan proses perjalanan penyakit. Tingginya kadar NFL pada penderita ALS menunjukkan proses neurodegenerasi yang terjadi pada ALS.51 Penggunaan berbagai protein biomarker bertujuan untuk menegakkan diagnosis secara cepat, memfasilitasi intervensi terapeutik yang efektif dan memantau efektivitas obat. Selain itu, kombinasi berbagai biomarker bermanfaat sebagai efek terapeutik dini. GAMBARAN KLINIS Secara klinis, ALS dapat diketahui dari adanya gangguan LMN (lower motor neuron) berupa: kelemahan, otot mengecil (wasting), kedutan (fasciculation) dan gangguan UMN (upper motor neuron) berupa: refleks tendon hiperaktif, tanda Hoffmann, tanda Babinski, atau klonus di anggota gerak yang sama.8 ALS dimulai dengan fasikulasi, kelemahan ekstremitas, salah bicara (keseleo lidah). Pada akhirnya, ALS mempengaruhi kemampuan untuk mengendalikan otot yang diperlukan untuk bergerak, berbicara, makan, dan bernafas.11 Kondisi sistem saraf penderita (neurological status) dapat dinilai dengan kuesioner revised ALS Functional Rating Scale (ALSFRS-r).19 Disfungsi kognitif dialami oleh 2050% penderita ALS, dan 315% berkembang menjadi dementia yang dikategorikan sebagai frontotemporal lobar degeneration (FTLD).12 Gejala ALS biasanya belum tampak hingga penderita berusia 50 tahun, namun bisa muncul perlahan di usia muda. Penderita ALS biasanya kehilangan kekuatan dan koordinasi otot sehingga sulit melakukan aktivitas harian, seperti: naik tangga, berdiri dari kursi, menelan, dsb. Otot-otot menelan dan pernafasan adalah yang pertama kali diserang ALS. Makin memburuk, makin banyak kelompok otot yang terkena. ALS tidak mempengaruhi panca indera (penglihatan, penghidu, perasa/ pengecap, pendengaran, peraba). ALS jarang menyerang fungsi kandung kemih, organ perut, gerak mata, kemampuan berpikir. Gejala ALS antara lain: sulit bernafas, sulit menelan, mudah merasa tercekik, mengeluarkan air liur, tersumbat, kram otot, kepala lunglai (mudah terkulai) karena lemahnya otot leher, kontraksi otot (fasciculation), kelemahan otot yang memburuk, umumnya pertama kali terkait dengan satu anggota tubuh seperti lengan atau tangan; menjadi paralisis, sulit mengangkat, menaiki anak tangga, berjalan. Kesulitan berbicara, seperti: pola bicara abnormal atau perlahan, perkataan menyatu/kacau (slurring of words), perubahan suara, serak/parau (hoarseness). Berat badan turun.13-14 Potret klinis gangguan pernafasan pada penderita ALS terdiri dari beberapa tanda dan gejala seperti: bernafas cepat, penggunaan otot-otot bantu pernafasan, pergerakan abdomen yang berlawanan (paradox), berkurangnya gerakan dada, batuk encer atau melemah, berkeringat, takikardi, penurunan berat badan, bingung (confusion), halusinasi, pusing atau sensasi berputar (dizziness), papilloedema (jarang), pingsan (syncope), mulut kering. Gejala lain, seperti: sesak nafas saat beraktivitas atau berbicara, orthopnoea, sering terbangun di malam hari, mengantuk berlebihan dan lelah di siang hari, sulit membersihkan sekresi, nyeri kepala di pagi hari, nocturia, depresi, selera makan berkurang bahkan hilang, konsentrasi dan/atau memori berkurang.15 KRITERIA DIAGNOSTIK16,17 Kriteria positif Diagnosis ALS memerlukan adanya: (1) Tandatanda LMN (termasuk gambaran EMG di otot yang tidak terpengaruh secara klinis). (2) Tanda-tanda UMN. (3) Perkembangan gejala dan tanda klinis. Diagnosis ALS didukung oleh: (1) Fasikulasi pada satu bagian atau lebih. (2) Perubahan neurogenik pada EMG. (3)

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

353

TINJAUAN PUSTAKA
Konduksi nervus sensoris dan motoris normal. (4) Ketiadaan conduction block. DIAGNOSIS EKSKLUSI Pada ALS tidak dijumpai: (1) Gangguan sensoris. (2) Gangguan sphincter (3) Gangguan visual. (4) Gangguan otonom. (5) Disfungsi ganglia basal. (6) Demensia tipe Alzheimer. Diagnosis ALS ditegakkan secara klinis yang memerlukan waktu beberapa bulan. DIAGNOSIS BANDING Beberapa penyakit yang menyerupai ALS, seperti: 18,21-23 A. Ketidaknormalan anatomis/sindrom kompresi, seperti: (1) Arnold-Chiari1 dan malformasi hindbrain lainnya, (2) tumor regio fossa posterior, servikal, atau foramen magnum, (3) herniasi diskus servikal dengan osteokondrosis, (4) meningioma servikal, (5) tumor retrofaring, (6) kista spinal epidural, (7) mielopati spondilotik dan/atau radikulopati motorik, (8) syringomyelia. B. Defek enzim (acquired), seperti: (9) gangliosidosis GM2 dewasa (defisiensi hexosaminidase-A atau -B), (10) polyglucosan body disease. C. Sindrom otoimun, seperti: (11) gamopati monoklonal dengan neuropati motorik, (12) neuropati motorik multifokal dengan/ tanpa hambatan konduksi, (13) sindrom LMN disimun (dengan antibodi GM1, GD1b, dan asialo-GM1), (14) sindrom LMN dys-immune lainnya termasuk CIDP, (15) multiple sclerosis, (16) myasthenia gravis (terutama varian antiMuSK positif ). D. Abnormalitas endokrin, seperti: (17) sindrom Allgrove, (18) diabetic amyotrophy, (19) insulinoma menyebabkan neuropati, (20) hipertiroidisme dengan miopati, (21) hipotiroidisme dengan miopati, (22) hiperparatiroidisme (primer), (23) hiperparatiroidisme (sekunder karena defisiensi vitamin D), (24) hipokalaemia (sindrom Conn). E. Infeksi, seperti: (25) poliomielitis akut, (26) sindrom atrofi muskuler progresif paskapoliomielitis, (27) HIV-1 (dengan mielopati vakuolar), (28) HTLV-1 associated myelopathy (HAM, tropical spastic paraplegia), (29) neuroborreliosis, (30) syphilitic hypertrophic pachymeningitis, (31) spinal encephalitis lethargica, (32) varicella-zoster, (33) trichinosis, (34) brucellosis, (35) cat-scratch disease, (36) prion disorders. F. Miopati, seperti: (37) miopati cachectic, (38) miopati karsinoid, (39) dystrophin-deficient myopathy, (40) inclusion body myositis (IBM), (41) inflammatory myopathies, (42) miopati nemaline, (43) polimiositis, (44) miositis sarkoid. G. Sindrom neoplastik, seperti: (45) leukemia limfositik kronis, (46) glioma intrameduler, (47) gangguan limfoproliferatif dengan paraproteinaemia dan/atau oligoclonal bands di cairan serebrospinal, (48) sindrom tumor Pancoast, (49) paraneoplastic encephalomyelitis (PEM) dengan keterlibatan anterior horn cell, (50) sindrom stiff-person-plus (SPS). H. Cedera fisik, seperti: (51) electric shock neuronopathy, (52) radiation-induced radiculoplexopathies dan/mielopati. I. Gangguan vaskuler, seperti: (53) arteriovenous malformation (AVM), (54) Dejerine anterior bulbar artery syndrome, (55) stroke, (56) vaskulitis. J. Kondisi neurologis lainnya, seperti: (57) bentuk atipikal MND/ALS Pasifik barat (Guam, New Guinea, Kii Peninsula Jepang), (58) bentuk atipikal Karibia dari MND-dementiapsp (Guadeloupe), (59) bentuk Madras dari MND/ALS onset anak (India selatan), (60) demensia frontotemporal dengan MND/ALS (termasuk penyakit Pick dengan amiotrofi), (61) multiple system atrophy (MSA), (62) sindrom OPCA (olivo-ponto cerebellar atrophy), (63) primary lateral sclerosis (PLS; beberapa subtipe tidak berkaitan dengan ALS), (64) progressive encephalomyelitis with rigidity (PER), (65) progressive supranuclear palsy (PSP), (66) hereditary spastic paraplegia (HSP; banyak varian, beberapa subtipe dengan amiotrofi distal), (67) progressive spinal muscular atrophy (PMA; beberapa subtipe tidak berkaitan dengan ALS), (68) spinobulbar muscular atrophy (SBMA) dengan/tanpa dynactin atau mutasi reseptor androgen, (69) SMA (spinal muscular atrophy) I-IV, (70) sindrom Brown-Vialetto-van Laere (ALS spinal dan bulbar onset dini dengan tuli sensorineural), (71) sindrom Fazio-Londe (PBP infantil), (72) sindrom Harper-Young (SMA distal dan laringeal), (73) monomelic sporadic spinal muscular atrophy (termasuk sindrom Hirayama), (74) polineuropati dengan dominasi gejala motorik (seperti HMSN tipe 2, HMN tipe 5), (75) familial amyloid polyneuropathy (FAP), (76) benign fasciculations, (77) myokymia. K. Toksin eksogen, misalnya: (78) intoksikasi timah, (79) intoksikasi merkuri, (80) intoksikasi kadmium, (81) intoksikasi aluminium, (82) intoksikasi arsen, (83) intoksikasi thallium, (84) intoksikasi mangan, (85) intoksikasi pestisida organik, (86) intoksikasi neurolathyrism, (87) intoksikasi konzo. PEMERIKSAAN PENUNJANG Beberapa pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan untuk diperiksa pada dugaan ALS, antara lain: (1) darah [laju endap darah, C-reactive protein, screening hematologi, SGOT, SGPT, LDH, hormon TSH, FT4, FT3, vitamin B12 dan folat, serum protein elektroforesis, serum imunoelektroforesis, creatine kinase, kreatinin, elektrolit (Na+, K+, Cl-, Ca2+, PO43-), glukosa], (2) neurofisiologi (EMG, kecepatan konduksi saraf ), (3) radiologi [MRI/CAT (kepala/servikal, torakal, lumbal), rontgen dada].18 Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan pada kasus ALS tertentu: (1) darah: angiotensin converting enzyme (ACE), laktat, assay hexoaminidase A dan B, antibodi ganglioside GM-1, anti-Hu, anti-MAG, RA, ANA, anti-DNA, antibodi anti-AChR, anti-MUSK, serologi (Borrelia, virus termasuk HIV), analisis DNA. (2) Pemeriksaan cairan serebrospinal, seperti: hitung sel, sitologi, konsentrasi protein total, glukosa, laktat, elektroforesis protein termasuk indeks IgG, serologi (Borrelia, virus), antibodi gangliosida. (3) Pemeriksaan urin: kadmium, timah (sekresi 24 jam), raksa, mangan, imunoelektroforesis urin. (4) Pemeriksaan neurofisiologi, seperti: MEP. Pemeriksaan elektrodiagnostik berkontribusi terhadap ketepatan diagnosis. (5) Pemeriksaan radiologi, seperti: mammography. (6) Biopsi; otot, saraf, sumsum tulang, limfonodi.18 Tidak ada abnormalitas laboratorium yang patognomonik untuk ALS. Diagnosis klinis sebaiknya dikonfirmasikan dengan EMG yang menunjukkan bukti active denervation pada sekurangnya tiga anggota gerak. Kecepatan konduksi saraf normal atau hampir normal. Protein cairan serebrospinal meningkat di atas 50 mg/dL pada 30% penderita dan di atas 75 mg/dL pada 10% penderita; angka yang lebih tinggi dapat dijumpai pada kasus monoclonal gammopathy atau limfoma. Gammopathy dijumpai pada 5-10% penderita dengan metode sensitif, seperti: immunofixation electrophoresis.8 Untuk kepentingan riset, dapat diperiksa IgG antibodies against light (NFL) and medium (NFM) subunits dari neurofilamen menggunakan ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)

354

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA
dari contoh serum dan cerebrospinal fluid (CSF) penderita ALS. Dijumpai peningkatan kadar serum anti-NFL. OX40 (CD134) adalah sitokin anggota keluarga reseptor TNF (tumor necrosis factor) dan diekspresikan secara selektif pada limfosit T yang teraktivasi. Penurunan kadar serum soluble OX40 (sOX40) pada penderita ALS membuktikan bahwa sitokin ini berperan pada perjalanan penyakit (pathomechanisms) ALS.20 PENATALAKSANAAN Direkomendasikan riluzole (suatu antagonis glutamat) 50 mg dua kali sehari, dengan pemantauan teratur. Pemberian 100 mg riluzole oral setiap hari setelah 18 bulan memperpanjang harapan hidup penderita ALS sekitar tiga bulan. Efek samping riluzole adalah fatigue dan asthenia. Hingga kini, belum ada terapi efektif untuk ALS.24-25 Berbagai obat yang sedang memasuki trial fase II/III: arimoclomol, ceftriaxone, edaravone, IGF-1 polypeptide, minocycline, sodium phenylbutyrate, tamoxifen, thalidomide. Sedangkan obat yang sedang dipertimbangkan dan direncanakan memasuki trial fase III: AEOL 10150, celastrol, coenzyme Q10, copaxone, IGF-1 viral delivery, memantine, NAALADase inhibitor, nimesulide, ritonavir, hydroxyurea, scriptaid, talampanel, trehalose.18 Status nutrisi penderita ALS juga perlu dievaluasi, mengingat sering terjadi disfagia, hipermetabolisme, serta beragam penyakit. Tatalaksana nutrisi termasuk diet, strategi menelan, kemungkinan dipasang selang
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Hardiman, Orla (February 2010) Amyotrophic Lateral Sclerosis. In: Encyclopedia of Life Sciences (ELS). John Wiley & Sons, Ltd: Chichester. DOI: 10.1002/9780470015902.a0000014.pub2 Ringholz GM, Appel SH, Bradshaw M, Cooke NA, Mosnik DM, Schulz PE. Prevalence and patterns of cognitive impairment in sporadic ALS. Neurology 2005;65(4):586590. Haverkamp LJ, Appel V, Appel SH. Natural history of amyotrophic lateral sclerosis in a database population. Validation of a scoring system and a model for survival prediction. Brain. 1995;118:70719. Forsgren L, Almay BG, Holmgren G, Wall S. Epidemiology of motor neuron disease in northern Sweden. Acta Neurol Scand. 1983;68:209. Beal FM. Mitochondria take center stage in aging and neurodegeneration. Ann Neurol 2005;58:495505. Rosen DR, et al. Mutations in Cu/Zn superoxide dismutase gene are associated with familial amyotrophic lateral sclerosis. Nature 1993;362:5962. Stefanska B, Karlic H, Varga F, Fabianowska-Majewska K, Haslberger AG. Epigenetic mechanisms in anti-cancer actions of bioactive food components the implications in cancer prevention. British J Pharmacol 2012;167:279297. Rowland LP, Mitsumoto H, Przedborski S. Amyotrophic Lateral Sclerosis, Progressive Muscular Atrophy, and Primary Lateral Sclerosis. In: Rowland LP, Pedley TA (Ed.) Merritts Neurology, 12th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2010. Chapter 128, page 803-8. Van Deerlin VM, Leverenz JB, Bekris LM, Bird TD, Yuan W, Elman LB, et al. TARDBP mutations in amyotrophic lateral sclerosis with TDP-43 neuropathology: a genetic and histopathological analysis. The Lancet Neurology. May 2008;7(5):409-416. 10. Squire L, Berg D, Bloom F, du Lac S, Ghosh A, Spitzer N. (Ed.) Fundamental Neuroscience. 3rd Edition. Elsevier. 2008. page 284. 11. Jokelainen M. Amyotrophic lateral sclerosis in Finland. II: Clinical characteristics. Acta Neurol Scand. 1977;56:194204. 12. Abrahams S, Goldstein LH, Kew JJ, Brooks DJ, Lloyd CM, Frith CD, et al. Frontal lobe dysfunction in amyotrophic lateral sclerosis. A PET study. Brain. 1996;119:210520.

makanan langsung ke lambung (gastrostomy tube placement), dan suplementasi berupa vitamin dan mineral.26 Medikasi simtomatis untuk mengatasi spastisitas yang mengganggu aktivitas harian adalah pemberian baclofen atau diazepam. Untuk mengatasi produksi saliva berlebihan (sialorrhea) dapat diberi trihexyphenidyl atau amitriptyline. Bila refrakter, dapat diberi injeksi botulinum toxin type B di kelenjar parotid dan submandibular, amitriptyline, atau antikolinergik. Terapi radiasi dengan dosis 77,5 Gy bilateral efektif mengurangi produksi saliva, namun ada efek samping, seperti: erythema, sore throat, dan mual. 27-30 Depresi diatasi dengan antidepresan, misalnya: amitriptyline atau golongan SSRI. Insomnia diatasi dengan amitriptyline atau golongan hipnotik, seperti: zolpidem, diphenhydramine. Cemas (anxiety) diatasi dengan bupropion atau diazepam 0,5 mg 2-3 kali sehari, atau lorazepam sublingual.31 Pseudobulbar affect, menangis-tertawa berlebihan, atau gangguan ekspresi emosional involunter dialami 2050% penderita ALS, terutama pada kasus pseudobulbar palsy.32 Kombinasi 30 mg dextromethorphan dan 30 mg quinidine BID efektif mengatasi pseudobulbar affect. Efek samping yang sering terjadi adalah dizziness, nausea, dan somnolen.33 Gunakan oksigen hanya pada kasus hipoksia simtomatis. Untuk mengatasi terminal restlessness dan confusion karena hypercapnia, digunakan neuroleptik (chlorpromazine 12,5

mg setiap 4 hingga 12 jam p.o., i.v. atau p.r.). Untuk dyspnoea dan/atau nyeri refrakter, digunakan opioid dosis tunggal atau dikombinasi dengan benzodiazepine jika disertai cemas. Titrasi dosis tidak akan mengakibatkan depresi saluran pernapasan.34-35 Komplikasi pernafasan adalah penyebab umum morbiditas dan mortalitas penderita ALS. Tatalaksana insufisiensi saluran pernapasan dengan ventilasi noninvasif meningkatkan kualitas dan kelangsungan hidup penderita ALS.36 Terapi Recombinant human insulin-like growth factor (rhIGF-I) - protein manusia yang dimodifikasi secara genetik - diharapkan dapat meningkatkan dan memperkuat kelangsungan hidup neuron motorik pada ALS. Diberikan setiap hari melalui injeksi subkutan.37 Terapi stem cell menjanjikan, namun efektivitasnya masih memerlukan riset lanjutan.38 KOMPLIKASI ALS dapat menyebabkan terjadi berbagai komplikasi, yaitu: aspirasi, penurunan kemampuan perawatan diri, gagal paru-paru, berat badan menurun, pressure sores, dan pneumonia.52 RINGKASAN Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) adalah penyakit degeneratif motor neuron yang progresif. Pemahaman etiopatogenesis penting dalam penatalaksanaan penyakit ini. Studi biomarker diharapkan dapat memberi harapan baru bagi penderitanya.

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

355

TINJAUAN PUSTAKA
13. Murray B, Mitsumoto H. Disorders of upper and lower motor neurons.In: Daroff RB, Fenichel GM, Jankovic J, eds. Bradleys Neurology in Clinical Practice. 6th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012:chapter 74. 14. Shaw PJ. Amyotrophic lateral sclerosis and other motor neuron diseases. In: Goldman L, Schafer AI, eds. Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011:chapter 418. 15. Leigh PN, Abrahams S, Al-Chalabi A, Ampong MA, Goldstein LH, Johnson J, et al., Kings MND Care and Research Team. The management of motor neuron disease. J Neurol Neurosurg Psychiatry.2003;70(Suppl 4):3247. 16. Brooks BR, Miller RG, Swash M. El Escorial revisited: revised criteria for the diagnosis of amyotrophic lateral sclerosis. Amyotroph Lateral Scler Other Motor Neuron Disord. 2000;1:2939. 17. Miller RG, Rosenberg JA, Gelinas DF, Mitsumoto H, Newman D, Sufit R. et al. Practice parameter: the care of the patient with amyotrophic lateral sclerosis (an evidence-based review): report of the Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology: ALS Practice Parameters Task Force. Neurology. 1999;52:131123. 18. Andersen PM, Borasio GD, Dengler R, Hardiman O, Kollewe K, Leigh PN, Pradat PF, Silani V, Tomik B. EFNS task force on management of amyotrophic lateral sclerosis: guidelines for diagnosing and clinical care of patients and relatives. An evidence-based review with good practice points. European Journal of Neurology 2005;12:92138. 19. Fialov L, Svarcov J, Bartos A, Ridzon P, Malbohan I, Keller O, Rusina R. Cerebrospinal fluid and serum antibodies against neurofilaments in patients with amyotrophic lateral sclerosis. Eur J Neurol. 2010 Apr;17(4):562-6. Epub 2009 Nov 24. 20. Izecka J. Serum soluble OX40 in patients with amyotrophic lateral sclerosis. Acta Clin Croat. 2012 Mar;51(1):3-7. 21. Evangelista T, Carvalho M, Conceicao I, Pinto A, de Lurdes M, Luis ML. Motor neuropathies mimicking amyotrophic lateral sclerosis/motor neuron disease. J Neurol Sci 1996;139(Suppl):958. 22. Traynor BJ, Codd MB, Corr B, Forde C, Frost E, Hardiman O. Amyotrophic lateral sclerosis mimic syndromes. Arch Neurol 2000;57:10913. 23. Belsh JM, Schiffman PL. The amyotrophic lateral sclerosis (ALS) patient perspective on misdiagnosis and it repercussions. J Neurol Sci 1996;139(Suppl):1106. 24. Bensimon G, Lacomblez L, Meininger V. A controlled trial of riluzole in amyotrophic lateral sclerosis. ALS/Riluzole Study Group N Engl J Med 1994;330:58591. 25. Lacomblez L, Bensimon G, Leigh PN, Guillet P, Meininger V. Dose-ranging study of riluzole in amyotrophic lateral sclerosis: Amyotrophic Lateral Sclerosis/Riluzole Study Group II. Lancet 1996;347:142531. 26. Braun MM, Osecheck M, Joyce NC. Nutrition assessment and management in amyotrophic lateral sclerosis. Phys Med Rehabil Clin N Am. 2012 Nov;23(4):751-71. 27. Andersen PM, Gronberg H, Franze L, Funegard U. External radiation of the parotid glands significantly reduces drooling in patients with motor neuron disease with bulbar paresis. J Neurol Sci 2001;191:1114. 28. Jackson CE, Gronseth G, Rosenfeld J, et al. Randomized double-blind study of botulinum toxin type B for sialorrhea in ALS patients. Muscle Nerve 2008;39:13743. 29. Levitsky G. Pharmacological therapy of sialorrhea in patients with motor neuron disease. ZH Neurol Psikhiar Im SS Kovsakova 2005;105:19 22. 30. Harriman M, Morrison M, Hay J, Revonta M, Eisen A, Lentle B. Use of radiotherapy for control of sialorrhea in patients with amyotrophic lateral sclerosis. J Otolaryngol 2001;30:2425. 31. Kurt A, Nijboer F, Matuz T, Kubler A. Depression and anxiety in individuals with amyotrophic lateral sclerosis: epidemiology and management. CNS Drugs 2007;21:27991. 32. McCullagh S, Moore M, Gawel M, Feinstein A. Pathological laughing and crying in amyotrophic lateral sclerosis: an association with prefrontal cognitive dysfunction. J Neurol Sci 1999;169:438. 33. Brooks BR, Thisted RA, Appel SH, et al. Treatment of pseudobulbar affect in ALS with dextromethorphan/quinidine: a randomized trial. Neurology 2004;63:136470. 34. Sykes N, Thorns A. The use of opioids and sedatives at the end of life. Lancet Oncology. 2003;4:3128. 35. Mitsumoto H, Bromberg M, Johnston W, Tandan R, Byock I, Lyon M, et al. Promoting excellence in end-oflife care in ALS. Amyotroph Lateral Scler. 2005;6:14554. 36. Gruis KL, Lechtzin N. Respiratory therapies for amyotrophic lateral sclerosis: A primer. Muscle Nerve. 2012;46:31331. 37. Beauverd M, Mitchell JD, Wokke JHJ, Borasio GD. Recombinant human insulin-like growth factor I (rhIGF-I) for the treatment of amyotrophic lateral sclerosis/motor neuron disease. Cochrane Database of Systematic Reviews 2012, Issue 11. Art. No.: CD002064. DOI: 10.1002/14651858.CD002064.pub3. 38. Silani V, Cova L, Corbo M, Ciammola A, Polli E. Stem-cell therapy for amyotrophic lateral sclerosis. Lancet. 2004;364:2002. 39. De Gruttola VG, Clax P, DeMets DL, et al. Considerations in the evaluation of surrogate endpoints in clinical trials. Summary of a National Institutes of Health workshop. Control Clin Trials 2001;22:485502. 40. Tokuda T.Biomarkers for amyotrophic lateral sclerosis.Brain Nerve. 2012 May;64(5):515-23. 41. Turck CW (Ed.). Biomarkers for Psychiatric Disorders. Springer. 2008. Chapter 6, page 130. 42. Sunderland T, Gur RE, Arnold SE. The use of biomarkers in the elderly: current and future challenges. Biol Psychiatr 2005;58: 2726. 43. Ludolph AC, Sperfeld AD. Preclinical trials: an update on translational research in ALS. Neurodegener Dis 2005;2(34):2159. 44. Riley CP, Adamec J: Discovery of new biomarkers of cancer using proteomics technology. Current Cancer Therapy Reviews 2010:6. 45. Ekegren T, Hanrieder J, Bergquist J. Clinical perspectives of high-resolution mass spectrometry-based proteomics in neuroscience: exemplified in amyotrophic lateral sclerosis biomarker discovery research. J Mass Spectrom. 2008 May;43(5):559-71. 46. Ryberg H, Bowser R. Protein biomarkers for amyotrophic lateral sclerosis. Expert Rev Proteomics. 2008 Apr;5(2):249-62. 47. Bowser R, Cudkowicz M, Kaddurah-Daouk R. Biomarkers for amyotrophic lateral sclerosis. Expert Rev Mol Diagn. 2006 May;6(3):387-98. 48. Steinacker P, Hendrich C, Sperfeld AD, Jesse S, von Arnim CAF, Lehnert S, et.al. TDP-43 in Cerebrospinal Fluid of Patients With Frontotemporal Lobar Degeneration and Amyotrophic Lateral Sclerosis. Arch Neurol 2008 November;65(11):14817. 49. Noto Y, Shibuya K, Sato Y, Kanai K, Misawa S, Sawai S, Mori M, Uchiyama T, Isose S, Nasu S, Sekiguchi Y, Fujimaki Y, Kasai T, Tokuda T, Nakagawa M, Kuwabara S. Elevated CSF TDP-43 levels in amyotrophic lateral sclerosis: specificity, sensitivity, and a possible prognostic value. Amyotroph Lateral Scler. 2011 Mar;12(2):140-3. Epub 2010 Dec 2. 50. Boylan KB, Glass JD, Crook JE, Yang C, Thomas CS, Desaro P, Johnston A, Overstreet K, Kelly C, Polak M, Shaw G. Phosphorylated neurofilament heavy subunit (pNF-H) in peripheral blood and CSF as a potential prognostic biomarker in amyotrophic lateral sclerosis. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2012 Oct 31. [Epub ahead of print] 51. Tortelli R, Ruggieri M, Cortese R, DErrico E, Capozzo R, Leo A, Mastrapasqua M, Zoccolella S, Leante R, Livrea P, Logroscino G, Simone IL. Elevated cerebrospinal fluid neurofilament light levels in patients with amyotrophic lateral sclerosis: a possible marker of disease severity and progression. Eur J Neurol. 2012 Dec;19(12):1561-7. 52. A.D.A.M. Medical Encyclopedia. Amyotrophic lateral sclerosis. Last reviewed: 26 August 2012. Last accessed: 3 January 2013. Cited from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/ PMH0001708

356

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

Anda mungkin juga menyukai